Agami Jawi: Religiusitas Islam Sinkretis Oleh Sedya Santosa 1
I. Pengantar Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual. 2 Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda. Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan Islam Santri adalah sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsurunsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan sebagainya.
1
Drs.H.Sedya Santosa, SS, M.Pd., Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. 2 Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II, INIS, Jakarta, hlm. 1,6,7.
1
Koentjaraningrat menyebut religiusitas Islam Abangan dengan istilah Agami Jawi dan Islam Santri dengan Agama Islam Santri. Kategori ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial seperti santri, priyayi, dan abangan. Yang dimaksudkan Koentjaraningrat dengan Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. Sementara itu, Agama Islam Santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam baku. 3 Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam (heterodoks). Sementara Islam Santri lebih bersifat puritan karena mereka mengikuti ajaran agama secara ketat (ortodoks). Walaupun demikian, seperti ditulis Koentjaraningrat, hal itu tidak berarti mereka hampir tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk ghaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi. 4 Persoalan sinkretisme nampaknya menjadi isu sentral dalam pembahasan Islam abangan atau Agami Jawi. Hal ini tidak bisa diingkari karena Agami Jawi 3 4
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 312 Ibid. hlm. 311
2
memang menampakkan perilaku religius yang banyak mengakomodir pandangan dan sistem ritual di luar Islam baku. Agami Jawi menampakkan wajah yang relatif ‘ramah’ atau lunak terhadap tradisi dan kepercayaan lokal yang ada sebelumnya. Sementara Islam santri lebih menampakkan keketatan dalam berpegang pada ajaran-ajaran Islam doktrinal. Perilaku religius yang akomodatif ini banyak menimbulkan pertanyaan seperti unsur-unsur prinsip apa saja yang saling bersinkretis, sejauh mana unsur-unsur budaya Jawa itu mewarnai Islam dan begitu juga sebaliknya, sejauh mana unsurunsur Islam mempengaruhi budaya Jawa, dengan cara apa dan pada tingkat apa proses sinkretis itu terjadi. Persoalan sinkretisme menjadi menarik karena sinkretisme nampaknya merupakan fenomena yang umum terjadi ketika dua sistem keyakinan atau lebih saling bertemu. Sebagai misal pertemuan antara Islam dan Hindu di India yang kemudian melahirkan religiusitas baru yang bernama agama Shikh. Dalam konteks masyarakat Indonesia bahkan yang mengalami sinkretisme dalam sejarah masuknya agama-agama besar bukan hanya Islam, tetapi juga Hindu, Budha, Kriten atau Katolik. Dalam studinya tentang agama asli Indonesia, J.W.M. Bakker mencatat bahwa ajaran Hindu dan Budha pun, yang datang lebih dulu, tidak bisa menancap secara menyeluruh dan konsisten di negeri ini. Ajaran Hindu tentang kasta atau catur varna dan maya tidak bisa tumbuh dengan subur. 5 Hal serupa juga terjadi dengan Islam. Ketika Islam memasuki Indonesia, dan khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi dengan agama asli di
5
J.W.M. Bakker, 1976, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat, hlm. 217-218.
3
samping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah datang lebih dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis atau pun sosiologis di Jawa dikenal dua varian Islam yang cukup berbeda secara menyolok seperti tersebut di atas.
