ANALISIS HEGEMONI KEKUASAAN DALAM NOVEL PABRIK KARYA PUTU WIJAYA
Agga Ramses Wijakangka Universitas Negeri Malang Abstrak Penelitian ini merupakan hasil penelaahan deskriptif anlisis tentang hegemoni kekuasaan dalam novel Pabrik karya Putu Wijaya yang tercermin melalui hubungan antar tokoh. Adapun permasalahan yang ingin diteliti adalah (1) Bagaimana deskripsi bentuk kekuasaan coercive power dan insentiv power pada novel Pabrik karya Putu Wijaya? (2) Bagaimanakah fungsi kekuasaan coercive power dan insentiv power pada novel Pabrik karya Putu Wijaya? (3) Bagaimanakah makna kekuasaan coercive power dan insentiv power pada novel Pabrik karya Putu Wijaya? Berdasarkan telaah lebih lanjut terhadap novel Pabrik, bentuk kekuasaan tergambar melalui tokoh Tirtoatmojo dan Tokoh Joni. (1) Bentuk coercive power, berupa pemaksaan kerja diluar jam kerja kepada para pembantu. Bentuk insentiv power dapat dipahami malauil imbalan tidak seimbang dengan pengorbanan para buruh. (2) Coercive power tersebut memiliki fungsi menciptakan kekuatan. Fungsi dari kekuasaan insentiv power dapat berupa membujuk para buruh agar mereka dapat dikuasai oleh pemegang kekuasaan. (3) makna Coercive power berupa kepatuhan yang diinginkan pemegang kekuasaan. Makna insentiv power dapat berupa kepatuhan para buruh yang diinginkan pemegang kekuasaan. Bentuk coercive power dan insentiv power berpengaruh terhadap kehidupan tokoh dalam novel Pabrik karya Putu Wijaya.
Kata kunci: analisis, kekuasaan, novel PENDAHULUAN Bahan untuk mewujudkan bentuk sastra adalah bahasa (Sumardjo, 1994:04). Dalam hal ini pengarang menggunakan bahasa sebagai media untuk mewujudkan suatu karya sastra. Karya sastra besar adalah karya seni yang memiliki keindahan dan memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya. Kebutuhan manusia terhadap keindahan adalah kodrat manusia. Seni pada umumnya dan sastra pada
khususnya adalah karya kebudayaan yang diciptakan manusia dan diperlukan manusia. Kebutuhan manusia tersebut adalah kebutuhan spiritual yang dipenuhi oleh agama dan seni (Sumardjo, 1994:09). Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan sendiri merupakan anggota masyarakat, dan terikat oleh status sosial tertentu (Damono, 1984:01). Melihat uraian ini sastra merupakan salah satu karya Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|187
kreatif manusia yang begitu indah, di dalamnya ada sebuah seni pengolahan bahasa yang dapat dipahami para pembaca. Sastra memiliki kelebihan yaitu, menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Manfaat karya sastra salah satunya adalah mengetahui gambaran kehidupan manusia itu sendiri Asumsi dasar penelitian ini berawal dari menariknya permasalahan yang diungkapkan dalam novel Pabrik. Novel ini mengungkap realitas masyarakat yang menggambarkan fenomena buruh. Para buruh tersebut terjebak dalam konflik kekuasaan yang di dalamnya ada pertarungan kelas. Sebuah pertaruangan antara dunia kapitalis yang berusaha menumpuk modal dengan kaum buruh sebagai yang tertindas. Dalam novel Pabrik terdapat kelas berkuasa dan yang dikuasai. Kelas yang berkuasa adalah tokoh pengusaha yang ada dalam cerita serta kaum buruh sebagai yang dikuasai. Kepemimpinan seorang pengusaha pabrik ini, juaga tidak berjalan sesuai dengan keinginan para buruh pabrik. Permasalahan yang disampaikan novel Pabrik memiliki kaitan erat dengan hegemoni. Untuk memperjelas bahwa hegemoni adalah fenomena kuat yang terkandung dalam novel Pabrik. Storey (dalam http://utchanovsky.com/ diakses 5 Agustus 2007) telah menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada proses sebagai berikut. “…sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan
intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.” Pernyataan Storey memberi penjelasan, bahwa hegemoni terjadi di dalam masyarakat, jika masyarakat tingkat atas memiliki kemampuan untuk memimpin. Masyarakat tingkat bawah hanya tunduk dan mau menerima apa saja perlakuan masyarakat tingkat atas. Pada akhirnya membentuk suatu lingkaran kekuasaan yang ada dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Weber (dalam Basrowi. 2005:110) menjelaskan, bahwa kekuasaan adalah seorang aktor dapat menguasai dirinya, meskipun dengan perlawanan tanpa memperhatikan resiko. Kekuasaan menyangkut kualitas individu dan kombinasi keadaan yang memungkinkan seseorang mengontrol lainya. Dapat disimpulkan bahwa kekuasaan adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memaksakan kehendaknya, kepada orang lain dengan tujuan orang lain mau menurutinya tanpa memperdulikan penentangan-penentangan yang terjadi. Fenomena hegemoni kekuasaan sangat kental terjadi dalam novel Pabrik. Di dalamya terdapat pertarungan antara pengusaha sebagai pihak pemilik pabrik (pihak yang berkuasa) dengan kaun buruh.
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|188
Tema seputar masalah kekuasaan tetap menarik untuk dikemukakan dan diaktualisasikan sepanjang kehidupan manusia karena kendati bersifat netral, pada praktiknya kekuasaan dapat menjadi negatif. Hal itu disebabkan oleh adanya kepentingan yang menggunakan kekuasaan untuk tujuan tertentu (Yoesoef, 2007:23). Uraian tersebut memberi penafsiran bahwa novel Pabrik memiliki fenomena yang menarik untuk dikaji. Fenomena tersebut terjadi dalam masyarakat, yaitu hegemoni kekuasaan menjadi dasar terjadinya konflik antara majikan dan buruh yang dihadirkan melalui tokoh-tokoh cerita dalam novel Pabrik Berdasarkan batasan masalah yang telah dijelaskan, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah deskripsi bentuk kekuasaan coercive power dan insentive power pada novel Pabrik karya Putu Wijaya? 2) Bagaimanakah fungsi kekuasaan coercive power dan insentive power pada novel Pabrik karya Putu Wijaya? 3) Bagaimanakah makna kekuasaan coercive power dan insentive power pada novel Pabrik karya Putu Wijaya? LANDASAN TEORI Sastra Dan Masyarakat Ian Watt (dalam Damono, 1984:03) yang membicarakan tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yang secara keseluruhan merupakan bagan sebagai berikut. Pertama, konteks sosial pengarang. Ini ada hubunganya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitanya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang juga mempengaruhi isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencaharianya. Apakah ia menerima bantuan apakah ia menerima bantuan dari pengayom (patrom), atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap. (b) profesionalisme dalam kepengarangan. Sejauh mana kepengarangan itu sebagai suatu profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Hubungan antara pengarang dan masyarakat dalam hal ini sangat penting, sebab sering didapati bahwa berbagai masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakat. Pengertian cermin disini sangat kabur, oleh karenanya banyak disalah artikan dan di salah gunakan. Yang mendapat perhatian adalah: (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia tulis, (b) sifat lain dari yang lain. Seorang pengarang serin mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|189
masyarakat secara teliti masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra, mengkaji tentang sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Maksudnya adalah bagaimana suatu karya sastra itu berkitan dengan penilaian masyarakat penikmat sastra itu sendiri. Hubungan timbal balik antara sastra, sastrawan, dan masyarakat terdapat beberapa unsur. Pertama adalah konteks sosial pengarang yang memiliki sangkut paut dengan posisi pengarang dengan masyarakat pembaca. Pokok utama yang harus diteliti, adalah bagaimana pengarang itu mendapat pekerjaanya, apakah sastrawan tersebut memiliki profesionalitas yang tinggi, kemudian masyarakat pembaca seperti apakah yang dituju oleh pengarang melalui karyanya. Kedua, yang diteliti adalah sastra sebagai cermin masyarakat, mengenai sejauh mana sebuah karya sastra tersebut dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat. Tetapi difokuskan pada sastra tidak dapat dikatakan cermin masyarakat pada waktu sastra itu ditulis, karena keadaan masyarakat dapat berubah saat penulisan. Ciri khas pengarang dapat mempengaruhi kenyataan sosial yang terdapat dalam karya sastra dengan keadaan yang sebenarnya. Jenis sastra sering merupakan tingkah laku jenis kelompok sosial tertentu dan bukan keseluruhan masyarakat. Kemudian sastra menggambarkan masyarakat seutuhnya bisa tidak dipercayai sebagai cermin masyarakat dan sastra yang menggambarkan masyarakat
