Abstrak Perlindungan Hukum Terhadap Istri Yang Menjadi Korban Kekerasan Suami Nurmalawaty
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan terhadap isteri yang terjadi pada saat ini mengalami peningkatan baik dari kuantitasnya maupun kualitasnya. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian dari semua pihak untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan, faktor-faktor penyebab dan bagaimana perlindungan hukum bagi isteri yang menjadi korban kekerasan suami. Dari penelitian ini diperoleh hasih bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap isteri bervariasi, seperti kekerasan fisik, kekerasan non fisik/kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. Faktor penyebab terjadinya kekerasan ini disebabkan karena faktor sosial, faktor budaya, faktor penegakan hukum, faktor kepribadian suami dan faktor ekonomi. Perlindungan hukum bagi isteri yang menjadi korban kekerasan suami dapat menggunakan aturan-aturan hukum baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) maupun Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (UU No.23 Tahun 2004)
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I
: PENDAHULUAN……………………………………………...1 A. Latar Belakang ……………………………………………..1 B. Perumusan Masalah………………………………………...3
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA………………………………………4
BAB III
: TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN………………... 10 A. Tujuan Penelitian ................................................................ 10 B. Manfaat Penelitian…………………………………………10
BAB IV
: METODOLOGI PENELITIAN ……………………………..11 A. Jenis Penelitian…………………………………………… 11 B. Lokasi…………………………………………………….. 11 C. Metode Penentuan Sampel ………………………………. 11 D. Sumber Data ……………………………………………... 12 E. Metode Pengumpulan Data ………………………………. 12 F. Analisis Data ……………………………………………... 12
BAB V
: HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………13 A. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Isteri………………...13 B. Faktor-faktor Penyebab Suami Melakukan Kekerasan Terhadap Isteri…………………………………22 C. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami…………………………………......26 D. Beberapa Putusan Kasus Kekerasan Terhadap Isteri ……………………………………………32 Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
BAB VI
: KESIMPULAN DAN SARAN………………………………34 A. Kesimpulan……………………………………………….34 B. Saran……………………………………………………..35
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….36
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu tujuan perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sekaligus memberikan suatu definisi perkawinan : "perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Kemudian dalam Pasal 33 ditentukan tentang hak dan kewajiban suami isteri, "suami isteri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain". Dari kedua pasal di atas dapat diartikan sebagai larangan adanya kekerasan di dalam rumah tangga khususnya kekerasan oleh suami terhadap isteri, karna hal ini tidak sesuai dengan tujuan perkawinan serta hak dan kewajiban suami isteri. Apalagi menurut pandangan bangsa Indonesia bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga yang sakral. Namun, kenyataan membuktikan telah banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan, khususnya di Kota Medan. Data yang diperoleh dari LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perhimpunan Untuk Keadilan Medan) menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan setiap tahunnya terus meningkat. Tahun 2003 jumlah kasus meningkat sampai 608 kasus, diantaranya 131 kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga, 294 kasus perkosaan/ pencabulan, 50 kasus penganiayaan, 47 perampokan, 36 kasus melarikan perempuan dibawah unur, dan 14 kasus pembunuhan. Berbagai bentuk kekerasan fisik kepada isteri tidak hanya bersifat fisik seperti melempar, menampar, memukul, menunjang, menggigit sampai membunuh, namun juga bersifat non fisik seperti menghina, berbicara kasar, ancaman, mengisolir isteri dari dunia luar. Kekerasan seperti ini adalah dalam bentuk kekerasan psikologis/kejiwaan.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
2
Dari kasus-kasus yang terungkap diatas, ternyata masih banyak kasus kekerasan terhadap isteri yang tidak dilaporkan, dengan alasan hal ini merupakan urusan intern keluarga. Suatu fenomena dalam masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa menceritakan tindak kekerasan yang dilakukan suami sendiri adalah seperti "menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri" sama halnya dengan membuka aib keluarga sendiri. Padahal tindakan suami tersebut sudah termasuk tindakan kriminal. Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan hukum bagi perempuan khususnya isteri yang menjadi korban kekerasan suami. Walaupun dalam KUH Pidana ada beberapa pasal yang mampu menjerat pelaku kekerasan ini, namun kelihatannya belum efektif dalam penanggulangan bentuk kekerasan ini. Hal ini dapat dilihat dari data baik di kepolisian maupun pengadilan yang sangat minim sekali dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap isteri ini. Dengan demikian tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri seharusnya perlu disikapi dan ditangani sampai tuntas agar isteri yang menjadi korban kekerasan dari suaminya mendapat perlindungan yang layak. Uapaya untuk menemukan indikasi-indikasi yang berkaitan terutama di Kota Medan perlu mendapat perhatian serius. Dengan ditemukan indikasi-indikasi tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap isteri dan dapat dilakukan pencegahan/penanganan serta penanggulangannya.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
3
B. Perumusan Masalah Dalam penelitian ini permasalahan yang dikemukakan adalah sebagai berikut
1. Bagaimana bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri ? 2.
Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap isteri ?
3.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan suami ?
