11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air Tanah Air tanah adalah air yang bergerak di dalam ruang - ruang antar butir-butir tanah yang membentuk itu atau dikenal dengan air lapisan dan di dalam retakanretakan dari batuan yang dikenal dengan air celah. Keadaan air tanah ada yang terkekang dan air tanah bebas. Jika air tanah itu bebas maka permukaannya akan membentuk gradient yang dikenal dengan gradien hidrolik sehingga pergerakan air tanahnya akan membentuk sebuah kontur (Wahyudi, 2009). Kumalasari dan Satoto (2011) mengemukakan bahwa air tanah adalah air yang berada di dalam tanah, air tanah dangkal merupakan air yang berasal dari air hujan yang diikat oleh akar pohon. Air tanah ini terletak tidak jauh dari permukaan tanah serta berada di atas lapisan kedap air. Sedangkan air tanah dalam adalah air hujan yang meresap ke dalam tanah lebih dalam lagi melalui proses adsorpsi serta filtrasi oleh batuan dan mineral di dalam tanah. Sehingga berdasarkan prosesnya air tanah dalam lebih jernih dari air tanah dangkal. Air tanah ini bisa didapatkan dengan cara membuat sumur. Air di dunia 97,2 % berupa lautan dan 2,8 % terdiri dari lembaran es dan gletser (2,15%), air artesis (0,62 %) dan air lainnya (0,03%). Air lainnya ini meliputi danau air tawar 0,009%, danau air asin 0,008%, air tanah 0,005%, air atmosfer (hujan dan kabut) 0,001% dan air sungai 0,0001% (Strahler dan Strahler
cit. Foth, 1984 dalam Hanafiah 2005). Air tanah merupakan sumber air tawar terbesar di planet bumi, mencakup kira-kira 30 % dari total air tawar atau 10,5 juta km3. Air tanah biasanya diambil,
Universitas Sumatera Utara
12
baik untuk sumber air bersih maupun untuk irigasi, melalui sumur terbuka, sumur tabung, spring, atau sumur horisontal. Cara pengambilan air tanah yang paling tua dan sederhana adalah dengan membuat sumur gali (dug wells) dengan kedalaman lebih rendah dari posisi permukaan air tanah. Jumlah air yang dapat diambil dari sumur gali biasanya terbatas, dan yang diambil adalah air tanah dangkal. Untuk pengambilan yang lebih besar diperlukan luas dan kedalaman galian yang lebih besar. Sumur gali biasanya dibuat dengan kedalaman tidak lebih dari 5 - 8 meter di bawah permukaan tanah. Cara ini cocok untuk daerah pantai dimana air tawar berada di atas air asin (Suripin, 2001). Air hujan yang jatuh di lahan pertanian segera memasuki profil tanah melalui proses infiltrasi, kemudian mengalir di dalam tanah sebagai air perkolasi dan sebagian dari air hujan mengalir di permukaan tanah sebagai air limpasan permukaan (Kusuma, 2009). Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air tersebut ke tanah yang lebih dalam. Dengan kata lain, infiltrasi adalah aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air kearah lateral) dan gravitasi (gerakan air kearah vertikal). Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan di kenal sebagai proses perkolasi (Asdak, 2001). Menurut hukum Darcy kecepatan aliran air tanah dapat dirumuskan sebagai berikut (Wahyudi, 2009) :
V=k.i
……………….(2.1.)
Universitas Sumatera Utara
13
Dimana :
V = kecepatan aliran (cm/dt) k = koefisien permeabilitas i = gradien hidrolik Kodoatie (2010) mengemukakan bahwa di daerah tangkapan/imbuhan (recharge area) air tanah, air dari permukaan tanah meresap ke dalam tanah mengisi akuifer baik akuifer bebas (unconfined aquifer) maupun akuifer tertekan (confined aquifer). Di daerah pelepasan/luahan (discharge area) air tanah keluar dengan berbagai cara, misalnya menjadi mata air, air di dalam sumur dangkal maupun air di dalam sumur bor (sumur dalam) atau menjadi aliran dasar (base
flow).
2.2. Pestisida 2.2.1. Sejarah pestisida Pestisida diperkenalkan untuk pertamakalinya oleh bangsa Cina pada tahun 900 M, dengan memakai senyawa arsenat.
Sudah dipakainya pestisida ultra
tradisional ini menunjukkan bahwa bangsa Cina sudah maju dibidang pertanian, terbukti dengan kenyataan pengenalan pestisida yang pertama sekali oleh manusia di negara ini. Karena belum ada penemuan-penemuan baru, bahan arsenat ini bertahan cukup lama. Meskipun hama-hama juga sudah menunjukkan segala kekebalan. Pada akhirnya secara tidak disengaja seperti lazimnya penemuan yang lain, racun tembakau mulai diperkenalkan pada masyarakat mulai tahun 1960 di Eropah. Metodenya masih sederhana, pembuatan pun cukup sederhana, karena pada masa itu belum dikenal alat-alat industri dan pengetahuan yang cukup. Tembakau direndam didalam air selama satu hari satu malam, baru kemudian dipakai untuk menyemprot
Universitas Sumatera Utara
14
atau disiramkan. Ternyata racun nikotin ini cukup efektif pula sebagai obat sekaligus racun pembasmi hama. Berbeda di daratan Eropah, di Malaysia dan sekitarnya lebih mengenal bubuk pohon deris, yang mengandung bahan aktif Rotenon sebagai zat pembunuh. Disamping itu juga dipakai bahan aktif Pirenthin I dan II, dan Anerin I dan II, yang diperoleh dari bunga Pyrentrum Aneraria Forium (Ekha, 1988). Tahun 1942 merupakan awal dari gerakan revolusi kimia dalam bidang pertanian, dimana pada tahun itu telah berhasil diciptakan suatu pestisida buatan (sentetis) yang merupakan suatu bentuk persenyawaan yang memiliki gugus aktif. Pestisida pertama yang dibuat adalah dengan menggunakan senyawa kimia aktif DDT (Dikhloro Difenil Trikhloroetana), dan kemudian diikuti oleh bermacam-macam jenis lainnya.