sebagian dapat dipercayai sebagai cermin masyarakat. Ketiga, adalah fungsi sosial sastra, adalah bagaimana pengaruh sastra terhadap penilaian sosial. Bagaimana penilaian suatu cipta sastra tersebut di mata masyarakat. Penilaian itu bisa berupa baik atau buruknya suatu cipta sastra. Apakah ada pengaruh negatif atau positif terhadap moral masyarakat yang menilai. Kajian Sosiologi Sastra Menurut Wellek dan Waren telaah sosiologis mempunyai tiga klasifikasi, yaitu: (1) Sosiologi pengarang, mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut dari diri pengarang. (2) Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya. Karya sastra tersebut menjadi pokok telaah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan. (3) Sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial terhadap masyarakat (Semi, 1993:53). Jadi sosiologi sastra yang dikemukakan Wellek dan Weren yaitu melibatkan sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra dan sosiologi pembaca dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Sosiologi Pengarang Ditinjau dari sudut pandang pengarang, menulis adalah profesi atau paling tidak suatu kegiatan yang menghasilkan uang dan dilaksanakan dalam lingkup suatu sistem ekonomi, yang pengaruhnya terhadap penciptaan tidak diragukan (Eskarpit, 2005:04). Jika sastra dilihat dari segi kepengarangan, maka Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|190
menulis karya sastra adalah sebuah profesi yang berpenghasilan bagi seorang pengarang. Profesi tersebut dapat berpengaruh dengan bentuk cipta sastranya. Menurut Wellek dan Werren (dalam Saraswati, 2003:12-13) sosiologi pengarang profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang terjadi di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai mahkluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas kelingkungan tempat pengarang tinggal dan berasal. Dapat pula mengumpulkan informasi tentang latar belakang sosial, latar belakang keluarga, posisi ekonomi pengarang, dan juga dapat menunjukkan apa peran kelompok bangsawan, kaum borjuis, dan kaum proletar dalam sejarah sastra. Cakupan sosiologi pengarang adalah latar sosial, sumber ekonomi, dan ideologi. 2) Sosiologi Karya Sastra. Sosiologi karya sastra adalah suatu telaah yang mempermasalah suatu karya sastra itu sendiri. Karya satra tersebut menjadi yang utama untuk ditelaah tentang makna implisit dalam cerita sastra. Makna implisit tersebut merupakan tujuan atau amanat yang hendak diungkapkan pengarang dalam cerita sastra. Pandangan-pandangan Wellek dan Werren tentang sosiologi karya sastra mencakup pendekatan-pendekatan yang dapat diterapkan di dalam penelitian yaitu; (1) pendekatan umum yang dilakukan
terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial, (2) sastra dipakai sebagai dokumen sosial untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial, (3) penelusuran tipe-tipe sosial, (4) pendekatan linguistik, latar karya sastra yang paling dekat adalah tradisi linguistik dan sastranya (Saraswati, 2003:15-16). 3) Sosiologi Pembaca Permasalahan pembaca dan dampak karya sastra sejauh ini ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Saraswati, 2003:1617). Lebih lanjut, Aminuddin (1987:187) menyampaikan bahwa hubungan antara karya sastra dengan sosial masyarakat memiliki hubungan timbal balik. Pengarang dapat mengangkat kehidupan sosial masyarakat sebagai bahan penciptaannya, dan karya sastra yang diciptakan mampu menggambarkan kembali kehidupan sosial masyarakat pembaca, serta memberikan penilaian terhadap karya sastra tersebut. Penciptaan sastra dapat menceritakan kehidupan masyarakat, misalnya latar sosial atau tempat masyarakat itu diceritakan. Latar sosial seorang pencipta sastra juga mempengaruhi terciptanya sastra. Perubahan dan perkembangan masyarakat juga dapat diangkat ke dalam cerita sastra. Selera masyarakat terhadap cipta sastra dapat berubah seiring adanya perkembangan dan perubahan masyarakat sehingga dapat mempengaruhi terbentuknya suatu cipta sastra yang ikut menyesuaikan. Masyarakat sebagai penikmat atau pembaca sastra mampu memberikan penilain terhadap cipta sastra seorang pengarang.
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|191
Novel dan Unsur Pembangun Novel Dalam The american college dictionari dijumpai keterangan bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu. Melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut (Tarigan, 1986:164). Selanjutnya, Wolf (dalam Tarigan, 1986:164) memberi penjelasan, bahwa sebuah roman atau novel diutamakan pada eksplorasi atau suatu kronik penghidupan, merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau terciptanya gerak gerik manusia. Novel juga merupakan jenis sastra sedikit banyak memberikan gambaran tentang masalah kemasyarakatan. Novel tidak dapat dipisahkan dari gejolak atau keadaan masyarakat yang melibatkan penulisan dan pembacanya. Sehingga hampir pasti bahawa perkembangan masyarakat memainkan peranan penting dalam perkembangan novel sebagai karya sastra atau pun sebagai barang dagangan (Yudiono, 1986: 125). Pada pengertian ini novel juga merupakan karya sastra yang mengambil sisi kehidupan masyarakat. Pengarang berusaha menggambarkan bentuk kehidupan masyarakat yang dituangkan ke dalam bentuk novel. Sisi kehidupan masyarakat dalam novel sangat erat kaitanya dengan pengarang serta penikmat karya sastra. Sehingga masyarakat sangat berpengaruh juga terhadap suatu perkembangan novel. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur yang secara faktual akan dijumpai jika seseorang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 1995:23). Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri. Unsur itu dapat kita temukan ketika kita membaca suatu cipta sastra. Unsur intrinsik sangat berpengaruh dalam mengisi tatanan dunia dalam sebuah cipta sastra. Membentuk sebuah bentuk dengan sebutan tatanan cerita. Unsur-unsur tersebut sangat padu di dalam mengisi tatanan cerita suatu karya sastra. Di bawah ini akan dibahas beberapa unsur intrinsik yang membangun karya sastra salah satunya novel. Unsur-unsur intrinsik tersebut yaitu: 1) Tema Tema merupakan gagasan sentral pengarang yang mendasari penyusunan suatu cerita dan sekaligus menjadi sasaran dari cerita itu. Jadi, tema merupakan perpaduan antara pokok persoalan dan tujuan yang ingin dicapai pengarang lewat cerita. Tema merupakan barang abstrak. Oleh sebab itu, penentuanya harus memahami terlebih dahulu bagian-bagian yang mendukung cerita, yaitu tokoh dan perwatakannya, latarnya, susunannya,
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|192
alurnya dan persoalan yang dibicarakan (Hayati, 1990:13). Suatu cipta sastra sering mengambil tema seputar masalah yang ada dalam kehidupan nyata. Tema masalah kehidupan dianggap menarik untuk diceritakan dalam sastra. Pengarang (dalam Nurgiyantoro, 1995:71) memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksi dengan lingkungan. Tema sebuah sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Dalam karya sastranya, pengarang berusaha menyajikan kejadian-kejadian dalam kehidupan yang pernah ia alami, yang dia amati, perilaku diri dalam lingkungan dan melakukan hubungan dengan lingkungan. Tema kehidupan dalam sastra tersusun berdasarkan apa yang dialami pengarang dalam kehidupan. 2) Penokohan Tokoh cerita (caracter), menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:165) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dapat dipahami di sini, bahwa tokoh adalah gambaran seseorang atau orang-orang yang ditampilkan dalam sebuah karya novel yang memilik ciri khas tertentu. Penggambaran watak tokoh seorang pengarang dapat melakukanya dengan dua cara. Cara tersebut adalah cara eksposisi dan cara dramatik. Cara penggambaran dikatakan eksposisi apabila pengarang menerangkan secara langsung sifat-sifat