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bahasa Inggris, kekerasan diistilahkan "violence" yang artinya kekerasan, kehebatan, kekejaman. Secara etimologi, kata violence merupakan gabungan dari "vis" yang berarti daya atau kekuatan dan "latus" yang berasal dari kata "ferre" yang berarti membawa. Berdasarkan kata ini, kekerasan adalah tindakan yang membawa kekuatan untuk melakukan paksaan ataupun tekanan berupa fisik maupun non fisik. Dalam pengertian yang sempit, kekerasan mengandung makna sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seorang atau serangan penghancuran paksaan yang sangat keras, kejam dan ganas atas diri. 1 Romli Atmasasmita, menyebutkan kejahatan kekerasan harus menunjuk pada tingkah laku yang harus bertentangan dengan undang-undang baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap benda dan fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Kejahatan kekerasan bersifat universal, yaitu dapat terjadi dimana saja, kapan saja, siapa saja, bahkan akibat yang dirasakan sama yaitu penderitaan baik secara fisik maupun non fisik, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dalam Deklarasi PBB tahun 1993 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Pasal 1 menyebutkan : yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan
tertentu,
pemaksaan
atau
perampasan
kemerdekaan
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
1
Romli Atmasasmita, 1988, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Bandung : Eresco, hal 55 Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
secara
5
Pasal 2 (a) dapat diidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan, yaitu : Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada : tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga dan di masyarakat termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami isteri, dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara dimanapun terjadinya. Pasal 3 disebutkan bahwa perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi yang sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang-bidang lainnya. Hukum tidak memberikan batasan pengertian secara jelas tentang kekerasan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah kekerasan terhadap wanita. KUHP hanya menggunakan istilah penganiayaan yang merupakan jenis perilaku yang menggunakan kekerasan seperti yang diatur dalam Pasal 351 KUHP - 355 KUHP, sedangkan Pasal 356 ayat(1) ke 1 e KUHP mengatur tentang tambahan hukuman sepertiga jika penganiayaan itu dilakukan terhadap ibunya, bapaknya yang sah, isterinya/suaminya. Pasal 89 KUHP disebutkan bahwa yang disamakan melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Pingsan diartikan tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Tidak bcrdaya artinya tidak mempunyai kckuatan atau tcnaga sama sekali, sehingga tidak dapat melakukan perlawanan sedikitpun. Dalam Undang-undang tentang Pcnghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004) dalam Pasal 1 point 1 disebutkan : Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
6
Kekerasan terhadap isteri sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Hal ini karma yang menjadi korban kekcrasan dalam rumah tangga bukan hanya isteri saja, tetapi juga ibu, bapak, suami, anak, pembantu rumah tangga. Tetapi secara umum pengertian kekerasan dalam rumah tangga lebih dipersempit sebagai kekerasan suami terhadap isteri. Penyempitan pengertian kekerasan dalam rumah tangga tersebut karna pada umumnya yang sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga adalah isteri, dimana pelakunya adalah suaminya sendiri. Dalam membahas kekerasan berbasis gender ini, erat kaitannya dengan subordinasi laki-laki terhadap perempuan. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan karena perempuan dianggap paling rendah kedudukannya. Oleh karenanya, kenyataan membuktikan bahwa perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan daripada laki-laki. Secara umum, kekerasan berbasis gender dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan, baik yang bersifat nilai-nilai verbal, fisik, psikologis maupun seksual yang ditujukan kepada perempuan sebagai jenis kelamin. Ruth Indah Rahayu mengatakan bahwa : Pelembagaan kekerasan berbasis gender terjadi akibat hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial yang berhirarki, mencakup wilayah ekonomi, politik dan budaya. Dalam hubungan sosial tersebut kaum perempuan ditempatkan sebagai pihak yang dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan sosial yang berkuasa dalam masyarakat. Di tingkat individual, pemilik kekuasaan itu dapat mewujudkan jati dirinya sebagai raja, guru, pacar, suami, teman, ayah, paman, tetangga, aparat keamanan, aparat sipil, dan sebagainya. Di tingkat yang lebih luas, keluarga dapat juga mewujudkan diri sebagai pemilik kekuasaan itu. Ada banyak keputusan-keputusan keluarga yang merupakan kekerasan berbasis gender, seperti menjual anak perempuan untuk mengantisipasi krisis ekonomi rumah tangga. 2 Badan PBB secara resmi mendefinisikan kekerasan berbasis gender pada tahun 1993, ketika Majelis Umum mengesahkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan :
2
Ruth Indah Rahayu, Pola Kekerasan Basis Gender di Indonesia, Jurnal Perempuan Edisi 9, November – Januari, 1999, Hal. 10 - 11 Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
7 Kekerasan berbasis gender meliputi segala tingkah laku yang merugikan yang ditujukan kepada perempuan dan anak perempuan karna jenis kelaminnya, termasuk penganiayaan isteri, penyerangan seksual, mas kawin yang dikaitkan dengan pembunuhan, perkosaan dalam perkawinan, pemberian gizi yang kurang pada anak perempuan, pelacuran paksa, sunat untuk perempuann dan penganiayaan seksual pada anak perempuan. Lebih luas lagi, kekerasan terhadap perempuan meliputi setiap tindakan pemaksaan secara verbal atau fisik, pemaksaan atau perampasan kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan atau gadis yang merugikan secara fisik maupun psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, sehingga mengekalkan subordinasi perempuan.3 Dengan demikian kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang sangat tradis. Seperti apa yang digambarkan oleh Sulistiyowati Irianto bahwa kasus-kasus kekerasan dengan korban percmpuan terjadi hampir setiap hari di seluruh dunia, baik secara individual, maupun terintegrasi di dalam peristiwa sosial politik dalam skala besar, seperti konflik bersenjata atau kerusuhan sosial. 4 Sehubungan dengan kekerasan terhadap isteri ini, perlu diketahui pada yang menjadi faktor penyebab terjadinya tindakan kekerasan suami terhadap isteri. Parha Ciciek menyatakan bahwa yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) antara lain : 1. Fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Kita pada umumnya percaya bahwa lelaki berkuasa atas perempuan. Dalam rumah tangga ini berarti suami atas isteri. Isteri adalah sepenuhnya milik suami, sehingga selalu harus berada dalam kontrol suami.
3
Muhammad Hakimi, Membisu Demi Harmoni, Kekerasan Terhadap lsteri clan Ke.sehatan Perempuan di Jawa
Teryah, Indonesia, LPKGM FK UGM, Yogyakarta, 2001, hal. 4 – 5 4
Sulistyowati, Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Hukum Pidan ( Satu Tinjauan Hukum Berprespektif
Feminis), Jurnal Perempuan, edisi 10, Februari-April 1999.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
8
2. Masyarakat masih membesarkan anak dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tanpa ampun. Lelaki dilatih untuk merasa berkuasa atas diri dan orang sekelilingnya. Itulah kejantanan. Jika mereka menyimpang dari peran tersebut, mereka dikategorikan sebagai lelaki lemah. Dan hal ini sangat melukai harga diri dan martabat lelaki. Setelah mereka tumbu menjadi lelaki dewasa dan menikah, masyarakat semakin mendorong mereka untuk menaklukkan isteri. Jika gagal, berarti kejantanannya terancam. Nilai inilah yang mendorong suami untuk mempergunakan cara apapun, termasuk cara kekerasan demi menundukkan isterinya. Jika kita tetap membesarkan anak lelaki kita seperti ini, kita termasuk golongan yang melanggengkan budaya kekerasan. 3. Kebudayaan kita mendorong perempuan atau isteri supaya bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi. Hal ini membuat perempuan hampir sering diperlakukan semena-mena sesuai kehendak atau mood suaminya. 4. Masyarakat tidak menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai persoalan sosial, tetapi persoalan pribadi suami isteri. Orang lain tidak boleh ikut campur. Kepercayaan ini ditunjang sepenuhnya oleh masyarakat yang dengan sengaja "Menutup mata" terhadap fakta kekerasan dalam rumah tangga yang lazim terjadi. Masyarakat menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah pribadi atau masalah rumah tangga orang lain yang tidak layak mencampurinya. 5. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Tafsiran semacam ini mengakibatkan pemahaman turunan bahwa agama juga membenarkan suami melakukan pemukulan terhadap isteri dalam rangka mendidik. Hal ini diberikan kepadanya karna suami mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Suami adalah pemimpin, pemberi nafkah serta"mempunvai kelebihan-kelebihan" kodrati yang merupakan anugerah Tuhan.5 5
Parha Ciciek, Ikhtisar Mengatasi kekerasan Dalam Rumah Tangga Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW, Lembaga Kajian Agama Dan Jender, Solidaritas erempuan, Thai Asia Fundation,Jakarta, 1999
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
9
Elli N Hasbianto juga mengatakan, secara garis besar kekerasan dalam rumah tangga terjadi karna beberapa faktor : 1. Budaya patriarkat. Budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibcnarkan untuk menguasai dan mengontrol pcrempuan. 2. Interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Sering ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin diinterpretasikan sebagai pembolehan mengontrol dan menguasai isterinya. 3. Pengaruh role model. Anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang ayah suka memukul/kasar kepada ibunya, cenderung akan meniru pola tersebut kepada pasangannya. 6
6
Elli N Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumaha Tangga: Sebuah Kejahatan Yang Tersembunyi, Dalam Buku Menakar Harta Perempuan Mizan Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta, 1998
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
10
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri. 2. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap isteri. 3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban tindakan kekerasan suami.
B. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi mamfaat : 1. Secara teoritis dapat memberikan kontribusi pemikiran sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai kekerasan yang berbasis gender, khususnya di dalam permasalahan kekerasan suami terhadap isteri. 2. Secara praktis dapat membantu, menyelesaikan kasus tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap isterinya, yang semakin meningkat, dan bermanfaat bagi penegak hukum untuk dapat mengkaji ulang peraturan yang berlaku sehingga melahirkan peraturan yang berperspektif perempuan, yaitu peraturan hukum yang bersifat responsif terhadap hak perempuan sehingga peraturan hukum tersebut efektif melindungi isteri dari tindakan kekerasan suami.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
11 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitis yang bertujuan melukiskan/menguraikan tentang tindakan kekerasan suami tcrhadap isteri di Kota Medan yang difokuskan pada perlindungan hukumnya. Metode yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Yuridis normatif ditujukan kepada peraturan perundang-undangan yang bahan-bahan hukum yang lain, sedangkan yuridis sosiologis melihat hukum tampak dalam kenyataan di masyarakat, melihat efektivitas hukum yang sedang berlaku memberikan perlindungan terhadap isteri yang menjadi korban kekerasan suami.
B. Lokasi Penelitian ini diadakan di Daerah Kota Medan dengan pertimbangan bahwa Kota Medan merupakan ibukota Propinsi Sumatera Utara yang telah memiliki lembaga-lembaga yang konsern terhadap permasalahan kekerasan terhadap perempuan seperti : a. Pengadilan Negeri b. Pengadilan Agama c. Poltabes Medan d. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
C. Metode Penentuan Sampel Sampel penelitian digunakan dengan cara purposive sampling. Pemilihan teknik tersebut didasarkan kepada pertimbangan bahwa bentuk purposive sampling ini biasa diterapkan dalam penelitian hukum empiris yang bertuiuan untuk mengetahui efektivitas hukum dalam masyarakat.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
12
D. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan dalam dua bagian yaitu data primer dan data sekunder : a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. b. Sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara menelaah bahwa kepustakaan, laporan penelitian yang ada sebelumnya, data statistik dan lain sebagainya.
E. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Dengan kuesioner yang disusun dalam bentuk terbuka dan tertutup yang diedarkan kepada responden. b. Dengan wawancara yang dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terstruktur.
F. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan kepustakaan dilakukan dengan proses editing atau pengolahan data. Setelah data diedit, data selanjutnya yang diperoleh dari kuesioner dilakukan coding disertai pemberian kode-kode tertentu, kemudian dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai dengan kelompok yang telah ditentukan. Selanjutnya dilakukan analisis data dengan pendekatan huantitatif dan kualitatif baik yang bersifat deskriptif maupun analisis. Dengan demikian akan diperoleh suatu kesimpulan sebagai jawaban atau permasalahan yang diteliti.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
13
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Isteri
Pada bab sebelumnya telah diuraikan tentang makna/definisi kekerasan yang mempunyai arti yang berbeda-beda, dan oleh karena itu bentuk-bentuk kekerasan menjadi berbeda-beda antara satu lama lain. Dari sekian bentuk kejahatan atau kekerasan terhadap perempuan yang dihimpun Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH-AP1K) Medan dari tahun 1999 - 2004 dapat dirinci sebagai berikut :
Tabel 1. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
No
Keterangan Kejahatan seksual, perbuatan
1
cabul/pelecehan seksual Kekerasan dalam rumah
2
tangga (KDRT)
1999
2000
2001
2002
2003
2004
47
62
170
194
707
721
14
37
61
131
384
406
3
Perampokan
10
12
36
47
183
253
4
Kematian tidak wajar
7
7
11
14
186
223
5
Penganiayaan
11
14
48
50
123
109
6
Perdagangan
5
9
31
36
64
58
Jumlah
83
127
309
522
1524
1661
Sumber : LBH APIK Medan
Catatan : •
Angka tahun 1999 adalah jumlah kasus pada tahun 1999 dan tahun sebelumnya
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
14
Dari tabel diatas dapat dilihat bentuk kekerasan yang paling tinggi adalah perkosaan/pencobaan cabul, yang diikuti KDRT, penganiayaan, perdagangan perempuan dan melarikan perempuan dibawah umur. Dalam suatu laporan yang lain, disamping bentuk-bentuk kekerasan diatas, masih ada bentuk-bentuk kekerasan yang lain seperti pembunuhan, pelecehan, penipuan, penyekapan dan pencemaran nama baik. Walaupun adanya peningkatan kesadaran hukum di tengah masyarakat, namun belum dapat menjamin kekerasan di dalam rumah tangga, kekerasan terhadap isteri menjadi menurun. Hal ini dapat kita lihat adanya kekerasan dalam rumah tangga ini setiap tahunnya semakin meningkat. Masih banyak kasus-kasus kekerasan rumah tangga, kekerasan suami terhadap isteri yang tidak dilaporkan, tidak terungkap karna persoalan kasus kekerasan dalam rumah tangga ini, masih dianggap sebagai persoalan keluarga, disembunyikan dan enggan membawanya ke aparat penegak hukum kepolisian, dan menganggapnya sebagai persoalan domestik. Hal ini dapat dilihat dalam hal ini kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan pada polisi
Tabel 2 : Data kekerasan/kejahatan terhadap perempuan di Poltabes Medan Tahun 2002 s/d Maret 2005. No
Keterangan
-1999
2000
2001
2002
1
Kejahatan seksual, perkosaan, perbuatan
16
108
163
58
1
10
2
2
Perdagangan perempuan
-
3
5
2
Jumlah
17
121
170
62
cabul/pelecehan terhadap perempuan 2
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
3
Sumber : Unit RPK (Ruang Pelayanan Khusus) Sat Reskrim Poltabes Medan Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
15
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga sangat rendah dibandingkan dengan kasus lainnya. Jumlah ini sangat ironis sekali bila dibandingkan kembali dengan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan ke LBH APIK Medan. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan terhadap isteri sangat bervariasi bentuk dan intensitasnya. Bentuk kekerasan terhadap perempuan tidak hanya secara fisik tetapi juga secara non fisik. Dalam Pasal 2 Deklarasi PBB tahun 1993 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan disebutkan bahwa : Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada hal-hal
sebagai
berikut :
a. Tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan, kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami isteri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi. b. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang teriadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dan lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. c.
Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara dimanapun terjadi.