Ternyata kemudian, senyawa aktif yang merupakan senyawa kimia
majemuk dan memiliki daya racun sangat tinggi yang dimiliki oleh Pestisida DDT dan DDE (yang merupakan produksi pecahan pertama dari DDT) tidak dapat terurai dalam beberapa tahun. Secara relatif, dari pestisida tersebut tidak larut dalam air, akan tetapi larut pada lemak dan senyawa lipid lainnya serta menempel kuat pada partikel-partikel, sehingga perlakuan-perlakuan pertanian dengan menggunakan DDT dan DDE sebagai pestisida di kemudian hari mengakibatkan keracunan terhadap manusia yang mengkonsumsi hasilnya (Palar, 1994). DDT bersifat toksik terhadap mamalia, dan mungkin bersifat karisinogen. Insektisida ini sangat bersifat presisten dan terakumulasi dalam rantai makanan, sehingga tidak boleh digunakan lagi (Achmad, 2004). Penggunaan pestisida di Indonesia telah dilakukan sejak sebelum PD II untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Penggunaan di sub sektor tanaman pangan dan hortikultura meningkat sangat pesat sejak dilakukan program bimbingan masal (Bimas) tanaman padi pada akhir dasawarsa 1960-an. Program
Universitas Sumatera Utara
15
Bimas sebagai upaya untuk meningkatkan produksi pertanian merupakan teknologi berprpduksi yang dikenal sebagai Pancausaha, yaitu (1) penanaman varietas unggul, (2) pengolahan tanah yang baik, (3) pemupukan berimbang, (4) pengairan dan (5) pengendalian hama. Pada awal dilaksanakannya program Bimas, usaha pengendalian hama terutama dilakukan dengan menggunakan pestisida.
Hal ini antara lain
disebabkan terbatasnya teknologi pengendalian OPT pada waktu itu. Teknologi pengendalian OPT yang dianggap peling menjanjikan harapan adalah penggunaan pestisida (Rahayuningsih, 2009).
2.2.2. Pengertian pestisida Pestisida berasal dari kata pest yang berari hama dan sida berasal dari kata
caido yang berarti pembunuh. Dengan demikian pestisida merupakan substansi kimia yang digunakan membunuh ataupun mengendalikan berbagai hama. Menurut pengertian secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai suatu bahan yang digunakan untuk pengendalian populasi jasad hidup yang dianggap sebagai hama dalam arti yang merugikan kepentingan manusia (Hanindipto,1989, dalam Rahayuningsih 2009 ). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 258/MENKES/PER/III/1992,
tentang
Persyaratan
Kesehatan
Pengelolaan
Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk : 1. Membrantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagaian-bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian; 2. Memberantas rerumputan;
Universitas Sumatera Utara
16
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tenaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk golongan pupuk; 4. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan. 5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak. 6. Memberantas hama-hama air. 7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan, dan dalam alat-alat pengangkutan. 8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan penyakit manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air. Djojosumarto (2008) mengemukaan bahwa sebagai produk perlindungan tanaman, pestisida pertanian meliputi semua zat kimia, atau bahan-bahan lain (ekstrak tumbuhan, mikroorganisme, dan hasil fermentasi) yang digunakan untuk keperluan berikut : 1. Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT). Sebagai contoh insektisida, akarisida, fungisida, nematisida, moluskisida, dan herbisida. 2. Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat pertumbuhan dan mengeringkan tanaman. Sebagai contoh zat pengatur tumbuh, deofoliant (senyawa kimia untuk mengontrol daun), dan dessicant (senyawa untuk mengeringkan daun). Dalam pengertian sehari-hari OPT dibagi menjadi tiga kelompok berikut. 1. Hama (serangga, tungau, hewan menyusui, burung, dan moluska).
Universitas Sumatera Utara
17
2. Penyakit (jamur, bakteri, virus dan nematode). 3. Gulma atau tumbuhan pengganggu.
2.2.3. Pengertian residu pestisida Residu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari penggunaan pestisida.
Istilah ini mencakup senyawa turunan
pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologis (Komisi Pestisida, 1997). Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 24/ Permentan/ SR.140/ 4/2011 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, pengertian residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah.