watak itu baik yang bersifat batiniah maupun lahiriah. Pengarang menggambarkan secara langsung kondisi badanya, umurnya, kesukaanya, kesopananya dan sebagainya. Sebaliknya cara penggambaran dikatakan dramatik apabila pengarang tidak secara langsung menjelaskan sifat-sifat watak tokoh, tetapi hanya memberikan gambaran tindakantindakan atau gerak-gerak setiap tokoh (Hayati, 1990:11-12). 3) Latar Cerita Latar atau landasan tumpu (setting) cerita adalah gambaran tempat, waktu, atau segala situasi di tempat terjadinya peristiwa. Latar ini erat hubunganya dengan tokoh atau pelaku dalam suatu peristiwa (Hayati, 1990:11). Stanton (dalam, Nurgiyantoro, 1995:217) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Unsur latar (dalam Nurgiyantoro, 1995:227-233) dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu, tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tesebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Latar tempat, menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa. (2) Latar waktu, berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. (3) Latar Sosial, berhubungan dengan hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. 4) Gaya Bahasa Cara khas yang digunakan pengarang untuk menyampaikan ide atau pemikiranJurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|193
pemikiran melalui karyanya, itulah yang dimaksud dengan gaya bahasa (Mafrukhi, 2007:94). Gaya bahasa juga dapat dikatakan alat tertentu yang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan pengarang sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik atau terpukau (Hayati, 1990:02). Sastra sebagai salah satu karya seni menggunakan bahasa sebagai media. Digunakan pengarang untuk mengungkapkan sesuatu dalam sebuah karya sastra, karena (dalam Nurgiyantoro, 1995:) gaya bahasa pada hakikatnya merupakan teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik tersebut merupakan ciri khas tersendiri dari seorang pengarang dalam mengolah bahasa menjadi sebuah seni sastra. Jadi, bahasa adalah unsur terpenting dalam menciptakan sastra, karena sastra merupakan seni pengolahan bahasa. Hegemoni Gramsci (dalam http://yudinopriansyah.blogspot.com/ diakses 28 Juli 2007) melahirkan konsep hegemoni, adalah kekuasaan yang dipegang kelompok sosial tertentu terhadap kelompok-kelompok sosial lainnya. Dominasi dan subordinasi pada bidang hubungan yang dibentuk oleh kekuasaan. Hegemoni tidak jauh sekedar kekuasaan sosial itu dan merupakan cara yang dipakai untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain hegemoni menekankan ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan, dan mekanisme yang digunkan untuk bertahan dan
pengembangan diri melalui kepatuhan para korbannya. Selanjutnya, salah satu hal yang disimpulkan oleh Gramsci (dalam http://bokaresy.blog.friendster.com/ diakses 15 Juli 2008) sekitar masalah hegemoni. Hegemoni kelas yang berkuasa terhadap kelas yang dikuasai, sesungguhnya dibangun oleh konsensus bersama, yaitu tentang penerimaan spontan psikologis tentang penerimaan sosiopolitis atau aspek-aspek aturan yang lain. Dalam hegemoni yang disampaikan Gramsci di atas, didukung dengan kesatuan dua pengertian yaitu kepemimpinan dan dominasi. Dominasi dilakukan kepada seluruh musuh, kemudian kepemimpinan adalah suatu keadaan yang digunkan untuk menaklukan aparatur negara. Gramsci juga menyimpulkan beberapa masalah yang ada pada hegemoni, yaitu hegemoni kelas berkuasa terhadap kelas yang dikuasai sehingga menciptakan ruang lingkup kekuasaan. Kekuasaan Horton dan Hunt (1984:379) mengutarakan, bahwa kekuasaan mengacu pada suatu kemampuan untuk mengendalikan kegiatan orang lain, meskipun di luar kemauan itu. Pendapat ini juga menjelaskan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau masyarakat untuk dapat mengontrol aktifitas orang yang dikuasai. Dengan cara mengeluarkan ide-ide yang membuat orang yang dikuasai tersebut sulit untuk menolak. Ide-ide yang dicetuskan orang berkuasa tersebut adalah potensi dia di dalam memegang kekuasaan. Sehingga, orang yang dikuasai itu tunduk dan menuruti
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|194
apapun kemauan orang yang berkuasa, meskipun di luar kemauan dia. French dan Reven (dalam Martin 1993:71) mendefinisikan kekuasaan adalah kemampuan potensial seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainya di dalam sistem yang ada. Pengertian ini menggambarkan kekuasaan adalah kemampuan khusus seseorang atau kelompok untuk bisa membujuk yang lainya agar mau menuruti keinginanya. 1) Kekuasaan yang Memaksa (Coecive Power) Coercive power (dalam http://community.gunadarma.ac.id/ diakses 27 September 2007) merupakan suatu kekuatan untuk memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang mungkin melawan kehendak mereka. Dari sisi sipemegang kekuasaan, ia mempunyai kekuasaan untuk memaksa orang lain agar mereka merasa takut. Pemaksaan juga merupakan kekuatan utama semua pemerintah. Dalam uraian ini, penguasa memperoleh kepatuhan dari bawahanya dengan cara memakasa. Kepatuhan secara memaksa tersebut, diperoleh dari rasa takut yang dirasakan bawahanya. Kekuatan pemaksaan ini merupakan pemegang kendali semua ruang lingkup kekuasaan yang ada. Jadi, kekuasaan paksaan adalah kekuasaan tertinggi di antara kekuasaan yang ada. Dalam lingkup kekuasaan paksaan, penguasa berusaha membuat bawahanya patuh meski dalam keadaan terpaksa. Para penguasa tidak menghiraukan kondisi lahir mapun batin bawahanya. Yang diinginkan penguasa hanya kepatuhan yang ditunjukkan para bawahanya terhadap tujuan-tujuan yang akan dijalankan penguasa.
Alasan untuk mematuhi kekuasaan paksaan (dalam Basrowi, 2005:118) berupa rasa takut, baik secara fisik, seperti dipukuli, ditangkap, dipenjara atau dibunuh. Rasa takut nonfisik, misalnya kehilangan pekerjaan, dikucilkan dan diintimidasi. Pada dasarnya kekuasaan paksaan ini tidak sepatutnya untuk dipatuhi dan bisa di tentang. Akan tetapi, kepatuhan para bawahan memiliki rasa ketergantung terhadap pemegang kekuasaan. Sehingga alasan kepatuhan berupa rasa takut baik secara fisik maupun nonfisik tersebut muncul. 2) Kekuasaan Imbalan (Insentive Power) Insentive power merupakan pematuhan yang dicapai berdasarkan kemampuan untuk membagikan imbalan yang dipandang oleh bawahan sebagai sesuatu yang berharga. Dalam konteks organisasi, insentive dapat berupa gaji, kenaikan pangkat, rekan yang ramah, informasi yang penting, daerah kerja yang disukai dan penilaian hasil kerja ((dalam http://community.gunadarma.ac.id/ diakses 27 September 2007). Dalam lingkup ini, kepatuhan para bawahan di hargai dengan suatu imbalan. Imbalan tersebut dipandang sebagai suatu yang berharga di mata bawahan. Lingkup kekuasaan seperti ini memiliki hubungan timbal balik. Pemimpin atau penguasa memberikan imbilan jika bawahan sukses atau mau melakukan apa yang diinginkan pemimpin. Kekuasaan imbalan (dalam http://gracianedes.ngeblogs.com/ diakses 31 Oktober 2007) merupakan suatu kekuasan yang didasarkan atas pemberian harapan, pujian, penghargan atau pendapatan bagi terpenuhinya permintaan seorang pemimpin Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|195
terhadap bawahannya Bentuk kekuasaan seperti ini kepatuhan hanya karena mengharapakan sesuatu dari pemegang kekuasaan. Tetapi jika pemegang kekuasaan tidak bisa menyediakan imbalan yang sesuai dengan keinginan bawahanya, maka akan melemahkan kekuasaan si pemegang kekuasaan tersebut. Penggunaan imbalan ini seringkali, bawahan menuntut imbalan yang lebih besar agar mendapatkan motivasi yang lebih saat bekerja. Demikian pula jika imbalan yang diberikan pemegang kekuasaan dirasa berlebih, akibatnya para bawahan dapat kehilangan efektivitas saat bekerja. Strukturalisme Analisis strukturalisme biasanya mengandalkan positivistik, yaitu berdasarkan tekstual. Peneliti membangun teori analisis struktural yang handal, kemudian diterapkan untuk menganalisis teks (Endraswara, 2007:52). Analisis strukturalisme dalam karya sastra merupakan analisi struktur teks sastra itu sendiri. Dalam menjalankan analisis harus menciptakan teori analiasis struktural yang benar-benar dapat dijadikan pegangan dasar. Analisis struktural karya sastra, dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar struktur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995:37). Strukturalisme dalam karya satra merupakan analisis struktural yang mengidentifikasikan, mengkaji, dan mendeskripsikan kegunaan dan keterkaitan unsur yang berasal dari dalam karya sastra (intrinsik) yang akan dianalisis. Jadi, dalam menganalsis karya
