ABSTRAK Sri Yanti Ahmad1. Hubungan Pengetahuan Siswa terhadap Peristiwa 23 Januari 1942 dengan Pemahaman Wawasan Kebangsaan. (suatu penelitian di SMA Negeri 2 Gorontalo). Skripsi Program Studi S1 Pendidikan Sejarah. Dibawah bimbingan Ibu Dra. Hj. Resmiyati Yunus, M.Pd2 dan Bapak Sutrisno Mohamad, S.Pd, M.Pd.3 Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan siswa terhadap peristiwa 23 Januari 1942 dengan pemahaman wawasan kebangsaan. Motode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional dengan tehnik korelasiproduk moment korelasional, untuk variable X adalah pemahaman siswa terhadap peristiwa 23 Januari 1942 dan variable Y adalah pemahaman wawasan kebangsaan, adapun objek penelitian adalah SMA Negeri 2 Gorontalo dengan populasi siswa kelas x berjumlah 253 siswa. Dari populasi ini diambil dengan cara random sampling sebesar 25 siswa. Adapun tehnik analisis data dengan menggunakan rumus Alpha 𝑟11 =
𝑘 𝑘−1
1−
2
𝑎 (𝑛) 𝑎 2 (𝑡)
. Adapun hipotesis statistik adalah Terima Ho jika : - t ( 1 - ½a ) ≤ t
≤ t ( 1 - ½a ) dengan taraf nyata = 0,05 dengan derajat kebebasan dk = n1 + n2 – 2. Berdasarkan hasil perhitungan pengujian hipotesis dalam penelitian ini diperoleh harga yakni nilai x2=5 dan bila dilihat pada tabel distribusi x2 = 11,070, karena x2hitung ≤ x2tabel, maka H0 diterima atau populasi memiliki varians yang homogen (sama). Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan HA diterima. Kata Kunci : Wawasan Kebangsaan, Peristiwa 23 Januari PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sejarah lokal mempunyai fungsi utama untuk menyempurnakan fakta-fakta yang berguna dalam menyusun sejarah nasional, terutama sejarah perjuangan pergerakan nasional memerlukan fakta historis dari sejarah perjuangan pergerakan di daerah-daerah. Sebenarnya pergerakan memperjuangkan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia diwarnai dan dimatangkan oleh berbagai pergerakan yang bersifat nasional di daerah-daerah. Salah satu perjuangan pergerakan kemerdekaan yang bersifat nasional di daerah adalah yang terjadi di Gorontalo yakni peristiwa 23 Januari 1942. Peristiwa 23 Januari 1942 di Gorontalo, merupakan salah satu mata rantai pergerakan rakyat Indonesia. Aksi rakyat yang dipelopori oleh tokoh pejuang Nani Wartabone dan diperkuat oleh teman-temannya itu, dapat dikatakan sebagai salah satu pilar yang memperkokoh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945. Secara analogi, walaupun hanya terjadi di daerah Gorontalo pada saat itu daerah dan rakyat Gorontalo telah dibebaskan dari pemerintah penjajah kolonial Belanda. Pada saat itu pula, pemerintah di Gorontalo beralih dari penjajah Belanda kepada sebagian rakyat Indonesia atau dapat dikatakan terjadi proklamasi kecil di Gorontalo yang secara langsung atau tidak merupakan pemula dari peristiwa kemerdekaan. Dilihat dari sifat perjuangannya, maka peristiwa itu termasuk gerakan patriotik. Patriotik adalah semangat cinta tanah air atau sikap rela berkorban yang segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah air (Moeliono, 1988 : 614). Makna patriotik itu mewarnai peristiwa 23 Januari 1942. Tekad bulat pemimpin dan rakyat pada saat itu adalah ingin mengubah nasib rakyat dan melindungi tanah air dan kekayaannya dari kesewenangwenangan kolonial Belanda. Semangat patriotik telah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh pahlawan Gorontalo melalui peristiwa heroik 23 Januari 1942 . Tak dapat dipungkiri bahwa peristiwa bersejarah tersebut merupakan bagian dari sejarah nasional yang harus diketahui oleh setiap generasi muda atau pelajar dalam menambah wawasan kebangsaan yang dimilikinya. Adapun unsurunsurnya adalah rasa kebangsaan, faham kebangsaan, dan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Nasionalisme adalah paham kebangsaan yang tumbuh karena adanya 1
Sri Yanti Ahmad, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Angkatan 2009 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo 2 Dra. Hj. Resmiyati Yunus, M.Pd Sebagai Pembimbing I 3 Sutrisno Mohamad, S.Pd, M.Pd Sebagai Pembimbing II.
persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa bersatu, berdaulat, demokratis dan maju didalam satu kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai, memelihara, dan mengabdi identitas, persatuan, kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan negara dan bangsa, (Sudirman, 2004 : 22). Seperti yang dilansir dalam sebuah surat kabar harian Pemandangan bulan Juli 1941 (dalam Purwadi. 2004:136), Soekarno menulis dalam harian tersebut “patriotisme tidak boleh disandarkan pada nasionalisme dengan pengertian kebangsaan yang sempit (seperti di Italia dan Jerman) meletakkan kepentingan bangsa dan negeri di atas kepentingan kesejahteraan manusia-manusia di dalamnya”. Nasionalisme menurut Hertz (dalam Retno Listyarti dan Setiadi. 2006:57) mengandung empat unsur, yaitu hasrat untuk mencapai kesatuan dan persatuan, hasrat untuk mencapai kemerdekaan, hasrat untuk mencapai keaslian, dan hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Peristiwa 23 Januari 1942 juga merupakan salah satu episode sejarah. Artinya, tonggak sejarah yang mempunyai nilai pendidikan perjuanggan bangsa, (Jurnal Resmiyati, dalam jurnal penelitian pendidikan. 2004:470). Sejarah perjuangan bangsa dan semangat kebangsaan dari setiap peristiwa patriotik di daerah-daerah perlu diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Apabila suatu bangsa mengenal dan memahami sejarah bangsanya sendiri, maka bangsa tersebut akan memperoleh arah kehidupan menuju masa depan. Dengan banyak mempelajari sejarah nasional para pejuang kita terdahulu maka semakin menambah wawasan kebangsaan. Sehingga dengan begitu akan tumbuh sikap patriotik, semagat kebangsaan serta cinta tanah air yang tinggi terhadap bangsa. Di arus globalisasi sekarang ini masalah integrasi bangsa sedang diuji. Berbagai peristiwa yang melanda di berbagai wilayah mengarah kepada sejauh mana integrasi bangsa dapat dipertahankan dan ditegakkan. Salah satu jawabannya adalah melalui pemahaman dan penyadaran sejarah. Pemahaman sejarah perlu ditanamkan pada diri generasi muda Indonesia agar tumbuh rasa nasionalisme yang tinggi sehingga dapat melahirkan jiwa patriotik dalam membela dan mempertahankan bangsa dari berbagai pengaruh budaya lain yang dapat mengikis semangat cinta tanah air. Akan tetapi jika kita melihat keadaan generasi muda sekarang ini tidak sedikit generasi muda atau pelajar yang hampir tidak memahami bahkan tidak mengetahui sejarah perjuangan pergerakan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan, seperti sejarah 23 Januari 1942 di Gorontalo. Banyak generasi muda atau pelajar Gorontalo tidak mengetahui sejarah lokal tersebut bagaimana keadaan Gorontalo pada zaman penjajahan hingga meraih kemerdekaan pada tanggal 23 Januari 1942. Dengan kurangnya pengetahuan serta pemahaman tentang sejarah heroik para pahlawan tersebut maka dampak yang ditimbulkan adalah krisis nasionalisme. Sehingga rasa memiliki bangsa dan cinta tanah air hampirhampir tidak terlihat lagi pada diri generasi muda Indonesia dalam hal ini para pelajar. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di SMA Negeri 2 Kota Gorontalo terlihat bahwa banyak siswa yang tidak mengetahui peristiwa bersejarah tersebut. Mereka hanya pernah mendengar tanpa memahami makna dibalik peristiwa 23 Januari 1942 bahkan mereka tidak mengetahui tokoh-tokoh pejuang yang berperan membebaskan rakyat Gorontalo dari penjajah kolonial Belanda selain itu makna dan pesan yang ada dalam peristiwa tersebut kurang dipahami. Hal ini dikarenakan kurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran sejarah yang ada di sekolah-sekolah selain itu pula tidak dimasukkannya peristiwa 23 Januari 1942 dalam kurikulum pendidikan sejarah sehingga siswa tidak mengetahui secara jelas peristiwa bersejarah tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian dengan formulasi judul “Hubungan Pengetahuan Siswa Terhadap Wawasan Kebangsaan dengan Peristiwa 23 Januari 1942”. (suatu penelitian di kelas X SMA Negeri 2 Gorontalo), Pembatasan Masalah Di memfokuskan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini dengan tujuan untuk menghindari terjadinya kerancuan dalam penginterpretasian pembahasan masalah maka perlu adanya pembatasan masalah penelitian. Adapun pembatasan masalah hanya pada hubungan pengetahuan siswa terhadap wawasan kebangsaan dengan peristiwa 23 Januari 1942. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
