ABSTRAK KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU DARI PASAL 16 AYAT (1) h -UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ataupun masyarakat yang berada dalam Kawasan tertentu, dalam hal ini masyarakat yang berada dalam kawasan hutan dan perkebunan dapat mengajukan Hak Komunal dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016. Keberadaan Hak Komunal apabila ditinjau dari UUPA tidak termasuk sebagai salah satu jenis hak atas tanah, khususnya dalam Pasal 16 ayat 1 h UUPA, di mana jenis hak atas tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Hak atas tanah yang bersifat tetap, Hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu hak atas tanah yang akan hadir kemudian yang akan ditetapkan oleh undang-undang dan Hak atas tanah yang bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA, karena Hak Komunal sendiri ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, serta kemudian ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016, yang hampir 80 persen isinya sama dengan Permen Nomor 9 Tahun 2015. Kondisi ini dapat menimbulkan keraguan akan diperolehnya kepastian hukum atas kepemilikan Hak Komunal itu sendiri. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam tesis ini dikualifikasikan sebagai penelitian normatif dengan beberapa pendekatan yaitu Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Konsep), Pendekatan Sejarah dan Pendekatan Perbandingan serta mempergunakan tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teori-terori yang dipergunakan dalam melakukan analisis adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Negara Hukum, Teori Perjenjangan Norma, Teori Fungsional dan Teori Legitimasi dan Validitas serta Teori Kemanfaatan. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa pengaturan Hak Komunal yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN Nomor 10 Tahun 2016 belum memberikan jaminan kepastian atas Hak Komunal itu sendiri baik dilihat dari dasar penetapannnya maupun dilihat dari beberapa isi pasal-pasalnya.Untuk itu baik Legislatif maupun Pemerintah Pusat perlu menetapkan Hak Komunal itu dalam bentuk undangundang, sehingga sesuai dengan UUPA sebagai Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang Hak Komunal.
Kata Kunci : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, Hak Komunal, Kepastian Hukum.
viii
ABSTRACT LEGAL CERTAINLY COMMUNAL RIGHT IN TERMS OF ARTICLE 16 PARAGRAPH (1) h of THE ACT OF NUMBER 5 YEARS 1960. The unity of the community customary law nor community association in certain areas, in this community who are in the forest areas and plantation can propose Communal Right with meet the requirements specified in the Minister of Agrarian Affairs/and The Head of National Land Agency number 10 2016. The Communal Right when in terms of Agrarian Regulation not included, especially in article16 paragraph (1) h, in which the land rights can be classified into three catagories land rights permanent and land rights set by regulation, land rights that will attend then to be established by regulations and land rights temporary as stipulated in section 53 Agrarian Regulation, because it entitles the own communal was based on the Minister/Agrarian Spatial and The Head of National Land Agency number 10 2016 nearly 80 percent of its contens equal number 9 years 2015. This could lead to doubt be getting legal certaintly over possession a Right Communal itself. The kind of research be used in this thesis classified as normative research with some approach is statue approach, concept approach, historical approach, and comparative approach and have three ingredients law that is the primary law, the secondary law and materials tertiary law. The Theories to use in an analysis is a theory llegal certaintly, , the theory legal state, the theory Grundnorm, the theory function, and theory legitimacy and validity and theory benefit. Conclutions obtained from research is that the Communal arrangement set with the Minister of Agrarian Spatial /and The Head of National Land Agency number 10 years 2016 not guaranteeing certainty on the rights of communal itself seen both from the base and its be made seen from contens from its paragraph for is good legislative and the central government need to assign Communal Right it in the formn of the act so can give guarantee of legal certainly for holder of the Communal Right.
Keywords : Unity The Customary Law, The Communal. Right Legal Certainly.
ix
RINGKASAN TESIS
Tesis ini menganalisis mengenai Kepastian Hukum Hak Komunal Ditinjau Dari Pasal 16 ayat 1 h Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960 dan terdiri dari 5 Bab yang secara substansi memuat : Bab I menguraikan Latar Belakang Masalah yang beranjak dari adanya hak yang dapat dimiliki oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat maupun masyarakat yang berada pada kawasan tertentu, dalam hal ini berada dalam kawasan kehutanan dan perkebunan. Berdasarkan pengaturan jenis hak atas tanah dalam Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA dapat dikelompokkan tiga jenis hak atas tanah yaitu hak atas tanah yang bersifat tetap, hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang Hak atas tanah yang bersifat sementara. Sedangkan Hak Komunal terbit berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN yang secara hierarki berada di bawah undang-undang (dalam hal ini UUPA). Tampak adanya insinkronisasi dari pemerintah berkaitan dengan pengaturan Hak Komunal atas tanah, sehingga dapat menimbulkan keraguan akan jaminan kepastian hukum. Berdasarkan pada latar belakang masalah selanjutnya dalam Bab ini akan diuraikan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teoritis dan konsep, serta metode penelitian yang dipergunakan dalam rangka mendapatkan jawaban atas rumusan masalah. Bab II menguraikan mengenai Konsep Hak Komunal yang akan menguraikan mengenai sejarah Hak Komunal dan pengaturan Hak Komunal, konsep pendaftaran tanah yang akan menguraikan pengaturan pendaftaran tanah, asas-asas pendaftaran tanah serta prosedur pendaftaran tanah.
x
Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah yang pertama, terdiri dari dua sub bahasan. Sub bab yang pertama akan membahas mengenai syarat-syarat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek Hak Komunal dan pada sub bab kedua akan dibahas mengenai kepastian hukum Hak Komunal ditinjau dari Pasal 16 ayat 1.h UUPA. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan masalah yang kedua mengenai kepastian hukum bukti kepemilikan Hak Komunal yang terdiri dari dua sub bab, di mana sub bab pertama akan membahas mengenai prosedur permhonan Hak Komunal dan sub bab kedua akan membahas mengenai kepastian hukum bukti kepemilikan Hak Komunal Bab V sebagai bab penutup menguraikan mengenai simpulan dan saran yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian terhadap rumusan masalah. Atas permasalahan yang diajukan diperoleh kesimpulan bahwa Hak Komunal sebagaimana diatur dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 Tahun 2016, belum memberikan jaminan kepastian hukum apabila ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h UUPA, di mana Hak Komunal ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, yang tidak termasuk dari salah satu dasar terbitnya jenis hak-hak atas tanah lain yang dikenal dalam Pasal 16 UUPA dan hasil Pendaftaran Hak Komunal atas tanah belum menjamin kepastian hukum yang sama dengan bukti pendaftaran hak atas tanah yang timbul atas jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16. UUPA, karena pendaftaran hak atas tanah selain Hak Komunal akan menerima bukti akhir berupa sertifikat hak atas tanah, sedangkan bukti pendaftaran Hak Komunal bukan sertifikat, meskipun prosedur
xi
pendaftaran Hak Komunalnya mengikuti ketentuan dalam PP Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah seperti hak atas tanah lainnya, namun tidak dibarengi dengan terobosan mengenai aturan pendaftaran tanahnya sendiri sehingga tidak ada kesesuaian antara syarat-syarat yang ditentukan dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 dengan aturan pendaftaran tanahnya. Sebagai penutup disampaikan saran-saran yang diharapkan dapat menjadi masukan bagi tercapainya kepastian hukum bagi pemegang Hak Komunal, yaitu baik Legislatif maupun Pemerintah Pusat perlu menetapkan Hak Komunal itu dalam bentuk undang-undang, sehingga sesuai dengan UUPA sebagai Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pemegang Hak Komunal.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ....................................................................................
i
SAMPUL DALAM ...................................................................................
ii
PRASYARAT GELAR.............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................
iv
LEMBAR PENETAPAN PENGUJI TESIS ............................................
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................................
vi
UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................
vii
ABSTRAK ................................................................................................ viii ABSTRACT ...............................................................................................
ix
RINGKASAN ...........................................................................................
x
DAFTAR ISI .............................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................. 25 1.3. Orisinalitas Penelitian ............................................................ 25 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................... 27 1.4.1. Tujuan Umum ........................................................... 27 1.4.2. Tujuan khusus ............................................................ 28 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................ 28 1.5.1. Manfaat Teoritis ........................................................ 28 1.5.2. Manfaat Praktis ......................................................... 28 1.6. Landasan Teoritis Dan Konsep ............................................. 29 1.6.1. Landasan Teoritis ...................................................... 29
xiii
1.6.1.1.
Teori Kepastian Hukum .............................. 30
1.6.1.2.
Teori Negara Hukum.................................... 35
1.6.1.3.
Teori Perjenjangan Norma (Stufenbau ........ Theory) ........................................................ 38
1.6.1.4.
Teori Fungsional .......................................... 42
1.6.1.5.
Teori Legitimasi dan Validitas .................... 43
1.6.1.6.
Teori Kemanfaatan ..................................... 45
1.6.2. Konsep ..................................................................... 47 1.7. Metode Penelitian .............................................................. 50 1.7.1. Jenis Penelitian ........................................................ 50 1.7.2. Jenis Pendekatan ..................................................... 52 1.7.3. Sumber Bahan Hukum............................................. 54 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum....................... 56 1.7.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum .... 57 BAB II KONSEP HAK KOMUNAL DAN PENDAFTARAN .......... TANAH ....................................................................................
59
2.1. Konsep Hak Komunal ........................................................ 59 2.1.1. Sejarah Hak Komunal ................................................ 68 2.1.2. Pengaturan Hak Komunal .......................................... 78 2.2. Konsep Pendaftaran Tanah ................................................... 81 2.2.1. Pengaturan Pendaftaran Tanah ................................... 88 2.2.2. Asas-asas Pendaftaran Tanah ..................................... 92
xiv
BAB III. KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU ........ DARI PASAL 16 AYAT (1) h UUPA. ..................................