Pengamatan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan sering tidak berdimensi tunggal. Seorang perempuan dapat, atau sering mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan. Misalnya, seorang isteri yang mengalami penganiayaan psikologis dari suami tidak jarang juga mengalami penganiayaan fisik. Ia harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya karma suami menolak memberikan nafkah.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
16
Berikut ini akan dibahas beberapa bentuk kekerasan terhadap isteri 1. Kekerasan Fisik. Kekerasan fisik cukup sering terjadi dalam relasi swami isteri. Apa yang dilakukan suami sangat beragam, mulai menampar, memukul, menjambak, mendorong, menginjak, melempari dengan barang, menusuk dengan pisau, bahkan membakar. Beberapa kasus terjadi dimana isteri mengalami cedera berat, cacat permanen, bahkan kehilangan nyawa karna penganiayaan yang dilakukan suami. Kadang-kadang kekerasan fisik ini diikuti dengan kekerasan seksual, baik berupa serangan ke alat-alat aseksual maupun berupa persetubuhan paksa. Pada pemeriksaan terhadap korban akibat kekerasan fisik maka yang dinilai sebagai akibat penganiayaan adalah bila didapati perlukaan yang bukan karma kecelakaan pada perempuan. Dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU No. 23 Tahun 2004 kekerasan fisik merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Pengertian kekerasan fisik yang terdapat dalam UU Penghapusan KDRT bila dikaitkan dengan pengertian penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP mempunyai makna yang sama. Penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP diartikan sengaja menyababkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) penganiayaan yang dilakukan dengan sengaja dibedakan atas lima bentuk yaitu : 1. Penganiayaan biasa, yaitu setiap perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain. 2. Penganiayaan ringan. 1. Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu. 2. Tidak ditujukan terhadap ibu, bapak yang sah. 3. Tidak dilakukan terhadap pejabat negara yang sedang melakukan kewajibannya atau berhubungan dengan tugasnya yang dilakukan secara sah. 4. Tidak dilakukan dengan memberikan bahan-bahan yang membahayakan jiwa ataupun kesehatannya. Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
17
5. Tidak mengakibatkan sakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan. 3. Penganiyaan Berencana 4. Penganiayaan berat, penganiayaan yang menimbulkan luka berat atau mengakibatkan matinya orang lain. 5. Penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu.
Dari kelima bentuk penganiyaan diatas, pada umumnya suami melakukan penganiayaan terhadap isterinya adalah penganiayaan biasa, penganiayaan ringan dan penganiayaan berat. Penganiayaan suami terhadap isteri, diatur dalam Pasal 356 KUHP dengan penambahan ancaman hukuman sepertiga dari ancaman pokok. Pada dasarnya penganiayaan bukanlah merupakan delik aduan, yang baru dapat dituntut apabila telah terlebih dahulu ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan. Dalam praktek kasus penganiayaan suami terhadap isteri tidak diusut kalau tidak adanya pengaduan dari isteri maupun keluarga. Karna sebagian masyarakat menganggap persoalan ini merupakan masalah keluarga, sehingga tindakan penganiayaan tidak dikategorikan sebagai kejahatan, padahal tindakan suami tersebut telah tergolong kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman. Bagi penegak hukum sendiri sulit untuk mengetahui apakah dalam satu keluarga telah terjadi penganiayaan yang dilakukan suami terhadap isteri. Pandangan masyarakat dan penegak hukum terhadap keluarga adalah sebagai "kerajaan kecil yang tidak dapat menerima campur tangan dari pihak luar.
2. Kekerasan Non Fisik
Pada kekerasan non fisik (psikologi), dampak yang dirasakan lebih menyakitkan daripada kekerasan secara fisik. Kekerasan non fisik ini merupakan suatu tindakan yang tujuannya merendahkan citra atau menghilangkan kepercayaan diri seorang perempuan dan
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
18 juga menekan emosi korban hingga korban tidak berani mengungkapkan pendapatnya. yang akhirnya isteri menjadi penurut dan selalu tergantung pada suami dalam segala hal. Bentuk kekerasan non fisik ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karna sensitivisme emosi seseorang dangat bervariasi. Identifikasi akibat yang timbul pada kekerasan fsikis sulit diukur, karna kekerasan ini tidak menimbulkan bekas secara lahiriah, tetapi berdampak pada batin si isteri yang dapat mengakibatkan derita yang sangat sulit disembuhkan. Kekerasan psikologis juga mempunyai frekwensi dan intensitas yang berbeda-beda, misalnya dalam bentuk marah, menghina, meremehkan, mencemooh, mengancam, membentak, memaki dan lain sebagainya. Namun ada beberapa alasan yang digunakan bahwa sesungguhnya kekerasan fisik akibatnya justru lebih menyakitkan. Pertama,
sekalipun tindak kekerasan psikologi itu jauh lebih menyakitkan, karena dapat merusak keharmonisan seseorang, melukai harga diri seseorang, merusak keseimbangan jiwa, namun kekerasan psikologi tidak akan merusak organ tubuh bagian dalam bahkan tindakan yang berakibat kematian. Sebaliknya tindakan kekerasan fisik kerap menghasilkan hal yang demikian.
Kedua,
kekerasan fisik jauh lebih mudah diukur dan dipelajari, tulang yang patah atau hidung yang berdarah jauh lebih mudah diuji dan divisum, ketimbang kekerasan emosional yang membuat seseorang merasa dipermalukan atau dilecehkan. Sekalipun kekerasan psikologi tidak bisa dikurangi kadarnya dan biasanya selalu terjadi pada kekerasan terhadap pasangan. 7
Catatan beberapa lembaga dan pendamping menunjukkan bahwa kekerasan mental emosional inilah yang paling umum terjadi, dan terimplikasi serius terhadap kehidupan perempuan korban. Beberapa korban mcnyatakan bahwa kekcrasan fisik (tcntunya bukan yang tergolong sangat berat) berbekas beberapa minggu, tetapi penghinaan dan perendahan akan terus terbawa dalam jangka waktu sangat lama. Kekerasan psikologis merusak harga diri, menimbulkan kebingungan, bahkan menyebabkan masalah-masalah psikologis serius pada perempuan.8 7
Rhodo, dalam Aroma Elmina, Perempuan Kekerasan dan Hukum, UIIPres Yogyakarta, 2003
8
Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, 2002 Jakarta. Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
19
3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap perempuan, baik telah terjadi persetubuhan atau tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan korban. 9 Dalam Pasal 8 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap terempuan disebutkan : "Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu". Dan dalam penjelasan Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang termasuk kekerasan seksual adalah : 1. Pemaksaan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. 2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuankomersial dan/atau tujuan tertentu. Bentuk kekerasan seksual ini dapat digolongkan dalam beberapa kategori, seperti perkosaan, pemaksaan hubungan seks, pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang mendahului, saat atau setelah hubungan seks, pemaksaan berbagai posisi dan kondisi hubungan seksual, pemaksaan aktivitas seksual tertentu, pornografi, penghinaan terhadap seksualitas perempuan melalui bahasa verbal, ataupun pemaksaan pada isteri untuk terus menerus hamil. Dan kekerasan seksual ini lebih mungkin terjadi bila isteri juga mengalami bentuk-bentuk kekerasan lain. Dari berbagai bentuk kekerasan seksual, pemerkosaan terhadap isteri menjadi perdebatan yang panjang. Dalam Pasal 285 KUH Pidana disebutkan bahwa "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karna memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun". 9
Budi Sampurna, dalam Aroma Elmina, opcit, hal. 36 Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
20
Pasal 285 KUH Pidana telah menempatkan isteri pada posisi yang tidak mempunyai hak apapun dalam hubungan seksual dengan suami. Pasal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa para isteri harus selalu patuh pada kehendak seksual antara suami isteri, hukum tidak bertanggung jawab untuk melindungi si isteri karena istri dianggap tidak patuh pada suaminya. Ketentuan pasal ini berarti tidak menghukum “perkosaan” yang terjadi di dalam perkawinan (morital rape) yang dihukum adalah pelaku perkosaan terhadap perempuan yang "bukan isterinya". Dalam kenyataannya perkosaan dalam perkawinan banyak terjadi dalam kehidupan perkawinan. 10 Dalam RUU KUHP, beberapa perubahan yang cukup mendasar khususnya berkaitan dengan rumusan perkosaan. RUU MI telah menghilangkan kata "yang bukan isterinya" seperti dalam Pasal 285 KUHP. Dalam pasal 14 - 11 RUU draf 1993, dianggap sama dengan melakukan perkosaan : barang siapa yang melakukan hubungan seksual 1. bertentangan dengan kehendak perempuan 2. tidak atas persetujuan perempuan 3. karena salah sangka 4. dengan perempuan yang belum berumur 14 tahun 5. dengan memasukkan alat atau benda-benda yang bukan alat kelamin kedalam vagina atau anus perempuan. 6. memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam anus atau mulut perempuan (anal atau oral sex). Oleh karena banyaknya kontroversi yang terjadi terhadap rumusan perkosaan dalam perkawinan ini maka akhirnya dalam rumusan RUU KUHP versi tahun 2000 tidak ada lagi ketentuan masalah ini. Dengan kata lain rumusan perkosaan kembali pada prinsipnya yang lama yakni hanya menghukum mereka yang melakukan perkosaan terhadap perempuan yang bukan isterinya.