1) Kurangnya pengetahuan siswa terhadap peristiwa patriotik 23 Januari 1942 di Gorontalo 2) Kurangnya wawasan kebangsaan yang dimiliki siswa sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan terhadap sejarah lokal maupun nasional seperti peristiwa 23 Januari 1942. 3) Kurangnya minat siswa terhadap mata pelajaran sejarah Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana hubungan antara pengetahuan siswa terhadap wawasan kebangsaan dengan peristiwa 23 Januari 1942?” Tujuan Penelitian Setiap penelitian memiliki arah dan tujuan tersendiri dalam mencapai apa yang diharapkan dari setiap penelitian. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Untuk dapat memberikan informasi pengetahuan siswa mengenai wawasan kebangsaan 2) Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa tentang peristiwa 23 Januari 1942. 3) Untuk mengetahui seberapa besar hubungan pengetahuan siswa terhadap peristiwa 23 Januari 1942 dengan pemahaman wawasan nusantara. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh generasi muda atau pelajar (siswa) terutama siswa SMA Negeri 2 Kota Gorontalo dalam membangun semangat kebangsaan dengan banyak mempelajari sejarah nasional maupun sejarah lokal seperti sejarah peristiwa 23 Januari 1942. sehingga para generasi muda dapat meneladani semangat patriotik, rela berkorban dan cinta tanah air dari para tokoh-tokoh pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia. 2) Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah agar kiranya dapat memasukan peristiwa 23 Januari 1942 dalam kurikulum pendidikan sejarah disekolah-sekolah agar siswa dapat mengetahui dengan jelas bahwa peristiwa bersejarah yang terjadi di Gorontalo tersebut merupakan pemula dari kemerdekaan Indonesia. Hakekat Wawasan Kebangsaan Sedangkan kebangsaan dapat juga diartikan sebagai sudut pandang /cara memandang yang mengandung kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk memahami keberadaan jati diri suatu bangsa dalam memandang diri dan bertingkah laku sesuai falsafah hidup bangsa dalam lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Wawasan kebangsaan menentukan cara suatu bangsa mendayagunakan kondisi geografis negara, sejarah, sosio-budaya, ekonomi, dan politik serta pertahanan dan keamanan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional. Wawasan kebangsaa menentukan cara bangsa menempatkan diri dalam tata hubungan denga sesama bangsa dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional. Nilai-nilai wawasan kebangsaan yaitu penghargaan terhadap harkat dan martabat sebagai mahluk tuhan yang Maha Kuasa tekad bersama untuk kehidupan yang bebas, merdeka dan bersatu, cinta tanah air dan bangsa, demokrasi dan kedaulatan rakyat, kesetiakawanan sosial, masyarakat adil dan makmur . Suhady (2006:24). Ada empat pilar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, keempat pilar tersebut yakni pancasila, UUD Negara RI 1945, Negara Kesatuan RI (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika. Saat ini pola kehidupan remaja atau generasi muda kurang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Dalam idiologi negara, sikap toleransi dan tanggung jawab menjadi bagian dalam kehidupan berkebangsaan. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemahaman Wawasan Kebangsaan Di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, perbedaan pendapat di antara masyarakat mudah berkembang menjadi konflik yang tajam, bahkan dapat menimbulkan konflik fisik. Kelompok primordial yang ditambah dengan fanatisme sempit terhadap kelompoknya, sering mengakibatkan konflik yang keras dengan kelompok lain, sehingga apabila tidak segera diatasi dan dikelola dengan baik, akan dapat menggangu stabilitas nasional. Kesemuanya ini menunjukan bahwa kemajemukan disuatu sisi merupakan
kekuatan, disisi lain merupakan kendala, tetapi apabila dikelola dengan baik maka kemajemukan tersebut menjadi kekuatan, namun apabila sebaliknya tidak dikelola dengan baik akan menjadi potensi bagi terjadinya perpecahan atau disintegrasi bangsa. Disamping itu tingkat kehidupan, pendidikan dan kesehatan masyarakat yang rendah di mana hampir mencakup sebagian besar masyarakat Indonesia akan turut memberikan dampak negatif di tengah kemajemukan kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat yang tingkat kehidupan dan pendidikannya masih rendah, kemajemukan bukan dipandang sebagai suatu kekuatan yang bersinergi akan tetapi dilihat sebagai perbedaan yang harus dipertentangkan dan berujung pada munculnya konflik, apalagi ada pihak-pihak tertentu karena kepentingannya sesaat sengaja memprofokasi keadaan itu. Selanjutnya faktor lain yang berpengaruh yaitu hegemoni negara tertentu yang ingin menguasai Indonesia secara fisik, ancaman tersebut tidak terlihat nyata namun dapat kita rasakan seperti halnya yang sedang dialami bangsa Indonesia. Cara tersebut lebih dikenal dengan konsep perang modern. Perang ini sangat mudah dan murah dilakukan, tidak memerlukan pengerahan sumber daya serta kekuatan bersenjata, namun dapat dilakukan oleh negara tertentu dengan cara infiltrasi/ penyusupan melalui kerja sama lembaga pemerintahan antar negara atau melalui NGO asing yang bekerja sama dengan LSM bermasalah dalam negeri serta melalui media cetak/ elektronik, tetapi dampak yang ditimbulkan amat sangat dahsyat dan fatal. Setelah terjadi kerusakan dan kehancuran moral dan budaya bangsa, maka negara yang menerangkan konsep perang modern tersebut berarti telah berhasil menguasai atau menjajah alam pikiran kita. Selanjutnya negara tersebut akan tampil seolah-olah sebagai penyelamat, sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan demokrasi, walaupun sesungguhnya itu hanya kedok belaka. Negara tersebut tidak pernah dihujat, dibenci atau dikucilkan, akan tetapi malah dipuji dan diagungkan. Inilah yang harus diwapadai dan jangan sampai kita terkecoh. Krisis multidimensial yang telah melanda kehidupan bangsa Indonesia dan belum dapat diatasi hingga saat ini, termasuk upaya melemahkan TNI, bukan tidak mustahil merupakan skenario perang modern yang sedang diterapkan oleh negara-nagera tertentu. Untuk menghadapi perang modern tersebut, setiap anak bangsa hendaknya memiliki wawasan kebangsaan yang kuat. Kita menyadari betul bahwa kondisi bangsa yang majemuk/ plural, memerlukan suatu pengelolaan yang baik. Untuk itu kita sebagai warga negara yang sadar akan pentingnya Wawasan Kebangsaan untuk menjaga Kesatuan dan Persatuan Bangsa, harus berpikir bagaimana meningkatkan Wawasan Kebangsaan pada masyarakat. Semangat kebangsaan yang dimiliki prajurit diharapkan mampu ditransformasikan kepada keluarganya dan masyarakat sebagai perekat kesatuan adapun persoalan yang muncul adalah kurangnya integritas prajurit untuk bersosialisasi dengan lapisan seluruh masyarakat, khususnya warga masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Pembinaan teritorial yang merupakan salah satu gelar postur TNI / TNI AD perlu dioptimalkan dengan metode dan sistem yang kenyal dalam meningkatkan pembinaan teritorial, sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat dan dapat digunakan sebagai contoh/ panutan pada masyarakat luas. Pada lingkungan internasional, fenomena yang muncul adalah isu-isu global yang memuat universal dan mengungguli nilai-nilai nasional. Nilai-nilai universal tersebut bahkan sengaja dipaksakan kepada negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara yang saling menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Hal ini dilakukan melalui LSM internasional dan LSM bermasalah dalam negeri, sehingga memaksa negara-negara yang tidak menjalankannya untuk mengikuti konsep kebijakan negara sponsor tersebut fenomena ini dirasakan dan dengan kasat mata dan dapat kita saksikan di negara kita ini, antara lain ada kelompok yang menjual negara dan bangsanya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Memang sulit dimengerti, seorang anggota TNI yang bertugas demi bangsa dan negara dituntut ke Mahkamah Internasional oleh bangsanya sendiri. Sementara mereka yang menjual bangsanya dan negaranya kepada bangsa lain cenderung juga dibiarkan. Oleh karena itu, TNI harus waspada dan jangan terpengaruh terhadap perkembangan tersebut dan tetap menjaga Kesatuan dan Persatuan NKRI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lemahnya Wawasan Kebangsaan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya wawasan kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sangatlah kompleks. Secara umum dapat dilihat pengaruh dari dalam (internal) dan pengaruh dari luar (eksternal).