98 98
3.1. Syarat-syarat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ........... sebagai Subjek Hak Komunal ..........................................
98
3.2. Kepastian Hukum Hak Komunal Ditinjau Dari ................. Pasal 16 Ayat 1 UUPA ......................................................
109
BAB IV. KEPASTIAN HUKUM BUKTI KEPEMILIKAN HAK ...... KOMUNAL ATAS TANAH ............................................ ......
116
4.1. Prosedur Permohonan Hak Komunal ................................
116
4.2. Kepastian Hukum Bukti Kepemilikan Hak Komunal . ......
129
BAB V. PENUTUP .......................................................................... ......
142
5.1. Simpulan .............................................................................
142
5.2. Saran-Saran ........................................................................
143
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
144
LAMPIRAN
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah. Dilihat dari aspek budaya masyarakat adat, tanah adalah benda yang bernilai tinggi karena dianggap mengandung aspek spiritual. Tanah merupakan sesuatu yang berkembang dengan para leluhurnya, di mana mereka bekerja, hidup sehari-hari demikian pula saat meninggal dikuburkan dalam tanah. Bernhard Limbong menyatakan bahwa tanah bagi masyarakat adat adalah ruang hidupnya (liebenstraum).1 Sebagai salah satu bagian dari unsur Negara (dalam hal ini sebagai bagian dari wilayah), sampai saat ini tanah masih menjadi bagian yang sangat penting bagi pencapaian kesejahteraan bangsa dan sebagai sumber daya alam utama dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam kaitan itu negara mempunyai tugas dan wewenang untuk menggariskan nilai-nilai dalam upaya menata struktur keagrariaan yang berkeadilan dan berwawasan kesejahteraan dengan mengingat halhal sebagai berikut : (a) Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan mengenai fungsi sosial ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
(Lembaran Negara RI
Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2045) dan selanjutnya disebut UUPA, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini mengandung arti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam mempergunakan tanah, hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan sifat daripada haknya, sehingga akan menimbulkan manfaat bagi kesejahteraan serta 1
Bernhard Limbong, 2014, Politik Pertanahan, Margaretha Pustaka, Jakarta, hal. 29.
1
2
kebahagiaan yang mempunyai hak atas tanah yang bersangkutan maupun memberi manfaat bagi masyraakat dan negara. Pencantuman fungsi sosial dalam undang-undang menurut A.P Parlindungan adalah merupakan penegasan dari hakikat Hukum Adat Tanah kita sendiri.2 Konsep fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan hukum adat adalah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat adat yang bersangkutan. (b) Penguasaan dan pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pengaturan tentang hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7 UUPA yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Dalam hal ini dicegah adanya kepemilikan tanah oleh beberapa orang secara berlebihan, sehingga terjadi monopoli dalam penguasaan suatu hak atas tanah. (c) Tanah harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya dan mencegah cara-cara pemerasan. Dalam hal ini setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak akta tanah pertanian diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri tanahnya secara aktif, memelihara tanah, termasuk menambah kesuburan tanah serta mencegah kerusakannnya, dengan memperhatikan kepentingan golongan ekonomi lemah. Dengan adanya keharusan ini dapat dicegah tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah terhadap untuk melakukan tekanan baik dalam pengelolaan maupun terhadap penggarap. (d) Usaha dalam bidang agrarian tidak boleh bersifat monopoli.
2
A.P. Parlindungan, 1991, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 52.
3
Kegiatan usaha dalam bidang agraria tidak bisa hanya memberi keuntungan bagi orangorang tertentu saja, akan tetapi harus terjadi pemerataan. Segala usaha bersama dalam rangka kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban untuk mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta. Demikian pula halnya dengan usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli jangan sampai merugikan rakyat banyak, dengan harus terjadi sinergi antara pemilik lahan dengan penggarap serta terjadi hubungan saling menguntungkan. (e) Menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam pemanfaatan tanah baik oleh perseorangan maupun badan hukum harus tetap memperhatikan kepentingan golongan ekonomi lemah, misalnya dalam hal pengelolaan tanah pertanian di mana petani penggarap karena tidak memiliki hak atas tanah, hanya menerima prosentase hasil dari tanah yang digarapnya. Oleh karena itu itu perlu diatur mengenai ketentuan-ketentuan tentang tata cara dan syarat-syarat atas pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi hasil, gadai dan sebagainya. (f) Untuk kepentingan bersama. Penggunaan tanah harus mengutamakan kepentingan bersama, sehingga akan memberikan manfaat bagi pemegang hak atas tanahnya maupun bagi masyarakat pada umumnya serta bagi negara. Pemegang hak atas tanah tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun harus ikut serta memberi kontribusi yang menguntungkan bagi masyarakat lainnya serta untuk negara. Konsep kebijakan sebagai pengejawantahan pelaksanakan tugas dan wewenang pemerintah di bidang agraria seringkali sangat menarik pada tingkatan abstrak tetapi justru pada tingkatan implementasi menjadi hal yang sebaliknya. Kondisi ini di antaranya dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menyatakan bahwa cabang-cabang produksi
4
yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Pasal ini mengandung tiga makna utama yaitu : 1. Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 2. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 3. Tanah memiliki arti yang strategis bagi kehidupan bangsa karena tanah merupakan cabang produksi negara yang menguasai hajat hidup orang ramai. Berdasarkan korelasi tersebut, hak menguasai negara mengandung arti : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan dan penggunaan objek
pemilikan.
2. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Hak menguasai dari negara itu sendiri memiliki dua aspek yaitu : 3 1.
2.
Hak menguasai dari negara telah diterima dan tetap berlaku dari sejak pembentukannya sampai saat ini. Namun demikian hak menguasai telah bergeser fungsi yang dapat dilihat dari adanya asumsi bahwa atas dasar hak ini melegitimasi pemerintah dalam merealisasikan program pembangunan dengan cara pengambialihan hak atas tanah; Dengan mempertimbangkan pada alasan historis-filosofis dari hak menguasai dari negara, menjadi perlu setidaknya untuk mengetahui konteks dan maksud pembentukannya. Konsepsinya, selain bertujuan menjamin hak rakyat atas tanahnya, kekuasaan negara atas tanah sebagai pemilik mutlak dimaksudkan hanya untuk tanahtanah yang tidak bertuan atau tidak dapat dibuktikan hak eigendom dan hak agrarische eigendomnya. Hak menguasai dari negara, dilihat dari sejarah pembentukan UUPA
mengajarkan
bahwa hak menguasai negara (yang mencakup kewenangan negara untuk menetapkan peruntukan dan pemanfaatan sumber daya agraria termasuk hak orang atau kelompok masyarakat atas tanah) merupakan abstraksi dari Hak ulayat.
3
UUPA pada dasarnya
Anonim, 2012, Kebijakan Keberpihakan Hukum (Suatu Rekomendasi), Cet Pertama, , Jakarta, hal.
51.
5
merupakan penjabaran dari Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur kewenangan negara atas tanah, menyebutkan bahwa sebagai hukum tanah nasional, dalam UUPA dikenal adanya tiga entitas tanah yaitu : a. Tanah Negara, hubungan penguasaannnya disebut hak menguasai (oleh) Negara, kewenangannya bersifat publik; b. Tanah ulAyat, hubungan penguasaannya disebut Hak ulayat, subjeknya Masyarakat Hukum Adat dan kewenangannya bersifat publik dan keperdataan. c. Tanah Hak yang dapat dipunyai oleh orang perorangan atau badan hukum, kewenangannnya bersifat keperdataan. Macam-macam hak atas tanah diatur dalam Pasal 16 UUPA.4 Tanah pada Masyarakat Hukum Adat, sebagaimana masyarakat pada umumnya, merupakan kekayaan sekaligus merupakan tempat tinggal dan tempat bermata pencaharian. Dalam tataran mistis, Masyarakat Hukum Adat menganggap tanah merupakan tempat tinggal para leluhur serta tempat kuburan mereka saat meninggal nanti. Uraian di atas
dapat
dikatakan lebih berhasil menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan diharapkan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, demikian pula halnya negara menguasai cabang produksi negara yang menguasai hajat hidup orang ramai.
Wewenang negara untuk mengatur
hubungan hukum antara orang-orang, termasuk Masyarakat Hukum Adat dengan tanah terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan
untuk memberi jaminan kepastian hukum
kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Saat terjadi keadaan di mana negara sendiri tidak mampu untuk mencapai apa yang dikehendaki sebagai hasil dari hak menguasai dari negara, pada akhirnya terjadi perubahan substantif, karena para pemilik modal selain negara, bahkan pemodal asinglah yang mengambil posisi negara dalam artian menguasai tanah secara fisiknya. Hak menguasai oleh negara adalah merupakan instrumen, sedangkan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan 4
Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal. 5.