II. Konteks Kemunculan Agami Jawi Agami Jawi seperti yang disinyalir Koentjaraningrat sering disebut dengan Islam sinkretis. Yang dimaksud sinkretis secara umum adalah proses ataupun hasil dari pengolahan, penyatuan, pengkombinasian dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya. 6 Dengan adanya proses sinkretis maka apa yang terkandung di dalam sebuah sistem prinsip baru tidak hanya terkandung sistem prinsip asli agama yang bersangkutan tetapi juga sistem prinsip dari unsur lain. Demikian juga yang terjadi dengan Agami Jawi. Dengan kata lain, sikap sinkretis adalah Suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya sesuatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan. 7
6
Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta & Kantor DepDikNas DIY, hlm. 2 7 Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press, hlm. 2
4
Karena terjadi proses penyelarasan maka pemeluk sistem prinsip yang baru hampir dapat dikatakan tidak mengalami ‘split personality’, sehingga tidak terjadi rasa bermusuhan. Bahkan yang terjadi adalah rasa aman karena para pemeluk sistem prinsip baru menemukan sesuatu yang lebih sreg dan cocok, terutama pada tingkat religuisitas yang tidak terlalu terikat dengan peraturan-peraturan baku. Dengan adanya sinkretisasi berbagai prinsip yang berbeda di dalam kelompok dalam suatu penafsiran baru yang lebih komprehensif justru kemudian dapat dipertemukan berbagai sistem ajaran dan pandangan yang berbeda dan mendapatkan tempat berpijak bersama untuk hidup berdampingan tanpa harus saling merendahkan. 8 Sebuah religiusitas baru seringkali memang sulit diterima dalam kerangka ortodoksi yang sangat menekankan pada aturan-aturan baku. Dalam beberapa kasus, kemunculan sebuah varian religius lebih sering menampakkan kerinduan manusia akan kebutuhan-kebutuhannya yang paling dalam dan paling eksistensial yang tidak bisa dituntaskan dengan rumusan-rumusan doktrinal. Maka ciri yang paling menonjol dari sebuah religiusitas adalah lintas agama, lintas rasional dan lintas kelompok. 9 Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses 8
Heddy Shri Ahimsa Putra, Islam Jawa dan Jawa Islam….hlm.2 Lihat G. Moejanto dan St. Sunardi, Religiositas Kaum Beriman di Indonesia, Basis, Juni 1995 XLV No 6
9
5
sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak. Bentuk Islam mitis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi kepercayaan ruh dan benda-benda ghaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan menjadi faktor kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling landai ketika bertemu dengan Islam mitis. Islam mitis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam Islam mitis, didapatkan dengan melalui beberapa tingkat yaitu syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Syariat adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah bentuk kepasrahan pada Tuhan secara sepenuhnya. Hakikat adalah tingkat di mana manusia hanya memperhatikan Allah semata-mata dan ma’rifat adalah tahap terakhir yaitu tahap kesempurnaaan. 10 Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi
10
Edi Sedyawati et al, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 54.
6
mistik. 11 Islam mitis lebih berorientasi pada dimensi esoteris (batin) dibanding dimensi eksoteris (lahir). Ini berbeda dengan Islam yang datang pada gelombang kedua yaitu Islam reformis yang dibawa oleh para haji yang pulang dari Makkah. Islam reformis sebagai bagian dari gerakan wahabi yang sangat populer di tanah Arab yang sangat menentang keras kepercayaan-kepercayaan yang dianggap sebagai tahayul, kurafat atau bid’ah. Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah lunak ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli (animisme dan dinamisme) dan Hindu-Budha. Sebelum hadir agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik atau Kristen, bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius yang sering disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh J.W.M. Bakker, kepercayaan purba ini disebut dengan agama asli atau otokton. Agama ini disebut asli karena berasal dan berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya dan siapa pendirinya. 12 Agama asli ini tidak memiliki sistem sejelas agama supra-nasional. Ia mengandung beberapa unsur ajaran mengenai prinsip teologis, eskatologis atau pun kosmologis. Namun demikian unsur-unsur bukan merupakan sistem ajaran yang ketat dan sistematis. Secara teologis kepercayaan ini mengajarkan ketuhanan etis, seperti yang maha baik, atau ketuhanan kosmis, seperti sangkan paraning dumadi. Secara kosmologis, kepercayaan ini mengajarkan tentang keseimbangan dunia
mikrokosmos
dan
makrokosmos.