sastra harus mencari, mengkaji, memahai kemudian mendeskripsikan unsur karya sastra, seperti penokohan, tema, seting, alur, sudut pandang dan lain sebagainya. Endraswara (2007:52-53) menjelaskan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menganalisis karya sastra. 1) Memahami teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti. Struktur yang dibangun harus mampu menggambarkan teori struktur yang handal, sehingga mudah diikuti oleh peneliti sendiri. Peneliti perlu memahami lebih jauh hakikat setiap unsur pembangun karya sastra. 2) Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu, setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data, sehingga memudahkan analisis. Kartu data sebaiknya disusun alpabetis, agar mudah dilacak pada setiap unsur. 3) Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lain, karena tema akan selalu terikat langsung secara komprehensip dengan unsur lain. Tema adalah jiwa dari karya sastra itu, yang akan mengalir ke dalam setiap unsur. Tema harus dikaitkan dengan dasar pemikiran atau filosofi karya secara menyeluruh. Tema juga sering tersembunyi atau terbungkus rapat pada bentuk. Karena itu, pembacaan berulang-ulang akan membantu analisis. 4) Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya, setting, dan sebagainya andai kata berupa prosa. 5) Harus diingat, semua penafsiran unsurunsur harus dihubungkan dengan unsur Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|196
lain, sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur. 6) Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan struktur, akan bisa yang menghasilkan makna yang mentah Pendekatan Bentuk, Fungsi Dan Makna Bentuk merupakan susunan sesuatu yan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling mendukung. Colered (dalam Ratna, 2005:123) membedakan antara bentuk mekanis dan bentuk organis. Bentuk mekanis adalah bentuk yang dibangun dari luar, sedang bentuk organis dibangun dari dalam. Dapat dismpulkan bahwa bentuk mekanis disusun berdasarkan bahan yang nampak. Disusun sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bentuk. Sedangkan bentuk organis merupakan susunan yang disusun dari kemampuan yang berasal dari dalam dan tidak nampak. Menurut Parsons (dalam Ratna, 2005:133) fungsi adalah kumpulan kegiatan yang diarahkan pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Fungsi merupakan susunan kegiatan yang menjadi satu kesatuan dan diarahakan demi keingianan atau suatu kebutuhan yang dianggap perlu. Keinginan atau kebutuhan tersebut merupakan tujuan tertentu atau suatu sistem yang akan dicapai melalui sebuah proses. Makna selalu diartikan sebagai mengandung nilai-nilai postif, jadi, untuk kesejahteraan umat manusia, sebaliknya, fungsi mungkin bersifat positif atau negatif. Dengan kalimat lain, makna mengandug
sifat das sollen (apa yang seharusnya terjadi), sedangkan fungsi mengandung das sein (kejadian sebagai apa adanya) (Ratna, 2005:122). Makna mengandung nilai yang positif dan merupakan bermanfaat untuk manusia. Sedangkan fungsi dapat bernilai positif atau negatif. Dengan kata lain fungsi bisa bermanfaat untuk manusia atau merugikan serta menghancurkan manusia. Makna memiliki sifat kejadian yang terjadi tidak sama dengan yang diartikan ataun apa yang seharusnya terjadi. Kemudian kejadian yang terjadi diartikan sama dengan kejadian tersebut atau kejadian apa adanya. Menurut Ratna (2005:139) bentuk, fungsi, dan makna, bukanlah teori, juga bukan metode melainkan pendekatan. Sebagai pendekatan, maka manfaat bentuk fungsi dan makna, di suatu pihak, dalam kerangka yang lebih luas mempersatukan sudut pandang, visi, dan paradigma keilmuan. Dapat disimpulkan bentuk fungsi dan makna merupakan pendekatan yang bermafaat untuk menjadikan satu cara pandang, visi, dan ilmu pengetahuaan menjadi kebulatan kesatuan yang difungsikan secara bersamaan. Bentuk, fungsi, dan makna bukanlah teori dan bukan suatu metode untuk penelitian. Bentuk fungsi dan makna adalah pendekatan penelitian. Deskripsi Bentuk Coercive Power dalam Novel Pabrik karya Putu Wijaya Berikut gambaran secara objektif pada novel Pabrik mengenai kekuasaan yang memaksa. Kekuasaan yang memaksa tersebut dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|197
Ia tidak peduli jam berapa. Ia ingin melihat semua orang sibuk, baru ia aman dan bahagia. Begitulah dahulu ia melewatkan masa mudanya. Semua sudah paham penyakitnya itu. Meskipun menggrutu dalam hati, mereka terpaksa bekerja sungguh-sungguh karena orang tua itu tidak bisa dibohongi (CP/P/2005/13).
Dalam hati para pembantu mengeluh, tetapi mereka melakukan perintah biarpun dengan terpaksa. Pada tengah malam seharusnya mereka istirahat. Para pembantu memahami kebiasaan tuanya itu. Tirto merasa tenang jika para pembantu sibuk dan terjaga di tengah malam. Para pembantu patuh dan takut, karena tirto tidak mudah dibohongi. Bagi Tirto, memaksa para pembantu sibuk dan terjaga berguna sebagai ketenangan batinya. Tirto sering kali merasa kesepian di tengah malam semenjak istrinya meninggal. Tirtoatmojo memanfaatkan coercive power untuk memaksa para pembatu bekerja di luar jam kerja mereka. “Malahan die bilang lagi kalau Joni masih juga unjuk tampang disekitar ikke punya pabrik ini, ikke bisa panggil polisi. Apa Joni mau rampok ini pabrik, hah!” (CP/P/2005/54). Tatang menceritakan kepada Joni perihal Tirto yang tengah berusaha mengusir Joni dari lingkungan pabrik. Joni adalah anak tiri Tirto dari almarhum istrinya. Ia pergi dari rumah setelah bertengkar hebat
dengan Tirto. Sejak berita Joni anak tirinya itu kembali, Tirto melakukan berbagai cara untuk mengusir Joni. Cara-cara tersebut ia gunakan untuk membuat gentar Joni agar tidak kembali. Tirto mengancam Joni dengan memanggil polisi jika Joni masih saja berada di lingkungan pabrik. Tirtoatmojo takut jika Joni menguasai seluruh harta kekayaan pabrik. Joni dianggap Tirto terlalu rakus dengan harta. Coercive power berupa bagaimana Tirto melarang Joni dengan mengintimidasi dia agar tak berani menginjakkan kakinya di wilayah pabrik. Dringgo mempunyai kesalahan yang serupa. Tambah lagi ia jarang masuk kerja, alasanya sakit. Tapi tirto sendiri sering memergokinya sedang melakukan pekerjaan lain. Sekarang ia ditanya, masih ingin bekerja atau diberhentikan karena terlambat. Dringgo sendiri selalu siap untuk keluar (CP/P/2005/55). Dringgo dianggap malas oleh Tirtoatmojo. Ia dipanggil untuk diberi pringatan dan dimarahai. Dringgo jarang masuk kerja dan tidak disiplin waktu. Dringgo ditakuti oleh Tirto, tetap bekerja atau diberhentikan karena terlambat. Padahal Tirto sering melihat dia melakukan pekerjaan lain. Dringgo tidak merasa takut, dia sendiri sudah siap untuk diberhentikan. Dalam hal ini bentuk coercive power dimanfaatkan Tirto ketika melihat buruh tidak displin dalam bekerja. Sehingga jalan memperoleh kepatuhan dari buruh (Dringgo) tersebut adalah diancam akan diberhentikan dari pekerjaanya. Akan tetapi Tirtoatmojo Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|198
tidak memperoleh kepatuhan dari Dringgo. Ia malah sudah siap untuk di berhentikan. Ilyas membaca satu persatu pasal-pasal yang akan memungkinkankan orang merasa panas. Ia menujukkan peraturan khusus mengenai kantin. Ini soal kecil, tetapi sangat peka. Sejak dulu kantin sudah seperti milik kita semua. Almarhum sendiri sudah merencanakan untuk menjadikan kantin sebagai alat untuk mengalihkan perhatian mereka dengan membiarkannya sebagai tempat perjudian. (CP/P/2005/113). Joni yang telah mengambil kendali pabrik dari Tirto. Mencoba menerapkan peraturan-peraturan baru. Peraturan tersebut bersifat tertulis. Tujuan Joni menerapkan peraturan-peraraturan itu hanya untuk kepentingan dan keuntungan pabrik. Akan tetapi Joni terlihat memaksakan peraturan tersebut. Ada kemungkinan besar para buruh menentangnya karena tak sependapat. Seperti halnya peraturan khusus untuk kantin. Padahal kantin sudah dianggap para buruh milik mereka. Coercive power dalam hal ini, berbentuk peraturan tertulis yang diterapkan joni dalam menangani pabrik. “Sesungguhnya menurut hukum dia sudah harus dibebaskan,” katanya memulai pertemuan itu, “tapi Joni takut sekali kalau-kalau ia hendak membakar pabrik lagi karena itu ia diusulkan supaya ditahan terus, tanpa diadili (CP/P/2005/116117).