6
tujuan (objectives).5 Menurut Mahfud M.D., bahwa pada asas hak menguasai dari negara tersurat tujuan secara jelas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.6 Pada bagian lain dalam penjelasan UUPA dinyatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat memang bukan pemilik, melainkan bertindak selaku badan penguasa yang pada tingkatan tertinggi menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian hak menguasai bukanlah merupakan hak mutlak dari negara sebagaimana hak eigendom yang dimiliki oleh perseorangan, karena negara dalam hal ini tetap dibatasi oleh undang-undang, yang menurut Achmad Sodiki disebut sebagai libertas sub lege7 yang berarti negara bebas melaksanakan hak menguasainya akan tetapi masih dalam bingkai peraturan hukum, terutama jika pelaksanaan hak menguasai itu bersentuhan dengan kepentingan perseorangan atau kelompok masyarakat yang mempunyai hak tertentu atas`tanah. Prinsip “negara menguasai” harus ditafsirkan sebagai peran dari negara, dalam hal ini pemerinah, sebagai wasit yang adil yang menentukan aturan main yang ditaati oleh semua pihak, termasuk negara tunduk pula pada peraturan yang dibuatnya sendiri saat negara turut serta aktif sebagai pelaku dalam aktivitas pemanfaatan tanah. Persoalan sering muncul adalah dengan terjadinya pergeseran penggunaan hak menguasai yang berintikan mengatur dalam kerangka populis menjadi memiliki dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dalam situasi sekarang ini. Motif-motif ingin menguasai suatu kawasan untuk tujuan penguasaan sumber daya alam termasuk tanah kalau sebelumnya kekuatan ekonom menjadi satu-satunya modal sekarang ini kekuatan politik sudah mulai ikut andil sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kondisi ini justru berakibat pada ditindihnya hak atas tanah yang telah dipegang secara fisik oleh Masyarakat Hukum Adat. Tidak adanya bukti-bukti secara formal tentang tanah hak ulayat serta anggota masyarakat secara hukum 5
Bagir Manan, 1999, Beberapa Catatan Undang-Undang Tentang Minyak Dan Gas Bumi, Bandung, F.H. Unpad, hal.1-2. 6 Moh. Mahfud MD., 2011, Politik Hukum Di Indonesia, Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 182. 7 Achmad Sodiki, 2013, Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 180.
7
menjadi cara yang mempermudah pengambilalihan tanah yang sudah secara turun temurun dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat, sehingga rasa keadilan itu dirasakan semakin jauh. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh A. Suriyaman Mustari Pide, bahwa : Masyarakat Hukum Adat atau persekutuan hukum adat pra proklamasi tidak luput dari perubahan : proses melemah, mengabur atau mungkin menghilang karena berbagai faktor. Dari berbagai bentuk dan coraknya, punahnya adat justru yang terbesar kemungkinannya terutama karena politik hukum pemerintah yang dituangkan dalam bentuk produk-produk hukum termasuk produk-produk sektoral yang terkait pada pembangunan nasional yang terencana.8 Sedangkan di sisi lain negara secara tegas telah mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan bahwa : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Ketentuan Pasal 3 di atas tetap harus dimaknai bahwa kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih luas dan hak ulayatnyapun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas. Jarot Widya Muliawan mengemukakan bahwa dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan, maka arah dan kebijakan pertanahan didasarkan pada empat prinsip yaitu ; 1. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran. 2. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. 3. Pertanahan harus berkontribusi nyata dan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang pada sumber-sumber ekonomi dan; 4. Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan
8
A. Suriyaman Mustari Pide, 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini Dan Akan Datang, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 107-108.
8
di seluruh Indonesia dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik dikemudian hari.9 Dari keempat prinsip diatas terlihat bahwa penekanan dalam bidang pertanahan adalah adanya kontribusi dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat, adanya tatanan kehidupan yang adil, adanya akses seluas-luasnya untuk generasi muda pada sumber-sumber ekonomi serta adanya sistem pengelolaan yang tidak menimbulkan konflik dikemudian hari. Lain halnya dengan Maria S.W Sumardjono yang mengemukakan bahwa dasar berpijak untuk pembuatan kebijakan di masa yang akan datang adalah : 10 1. Prinsip-prinsip dasar yang diletakkan oleh UUPA orientasinya perlu dipertegas dan dikembangkan, sehingga dapat diterjemahkan sebagai kebijakan yang konseptual, sekaligus operasional dalam menjawab berbagai kebutuhan dan dapat menuntut ke arah perubahan yang dinamis. 2. Perlu adanya persamaan persepsi bagi pembuat kebijakan dengan berbagai hal yang prinsipiil, sehingga tidak akan menunda jalan keluar dari berbagai permasalahan yang ada.
Dalam hal ini pembuat kebijakan harus senantiasa menghindari adanya
pengaturan yang menimbulkan multi tafsir, sehingga dapat ditentukan dan dikembangkan kebijakan pertanahan sesuai dengan keberagaman permasalahan yang ada . 3. Perlu dilakukan prioritas dalam penerbitan kebijakan, untuk menghindari kesan adanya pembuatan kebijakan yang bersifat parsial. 4. Diperlukan adanya kebijakan di bidang pertanahan yang jelas yang menunjukkan hubungan antara prinsip kebijakan, tujuan serta sasaran yang hendak dicapai. Hal ini
9
Jarot Widya Muliawan, 2015, Pemberian Hak milik Untuk Rumah Tinggal (Sebuah Kajian Normatif Untuk Keadilan Bagi Masyarakat), Buku Litera, Yogyakarta, (selanjutnya ditulis Jarot Widya Muliawan I), hal. 46-47. 10 Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan ( Antara Regulasi dan Implementasi), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W. Sumardjono I), hal. 46.
9
perlu mengingat setiap kebijakan yang dikeluarkan akan menimbulkan akibat hukum sebagai akibat dari kebijakan itu sendiri. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang agraria bagi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu adalah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Permen Nomor 9 Tahun 2015) yang mengatur tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, peraturan mana saat belum genap berusia setahun telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku serta diganti Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
10 Tahun 2016
(selanjutnya disebut Permen Nomor 10 Tahun 2016) yang mengatur tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam kawasan Tertentu, dengan pertimbangan antara lain untuk menjamin hak-hak hukum adat dan masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu, yang telah menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama serta untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta untuk menghindari terjadinya pemahaman. Menurut Pasal 1 angka 1 Permen Nomor 10 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak komunal atas tanah adalah : “hak milik bersama atas tanah suatu Masyarakat Hukum Adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu”. Dari Permen Nomor 10 Tahun 2016 ini jelas dinyatakan
bahwa Hak komunal dapat
diberikan kepada Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat yang berada pada Kawasan Tertentu, dengan pengertian kawasan tertentu yang dimaksud di sini adalah daerah perkebunan dan kehutanan.
10
Sebelum dikenal hak komunal atas tanah, dikenal adanya Hak ulayat yang dapat dikatakan hampir sama, di mana Pasal 1 ayat (1) Permen Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa hak ulayat dan yang serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut Hukum Adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Dari ketentuan pasal 1 ayat (1) di atas, bahwa yang dimaksud dengan hak atas tanah menurut peraturan ini adalah : 1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari Masyarakat Hukum Adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat tertentu. Maria S.W. Sumardjono mengemukakan bahwa hak ulayat tidak termasuk dalam pengertian hak atas tanah,
Beliau menunjuk Pasal 16 ayat (1) UUPA. nampaknya pemerintah
menyamakan pengertian hak ulayat dengan hak komunal, hal ini dapat dilihat dalam konsiderans huruf b Permen Nomor 9 Tahun 2015, yang menyatakan “bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak komunal dan yang serupa itu dari Masyarakat
11
Hukum Adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UUPA”.11 Di dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, hak ulayat ini diberikan kepada negara sebagai abstraksi dari keseluruhan rakyat. Adalah rakyat yang menggunakan hak menentukan nasib sendiri yang kemudian membentuk NKRI dan mempercayakan pada urusan pengelolaan kepentingan bersama (res-publica).12 Aturan operasional
negara
pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat dan sumber daya alam ( hak ulayat) yang diatur dalam Permen Nomor 5 Tahun 1999 ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan penguasaan tanah oleh Masyarakat Hukum Adat, namun dengan telah dicabutnya permen ini, dapat memperlemah keberadaan hak ulayat itu sendiri. Sebenarnya berbicara mengenai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya ditulis KMHA) maka otomatis ada melekat Hak ulayat yang dikenal selama ini, sementara dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 hanya mengatur soal hak komunal. Dalam Permen Nomor 10 Tahun 2016 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Masyarakat Hukum Adat, dalam Pasal 1 angka 3 adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Pengertian Masyarakat
Hukum Adat itu sendiri, menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Bunsar Muhammad bahwa : Masyarakat Hukum Adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan tak berwujud, di mana para anggota persatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau dengan meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.13
11
https:kios.kompas.com/kiosku./2015/07/06 /Ihwal Hak komunal Atas Tanah, diakses tanggal 3 Maret 2015. 12 Anonim, op.cit., hal. 77. 13 Bunsar Muhammad, 2004, Azaz-azaz Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 25.