2.2.4. Jenis-jenis pestisida Wudianto (2011) mengemukakan dari banyaknya jasad pengganggu yang bisa mengakibatkan fatalnya hasil pertanian, pestisida diklasifikasikan menjadi beberapa macam sesuai dengan sasaran yang akan dikendalikan, yaitu : 1. Insektisida Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga. Serangga adalah binatang yang 26 % spesiesnya merugikan manusia karena herbivor atau fitofak, sedang sebagian lainnya merugikan manusia karena menyebarkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Walau demikian ada pula
Universitas Sumatera Utara
18
serangga yang sangat penting misalnya serangga penyerbuk (pollinator), pengurai (decomposer),predator dan parasitosid pada serangga lain, penghasil bahan berguna (lebah madu), dan sebagainya. 2. Fungisida Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan. Pada umumnya cendawan berbentuk seperti benang halus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Namun, kumpulan dari benang halus ini yang disebut miselium bisa dilihat dengan jelas. 3. Bakterisida Disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri. Serangan bakteri pada tanaman cukup merugikan petani. Tumbuhan tingkat rendah yang sangat kecil ini dilihat dari bentuknya ada yang bulat, berbentuk batang, dan spiral. Panjangnya 0,15-6 mikron dan berkembang biak dengan membelah diri. 4. Nematisida Nematoda yang bentuknya seperti cacing kecil ini ada yang panjangnya lebih dari 1 cm walaupun pada umumnya panjangnya kurang dari 200 sampai 1000 milimikron. Racun yang dapat mengendalikan nematoda ini disebut dengan nematisida. Umumnya nematisida berbentuk butiran yang penggunaannya bisa dengan cara ditaburkan atau dibenamkan dalam tanah. Walaupun demikian ada pula yang berbentuk larutan dalam air yang penggunaannya dengan cara disiramkan.
Universitas Sumatera Utara
19
5. Akarisida Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungu, caplak, dan laba-laba.
Tungu adalah binatang kecil yang
besarnya kurang dari 0,5 mm, berkaki 8, dan berkulit lunak dengan kerangka khitin. Warnanya bermacam-macam, ada yang merah, kuning, ada pula yang hijau. 6. Rodentisida Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus. 7. Moluskisida Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu siput telanjang, siput setengah telanjang, sumpil, bekicot, serta trisipan yang banyak terdapat di tambak. 8. Herbisida Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma. Kehadiran gulma dalam areal pertanaman sangat tidak dikehendaki karena menyaingi tanaman yang ditanam dalam memperoleh unsur hara, air dan matahari. Selain beberapa jenis pestisida di atas masih banyak jenis pestisida lain. Namun, karena kegunaannya jarang maka produsen pestisida pun belum banyak
Universitas Sumatera Utara
20
yang menjual, sehingga di pasaran bisa dikatakan sulit ditemukan.
Pestisida
tersebut adalah sebagai berikut : a. Pisisida, adalah bahan senyawa kimia beracun untuk mengendalikan ikan mujair yang menjadi hama di dalam tambak dan kolam. b. Algisida, merupakan pestisida pembunuh ganggang. c. Avisida, merupakan pestisida pembunuh burung. d. Larvisida, adalah pestisida pembunuh ulat. e. Pedukulisida, merupakan pestisida pembunuh kutu. f. Silvisida,
pestisida pembunuh pohon hutan atau pembersih sisa-sisa
pohon. g. Ovisida, merupakan pestisida perusak telur. h. Piscisida, merupakan pestisida pembunuh predator. i. Termisida, merupakan pestisida pembunuh rayap. j. Arborisida, merupakan pestisida pembunuh pohon, semak, dan belukar. k. Predasida, merupakan pestisida pembunuh hama vertebrata.
2.2.5. Formulasi pestisida Formulasi adalah campuran bahan aktif dengan bahan tambahan dengan kadar dan bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja sebagai pestisida sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Bahan aktif adalah bahan kimia sintetik atau bahan alami yang terkandung dalam bahan teknis atau formulasi pestisida yang memiliki daya racun atau pengaruh biologis lain terhadap organisme sasaran (Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 24/Permentan/SR.140/4/2011 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida).
Universitas Sumatera Utara
21
Formulasi pestisida yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient). Jika dilihat dari strukturnya kimianya, bahan aktif bisa digolongkan menjadi kelompok organik sintetik, organik alamiah, dan inorganik. Bahan aktif ini jenisnya sangat banyak sekali. Tahun 1986 Badan Proteksi Lingkungan Amerika Serikat mencatat ada 2.600 bahan aktif yang sudah dipasarkan.
Dan diseluruh dunia ada 35.000
formulasi atau merek dagang (Wudianto, 2011). Di Indonesia ada bahan aktif pestisida yang dilarang dan ada bahan aktif pestisida terbatas, yang diatur melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 01/Permentan/OT.140/1/2007 tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida Yang Dilarang Dan Pestisida Terbatas.