Sedangkan
secara
eskatologis,
kepercayaan ini memiliki ajaran tentang ruh aktif. Agama asli ini memiliki 11 12
Zaini Muchtarom, 1988, Santri dan Abangan di Jawa….. hlm. 18 J.W.M. Bakker, 1976, Agama Asli Indonesia…..hlm.1
7
kekuatan yang relatif kokoh ketika berhadapan dengan agama-agama supra nasional. Bahkan agama asli ini tetap bisa eksis entah dalam bentuk sinkretisme, pemalsuan atau pemribumisasian agama-agama supra nasional. Sementara itu jika animisme dan dinamisme hidup pada rakyat kebanyakan, maka ajaran Hindu-Budha lebih menampakkan wajahnya melalui institusi kerajaan Mataram sebagai satu bentuk reinkarnasi kerajaan Majapahit. Dalam banyak hal kerajaan Mataram adalah pewaris dan penjaga tradisi Hindu-Budha, walaupun ia merupakan kerajaan Islam. Hindu-Syiwa yang berkembang di Jawa memberikan konteks bagi kemunculan Islam sinkretis. Hindu-Syiwa memiliki beberapa ajaran menyangkut aspek teologis, kosmologis, kosmogonis dan ritual. Secara kosmologis agama ini mengenal hirarki realitas yang terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu swarloka, bhuwarloka, dan bhurloka. Swarloka adalah tempat dewa-dewa serta para pendamping dan pengiringnya. Bhuwarloka adalah tempat manusia hidup, sedang bhurloka adalah alam terbawah. Syiwa beserta para pengiringnya menduduki posisi tertinggi dalam gambaran kosmos yang terletak di Gunung Mahameru yang diidentifikasi terletak di India yang kemudian pindah ke pulau Jawa dengan nama gunung Semeru. 13 Secara kosmogonis, Hindu menyatakan adanya tahap-tahap eksistensi alam, yaitu masa penciptaan (srsti), masa pemeliharaan (sthiti), dan masa penghancuran kembali (pralina). Ketiga tahap ini menggambarkan tugas masing-masing dewa yaitu dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa). Lebih lanjut, ritual Hindu yang banyak
13
Edy Sedyawati, Sejarah Kebudayaan Jawa, hlm. 44-45.
8
dianut di Jawa adalah vedanta dan yoga. Praktik-praktik yoga inilah yang kemudian ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. 14 Sementara itu secara historis, Budha yang berkembang di Indonesia menunjukkan aliran Vajrayana, Yogacara dan Tantrayana. Aliran Vajrayana dan Yogacara bisa disimpulkan dari keberadaan bangunan candi Borobudur, yaitu susunan pantheon (susunan dewa-dewa) dan susunan bangunan yang terdiri atas 10 tingkatan. Susunan pantheon yang terdiri atas sejumlah dhyani budha lebih menunjukkan keberadaan aliran Vajrayana. Sedangkan 10 tingkatan yang disebut dengan dasabodhisattvabhumi,
sepuluh
tataran
pencapaian
kedudukan
sebagai
bodhissattva, lebih menunjukkan keberadaan aliran Yogacara. Aliran ini mengajarkan tentang cara mencapai kelepasan dari jeratan derita hidup. Sementara itu konsep mandala, yaitu konsep mengenai konfigurasi lambanglambang yang mewakili kosmos, menunjukkan keberadaan aliran Tantrayana. Perlu dicatat bahwa pertemuan Hindu dan Budha di Indonesia pada akhirnya menghasilkan sinkretisme dalam bentuk Syiwa-Budha dengan konsepnya yang terkenal bhineka tunggal ika, yang itu tidak terjadi di negara asal kedua agama tersebut.