12
Berbeda halnya dengan A. Suriyaman Mustari Pide, yang menyebutnya dengan istilah masyarakat hukum yang territorial geneologis, di mana diberikan pengertian sebagai kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur di mana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga ikatan pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah atau kekerabatan.14 Kingsbury sebagaimana dikutip Emil Ola Kleden menyatakan bahwa ada syarat-syarat dan ciri-ciri yang relevan dan harus dipenuhi oleh kelompok yang disebut masyarakat adat yaitu : 1. Identifikasi diri sendiri sebagai kelompok etnis yang berbeda; 2. Memiliki pengalaman sejarah sebagai kelompok yang rentan terhadap intervensi, peyingkiran atau atau eksploitasi; 3. Adanya keterkaitan yang panjang dengan wilayah tempat hidupnya, dan 4. Adanya kehendak untuk memelihara sebuah identitas yang berbeda.15 Pengertian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 diatas, bila dikaitkan dengan bentuk dan susunan Masyarakat Hukum Adat, Ter Harr menunjukkan adanya dua faktor yang berpengaruh bagi timbulnya KMHA yaitu faktor territorial dan faktor genealogis,16 sedangkan R. Soepomo membagi KMHA di Indonesia menjadi dua golongan menurut dasar susunannya yaitu : a. KMHA yang berdasar pertalian keturunan (genealogis) dan b. KMHA yang berdasar lingkungan daerah (territorial) dapat dikatakan bahwa apa yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 di atas menentukan terpenuhinya syarat genealogis ataupun territorial.17 Dengan demikian dalam masyarakat adat,
antar sesama anggota mempunyai keterikatan dan keterkaitan satu dengan yang
14
A. Suriyaman Mustari Pide, op.cit., hal. 62. Emil Ola Kleden, 2012, Masyarakat Adat : Vulnerable Groups, Kajian Dan Mekanisme Perlindungannya, PUSHAM UII, Yogyakarta, hal. 385. 16 B. Ter Haar, 2001, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan : K.Ng Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.7. 17 R. Soepomo, 1977, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 69. 15
13
lainnya, sehingga menimbulkan kesatuan emosi menjadi satu kelompok, kesatuan mana dapat timbul karena faktor keturunan dari masing-masing anggota maupun karena sejak turun temurun sudah berada pada lingkungan ataupun daerah yang sama. Dalam tata hukum Indonesia, keberadaan Masyarakat Hukum Adat telah mendapat tempat tersendiri dalam aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia, hal ini dapat dilihat dalam beberapa produk hukum di antaranya : a. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Negara mengakui dan menghormati
Kesatuan-kesatuan
Masyarakat
Hukum
Adat
beserta
hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pasal ini merupakan pengakuan konstitusional atas kesatuan kesatuan Masyarakat Hukum Adat. b. Pasal 281 ayat (3) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati secara selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Pasal ini secara eksplisit menunjuk kepada eksistensi Kesatuan Masyarakat Hukum Adat menjadi objek dan subjek yang harus dilindungi oleh negara. Tanggungjawab negara terutama pemerintah (eksekutif) untuk melaksanakan pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak kolektif Masyarakat Hukum Adat ditegaskan pula dalam Pasal 281 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menyatakan : perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Jimly Assiddiqie sebagaimana dikutip Ilhamdi Taufik mengemukakan bahwa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
pada hakekatnya lebih dari sekedar kesatuan
masyarakat adat yang hanya bersifat tradisional, karena di dalamnya terkandung hak hukum dan kewajiban hukum masyarakat itu dengan lingkungan sekitarnya dan juga
14
dengan Negara.
Lebih lanjut dikemukakan perlu diperhatikan pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat ini diberikan oleh Negara (i) kepada eksistensi pada suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimiliknya (ii) eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dengan pengertian bahwa pengakuan diberikan kpada satu persatu
dari kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu; (iii) masyarakat hukum adat itu memang masih hidup; (iv) dalam lingkungannya (labensraum) yang tertentu pula; (v) pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan
ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai tingkat perkembangan
peradaban bangsa; (vi) pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai Negara yang berbentuk Negara Kesatuan republik Indonesia.18 c. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : 1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan; 2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; 3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. H.M.S. Kaban mengenai ketentuan ini mengemukakan bahwa apa yang diatur dalam UU Nomor 67 Tahun 1999 mengenai hak ulayat dan hak-hak perorangan sama dan sesuai dengan apa yang terdapat dalam UUPA.19 d. Pasal 51 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, antara lain menyatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat sebagai satu 18
Ilhamdi Taufik, 2006, “Pengakuan dan Perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat”, Himpunan Dokumen Sekitar Acara Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia 9 Agustus, Komisi Hak Asasi Manusia, Jakarta, hal.5. 19 H.M.S Kaban, 2005, “Pengakuan keberadaan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia”, Makalah dalam Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Kerjasama Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI dan Departemen Dalam Negeri RI, Jakarta, hal. 18-19.
15
kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Dengan menyimak apa yang diatur dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 dapat dikemukakan bahwa eksistensi Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat tradisional ini diakui dengan tiga syarat yaitu : 1. “Sepanjang Masih hidup” Masyarakat Hukum Adat dimaksud secara riil harus masih hidup, untuk itu dilakukan inventarisasi terhadap keberadaannya, untuk mengenal struktur sosial serta kultur identitasnya, lembaga kepemimpinan dan batas-batas tanah ulayatnya. Seiring dengan itu terhadap Masyarakat Hukum Adat yang pernah ada dan sekarang telah lenyap perlu dipertanyaan faktor apa yang menyebabkan tidak adanya lagi apa yang disebut Ter Haar sebagai geordend groepen van blijved karacter. Kriteria eksistensial masyarakat atau persekutuan hukum adat menurut Ter Haar sebagaimana dikutip oleh Saafroedin Bahar adalah : a. suatu tatanan kelompok yang bersifat tetap; b. dengan kekuasaan (penguasanya) sendiri (biasanya dilengkapi dengan aparat pembantu penguasa tersebut) ; c. adanya kekayaan materiil dan immateriil sendiri.20 Klausula “sepanjang masih hidup” ini terkesan dibuat-buat, menyimpang dari semangat untuk melindungi Masyarakat Hukum Adat beserta hak-haknya serta memberi peluang manipulasi justru untuk meniadakan Masyarakat Hukum Adat dengan satu atau lain cara.21 Syarat ini nampak lebih menekankan akan masih hidupnya Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, tanpa memberikan perhatian serta menghidupkan kembali Masyarakat Hukum Adat yang pernah ada, sehingga hanya diakui apabila masih ada
20
Saafroedin Bahar, 2006, Menjembatani Keterasingan Elite Dari Keterpinggiran Rakyat, (Kerangka Analisa dari Program Aksi), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kerjasama KOMNAS HAM dan UNDP, hal. 68. 21 Ibid.
16
aktivitas yang disyaratkan dalam masyarakat adatnya. Kondisi ini dapat berakibat semakin berkurangnya komunitas Masyarakat Hukum Adat yang ada selama ini. 2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat Penilaian di sini bersifat relatif dan bahkan bisa menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Fakta bahwa ada Masyarakat Hukum Adat yang tanpa kehendaknya sendiri tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban dapat diartikan secara
berbalik
sebagai pengakuan kegagalan pemerintah dalam menunaikan salah satu tugas pokoknya. Jadi bila sistem adat yang berlaku di dalam suatu komunitas adat tersebut ternyata masih dihormati dan diakui oleh segenap komunitas (secara internal) serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat luas, maka komunitas adat tersebut dipandang sesuai dengan perkembangan pada masanya. 3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Sesuai dengan Pasal 37 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang dengan tegas menyatakan bahwa khusus mengenai bentuk NKRI tidak dapat dilakukan perubahan. Dalam hal ini NKRI menghormati kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagai daerah-daerah istimewa dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak asal usul daerah itu. Dalam hal ini pendiri negara sangatlah jelas dan tegas yaitu bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan Masyarakat Hukum Adat sebagai daerahdaerah istimewa dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat asal usul daerah itu. Dengan kata lain bila sistem nilai adat istiadatnya tidak memecah belah persatuan dan kesatuan nasional, maka sistem nilai adat istiadat tersebut wajib dihormati dan dijaga kelestariannya. 4. Diatur dengan undang-undang (merupakan syarat yang tercantum dalam Pasal 281 ayat (3) UUD NRI 1945).
17
Masyarakat Hukum Adat tidak berwenang membentuk undang-undang dan karena posisinya sangat rentan dan berbagai segi juga tidak mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi pembentuk undang-undang. Menurut Artidjo Alkostar bahwa dengan keempat syarat di atas bahwa pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat tradisional tidaklah berlangsung secara otomatis.22 Soetandyo Wignyosoebroto menyebut keempat syarat tersebut diatas merupakan tolok yuridis yang harus diperhatikan oleh pemerintah tatkala akan memberikan pengakuan kepada eksistensi Masyarakat Hukum Adat, dan mengisyaratkan bahwa kepentingan negara nasional, sebagaimana yang harus dijaga oleh pemerintah nasional dengan posisinya yang sentral, tetap harus didahulukan.23 Berkaitan dengan hak-hak atas tanah, hak atas tanah dan sumber daya alam adalah salah satu hak yang paling banyak dituntut oleh masyarakat adat. Ketergantungannya yang tinggi terhadap tanah dan sumber daya alam untuk menopang hak atas hidup adalah alasan utama.24 Hak atas tanah dari masyarakat yang berlaku di Indonesia, dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Macam-macam hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA diatas, ketentuan dalam Pasal 16 UUPA mengenal jenis-jenis hak atas tanah antara lain: (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah:. a. hak milik 22
Artidjo Alkostar, 2007, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (kajian Multi Perpektif), PUSHAM UII, Yogyakarta, hal. 452. 23 Soetandyo Wignjosoebrata, 2005, “Pokok-Pokok Pikiran Tentang “Empat Syarat Pengakuan Eksistens Masyarakat Adat”, Makalah dalam Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Kerjasama Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi RI dan Departemen Dalam Negeri RI, Jakarta, hal. 39. 24 Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi), Salemba Humanika, Jakarta, hal. 423.
