Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
ABS TRAK KEMITRAAN DUKUN BAYI DENGAN BIDAN DI WILAYAH KERJA PUS KES MAS KALIPARE KECAMATAN KALIPARE KABUPATEN MALANG Penelitian Diskriptif Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang (1) Sisilia Ira Novita, (2)Eli Inayanti M ahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya (2) Dosen STIKES Insan Se Agung Bangkalan
(1)
Kemitraan dukun dengan bidan adalah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara bidan dengan dukun bayi dalam pertolongan persalinan dengan tetap melibatkan dukun bayi pada peran yang terbatas. M asalah dalam penelitian ini adalah masih tingginya profesi sebagai dukun bayi sehingga tingkat pertolongan persalinan dukun masih tinggi dan tingkat kematian bayi baru lahir dan kesakitan ibu nifas masih ada. Hal ini didukung dengan rendahnya tingkat pendidikan dukun bayi, adanya keinginan mencari pekerjaan tambahan, tingkat pendapatan yang rendah, sehingga jarak yang dekat dengan rumah bidan tidak berpengaruh tetapi jarak yang jauh dengan rumah ibu bersalin tidak membuat dukun bayi patah semangat untuk melakukan pertolongan persalinan, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui bagaimana kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah semua dukun bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang. Sampel diambil secara total sample. Variabel penelitian meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jarak rumah dukun bayi dengan bidan dan ibu bersalin. Responden yang digunakan sebanyak 15 orang. Hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas (100%) responden mempunyai pendidikan rendah, sebagian besar (73,3%) bekerja sebagai tani, mayoritas (100%) berpendapatan rendah, jarak rumah dukun bayi dengan bidan sebagian besar (66,7%) bejarak cukup dekat, jarak rumah dukun bayi dengan ibu bersalin setengahnya (46,7%) berjarak jauh dan kemitraan dukun bayi dengan bidan hampir seluruhnya (80%) tidak bermitra. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jarak rumah dukun bayi dapat mempengaruhi dukun bayi dalam bermitra dengan bidan. Saran peneliti adalah pemberian pelatihan atau penyuluhan tentang bahaya dan resiko persalinan pada dukun bayi, dan pendekatan bidan dengan dukun bayi yang lebih kooperatif dengan kerjasama yang saling menguntungkan tanpa merugikan pihak dukun bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang masih perlu dan ditingkatkan lagi. Kata kunci :Kemitraan, Dukun bayi, dan Bidan.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
PENDAHULUAN Salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan di Indonesia adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu. Safe M otherhood di Indonesia menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya kematian ibu antara lain kualitas pelayanan antenatal masih rendah dan dukun bayi belum sepenuhnya mampu melaksanakan deteksi resiko tinggi pada ibu(2). M enurut M anuaba(6), bahwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan bahwa pertolongan persalinan oleh dukun masih dominan sekitar 80%. Demikian juga diseluruh dunia pertolongan persalinan oleh dukun masih tinggi sekitar 70% sampai 80%. Upaya meminimalisasi dan menurunkan tingkat kesakitan dan kematian ibu hamil, bayi dan balita, maka semua persalinan yang ditangani oleh dukun bayi, harus ditangani oleh tenaga kesehatan yang terlatih, tidak termasuk hal-hal yang berhubungan dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat, dengan menjalin hubungan kemitraan antara dukun dengan bidan (4). Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya(8). Dari keseluruhan persalinan di Jawa Timur diketahui hanya 117.865 (30,16%) yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan 253.128 (64,78%) ditolong oleh dukun terlatih dan selebihnya oleh dukun yang tidak terlatih(9). Dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di dapatkan ± 15 dukun bayi di 2 Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang. Dari ± 15 dukun bayi yang ada hanya 1 dukun bayi yang sudah bermitra secara penuh dan tidak melakukan pertolongan persalinan, sedangkan yang lainnya masih tetap melakukan pertolongan persalinan meskipun sebagian dari dukun bayi tersebut ± 3 dukun bayi sudah mendapatkan pembinaan. Satu dari dua kelurahan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang dalam 3 bulan terakhir didapatkan masalah akibat pertolongan persalinan dukun bayi yang sering ditemukan sewaktu kontrol ke petugas kesehatan yaitu adanya luka robekan perinium yang tidak mendapatkan panjahitan, keadaan umum ibu yang lemas, pusing karena perdarahan dan didapatkan 1 kematian bayi baru lahir karena kesalahan dalam pemotongan talipusat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kemitraan dukun dengan petugas kesehatan terutama bidan sangat diperlukan. Untuk mendukung program Pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi tersebut maka dukun bayi dapat bersama-sama dengan tenaga kesehatan melaksanakan upaya keselamatan ibu dengan melakukan kerjasama yaitu bermitra dalam setiap persalinan dengan melakukan rujukan kepetugas kesehatan terutama bidan(8). Kemitraan dukun dengan bidan adalah bentuk kerjasama yang saling menguntungkan dengan berlandaskan rasa saling memahami struktur masing-masing, saling memahami
kapasitas masing-masing, saling menghubungi, saling mendekati, saling terbuka dan membantu, saling mendorong dan mendukung, dan saling menghargai(8). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemitraan dukun bayi dengan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang. TINJAUAN PUS TAKA (3) Dukun bayi adalah suatu profesi yang umumnya merupakan sebuah ilmu turun – temurun berdasarkan penetahuan dan pengalaman seseorang saja tanpa didasari ilmu praktik yang jelas. Berdasarkan kenyataan dewasa ini bahwa dukun bayi masih sangat berperan dalam pertolongan persalinan di masyarakat (5), karena : 1. Dukun tinggal dekat dan membaur dengan warga setempat dan mudah dihubungi, 2. Dalam melakukan pekerjaannya tampil dan bersikap tidak formal, dan memiliki hubungan dekat dengan warga, 3. Secara psikologis sentuhan-sentuhan tangannya kepada para pasienya dianggap mampu meminimalkan gangguan fisik atau sakit mereka pada saat bersalin, 4. M ampu tampil menurut peran dan fungsinya yang memberi keuntungan kepada warga masyarakat, serta tetap diyakini keberhasilan, 5.