Faktor Internal a) Krisis multidimensial dibidang moneter, ekonomi, politik, hukum, keamanan, sosial budaya, krisis moral, dan krisis kepercayaan. b) Bahaya disintegrasi bangsa antara lain: yang dipicu oleh semangat etnosentrisme, primodialisme, sektarianisme disatu pihak, dan berseberangan dengan sikap uniformitas, sentralisme, dan otoriterisme di pihak lain. Ditambah dengan aplikasi otonomi daerah (UU No.22 tahun 1999) yang „kebablasan‟ yang tidak sesuai dengan semangat dan substansi otonomi daerah itu sendiri. c) Etnosentrisme adalah suatu sikap atau pandangan yang semula berpangkal pada rasa kebanggaan kepada masyarakat dan kebudayaan sendiri, adat sendiri, atau etnisnya sendiri pada kelompok masyarakat, tertentu, namun kemudian berkembang menjadi sikap dan pandangan yang meremehkan, memandang rendah atau kurang menghargai kepada masyarakat, budaya atau adat etnis yang lain. Loyalitas lebih dominan kepada orang sesuku daerahnya. d) Primodialisme yaitu suatu sikap dan pandangan sutu kelompok masyarakat tertentu bahwa segala urusan haruslah yang mula-mula, yang asal, yang asli daerahnya, yang didahulukan. Sehingga ada pemahaman keliru bahwa yang asli kepala daerah (gubernur,bupati, walikota) haruslah „putra daerah‟ tidak boleh yang berasal dari kelompok lain atau daerah lain. Bahkan dalam membentuk suatu daerah tertentu, kabupaten tertentu, haruslah berdasarkan „mayoritas‟ suku tertentu, etnis tetentu, sebagai etnis asli. Primodialisme adalah keterlibatan hati dan perasaan (emosional) yang didasari atau didominasi oleh lingkungan asalnya. Loyalitas satu-satunya adalah daerahnya, sukunya, agamanya, partai politiknya yang sama. Bila gejala dan kecenderungan ini terus berkembang maka akan terjadi kelunturan jiwa nasionalisme yaitu jiwa yang memandang bahwa kita ini adalah sebuah bangsa yang satu, bersemangat satu, berjiwa yang satu, memiliki nasib dan sejarah yang sama serta tujuan nasional yang sama walaupun kita bermacam –macam, berbeda-beda. e) Sektarianisme –(sektarian – anggota pendukung atau pengikut salah satu sekte atau kelompok komunitas tertentu), yaitu suatu sikap dan pandangan kelompok atau sekte, golongan masyarakat tertentu yang menganggap bahwa hanya golongannya/kelompok/sektenya sendiri (partai, agama, ideologi, etnis) lah yang lebih penting daripada kelompok atau sekte lain. Adanya serentetan kerusuhan yang berbau SARA di beberapa daerah Indonesia, seperti di PURWAKARTA (Nopember 1995 dan April 1997); Rengasdengklok (Januari 1997); Temanggung dan Jepara ( April 1997), Pontianak ( April 1997); Banjarmasin (Mei 1997), Sampang dan Bangkalan ( Mei 1997); Medan (April 1996), dan kerusuhan sektarian di Ambon, Pontianak, Kalimantan Barat, Tarakan, Poso, Tasik malaya,Wamena, dan sebagainya menunjukkan betapa sangat rawannya kondisi pluralitas itu bagi bangsa, (Lisriyati, 2008:25). Banyak analisis menyebutkan bahwa gejala konflik dan kerusuhan antar kelompok antar etnis dan anti pemeluk agama itu mempunyai background yang latent,yaitu : ketimpangan sosial,ketimpangaan ekonomi,dan politik yang sangat lebar menganga. Akibatnya terjadilah kemarahan kolektif di kalangan kelas sosial tertentu yang merasa diperlakukan tidak adil dalam bidang kekuasaan, ekonomi, hukum, dan perlakuan sosial yang kemudian menyeret sentimen antar kelompok etnis, dan kelompok agama lain yang sebenarnya akar permasalahannya bukan masalah antar etnis atau antar agama Faktor Eksternal Faktor luar yang merupakan tantangan pada masa kini ialah tumbuh berkembangnya: liberalisasi dan liberalisme, neoliberal-isme, neo-inperialisme dan globalisasi serta globalisme. a) Liberalisasi adalah suatu usaha untuk mengaplikasikan paham liberal dalam kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan ekonomi.(liberty,liberte – kebebasan). Liberalisasi di bidang ekonomi dan perdagangan internasioanl dimaksudkan untuk menghapus segala hambatan yang terjadi dalam perdagangan multi nasional seperti adanya tarif, quota, dumping, sistem proteksi, dan sebagainya dalam rangka meningkatkan volume perdagangan internasinal dan menciptakan efisiensi dalam hubungan perdagangan antar negara. b) Liberalisme – adalah suatu paham atau filsafat yang menginginkan kebebasan berpendapat secara lisan (berbicara) maupun kebebasan pendapat secara tertulis, kebebasan berorganisasi, berpolitik, beragama maupun berusaha, tanpa dicampuri
atau diintervensi oleh negara atau kekuatan sosial lainnya. Negara hanya memiliki kekuasaan dan kewajiban melindungi warga masyarakat dari gangguan atau serangan atau karena dirugikan pihak lain. Paham ini diintrodusir oleh John Locke (1632 – 1704) sebagai reaksi terhadap paham absolutisme yang dikemukakan oleh Robert Filmer (1688 – 1753) dan Thomas Hobes (1588 – 1678). Sebagai kekuatan politik pengaruh filsafat ini sudah berkurang, namun sebagai kekuatan sosial dan mental, filsafat ini sudah mengakar menjadi budaya hidup masyarakat Barat. c) Globalisasi – adalah suatu kondisi atau keadaan dimana hubungan antar bangsa, antar negara dan antar individu tidak lagi dapat dibatasi oleh batas-batas fenomenal maupun batas-batas hukum negara. Globalisasi yang melanda semua aspek kehidupan manusia dan bangsa di dunia ini telah mengubah secara cepat dan drastis tata aturan dunia serta pola kehidupan manusia dan bangsa-bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Kenichi Ohmae menyebut sebagai “borderless world” – dunia tanpa batasan,yang menjadikan manusia secara bebas dapat berinteraksi, berkomunikasi, serta bergerak secara universal dan global, dengan cara apa, bagaimana, dan kemana saja mereka mau. Hal ini scara langsung maupun tidak langsung telah menimbulkan masalah terhadap eksistensi negara dan bangsa. Perkembangan Pemahaman Nilai-Nilai Wawasan Kebangsaan Dari pengalaman sejarah bangsa, sejak Budi Utomo 1908 yang kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan ikrar Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945 sampai dengan saat ini, kita telah mangalami pasang surut dan dinamika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini kita telah masuk pada era globalisasi, transparansi dan reformasi yang sedang menguji keberadaan bangsa Indonesia, tanpa disadari keadaan tersebut telah mampu mengeser nilai-nilai bangsa yang selama ini terpatri kuat dan menjiwai kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila tidak lagi menjadi bagian yang harus dimengerti, dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya telah menjurus kearah kehidupan individualistik dan materalistik yang mengakibatkan semakin jauh dari nilai-nilai jati diri, kepribadian dan keimanan bangsa Indonesia. Kecenderungan semakin memudarnya Wawasan Kebangsaan tercermin dari perilaku hidup yamg semakin memprihatinkan. Sentimen dan fanatisme suku, ras dan antar golongan semakin menonjol sehingga seringkali rentan terhadap terjadinya gesekangesekan dan konflik bernuansa SARA diberbagai daerah. Kondisi tersebut diperparah oleh perbuatan sebagian kelompok masyarakat yang secara sadar menjual bangsanya sendiri kepada bangsa asing dengan menguasai isu-isu HAM, Demokratisasi dan lingkungan hidup untuk kepentingan sesaat, tanpa mempertimbangkan kepentingan bangsa yang lebih besar. Sulit rasanya bagi bangsa Indonesia untuk kembali bangkit dari keterpurukan saat ini ditengah deras masuknya faham asing yang bertentangan dengan faham Pancasila sehingga ancaman terjadinya disintegrasi bangsa tanpa disadari telah mengancam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi, falsafah, pandangan hidup dan alat pemersatu bangsa telah mampu mempersatukan keberagaman bangsa Indonesia selama kurun waktu 62 tahun dalam sebuah wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai terusik keberadaannya. Pancasila tidak lagi menjadi bagian yang harus dipahami, dimengerti dan diamalkan oleh setiap anak bangsa terutama sejak digulirkannya era reformasi. Indikasi tersebut dapat dirasakan bahwa paham kebangsaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 didasari perasaan senasib dan sepenang-gungan, kerelaan berkorban dan semangat patriotisme tidak lagi tertanam dalam hati sanubari setiap anak bangsa sehingga membuat bangsa Indonesia semakin lemah dan rentan terhadap terjadinya bentrokan-bentrokan bernuansa SARA. Semangat kebangsaan dan wawasan kebangsaan yang merupakan motivasi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin memudar tidak lagi terpancar dalam perilaku kehidupan bangsa sehingga keengganan membela dan mempertahankan bangsa dari berbagai kemungkinan ancaman tidak lagi menjadi tanggug jawab bersama seluruh komponen bangsa. Ditambah lagi paham komunis yang dulunya merupakan bahaya latent yang harus tetap kita waspadai, kini masyarakat sudah kurang peka bahkan cenderung tidak memperdulikan lagi, sehingga mereka bebas mengekspresikan keberadaanya serta terbuka untuk masuk keberbagai lini melalui partaipartai yang ada saat ini dan sungguh sangat memprihatin-kan kita.