18
b. hak guna-usaha, c. hak guna-bangunan, d. hak pakai, e. hak sewa, f. hak membuka tanah, g. hak memungut-hasil hutan, h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. (2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ialah: a. hak guna air; b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan; c. hak guna ruang angkasa. (3) Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA yaitu : a. hak gadai b. hak usaha bagi hasil c. hak menumpang d. hak sewa tanah pertanian Dari pengaturan hak atas tanah di atas, maka jenis-jenis hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : 1. Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah yang tetap ada dan berlaku selama UUPA berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Jenis hak atas tanah yang termasuk dalam pengelompokan ini adalah hak milik, HGU, HGB, Hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan. 2. Hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu hak atas tanah yang akan hadir kemudian yang akan ditetapkan oleh undang-undang, misalnya hak atas tanah yang telah pernah dikeluarkan adalah Unsang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 3. Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah yang sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal dan bertentangan dengan UUPA. Macam-macam
19
hak atas tanah ini adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Berdasarkan pengelompokan di atas,
dapat dilihat bahwa hak komunal tidak
termasuk dalam salah satu dari ketiga pengelompokan yang telah disebutkan di atas. Hal ini dikarenakan dasar hukum lahirnya hak komunal adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Tata Ruang dan Kepala BPN. Apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA mengenai maksud dari “hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53”, menyatakan bentuk lain selain “undang-undang”. Adanya insinkronisasi dalam pengaturan mengenai hak komunal di sini dapat menimbulkan keraguan akan jaminan tercapainya kepastian hukum dari Hak komunal. Di sisi lain hal yang masih dapat menjadi persoalan apakah politik pengakuan terhadap hak komunal tanah adat akan memberikan kepastian hukum setara dengan hak atas tanah yang selama ini diatur UUPA. Penafsiran atas ketentuan hak komunal dengan Pasal 16 ayat (1) h UUPA menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah bermaksud menjadikan Hak komunal sebagai hak yang bersifat sementara ataukah hak yang terpisah dari UUPA sebagai Undang-Undang Pokok di bidang keagrariaan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ?. Bila dilihat pengaturan pendaftaran tanah yang berlaku selama ini, Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, selanjutnya dalam penjelasan Umum UUPA disebutkan bahwa kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah merupakan cita-cita dari pada pembuat UUPA. Pasal 2 Tap MPR/IX/2001 berkaitan dengan kepastian hukum,
menyebutkan bahwa pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
20
dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian terbitnya Permen Nomor 10 Tahun 2016 diharapkan akan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi KMHA. Dimungkinkannya KMHA memiliki tanah dengan hak komunal dengan diterbitkannya hak komunal sepanjang memenuhi persyaratan, hal ini sejalan dengan tujuan dari pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Kepastian akan kepemilikan hak atas tanah tidak hanya diperlukan oleh perseorangan ataupun oleh badan hukum yang merupakan bagian dari sejarah politik pertanahan nasional Indonesia, namun sudah seharusnya siapapun pemegang suatu hak atas tanah yang diperoleh dengan memenuhi persyaratan serta sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam ketentuan Hukum Petanahan di Indonesia, seharusnya mendapat jaminan kepastian hukum karena secara hukum sudah bertindak sebagai pemohon yang beritikad baik. Demikian pula halnya dengan pemegang tanda bukti kepemilikan hak komunal. Melihat pengaturan hak komunal yang didasarkan pada Peraturan Menteri Agraria/Tata Ruang dan Kepala BPN yang berbeda dengan dasar pengaturan hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA
21
yang mengenal adanya hak atas tanah yang bersifat tetap, hak atas tanah yang ditetapkan oleh undang-undang, dan hak atas tanah yang bersifat sementara. Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang di atas, selanjutnya penulis akan melakukan pembahasan atas tesis dengan judul KEPASTIAN HUKUM HAK KOMUNAL DITINJAU DARI PASAL 16 AYAT (1) h UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960. 1.2. Rumusan Masalah. Dari uraian dalam latar belakang masalah, dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kepastian hukum hak komunal ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h. UUPA? 2. Apakah sertifikat hak komunal atas tanah memberikan jaminan kepastian hukum yang sama dengan sertifikat hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA? 1.3. Orisinaltas Penelitian. Untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam penulisan, mengingat hukum dalam masyarakat akan terus berkembang, beberapa disertasi dan tesis terdahulu yang berkenaan dengan Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat atas tanah yaitu :
No 1.
Nama Penulis Dewa Bagus Wibawa Utama
Judul Tulisan
Pokok Penulisan
Keterangan
Pemanfaatan Tanah Penulisan ini meneliti Penulisan Adat dalam 3 permasalahan yaitu : Tesis Pembangunan Program Pariwisata Di Bali 1.Bagaimanakah Studi (studi Tentang bentuk-bentuk Magister Perjanjian penguasaan tanah Kenotariatan Kerjasama Desa adat dan pemanfaat- Fakultas Adat Dengan an tanah adat di Hukum Investor di Bidang Bali ? Universitas Pariwisata) 2.Bagaimanakah Brawijaya fenomena koeksis- Tahun 2010. tensi masyarakat adat dengan investor dan implementasi pemanfaatan tanah
22
adat dalam pembangunan pariwisata di Bali? 3.Bagaimanakah bentuk perjanjian kerjasama antara desa adat dengan investor terkait dengan pemanfaatan tanah adat dalam pembangunan pariwisata di Bali?
2.
Luh Gede Penyelesaian Penulisan ini meneliti Soearning Sengketa Tanah 2 permasalahan yaitu : sih Adat yang Dijadikan Tempat 1.Bagaimanakah Pendidikan oleh penyelesaian Pemerintah Daerah sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah?
Penulisan Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana Tahun 2015.
2.Apa upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa tanah adat yang dijadikan tempat pendidikan oleh Pemerintah Daerah?
3.
Dewa Nyoman Rai Asmara Putra
Implikasi Politik Penulisan ini meneliti Penulisan Hukum Pertanahan 3 permasalahan yaitu: Disertasi Nasional terhadap Program Kedudukan Desa 1.Bagaimana Pascasarjana Pakraman Sebagai implikasi politik Universitas Subjek Hukum Hak hukum pertanahan Udayana Atas Tanah. nasional terhadap Tahun 2016. desa pakraman sebagai subjek hukum hak atas tanah? 2.Mengapa hanya tanah laba pura
23
sebagai salah satu jenis tanah adat di Bali yang diakui dan dapat didaftarkan sebagai hak milik atas tanah? 3.Bagaimana regulasi politik hukum pertanahan ke depan perspektif desa pakraman dalam kedudukannya sebagai subjek hukum hak atas tanah
1.4.Tujuan Penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi tujuan penelitian dapat dibedakan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Mengenai tujuan ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1.4.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian serta menganalisis kepastian hukum hak komunal ditinjau dari Pasal 16 ayat (1) h Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960. 1.4.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.4.2.1. Untuk dapat mendiskripsikan dan menganalisis mengenai kepastian hukum hak komunal dikaitkan dengan jenis-jenis hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) h UUPA.
24
1.4.2.2. Untuk mendiskripsikan dan menganalisis jaminan kepastian hukum atas sertifikat hak komunal atas tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 dikaitkan dengan sertifikat hak atas tanah atas hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. 1.5. Manfaat Penelitian. 1.5.1 Manfaat Teoritis. Penelitian dalam tesis ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta bahan informasi hukum bagi para akademisi di bidang hukum pada umumnya, dan diharapkan dapat menjadi bahan dalam menambah wawasan khususnya dalam Ilmu Hukum Pertanahan khususnya mengenai hak komunal KMHA. 1.5.2 Manfaat Praktis 1. bagi praktisi hukum di antaranya Notaris-PPAT, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam bidang Hukum Pertanahan,
khususnya mengenai dapatnya hak atas tanah adat disertifikatkan
menjadi hak komunal. 2. Bagi masyarakat, sebagai informasi dan diharapkan dengan informasi ini akan mendorong masyarakat hukum adat yang saat ini sedang menguasai suatu hak atas tanah adat untuk mengajukan hak atas tanahnya
menjadi hak komunal dengan
mengikuti prosedur yang telah ditentukan. 1.6. Landasan Teoritis Dan Konsep. 1.6.1. Landasan Teoritis Teori hukum adalah cabang dari ilmu hukum yang menganalisa secara kritis aspekaspek yang bermacam-macam dari gejala-gejala hukum secara tersendiri dan dalam keseluruhannya baik dalam pengaruh konsepsi teoritisnya, maupun dalam pengaruh
25
praktisnya, di dalam suatu perspektif interdisipliner, dengan tujuan suatu pandangan yang lebih baik dan suatu keterangan yang jelas tentang data yuridis ini.25 Bruggink mengartikan teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem
konseptual
kaidah-kaidah
hukum
dan
keputusan-keputusan
hukum
(rechtsbesslingen).26 Dalam rangka melakukan pembahasan dalam penulisan ini, diperlukan teori-terori yang menguatkan pembahasan tersebut. Teori-teori yang dipergunakan antara lain: Asas Kepastian Hukum, Teori Negara Hukum, Teori Perjenjangan Norma serta Teori Kemanfaatan. 1.6.1.1. Asas Kepastian Hukum Kepastian memiliki arti ketentuan, ketetapan. Sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum, menjadi kepastian hukum, memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.27 Dalam penegakan hukum, setiap orang selalu mempunyai harapan untuk dapat ditetapkannnya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit, bahwa suatu peristiwa tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan kata lain diperoleh kepastian hukum. Kepastian hukum adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif dan tidak bisa dijawab secara sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan tafsir yang berbeda dan logis dalam artian dapat menjadi sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. 25
Konflik norma yang ditimbulkan dari dari ketidakpastian
Jan Gijssel dan Mark Van Hoecke, 2000, Apa itu Teori Hukum?, diterjemahkan oleh Bachtiar Ibrahim, Dipakai Kalangan Sendiri, Malang, hal. 00. 26 J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Ke 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3. 27 E. Fernando M. Manullang,, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai), Buku Kompas, Jakarta, hal. 91-92.
26
aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan suatu kepastian tindakan yang sesuai dengan aturan hukum, karena frasa kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian prilaku hukum secara benar-benar. Kepastian hukum menjamin keadilan bagi setiap insan dan anggota masyarakat dengan masyarakat lain tanpa membedakan darimana dia berasal. Menurut Paulus Effendie Lotulung, asas kepastian hukum memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum materiil yang terkait erat dengan asas kepercayaan dan yang lain masih bersifat formal.28 Pada bagian lain Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban. Penjelasan UUD NRI 1945 menyebutkan antara lain, “Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machsstaat)”. Menurut Philipus M. Hadjon, prinsip negara hukumlah yang melindungi rakyat terhadap tindakan pemerintah.29 Dengan adanya negara dan hukum (konstitusi) yang pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bersama rakyat yang berdaulat, oleh sebab itu nilai kepastian yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenangwenang, sehingga hukum memberikan tanggungjawab pada negara untuk menjalankannnya. Di sinilah letak hubungan antara persoalan kepastian (hukum) dengan peranan negara. Berbeda halnya dengan Pasal 58 huruf a Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan mengenai kepastian hukum
28
Paulus Effendie Lotulung, 1994, Himpunan Makalah Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 43. 29 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Peradaban, Surabaya, hal. 66.