Bahan aktif pestisida yang dilarang
sebagaimana yang dimaksud dalam lampiran I Peraturan Menteri Pertanian tersebut adalah seperti yang dicantumkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Jenis-jenis bahan aktif yang dilarang untuk semua bidang penggunaan pestisida No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Bahan Aktif 2, 4, 5 - Triklorofenol 2, 4, 5 - Triklorofenol Natrium 4 - Brom - 2, 5 - diklorofenol Aldikarb Aldrin 1,2-Dibromo-3-kloropropan (DBCP) Cyhexatin Dikloro difenil trikloroetan (DDT) Dieldrin 2, 3 - Diklorofenol 2, 4 - Diklorofenol 2, 5 - Diklorofenol Dinoseb Ethyl p-nitrophenyl Benzenethiophosnate (EPN) Endrin Etilen dibromida (EDB) Fosfor kuning (Yellow Phosphorus) Heptaklor
CAS No 93-76-5 95-95-4 4824-78-6 116-06-03 309-00-2 96-12-8 13121-70-5 50-29-3 60-57-1
88-85-7 2104-64-5 106-93-4 72-20-8 76-44-8
Universitas Sumatera Utara
22
Tabel 2.1. Lanjutan No. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Bahan Aktif
CAS No
Kaptafol Klordan Klordimefon Leptopos Lindan Metoksiklor Mevinfos Monosodium metan arsonat (MSMA) Natrium klorat Natrium tribromofenol Metil parathion Pentaklorofenol (PCP) dan garamnya Senyawa arsen Senyawa merkuri
2425-06-1 57-74-9 19750-95-9 21609-90-5 608-73-1 72-43-5 26718-65-0 2163-80-6 7775-09-9 298-00-0 87-86-5 1327-53-3 10112-91-1, 7546-30-7, 7487-94-7, 21908-53-2
33. Strikhnin 34. Telodrin 297-78-9 35. Toxaphene 8001-35-2 36. Mireks 2385-85-5 Sumber : Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 01/Permentan/OT.140/1/2007
Jenis-jenis bahan aktif
yang dilarang untuk pestisida rumah tangga,
hygiene dan sanitasi yang digunakan untuk pengendalian serangga rumah tangga adalah diklorvos dan klorpirifos. Bahan aktif pestisida yang ditetapkan sebagai pestisida terbatas, sesuai isi Lampiran II Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 01/Permentan/OT.140/1/2007 tentang Daftar Bahan Aktif Pestisida Yang Dilarang Dan Pestisida Terbatas tersebut, adalah : 1. Alumunium Fosfida 2. Parakuat Diklorida 3. Seng Fosfida 4. Magnesium Fosfida 5. Metil Bromida Bentuk pestisida yang merupakan formulasi ini ada berbagai macam. Formulasi ini perlu dipertimbangkan oleh calon konsumen sebelum membeli
Universitas Sumatera Utara
23
untuk disesuaikan dengan kesediaan alat yang ada, kemudahan aplikasi, serta efektifitasnya. Berikut beberapa formulasi atau bentuk pestisida yang beredar di Indonesaia (Wudianto, 2011) : 1. Tepung hembus, debu (dust = D) Bentuknya tepung kering yang hanya terdiri atas bahan aktif, misalnya belerang, atau dicampur dengan pelarut aktif yang bertindak sebagai karier, atau dicampur bahan-bahan organik seperti tepung tempurung tanaman, walnut, mineral profit, bentoit, atau talk. Kandungan bahan aktifnya rendah, sekitar 2 - 10%. Dalam penggunaannya pestisida ini harus dihembuskan menggunakan alat khusus yang disebut duster. 2. Butiran (granula = G) Pestisida ini berbentuk butiran padat yang merupakan campuran bahan aktif berbentuk cair dengan butiran yang mudah menyerap bahan aktif. Bagian luarnya ditutup dengan suatu lapisan. Penggunaannya cukup ditaburkan atau dibenamkan di sekitar perakaran tanaman atau dicampur dengan media tanaman.
Butiran ini akan larut dalam air
secara pelan-pelan. Dengan sifatnya ini, pestisida jenis ini tidak mudah tercuci oleh air siraman sehingga residunya tahan lama di dalam tanah. Walau demikian, dalam air sawah atau saat hujan lebat, granula sangat tidak sesuai untuk digunakan. Contoh pestisida yang berbentuk granula adalah; insektisida dan nematisida Furadan 3G, insektisida, nematisida, dan fungisida Basamid 3 G, dan herbisida kontak pratumbuh Goal 2 G.
Universitas Sumatera Utara
24
3. Tepung yang dapat disuspensikan dalam air (wattable powder = WP) Pestisida berbentuk tepung kering agak pekat ini belum bisa secara langsung digunakan untuk memberantas jasad sasaran, harus terlebih dahulu dibasahi air. Kandungan bahan aktifnya 50-85 %. Pestisida berbentuk WP ini cukup banyak diperdagangkan. Misalnya insektisida ; Confidor 5 WP, Garavox 20 WP, dan Dimilin 25 WP; fungsida; Antracol 70 WP, Fodicur 25 WP, dan Dithane M-45 80 WP; herbisida; Gesapax 80 WP, Gesaprim 80 WP, dan Hyvar 80 WP; akarisida; Morestan 25 WP; dan bakterisida; Agrept 20 WP dan Agrimycin 15/1,5 WP. 4. Tepung yang larut dalam air (water-solube powder = SP) Pestisida berbentukm SP ini sepintas mirip WP. Penggunaannya pun ditambahkan air. Perbedaannya terletak pada kelarutannya. Bila WP tidak bisa terlarut dalam air, SP bisa larut dalam air. Kandungan bahan aktifnya biasanya tinggi. Insektisida Dicarazol 25 SP dan herbisida Target 25/38 SP merupakan contoh formulasi ini. 5. Suspensi (flowable concentrate = F) Formulasi ini merupakan campuran bahan aktif yang ditambah pelarut serbuk yang dicampur dengan sedikit air.
Campuran ini dapat
tercampur air dengan baik dan mempunyai sifat yang serupa dengan formulasi WP yang ditambah sedikit air. Contoh herbisida Gesapax 500 F dan Fungisida Dithane 430 F.
Universitas Sumatera Utara
25
6. Cairan (emulsifitable concentrate = EC) Bentuk pestisida ini adalah cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan
aktif
dengan
perantara
emulsi
(emulsifier).