Kedekatan antara masyarakat atau dalam hal ini ibu hamil dengan para dukun bayi karena mereka tidak hanya membantu proses persalinan, tetapi juga biasanya merawat ibu maupun bayi pasca melahirkan, seperti mencucikan baju sang ibu setelah melahirkan, memijat ibu dan bayi, dan sebagainya, 6. M enetapkan tarif biaya secara tidak lugas dan biasanya hanya menerima pembayaran berdasarkan kemauan dan kemampuan ekonomi para keluarga yang di layaninya, atau bisa juga dengan bahan pokok. (1) Pelatihan dukun ini merupakan pedoman dalam rangka melatih dan membina dukun bayi. Beberapa hal yang mampu dilaksanakan dukun, yaitu : perawatan kehamilan, perawatan persalinan normal, perawatan bayi, perawatan nifas dan ibu menyusui, penyuluhan kesehatan masyarakat, pencatatan dan pelaporan serta rujukan. (3) Pembinaan dukun bayi adalah upaya pemeliharaan dukun bayi dalam upaya peningkatan keterampilan, peran dan tugas dukun bayi dalam pertolongan persalinan. Hasil yang diharapkan dari pembinaan adalah : a Dukun dapat megidentifikasi risti sedini mungkin dan merujuk pada waktu yang tepat, b Dapat melaksanakan pertolongan persalinan dengan aman dan benar jika perlu harus meminta bantuan bidan atau puskesmas pada waktu yang tepat, c Agar tidak dapat mengulangi tidakan yang dapat merugikan masyarakat terutama ibu dan bayi, d Dapat memberi penyuluhan kesehatan tentang gizi, ASI eksklusif, tablet Fe, imunisasi, personal higiene, e Dapat meningkatkan motivasi pada ibu agar melakukan kunjungan ke puskesmas.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
f
Program kemitraan dukun dengan bidan sudah ada pembagian kinerja sendiri, seperti dukun tidak boleh melaksanakan proses persalinan melainkan bidan yang melaksanakan, sehingga tugas dukun adalah mengantar ibu hamil yang datang padanya kepada bidan, dan juga melaksanakan tugas –tugas pasca persalinan.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan metode diskriptif dengan pendekatan bersifat cross-sectional. Populasi dari penelitian ini adalah semua dukun bayi yang masih aktif, yaitu masih melakukan aktifitas pertolongan persalinan maupun perawatan ibu nifas dan bayi baru lahir, baik yang sudah bermitra dengan bidan maupun yang belum bermitra dengan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang yang berjumlah 15 orang. Sampel yang akan diteliti sejumlah 15 orang (sampel total). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April 2009. Variable penelitian terdiri dari : kemitraan dukun bayi dengan bidan dilihat berdasarkan faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan jarak rumah dukun bayi dengan bidan dan ibu bersalin. Informasi diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner yang dibagikan kepada semua Dukun bayi yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang, pembagian kuisioner ini dilakukan oleh peneliti sendiri.
Tabel 3. Distribusi Pekerjaan Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang Bulan April 2009 No
1. 2. 3. 4.
No
Usia (tahun)
Jumlah
Persentase (%)
0 2 13 15
0,0 13,3 86,7 100,0
1 2 3
< 50 50-60 > 60 Jumlah Sumber : Data primer
No 1. 2.
Pendidikan dukun bayi Rendah Sedang
Total Sumber : Data primer
Ibu Rumah Tangga Buruh Tani Wiraswasta Total
No
% 100 0,0
15
100
%
1 3 11 0
6,7 20 73,3 0,0
15
100
1. 2. 3. 4.
Pendapatan dukun bayi
Total n
%
Rendah Sedang Tinggi
15 0 0
100 0,0 0,0
Total
15
100
Sumber : Data primer
Tabel 5. Distribusi frekuensi Jarak Rumah Dukun Bayi dengan Rumah Bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang Bulan April 2009
1. 2. 3. 4.
Jarak (A) rumah dukun bayi dengan bidan Dekat Cukup Dekat Jauh Sangat Jauh Total
Sumber : Data primer
Total n 15 0
n
Tabel 4. Distribusi Pendapatan Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang Bulan April 2009
No
Tabel 2. Distribusi frekuensi Pendidikan Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang Bulan April 2009
Total
Sumber : Data primer
HAS IL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi frekuensi Usia Dukun Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang Bulan April 2009
Pekerjaan dukun bayi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Total n
%
3 10 2 0 15
20 66,7 13,3 0 100
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Tabel 6.
No
1. 2. 3. 4.
Distribusi frekuensi Jarak Rumah Dukun Bayi dengan Rumah Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang Bulan April 2009 Jarak (B) rumah dukun bayi dengan ibu bersalin Dekat Cukup Dekat Jauh Sangat Jauh Total
Total n
%
2 6 7 0 15
13,3 40 46,7 0 100
Sumber : Data primer
Tabel 7.
No
1. 2.
Distribusi frekuensi Kemitraan dukun bayi dan bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang Bulan April 2009 Kemitraan dukun bayi dengan bidan
Bermitra Tidak Bermitra
Total n
%
3 12
20 80
15
100
Sumber : Data primer
PEMBAHAS AN Berdasarkan tabel 2 diperoleh data baku seluruh dukun bayi yang ada di di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang (100%) memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga tingkat pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya arti kesehatan masih kurang optimal dan masih melakukan Dari tabel 3 disebutkan bahwa dari 15 responden lebih dari setengahnya yaitu 11 responden (73,3%) bekerja sebagai petani, dan sisanya bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga. Karena itu sebagian besar waktu dukun bayi dihabiskan di lahan pertaniannya dan kurang mendapat informasi tentang kesehatan persalinan dan didukung dengan tingkat pemenuhan kebutuhan. Sehingga menyebabkan masih banyaknya dukun bayi yang tetap menolong persalinan untuk pekerjaan tambahan karena adanya tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan waktu untuk hubungan dengan tenaga kesehatan kurang. Pendapatan keluarga dukun bayi masih tergolong rendah dari Upah M inimum Rata-rata (UM R), ini membuat dukun bayi mencari pengahasilan tambahan untuk menambah