27
yaitu bahwa kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Masyarakat terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya dan tugas itu diletakkan di pundak hukum. Ilmu hukumpun disibukkan oleh masalah tersebut.30
Kepastian hukum
sudah menjadi semacam ideologi dalam kehidupan berhukum, sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut.31. Gustav Rudbruch, seorang filsuf Jerman mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum, yang diidentikkan pula dengan tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bagi Gustav Rudbruch ketiga ide dasar hukum itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, di mana Gustav Rudbruch mengajarkan bahwa harus dipergunakan asas prioritas, di mana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum. Kemanfataan dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, demikian pula kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan kemanfaatan.32 Kepastian hukum menurut Gustav Rudbruch yang mengembangkan Geldings Theorie mengemukakan bahwa untuk berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi 3 (tiga) nilai dasar, yaitu : 1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, di mana kekuatan mengikatnya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi. 2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atas dapat dipaksakan sekalipun masyarakatnya menolak (teori paksaan)
30
Achmad Ali, 2013, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Achmad Ali I), hal. 289-290. 31 Ibid. 32 Ibid., hal. 288.
28
3. Philosopical doctrine, nilai filosofis artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi33. Sehubungan dengan tiga nilai dasar di atas, Jarot Widya Muliawan menggambarkan teori Gustav Rudbruch sebagai berikut: 34
Kepastian Hukum (Gustav Rudbruch)
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Kepastian Hukum oleh hukum
Kepastian hukum dalam atau dari hukum
Kepastian hukum oleh karena hukum Kepastian hukum dalam hukum memberi tugas hukum yang lain yaitu tercapai apabila hukum tersebut keadilan hukum serta hukum harus sebanyak-banyaknya dalam undang33 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Harian Kompas, Media Oktober, (selanjutnya tetap berguna. undang disingkat Satjipto Rahardjo I), hal. 19. 34
Jarot Widya Muliawan I, op.cit., hal. 110.
29
Bagan Teori Kepastian Hukum Gustav Rudbruch. Di sisi lain sehubungan dengan hukum itu sendiri Gustav Rudbruch mengemukakan bahwa hukum itu hanya berarti sebagai hukum, jika hukum itu merupakan suatu perwujudan keadilan atau sekurang-kurangnya merupakan usaha ke arah terwujudnya keadilan.35 Selanjutnya berkenaan dengan “kepastian hukum” Fuller
sebagaimana dikutip
Achmad Ali memajukan delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum dan apabila tidak dipenuhi, maka gagallah hukum itu sebagai hukum. Adapun asas itu adalah : 1. Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc); 2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti umum; 5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan 7. Tidak boleh sering diubah-ubah; 8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari36 Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 perubahan ketiga bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berkenaan dengan permasalahan yang dibahas, Asas Kepastian Hukum terhadap hak komunal atas tanah yang dapat dimiliki oleh KMHA, meskipun apabila dilihat dalam pasal-pasal UUPA yang mengatur jenis hak atas tanah, hak komunal tidak merupakan salah satu dari hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Di sisi lain akan dipergunakan untuk mendapatkan penjelasan mengenai ada tidaknya jaminan kepastian hukum komunal yang bersangkutan. 1.6.1.2. Teori Negara Hukum
35 36
Achmad Ali I, op.cit., hal. 438. Achmad Ali I, op.cit., hal. 29.
30
Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatan sederhana, namun mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah istilah Indonesia yang terbentuk dari dua suku kata yaitu negara dan hukum. Ada beberapa istilah yang dipergunakan sebagai pengertian negara hukum, yakni rechtsstaat, rule of law dan etat de droit. Indonesia menggunakan istilah Rechtsstaat untuk menyebut dirinya sebagai negara hukum.37 Tiada negara atau masyarakat tanpa sistem hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmaja, dengan memodifikasi konsep Roscoe Pound bahwa hukum harus digunakan sebagai sarana untuk membantu proses perubahan dalam masyarakat atau law as a tool of social engineering yang dimaksudkan bahwa perubahan sebagaimana dimaksud oleh hukum jelas menyangkut perubahan terhadap sikap dana atau pola prilaku warga masyarakat dalam memberikan maknanya terhadap hukum.38 Dalam Tahun Buku 19 Henry VI Pasch disebutkan bahwa : “the law is the highest inheritance which teh king has, for by the law heand all his subjects are ruled and if there was no law there would be no king and no heritance.”39
secara garis besar dapat diterjemahkan sebagai berikut: hukum adalah warisan tertinggi yang dimiliki oleh raja, dengan hukumnya semua rakyatnya diperintah, dan jika tidak ada hukum, maka tidak akan ada raja dan warisan. Dengan kata lain apabila hukum tidak ada, maka raja tidak mempunyai kekuatan untuk memerintah dan mengatur rakyatnya. Di Indonesia, keinginan untuk menegakkan negara hukum telah membawa negara kita ke arah pentingnya amandemen konstitusi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pasal ini mengandung makna perwujudan Indonesia yang diidealkan dan dicita-citakan karena itu selayaknya ada
37
Majda El Muhtaj, 2007, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 20. 38 Endang Sutrisno, 2015, Bunga Rampai Hukum & Globalisasi, In Media, Cirebon, hal. 43. 39 Michael Allen & Brian Thompson, 2002, Cases & Materials on Constituional & Administrative Law, Oxford Univercity Press, United State, hal. 172.
31
eksplorasi mengenai reforma hukum dan konstitusi, serta bentukan cita negara hukum dituju agar dapat mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan berakhlak.40 Gagasan negara hukum itu dikembangkan dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan. Menurut Widhi Handoko dalam rangka pengembangan tersebut, maka sistem hukum perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya.41 Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar dan dapat pula tidak tertulis.42 Sebagaimana telah diketahui UUD NRI 1945 telah mengalami perubahan. Melihat kondisi Indonesia yang dihuni oleh beragam suku bangsa dan keragaman, karena itu negara harus mampu mengikat keseluruhan perbedaan-perbedaan tersebut menjadi satu persatuan tanpa harus memaksakan adanya kesatuan. Menurut Jimly Assiddiqie, prinsip negara hukum mengandung pengertian: 1. Pengakuan prinsip supremasi hukum dan kostitusi; 2. Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional; 3. Adanya jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia dan ; 4. Adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak.43 Berbeda halnya dengan Scheltema sebagaimana ditulis dalam buku Widhi Handoko merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas negara hukum meliputi 5 hal yaitu :44 1. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
40
Jimly Assiddiqie, 2008, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, (selanjutnya disingkat Jimly Assiddiqie I), hal. 117. 41 Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan (Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif ), Thafa Medica, Semarang, hal. 44. 42 Ibid., hal. 256. 43 Jimly Assiddiqie, 2008, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Jimly Assiddiqie II), hal. 57. 44 Widhi Handoko, op.cit., hal. 44- 46.
32
2. Berlakunya asas kepastian hukum, Negara hukum bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. 3. Berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before the law) dalam negara hukum. Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok tertentu dan mendiskriminasikan orang atau kelompok tertentu. 4. Asas demokrasi di mana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempngaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. 5. Pemerintah harus secara rasional menata setiap tindakannya, memiliki tujuan yang jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya pemerintahan haru diselenggarakan secara efektif dan efisien. Sebagai negara yang berdasarkan pada hukum, penerapan teori ini dikaitkan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanahan sebagai usaha untuk memberikan kepastian hukum. LMDP (Land Management Policy Develompent Project ) mengusulkan adanya 4 prinsip utama kebijakan pertanahan yaitu : 45 1. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber kemakmuran baru. 2. Meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan terkait dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah. 3. Menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada generasi yang akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyrakat berupa tanah. 4. Menciptakan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dengan konflik pertanahan. Peran negara sangat menentukan dalam rangka mencapai keempat hal di atas, di antaranya dalam
menerbitkan peraturan perundang-undangan, seharusnya pemerintah menghindari
terjadinya ketidaksinkronan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain, yang dapat berakibat timbulnya ketidakpastian hukum. Peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkaitan dengan keberadaan hak komunal, dilihat dari aturan hukum yang dipergunakan sebagai dasar terbitnya hak komunal yaitu berupa Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional berbeda dengan dasar pengaturan hak atas tanah yang selama ini dikenal yaitu berupa undang-undang. Dalam menentukan ketentuan yang 45
Maria S.W. Sumardjono, dkk., 2009, Hasil Kajian : Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Pertanahan, BPHN Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, hal. 7.
33
berkaitan dengan masyarakat hukum adat, faktor keragaman adat serta aturan adat yang berlaku pada tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat negara harus mengkaji secara mendalam tentang hal ini untuk mencegah pemaksaan aturan hukum yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat adatnya. Secara umum berlaku bahwa kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang menguasainya dengan cara yang sah dalam arti telah memenuhi syarat material di antaranya diperoleh dengan itikad baik serta terpenuhinya syarat formal yakni dilakukan menurut tata cara peraturan perundangan yang berlaku berhak memperoleh kepastian hukum atas hak atas tanah yang diperolehnya. Teori ini akan diterapkan dalam membahas permasalahan pertama dan kedua. 1.6.1.3. Teori Perjenjangan Norma (Stufenbau Theory) Teori ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen dan dikenal dengan Teori Hukum Murni yang dikenal sebagai suatu teori besar dan kesohor dalam ilmu hukum, yang berusaha menelaah ilmu hukum dari dalam ilmu hukum sendiri. Dan dengan memakai metode ilmu hukum itu sendiri, dengan menghilangkan pengaruh dari ilmu lain dalam menganalis hukum, seperti menghilangkan pengaruh dari ilmu etika sosiologis, antropologi, psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan ilmu sejarah. Dalam teori hukum ini hanya menelaah hukum secara “apa adanya” (das sein) dan tidak masuk kelingkup „apa yang seharusnya” (das sollen), sehingga karenanya teori hukum murni ini tergolong juga kedalam ajaran “positivisme hukum” Tujuan dari diabaikannya pengaruh dari berbagai disiplin ilmu lain tadi dalam menganalisis ilmu hukum adalah agar kajiannya hanya bertumpu pada jawaban atas pertanyaan apa dan bagaimana hukum itu. Menurut W. Friedmann bahwa esensi dari ajaran Hans Kelsen adalah sebagai berikut : 1. The aim of a theory ol law, as of any science, is to ruce chaos and multiplicity to unity (Tujuan Teori Hukum seperti halnya setiap ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan serta meningkatkan persatuan).