10
Nursyahbani Katjasungkana, Kasus-Kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan, Galang Printika Yogyakarta, 2002
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
21
Namun, dengan keluarnya UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan perempuan, seperti apa yang dikemukakan pada awal pembahasan ini, kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap isteri sudah mendapatkan tempat tersendiri, sehingga pelakunya sudah dapat diancam dengan pidana. 4. Kekerasan Ekonomi Bentuk-bentuk kekerasan dalam kelompok ini adalah kekerasan yang tampil dalam manifestasi, atau terkait dcngan berbagai dimensi ekonomi. Beberapa manifetasinya antara lain : untuk mengontrol perilaku isteri, suami tidak memberikan uang atau pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara itu isteri juga dilarang bekerja. Uang diberikan dalam jumlah kecil, bertahap-tahap, hanya bila isteri melakukan apa yang diinginkan oleh suami. Suami tidak bertangggung jawab menafkahi keluarga, dan membiarkan isteri mencari sendiri cara untuk menghidupi diri dan anak-anak, suami sengaja menghambur hamburkan uang sementara isteri dan anak berkekurangan, suami memaksa isteri mencari uang, suami mempekerjakan isteri, atau juga suami mengambil/menguasai uang/barang milik isteri dengan berbagai cara dan alasannya. Kekerasan ekonomi merupakan bentuk penelantaran keluarga/rumah tangga. Sebagai bentuk keempat dari kekerasan dalam rumah tangga yang diatur dalam UU No. 23/2004. Dalam pasal 9 UU No. 23/2004 disebutkan penelantaran rumah tangga adalah 1. Setiap orang dilarang melantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian wajib memberikan kehidupan. 2. Penelantaran keluarga seperti pada point (1) juga berlaku bagi setip orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja di dalam atau diluar rumah, sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Apa yang dimaksudkan dalam Pasal 9 diatas menunjukkan isteri tidak memiliki akses ekonomi. lsteri tidak memiliki kemampuan ekonomi sehingga membuatnya tergantung kepada suaminya. Beberapa pendapat Moors dan Gelles mengatakan bahwa kekerasan terhadap isteri terjadi disebabkan oleh ketergantungan ekonomi kepada suaminya. Sharma Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
22
juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya kemandirian ekonomi yang dimiliki seorang perempuan akan meningkatkan harga dirinya dan menyebabkannya memiliki posisi tawar yang tinggi dengan suaminya. 11 Kemandirian ekonomi isteri seperti yang diuraikan diatas ternyata tidak membuat mereka terlepas dari kekerasan rumah tangga. Penelitian menunjukkan perhasilan isteri membuat suami kurang bertanggung jawab terhadap rumah tangga. Isteri yang bekerja dimanfaatkan oleh suami dengan tidak lagi memberikan nafkah lahir kepada isteri, dengan alasan isteri sudah punya penghasilan sendiri. Bahkan diantara mereka ada yang dengan sengaja mengeksploitasi isteri-isteri mereka dengan menyuruh bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Larangan kekerasan ekonomi yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2004 sejalan pengaturannya dalam Pasal 304 KUHP dan Pasal 442. RUU KUHP dan UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 41 huruf b.
B. Faktor-faktor Penyebab Suami Melakukan Kekerasan Terhadap Isteri Pada dasamya faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap isteri hampir sama dengan faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, karena perempuan adalah pihak yang lemah. Sebab-sebab tindakan kekerasan suami terhadap isteri begitu kompleks. Beberapa teori mencoba mengkaji faktor penyebab kekerasan terhadap isteri, namun teori tersebut belum tentu sama berlakunya pada semua kasus.
11
Fathul Jannah, Kekerasan Terhadap Isteri, LKIS Yogyakarta bekerjasama dengan PSW IAIN-SU Medan, 2003, hal 2-3
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
23 Gelles 12 misalnya mengemukakan beberapa alasan mengapa kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi, penyebabnya antara lain adalah : 1. Status sosial ekonomi, menunjukkan keluarga dari status ekonomi lemah cenderung untuk mengalami kekerasan dalam rumah tangga. 2. Ras/suku : "child abuse" (kekerasan terhadap anak) lebih sering dialami oleh anak yang berkulit hitam, termasuk juga kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri. 3. Stress, kekerasan dalam rumah tangga sangat bergantung pada kecenderungan pasangan suami yang tidak bekerja sama sekali atau kerja paruh waktu. 4. Isolasi sosial, kekerasan sangat bensiko tinggi pada anak atau antar pasangan yang terisolasi dari lingkungan sekitarnya. Beberapa faktor lain yang dapat menjadi penyebab terjadi kekerasan terhadap isteri 1. Faktor Sanksi Sosial. Adanya sanksi sosial dari keluarga atau lingkungan, kemungkinan kekerasan terhadap isteri akan berkurang. Persoalannya, baik keluarga maupun lingkungan seringkali tutup mata. Bahkan ada anggapan kekerasan suami terhadap isteri adalah hal biasa/wajar, tidak dianggap persoalan sosial kemasyarakatan dan tidak perlu dicampuri orang lain dan tidak perlu diselesaikan menurut ketentuan hukum. Sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat yang kurang konstruktif dalam merespon tindakan terhadap isteri, dengan persepsi bahwa masalah keluarga sebaiknya diselesaikan oleh keluarga itu sendiri tanpa melibatkan mekanisme pengendalian sosial yang formal. Mekanisme pengendalian sosial secara informal, yakni dalam lingkungan sekitar, juga tidak kondusif dalam mendukung isteri yang menjadi korban untuk melaporkan kekerasan yang terjadi terhadap dirinya kepada orang lain.