pendapatan keluarga dengan memanfaatkan keahliannya dalam menolong persalinan. Faktor rendahnya tingkat pendapatan inilah yang membuat dukun bayi sampai sekarang masih melakukan pertolongan persalinan untuk memperoleh pendapatan yang lebih. Jadi pendapatan dapat mempengahui kemitraan dukun bayi dengan bidan. (7) Seseorang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja maka informasi yang diperoleh akan semakin sedikit terutama informasi tentang kesehatan dalam hal ini adalah dukun bayi yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Dari tabel 6 didapatkan bahwa 10 responden (66,7%) memiliki jarak rumah dengan rumah bidan cukup dekat, sedangkan yang lainnya jarak rumahnya dekat dan jauh dari rumah bidan, serta didapatkan bahwa dari 15 responden setengahnya yaitu 7 responden (46,7%) memiliki jarak rumah jauh dari rumah ibu bersalin sedangkan yang lainnya memiliki jarak rumah cukup dekat dan dekat dengan rumah ibu bersalin. (8) Jarak yang jauh (3-4 km atau lebih) akan menyebabkan rasa enggan dan malas untuk pergi dan merujuk persalinan Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan sebagian besar rumah dukun bayi cukup dekat dengan rumah bidan tapi rujukan persalinan hampir tidak pernah dilakukan, hal ini tidak sesuai dengan anggapan bahwa jarak antara rumah bidan dengan tempat tinggal dukun bayi dapat mempengaruhi rutinitas untuk kunjungan atau pelaporan serta melakukan rujukan. Karena meskipun rumah dukun bayi tersebut tergolong cukup dekat tapi tingkat rujukan, kunjungan dan pelaporan belum optimal, oleh karena itu bidan harus proaktif untuk melakukan kunjungan rutin dan pendekatan dengan dukun bayi agar pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bisa optimal. Dalam hal ini jarak yang cukup dekat dengan rumah bidan tidak dapat mempengaruhi dukun bayi untuk merubah kebiasaanya melakukan pertolongan persalinan. Jauhnya jarak antara rumah dukun bayi dengan ibu bersalin tidak menyurutkan semangat dukun bayi untuk mendatangi dan menolong persalinannya meskipun dukun bayi menggunakan alat transportasi untuk sampai di rumah ibu bersalin. Hal ini yang menyebabkan tingkat cakupan bidan sangat sulit karena dukun bayi cenderung melakukan pertolongan persalinan diluar wilayah kerja bidan dan cenderung mendekati masyarakat di wilayah pelosok. Dalam hal ini jarak yang jauh tidak mengahalangi seorang dukun bayi untuk melakukan pertolongan persalinan, karena dukun bayi menganggap masyarakat pelosok lebih percaya pada dukun bayi dan sudah menjadi suatu kebiasaan (langganan). Kemitraan dukun bayi dan bidan penerapannya masih kurang karena belum sesuai dengan tujuan, batasan, prinsip-prinsip dan landasan kemitraan bidan dan dukun bayi yang seperti yang diungkapkan oleh DINKES Surabaya(3) yaitu meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan dengan mengalihkan peran dukun bayi, menurunkan persalinan oleh dukun bayi, meningkatkan peran dukun bayi sebagai kader kesehatan, dan lain-lain. Dalam kenyataannya masih banyak dukun bayi yang masih melakukan pertolongan persalinan sendiri, menangani tingkat kesulitan persalinan sendiri, jarang melakukan rujukan dan kurang baiknya hubungan antara dukun bayi dengan bidan yang menyebabkan hubungan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
kerjasama antara dukun bayi dan bidan sulit dilakukan. Hal ini yang membuat penerapan kemitraan dukun bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalipare Kecamatan Kalipare Kabupaten M alang masih kurang dan masih jauh dari berhasil, dikarenakan dukun bayi takut akan kehilangan penghasilannya apabila setiap persalinan dirujuk ke petugas kesehatan. Oleh karena itu maka bidan harus mengupayakan suatu kerjasama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak agar dukun bayi tidak beranggapan dirugikan apabila merujuk persalinan ke petugas kesehatan. Apabila semua ketentuan dan persyaratan dalam bermitra di jalankan maka tingkat persalinan tenaga kesehatan yang terlatih akan semakin meningkat dan persalinan dukun bayi akan semakin menghilang. DAFTAR PUS TAKA 1.
Depkes RI. (1994a). Kurikulum Pelatihan Dukun. Jakarta.
2.
Depkes RI. (1999). Upaya Akselerasi Penurunan Angka Kematian Ibu. Jakarta.
3.
Dinkes Surabaya. (2008). Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi. Surabaya.
4.
Dinkes Sulawesi Tengah. (2007). Kemitraan Bidan dengan Dukun Bayi Dalam Rangka Alih Peran Pertolongan Persalinan Di Sulawesi Tengah. Bersumber dari http://dinkesprovsulteng.wordpress.com. (Diakses 10 M aret 2009).
5.
Dinkes Sidoarjo. (1997). Partisipasi Dukun Bayi Terhadap Penurunan Angka Kematian Bayi Karena Tetanus Neonatorum. Surabaya. M anuaba, I.B.G. (1999). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
6.
7.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG KMS DENGAN STATUS GIZI BALITA DI PO SYANDU KENCAT KELURAHAN BANCARAN BANGKALAN THE CO LERATIO N BETWEEN THE MO NSTER THE MO THER BACKGRO UND O F KNO WLADGE IN HEALTH SO CIETY AND NO URISHING CHILDREN UNDER FIVE YEARS O LD IN PO SYANDU BANCARAN VILLAGE BANGKALAN (1) lLatifah Indriayani, (2)Erda Restya Agustin Mahasiswa ST IKES Insan Se Agung Bangkalan (2) Dosen ST IKES Insan Se Agung Bangkalan
(1)
Indikasi pertumbuhan fisik anak dapat diamati dari status gizi dan dapat pula di identifikasi dari berat badan anak (< 5 tahun). Pertumbuhan dan perkembangan tersebut dapat dilihat dari grafik pada KMS. Hal itu sangat isensial untuk mencapai sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan dengan mengembangkan tingkat pengetahuan ibu balita. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia adalah kesehatan, sedangkan tingkat kesehatan seseorang pada hakikatnya dipengaruhi oleh keadaan gizi, khususnya pada awal dan kehidupan, yang dikenal sebagai mas bayi. Desain penelitian ini menggunakan penelitian analitik dengan menggunakan pedekatan cross sectional. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian ibu di posyandu Kencat Kelurahan Bancaran Bangkalan, dengan jumlah populasi 36 orang dan pengambilan sampel dilakukan dengan cara random sampling. Variabel independent yang digunakan adalah pengetahuan ibu tentang KMS dan variabel dependentnya adalah status gizi balita. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan ibu tentang KMS dengan status gizi balita posyandu Kencat Kelurahan Bancaran Bangkalan dengan nilai p=0,005 dan nilai r = 0,461 Dengan demikian maka sebaliknya tenaga kesehatan memberikan penyuluhan kesehatan memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat khususnya tentang KMS karena masih adanya balita yang berstatus gizi buruk kurang/buruk diperlukan agar petugas kesehatan beserta kader-kadernya memberikan contoh nyata makanan yang dapat menambah status gizi pada balita dan juga memberikan motivasi supaya ilmu yang diperoleh dapat diterapkan (diaplikasikan) pada kondisi yang nyata.