Dringgo telah ditahan di kantor polisi. Ia ditahan karena melakukan pembakaran gudang pabrik. Dringgo belum saja dibebaskan, menurut hukum seharusnya ia bebas, akan tetapi ada rasa ketakutan dalam diri Joni. Ia takut jika kejadian pembakaran pabrik akan terjadi lagi. Oleh kerena itu Joni mengusulkan kepada pihak yang berwajib untuk menahan Dringgo tanpa harus diadili. Dalam hal ini coercive power berbentuk tindakan Joni menggunakan aparatur keamanan untuk mencegah tindak kekerasan yang ada kemungkinan terulang kembali. Deskripsi Bentuk Insentive Power dalam Novel Pabrik Karya Putu Wijaya Kekuasaan imbalan berpatokan pada sifat manusia yang cenderung membutuhkan imbalan ketika ia sudah melakukan sesuatu. Pemegang kekuasaan dalam lingkup ini menangani para bawahanya dengan menggunakan imbalan. Dalam pengertian ini ada pengertian timbalbalik, saling membutuhkan dan dibutuhkan. “...Kita membutuhkan bayaran lebih baik. Bisa apa dengan uang yang kita terima sekarang? Kalian belum berkeluarga, kalian belum bisa merasakan. Aku? Tidak banyak-banyak. Asal cukup. Pabrik ini sudah maju sekarang, kapan mereka mau balas sedikit jasa kita. Kita sudah bantu dia sejak tak punya apa-apa. Tanah kita serahkan. Katanya kita ikut sebagai pemilik...” (IP/P/2005/19). Tirtoatmojo memimpin pabrik dengan sangat baik. Ini terlihat dengan pesatnya Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|199
perkembangan pabrik. Pendapatan pabrik sangat berlimpah, tetapi tidak seimbang dengan imbalan yang diberikan kepada para buruh terutama Dringgo. Dringgo berharap dia dan para buruh lainya mendapatkan imbalan yang lebih baik. Dringgo dapat merasakan kekurangan imbalan tersebut, sebab ia mempunyai keluarga. Ia hanya mengharapkan imbalan tidak berlebihan, asal cukup untuk biaya hidup keluarga. Padahal pengorbanan buruh sangat banyak demi kemajuan pabrik. Tanah mereka juga sudah diserahkan untuk dijadikan lahan pembangunan. Tirto berjanji akan memberi para buruh saham karena mereka sudah menyerahkan tanah. Urain ini menggambarkan bentuk kekuasaan insentive power, karena menggambarkan distribusi imbalan yang tidak seimbang dengan pendapatan pabrik yang dipimpin Tirto. Bahkan janji imbalan yang berupa saham tidak Tirto berikan kepada para buruh. Pada suatu hari yang telah lalu, sebuah kampung terbakar. Robert membujuk korban-korban itu supaya pindah ke dekat tempat pelacuran. Lalu membangun pabrik. Ia berjanji akan membayar tanah tersebut dalam bentuk saham. Sementara ia menampung orang-orang tersebut sebagai buruh biasa. Tetapi sedikit calon pemegang saham itu berkurang, terlibat pelacuran dan perjudian (IP/P/2005/40). Dalam kutipan di atas, menceritakan bagaiman proses Tirto mampau menguasai orang-orang untuk dijadikan buruhnya dengan sebuah imbalan. Ketika sebuah
kampung terbakar Tirtoatmojo mencoba menawarkan sebuah saham kepada para korban kebakaran tersebut. Dengan syarat para korban tersebut mau menyerahkan tanah kampung mereka yang terbakar, untuk dijadikan lahan pembangunan pabrik. Merekapun mau dianjurkan untuk pindah ke dekat lokasi kompleks pelacuran dan akan dijadikan sebagai buruh biasa. Seiring berjalanya waktu, para buruh terlibat pelacuran dan perjudian. Moral mereka hancur, banyak calon pemegang saham dipecat karena terlibat prilaku negatif tersebut. Bentuk insentive power ini, bagaimana Tirtoatmojo mampu memperoleh kepatuhan para buruh dengan menggunakan saham yang begitu menggiurkan kaum buruh. Sehingga tanpa sadar mereka mau digiring untuk menghancurkan diri mereka sendiri. Robin sudah terpengaruh oleh Dringgo sehingga ia tidak terlalu rajin lagi bekerja. Asal tampak repot saja. Menurut istilah yang mereka setujui. Bekerja sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. (IP/P/2005/55). Imbalan yang Dringgo terima tidak sesuai dengan harapkan dia. Robin pun terpengaruh oleh Dringgo, mereka berdua tidak rajin lagi dalam bekerja. Tirtoatmojo memberikan imbalan pada Robin dan Dringgo yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Sehingga kedua buruh itu tidak melaksanakan kewajiban mereka dengan baik. Uraian ini menjelaskan bahwa insentive power menyebabkan ketidak efektifan kerja buruh, sebab imbalan yang Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|200
para buruh terima dari majikan mereka tidak sesuai keinginan merek. Oleh karena itu para buruh bekerja sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Ia merasa diludahi. Ia merasa telah cukup menahan diri terhadap Dringgo, mengingat keluarganya yang menderita. Lewat Ilyas sering sekali ia meberikan sumbangan agar keluarga yang termasuk melarat itu dapat diselamatkan. Karena, kalau ada buruh yang terlalu miskin, akan berbahaya untuk semangat kerja buruh-buruh lainya. Ia lupa memikirkan bahwa mungkin saja sumbangan itu tak pernah sampai. Ia hanya merasa diperlakuakan tidak adil (IP/P/2005/68). Melalui perantara Ilyas, Tirtoatmojo sebenarnya sudah memberikan sumbangan kepada keluarga Dringgo yang miskin. Dengan alasan jika ada keluarga buruh yang miskin akan mengganggu semangat kerja buruh yang lainya. Akan tetapi Dringgo justru membrontak padanya. Tirto merasa dihina dengan semua itu. Sudah lama dia cukup bersabar pada dringgo. Tirto tidak pernah befikir bahwa sumbangan itu mungkin saja tidak pernah sampai ketangan Dringgo. Tirto hanya berfikir dia dilecehkan. Uraian ini menjelaskan insentive power terlihat ketika bagaimana Tirtoatmojo memberikan imbalan yang berupa sumbangan kepada buruh yang paling miskin, yaitu Dringgo. Akan tetapi, imbalan tersebut diselewengkan oleh Ilyas. Ilyas sebenarnya adalah orang kepercayaan Tirto dan juga sahabat Dringgo.
Tamu-tamu ke tempat pelacuran semakin banyak. Sejak joni mengepalai pabrik, pendapatan buruh bertambah baik. Tetapi hal tersebut tidak banyak menguntungkan. Uang itu banyak mengalir kesarang pelacuran dan perjudian. Susi mengamati perkembangan itu dengan kecewa. Waktu Tirtoatmojo masih berkuasa, beda sekali keadaanya. Buruh-buruh berfikir sederhana. Mereka jarang keluar rumah kalau perlu (IP/P/2005/85). Sejak sebelum mengambil alih kepemimpinan pabrik, Joni sudah mempersiapkan tindakan bagaimana caranya para buruh tidak menuntut saham yang Tirto janjikan. Kemudian setelah Joni menggantikan Joni kedudukan Tirto pendapatan buruh pun meningkat sangat baik. Uang mereka berlimpah sehingga para buruh dapat bersenang-senang. Uang itu mereka gunakan untuk pelacuran dan perjudian. Sebelum Tirto digantikan Joni para buruh hanya berperilaku sederhana. Pendapatan mereka digunakan seperlunya. Melihat hal itu Joni mempunyai maksud lain yaitu hendak mengalihkan perhatian para buruh. Dengan pendapatan buruh yang melimpah, mereka gunakan untuk bersenang-senang. Dengan hal itu Joni berharap para lupa dengan tuntutan-tuntutan mereka. Dalam pengumuman yang baru ditempelkan Tatang misalnya, diatur sedemikian rupa sehingga pabrik Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|201
tidak rugi karena adanya peristiwa seperti sakit, atau halangan lainya seperti perkawinan dan cuti tahunan. Meskipun jaminan sosial dijanjikan dalam kondisi yang lumayan, prestasi bekerja pun diawasi dengan ketat. Yang belum dijelaskan adalah persoalan saham. Karyawankaryawan yang membaca peraturan itu segera melihat bahwa mereka sedang digiring kepada keadaan yang lebih genting (IP/P/2005/112). Joni mempunyai bakat dalam memimpin parbrik. Ia mampu mengatur peraturan dengan rapi sehingga tak ada sedikitpun kerugian pada pabrik. Meskipun jaminan sosial (imbalan) benar-benar menjanjikan, tetapi joni menginginkan pertukaran, berupa pengawasan ketat terhadap prestasi kerja. Para buruh menyadari semua peraturan tersebut mempunyai maksud lain. Joni ingin mengalihkan perhatian para buruh dari keinginan mereka dengan kondisi jaminan sosial yang menjamin tetapi peraturan yang ditetapkan sangat ketat. Nilai jaminan sosial sangat menjanjikan akan tetapi prestasi bekerja sangat diawasi. Dalam uraian ini, bentuk insentive power adalah aturan-aturan ketat yang dibuat Joni dalam menangani pabrik. Aturan-aturan tersebut di dalamnya berisikan bagaimana proses pertukaran antara majikan dan buruh. Pertukaran tersebut adalah jaminan sosial dengan prestasi kerja. “Jadi saudara-saudara,” kata Joni, “saya harap dapat mengerti sekarang bahwa kepentingan saya adalah
kepentingan saudara-saudara. Kita sama-sama bekepentingan agar pabrik ini maju pesat. Saudarasaudara jangan merisaukan soal saham. Saya dan Ilyas akan mengaturnya. Mudah-mudahan bulan depan saham-saham tersebut sudah dapat dibagi sehingga kita bersama-sama adalah pemilik. Sehingga semua bekerja dengan tanggung jawab. Tidak seperti selama ini, maaf, saudara-saudara bekerja hanya sekedar sesuai dengan apa yang saudara dapatkan....” (IP/P/2005/150) Joni mengumpulkan orang-orang hendak menjelaskan kepentingan dia. Ia menjelaskan bahwa kepentingan dia adalah kepentingan orang-orang itu juga. Bersama Ilyas, Joni akan mengatur saham yang kemungkinan akan dibagikan bulan depan. Joni berharap orang-orang yang mereka kumpulkan tersebut bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Tidak hanya bekerja sekedar apa yang mereka dapatkan. Orang-orang tersebut diharapkan dapat mengerti dengan penjelasan tersebut. Insentive power dalam urian tercermin ketika Joni menggunakan saham agar orangorang yang mereka kumpulkan mau melaksanakan keinginan dia. Dengan Saham tersebut Joni juga berharab mereka bekerja dengan tanggung jawab masing-masing. Bukan sekedar bekerja dengan apa yang mereka dapatkan. Fungsi Coercive Power dalam Novel Pabrik Karya Putu Wijaya