Selain dari pada itu kondisi politik yang sangat lemah akibat lengsernya ”Kepemimpinan Nasional” mengakibatkan rentannya kondisi politik bangsa Indonesia saat itu, demikian juga kondisi ekonomi yang melanda bangsa Indonesia yang telah membuat semakin menambah beban kehidupan masyarakat. Sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan menjadi pengangguran masyarakat meningkat. Kesenjangan ekonomi yang cukup dalam tersebut telah mendorong sentimen etnis sehingga berpotensi muncul terjadinya pertikaian dan tindak kriminalitas baik secara kualitas maupun kuantitas. Dibidang sosial budaya mengalami kemerosotan yang tajam, disebabkan oleh derasnya kemajuaan ilmu pengetahuan dan teknologi elektronik yang menembus sampai ke pelosok desa tanpa ada penangkal atau batas. Hal tersebut dapat merusak akhlak dan moral masyarakat khususnya moral generasi muda. Nilai-nilai budaya yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam Pancasila semakin ditinggalkan, kecenderungan mengadopsi budaya asing mewarnai seluruh sendi kehidupan berbangsa. Kondisi tersebut lambat laun menjadikan masyarakat kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang memiliki budaya Adi Luhung yaitu budaya yang mempunyai nilai-nilai tinggi untuk mempersatukan bangsa yang kita kagumi ini. Disisi lain dapat kita cermati bahwa masih ada kekuatan yang masih utuhdan dapat diharapkan untuk menjaga keutuhan NKRI ini adalah Kemanunggalan TNI. Namun karena beban yang dipikul semakin berat dan ada pula pihak-pihak tertentu yang dengan cara sistematis ingin menghancurkan TNI maka hal tersebut secara psikologis akan mempengaruhi kinerja TNI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun dengan didukung komitmen yang jelas, tegas dan terukur, masalah wawasan kebang-saan yang berujung pada tetap tegak dan utuhnya NKRI, TNI bersama rakyat siap mengorbankan jiwa dan raganya. Menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Wawasan Kebangsaan Perlu Ditanamkan Bagi Anak-Anak Bangsa Sebagai bangsa yang besar kita patut menghargai sejarah bangsanya dan wajib mengingat dan memperhatikan (memelihara) para pahlawan bangsa yang telah berjuang dan mengantar bangsa ini menuju kemerdekaan dan mengisinya sesuai harapan dan citacita para pendiri bangsa ini. Dan sebagai bangsa yang besar pula seyogyanya menanamkan wawasan kebangsaan semenjak usia dini secara sederhana, sistematis dan mudah difahami sebagai bekal kehidupan dikemudian hari dalam bersosialisasi, bergaul dan bersikap diantara bangsa sendiri dan bangsa-bangsa lainnya guna menumbuhkan rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air. Analoginya adalah bahwa NKRI merupakan suatu Negara Kesatuan yang memiliki unsur/elemen: 1) Pancasila sebagai Dasar/alas/fondasi Negara. 2) Keanekaragaman suku dan budaya/Bhineka Tunggal Ika namun menjadi satu kesatuan pilar yang kuat. 3) UUD‟45 sebagai atap guna berlindung dan peneduh, 4) Haluan Negara sebagai perangkat penerangan yang memuat Visi dan Misi Negara (Trisakti/GBHN) 5) Keseluruhan elemen tersebut menjadi suatu kesatuan dalam rangka terjaganya keutuhan dan kesinambungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah Peristiwa 23 Januari 1942 di Gorontalo Peristiwa 23 Januari 1942 di Gorontalo, merupakan salah satu dari mata rantai rangkaian pergerakan rakyat Indonesia. Aksi rakyat yang dipelopori oleh Nani Wartabone dan tokoh-tokoh perjuangan Gorontalo dapat dikatakan sebagai salah satu pilar yang memperkokoh proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Buku Sudirman Habibie, dkk. (2004:30-38) menjelaskan bahwa, “beberapa hari menjelang 23 Januari, Nani Wartabone datang ke kota Gorontalo lalu mengancam Belanda dengan ancaman akan memenggal kepala mereka jika mereka membakar kekayaan rakyat dan tempat-tempat vital”. Kemudian ia menempatkan orang-orang sebagai mata-mata di tempat itu untuk mencegah tindakan pembumihangusan oleh Belanda. Peringatan itu sebenarnya untuk menakut-nakuti Belanda. Hal ini bukti keberanian Nani Wartabone. Belanda balas mengancam akan menangkap Nani Wartabone. Tiga hari ia, istri dan anak-anaknya, serta ayahnya menunggu polisi Belanda. Ternyata tidak ada yang datang. Ketika muncul kakanya Ayuba Wartabone, maka ayahnya menyatakan bahwa ia akan akan melindungi dan membela Nani Wartabone. Ayuba Wartabone pun secara diam-diam
mendukung perjuangan Nani Wartabone. Ia bermain secara halus agar tidak dicurigai Belanda. Pada hari kamis, kapal motor Kalolio dan sembilan gudang kopra di pelabuhan Gorontalo hangus dilalap api. Ada informasi yang menyatakan, hal itu adalah hasil pemboman Jepang. Tetapi dalam tanggomo manuli, sebagai wartawan tradisional budaya daerah Gorontalo, mengungkapkan hal itu adalah tindakan Belanda. Informasi lain, mengungkapkan sama dengan Manuli. Nani Wartabone (Temey jonu) melihat peristiwa itu, lalu kembali kekampungnya dan mengumpulkan keluarga, ayahnya, dan tokoh-tokoh pemuda untuk bersiap-siap menangkap Belanda. Itulah awal persiapan terjadinya peristiwa 23 Januari 1942. Pada malam Jumat itu, atau malam tanggal 23 Januari 1942 ia menyiapkan senjata, mengumpulkan rakyat dan pemuda anggota Hulunga. Ada pula kurir-kurir yang dikirim kewilayah-wilayah secara rahasia. Kerahasiaan dijaga ketat, agar tidak diketahui oleh Belanda dan kaki tangan Belanda. Peranan beberapa anggota polisi seperti Pedang Kelengkongan dan Ardani Ali dalam mempersiapkan peristiwa itu sangat penting. Mereka adalah teman dan kaki tangan Nani Wartabone yang membantu mengatur siasat, membujuk polisi agar memihak pada perjuangan rakyat. Pendang juga yang selalu mencari berita-berita dari pihak Belanda untuk disampaikan kepada Nani Wartabone. Pada malam persiapan pergerakan itu, pendang Kalengkongan telah diberikan informasi secara rahasia oleh Nani Wartabone. Pendang dimintakan untuk menjaga agar polisi tetap tenang ditangsinya, dan rakyat yang akan bergerak secara spontan dapat dilindungi. Pasukan inti Nani Wartabone, terdiri atas 300 orang anggota hulunga diatur supaya sebelum sudah siap di tanah lapang Suwawa, yaitu desa Boludawa. Adapula kegiatan awal, yang turut mematangkan munculnya peristiwa itu. Terjadi pertemuan rahasia yang tidak resmi dalam sebuah pesta di bawah pohon sawo manila di rumah ayah Nani Wartabone di Suwawa. Pembicaraan itu tidak menentukan tanggal pergerakan, hanya mencari jalan keluar untuk mencegah tindakan pembumihangusan oleh Belanda. Peristiwa lain adalah pertemuan tokoh-tokoh politik pada tanggal 15 Januari 1942 yang dipimpin oleh Kusno Danupoyo, yang memutuskan pembentukan komite dua belas. Pertemuan itu tidak dihadiri oleh Nani Wartabone. Untuk menjaga kerahasiaannya Nani Wartabone diangkat menjadi Ketua Komite duabelas. Rupanya anggota komita itu percaya bahwa Nani Wartabone yang paling tepat menjadi pemimpin. Pengangkatan itu sebagai penghargaan dan pengakuan terhadap kelebinan Nani Wartabone sebagai tokoh utama dalam pergerakan kemerdekaan. Dalam pertemuan itu, tidak dibicarakan tanggal aksi gerakan rakyat itu. Malah justru mereka tidak tahu, telah terjadi peristiwa patriotik itu. Komite duabelas hanya membicarakan penyatuan kekuatan untuk menyelamatkan rakyat dan aset rakyat dari upaya penghancuran oleh Belanda, dan bagaimana menghadapi Jepang agar rakyat tidak korban dengan kekerasan mereka. Kalau dilihat dari persiapan munculnya peristiwa itu, dapat diduga bahwa penetapan tanggal 23 Januari 1942 itu diputuskan sendiri oleh Nani Wartabone. Ada beberapa motivasi pemutusan sendiri, hari kejadian itu antara lain sebagai berikut: 1) Nani Wartabone ingin segera menyelamatkan aset-aset rakyat agar tidak dibakar oleh Belanda, 2) ia ingin segera membebaskan rakyat dari rasa takut dan penindasan Belanda dan antekanteknya, 3) ingin merahasiakan peristiwa itu sebelum terjadi, agar Belanda tidak bersiapsiap (lengah) dan tidak melarikan diri sebelumnya, 4) ingin diarahkannya secara etis sehingga tidak akan terjadi pertumpahan darah atau balas dendam juga penyusupan dan penjarahan, dan 5) ia ingin mendahului masuknya Jepang ke Gorontalo untuk menangkap Belanda. Siasat yang terakhir ini bertujuan agar tidak terjadi perang Belanda dan Jepang di Gorontalo yang akan menimbulkan jatuhnya korban pada rakyat. Di satu pihak sebagai siasat, agar Jepang tidak mencurigai Gorontalo. Nani Wartabone telah tahu watak Jepang yang sangat kejam. Ia ingin menyerahkan Belanda sebagai tawanan kepada Jepang. Siasat ini ternyata dapat dilaksanakan setelah peristiwa 23 Januari 1942. Tawanan orang-orang Belanda kepada tentara Jepang di Manado. Pada saat itu ada pesan Jepang, bahwa mereka akan ke Gorontalo. Motivasi lain pengambilan keputusan ini adalah ungkapan Soekarno bahwa apabila pecah perang dunia kedua maka itulah kesempatan bangsa Indonesia untuk bersatu. Perang Pasifik tahun 1941, memperburuk kekuatan Belanda. Nani Wartabone teguh pada ucapan Bung Karno yang isinya bahwa apabila pecah perang dunia kedua maka itulah