Kata Kunci : Pengetahuan, Status Gizi, KMS. ABSTRACT THE CO LERATIO N BETWEEN THE MO THER BACKGRO UND O F KNO WLEGDE IN HEALTH IN SO CIETY AND NO URISHING CHILDREN UNDER FIVE YEARS O LDIN PO SYANDU BANCARAN VILLAGE VILLAGE BANGKALAN LATIFAH INDRIANI T he growth of the weight children under five years old indicates that very have enough nourishing. It can be showed a graph they come to the posyandu. We know tahat the quality of Indonesian men power in the future depend on the nourishing children under five yaers old. So, it very important to increase the mother background of knowledge in health especially in nourishing children. Because the nourishing baby can influence the health of human being when they are adult. T he researcher want to reseachthe correlation between the background of knowledge in health society and nourishing children under five yers old. T he researcher uses analytical reseach in this case by using cross sectional. We observed the mother who came to the posyandu Kencat bancaran village as population sampling. T he amount of population 36 mother. We took the population sampling in random. We used a variable independent for knowledge of mother in health society and nourishing status. T he result of research showed that correlation between the mother background of knowledge in health society and nourishing status in posyandu Bancaran Bangkalan Village, p = 0,005 and r = 0,461. T he researcher suggest that medicals give some campaigns, suggestion and motivation to the mother who visit Posyandu abouth health society
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
LATAR BELAKANG Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah atau dimensi, tingkat sel, organ maupun individu yang bisa di ukur berat, panjang ukuran tulang dan keseimbangan metabolisme(1). Proses pertumbuhan pada anak dapat dipantau dengan alat yaitu dengan KM S (Kartu M enuju Sehat). KM S sebagai sumber informasi dalam pertumbuhan anak belum banyak diketahui orang tua khususnya ibu. Situasi ini sangat meprihatinkan mengingat di dalam KM S tidak hanya memantau pertumbuhan anak juga berisi tentang kesehatan ibu ( ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana), imunisasi, penganggulangan diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan anak (perawatan bayi lahir, perawatan sehari balita, perawatan anak sakit, cara memberi makan anak, cara merangsang perkembangan anak, cara membuat makanan pendamping air susu ibu), pemberian ASI eksklusif dan rujukan ke puskesmas atau rumah sakit. Keterlambatan pertumbuhan anak dapat terjadi dimana ibu tidak mengetahui tahap pertumbuhan anaknya yang dapat di pantau dengan melihat KM S yang telah diberikan oleh petugas kesehatan(2). Secara umum masalah gizi di Indonesia terutama kekurangan energi protein (KEP) masih tinggi dibanding negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1997 berdasarkan pemantauan status gizi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Bina Gizi M asyarakat prevalensi turun menjadi 23,1 % dan pada tahun 1998 meningkat kembali menjadi 39,8 % (3). Berdasarkan data di Kabuapaten Bangkalan pada bulan M ei 2010 jumlah balita di timbang 1840 balita, Balita perempuan dengan 51 balita berstatus gizi buruk, 187 balita berstatus gizi kurang, 634 balita berstatus gizi baik dan 42 balita berstatus gizi lebih. Sedanglan balita laki laki 72 balita berstatus gizi buruk, 195 balita berstatus gizi kurang, 627 balita berstatus gizi baik dan 32 balita berstatus gizi lebih. Pada studi pendahuluan data di posyandu Kencat dengan jumlah kunjungan bulan Februari 2010 sebanyak 55 balita dengan 13 balita berstatus gizi kurang, 3 balita berstatus gizi buruk, 2 balita berstatus gizi lebih dan 37 balita berstatus gizi baik. Status gizi pada balita dapat diketahui dengan cara mencocokkan umur anak (dalam bulan) dengan berat badan standar tabel WHO-NCHS, bila berat badannya kurang, maka status gizinya kurang. Di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), telah disediakan KM S yang juga bisa digunakan untuk memprediksi status gizi anak berdasarkan kurva KM S. Perhatikan dulu umur anak, kemudian plot berat badannya dalam kurva KM S. Berdasarkan survei, di lapangan telah diberikan penyuluhan kepada masing-masing orang tua tetapi hasilnya masih tetap sama, masih ada balita yang kurang gizi. Untuk mengatasi kasus kurang gizi memerlukan peranan dari keluarga, praktisi kesehatan, maupun pemerintah. Pemerintah harus meningkatkan kualitas posyandu, jangan hanya sekedar untuk penimbangan vaksinasi, tapi harus diperbaiki dalam hal penyuluhan gizi dan kualitas pemberian makanan
tambahan, pemerintah haus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat agar akses pangan tidak terganggu (4) . Berdasarkan fenomena di atas mendorong keinginan penulis untuk mengkaji lebih lanjut dan menyusun pengkajian tersebut dalam bentuk karya tulis tentang hubungan pengetahuan ibu tentang KM S dengan status gizi balita di Posyandu Kencat Kelurahan Bancaran Bangkalan. TINJAUAN PUS TAKA Konsep Dasar Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dan tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi mulai panca indera manusia, yakni indera pengeliatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (5) . TUJUAN KMS Tujuan KM S 1) Sebagai alat pengontrol pertumbuhan berat badan anak, 2) Sebagai alat untuk mengetahui keadaan kesehatan anak, 3) Sebagai alat untuk keadaan gizi anak. Tujuan diciptakan menurut Aritonang adalah untuk mengenalkan dan memperluas pemahaman prinsip prinsip tenatang : a. Anak – anak membutuhkan pelayanan kesehatan menyeluruh secara terus menerus KM S adalah alat yang memungkinkan dilakuakan pengamatan yang berarah, sederhana terhadap suatu masalah kesehatan anak-anak dari segala segi b. Tujuan utama peleyanan kesehatan adalah tercapainya kenaikan pertumbuhan yang memadai. Bukan hanya mencegah salah gizi Manfaat KMS 1. M anfaat bagi anak KM S memberikan gambaran tentang pertumbuhan, keadaan kesehatan melalui status gizi dan penyakit yang diderita oleh anak. 2. M anfaat bagi keluarga M anfaat bagi ibu adalah sebagai alat penyuluhan untuk memberikan makanan pada anak dan perbaikan kesehatan 3. M anfaat bagi petugas kesehatan Grafik pertumbuhan merupakan pedoman untuk menentukan normal tidaknya anak yang memiliki resiko, anak yang membutuhkan perawatan rutin atau perawatan khusus. 4. M anfaat bagi masyarakat. Grafik pertumbuhan dapat sebagai alat untuk menentukan keadaan kesehatan yang dapat dimerti dengan mudah, sehingga dapat ditentukan intervensi yang tepat.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan secara Cross Sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi dari variabel independen dan dependen hanya satu kali, pada satu saat (6). Pada penelitian ini populasinya adalah smua ibu yang memiliki balita yang datang ke Posyandu Kencat kelurahan Bancaran Bangkalan, jumlah populasinya adalah 40 ibu wanita yang ada di posyandu Kencat kelurahan Bancaran. Sampel yang di ambil dalam penelitian ini adalah sebagian ibu yang datang ke Posyandu Kencat Kelurahan bancaran Bangkalan. Untuk menentukan besar sampel dari jumlah populasi menggunakan :
Berdasarkan tabel 5.1 bahwa responden yang terbanyak adalah yang berusia 22 – 40 tahun. 4.