14
Ibid. hlm. 46
9
Ketiga titik ini yaitu Islam mitis, agama asli, dan Hindu-Budha merupakan latar mosaik yang saling bertemu, saling pengaruh, saling mengambil yang kemudian melahirkan Agama Jawi sebagai bentuk Islam sinkretis yang mengambil posisi geografis terutama di daerah Jawa Tengah pedalaman. Secara sosiologis Jawa Tengah pedalaman sangat memungkinkan proses itu, karena di Jawa tengah pedalaman ini terdapat kerajaan mataram Islam sebagai pewaris tradisi Hindu-Budha, setelah kerajaan Majapahit melemah dan berakhir di Jawa Timur. Walaupun secara politis secara perlahan memudar tapi ia masih menampakkan diri sebagai pusat kebudayaan. Istilah ‘peradaban pesisir’ dan ‘peradaban pedalaman’ memperlihatkan lokasi pemetaan keberadaan Islam santri dan Agama Jawi secara umum. Peradaban pesisir biasanya digunakan untuk mengacu pada wilayah Banyumas dan daerah pesisir, Surabaya, daerah pantai utara, ujung timur Pulau Jawa, serta daerahdaerah pedesaan di lembah Sungai Solo dan Sungai Brantas. Sementara itu peradaban pedalaman biasanya mengacu pada wilayah Negarigung di Jawa Tengah, di Begelen, dan di daerah Mancanegari. 15 Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab suluk dan primbon. Kitab suluk adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya mataram. 16 Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya banyak mengandung ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya untuk menyatukan
15
Namun demikian tidak ada daerah-daerah khusus yang membatasi daerah tempat tinggal kedua varian agama tersebut. Orang kejawen dan santri terdapat dalam segala lapisan masyarakat. Lihat Kuntjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 312-313. 16 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hlm. 316.
10
secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi kesusasteraan Islam dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai penciptaan alam, kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi ramalan-ramalan. Sementara itu pertemuan Islam mitis dengan tradisi Hindu-Budha kerajaan Mataram menghasilkan serat. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf yang dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistik-moral. Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini, dan serat Cebolek. Serat juga merupakan bagian dari strategi kerajaan Mataram untuk beradaptasi dengan perkembangan Islam yang semakin gencar.
III. Tingkat Sinkretisasi Berdasarkan konteks sejarah perkembangan agama di Indonesia, maka sangat bisa dipahami bahwa proses sinkretisasi seolah merupakan peristiwa yang tak terhindarkan, karena masing-masing titik religius bersinggungan dalam konteks yang tidak terlalu beda. Bila agama asli menekankan kepercayaan pada ruh dan kekuatan ghaib, maka Hindu mengajarkan dunia dewa-dewa. Bila Budha mengajarkan laku batin pelepasan penderitaan, maka Islam mistis mengajarkan keprasahan pada Tuhan dengan cara berpaling pada hal-hal duniawi. Proses sinkretisasi dalam Agami Jawi bisa dilihat dalam dua tingkat, yaitu pada tingkat sistem keyakinan dan tingkat sistem ritual. Secara umum, klasifikasi
11
ini juga digunakan oleh Koentjaraingrat 17 dalam melihat sistem Agami Jawi secara umum. Sistem Agami Jawi sebagaimana sistem budaya pada umumnya juga terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat keyakinan dan tingkat ritual. Dalam Agami Jawi juga terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan, nilai tentang Tuhan, nabi, tokoh-tokoh keramat, konsep kosmologi-kosmogoni, dan eskatologi. Sementara itu berbagai keyakinan dan pandangan ini termanifestasi dalam serangkaian ritual seperti seperti slametan, sesajen, tirakat, ngruwat, atau bersihdusun.
A. Tingkat Sistem Keyakinan 1. Sinkretisme Teologis Proses sinkretisme dalam Agami Jawi antara lain nampak dalam taraf teologis. Taraf ini menyangkut konsep Agami Jawi tentang Tuhan. Sumber representatif mengenai konsep Tuhan dalam Agami Jawi adalah kitab Nawaruci. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agami Jawi tentang Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mitis dan Hindu-Budha dibanding dengan Islam formal. Dalam kitab Nawaruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang benderang dalam warna-warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari
17
Ibid. hlm. 319 -343.