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|202
Fungsi coersive power adalah bagaimana proses penerapan kekuasaan yang memaksa untuk suatu kebutuhan. Gambaran fungsi tersebut dapat dilihat pada uraian di bawah ini. Ia tidak peduli jam berapa. Ia ingin melihat semua orang sibuk, baru ia aman dan bahagia. Begitulah dahulu ia melewatkan masa mudanya. Semua sudah paham penyakitnya itu. Meskipun menggrutu dalam hati, mereka terpaksa bekerja sungguh-sungguh karena orang tua itu tidak bisa dibohongi (CP/P/2005/13). Tirtoatmojo berteriak-teriak di tengah malam. Memaksa para pembantu untuk melakukan kesibukan. Padahal itu di luar jam kerja mereka dan merupakan waktu yang mereka pergunakan untuk beristirahat. Dalam hati mereka mengeluh akan tetapi mereka takut. Tirto dengan usianya yang sudah tua dan penuh pengalaman, membuat para pembantu tidak bisa berbohong kepadanya. Tujuan Tirto adalah melaukan pemaksaan jam kerja tersebut adalah perasaan aman dan rasa bahagia dalam diri dia. Dalam hal ini adalah demi kepentingan pribadi. Seperti halnya uraian sebelumnya, fungsi coercive power adalah menciptakan ketakutan bagi para buruh agar mereka patuh dengan perintah yang diinginkan Tirto. Keinginan tersebut merupakan tujuan Tirto yaitu menciptakan rasa aman dan bahagia dalam diri dia. “Dia mesti ada di sini tepat sama waktu. Atau dia boleh angkatkaki mulai besok. Ikke tidak bisa
kerjasama dengan satu orang yang tidak bisa disiplin. Ini pabrik besar, bukan mainan bocah-bocah. Oke kalau dia tidak becus kerja lagi, kamu atur buat dia besok!” (CP/P/2005/57). Dringgo dipanggil Tirto, karena dianggap tidak disiplin lagi bekerja. Tirto tidak mau mempekerjakan orang yang tidak disiplin. Sebelum dipanggil Tirto sudah mengancam Dringgo, jika ia tidak datang tepat waktu maka ia akan dipecat dari pekerjaanya dipabrik. Dalam memanfaatkan kekuasan paksaan ini Tirto mempunyai tujuan untuk mendisiplinkan Dringgo dalam bekerja. Oleh karena itu fungsi coercive power dalam uraian ini adalah ancaman pemecatan yang dilakukan Tirto untuk mendisiplinkan buruh yang tidak disiplin dalam bekerja. “Sesungguhnya menurut hukum dia sudah harus dibebaskan,” katanya memulai pertemuan itu, “tapi Joni takut sekali kalau-kalau ia hendak membakar pabrik lagi karena itu ia diusulkan supaya ditahan terus, tanpa diadili (CP/P/2005/116117). Dringgo dipenjara karena dia mencoba membakar habis pabrik. Sekian lama dipenjara, berdasarkan hukum seharusnya Dringgo sudah dibebaskan. Akan tetapi Joni takut, jika Dringgo dibebaskan maka ada kemungkinan ia akan berusaha membakar pabrik kembali. Joni menggunakan aparatur keamanan untuk mencegah tindak kekerasan yang dilakukan mantan buruh pabrik. Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|203
Berdasarkan uraian tersebut fungsi coercive power adalah mencegah tindak kekerasan dengan tidak mematuhi hukum yang seharusnya. Pencegahan tersebut dilakukan karena rasa takut Joni jika kekerasan yang pernah terjadi terulang kembali. Ilyas membaca satu persatu pasal-pasal yang akan memungkinkankan orang merasa panas. Ia menujukan peraturan khusus mengenai kantin. Ini soal kecil, tetapi sangat peka. Sejak dulu kantin sudah seperti milik kita semua. Almarhum sendiri sudah merencanakan untuk menjadikan kantin sebagai alat untuk mengalihkan perhatian mereka dengan membiarkannya sebagai tempat perjudian. (CP/P/2005/113). Joni telah menggantikan ayahnya di pabrik. Menerapkan peraturan-peraturan baru bersifat memaksa para buruh untuk mengikutinya. Karena peraturan-peraturan tersebut tidak sependapat dengan kaum buruh. Seperti halnya peraturan kantin yang terlihat dipaksakan. Padahal, peraturan tersebut tidak selaras dengan pendapat para buruh. Peraturan itu mengekang kebebasan para buruh untuk menggunakan kantin. Padahal kantin sudah mereka anggap milik mereka sendiri. Coercive power dalam hal ini berfungsi sebagai penerapan disiplin baru untuk mengganti disiplin yang lama. Karena sebelum Joni memimpin pabrik, Tirto memberikan kebebasan kepada para buruh untuk menggunakan kantin. Karena kantin tersebut digunakan Tirto untuk mengalihkan
perhatian mereka dari keinginan mereka menuntut saham. Fungsi Insentive Power dalam Novel Pabrik Karya Putu Wijaya Kekuasaan ini mengacu pada sumber kekuasaan (imbalan) yang digunakan pemegang kekuasaan untuk menciptakan kepatuhan orang-orang yang dikuasai. Adapun gambaran kekuasaan tersebut. Pada suatu hari yang telah lalu, sebuah kampung terbakar. Robert membujuk korban-korban itu supaya pindah ke dekat tempat pelacuran. Lalu membangun pabrik. Ia berjanji akan membayar tanah tersebut dalam bentuk saham. Sementara ia menampung orang-orang tersebut sebagai buruh biasa. Tetapi sedikit calon pemegang saham itu berkurang, terlibat pelacuran dan perjudian (IP/P/2005/40). Pada masa lalu, setelah sebuah kampung terbakar. Tirtoatmojo membujuk penduduk kampung tersebut untuk menyerahkan tanah mereka kepada Tirto. Tirto berjanji akan mengganti tanah tersebut dengan saham. Para penduduk pun mau, bahkan mereka juga menurut saja dipindahkan ke dekat kompleks pelacuran. Mereka juga dijadikan buruh biasa. Bertahun-tahun janji saham tersebut tak kunjung Tirto tepati. Calon pemegang saham satu per satu dipecat karena terlibat pelacuran dan perjudian. Uraian ini menjelaskan bawaha insentive power berfungsi untuk membujuk para penduduk
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|204
agar mereka menyerahkan tanah kemudian menguasai mereka. Ia merasa diludahi. Ia merasa telah cukup menahan diri terhadap Dringgo, mengingat keluarganya yang menderita. Lewat Ilyas sering sekali ia meberikan sumbangan agar keluarga yang termasuk melarat itu dapat diselamatkan. Karena, kalau ada buruh yang terlalu miskin, akan berbahaya untuk semangat kerja buruh-buruh lainya. Ia lupa memikirkan bahwa mungkin saja sumbangan itu tak pernah sampai. Ia hanya merasa diperlakuakan tidak adil (IP/P/2005/68). Dengan kemajuan pabrik yang pesat serta pemasukan keuntungan berlimpah seharusnya Tirto mampu mensejahterakan para buruh. Akan tetapi nasib para buruh tak kunjung ada perubahan. Terutama kelaurga Dringgo. Pada hal melalui perantara Ilyas ia memberikan sumbangan untuk keluarga buruh paling miskin tersebut. Alasan Tirto memberikan sumbangan tersebut jika ada kelaurga buruh yang miskin maka akan mengganggu semangat buruh dalam bekerja. Akan tetapi Ilyas yang dipercaya Tirto justru menyelewengkan sumbangan tersebut dan Tirto tidak mengerti itu. Fungsi insentive power dapat dilihat ketika Tirto memberi imbalan yang berupa sumbangan kepada Keluarga Dringgo. Fungsi tersebut adalah mengantisipasi ketidak efektifan kerja para buruh. “Jadi saudara-saudara,” kata Joni, “saya harap dapat mengerti sekarang
bahwa kepentingan saya adalah kepentingan saudara-saudara. Kita sama-sama bekepentingan agar pabrik ini maju pesat. Saudarasaudara jangan merisaukan soal saham. Saya dan Ilyas akan mengaturnya. Mudah-mudahan bulan depan saham-saham tersebut sudah dapat dibagi sehingga kita bersama-sama adalah pemilik. Sehingga semua bekerja dengan tanggung jawab. Tidak seperti selama ini, maaf, saudara-saudara bekerja hanya sekedar sesuai dengan apa yang saudara dapatkan....” (IP/P/2005/150) Joni mengumpulkan orang-orang yang dianggap dapat dipercaya. Ia hendak menjelaskan bahwa kepentingan orangorang memiliki tujuan yang sama dengan kepentingan Joni. Joni juga menjelaskan bahwa orang-orang tersebut tidak perlu risau memikirkan saham. Sebab saham tersebut kemungkinan dapat dibagi bulan depan. Joni berharab orang-orang tersebut bekerja sesuai dengan kewajiban dan tangung jawab mereka. Bukan sekedar bekerja berdasarkan imbalan yang mereka terima. Uraian ini memberi penjelasan bahwa, insentive power memiliki fungsi menciptakan rasa tanggung jawab kepada orang yang dikumpulkan joni dalam bekerja. Makna Coercive Power dalam Novel Pabrik karya Putu Wijaya Setelah menguraikan fungsi kekuasaan maka akan diuraiakan apa makna kekuasaan tersebut. Berikut uraian makna coercive power Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|205
Ia tidak peduli jam berapa. Ia ingin melihat semua orang sibuk, baru ia aman dan bahagia. Begitulah dahulu ia melewatkan masa mudanya. Semua sudah paham penyakitnya itu. Meskipun menggrutu dalam hati, mereka terpaksa bekerja sungguh-sungguh karena orang tua itu tidak bisa dibohongi (CP/P/2005/13).