Tingkat Pendidikan
Tabel 5.2 Distribusi responden menurut tingkat pendidikan di Posyandu Kencat Kelurahan Bancaran Bangkalan No
Tingkat pendidikan 1.SD 2.SM P 3.SM A 4.Perguruan Tinggi Jumlah
N x zα2 x p x q n=
α2 (N-1) + zα2 x p x q
Keterangan : n = Perkiraan jumlah dan sampel N = Jumlah populasi d = Tingkat kepercayaan / ketepatan yang di inginkan 5 % (d = 0,05) p = Perkiraan proposal populasi = 0,5 q = 1 – p = 1 – 0,5 = 0,5 (Notoatmodjo,2003) 40 x 1,962 x 0,5 x 0,5 n=
0,052 x (40-1) + 1,962 x 0,05 x 0,05
38,4
n=
HAS IL PENELITIAN DAN PEMBAHAS AN Data Umum Peneletian ini karakteristik responden terdiri atas usia, tingkat pendidikan, pekerjaan. Usia
No 1. 2. 3.
Berdasarkan tabel 5.2 bahwa responden terbanyak adalah 18 orang (50,0%) dengan tingkat pendidikan SM P Tabel 5.3
No 1. 2. 3.
Distribusi responden menurut tingkat pekerjaan di Posyandu Kencat Kelurahan Bancaran Bangkalan
Tingkat pendidikan Ibu rumah tangga Swasta Guru Jumlah
Frekuansi 33 2 2 36
Prosentasi (%) 91,7 2,8 5,6 100
= 35,8
Dibulatkan menjadi 36 responden.
Tabel 5.1
13 18 4 1 36
Prosentasi (%) 36,1 50,0 11,1 2,8 100
Berdasarkan tabel 5.3 responden yang terbanyak berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan 33 orang (91,7%)
1,06
1.
Frekuansi
Distribusi usia orang tua (ibu) di Posyandu Kencat Kelurahan Bancaran Bangkalan Bulan Juni 2010 Usia Frekkuensi Prosentasi (tahun) (%) 14 – 21 2 5,6 22 - 40 29 80,6 >40 5 13,9 Jumlah 36 100
Tabel 5.4
Tabulasi siang hubungan pengetahuan ibu tentang KMS
Pengetahuan Sangat paham Paham Tidak paham Total
baik N %
Status gizi kurang N %
buruk N %
Total N
%
1
50,0
1
50,0
0
0,0
2
100
6
50,0
6
50,0
0
0,0
12
100
2
9,1
19
86,4
1
4,5
22
100
9
25,0
26
72,2
1
2,8
36
100
Berdasarkan tabel 5.6 diperoleh, maka dapat dilihat bahwa ibu yang sangat paham tentang KM S dan status gizinya baik sebanyak 1 orang (50,0%). Ibu yang sangat paham tentang KM S dan status gizinya buruk sebanyak 0 orang (0,0%). Ibu yang paham tentang KM S dan status gizinya baik sebanyak 6 orang (50,0%), Ibu yang paham tentang KM S dan status gizinya kurang 6 orang (50,0%), ibu yang paham dan status gizinya buruk sebanyak 0 orang (0,0 %), ibu yang tidak paham dan status gizinya baik sebanyak 2 orang (9,1%), ibu yang tidak paham dan status gizinya kurang sebanyak 19 orang (86,4%), ibu yang tidak paham dan status gizinya buruk sebanyak 1 orang (4,5%).
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Berdasarkan tabel 5.1 bahwa responden yang terbanyak yang berusia 22 – 40 tahun yaitu sebanyak 29 orang (80,6%). Dengan teori dari (5). Umur adalah usia individu yang dihitung saat dilahirkan sampai akhir hanyat. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Jadi dapat di simpulkan bahwa teori tidak selalu sama dengan kenyataannya. Berdasarkan tabel 5.2 bahwa responden yang terbanyak 18 orang (50,0%) dengan tingkat pendidikan SM P, sesuai dengan teori bahwa pengetahuan seseorang sangat tergantung dari pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang makaakan semakin luas pengetahuananya (7) . Jadi dapat dikatakan pendidikan ibu yang kurang di sebabkan karena tidak dapat menyerap informasi dengan mudah sehingga tingkat pengetahuan ibu dikatakan kurang. Berdasarkan tabel 5.3 bahwa responden yang terbanyak berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan 33 orang (91,7%). Dengan teori tingkat sosial ekonomi seseorang berhubungan erat dengan berbagai masalah kesehatan(5) . Jadi orang dengan tingkat ekonomi yang rendah akan lebih berkonsentrasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar yang menunjang kehidupan dan kehidupan keluarganya orang dengan tingkat ekonomi yang rendah akan lebih berkonsentrasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar yang menunjang kehidupan dan kehidupan keluarganya, sebaliknya prang dengan tingkat ekonomi sosial tinggi akan mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam mengeyam pendidikan, dimana orang dengan mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Hubungan pengetahuan ibu tentang KM S dengan status gizi balita. Berdasarkan tabel 5.4 bahwa tabulasi silang antara pengetahuan ibu tentang KM S dengan status gizi balita dan setelah dialkakukan uji statistik spearman rank (P) 0,005 dan (α) 0,05 sehingga P < α (0,005 < 0,05). Hal ini berarti H 0 ditolak H 1 diterima, maka ada hubungan pengetahuan ibu tentang KM S dengan status gizi balita dan nilai r (koefisien korelasi yaitu 0,461 sedangkan rentan dari r yaitu bila mendekati 0 berarti hubungannya lemah dan bila mendekati 1.