12
segala aliran sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala planet dan bintang. 18 Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang. Tuhan mitis dalam Agami Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding dengan Tuhan syariat yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha Kuasa, maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam Cerita Dewa Ruci karangan Yasadipoera yang bercerita tentang perjalan Bima Sena mencari air sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan: Tanpa diketahui dari mana datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan dengan seorang dewa katik, Dewaruci namanya. Tampak hanya sebagai anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di atas permukaan air. 19 Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena: ‘Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila masuk dalam gua-garbaku!’. 20 Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan kekuasaan Tuhan.
18
Ibid. hlm. 324. Yasadipoera, 1984, Cerita Dewaruci, diindonesiakan oleh S.P. Adhikara, Bandung: Penerbit ITB, hlm. 16 20 Ibid. hlm.18 19
13
Sebagai sebuah pengalaman teologis, kisah Dewaruci di mata orang Jawa yang Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran yang islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam. 21 Cerita Dewaruci memang sangat dekat dengan konsep teologi dalam Islam mitis yaitu konsep manunggaling kawula gusti. Faham ini adalah faham ‘serba Esa’, wujud hanya satu, wujud Tuhan adalah wujud manusia. Konsep teologis dalam kisah Dewaruci tak jauh beda dengan Ana’l Haq-nya Al-Hallaj, Wihdatulwujud-nya Ibnu arabi. Ajaran ini di Jawa terkait dengan tokoh Syeh Siti Jenar. 22
2. Taraf Kosmologis-kosmogonis Kosmogoni dan kosmologi adalah serangkaian konsep dan pandangan mengenai asal-usul alam semesta dan manusia. Agami Jawi mengenal beberapa konsep penciptaan. Salah satu konsep penciptaan yang menampakkan proses sinkretis antara Islam dan Hindu terdapat dalam kitab-kitab babad. Kisah-kisah penciptaan ini bersifat setengah historis. Dalam kisah ini terjadi perpaduan konsep penciptaan dalam Hindu yang berkisar pada kisah Brahma-Wisnu dan konsep penciptaan dalam Islam yang berkisar pada kisah Adam. 21
Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam…..hlm. 13-14 Karkono Kamajaya Partokusumo, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, hlm. 254-255 22
14
Dalam salah satu versi babad Tanah Jawi 23 dikisahkan bahwa silsilah para raja Jawa berasal dari Nabi Adam. Menurut alurnya, Nabi Adam menurunkan nabi Sis. Nabi Sis kemudian memiliki putra bernama Nur Cahya. Nurcahya menurunkan Nurasa. Dari Nurasa lahirlah Sang Hyang Wening, yang kemudian menurunkan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang tunggal memiliki putra bernama Batara Guru dan Batara Guru memiliki lima putra yaitu Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu dan Dewi Sri. Dari Batara Brahma inilah raja-raja Jawa berasal. Batara Brahma menurunkan tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pewayangan yaitu Begawan Abiyasa, Pandudewanata, Arjuna, Abimanyu, dan Parikesit. Yang terakhir ini, yaitu Parikesit mempunyai putra yaitu Yudayana dan Gendrayana. Gendrayana inilah yang menurunkan raja Jayabaya. Dari raja Jayabaya inilah lahir raja-raja Jawa. Versi lain juga bisa ditemui dalam salah satu kisah babad. Dalam babad tersebut dikisahkan bahwa Brahma adalah pencipta bumi dan Wisnu pencipta manusia. Pada mulanya Brahma telah berusaha mencipta manusia tetapi selalu gagal. Karena gagal maka Brahma menyuruh wisnu untuk turun ke bumi. Wisnu