34
2. Legal theory is science, not volutiom. It is knowledge of what the law is, not of what the law not to be (teori hukum adalah ilmu dan bukan kehendak. Ia adalah pengetahuan tentang subjek hukum yang ada dan bukan tentang hukum yang seharusnya ada). 3. The law is normative not a natural science (ilmu hukum adalah normatif dan bukan ilmu alam) … Karakter positivistis dari Hans`Kelsen sangat “kental” dalam tiga ajarannya yang utama yang sangat menekankan pengakuan hanya pada eksistensi hukum positif. Ajaran Hans Kelsen ada tiga yang utama yaitu :
1. Ajaran Hukum Murni (Reine Rechlehre) Menurut Reine Rechtlehre, tugas dari ilmu hukum adalah adalah untuk memaparkan hukum yang berlaku (yang ditetapkan secara normative semurni mungkin dan dengan menjauhkan diri dari semua pertimbangan moral dan politik kemasyarakatan).46 2. Ajaran tentang Grundnorm Teori ini mengajarkan bahwa grundnorm merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Grundnorm itu kecuali berfungsi sebagai dasar, juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada47. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum, tetapi ia selalu akan ada disitu, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak dituliskan serta memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, Grundnorm itu semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum, karena menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum itu harus dilaksanakan, sehingga lebih 46
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo II), hal. 133. 47 Ibid., hal. 312.
35
tepat dikatakan merupakan sebagai dalil daripada peraturan biasa. Dalil ini akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayainya, mengakuinya dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran
dari dalil akbar
tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnyapun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.48 3. Ajaran tentang Stufenbaru Theory Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu norma hukum selalu berada dalam sebuah sistem yang tersusun secara hieharkis yang sebagai suatu sistem maka seharusnya antara satu norma hukum dengan norma hukum yang lain mestinya tidak saling bertentangan satu sama lain, atau secara teori mestinya tidak bertentangan, yang semuanya bersumber dari suatu sistem besar yang merupakan suatu norma dasar (grundnorm), yaitu konstitusi49. Hans Kelsen juga menyatakan bahwa suatu kaidah hukum bisa saja bertentangan dengan kaidah hukum yang lain. Hal ini adalah wajar mengingat kita berbicara pada tataran yang lebih konkrit, seperti telah disebutkan, maka akan terjadi berbagai penafsiran yang satu sama lain saling berbeda bahkan saling bertentangan. Teori ini mempunyai pendapat bahwa keseluruhan bangunan hukum itu tampak sebagai bangunan yang terdiri dari berbagai lapisan susunan, sehingga menimbulkan sebutan Stufenbau des Recht. Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada pada puncak piramidal dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar letaknya paling atas bersifat abstrak kemudian semakin ke bawah menjadi semakin konkrit.50 Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan sedapat mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai. Berdasarkan suatu grundnorm, suatu tata 48
Ibid. Satjipto Rahardjo II, loc.cit. 50 Achmad Ali I, op.cit., hal. 62. 49
36
hukum dapat dipahami sebagai suatu keseluruhan, tetapi hal itu tidak mutlak. Arief Sidharta menyebutkan bahwa Kelsen adalah positivis hukum in optima forma. Hal itu tampak tidak hanya dari wawasan tentang hukum sebagai semata-mata (murni) normatif, tetapi juga misalnya dari pemisahannya secara tajam antara hukum di satu pihak dan etika (moral), hubungan-hubungan politikal atau kemasyarakatan di pihak lain.51. Hal itu tampak tidak hanya dari wawasannnya tentang hukum semata-mata. Dalam tesis ini Teori Perjenjangan Norma akan dipergunakan dalam melakukan pembahasan terhadap permasalahan pertama untuk mendapatkan jawaban mengenai kepastian hukum Hak komunal yang keberadaannnya didasarkan pada Permen Nomor 10 Tahun 2016 dikaitkan dengan UUPA khususnya Pasal 16 ayat (1) h serta bagaimana kedudukan Permen dilihat dari Teori Perjenjangan Norma serta dari teori akan dilakukan pembahasan mengenai kesesuaian aturan hukum sebagai dasar dari hak komunal bila dikaitkan dengan dasar dari terbitnya hak atas tanah lainnya. Di samping itu untuk mendapatkan jawaban apakah sertifikat hak komunal yang terbit mempunyai kepastian hukum yang sama dengan sertifikat hak atas tanah lainnya yang diatur dalam UUPA. 1.6.1.4. Teori Kemanfaatan Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme) pertamakali dikembangkan oleh Jeremi Benthan, yang dikenal sebagai the father of legal utilitarianism, yang mana saat itu Benthan menghadapi permasalahan mengenai bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi dan legal secara moral. Selain Benthan penganut lain adalah James Mill dan John Stuart Mill. Menurut Achmad Ali, aliran Benthan terkenal degan dengan motonya bahwa tujun hukum adalah untuk mewujudkan
the greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang). Adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, kebahagiaan mayoritas rakyat.52
51
Meuwissen, 2007, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, terjemahan Arief Sidharta, Replika Aditama, Bandung, hal.75. 52 Achmad Ali I, op.cit., hal. 272.
37
Teori ini menganut paham bahwa hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan manfaat sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Jarot Widya Muliawan mengemukakan menurut teori ini tujuan perundang-undangan harus berusaha mencapai empat tujuan :53 a. To provide subsistence ( untuk memberikan nafkah hidup) b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah) c. To provide security (untuk memberikan perlindungan) d. To attain equility (untuk mencapai persamaan). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition, menganut pandangan bahwa suatu peraturan yang baik dapat tercapai jika memenuhi : 54 1. Syarat yuridis, yang berkaitan dengan keharusan adanya kewenangan dari pembuat perundang-undangan, di mana setiap perundangan memiliki badan atau lembaga yang berwenang membuat undang-undang: a. Keharusan adanya kesesuaian bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatannnya; b. Keharusan mengikuti tata cara tertentu; c. Keharusan untuk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; 2. Syarat Sosiologis, di mana suatu perundang-undangan baik apabila mencerminkan kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat; 3. Syarat Filosofis, yaitu tidak bertentangan dengan falsafah bangsa; 4. Teknik Perancangan, yang mengandung arti bahwa dalam menyusun peraturan perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas dan tepat. 53
Jarot Widya Muliawan, 2016, Cara Mudah Pahami Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Buku Litera, Yogyakarta, (selanjutnya ditulis Jarot Widya Muliawan II), hal. 20. 54 Ibid., hal. 21.
38
Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat sebenarnya sudah ada sebelum lahirnya UUPA, walapun saat itu kehidupan mereka diatur oleh hukum yang hanya berlaku di lingkungan Masyarakat Hukum Adat itu sendiri. Terbitnya Permen Nomor 10 Tahun 2016 dikaitkan dengan pendapat Benthan yang menyatakan bahwa baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu.55 Dapat dikatakan bahwa hukum itu akan bermanfaat bagi masyarakat apabila penerapannnya akan berakibat pada kebaikan, kebahagian serta berkurangnya penderitaan. Pada bagian lain W. Friedmann yang mengutip pendapat Benthan mengemukakan bahwa fungsi-fungsi pokok hukum adalah untuk memberi penghidupan, bertujuan memperoleh materi yang berlimpah-limpah, mendorong persamaan dan memelihara keamananan. Dari semua ini yang paling penting adalah keamanan dan penekanannya pada fungsi melindungi dari hukum.56 Dari teori ini diharapkan dapat diketahui apakah keberadaan hak komunal memberikan kepastian hukum, sehingga benar-benar memberikan manfaat bagi pemegang hak komunal itu sendiri, mengingat hak komunal sebagai suatu hak baru yang dapat diterima oleh Masyarakat Hukum Adat maupun masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu merupakan bentuk penguatan atas keberadaan Masyarakat Hukum Adat di tengah tidak adanya prosedur resmi pengakuan kepemilikan Masyarakat Hukum Adat atas wilayah adatnya. Selain itu Teori Kemanfaatan diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan mengenai kepastian hukum hasil pendaftaran hak komunal dikaitkan dengan sertifikat hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA. 1.6.2. Konsep Untuk
menghindari
terjadinya
perbedaan
penafsiran
terhadap
istilah-istilah
yang
dipergunakan dalam tesis ini, dikemukakan beberapa konsep yang dipergunakan yaitu :
55
Ibid., hal. 20. W. Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum (Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum), Cetakan Pertama, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 115. 56
39
1. Masyarakat Adat adalah kesatuan manusia yang tertentu, mempunyai penguasapenguasa dan mempunyai kekayaan, yang berwujud dan tidak berwujud, di mana para anggota
kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat
sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun di antara para anggota mempunyai fikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh, dalam arti melepaskannya untuk selama-lamanya. 2. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiliki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun (Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Permen Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan Masyarakat Hukum Adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal, atau atas dasar keturunan. Melihat kedua pasal diatas terdapat kesamaan dalam melihat dasar dari kesatuan Masyarakat Hukum Adat yaitu adanya kesamaan tempat tinggal, asal-usul (leluhur), karena memang kenyatannya dasar inilah yang memperkuat rasa kesatuan dan persatuan dalam Masyarakat Hukum Adat. Dalam kertas posisi Hak Masyarakat Hukum Adat diberikan pengertian Masyarakat Hukum Adat adalah sebagai suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal dari
40
satu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi yang dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada.57 3. Hak ulayat adalah hak kepemilikan bersama/komunal dari Masyarakat Hukum Adat yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan undang-undang. Maria S.W. Sumardjono mengemukakan Bahwa kiranya adil apabila kriteria penentu eksistensi hak ulayat didasarkan pada adanya tiga unsur yang harus dipenuhi secara simultan yaitu a) Subjek hak ulayat yaitu Masyarakat Hukum Adat itu memenuhi karakteristik tertentu b) Objek hak ulayat yakni tanah wilayah merupakan Labensraum mereka c) Adanya kewenangan tertentu dari Masyarakat Hukum Adat itu untuk mengelola tanah wilayahnya, termasuk menentukan hubungan yang berkenaan dengan persediaan, peruntukan dan pemanfaatan serta pelestarian tanah wilayahnya itu.58 Hak ulayat berlaku ke luar dan ke dalam, di mana berlakunya ke luar karena apabila bukan warga masyarakat hukum, pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan, hanya dimungkinkan dengan persetujuan/seizin persekutuan yang bersangkutan, dengan membayar pancang sebagai ganti kerugian, orang luar baru memperoleh kesempatan untuk ikut menggunakan tanah ulayat. Sedangkan berlakunya ke dalam karena hanya anggota persekutuan
yang dapat memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuhan dan
binatang yang hidup di wilayah persekutuan. 4. Tanah ulayat adalah tanah hak kepemilikan bersama/komunal dari Masyarakat Hukum Adat yang dikelola dengan cara gotong royong dimanfaatkan untuk
57 58
Ilhamdi Taufik, op.cit., hal. 9. Maria S.W. Sumardjono I, op.cit., hal. 65.