Dalam
penggunaannya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairan semprotnya disebut emulsi. Bentuk EC ini paling banyak dijumpai di pasaran. Sebagai contoh insektisida Agrimec 18 EC dan Decis 2,5 EC; fungisida Afugan 300 EC; dan akrasida Meothrin 50 EC. 7. Ultra Low Volume (ULV) Pestisida bentuk ini merupakan jenis khusus dari formulasi S (solution). Bentuk murninya merupakan cairan atau bentuk padat yang larut dalam solven minimum. Biasanya digunakan
pada areal yang
sulit
memperoleh air. Sebagai contoh insektisida Sumialpha 10 ULV. 8. Solution (S) Solution merupakan formulasi yang dibuat dengan melarutkan pestisida ke dalam pelarut organik dan dapat digunakan dalam pengendalian jasad pengganggu secara langsung tanpa perlu dicampur dengan bahan lain. Formula ini hampir tidak ditemui. Satu-satunya adalah Gramoxon S yang merupakan herbisida kontak purna tumbuh. 9. Aerosol (A) Aerosol merupakan formulasi yang terdiri dari campuran bahan aktif berkadar rendah dengan zat pelarut yang mudah menguap (minyak) kemudian dimasukkan ke dalam kaleng yang diberi tekanan gas
Universitas Sumatera Utara
26
propelan. Formulasi jenis ini banyak digunakan di ruma tangga, rumah kaca, atau pekarangan. Contohnya insektisida Baygon dan Raid. 10. Umpan beracun (poisonus bait = B) Umpan beracun merupakan formulasi yang terdiri dari bahan aktif pestisida digabungkan dengan bahan lainnya yang disukai oleh jasad pengganggu. Contohnya Rodentisida Klerat dan Ramortal 12B. 11. Powder concentrate (PC) Formulasi berbentuk tepung ini biasanya tergolong Rodentisida yaitu untuk membrantas tikus. Penggunaannya dicampur dengan umpan dan dipasang di luar rumah. Contoh formulasi ini yaitu Racumin, Diphacin, dan Silmurin. 12. Ready Mix Bait (RMB) Formulasi ini berbentuk segi empat (blok) besar dengan bobot 300 gram dan blok kecil dengan bobot 10-20 gram serta pelet. Bahan aktifnya rendah, antara 0,003-0,005 %. Contoh Klerat RMB. 13. Pekatan yang dapat larut dalam air (Water Soluble Concentrate = WSC) Merupakan formulasi berbentuk cairan yang larut dalam air. Hasil pengencerannya dengan air disebut dengan larutan. Contoh formulasi ini ialah Defence 200/130 WSC yang merupakan bahan pengawet kayu untuk mengendalikan jamur biru pada kayu gergajian. 14. Seed Treatment (ST) Formulasi ini berbentuk tepung. Penggunaannya dicampur dengan sedikit air sehingga terbentuk suatu pasta.
Untuk perlakuan benih
digunakan formulasi ini. Larvin 250 ST merupakan formulasi untuk
Universitas Sumatera Utara
27
mengendalikan hama lalat bibit Agromyza sp. pada bibit kedelai. Contoh lain adalah Marshal 25 ST yang berfungsi untuk mengendalikan lalat bibit.
2.2.6. Penggolongan pestisida Pestisida dapat digolongkan menurut penggunaannya dan disubklasifikasi menurut jenis bentuk kimianya. Dari bentuk komponen bahan aktifnya maka pestisida dapat dipelajari efek toksiknya terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya dalam lingkungan yang bersangkutan (Darmono, 2008), yaitu : a. Organophosphat Lebih dari 50.000 komponen organophosphate telah disynthesis dan diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenis saja dewasa ini. Semua produk organophosphate tersebut berefek toksik bila tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin,
edroprium
dan
neostigmin
kholinomimetik (efek seperti asetyl kholin).
yang
digunakan
utuk
aktivitas
Obat tersebut digunakan untuk
pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik (misalnya; trisyklik anti depressant, atrophin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.
Universitas Sumatera Utara
28
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia. Bila termakan, meskipun dalam jumlah sedikit saja, dapat menyebabkan kematian. Wudianto (2011) mengemukakan bahwa sebagian besar bahan aktif golongan organofosfat sudah dilarang beredar di Indonesia, misalnya diazinon, fention, fenitroteion, fentoat, klorpirifos, kuinalfos, dan malation, sedangkan bahan aktif lainnya masih diijinkan. Bahan aktif dari golongan ini cukup banyak digunakan beberapa jenis pestisida. Contoh nama formulasi yang menggunakan bahan aktif golongan organofosfat adalah: • herbisida : Scout 180/22 AS, Polaris 240 AS, Roundup 75 WSG. • fungisida : Kasumiron 25/l WP, Afugan 300 EC, Rizolex 50 WP. • insektisida : Curacron 500 EC, Voltage 560 EC, Tokuthion 500 E. b. Karbamat Insektisida karbamat telah berkembang setelah organofosfat. Insektisida ini biasanya daya toksisitasnya rendah terhadap mamalia dibandingkan dengan organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Mekanisme toksisitas dari karbamate adalah sama dengan organofosfat, dimana enzim achE dihambat dan mengalam karbamilasi. Wudianto (2011) mengemukakan bahwa bahan aktif yang termasuk golongan karbamat antara lain karbaril dan metomil yang telah dilarang penggunaannya. Namun, masih banyak formulasi pestisida berbahan aktif lain dari golongan karbamat. Sebagai contoh fungsida Previcur-N, Topsin 500F, dan Enpil 670 EC; insektisida Currater 3 G, Dicarzol 25 SP. Bahan aktif ini bila
Universitas Sumatera Utara
29
masuk dalam tubuh akan menghambat enzim kholinesterase, seperti halnya golongan organophosphat. c. Organoklorin Organoklorin atau disebut “Chlorinated hydrocarbon” terdiri dari beberapa kelompok yang diklasifikasi menurut bentuk kimianya. Yang paling populer dan pertama kali disinthesis adalah “Dichloro-diphenyl-trichloroethan” atau disebut DDT. Klasifikasi insektisida organokhlorin, seperti yang dicantumkan dalam Tabel 2.2 berikut : Tabel 2.2. Klasifikasi insektisida organokhlorin Kelompok Cyclodienes
Komponen Aldrin,
Chlordan,
Dieldrin,
Heptachlor,
endrin, Toxaphen, Kepon, Mirex. Hexachlorocyclohexan
Lindane
Derivat Chlorinated-ethan
DDT
Sumber : Darmono, 2008
Mekanisme toksisitas dari DDT masih dalam perdebatan, walaupun komponen kimia ini sudah disinthesis sejak tahun 1874. Tetapi pada dasarnya pengaruh toksiknya terfokus pada neurotoksin dan pada otak. Saraf sensorik dan serabut saraf motorik serta kortek motorik adalah merupakan target toksisitas tersebut.