Tirtoatmojo tidak peduli dengan waktu. Yang ia inginkan hanya para pembantu patuh mengikuti perintahnya. Sebagai majikan Tirtoatmojo memanfaatkan kekuasaannya untuk memaksa para pembantu bekerja di luar jam kerja mereka. Berdasarkan uraian ini maka makna coercive power adalah kepatuhan, karena kekuasaan paksaan funsinya bagi Tirto adalah menciptakan ketakutan, agar para buruh patuh akan segala kehendaknya. .“Dia mesti ada di sini tepat sama waktu. Atau dia boleh angkat kaki mulai besok. Ikke tidak bisa kerjasama dengan satu orang yang tidak bisa disiplin. Ini pabrik besar, bukan mainan bocah-bocah. Oke kalau dia tidak becus kerja lagi, kamu atur buat dia besok!” (CP/P/2005/57).
Dringgo jarang masuk kerja. Ia juga tidak benar-benar serius dalam menjalankan pekerjaanya. Kemudian sebagai majikanya Tirtoatmojo memanggil dia untuk menghadap. Ketika menghadap dia harus
tepat waktu dengan yang diinginkan Tirto, kalau tidak, maka ia akan memecatnya. Dapat disimpulkan bahwa makna coercive power adalah kedisiplinan yang Tirtoatmojo terapkan kepada salah seorang buruh yang tidak disiplin. Ilyas membaca satu persatu pasal-pasal yang akan memungkinkankan orang merasa panas. Ia menujukkan peraturan khusus mengenai kantin. Ini soal kecil, tetapi sangat peka. Sejak dulu kantin sudah seperti milik kita semua. Almarhum sendiri sudah merencanakan untuk menjadikan kantin sebagai alat untuk mengalihkan perhatian mereka, dengan membiarkannya sebagai tempat perjudian. (CP/P/2005/113).
Joni yang sedang berunding dengan Ilyas tentang masalah pabrik. Ilyas membacakan poin peraturan yang ada kemungkinan memicu kemarahan buruh. Terutama peraturan khusus yang menghilangkan kebebasan buruh dalam menggunakan kantin. Dengan adanya peraturan tersebut Joni berharap para buruh dapat mematuhinya. Uraian ini menjelaskan makna coercive power adalah kepatuhan yang diinginkan Joni. Karena dengan Joni menerapkan peraturan yang kemungkinan para buruh untuk tidak patuh. “Sesungguhnya menurut hukum dia sudah harus dibebaskan,” katanya memulai pertemuan itu, “tapi Joni takut sekali kalau-kalau ia hendak membakar pabrik lagi karena Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|206
itu ia diusulkan supaya ditahan terus, tanpa diadili (CP/P/2005/116117).
Kutipan di atas menjelaskan bagaimana fungsi kekuasaan paksaan yang dilaukan Joni, mencegah tindak kekerasan dengan tidak mematuhi hukum yang seharusnya. Dalam hal ini Joni tidak mematuhi aturan hukum demi tetap memenjarakan Dringgo tanpa ada proses pengadilan. Ia takut jika Dringgo membuat kekacauan lagi, yaitu berusaha membakar habis pabrik. Dalam hal ini, coercive power memiliki makna menjaga keamana dari kemungkinan tindak kriminalitas. 4.4.2 MAKNA INSENTIVE POWER DALAM NOVEL PABRIK KARYA PURTU WIJAYA Insentive power merupakan bagaimana kepatuhan bawahan dapat diperoleh melalui sebuah imbalan. Dalam uraian ini akan dijelaskan apa makna insentive power dalam novel pabrik. ...., Paman jadi teringat masa lalu. Ia pernah mencintainya waktu muda. Panjang kalau diceritakan. Dan bertele-tele. Pokoknya ia cukup malu mengingat, bagai mana ia sampai ikhlas mengorbankan orang yang dicintainya, sambil tetap bekerja pada yang merampasnya (IP/P/2005/9-10). Paman rela orang yang ia cintai untuk dimiliki Tirto. Ia merasa malu kalau mengingat kejadian tersebut. Sebab biarpun orang yang dicintai dirampas, ia tetap
bekerja dengan setia kepada Tirto. Tirtoatmojo memberi kedudukan kepada paman selain menjadi tangan kanan, ia juga bertugas sebagai pelindung rumah tangga. Berdasarkan uraian ini makna kekuasaan imbalan adalah kedudukan. Sebab Tirto tetap menjadikan paman sebagai tangan kanan dia, oleh karena itu paman rela menyerahkan orang yang ia cintai untuk dimiliki Tirto. “Ini bukan perkumpulan buat senang-senang. Semua orang harus siap di pos dua belas jam. Untuk itu kalian ikke bayar!” (IP/P/2005/36).
Ketika Tirto sedang berkeliling memeriksa pabrik, ia melihat para penjaga sedang tertidur. Pada hal mereka sudah mendapatkan kewajiban tugas untuk menjaga pabrik. Tirto pun sudah membayar mereka untuk kewajiban tersebut. Akan tetapi mereka hanya bersenang-senang saja ketika bertugas. Urain ini menjelaskan bahwa makna insentive power adalah kepatuhan, karena Tirtoatmojo menggunakan imbalan agar para penjaga mau melakukan tugas-tugasnya dengan benar. Pada suatu hari yang telah lalu, sebuah kampung terbakar. Robert membujuk korban-korban itu supaya pindah ke dekat tempat pelacuran. Lalu membangun pabrik. Ia berjanji akan membayar tanah tersebut dalam bentuk saham. Sementara ia menampung orang-orang tersebut sebagai buruh biasa. Tetapi sedikit Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|207
calon pemegang saham itu berkurang, terlibat pelacuran dan perjudian (IP/P/2005/40).
Tirtoatmojo membujuk para penduduk yang kampungnya terbakar, agar menyerahkan tanah untuk dijadikan lahan pembangunan pabrik. Sedangkan para penduduk, tempat tinggalnya dipindah ke dekat kompleks pelacuran. Serta menampung mereka sebagai buruh biasa. Penduduk kampung tersebut mau saja menyerahkan tanah serta lokasi tempat tinggalnya dipindah kedekat kompleks pelacuran. Mereka dijanjikan imbalan dalam bentuk saham sebagai gantinya. Sekian lama penduduk tersebut tinggal di dekat kompleks pelacuran dan menjadi buruh biasa, saham yang dijanjikan tak urung mereka dapatkan. Pada akhirnya calon pemegang saham tersebut berkurang, terlibat pelacuran dan perjudian. Tirtoatmojo menguasai para penduduk dengan menggunakan imbalan, maka makna dari kekuasaan imbalan ini adalah janji. Karena para penduduk hanya diberikan janji saham yang tak pernah mereka dapatkan. Ia merasa diludahi. Ia merasa telah cukup menahan diri terhadap Dringgo, mengingat keluarganya yang menderita. Lewat Ilyas sering sekali ia meberikan sumbangan agar keluarga yang termasuk melarat itu dapat diselamatkan. Karena, kalau ada buruh yang terlalu miskin, akan berbahaya untuk semangat kerja buruh-buruh lainya. Ia lupa memikirkan bahwa mungkin saja
sumbangan itu tak pernah sampai. Ia hanya merasa diperlakuakan tidak adil (IP/P/2005/68).