12
Richard J. Gelles dalam Aroma Elima Marta, opcit, hal.34 Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
24
2. Faktor Budaya Budaya bangsa Indonesia yang masih menganut budaya patriarkhi yang menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Budaya patriarkhi melahirkan ketidaksetaraan hubungan gender antara laki-laki dan perempuan. Bila dihubungkan antara suami dan isteri, berarti adanya dommasi terhadap isteri karena kedudukan suami yang lebih tinggi. Dengan kedudukan ini suami dapat menguasai dan mengontrol isteri dan melakukan tindakan kekerasan terhadap isteri. Dalam masyarakat tampaknya masih terdapat nilai yang cukup kuat bahwa perempuan harus tunduk, memahami dan selalu adaptasi pada suaminya.
3. Faktor Penegakan Hukum Kasus kekerasan terhadap isteri dijadikan delik aduan yang berbeda dengan kejahatan murni lainnya seperti pembunuhan. Disamping itu ketidakseriusan aparat dalam menangani kasus ini menjadi faktor dominan. Dengan kelemahan penegakan hukum ini, suami merasa bebas melakukan kekerasan terhadap isterinya. Sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kurang mendapat tanggapan yang positif dari aparat penegak hukum, hal ini disebabkan karena a. Anggapan bahwa masalah tindak kekerasan terhadap isteri memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga ketat privacy-nya, karena merupakan masalah keluarga yang dapat diselesaikan dalam keluarga saja. b. Kekerasan dalam rumah tangga seringkali dianggap "wajar" karena diyakini memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. c. Tidak adanya keseriusan dalam merespon setiap laporan, khususnya bila si pelapor pada posisi tawar yang sangat lemah. d. Kurangnya pelatihan pada personil penegak hukum tentang tindak kekerasan terhadap isteri dalam meningkatkan kepekaan pada masalah yang dialami isteri yang menjadi korban kekerasan.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
25 Kekerasan suami terhadap isteri terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu perkawinan, hal ini juga menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap keluh kesah para isteri yang mengalami persoalan kekerasan dalam rumah tangga dalam perkawinannya. Akibatnya mereka memendam persoalan itu sendirian, tidak tahu bagaimana menyelesaikannya. 4. Faktor Ekonomi Adanya pembagian peran seksual (sex Role) antara suami dan isteri, suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Peran suami sebagai kepala rumah tangga berarti suami adalah pencari nafkah, dengan demikian peran dan tugas suami lebih dominan, suamilah yang bertanggung jawab atas segala kebutuhan keluarga. Dalam kondisi isteri yang tidak bekerja, isteri tidak akan memiliki akses ekonomi, tidak memiliki kemandirian ekonomi, sehingga isteri tergantung kepada suaminya. Kondisi ini membuat isteri harus mempertahankan perkawinannya karena pertimbangan ekonomi. Posisi ini terkadang dimanfaatkan oleh suami untuk berlaku sewenang-wenang terhadap isteri. Kekerasan terhadap isteri tidak saja karena isteri tidak mempunyai akses ekonomi, tetapi terhadap bagi isteri yang mempunyai kemampuan, kemandirian ekonomipun dapat memicu terjadinya tindak kekerasan. Kemandirian ekonomi isteri membuat suami kurang bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Bahkan dalam beberapa kasus tertentu suami tidak lagi memberi nafkah lahir kepada isterinya, tidak perlu lagi memberi uang belanja kepada isteri, karena isteri telah mempunyai penghasilan sendiri. Isteri yang mempunyai suami yang tidak bekerja akan berdampak pada psykologis suami. Perasaan rendah diri dihadapan isteri, mertua dan masyarakat dapat mengakibatkan frustasi. Hal ini dapat membuat suami melepaskan kefrustasiannya kepada isteri. 5. Faktor Kepribadian Suami Faktor
ini
berkaitan
dengan
lingkungan
sekitar
dari
awal
pertumbuhannya,
perkembangannya dan perilaku sehari-hari. Hal ini disebabkan pula suami yang dilahirkan, dibesarkan, dan mendapat didikan yang keras dari orang tuanya. Peristiwa kekerasan dengan mengalami, melihat sang ayah yang memukul, menganiaya ibunya ketika kecil, akan membawa dampak bahwa kekerasan itu merupakan hal yang biasa, dan ini akan terulang kembali ketika ia melakukan kekerasan terhadap isterinya.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
26
Dalam beberapa kasus tertentu, kekerasan suami terhadap isteri disebabkan karena suami yang suka minum-minuman keras atau obat-obat terlarang, yang dapat mempengaruhi daya pikir dan perilaku ketika suami pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, sementara isteri menunjukkan sikap tidak senang pada tingkah suami, lantas suami merasa tersinggung, yang pada akhimya suami melampiaskan ketersinggungan dengan melakukan kekerasan pada isterinya. Begitu juga dengan seorang suami yang suka berjudi/penjudi. Karena penghasilan yang kurang, sementara minat untuk berjudi tinggi, maka suami memaksa isteri untuk memberikan uang dan ketika isteri tidak memenuhi permintaan, suami akan melakukan kekerasan pada isterinya.
C. Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Dari Kekerasan Suami Kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam lingkup rumah tangga dan lebih khusus lagi terhadap isteri merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan. Meningkatnya tindak kekerasan sejenis ini di Indonesia telah mendorong berbagai kalangan untuk mengatasinya dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebelum keluamya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam Hukum Positif tidak dijumpai ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai tindakan kekerasan suami terhadap isteri. Dalam penyelesaian kasuskasus kekerasan isteri, KUHPidana dapat dijadikan landasan hukum untuk mengadukan para suami ke polisi. Selam itu, isteri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga/keluarga dapat juga menggunakan instrumen hukum lain, misalnya hukum Perkawinan. Di bawah ini akan diuraikan beberapa instrumen hukum yang dapat melindungi isteri dari tindakan kekerasan yang dilakukan suaminya.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
27
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Hukum
pidana
merupakan
hukum
publik
yang
memuat
berbagai
ketentuan-ketentuan tentang : a. Aturan umum hukum pidana yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana bagi yang melanggar larangan tersebut. b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhi sanksi pidana. c. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan oleh alat-alat negara dalam rangka menentukan, menentukan dan melaksanakan pidana. 13 Tujuan hukum pidana di Indonesia condong mengikuti perjalanan sejarah perkembangan penjatuhan hukuman dan pemidanaan pada umumnya. Artinya tujuan hukum pidana tidak terlepas dari sistem penjatuhan hukuman yang diterapkan pada pelaku. 14 Dalam perjalanan sejarah tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun sebagai berikut : a. Pembalasan (revenge) b. Penghapusan dosa (expiation) c. Menjerahkan (deterrent) d. Perlindungan terhadap umum (protection of the public) e. Memperbaiki si penjahat (rehabilitation of the criminal) 15 Di kalangan ahli hukum pidana, terjadi dalam memandang masalah tujuan hukum pidana ini, salah satu misalnya Baharuddin Lopa yang mengatakan "Pada dasarnya tujuan hukum pidana ialah menegakkan keadilan, sehingga ketertiban dan ketentraman masyarakat dapat diwujudkan. Dalam hubungan ini, putusan-putusan hakim pun harus mengandung rasa keadilan agar dipatuhi oleh masyarakat. Rakyat harus ditingkatkan kecintaannya terhadap hukum sekaligus mematuhi hukum itu sendiri". 16 13
Adami Chazani, Pelajaran Hukirm Pidana Bagian 1, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001, hal. 2 Abdul Wahid, Perlindungan Korban Kekerasan Seksual, Rfika Aditama, Bandung, 2001, hal 96 15 Ibid, hal.98 16 Baharuddin Lopa dalam Abdul Wahid, Ibid, hal. 96 14
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
28
Berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan terhadap isteri, hukum yang akan diperlakukan bagi pelaku kekerasan masih mengacu kepada KUHP, dengan ancaman hukuman yang terdapat dalam pasal-pasal 351 KUHP (penganiayaan), Pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan), Pasal 353 KUHP (penganiayaan yang direncanakan), Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat), Pasal 355 KUHP (penganiayaan berat yang direncanakan) dan Pasal 356 (penganiayaan yang dilakukan terhadap bapak atau ibu (yang sah), isteri atau anak). Meskipun ketentuan diatas tidak secara eksplisit mengatur tentang kekerasan dalam keluarga, tetapi setidaknya dapat digunakan untuk mengadukan pelaku ke polisi. Bahkan KUHP memberikan ancaman hukuman yang lebih berat jika penganiayaan itu dilakukan terhadap isteri atau anaknya, seperti yang diatur dalam Pasal 356 ayat (1) yang berbunyi :
"Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 atau 353 dapat ditambah sepertiganya : bagi yang bersalah yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, isterinya atau anaknya". Jika pemberatan hukuman ini juga ditujukan kepada suami atau isteri yang melakukan penganiayaan, maka setidaknya pasal ini bersifat netral jender (genderless) dan mengandung prinsip keadilan gender. Namun sermgkali dalam praktek, para penegak hukum seringkali tidak responsif terhadap kepentingan perempuan atau melihat masalah ini secara umum. Hal ini disebabkan karena : 1. Persoalan ini dianggap sebagai masalah privat. 2. Suami adalah pencari nafkah utama, agar anak dan keluarganyatidak terlantar, hakim tidak menjatuhkan pidana penjara tapi hanya menjatuhkan hukuman percobaan. 3. Mayoritas isteri sangat tergantung baik secara ekonomi dan secara emosional masih
cinta kepada suaminya..
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
29 2. Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) Selain hukum pidana, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan peraturan sighat taklik talak sesungguhnya juga member perfndungan hukum kepada kaum isteri yang mengalami kekerasan atau penganiayaan, dengan meminta kepada Pengadilan agar tidak serumah lagi karena keadaan yang membahayakan dirinya (Pawl 24). Kemudian dalam Pasal 19 huruf d Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 juga merupakan instrumen hukum perlmdungan isteri terhadap tindakan kekerasan suami. Dalam Pasal 19 huruf d tersebut dinyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Bila suami melakukan kekerasan terhadap isteri, berdasarkan pawl ini isteri dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.
3. Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004). Undang-undang yang baru saja diperlakukan yaitu sejak 22 September 2004 ini merupakan satu bentuk pembaharuan hukum di Indonesia, yang berpihak pada kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak. Undang-undang ini lahir mengingat banyaknya kasus-kasus kekerasan, terutama kekerasan rumah tangga, dan beberapa unsur tindak pidana dalam KUHP yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat, maka diperlukan pengaturan secara khusus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Undang-undang ini mengatur tentang pencegahan dan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mengatur secara spesifik KDRT dengan unsur-unsur tindak pidana yang bcrbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP, juga mengatur tentang kewajiban bagi aparat penegak hukum, petugas kesehatan, pekerja sosial dan relawan sebagai pendamping untuk melindungi korban kekerasan. Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi isteri (sebagai yang termasuk dalam lingkup rumah tangga) yang mendapat tindakan kekerasan antara lain terdapat dalam pasal : - Pasal 10, yang menyangkut hak-hak korban untuk mendapatkan : Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
30 a.
perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
b.
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c.
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d.
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e.
pelayanan bimbingan rohani
- Pasal 11 sampai dengan Pasal 15, berkaitan dengan kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. - Pasal 16 sampai dengan Pasal 38 ; bentuk-bentuk perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga yang diberikan oleh pihak kepolisian, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, pembimbing rohani, advokat dan pengadilan. - Pasal 39 sampai Pasal 43 ; hak korban untuk memperoleh pemulihan. - Pasal 44 sampai Pasal 49 merupakan ketentuan pidana yang memberikan ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan yang antara lain 1.a. kekerasan fisik ; pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). b. bila menimbulkan jatuh sakit atau luka berat ; pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). c.
bila mengakibatkan kematian ; pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah).
d. bila kekerasan fisik tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan kegiatan sehari-sehari ; pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah). 2.a. Kekerasan psikis ; pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000 (sembilan juta rupiah).
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
31
b. bila kekerasan psikis tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari ; pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah). 3.a. Kekerasan seksual, dipidana penjara paling lama 12 (duabelas) tahun dan,latau denda paling banyak Rp.36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah). b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangga untuk tuiuan komersil dan/atau tujuan tertentu, dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima betas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000 (duabelas juta rupiah) dan paling banyak Rp.300.000.000 (tiga ratus juts rupiah). c. Bila pemaksaan hubungan seksual itu mengakibatkan korban luka yang tidak akan sembuh sama sekali, gugur/matinya janin, tidak berfungsmya alat reproduksi ; dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000 (duapuluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). 4.
Bila menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga di pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000 (lima betas juta rupiah).
Dari ketiga aturan hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa UU No. 23 Tahun 2004 merupakan satu-satunya Undang-undang yang telah memberikan bentuk perlindungan hukum yang lebih jelas bagi korbankorban kekerasan dalam rumah tangga, khususnya bagi isteri yang menjadi korban kekerasan suami.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
32
D. Beberapa Putusan 1. Putusan No. 325/LP/Ep.1/12/2004 Terdakwa Arm (23 tahun) pada hari Kamis tanggal 18 Nopember 2004 sekitar pukul 12.00 WIB, pergi bekerja seperti biasanya dan berjanji kepada saksi korban LLI alias DS (33 tahun) akan kembali dengan membawa uang sebesar Rp.25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) untuk saksi korban. Sekitar pukul 19.15 WIB terdakwa kembali ke rumahnya di Komplek Perumahan Bukit Mas Serbajadi Kab. Deli Serdang, tetapi terdakwa tidak membawa uang yang dijanjikan, sehingga antara terdakwa dan istrinya bertengkar dan akhimya terdakwa emosi serta menggigit tangan kiri korban, sehingga lengan bawah kiri korban mengalami luka memar sesuai dengan visum et Repertum No. 756/IX/VER/RSUS/2004 tanggal 18 Nopember 2004. Dalam putusan majelis Hakim menyatakan bahwa Arm telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : "Bersalah melakukan tindak kekerasan fsik dalam lingkup rumah tangga terhadap istri" (melanggar Pasal 44 (4) UU No. 23 Tahun 2004, dan menghukum terdakwa Arm dengan hukuman penjara 3 (tiga) bulan dan 7 (tujuh) hari.