Dilain pihak bila terjadi efek keracunan perubahan patologiknya
tidaklah nyata. Bila seseorang menelan DDT sekitar 10mg/Kg akan dapat menyebabkan keracunan, hal tersebut terjadi dalam waktu beberapa jam. Perkiraan LD50 untuk manusia adalah 300-500 mg/Kg. DDT dihentikan penggunaannya sejak tahun 1972, tetapi penggunaannya masih berlangsung sampai beberapa tahun kemudian, bahkan sampai sekarang residu DDT masih dapat terdeteksi.
Universitas Sumatera Utara
30
Wudianto (2011) mengemukakan bahwa sebagian beberapa bahan aktif golongan organoklorin juga dilarang penggunaannya di Indonesia, misalnya dieldrin, endosulfan, dan klordan. Nama formulasi dari golongan organoklorin yang beredar di Indonesia adalah herbisida Garlon 480 EC dan fungisida Akofol 50 WP. Cara kerja racun ini dengan mempengaruhi sistem syaraf pusat. Direktorat Sarana Produksi Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (2010) mengemukakan bahwa untuk jenis pestisida insektisida dapat dibagi menjadi bermacam golongan sesuai dengan bahan aktifnya, antara lain ; Amidin, Avermectin, Benzoyl, Urea, Diasil hidrazin, Difenil, Fenil-pirazol,
Juvenile
harmonic,
Karbamat,
Neonicotinoid,
Neristoksin,
Organofosfat, Piretroid dan Pirol. Untung (2001) mengemukakan bahwa insektisida dapat dikelompokkan dalam beberapa cara menurut cara masuknya dalam tubuh serangga, dan menurut sifat kimianya. Menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga, insektisida dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu racun perut, racun kontak, dan fumigan. Menurut sifat dasar senyawa kimianya, insektisida dapat dibagi menjadi insektisida anorganik yang tidak mengandung unsur karbon dan insektisida organik yang mengandung unsur karbon. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik sintetik. Pembagian insektisida organik sintetik menurut susunan kimia bahan aktif (senyawa yang memiliki sifat racun) terdiri dari 4 kelompok besar yaitu organoklorin, organofosfat, karbamat, dan piretroid sintetik. Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik konvensional yang paling baru, digunakan secara luas sejak tahun1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat.
Universitas Sumatera Utara
31
Keunggulan piretroid sintetik karena memiliki pengaruh knock down atau menjatuhkan serangga dengan cepat, tingkat toksisitas rendah bagi manusia. Beberapa piretroid yang termasuk generasi keempat yang saat ini juga ada yang sudah diijinkan di Indonesia antara lain sipermetrin, flusitrinit, fluvalinat, deltametrin (Untung, 2001).