berusaha menciptakan pengisi bumi. Pada mulanya tidak berhasil, tapi untuk yang kedua ia berhasil. Dikisahkan bahwa: …Dengan tanah liat Wisnu membuat sebuah patung yang menyerupai dirinya, yang kemudian diisinya dengan energi yang terdiri dari jiwa dan semangat (suksma) akan tetapi ia lupa memasukkan nafas (prana) ke dalamnya, dan karena itu makhluk ciptaannya itu kemudian hancur lebur berantakan menjadi beribu-ribu keeping setelah kejang-kejang beberapa saat. Jiwa dan suksma yang berada dalam tubuh makhluk itu kemudian menghilang ke dalam kegelapan 23
Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam…hlm.6-7
15
dan menjadi hantu-hantu jahat yang selalu mengganggu alam dewata. Wisnu berusaha untuk yang kedua kalinya, dan karena telah berpengalaman, ia menciptakan makhluk yang lebih tampan, yang diisinya dengan unsur-unsur yang diperlukan. Kali ini ia berhasil dan manusia pertama itu dinamakan Adina (Adam). 24 Dalam kisah kosmologis dan kosmogonis terjadi pertalian genealogis antara figur-figur Hindu, seperti Brahma dan Wisnu dengan figur Islam, yaitu Adam, serta figur Jawa, yaitu raja Jayabaya. Kisah komologis dan kosmogonis ini tidak sedang merepresentasikan kebenaran logis dan empiris tetapi kebenaran imajinatif, yaitu ada sesuatu yang ingin dicapai, yaitu keselarasan antara Hindu, Islam, dan Jawa sebagai unsur-unsur yang tidak saling bertentangan, tetapi saling menyokong keselarasan. Kisah ini tentu berbeda dengan kisah penciptaan Adam sebagai manusia pertama di dalam Islam baku yang tidak terkait sama sekali dengan dewa-dewa di dalam bentuk apapun. Penciptaan Adam berlangsung dalam proses kreasi Tuhan dan tidak keterkaitan historis apapun dengan para dewa-dewa Hindu.
3. Taraf Eskatologis Eskatologi adalah serangkaian pandangan yang menyangkut keyakinan akan peristiwa pada hari-hari yang akan datang setelah kehidupan di dunia ini. Dalam setiap agama, keyakinan akan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia ini merupakan ajaran pokok. Justru yang membedakan antara keyakinan religius dan non-religius antara lain terletak dalam keyakinan adanya kehidupan di hari nanti.
24
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa….hlm.329-330.
16
Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) atau yang disebut dengan lelembut, yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Makhluk halus itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat itu, dan saat-saat tertentu keluarganya mengadakan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh dapat dihubungi setiap saat bila diperlukan. 25 Pengaruh Islam menciptakan pada orang Jawa konsep mengenai dunia roh yang berada di dekat Allah; juga bahwa orang yang meninggal oleh Allah akan diberi tempat di swarga atau di neraka sesuai dengan perilakunya yang baik dan yang buruk semasa hidupnya. Walaupun demikian kebanyakan penganut Agami Jawi tidak memiliki gambaran yang nyata mengenai swarga atau neraka itu. Menurut serat kadilangu dan serat wali sanga, seperti yang dipaparkan Koentjaraningrat, orang yang meninggal dalam rangka menuju kesempurnaan dan terlepas dari mata rantai reinkarnasi harus telah melepaskan diri dari segala hasrat dan keinginan duniawi. Perjalanan ruh untuk menuju surga memerlukan tahapantahapan sampai sungguh-sungguh jiwanya terlepas dari segala hasrat duniawi untuk kemudian bisa masuk surga. Tahapan ini merupakan tahapan perubahan dari tubuh yang memiliki hasrat yang disebut dengan lengaslira (makhluk halus) sampai dengan tahap moksa (kesempurnaan) yang memerlukan tahapan waktu antara 40 hari, 100 hari sampai dengan 1000 hari.