kesempatan emas bagi bangsa-bangsa terjajah untuk merebut kemerdekaannya. Kesempatan itulah yang memberi motivasi kepada Nani Wartabone, selain kondisi-kondisi lain. Ia tepat dan cerdas memperhitungkan situasi dan menentukan kesempatan. Hari Puncak Peristiwa 23 Januari 1942 Sudah diungkap sebelumnya bahwa pada malam Jumat telah diadakan persiapanpersiapan secara rahasia. Ada empat kegiatan penggalangan yang dipimpin langsung oleh Nani Wartabone. Pertama, mengadakan persetujuan keluarga untuk mendukung kegiatan itu, sekaligus mengambil langkah-langkah penyelamatan apabila ada resiko yang terburuk. Ayah Nani Wartabone mendukung sepenuhnya aksi yang akan dilaksanakan oleh Nani Wartabone. Istri dan anak-anaknya segera disingkirkan kalau ada resiko yang berbahaya. Nani Wartabone dengan ayahnya telah menyiapkan senjata bersama peluru apabila diperlukan. Kedua, menghubungi dan mengatur siasat bersama Pendang Kalengkongan agar tangsi polisi diamankan. Semua senjata polisi dimasukkan ke gudang, dan peranan Ardani Ali yang sangat penting pula untuk membujuk kawan-kawannya. Pendang dalam hal ini berperan sebagai pengaman terhadap Nani Wartabone dan rakyat, pada peristiwa tersebut. Kesepakatan antara Nani Wartabone dengan Pendang Kalengkongan itulah yang menentukan gerakan 23 Januari 1942 itu. Ketiga, menyebarkan kurir-kurir rahasia pada sebelum subuh agar memotivasi rakyat secara spontan untuk ikut dalam kegiatan puncak itu. Kegiatan ini hanya dipercayakan kepada beberapa orang temannya, yang mampu memegang rahasia. Dikhawatirkan jangan sampai rencana tersebut bocor, yang akan menimbulkan kesiapan pada pihak Belanda. Keempat, mengumpulkan pasukn inti hulunga di lapangan Boludawa, menggembleng mereka dengan cara-cara yang etis, serta mengajak keluarga dan rakyat sekitar untuk ikut pada pagi harinya. Mereka memakai pita pengikat kepala merah putih, sebagai lambang bahwa perjuangan itu adalah untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Tujuan bukan semata-mata untuk rakyat Gorontalo, tetapi jiwa semagatnya adalah nasionalisme dan kemerdekaan. Mereka memakai senjata apa saja yaitu keris, pedang, dan pisau. Mereka diwanti-wanti agar tidak melakukan tindakan diluar batas kemanusiaan. Inilah yang menyebabkan mengapa peristiwa itu tidak berdarah. Dari sistem pengaturan dapat dipahami bahwa aksi 23 Januari 1942 adalah terkendali, teratur, dan mempunyai kesamaan dan kesatuan tujuan. Ini adalah tanda suatu gerakan perjuangan modern, di mana ada pemimpin yang ditaati, ada tujuan yang ingin dicapai, ada metode atau cara melaksanakan dan diikuti, serta ada massa yang teratur dan tertib. Semua diatur secara rapi di bawah komando Nani Wartabone. Gerakan Massa Di cerita Manuli yang berjudul Tanggomo Teme Jonu, kesiapan rakyat itu sejak larut malam sebelum subuh, (Tuloli dalam Habibie, 2004:65). Dari sini dapat diduga bahwa keberangkatan ke Gorontalo itu dimulai malam mendekati subuh, ketika bulan telah muncul. Dalam penuturan para informan juga, hari jumaat pagi itu pasukan Nani Wartabone bersama dukungan rakyat berangkat dari Suwawa menuju ke Gorontalo, yang berjarak kurang lebih 11 kilometer. Pada waktu pasukan ini melewati kampung atau desa lain, maka rakyat berhamburan keluar dari rumah dan spontan bergabung dengan pasukan dari Suwawa. Penentuan waktu mendekatu subuh itu sangat strategis mengingat jarak tempuh perjalanan menuju ke Kota Gorontalo. perhitungan ini didasarkan pada situasi dan kondisi dalam masyarakat pada saat itu. Nani Wartabone tidak menunggu kesempatan, tetapi menciptakan kesempatan. Semua pasukan dan kelompok-kelompok masyarakat lain seperti Cina, Arab, dan wilayah lain siap di kota pada pagi hari. Orang-orang Belanda masih berada di rumah, dan tidak mengetahui bahwa pagi itu mereka akan ditangkap oleh pasukan Nani Wartabone. Sehingga pada saat penangkapan itu, mereka heran dan kaget bahkan ketakutan. Jadi gerakan massa itu terdiri atas dua komponen, yaitu pasukan inti Nani Wartabone dan rakyat sebagai pendukung. Pasukan inti itulah yang bertugas untuk menangkap Belanda, dan rakyat ikut membantu apabila dalam kondisi yang sangat gawat. Malah rakyat turut memotivasi dengan teriakan, yel-yel “Waqupa Walanta” yang artinya “tangkap Belanda”. Nani Wartabone berperan sebagai pemimpin pucuk, tetap menjaga agar dalam penangkapan itu tidak terjadi tindakan yang brutal, kasar, penjarahan, dan
penyiksaan. Etika dan moral sebagai dasar kultural rakyat Gorontalo sangat dipegang teguh. Penangkapan Terhadap Kolonial Belanda Sekitar subuh pasukan Nani Wartabone dengan rakyat dari Suwawa dan daerah dilaluinya, tiba di kota Gorontalo. Anak buah Pendang Kalengkongan dan Ardan Ali dan polisi segera bergabung. Yang mula-mula dikuasai adalah tangsi polisi dan penangkapan terhadap Kepala Polisi Belanda. Nani Wartabone mengingatkan : “markas dan tangsi polisi telah dikuasai oleh pemuda dan rakyat” sebaiknya Tuan menyerah saja”. Kepala polisi yang besar itu ingin mencabut pistolnya, tetapi bedil Nani Wartabone telah ditodongkan di perutnya. Segera pemuda pasukan hulungai menyerbu, merampas pistol dan pelkatkan pedanng, pisau dan keris ketubuh orang Belanda itu. Ia segera diringkus dan dijaga oleh beberapa pemuda. Dari sana pasukan itu menuju ke rumah kontrolir. Orang ini terkenal dengan tatapan matanya yang tajam dan menakutkan. Nani Wartabone dengan para pemuda mendekatinya dan tidak takut dengan tatapan matanya yang tajam penjajah itu. Kontrolir masih menanyakan “mengapa kamu datang kesini? Apa perlunya? Segera pulang!”. Belum selesai perkataannya, Nani Wartabone telah menodong bedilnya, yang diikuti oleh gerak cepat para pemuda. Hampir terjadi insiden, namun Nani Wartabone mengingatkan: “tidak boleh seorang pun yang menyakitinya atau keluarganya. Barang-barang milik orang Belanda tidak boleh diambil. Siapa yang melanggar perintah ini, akulah yang akan mengadilinya”. Kontrolir segera dijaga oleh beberapa pemuda dirumahnya. Nani Wartabone memimpin lagi penagkapan tuan Petrus. Tuan Petrus orang yang ramah. Ia keluar dengan keramahannya. Nani Wartabone dengan ramah pula mengatakan: “lebih baik Tuan Petrus menyerah saja pada kami, dan kami akan memperlakukan Tuan dengan baik”. Tuan Petrus tidak melawan. Beberapa pemuda mendampinginya dirumah itu. Ada seorang pejabat Belanda, yang oleh rakyat disebut Tuan Lamoqo (Tuloli dalam Habibie. 2004:69). Ketika ia melihat orang banyak berkumpul di jalan dan di rumah-rumah Kontrolir dan Petrus ia sudah mempunyai firasat yang buruk. Dengan segera ia melarikan diri, dan naik sebuah truk. Namun rakyat banyak dapat mengejar dan menahan truk itu. Orang itu diturunkan lalu ditangkap dan dibawa ke rumah Kontrolir. Penangkapan itu berjalan sangat mulus, tanpa mengeluarkan peluru, tanpa menikamkan senjata tajam. Tidak ada pertumpahan darah, baik pada pihak Belanda maupun rakyat Gorontalo. sebelum pukul sembilan pagi semua pejabat pemerintah Belanda, yang berjumlah kurang lebih 20 orang itu sudah ditangkap. Mereka disatukan dengan Kontrolir, Asisten Residen, Petrus, Kepala Polisi Belanda, mereka dibawa kepenjara. Kepala polisi Belanda merasa tersinggung, ia melawan dimasukkan ke penjara. Pada saat itu munculah Ardani Ali (polisi) yang menariknya ke penjara, lalu mendorongnya ke dalam penjara. Rupanya ia tidak rela merasakan apa yang dialami rakyat Gorontalo yang ditahan dalam penjara. Rakyat yang ditahan Belanda dikeluarkan dari penjara. Mereka berteriak-teriak gembira, sambil mengucapkan terima kasih kepada Nani Wartabone dan para pemuda. Suasana rakyat di kota, yang telah datang dari berbagai pelosok Gorontalo, tampak sangat gembira. Ada yang mengucurkan air mata, karena mengingat penderitaan yang dialami selama pemerintahan Hindia Belanda. Ada pula yang bergembira karena telah tercapai citacita kemerdekaan. Pengibaran Bendera Merah Putih dan Rapat Rakyat Sehubungan keberhasilan pasukan rakyat dalam menggulingkan pemerintah Belanda di Afdeeling Gorontalo, maka menjelang pukul 10.00 pagi atau lima jam setelah operasi dilakukan, 23 Januari 1942. Hari itu juga, hari Jumat massa rakyat dari berbagai pelosok kampung-kampung berdatangan menuju lapangan kota Afdeeling yang terletak tidak jauh dari ex rumah Asisten Residen Corn. Berjubel rakyat memadati lapangan ituguna mengikuti proses penaikan Bendera Merah Putih (ANRI), dengan gegap gempita masa rakyat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya mengiringi pengibaran Sang Saka Merah Putih. Selanjutnya, Nani Wartabone selaku ketua Komite Duabelas dan atas nama segenap rakyat menyampaikan pidato di hadapan massa rakyat, yang antara lain mengemukakan seperti dibawah ini : “Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas dan lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita yaitu Bendera Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah lagu Indonesia Raya. Pemerintah Belanda telah diambil alih oleh pemerintah Nasional”.