Bagi Institusi Kesehatan Bagi tenaga kesehatan, dalam upaya meningkatkan tingkat pengetahuan ibu maka perlu strategi lain dalam memberikan penyuluhan kesehatan msyarakat khususnya tentang KM S. Karena masih adanya balita yang berstatus gizi kurang/buruk diperlukan agar tugas kesehatan beserta kader-kadernya memberikan contoh nyata makanan yang dapat menembah status gizi pada balita dan juga memberikan motivasi supaya ilmu yang diperoleh dapat diterapkan (diaplikasikan) pada kondisi yang nyata. Bagi M asyarakat Diharapkan msyarakat berpartisipasi untuk datang ke posyandu setiap bulannya.
DAFTAR PUS TAKA 1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
Soetjininngsih. (1998). M etode Penelitian Kebidanan dan Teknis Analisis data : Jakarta. Efendi, (2009) Pengetahuan Tentang Status Gizi. http://www.infoibu.com [diakses 10 mei 2010]. Nyoman, (2001). Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta. Akhmadi, (2009) Faktor-faktor Penyebab Kurang Gizi.
KES IMPULAN DAN S ARAN Kesimpulan Ada hubungan pengetahuan ibu tentang KM S dengan status balita di posayandu Kencat Kelurahan bancaran Bangkalan. S aran Bagi Peneliti Diharapkan dapat mengadakan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar, sehingga hasil yang dicapai nlebih sempurna.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
PERBEDAAN KENAIKAN BERAT BADAN PADA BAYI US IA 1-6 BULAN YANG DIBERI AS I EKS KLUS IF DENGAN MAKANAN PENDAMPING AS I (MP-AS I) DINI DI POS YANDU KELURAHAN DEMANGAN KECAMATAN BANGKALAN THE DIFFERENCES OF BODY WEIGHT GAIN IN 1-6 MONTH BABIES WITH EXCLUSIVE BREASTFEEDING AND SUPPLEMENTARY FOOD (MP-ASI) IN POSYANDU DEMANGAN VILLAGE (KELURAHAN DEMANGAN) BANGKALAN SUB-DISTRICT (KECAMATAN BANGKALAN) Ratih Tri Oktaviana(1) Rodiyatun(2) M ahasiswa Prodi Keperawatan, STIKES Insan Se Agung Bangkalan (2) Dosen Poltekkes DEPKES Surabaya, Prodi Kebidanan Bangkalan
(1)
ABS TRAK Pemberian ASI merupakan cara pemenuhan gizi terbaik karena mengandung zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Berdasarkan bukti ilmiah, pemberian ASI Eksklusif sampai 6 bulan menyebabkan pertumbuhan bayi yang lebih baik. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 1989-1999 di Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan normal dapat mengalami gangguan pertumbuhan. Hasil penelitian Anies Irawati 2004 di Sukaraja, Bogor, membuktikan bahwa MP-AS I yang diberikan terlalu dini menyebabkan gangguan pertambahan berat bayi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kenaikan berat badan bayi usia 1-6 bulan yang diberi ASI eksklusif dengan yang diberi M P-ASI dini di Posyandu Kelurahan Demangan Kecamatan Bangkalan. Jenis penelitian ini adalah observasi analitik. Populasinya adalah ibu dan bayinya yang berusia 1-6 bulan sebanyak 46 orang, dan sampel sebanyak 41 orang menggunakan teknik area proportional random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung dan wawancara. Data yang diperoleh diolah secara st atistik menggunakan rumus t 2 sampel bebas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 15 bayi (75%) yang diberi ASI eksklusif lebih banyak mengalami kenaikan berat badan normal dibanding bayi yang diberi M P-ASI dini yaitu hanya 11 bayi (52%) saja yang mengalami kenaikan berat badan normal. Hasil analisa statistik dengan uji t 2 sampel bebas diperoleh p = 0,017 < α = 0,05. Berarti ada perbedaan kenaikan berat badan bayi usia 1-6 bulan antara yang diberi ASI eksklusif dengan yang diberi M P-ASI dini. Oleh karena itu pemberian ASI Eksklusif perlu ditingkatkan untuk pertumbuhan berat badan bayi yang lebih baik. Kata Kunci : AS I Eksklusif, Berat Badan. ABSTRACT Breastfeeding is the best way of human diet because it contains nutrients in accordance with the needs of the baby. Based on scientific evidence, 6 - month exclusive breastfeeding influences the better growth of infants. The National Socioeconomic Survey (SUSENAS) 1989-1999 in Tanjungsari, Sumedang, West Java shows that babies of normal weight can suffer from stunted growth. The research of Anies Irawati 2004 in Sukaraja, Bogor, proved that the breastfeeding and early giving of supplementary food caused the trouble of baby weight gain. The purpose of this research is to know the difference of weight gain of babies aged 1-6 months who wer e exclus iv ely br eas tfed and thos e who wer e br eas tfed and ear ly giv en the s upplem entar y food in the Posyandu of Demangan Village Bangkalan District. The study was analytic observation. The population is 46 mothers and their babies aged 1-6 months. The sample consists of 41 people. It uses area proportional random sampling technique. D ata collection methods are dir ect obs er v ation and interviews. Data analysis method uses statistic formula t2 free sample. The research result showed that 15 infants (75%) who were exclusively breastfed has gained more body weight than babies who were breastfed and early given the supplementary food, that is only 11 infants (52%) who had normal weight gain. The result of statistical analysis with two independent samples t test is p = 0.017<α = 0.05. It m eans that ther e are differences in weight gain am ong infants aged 1 -6 months who are exclusively breastfed and those who are breastfed and early given the supplementary food. Therefore exclusive breastfeeding must be increased for better growth of the baby's weight. Keywords: Exclusive Breastfeeding, Weight Gain.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