2.2.7. Proses masuknya pestisida ke lingkungan Manuaba (2009) mengemukaan bahwa transfer pestisida ke lingkungan dapat terjadi melalui cara: 1. Adsorpsi, adalah terikatnya pestisida dengan partikel-partikel tanah. Jumlah pestisida yang dapat terikat dalam tanah bergantung pada jenis pestisida, kelembaban, pH, dan tekstur tanah. Pestisida dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berlempung ataupun tanah yang kaya bahanbahan organik, sebaliknya pestisida tidak dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berpasir. Adsorpsi pestisida yang kuat di dalam tanah mengakibatkan tidak terjadi penguapan sehingga tidak menimbulkan perncemaran terhadap air tanah maupun air danau. 2. Penguapan, adalah suatu proses perubahan bentuk padat atau cair ke bentuk gas, sehingga dalam bentuk gas bahan tersebut dapat bergerak dengan bebas ke udara sesuai dengan pergerakan arah angin. Kehilangan akibat pengupan ini dapat menghancurkan tanaman yang jauh dari tempat dimana pestisida tersebut digunakan. Pestisida dapat menguap dengan mudah disamping memang pestisidanya bersifat mudah menguap, juga
Universitas Sumatera Utara
32
sebagai akibat dari tanahnya yang berpasir dan basah. Cuaca yang panas, kering dan berangin juga mempercepat terjadinya penguapan pestisida. 3. Kehilangan pestisida saat aplikasi adalah kehilangan yang disebabkan terbawanya pestisida oleh angin saat disemprotkan. Kehilangan ini dipengaruhi oleh ukuran butiran semprotan, semakin kecil ukuran butiran semakin tinggi kemungkinannya untuk hilang, kecepatan angin, jarak antara lubang penyemprotan dengan tanaman target. Pestisida yang hilang atau
tidak
mengenai
target
ini
dapat
membahayakan
atau
mengkontaminasi tanaman lain, bahkan dapat membahayakan orang lain, ternak ataupun hewan bukan target. Demikian juga, pestisida ini dapat mencemari danau, sungai sehingga membahayakan biota yang ada di dalamnya. 4. Limpasan akhir, adalah terbawanya pestisida bersama-sama aliran air menuju daerah yang lebih rendah. Pestisida yang terbawa ini dapat bercampur dengan air atau terikat dengan tanah erosi yang ikut terbawa. Banyaknya pestisida yang terbawa ini dipengaruhi oleh: kecuraman lokasi, kelembaban tanah, curah hujan, dan jenis pestisida yang digunakan. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pestisida akan dapat mencemari aliran air, sungai, danau, sumur maupun air tanah. Residu cemaran pestisida pada permukaan air dapat membahayakan tanaman, biota dan juga dapat mencemari air tanah. 5. Rembesan, adalah perpindahan pestisida dalam air di dalam tanah. Perembesan dapat terjadi ke seluruh penjuru, ke bawah, atas dan samping. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perembesan adalah sifat-
Universitas Sumatera Utara
33
sifat pestisida dan tanah, dan interaksi pestisida dengan air seperti saat terjadinya hujan ataupun irigasi saat musim tanam. Proses perembesan dapat meningkat bila pestisidanya bersifat mudah larut dalam air, tanahnya berpasir, turun hujan saat penggunaan pestisida, dan pestisidanya teradsorpsi dengan kuat dalam tanah. Rahayuningsih (2009) mengemukakan, perilaku pestisida selama di tanah dikelompokkan menjadi dua proses, yaitu proses perpindahan massa dan proses peruraian. Proses perpindahan massa terdiri atas perpindahan massa antarfase (fase air dengan fase udara, fase air dengan fase tanah, fase tanah dengan fase udara, dan fase masing-masing dengan makhluk hidup). Disamping itu, pada setiap fase juga terjadi proses perpindahan massa dan proses peruraian. Proses peruraian dapat terjadi secara kimia, biokimia, dan fotolisis. Dengan demikian, perilaku pestisida di tanah merupakan peristiwa yang sangat rumit karena mencakup sangat banyak proses perpindahan massa dan peruraian yang berlangsung secara serempak, serta banyak faktor yang mempengaruhi proses-proses tersebut. Ditinjau dari sudut pandang kegunaannya, peristiwa yang rumit dapat disederhanakan selama tidak mengurangi esensi peristiwa yang terjadi. Contoh penyederhanaan masalah yang dilakukan pada perilaku pestisida selama di tanah sawah digambarkan secara skematis pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
34
Gambar 2.1. Perilaku pestisida selama di tanah sawah yang diserdahanakan
Rahayuningsih (2009) mengemukakan, bahwa : 1. Fase tanah dapat mengakumulasikan pestisida dengan kosentrasi yang tinggi, karena tanah mempunyai daya sorpsi yang tinggi, disamping itu sebagian besar pestisida bersifat hidrofobik; 2. Peruraian pestisida di fase padatan tanah lebih dominan dari pada di fase air, karena padatan tanah mengandung berbagai senyawa yang bersifat sebagai katalis dan juga merupakan tempat mikroorganisme menempel; 3. Perilaku pestisida di fase tanah sawah adalah yang paling berperan dalam pencemaran air tanah.