Pidato yang disampaikan dengan penuh berapi-api tersebut secara resmi merupakan awal terbukanya suatu cita-cita bangsa yang menghendaki adanya kemerdekaan dan kedaulatan, serta sekaligus mengakhiri kekuasaan pemerintah Belanda di Gorontalo yang telah berkuasa selama dua ratus enam puluh lima tahun (265 tahun), dari 1677 sampai 1942. Untuk membentuk pemerintahan yang merupakan bahagian dari proses pengambilalihan kekuasaan sebagai wujud dari cita-cita itu, maka segera hari itu juga pada pukul 15.00 sore hari itu para tokoh komite duabelas mengadakan rapat. Rapat tersebut dilaksanakan di kantor Distrik Gorontalo yang dihadiri oleh para Jogugu dan Marsaoleh serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya, walaupun jalannya rapat berlangsung alot, namun berhasil merumuskan sebuah keputusan, yakni terbentuknya badan pemerintahan yang diberi nama Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG), yan terdiri atas : (Manus, dalam Apriyanto. 2012: 79). Komandan Komando PPPG : Nani Wartabone Wakil Komando PPPG : J.A. Pendang Kalengkongan Kepala Pemerintahan Sipil : R.M. Koesno Danoepojo Pembantu : A.B. Dauhan, Usman Hadju Usman Monoarfa, Usman Tumu M. Soeondo, G. Usu, R.M. Danuwatijo. Kemudian satu tingkat dibawahnya, utnuk kelancaran roda pemerintahan PPPG juga dilengkapi dengan beberapa bahagian keperintahan antara lain adalah Husain Katili Bertindak sebagai Kepala Administrasi Pemerintah, J.A. Pendanng Kalengkongan diangkat sebagai Komandan Polisi Kota (stadspolitie), Komandan Pasukan Komandan Kota (stadswacht) dipercayakan kepada Ibrahim Mohammad, Usman Monoarfa sebagai Kepala Badan Pengawas Makanan dan Perdaganan Rakyat, Hamzah Ilahude bertindak sebagai Kepala Badan Pengawas Harga Barang-barang. Kepala Urusan Penerangan dikepalai oleh Kuno Kaluku. Untuk jabatan Kepala Pekerjaan Umum dipangku oleh A.J. Usman, Kepala Doeane dan pelabuhan dipegang oleh Mohammad Ali, A. Ilahude diangkat sebagai Kepala Kantor Pos, sedangkan penilik sekolah (schoolopziener) dijabat oleh A.L. Tamalawe dan D. Lumunon (ANRI dalam Joni Apriyanto. 2012:80). Selanjutnya tingkat elit kepolisian yang terdiri dari Polisi Kota (stadspolitie) dan polisi Luar Kota (veldpolitie) dalam beberapa jabatan telah terbentuk, di antaranya adalah Kepala Administrasi dijabat oleh J.J.F. Paat, Achmad Tangahu menjabat sebagai Kepala Keuangan, dan Kepala Bagian Perbekalan (logistik) dijabat oleh M.Th. Tumewu, serta ditambah enam orang anggota kepolisian bertindak sebagai komandan pasukan yaitu Ardani Ali, W. Paomei, A. Tombeg, J. Poluan, H. Pakasi, dan L. Manorek (ANRI dalam Joni Apriyanto. 2012:80). Disamping terbentuknya struktur pimpinan di tubuh kepolisian, di tingkat pimpinan militer pun dalam waktu yang relatif singkat pada 24 Januari, dapat dibentuk pula. Adapun susunan dari atas ke bawah terdiri dari jabatan komandan, kepala bagian, dan anggota staf dengan susunan lenngkapnya sebagai berikut. Komandan, Ibrahim Mohammad; wakil komandan, Abdulwahid Taib; Kepala Staf, Amin Larengkeng; kepala operasi, Ali Baladraf; kepala perbekalan, Ahmad Taib; kepala perhubungan, Idrus Bouty; kepala keuangan, Haruna Hulukati. Anggota staf terdiri dari Ali Umar, Ahmad Sahi, Hamzah Tangahu, Nani Deu, Ahmad Sjaus, Abubakar Alhasni, Syarifudin Panigoro, George Bokings, David Tumolo, Umar Bin Talib, Kadir Katili, Alva Dunda, Salim Bin Talib, Abdullah Utiarahman. Selanjutnya komandan pemuda-pemuda Surya Wirawan dipegang oleh Hasan Jasin serta komandan Yosonegoro dan komandan Batudaa masing-masing dipercayakan kepada Raden Himan dan Mandjo (ANRI dalam Joni Apriyanto. 2012:81). Mengenai sebutan status pemerintahan di daerah-daerah wilayah Afdeeling Gorontalo, seperti istilah distrik dan onderdistrik masih tetap dipertahankan sebagaimana yang berlaku pada sistem administrasi pemerintahan kolonial Belanda. Hal yang serupa juga berlaku pada personalia pejabat-pejabatnya tidak mengalami perubahan. Hanya saja personil yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda dimutasikan disetiap distrik dan onderdistrik dikembalikan pada polisi jabatan semula, sesuai awal tempt menjabat sebagai Jogugu ataupun sebagai Marsaoleh. Mutasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda ini dimaksudkan dalam rangka penyegaran kinerja personal agar tidak terjadi polarisasi dan pengkristalan hegemoni, yang pada akhirnya dapat mengancam kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Langkah ini menurutnya merupakan langkah strategis dalam memperkuat otoritas kekuasaan di tingkat lokal kaum pribumi.
Melalui hal itu pejabat Jogugu dan Marsaoleh yang terdapat di daalam struktur Pucuk Pimpinan Pemerinthan Gorontalo (PPPG) dapat dikemukakan sebagai berikut. R. Monoarfah, sebagai jogugu Distrik Gorontalo; A. Datau, jogugu Distrik Kwandang; Ayuba Wartabone, sebagai jogugu Distrik Limboto; Ismail Usman, memegang jabatan jogugu Distrik Suwawa; dan M.Hippy sebagai jogugu Tilamuta, sedangkan ditiap onderditrik yang dipimpin oleh marsaoleh terdiri dari sembilan orang diantaranya adalah Ismail Datau sebagai marsaoleh Onderdistrik Kabila. Kadir Habibie, marsaoleh Onderdistrik Tapa, A. Nento sebagai marsaoleh Onderdistrik Telaga; A. Tahir, sebagai marsaoleh Onderdistrik Sumalate; B. Hadju, marsaoleh Onderdistrik Paguyaman; S. Bija, marsaoleh Onderdistrik Bumbulan; Abudi Ilahude diposisikan sebagai marsaoleh Onderdistrik Batudaa; Junus Olii, sebagai marsaoleh Onderdistrik Atinggola; dan Udje Tangahu memangkujabatan sebagai marsoleh Onderdistrik Bonepantai. Hipotesis Bertitik tolak dari kajian teoritis di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Terdapat Hubungan Antara Pengetahuan Siswa Terhadap Wawasan Kebangsaan dengan Peristiwa 23 Januari 1942”. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di salah satu Sekolah Menengah Negeri yang berada di Kota Gorontalo yakni SMA Negeri 2 Kota Gorontalo, sekolah ini berlokasi di Jl. Beringin Kelurahan Buladu Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan April sampai dengan September 2013. Tahap penelitian yang dilalui adalah sebagai berikut : (1) observasi awal, (2) pengumpulan data, (3) analisis data, (4) penulisan laporan Populasi dan Sampel Populasi Penelitian Menurut Sugiono, (2007:61) yang dimaksud dengan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan dalam Yunus (2002:8), populasi adalah semua orang beserta karakteristiknya yang diperlukan, diteliti atau dijadikan objek penelitian. Apabila seorang meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Berdasarkan pendapat di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah kelas X SMA Negeri 2 Kota Gorontalo yang terdaftar pada Tahun Ajaran 2012/2013, dengan jumlah siswa 253 orang. Populasi ini tersebar pada 10 (sepuluh) rombongan belajar. Tabel 1. Distribusi Populasi Menurut Jenjang Kelas Jenis Kelamin No Kelas Jumlah Laki-laki Perempuan 1 X1 11 14 25 2 X2 13 13 26 3 X3 14 12 26 4 X4 13 12 25 5 X5 10 15 25 6 X6 14 11 25 7 X7 11 14 25 8 X8 13 12 25 9 X9 10 15 25 10 X10 13 13 26 Jumlah 253 (sumber: SMA Negeri 2 Kota Gorontalo) Sampel Penelitian Menurut Sugiono (2007:62) bahwa sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diperlukan dan apabila lebih besar dari 100 orang, maka diambil sampel antara 9-15% atau 20-25% atau lebih”. Berdasarkan pendapat ini, maka jumlah populasi yang sangat besar dan tidak mungkin diteliti secara keseluruhan, sehingga pengambilan sampel dilakukan secara random sampling (acak) dengan anggapan teknik ini mengacu pada