PENDAHULUAN ASI (Air Susu Ibu) merupakan satu-satunya makanan dan minuman pertama dan terbaik yang dibutuhkan serta diberikan sedini mungkin kepada bayi setelah persalinan hingga ia berusia enam bulan. ASI memiliki kandungan yang dapat membantu menyerap nutrisi dengan baik. Sejak bayi dilahirkan nutrisi memainkan peranan terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Riset medis mengatakan bahwa ASI eksklusif membuat bayi berkembang dengan baik pada 6 bulan pertama bahkan pada usia lebih dari 6 bulan. Evaluasi pada bukti-bukti yang telah ada menunjukkan bahwa pada tingkat populasi dasar, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan adalah cara yang paling optimal dalam pemberian makanan kepada bayi. Dengan cara menyusui yang benar, produk ASI dinyatakan cukup sebagai makanan tunggal untuk pertumbuhan bayi yang normal sampai 6 bulan. Dalam jangka panjang pemberian ASI mencegah anak kelak menderita berbagai penyakit seperti kegemukan dan Diabetes M ellitus. Setelah pemberian ASI eksklusif selama enam bulan tersebut bukan berarti pemberian ASI dihentikan, tetapi bayi memerlukan asupan makanan tambahan yang dapat menunjang tumbuh kembangnya yang biasa disebut M P-ASI . M akanan pendamping ASI harus memperhatikan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan kelompok usia dan tekstur makanan sesuai perkembangan usia bayi(3). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Departemen Kesehatan sudah lama mencanangkan anjuran bagi para ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, tapi pelaksanaan anjuran tersebut masih jauh dari harapan. M asih banyak ibu yang memberikan ASI kepada bayinya secara tidak benar. Lebih dari 50% bayi di Indonesia sudah mendapat M P-ASI pada umur kurang dari satu bulan. Bahkan, pada umur 2-3 bulan, bayi ada yang sudah mendapat makanan padat (4) . Di propinsi Jawa Timur terdapat 279.503 atau 40,77 % bayi yang diberi ASI eksklusif dari 685.642 bayi di 38 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur (DINKES JATIM , 2007). Sedangkan di Kabupaten Bangkalan sendiri, ibu yang memberikan ASI secara eksklusif berjumlah 14,55% di 22 kecamatan yang ada (DINKES Kabupaten Bangkalan, SKDN 2009). M erujuk pada wilayah yang lebih kecil lagi yaitu Kelurahan, sebagai contoh yaitu Kelurahan Demangan dimana wilayah ini terletak di jalan utama kota dengan penduduknya yang kebanyakan berpendidikan SM A dan perguruan tinggi dan komposisi penduduk yang seimbang yaitu antara jumlah penduduk asli dan pendatang hampir sama. Berdasarkan data yang diperoleh, cakupan ASI Eksklusif di wilayah ini berjumlah 47,82% dari 46 bayi untuk usia 1-6 bulan, sedangkan ibu-ibu yang memberikan M P-ASI dini pada bayi-bayinya berjumlah 52,17%. Data diatas menunjukkan masih tingginya angka pemberian M P-ASI pada bayi usia kurang dari 6 bulan, sedangkan diketahui bahwa rata-rata penduduk di wilayah tersebut memiliki pengetahuan cukup sehingga secara otomatis mereka
sedikit banyak tahu akan pemberian dan manfaat nutrisi yang baik dan sesuai dengan usia anak mereka. Faktor tingkat pendidikan ibu yang rendah, wawasan dan pengetahuan yang terbatas, ASI belum keluar pada hari pertama, dan adanya anggapan ibu bahwa anaknya lapar dan akan tidur nyenyak jika diberi makan, merupakan beberapa faktor yang mendukung timbulnya anggapan bahwa ASI saja tidak cukup sebagai makanan bayi. Akibatnya, para ibu memberikan aneka bentuk cairan sebagai makanan pendamping ASI sebelum bayinya mencapai umur 4 bulan. Seringkali bayi yang mendapatkan ASI tidak segemuk dengan teman seumurnya yang mengkonsumsi susu botol. Ini sebagian disebabkan karena pada menyusu ASI, nafsu makan bayilah yang mengatur jumlah susu yang diminum. Sedangkan pada pemberian susu botol, bayi terkadang dipaksa untuk minum sampai botolnya kosong. Di samping itu kalori ASI selalu terkendali. Susu yang terakhir dihisap dalam satu kali menyusui, mengandung lebih tinggi kalori daripada susu yang dihisap pada saat awal, dan cenderung membuat bayi merasa kenyang(3). M emberikan makanan pendamping terlalu awal (sebelum usia 6 bulan) berdampak kurang baik terhadap kesehatan si kecil, makanan tidak akan dapat dicerna dengan baik karena pada usia sebelum enam bulan sistem pencernaan anak belum siap menerima makanan selain ASI yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan, diare, kolik, dan lain sebagainya(3) . Hasil penelitian pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan M akanan, Departemen Kesehatan oleh Anies Irawati tahun 2004 lalu, menyingkap tentang pengaruh makanan pendamping ASI yang diberikan terlalu dini terhadap tumbuh-kembang bayi. Penelitian melibatkan 270 orang ibu hamil di kawasan Sukaraja, Bogor, yang dipantau sampai bayinya lahir dan berusia 4 bulan, dan membuktikan bahwa makanan pendamping AS I (MP-AS I) yang diberikan terlalu dini menyebabkan gangguan pertambahan berat dan panjang badan pada bayi. Sementara itu, persentasi bayi ASI parsial yang mendapat ASI pada hari pertama lebih banyak daripada persentasi bayi ASI predominan. Keadaan ini tentu saja memerlukan penanganan yang khusus, yaitu dengan pendekatan yang lebih komunikatif sesuai dengan pendidikan dan kemampuan masyarakat (5). Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terutama para ibu dan calon ibu tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif dan saat yang tepat dalam pemberian M P-ASI pada bayi berupa penyuluhan-penyuluhan. Dan untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu: pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya air susu ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping air susu ibu (M P-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Dapat pula dilakukan perubahan perilaku dengan cara mewujudkan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). M elalui penerapan perilaku Keluarga Sadar Gizi, keluarga
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
didorong untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan dan memberikan M P-ASI yang cukup dan bermutu kepada bayi dan anak usia 6-24 bulan. Secara keseluruhan, penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu diketahuinya perbedaan kenaikan berat badan antara bayi yang diberi ASI eksklusif dengan yang diberi M P-ASI dini pada bayi usia 1-6 bulan di posyandu wilayah kerja Kelurahan Demangan Kecamatan Bangkalan.
produksi ASI. M erokok akan menstimulasi pelepasan adrenalin dimana adrenalin akan menghambat pelepasan oksitosin. (6)Konsumsi Alkohol, M eskipun minuman alkohol dosis rendah disatu sisi dapat membuat ibu merasa lebih rileks sehingga membantu proses pengeluaran ASI namun disisi lain etanol dapat menghambat produksi oksitosin (M atheson, 1989). (7)Pil Kontrasepsi, Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi estrogen dan progestin berkaitan dengan penurunan volume dan durasi ASI.