41
memenuhi kebutuhan bersama dan para warga masing-masing dan pemanfaatan tidak bertentangan dengan undang-undang. 5. Hak komunal atas tanah adalah hak milik bersama atas tanah suatu Masyarakat Hukum Adat atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan.Pendaftaran Tanah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 6. Kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 7. Sertifikat adalah “Sertifikat merupakan surat tanda buki hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.” 1.7. Metode Penelitian. Keberhasilan suatu penelitian salah satunya sangat tergantung pada metode yang dipergunakan dalam penelitian
itu sendiri. Dengan metode, peneliti akan mendapatkan
petunjuk ataupun informasi bagaimana cara untuk
mendapatkan data dan selanjutnya
bagaimana cara mengolah data-data yang diperoleh, sehingga apa yang disampaikan sebagai
42
hasil akhir dari Penulisan memenuhi kriteria sebagai suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam pembahasan atas permasalahan yang dikaji dalam tesis ini akan dipergunakan metode penelitian sebagai berikut : 1.7.1. Jenis Penelitian . Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran- kebenaran koherensi, yakni adakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum. Penelitian dalam tesis ini dikualifikasikan sebagai penelitian normatif, di mana J. Gijssels dan M Van Hoecke menyebutnya dengan istilah teori hukum perskriptif atau teori hukum kritikal sebagai lawan teori hukum emperikal.59 Menurut Suratman dan Philips Dillah banyak yang berpendapat bahwa dalam Penulisan hukum yang normatif, yang seringkali juga disebut Penulisan hukum doktrinal biasanya hanya menggunakan atau bersaranakan pada sumber data sekunder saja yakni peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori maupun konsep hukum dan pandangan para sarjana hukum terkemuka.60 Menurut Zainnudin, Penulisan hukum normatif atau biasa disebut Penulisan yuridis normatif, terdiri atas : 61 1. Penulisan terhadap asas-asas hukum 2. Penulisan terhadap sistematika hukum 3. Penulisan terhadap taraf sinkronisasi hukum 4. Penulisan sejarah hukum 5. Penulisan perbandingan hukum
59
Jan Gijssel dan Mark van Hoecke, ibid., hal. 81. Jan Gijssel dan Mark van Hoecke, ibid., hal. 11. 61 Zainuddin.,H., 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 12. 60
43
Sedangkan menurut Meuwissen sebagaimana dikutip oleh I Made Pasek Diantha bahwa ilmu hukum normatif mempunyai tugas pokok untuk mengarahkan, menganalisis, mensistemisasi, menginterpretasi dan menilai hukum positif.62 Penelitian ini mempergunakan jenis penelitian hukum normatif yang beranjak dari terjadinya insinkronisasi pengaturan hak komunal yang diatur dengan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 10 Tahun 2016
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) h UUPA.
1.7.2. Jenis Pendekatan Berkaitan dengan isu hukum serta metode penelitian
normatif dalam tesis
ini
dipergunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu : a. Pendekatan Perundang-Undangan ( Statute Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk menelaah dan memahami
peraturan perundang-undangan dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, dalam hal ini
peraturan
kebijakan yang berkaitan dengan hak komunal. Pendekatan ini akan membuka kesempatan untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Menurut Haryono sebagaimana dikutip
Jhonny Ibrahim dalam pendekatan
perundang-undangan, harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifatsifat sebagai berikut ; 1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait satu dengan lain secara logis 62
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penulisan Hukum Normatif (Dalam Justifikasi Teori Hukum), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 82.
antara
44
2. All–inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehinga tidak akan ada kekurangan hukum. 3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.63 b. Pendekatan Konsep (Conseptual Approach) Konsep adalah suatu pengetahuan.64. Konsep-konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Sehubungan dengan hal tersebut kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikir kita.65 Dengan mempelajari pandangan-pandangan, doktrin-doktrin serta konsep-konsep yang berkembang yang berkaitan dengan issu hukum yang dibahas, akan dihasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep serta asas-asas hukum yang ada relevansinya dengan issu hukum yang dibahas. c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Dalam hal ini diusahakan untuk mengadakan identifikasi terhadap tahaptahap perkembangan hak komunal, atau perkembangan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan issu hukum yang dibahas. 1.7.3. Sumber Bahan Hukum Menurut Peter Mahmud Marzuki, sumber-sumber penulisan hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber Penulisan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
63
Jhonny Ibrahim, Ibid., hal. 303. Satjipto Rahardjo II, op.cit, hal. 344. 65 Ibid., hal. 345. 64
45
mempunyai otoritas.66 Dalam penulisan ini, dipergunakan 3 (tiga) sumber bahan hukum yaitu: 1. Sumber bahan hukum primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas yang terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 2045). c. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Ngara RI Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3888). d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3696). e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak ulayat Masyarakat Hukum Adat. f. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5234). g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 951). h. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia 2015 Nomor 742). 66
Peter Mahmud Marzuki, op.cit., hal. 181.
46
i. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia 2016 Nomor 568). 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dapat berupa bahan pustaka yang berisikan informasi bahan primer, 67 di antaranya makalah, tesis, jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang ditulis para ahli, karangan berbagai panitia pembentukan hukum (law reform organization). Dalam penelitian ini bahan hukum ini diperoleh dari literatur kepustakaan dalam bidang Hukum Pertanahan, Kesatuan Hukum Masyarakat Hukum Adat dan lain-lainnya yang terkait dengan isu hukum yang dibahas. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Dalam penelitian ini bahan hukum ini diperoleh dari Ensiklopedi Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, yang dipergunakan untuk memberikan pengertian atas istilah-istilah sehingga tidak menimbulkan penafsiran makna. 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan bahan hukum melalui studi kepustakaan, yang dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, baik berupa peraturan perundang-undangan, literatur, karya ilmiah, majalah serta berbagai buku yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang dikaji.
67
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1994, Penulisan Hukum di Indonesia Pada Akhir abad Ke-20, Alumni, Bandung, hal. 134.
47
Untuk memudahkan dalam penguraian, menganalisis serta membuat kesimpulan terhadap permasalahan yang dikaji maka terhadap bahan hukum yang terkumpul dilakukan dengan pencatatan dengan sistem kartu. Dalam sitem kartu ini dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, di antaranya mencatat judul buku, nama pengarang literatur yang dipergunakan serta materi-materi yang dipandang ada relevasinya dan penting dalam melakukan pembahasan terhadap issu hukum yang diteliti. Sistem kartu ini juga didukung dengan teknik bola salju (snow ball) yang dilakukan dengan cara menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari berbagai kepustakaan hukum.
1.7.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dalam menganalisa bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dilakukan dengan beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu dengan cara setelah bahan-bahan hukum yang terkait dengan permasalahan yang dikaji terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis bahan hukum dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan secara sitematis untuk memudahkan dalam melakukan analisis, sehingga diharapkan mendapatkan pengetahuan mengenai permasalahan yag dibahas secara rinci. Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dengan teknik deskripsi yaitu menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non hukum, di mana dalam penelitian ini menguraikan norma hukum yang mengatur dan yang menimbulkan insinkronisasi. Selanjutnya menjelaskan masalah yang ada (eksplanasi), mengkaji permasalahan dengan bahan-bahan hukum terkait (evaluasi). Berdasarkan teknik argumentasi yaitu sebagai suatu bentuk penampilan proses kegiatan berfikir, nantinya secara simultan akan dipergunakan untuk menyelesaikan
48
permasalahan atau issu hukum yang diketengahkan. Setelah dilakukan penilaian terhadap rumusan norma dalam suatu aturan hukum yang menjadi kajian dalam penulisan ini kemudian
dilanjutkan
dengan
memberikan
argumentasi-argumentasi
mendapatkan suatu kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.
hukum
untuk