anggapan bahwa setiap populasi memiliki peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel. Dengan anggapan tersebut peneliti berharap sampel yang telah ditentukan dapat memberikan hasil yang akurat dan representative. Table 2. Distribusi Sampel Menurut Jenjang Kelas No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kelas
Jumlah Siswa
Anggota Sampel
X-1 25 3 X-2 26 3 X-3 26 3 X-4 25 2 X-5 25 2 X-6 25 2 X-7 25 3 X-8 25 2 X-9 25 2 X-10 26 3 Jumlah 253 25 Berdasarkan tabel di atas, jumlah sampel ditetapkan sebesar 25 orang. Besaran sampel ini dikehendaki kepercayaan sampel terhadap populasi 95% maka jumlah sampel yang diambil merupakan hasil pembagian jumlah siswa dalam 10 kelas. Jumlah total populasi 253 orang dikalikan 100 dibagi 10% di bulatkan sehingga mencapai sampel 25 orang. Setelah sampel dari tiap kelas dihitung, maka kumulatif ditentukan sebagai akhir penjumlahan tersebut. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan yakni metode korelasional. Dalam ilmu statistik korelasi diberi pengertian sebagai hubungan antar dua variabel atau lebih (Sudijono. 2009:179). Teknik korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik korelasi produk moment (Product Moment Correlation). Menurut Sudijono (2009:190), korelasi produk momen adalah salah satu teknik untuk mencari korelasi antar dua variabel yang kerap kali digunakan. Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diteliti yakni variabel X sebagai variabel bebas dan variabel Y sebagai variabel terikat. Untuk lebih jelasnya devinisi operasionalnya adalah sebagai berikut: 1. Sebagai variabel bebas (Y) adalah pengetahuan siswa yang diukur melalui pembagian angket yang berisi pernyataan tentang wawasan kebangsaan. Tujuan dari pengukuran pengetahuan siswa tersebut untuk mengetahui seberapa besar atau seberapa banyak wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh siswa SMA Negeri 2 Kota Gorontalo. Adapun jumlah seluruh soal instrumen yang ada dalam angket tersebut sebanyak 35 butir soal yang terdiri dari 3 indikator. Indikator tersebut antara lain cinta tanah air terdiri dari 15 butir soal, patriotisme terdiri dari 10 butir soal dan nasionalisme terdiri dari 10 butir soal. 2. Sebagai variabel terikat (X) adalah sejarah peristiwa 23 Januari 1942. Untuk mengukur variabel Y dilakukan juga melalui pembagian angket yang berisi berupa 35 butir soal dengan menghubungkan sejarah peristiwa 23 Januari 1942. Dengan demikian dapat diketahui seberapa besar hubungan antara pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan dengan peristiwa 23 Januari 1942. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah suatu cara atau usaha untuk memperoleh bahanbahan informasi atau fakta, keterangan atau kenyataan yang benar serta dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Penelitian selain menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih teknik pengumpulan data yang relevan. Penggunaan teknik dan penggunaan data yang tepat akan dapat diperoleh data yang objektif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian bermaksud untuk memperoleh data yang relevan, dan akurat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebaai berikut:
1) Pada variabel Y (pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan) yang berisi 35 butir pernyataan menggunakan instrumen angket dengan model skala yang bersifat kualitatif yakni dengan mengunakan skala berikut: SS = Sangat Setuju S = Setuju R = Ragu-ragu TS = Tidak Setuju STS = Sangat Tidak Setuju Setiap pernyataan positif diberi bobot 4,3,2,1,dan 0, sedangkan pernyataan negatif diberi bobot sebaliknya yaitu 0,1,2,3,4. 2) Pada variabel Y kita mengukur seberapa besar wawasan kebangsaan yang dimiliki siswa mengacu pada 3 indikator yakni cinta tanah air, semangat kebangsaan (nasionalisme), dan patriotisme. 3) Sedangkan pada variabel X (peristiwa 23 Januari 1942) juga menggunakan instrumen berupa angket. Dalam angket tersebut berisi 35 butir soal yang berhubungan dengan sejarah peristiwa 23 Januari 1942. 4) Adapun pemberian skor pada variabel X adalah dengan memberikan skor 1 pada tiap jawaban yang dianggap benar. 5) Sebelum angket ini dibagikan kepada responden (sampel) terlebih dahulu diuji validitas dan reabilitas tes-nya. 6) Setelah tes tersebut dianggap valid maka tes tersebut siap dibagikan kepada responden (sampel penelitian). 7) Nilai variabel X dan variabel Y selanjutnya dihitung berdasarkan analisis statistik korelasi product moment. Teknik Analisis Data Untuk pengujian reabilitas untuk angket mengunakan rumus Alpha berikut ini. 2 𝑘 𝑎 (𝑛) 𝑟11 = 1− 2 𝑘−1 𝑎 (𝑡) Dimana: r11 = harga reliabilitas intrumen. k = jumlah butir pertanyaan angket. ∑α2(n) = jumlah varians butir intrumen. α2(t) = varians total. Sedangkan pengujian reabilitas untuk tes menggunakan rumus KR-21 di bawah ini. 𝑘 𝑚. 𝑘. 𝑚 𝑟11 = 1− 𝑘 − 1𝑘. 𝑉𝑡 𝑘. 𝑉𝑡 Dimana: r11 = harga reabilitas instrumen k = jumlah butir soal X = rata-rata Vt = varians total. Melalui rumus di atas,maka kriteria penetapan reabilitas instrumen menggunakan klasifikasi Gulifort (dalam Ruseffendi,1998) sebagai berikut. 0 k ≤ 0,2 = sangat rendah. 0,2 < k ≤ 0,4 = rendah. 0,4 < k ≤ 0,7 = sedang. 0,7 < k ≤ 0,9 = tinggi. 0,9 < k ≤ 1,0 = sangat tinggi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regrasikorelasi. Langkah-langkah pengujian normalitas data adalah sebagi berikut. 1) Menentukan rentang interval R = skor minimum - skor minimum 2) Menentukan banyakya kelas K = 1+3,3 log n 3) Menentukan panjang kelas 𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 (𝑅) 𝑃= 𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 (𝐾) 4) Membuat daftar distribusi frekuensi
5) Mencari nilai rata-rata (X) 𝑓𝑖 X𝑖 X= 𝑓𝑖 6) Mencari standar devisasi (S) dengan rumus: 𝑛 𝑓𝑖 X𝑖2 − ( 𝑓𝑖 X𝑖 ) 𝑆= 𝑛(𝑛 − 1) 7) Membuat daftar distribusi frekuensi teoretik 8) Menghitung harga Chi-Kuadrat dengan rumus: 𝑘 (𝑂 − 𝐸 )2 𝑖 𝑖 2 x = 𝐸𝑖 𝑖=1 Dimana: Oi =frekuensi teoretik Ei =frekuensi pengamatan Kriteria yang digunakan adalah sebagi berikut. Data dikatakan berdistribusi normal apabila X2 hitung ≤X2 daftar pada taraf nyata a = 0,05 dengan derajat kebebasan (dk) = k-1.sebelumnya, data tidak berdistribusi normal jika X2 hitung≥ X2 (1-a)(k-1). Langkah selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis digunakan teknik analisis korelasi dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1) Menghitung Koefisien Korelasi Perhitungan koefesien korelasi dimaksudkan untuk mengetahui kerhubungan antar variabel X dan variabel Y dengan mengunakan rumus korelasi product moment berikut ini. 𝑛 XY −( X)( Y) 𝑟𝑥𝑦 = (Arikunto, 2007: 327) 2 2 2 2 𝑛
X −( X ).𝑛
Y −( Y)
Di mana: rxy = korelasi yang dicari ∑X = korelasi responden untuk instrumen ke-1. ∑Y = skor total responden. N = jumlah responden. 2) Koefesien determinasi (r2) 3) Menghitung nilai statistik uji-t dari Koefesien (r) dan jumlah responden n dengan rumus: 𝑅 𝑛−2 𝑡= 1 − 𝑟2 Memilih taraf nyata α =0,05 dan derajat kebebasan dk= n-2, kemudian menentukan harga kritis statistik uji –t,yaitu t(1-a) dk dari tabel presentil untuk distribusi t. Kriteria pengujian terima H0 jika t hiting ≤ t(1-a) dk dan sebaliknya terima H1 jika t hitung ≥ t(1-a)dk. Hipotesis Statistik Kriteria pengunjian : Terima Ho jika : - t ( 1 - ½a ) ≤ t ≤ t ( 1 - ½a ) dengan taraf nyata = 0,05 dengan derajat kebebasan dk = n1 + n2 – 2. H0 :µ1 – µ 2 : Tidak terdapat hubungan pengetahuan siswa terhadap peristiwa 23 Januari 1942 dengan pemahaman wawasan kebangsaan. H1 :µı ≠ µ2
: Terdapat hubungan pengetahuan siswa terhadap peristiwa 23 Januari 1942 dengan pemahaman wawasan kebangsaan.