25
Ibid. hlm. 335-336
17
Walau telah menempuh perjalanan dalam alam roh, kerabat yang masih hidup di dunia bisa memanggilnya. Dan bila dipanggil maka roh yang dalam perjalanan tersebut akan menjadi lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia atau menjadi roh nenek moyang (arwah leluhur) yang menetap di sekitar keluarga dan keturunan sebagai roh penjaga. Dalam konteks ini, sinkretisasi terjadi melalui konsep ruh. Nampaknya keyakinan roh dalam tradisi animisme-dinamisme sangat kuat mewarnai pada Agami Jawi dalam memaknai peristiwa-peristiwa eskatologis. Dr. Simuh membedakan dua jenis pandangan tentang Ruh, yaitu ajaran ruh aktif dan ruh pasif. 26 Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh dan daya ghaib yang bersifat aktif. Simuh menyatakan bahwa: Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme adalah bahwa ruh orang yang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan manusia. Dunia ini dihuni oleh berbagai macam ruh gaib yang bisa membantu dan mengganggu kehidupan manusia. Seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib tersebut di atas… 27 Sementara itu Islam menurut Simuh mengajarkan prinsip ruh pasif. Prinsip tauhid
menegaskan bahwa ruh manusia di alam kubur akan merasakan
penderitaan bila amalnya buruk, dan akan mendapat nikmat jika amalnya baik. Ruh manusia yang telah mati menjadi pasif dan tidak bisa menolong dirinya sendiri apalagi orang lain. Tidak ada daya gaib dan kuasa ruh lain yang bisa berpengaruh secara aktif. Segala kuasa ruhani berpusat pada Allah.
26 27
Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung: Mizan, hlm. 41-42. Ibid. hlm. 41
18
Berdasarkan dua kategori ini, nampaknya Agami Jawi lebih dekat dengan ajaran ruh aktif. Agami Jawi meyakini bahwa ruh orang yang telah meninggal masih memiliki hubungan dengan proses kehidupan di dunia ini. Hal ini nampak dari apa yang paparkan oleh Koentjaraningrat bahwa: Roh halus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya semula, atau sebagai arwah leluhur yang telah menetap di makan (pasareyan) leluhur, maupun yang tinggal di surga dekat Allah, roh nenek moyang masih lama akan dipuja dan dipanggil oleh para keturunannya untuk memberi nasihat kepada mereka mengenai persoalan rohaniah atau material. Makam nenek moyang adalah tempat melakukan kontak dengan keluarga yang masih hidup, dan di mana keturunannya melakukan hubungan secara simbolik dengan roh orang yang telah meninggal. 28 Ajaran ruh pasif juga dipegangi dalam Islam mitis, seperti keyakinan para sufi yang bisa berkomunikasi bahkan mendapatkan nasihat dan wejangan dari tokoh mulia yang telah meninggal. Setidaknya itulah tiga dimensi sinkretis yang terjadi dalam tingkat sistem keyakinan dalam Agami Jawi. Ketiga dimensi ini sangat berpengaruh pada tingkat praksis ritual yang dijalankan di dalam Agami Jawi. Di antara praktik ritual itu yang dipaparkan di sini adalah ritual Slametan, Nyadran, dan Tirakat.