Universitas Sumatera Utara
35
2.3. Toksisitas Pestisida Oka (2005) mengemukakan bahwa unit untuk mengukur derajat keracunan akut oral atau dermal pestisida adalah miligram bahan aktif pestisida tertentu terhadap hewan percobaan seperti tikus atau kelinci. Dipergunakan nilai dosis
letal 50 (LD50) ialah suatu estimasi statistik dari dosis pestisida yang akan membunuh 50% hewan percobaan di bawah kondisi tertentu. Nilai LD50 : miligram dari bahan aktif per kg berat badan (mg/kg). Dari hasil-hasil percobaan tersebut pestisida dapat diklasifikasi dalam kelas yang sangat berbahaya sekali, berbahaya sekali, cukup berbahaya dan sedikit berbahaya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 258/MENKES/PER/III/1992,
tentang
Persyaratan
Kesehatan
Pengelolaan
Pestisida, pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk fisik, jalan masuk ke dalam tubuh dan racunnya, menjadi 4 (empat) kelas yaitu : i. Kelas Ia : Pestisida yang sangat berbahaya sekali ii. Kelas Ib : Pestisida yang sangat berbahaya iii. Kelas II : Pestisida yang berbahaya iv. Kelas III : Pestisida yang cukup berbahaya Kriteria klasifikasi pestisida berdasarkan bentuk fisik, jalan masuk ke dalam tubuh dan daya racunnya, diuraikan dalam lampiran 1 peraturan tersebut, yakni seperi yang dicantumkan pada (Tabel 2.3.) berikut :
Universitas Sumatera Utara
36
Tabel 2.3. Kriteria klasifikasi pestisida berdasarkan bentuk fisik, jalan masuk ke dalam tubuh dan daya racunnya LD50 untuk tikus (mg/kg berat badan) Oral Dermal Padat Cair Padat Cair
Klasifikasi
I.a. Sangat berbahaya sekali
<5
< 20
< 10
< 40
5 - 50
20 - 200
10 - 100
40 - 400
50 - 500
200 - 2000
100 - 1000
400 - 4000
> 500
> 2000
> 1000
> 4000
b. Sangat berbahaya II. Berbahaya III. Cukup berbahaya
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor 258/MENKES/PER/III/1992
2.4. Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Lingkungan Hidup Djojosumarto (2008) mengemukaan bahwa dampak penggunaan pestisida bagi lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. 1. Bagi lingkungan umum a. Pencemaran lingkungan (air, tanah, dan udara). b. Terbunuhnya organism non-target karena terpapar secara langsung. c. Terbunuhnya organism non-target karena pestisida memasuki rantai makanan. d. Menumpuknya pestisida dalam jaringan tubuh organisme melalui rantai makanan (biokumulasi). e. Pada kasus pestisida yang persisten (bertahan lama), konsentrasi pestisida dalam tingkat trofik rantai makanan semakin ke atas akan semakin tinggi (biomagnifikasi). f. Penyerderhanaan rantai makanan alami. g. Penyederhanaan keanekaragaman hayati.
Universitas Sumatera Utara
37
h. Menimbulkan efek negatif terhadap manusia secara tidak langsung melalui rantai makanan.
2. Bagi lingkungan pertanian a. Organisme pengganggu tanaman (OPT) menjadi kebal terhadap suatu pestisida (timbul resistensi OPT terhadap pestisida). b. Meningkatnya
populasi
hama
setelah
penggunaan
pestisida
(resurjensi hama). c. Timbulnya hama baru, bisa hama yang selama ini dianggap tidak penting maupun hama yang sama sekali baru. d. Terbunuhnya musuh alami hama. e. Perubahan flora, khusus pada penggunaan herbisida. f. Fitoksik (meracuni tanaman).
2.5. Gejala Keracunan Pestisida Wudianto (2011) mengemukakan bahwa, setiap golongan bahan aktif yang dikandung pestisida menimbulkan gejala keracunan yang berbeda-beda. Namun, ada pula gejala yang ditimbulkan mirip, misalnya gejala keracunan pestisida Karbamat sama dengan gejala keracunan golongan Organofospat. Gejala keracunan golongan Organofospat antara lain, timbul gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak napas, otot tidak bisa digerakkan dan akhirnya pingsan. Gejala keracunan Karbamat sama dengan yang ditimbulkan oleh pestisida Organofospat,
Universitas Sumatera Utara
38
hanya saja berlangsung lebih singkat karena golongan ini cepat terurai dalam tubuh. Secara umum gejala keracunan akibat menggunakan pestisida dapat dipedomanani dari cara mengatasi keracunan pestisida, yaitu menghentikan kegiatan menggunakan pestisida apabila tubuh terasa kurang enak misalnya pusing, mual, kulit panas dan gatal serta mata berkunang-kunang. Beberapa saat kemudian bisa terjadi tubuh terasa lemas sukar tidur, gangguan perut, keringat tidak wajar dan gugup (Wudianto, 2011). Keracunan khronik merupakan penderita terkena racun dalam waktu jangka panjang dengan dosis yang sangat rendah. Gejala keracunan ini baru terlihat selang beberapa waktu (bulan atau tahun) setelah penderita terkena racun. Dari banyak percobaan yang dilakukan pada binatang percobaan di laboratorium ada beberapa bentuk akibat keracunan khronik karena terkena insektisida yaitu dapat bersifat karsinogenik (pembentukan jaringan kanker), mutagenik (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), teratogenik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan). Meskipun kasus - kasus tersebut belum pernah dibuktikan secara langsung pada manusia tetapi bukti-bukti dari hewan uji semakin menambah kekhawatiran masyarakat bahwa pengaruh insektisida tersebut dapat juga terjadi pada manusia. Data tentang semakin banyaknya penderita kanker di pedasaan dan perkotaan semakin menambah kecurigaan masyarakat terhadap bahan pencemar lingkungan termasuk pestisida (Untung, 2001).
Universitas Sumatera Utara
39
2.6. Peraturan-Peraturan Yang Berkaitan Dengan Pestisida 1. Peraturan Pemerintah Nomor : 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida. 2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 258/ MENKES/PER/III/1992, tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Pestisida. 3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 07/Permentan/SR.140/2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Perstisida. 4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 02 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Sistem Elektronik Regrestrasi Bahan Berbahaya dan Beracun Dalam Kerangka Indonesia National Single Window di Kementerian Lingkungan Hidup. 5. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 763 Tahun 1998 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Tentang Pestisida. 6. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 42/Permenta/SR.140/5/2007 tentang Pengawasan Pestisida. 7. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 81/Kpts/SR.140/2/2007 tentang Perubahan Nama Formulasi, Nama Bahan Aktif, Dosis Aplikasi dan Jenis Pestisida. 8. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 276/Kpts/OT.160/4/2008 tentang Komisi Pestisida.
Universitas Sumatera Utara
40
Universitas Sumatera Utara