Tirtoatmojo merasa dihina dengan pembangkangan Dringgo. Padahal Tirto merasa ia sudah memberikan sumbangan kepada keluarga Dringgo yang miskin. Sumbangan itu diberikan melalui Ilyas, tetapi Tirto tidak pernah berfikir bahwa sumbangan itu tiadak sampai ketangan Dringgo. Pada hal sumbangan tersebut berfungsi untuk mengantisipasi ketidak efektifaan kerja para buruh. Uraian ini menjelaskan bahwa makna insentive power adalah imbalan yang diberikan Tirto kepada keluarga Dringgo yang berupa sumbangan. Dalam pengumuman yang baru ditempelkan Tatang misalnya, diatur sedemikian rupa sehingga pabrik tidak rugi karena adanya peristiwa seperti sakit, atau halangan lainya seperti perkawinan dan cuti tahunan. Meskipun jaminan sosial dijanjikan dalam kondisi yang lumayan, prestasi bekerja pun diawasi dengan ketat. Yang belum dijelaskan adalah persoalan saham. Karya-karyawan yang membaca peraturan itu segera melihat bahwa mereka sedang digiring kepada keadaan yang lebih genting (IP/P/2005/112).
Joni menerapkan peraturan yang menjelaskan bagaimana aturan yang tidak menimbulkan kerugian pada pabrik. Peraturan yang diumumkan tersebut Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|208
menjelaskan juga jaminan sosial (imbalan) dengan jumlah yang mencukupi. Tetapi prestasi kerja juga diawasi dengan ketat. Akan tetapi para buruh masih diliputi pertanyaan tentang saham yang tak tertera pada peraturan tersebut. Mereka seperti diarahkan agar melupakan janji saham tersebut. Berdasarkan uraian ini, maka makna insentive power adalah imbalan yang diberikan Joni pada para buruh. Dengan imbalan tersebut, Joni berusaha mengalihkan perhatian para buruh agar tak menuntut imbalan sebelumnya (saham). “Jadi saudara-saudara,” kata Joni, “saya harap dapat mengerti sekarang bahwa kepentingan saya adalah kepentingan saudara-saudara. Kita sama-sama berkepentingan agar pabrik ini maju pesat. Saudarasaudara jangan merisaukan soal saham. Saya dan Ilyas akan mengaturnya. Mudah-mudahan bulan depan saham-saham tersebut sudah dapat dibagi sehingga kita bersama-sama adalah pemilik. Sehingga semua bekerja dengan tanggung jawab. Tidak seperti selama ini, maaf, saudara-saudara bekerja hanya sekedar sesuai dengan apa yang saudara dapatkan....” (IP/P/2005/150). Joni menjelaskan kepada orang-orang yang ia kumpulkan mengenai bahwa kepentingan mereka memiliki kesamaan dengannya. Ia juga menjelaskan saham yang diinginkan orang-orang tersebut kemungkinan dapat dibagi bulan depan. Orang-orang tersebut diharapkan Joni dapat
bekerja dengan tanggung jawab masingmasing. Insentive power dalam uraian ini, memberi penjelasan bahwa makna insentive power tersebut adalah tanggung jawab buruh yang joni harapkan ketika menjelaskan saham yang akan dapat dibagi PENUTUP Dari pembahasan yang telah di uraikan, maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut. 1) Bentuk coecive power, berupa pemaksaan bekerja di luar jam kerja kepada para pembantu, mengintimidasi tokoh joni, mengancam buruh, peraturan tertulis, penyalahgunaan hukum. Selanjutnya insentive power, dapat dipahami melalui imbalan tidak seimbang dengan pengorbanan para buruh, iming-iming imbalan, imbalan promosi (kenaikan kedudukan), tunjangan yang berlipat, menuntut imbalan, meningkatkan imbalan, dan janji imbalan kepada buruh. Bentuk coersive power dan insentive power berpengaruh terhadap kehidupan tokoh dalam novel Pabrik karya Putu Wijaya. 2) Fungsi coercive power, berupa menciptakan ketakutan, ancaman, ancaman pemecatan, penerapan disiplin, mencegah tindak kekerasann. Sedangkan fungsi insentive power, berupa menciptakan kepatuhan dan kesetiaan, mengendalikan para buruh agar disiplin, membujuk, pemberian janji, mengalihkan perhatian, Mengantisipasi ketidak efektifan kerja dan menciptakan rasa tanggung jawab kepada buruh.
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|209
3) Makna coercive power berupa Menjaga keamanan, Kepatuhan, kedisiplinan. Sedangkan insentive power adalah kedudukan, Kepatuhan, penepatan janji, Imbalan dan peningkatan imbalan serta tanggung jawab. SARAN UNTUK PEMBACA ATAU PENIKMAT SASTRA Sebagai penikmat karya sastra, hendaklah menjadikan novel bukan sebagi bahan-bahan hiburan, tetapi ada keinginan penggalian nilai di dalamnya. Mengingat bahwa novel banyak mengandung makna dan nilai-nilai moral dan sosial yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan.
SARAN UNTUK PENELITI SELANJUTNYA Berhubung penelitian novel Pabrik karya Putu Wijaya ini hanya sebatas pada aspek sosial, yaitu bentuk, fungsi dan makna kekuasaan coercive power dan insentive power. Tidak menutup kemungkinan bagi peneliti selanjutnya dapat menggali lebih dalam lagi. Hal ini terjadi karena aspek sosial tersebut sangatlah luas. Yang terpenting penting, agar khasanah apresiasi sastra lebih berkembang
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|210
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung : CV. Sinar baru. _________ 1990. Sekitar Masalah Sastra (Beberapa Prinsip dan Model Pengembanganya). Malang: Yayasan Asah Asih Asuh. Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia. Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra. Damono, Supardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra (Sebuah Pengantar Ringkas). Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Edukatif, Tim. 2007. Komponen Berbahasa Indonesia (Untuk SMA Kelas XI). Jakarta: Erlangga. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pusaka Widyatama. __________________. 2007. Metode Penelitian Sastra (Estimologi, Model, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Escarpi, Robert. 2007. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hayati. A & Adiwardoyo, Winarno. 1990. Latihan Apresiasi Sastra (Penunjang Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMLTA dan SMTA) Malang: Ya3. Horton, Paul B. & Hunt, Chester L. 1984. Sosiologi Jilid 1 (edisi keenam). Jakarta: Erlangga. Martin, Roderic. 1993. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies (Representasi Fiksi dan Fakta). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _________________ 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|211
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra (Sebuah Pemahaman Awal). Malang: UMM Press. Satoto, Soediro. & Hum, Zainudi Fananie. 2000. Sastra, Ideologi, Politik, dan Kekuasaan. Surakarta: Muhammadiyah University Surakarta Press. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. _________ 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Prisip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Wijaya, Putu. 2005. Pabrik. Jakarta: Kompas Yoesoef. 2007. Sastra dan Kekuasaan (Pembicaraan atas Drama-Drama karya W.S. Rendra). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Yudiono. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. http://nthatembem.blogspot.com/2007/10/bentuk-bentuk-kekuasaan-menurut french_15.html (diakses 10 November 2007). http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/sastra-dan-sastra-feminisdalam-kebudayan.pdf (diakses 15 Juli 2007). http://utchanovsky.com/2007/08/teori-hegemoni.html (diakses 5 Agustus 2007). http://lisumaindonesia.blogspot.com/2007/01/hegemoni-kepemimpinan-moral-intelektual.html (diakses 4 Juli 2007). http://www.averroes.or.id/thought/konsep-kekuasaan-dalam-ilmu-ilmu-sosial.html (diakses 28 Juli 2007) http://yudinopriansyah.blogspot.com/2004/08/media-dan-kekuasaan-dalam-masyarakat.html (diakses 28 Juli 2007).
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|212
http://ibda.files.wordpress.com/2007/04/10-relasi-formatif-hegemoni-gramsci.pdf (diakses 15 Juli 2007). http://bokaresy.blog.friendster.com/2007/10/teori-hegemoni-antonio-gramsci.html (diakses 15 Juli 2007). http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_4116/title_5-bentuk-kekuasaan-dancontohnya.html (diakses 27 September 2007) http://gracianedes.ngeblogs.com/200710/17/teori-kekuasaan-kelompok-4.html (diakses 31 Oktober 2007)
Jurnal Artikulasi Vol.5 No.1 Februari 2008|213