28
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa…hlm.338
19
B. Tingkat Sistem Ritual 1. Slametan Seperti dikatakan oleh Simuh bahwa seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme
dimaksudkan
untuk
berhubungan
dengan
dan
mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib. 29 Fenomena ini memiliki kemiripan dengan fenomena ritual dalam Agami Jawi, terutama Slametan. Slametan atau wilujengan merupakan suatu upacara terpenting dari semua ritus yang ada dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya. Ritual slametan bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu yang tidak bersifat keagamaan dan yang bersifat keagamaan. 30 Slametan yang tidak bersifat keagamaan tidak menimbulkan getaran emosi pada orang yang mengadakannya. Biasanya jenis slametan ini lebih ditujukan untuk memelihara rasa solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai atau sekedar sebagai sebuah perayaan biasa saja. Sementara itu ritual slametan yang bersifat keagamaan bersifat keramat. Slametan yang bersifat keramat bisa disaksikan dari rangkaian upacara slametan untuk upacara kematian yaitu pada hari ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu. Ritual slametan ini memang berjenis-jenis, ada yang untuk upacara peringatan orang yang telah meninggal, bersih-dhusun, awal musim cocok tanam, upacara hari-hari besar Islam, ngruwat, kaul, pindah rumah, dan sebagainya. Ritual ini tidak ada di dalam Islam baku. Sinkretisasi terjadi ketika di dalam ritual
29 30
Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa…hlm. 41 Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa….hlm. 347
20
slametan biasanya diisi dengan dzikir atau doa-doa yang disampaikan atau dipimpin oleh seorang modin atau kaum.
2. Nyadran Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam. 31 Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya, telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha. 32 Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September). Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila 31
Karkono Kamajaya Partokusumo, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam… hlm. 246-247 32 Ibid. hlm. 248
21
dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.
3. Tirakat Salah satu ritual yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukarankesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi. 33 Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan
33
Konetjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa…hlm. 371
22
patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus cahaya. 34 Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.
IV. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibagi menjadi Islam Abangan dan Islam Santri 2. Islam Abangan atau Agami Jawi merupakan satu bentuk religiusitas sinkretis yang dibentuk berdasarkan unsur-unsur Islam, religi animisme-dinamisme, dan Hindu-Budha. 3. Sinkretisme terjadi bisa dilihat pada dua wilayah yaitu pada sistem keyakinan yang terdiri dari unsur teologis, kosmologis-kosmogonis, eskatologis, dan pada sistem ritual, di antaranya ritual slametan, nyadran, dan tirakat.
34
Ibid.
23
Daftar Pustaka Ahimsa Putra, Heddy Shri, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta & Kantor DepDikNas DIY Andre Harjana, 1981, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia. Bakker, J.W.M, 1976, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat Darusuprapta, dkk., 1985-1986, Ajaran Moral dalam Sastra Suluk, Yogyakarta, Fak. Sastra UGM. Darusuprapta, 1986, Seni dan Sastra Jawa dalam Kaitannya dengan Islam, Yogyakarta: PSFKI IAIN Suka. Darusuprapta, 1985, Serat Wulang Reh, Surabaya: CV. Citra Jaya. Dick Hartoko, 1987, Tonggak Perjalanan Budaya sebuah Antologi, Yogyakarta; Kanisius. Fuad
Hasan,
dalam
Koencaraningrat,
1981,
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat, Jakarta: Gramedia. Gorys Keraf, 1981, Eksposisi dan Deskripsi, Ende: Nusa Indah. Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta Moejanto, G, dan St. Sunardi, Religiositas Kaum Beriman di Indonesia, Basis, Juni 1995 XLV No 6 Muchtarom, Zaini, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: Jilid II, INIS Mustofa Zahri, 1984, Kunci Memahami Ilmu Tawawuf, Surabaya: Bina Ilmu. Partokusumo, Karkono Kamajaya, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta Robson, 1979, Pengkajian Sastra Tradisionil dam Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sapardi Djaka Damana, 1979, Sosiologi Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sartono Kartodirdjo, 1975, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Dep. P dan K. Sedyawati, Edy, et al, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 24
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung: Mizan Simuh, 1986, Nilai Mistik dalam Kebudayaan dan Kepustakaan Jawa, Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1986. Subalidinata, R.S., 1983, Sekelumit Tinjauan Novel Jawa Modern, Dep. P dan K Proyek Javanologi: Yogyakarta. Teeuw, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra, Jakarta Pustaka Jaya. Yasadipoera, 1984, Cerita Dewaruci, diindonesiakan oleh S.P. Adhikara, Bandung: Penerbit ITB Zuetmulder, P.J, 1990, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia.
25