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni: (1) hubungan pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan (Y), dan (2) peristiwa 23 Januari 1942 (X). Kedua jenis data ini pada dasarnya merupakan dua variabel korelasi untuk memperoleh hubungan antara dua variabel yaitu variabel X dan Variabel Y. Data tersebut kemudian dianalisis sesuai prosedur analisis data statistik. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh deskripsi sebagai berikut. Pengujian Validitas dan Reabilitas Tes Uji Validitas Tes
Instrumen penelitian sebelum diedarkan kepada 25 orang siswa yang dijadikan sampel, terlebih dahulu diujicobakan kepada 35 orang siswa sebagai responden yakni kelas XI untuk melihat kelayakan dan keavalidan sebagai tes pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan terhadap peristiwa 23 januari 1942. Perhitungan numerik pengujian validitas tes (rhitung) dikorelasikan dengan rdaftar product moment, dengan derajat kepercayaan α = 0,05 (n-30) diperoleh rtabel = 0,334. semua item soal diperoleh rhitung> rtabel sebagaimana pada lampiran 5, maka item soal-soal dinyatakan valid dan dapat dijadikan sebagai instrumen penguji pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan terhadap peristiwa 23 januari 1942. Berikut disajikan tabel daftar validitas Tes Pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan. Tabel 3. Status Validitas Tes Pengetahuan Siswa tentang Wawasan Kebangsaan No. rhitung Kriteria Item 1 0,9943 Valid 2 0,9861 Valid 3 0,9882 Valid 4 0,9879 Valid 5 0,9828 Valid 6 0,9829 Valid 7 1,0184 Valid 8 0,9864 Valid 9 0,9921 Valid 10 0,9871 Valid 11 0,9892 Valid 12 0,9878 Valid 13 0,9908 Valid 14 0,9775 Valid 15 0,9777 Valid 16 0,9922 Valid 17 0,9941 Valid 18 Valid 0,9891 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
2,0693 0,9927 0,9756 0,9815 0,9889 0,9796 0,9767 0,9752 0,9754 0,9772 0,9728 0,9792 0,9749 0,9737 0,9864 0,9872 0,9779
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Uji Reabilitas Tes Setelah itu, dilakukan uji reliabilitas tes untuk melihat ketepatan alat pengukuran yang digunakan, sehingga data yang diperoleh dapat representatif dan dapat dipercaya dalam penggunaannya. Reliabilitas tes berhubungan dengan tingkat kebenaran tes, jika instrumen berupa tes telah dianggap baik, maka akan menghasilkan data yang baik pula. Untuk mengurangi tingkat kesalahan pada tes yang dibuat, peneliti membuat pedoman penskoran yang disesuaikan dengan butir soal. Proses perhitungan numerik pengujian reliabilitas tes peristiwa 23 Januari 1942 dapat dilihat pada lampiran dengan rhitung diperoleh 0,334 yang dikorelasikan dengan rtabelproduct moment. Dengan mengambil derajat kepercayaan α = 0,05 dan banyaknya item
soal 35 (n = 30) diperoleh rdaftar = 0,334, karena rhitung> rdaftar atau 2,475 > 0,334, maka item soal reliebel dan dapat dijadikan sebagai instrumen pengujian. Untuk lebih jelasnya berikut disajikan tabel status reliabilitas tes. Tabel 4. Status Reliabilitas Tes Peristiwa 23 Januari 1942 No. S2hitung Kriteria Item 1 0,5155 Reliabel 2 0,5478 Reliabel 3 0,5800 Reliabel 4 0,8156 Reliabel 5 0,7411 Reliabel 6 0,6766 Reliabel 7 0,4511 Reliabel 8 0,6444 Reliabel 9 0,8055 Reliabel 10 0,8055 Reliabel 11 Reliabel 0,5156 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
0,5478 0,8378 0,7733 0,7411 0,8700 0,8056 0,8378 0,7411 0,6767 0,7733 0,7411 0,8378 0,8056 0,6122 0,6444 0,7089 0,7089 0,8056 0,6444 0,6767 0,8056 0,7411 0,8378 0,7089
Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Proses perhitungan numerik pengujian reliabilitas tes pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan (lampiran 4) dengan rhitung diperoleh 2,475 yang dikorelasikan dengan rdaftar product moment. Derajat kepercayaan α = 0,05 (n = 30) diperoleh rtabel = 0,334, karena rhitung> rdaftar atau 2,475 > 0,334, maka item soal-soal reliabel dan dapat dijadikan sebagai instrumen penguji. Kegiatan penelitian yang dilakukan setelah menguji validitas dan reliabilitas tes, selanjutnya adalah pengujian normalitas data. Hal ini dilakukan untuk menguji apakah data diperoleh dari sampel penelitian berdistribusi normal atau tidak. Pengujian Normalitas Data Normalitas data merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menentukan uji statistik. Dalam pengujian normalitas data, ditujukan untuk mengetahui data yang diperoleh dalam penelitian terdistribusi normal atau tidak. Hasil pengujian data terhadap peristiwa 23 Januari 1942 diperoleh data bahwa data tersebut berada pada taraf nyata, karena X2hitung = 4,088 sedangkan untuk X2tabel =11,070, sehingga X2hitung< X2tabel atau 4,088 < 11,070, maka hipotesis berdistribusi normal dan diterima pada taraf nyata α = 0,05 dan dk = 6 (lihat lampiran 10).
Hasil pengujian data pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan, diperoleh data juga pada taraf nyata, karena X2hitung =3,1848, sedangkan untuk X2tabel =11,070, sehingga X2hitung< X2tabel atau 3,1848< 11,070, maka hipotesis berdistribusi normal dan diterima pada taraf nyata α = 0,05 dan dk=6. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengujian kedua kelompok data tersebut, maka dapat dilakukan pengujian homogenitas varians data (lihat lampiran 11). Pengujian Homogenitas Data Pengujian homogenitas varians didasarkan pada data yang berdistribusi normal sebagaimana hasil yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil perhitungan (lihat lampiran 10), diperoleh yakni nilai x2=5 dan bila dilihat pada tabel distribusi x2 = 11,070, karena x2hitung≤x2tabel, maka H0 diterima atau populasi memiliki varians yang homogen (sama), sehingga dapat ditentukan uji statistiknya untuk pengujian hipotesisnya. Pengujian Hipotesis Berdasarkan hasil pengujian normalitas data, diperoleh statistik uji yang relevan untuk pengujian hipotesis yaitu dengan menggunakan statistik uji t. Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan kesesuaian antara kedua variabel apabila terdistribusi normal. Dari seluruh hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa hubungan pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan terhadap peristiwa 23 Januari 1942, sehingga secara statistik hasil penelitian diterima pada taraf nyata α = 0,05. Pembahasan Wawasan kebangsaan menentukan cara suatu bangsa mendayagunakan kondisi geografis negara, sejarah, sosio-budaya, ekonomi, dan politik serta pertahanan dan keamanan dalam mencapai cita-cita dan menjamin kepentingan nasional. Wawasan kebangsaa menentukan cara bangsa menempatkan diri dalam tata hubungan dengan sesama bangsa dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia Internasional. Oleh karena itu sebagai bangsa yang berdaulat haruslah memiliki generasi-generasi penerus bangsa yang dapat menjaga harga diri bangsa seperti memahami sejarah-sejarah lokal dan nasional salah satunya sejarah tentang peristiwa 23 Januari 1942. Peristiwa 23 Januari 1942 juga merupakan salah satu episode sejarah. Artinya, tonggak sejarah yang mempunyai nilai pendidikan perjuanggan bangsa. Sejarah perjuangan bangsa dan semangat kebangsaan dari setiap peristiwa patriotik di daerah-daerah perlu diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Apabila suatu bangsa mengenal dan memahami sejarah bangsanya sendiri, maka bangsa tersebut akan memperoleh arah kehidupan menuju masa depan. Berdasarkan deskripsi data diperoleh skor rata-rata pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan (variabel Y) sebesar 149,5. Hasil tersebut dapat dikatakan cukup baik karena dari 25 orang siswa ada beberapa siswa yang memiliki pengetahuan tentang wawasan kebangsaan yang cukup baik. Kondisi tersebut walaupun belum bisa mencapai taraf yang maksimal akan tetapi sebagai generasi penurus bangsa haruslah memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi agar tumbuh nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme terhadap bangsa sendiri. Sedangkan untuk deskripsi data tentang peristiwa 23 Januari 1942 (variabel X) diperoleh skor rata-rata sebesar 21,8. Hasil tersebut dapat pula dikatakan baik karena dari sekian banyak sampel sebagian besar mengetahui sejarah peristiwa 23 Januari 1942 yang terjadi di Gorontalo. Dari hasil tersebut diharapkan kepada siswa sebagai generasi-generasi bangsa dapat menjadikan nilai-nilai juang dalam peristiwa tersebut sebagai pedoman untuk melangkah dalam rangka hidup bermasyarakat dan bernegara. Dari segi pendidikan pemahaman sejarah sangat perlu bagi setiap siswa sebab dengan pemahaman sejarah tersebut dapat menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana dalam setiap langkahnya. Untuk melihat sejauh mana hubungan antara dua variabel penelitian yakni pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan (variabel X) dengan peristiwa 23 Januari 1942 (variabel Y) dapat dilihat dari hasil-hasil analisis statistik berikut. Dari hasil analisis korelasi product moment menunjukkan variabel pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan (variabel Y) berkorelasi positif terhadap peristiwa 23 Januari 1942 (X). Koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 2,475 ≥ 0,334 pada taraf signifikan 0,05 dengan n = 25. PENUTUP Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan besaran-besaran statistik yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan siswa tentang wawasan kebangsaan terhadap peristiwa 23 januari 1942. Berdasarkan hasil perhitungan pengujian hipotesis dalam penelitian ini diperoleh harga yakni nilai x2=5 dan bila dilihat pada tabel distribusi x2 = 11,070, karena x2hitung ≤ x2tabel, maka H0 diterima atau populasi memiliki varians yang homogen (sama). Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan HA diterima. Dengan demikian hipotesis penelitian yang berbunyi “Terdapat Hubungan Pengetahuan Siswa Terhadap Wawasan Kebangsaan dengan Peristiwa 23 Januari 1942” dapat diterima. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut. 1. Diharapkan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan agar dapat memasukkan sejarah peristiwa 23 Januari 1942 dalam kurikulum pendidikan terutama dalam mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah menengah atas agar para siswa mengetahui dengan jelas sejarah perjuangan para tokoh-tokoh patriotis yang ada di Gorontalo. 2. Kepada para guru-guru sejarah yang ada di sekolah-sekolah setidaknya menceritakan peristiwa yang sangat bersejarah yakni peristiwa 23 januari 1942. 3. Kepada para siswa sebagai generasi penerus cita-cita bangsa diharapkan dapat mempelajari dan mengaplikasikan sikap patriotik tokoh-tokoh para pejuang nasional maupun lokal. DAFTAR PUSTAKA Apriyanto, Joni. Sejarah Gorontalo Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2012. Arifin, Zaenal. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Posdakarya.2010. Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: rineka cipta, 2010. Baruadi, Mohamad Karmin. Dkk. Jurnal Penelitian Pendidikan. Gorontalo: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Gorontalo. 2004. Habibie, Sudirman. Dkk. 23 Januari 1942 Dan Nasionalisme Nani Wartabone. Gorontalo: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo. 2004. Kencana Syafiie, Inu. Ilmu Negara (Kajian Ilmiah dan Kajian Keagamaan). Bandung: Pustaka Reka Cipta. 2013. Lisriyati, Retno dan Setiadi. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMK dan MAK Kelas X. Bandung: Erlangga. 2008. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode2009-2014. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. 2013. Purwadi. Sejarah Perjuangan Presiden Soekarno. Yogyakarta: Buana Pustaka. 2004. Sudijono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada,2009. Sukadi. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn untuk SMA-MA/SMK Kelas X).Bandung: PT. Srikandi Empat Widya Utama. 2013. Taupan, M. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA-MA/SMK Kelas X. Bandung: Penerbit Yrama Widya. 2013. Yunus, Hamzah. Dasar-Dasar Statistik, Diktat. Gorontalo: IKIP Negeri Gorontalo, 2002