2. Putusan No. 27/Pid.B/PNLP/2005 Pada hari Sabtu tanggal 30 Oktober 2004, sekitar pukul 03.00 WIB di Ds. Klambir Lima Kampung Kec. H.Perak. Di rumah korban SS (19 tahun), membangunkan tidur suaminya Mhd. RT alias D (23 tahun) untuk makan sahur. Saat itu suaminya marah dan menyiramkan ke baju istrinya yang masih didalam kamar, dimana pintu kamar terlebih dahulu dikunci oleh suaminya, dan dengan cara memegangi pakaian/baju bagian depan selanjutnya membakar baju dengan mancis, hingga baju tersebut terbakar, mengakibatkan SS (istri) mengalami luka bakar yang serius.Majelis hakim dalam kasus ini telah menghukum terdakwa Mhd. RT alias D dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun, bersalah melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga mengakibatkan korban luka berat (Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004). Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
33
3. Putusan No. 855/Pid.B/2005/PNLP Berawal terdakwa HMP alias B (24 tahun) memanggil istrinya RA yang pada saat itu berada di warung. Karena masih ada keperluan lalu panggilan terdakwa dijawab oleh istrinya dengan kata “tunggu dulu”. Mendengar jawaban tersebut, terdakwa menjadi marah dan emosi. Kemudian terdakwa mendatangi istrinya langsung meremas tangan kiri istrinya sambil menarik dengan sekuat tenaga yang mengakibatkan saksi korban terjatuh ke tanah. Dalam kondisi masih marah terdakwa terus menarik dan menyeret-nyeret istrinya, kemudian menendang dan memukul tubuh istrinya sehingga istrinya kesakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Akibat perbuatan tersebut, istrinya mengalami luka lecet di siku tangan kanan, memar dan bengkak di lengan kanan bagian dalam sesuai dengan visum et repertum No. 04/LPV/V/2005 tanggal 4 Mei 2005. Dalam putusan, majelis hakim telah menyatakan terdakwa HMP als B bersalah melakukan tindak pidana “Kekerasan dalam lingkup rumah tangga" sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004, dan menjatuhkan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan.
4. Putusan No. 1694/Pid.B/2005/PN Medan Terdakwa RSS (24 tahun) pada hari Senin tanggal 18 April 2005 sekitar pukul 19.30 WIB, ketika terdakwa dan istrinya sedang berada di rumah, terdakwa memanggil istrinya dan bertanya “siapa yang menumpahkan tuak” dan dijawab istrinya “tidak tahu”; sehingga terdakwa emosi lalu memukul istrinya dengan tangan ke arah atas bagian kepala, dan menjambak rambut, memukul kening dan menunjang/menendang rusuk sebelah kiri hingga mengakibatkan benjolan pada bagian kepala sebelah kiri, luka memar pada tulang sebelah kiri sesuai VER No. 37/IV/2005 tanggal 19 April 2005. Dalam kasus ini majelis hakim menjatuhkan putusan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan telah melakukan tindak pidana penganiayaan sesuai pasal 356 ayat (1) ke – 1e KUHP.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
34
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 5. Kekerasan terhadap isteri adalah salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), yang pada setiap tahunnya kasus-kasus kekerasan ini semakin meningkat dan bervariasi bentuk dan intensitasnya. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap isteri antara lain : kekerasan fisik, kekerasan non fisik/kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi. 6. Pada umumnya faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap isteri antara lain : faktor sanksi sosial, faktor budaya, faktor penegak hukum, faktor ekonomi dan faktor kepribadian suami. 7. Perlindungan hukum terhadap isteri yang menjadi korban kekerasan suami diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 356 KUHP, dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tabun 1974) Pasal 24. PP No. 9 Tabun 1975 Pasal 19 huruf d dan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tabun 2004). Dan secara menyeluruh bentuk perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak diatur dalam Undang-undang No. 23 Tabun 2004 ini.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
35
B. Saran 1. Perlu diadakan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan bagi para penegak hukum dan masyarakat tentang permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, khususnya kekerasan terhadap isteri. 2. Dengan keluarnya UU No. 23 Tahun 2004, diharapkan semua pihak dapat memahami keberadaan undang-undang ini, khususnya kepada para penegak hukum dapat mengimplementasikan undang-undang ini dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan rumah tangga dengan baik sehingga dapat memberikan perlindungan kepada isteri sebagai korban kekerasan suami.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
36
DAFTAR PUSTAKA
Arief; Barda Nawawi, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Atmasasmita, Romli, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung.
Chazawi, Adami, 2000, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ciciek, Parha, 1999, Ikhtisar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW, Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan, Tha Asia Foundation, Jakarta.
Djannah Fathul, Kekerasan Terhadap Isteri, LKIS Yogyakarta bekerjasama dengan PSW LAIN-SU Medan, 2003.
Hakimi, Mohammad, dkk., Membisu Demi Harmoni, Kekerasan Terhadap Isteri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia, LPKGM - FK UGM, Yogyakarta.
Hasbianto, Elli N., 1998, Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Sebuah Kejahatan Yang Tersembunyi, dalam buku Menakar Harta Perempuan Mizan Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006
37
Herkutanto, 2000, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Sistem Hukum Pidana, Pendekatan Dari Sudut Pandang Kedokteran, dalam Buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni Bandung.
Irianto, Sulistiyowati, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu Tinjauan Hukum Berperspektif Feminis), Jurnal Perempuan, Edisi 10, Februari - April 1999.
Katja Sungkana, Nursyahbana, Kasus-Kasus Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan, Galang Printika, Yogyakarta, 2002.
Luhulima, Achi Sudiarti, 2000, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Wanita Dan Alternatif Pemecahannya, Kelompok Kerja Convention Work, Pusat Kajian Wanita dan Jender UI, Alumni, Jakarta.
Martha, Aroma Elmina, Perempuan Kekerasan dan Hukum, UI Press. Yogyakarta, 2003.
Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, 2002.
Rajayu, Ruth Indiah, Pola Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, Jurnal Perempuan, Edisi 9, November - Januari 1999.
Reksodiputro, Mardjono, 1997, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta.
Wahid Abdul, Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Rafika Aditama, Bandung, 2001.
Nurmalawaty: Perlindungan Hukum Terhadap Isteri yang Menjadi Korban Kekerasan Suami, 2005
USU Repository©2006