TINJAUAN PUS TAKA 1. Konsep Dasar AS I Eksklusif M akanan yang paling baik untuk bayi segera lahir adalah ASI. Secara alamiah, seorang ibu mampu menghasilkan Air Susu Ibu (ASI) segera setelah melahirkan. ASI adalah cairan biologis kompleks yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi yang mengandung sel-sel darah putih, immunoglobulin, enzim, dan hormon, serta protein spesifik untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI merupakan makanan yang mutlak untuk bayi yaitu pada usia 4-6 bulan pertama kehidupannya(6) . Oleh karena itu ASI harus diberikan pada bayi, sekalipun produksi ASI pada hari-hari pertama baru sedikit, namun mencukupi kebutuhan bayi. Pemberian air gula, air teh, air tajin dan makanan prelaktal (sebelum ASI lancar produksi) lain, harus dihindari untuk mendapatkan manfaat maksimal dari ASI, maka sebaiknya menyusui dilakukan setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir) karena daya hisap pada saat itu paling kuat untuk merangsang pengeluaran ASI selanjutnya(7) . 1) Produksi ASI Banyaknya ASI yang dihasilkan ibu tergantung dari status gizi ibu, makanan tambahan sewaktu hamil/menyusui, stres mental dan sebagainya. Ketika bayi menghisap, beberapa hormon yang berbeda bekerja sama untuk menghasilkan air susu dan melepaskannya untuk diisap bayi. Sekresi ASI diatur oleh hormon prolaktin dan oksitosin. Faktor-faktor yang M empengaruhi Produksi ASI : (1)Frekuensi Penyusuan, Pada bayi cukup bulan menunjukkan bahwa frekuensi penyusuan 10 - 13 kali perhari selama 2 minggu pertama setelah melahirkan berhubungan dengan produksi ASI yang cukup. Berdasarkan hal ini direkomendasikan penyusuan paling sedikit 8 kali perhari pada periode awal setelah melahirkan. (2)Berat Lahir, Bayi berat lahir rendah (BBLR) mempunyai kemampuan mengisap ASI yang lebih rendah dibanding bayi yang berat lahir normal (> 2500 gr). (3)Umur Kehamilan saat M elahirkan, Hal ini disebabkan bayi yang lahir premature sangat lemah dan tidak mampu mengisap secara efektif sehingga produksi ASI lebih rendah daripada bayi yang lahir tidak prematur. berat badan yang rendah dan belum sempurnanya fungsi organ. (4)Stress dan Penyakit Akut, Ibu yang cemas dan stres dapat mengganggu laktasi sehingga mempengaruhi produksi ASI karena menghambat pengeluaran ASI. (5)Konsumsi Rokok, M erokok dapat mengurangi volume ASI karena akan mengganggu hormone prolaktin dan oksitosin untuk
2) Komposisi ASI : (1)Kolostrum : ASI yang dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga setelah bayi lahir. (2)ASI transisi : ASI yang dihasilkan mulai hari keempat sampai hari ke sepuluh. (3) ASI mature : ASI yang dihasilkan mulai hari kesepuluh sampai dengan seterusnya(7) . 3) M anajemen Laktasi Manajemen laktasi merupakan segala daya upaya yang dilakukan untuk membantu ibu mencapai keberhasilan dalam menyusui bayinya. Usaha ini dilakukan terhadap ibu dalam 3 tahap, yakni pada masa kehamilan (antenatal), sewaktu ibu dalam persalinan sampai keluar rumah sakit (perinatal), dan pada masa menyusui selanjutnya sampai anak berumur 2 tahun (postnatal)(8) . 4) Pantauan Kecukupan ASI Untuk mengetahui kecukupan ASI dapat dilihat dari : (1)Berat badan waktu lahir telah tercapai sekurangkurangnya akhir 2 minggu setelah lahir dan selama itu tidak terjadi penurunan berat badan lebih 10 %. (2)Kurve pertumbuhan berat badan memuaskan. (3)Bayi lebih banyak ngompol, sampai 6 kali atau lebih dalam sehari. (4)Setiap kali menyusui, bayi menyusu dengan rakus, kemudian melemah dan tertidur. (5)Payudara ibu terasa lunak setelah menyusui(9) . 5) M anfaat Pemberian ASI : Nutrien (zat gizi) yang sesuai untuk bayi, M engandung zat protektif, M empunyai efek psikologis yang menguntungkan, M enyebabkan pertumbuhan yang baik, M engurangi kejadian karies dentis, M engurangi kejadian maloklusi, ASI mengubah komposisinya selama setiap penyusuan dan selama berminggu-minggu untuk menyesuaikan dengan kebutuhan bayi yang selalu berubah, Aman dan bersih, Suhu ASI cocok untuk bayi, M udah dicernadan tidak pernah basi, ASI tidak membutuhkan sterilisasi alat atau persiapan. 6) Faktor-Faktor yang M empengaruhi Pemberian ASI : (1)Perubahan sosial budaya: Ibu-ibu bekerja atau kesibukan sosial lainnya, M eniru teman, tetangga atau orang terkemuka yang memberikan susu botol. (2)Faktor psikologis :Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita, tekanan batin, rasa percaya diri ibu untuk mampu menyusui ataupun memproduksi ASI. (3)Faktor fisik ibu :Ibu sakit, seperti mastitis biasanya enggan menyusui bayinya karena payudaranya terasa nyeri bila digunakan untuk menyusui bayinya, putting susu ibu kecil dan masuk (inverted). (4)Faktor pengetahuan ibu tentang menyusui. (5)Faktor dukungan keluarga. (6)Faktor ekonomi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
keluarga. (7)Faktor kurangnya promosi ASI dari petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI. (8)M eningkatnya promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI. (9)Penerangan yang salah justru datangnya dari petugas kesehatan sendiri yang menganjurkan penggantian ASI dengan susu kaleng(10). (10)Proses laktasi yang benar 7) Pemberian ASI Eksklusif Eksklusif artinya terpisah dari yang lain (Depdikbud, 1990), sedangkan ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan tambahan lain (World Health Organization); memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin(4). Rekomendasi pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan didasarkan pada bukti ilmiah tercukupinya kebutuhan bayi dan lebih baiknya pertumbuhan bayi yang mendapat ASI eksklusif serta menurunnya morbiditas bayi, dimana sebelum mencapai usia 6 bulan system pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. 2. Makanan Pendamping AS I (MP-AS I) M akanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman tambahan yang mengandung gizi diberikan pada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya(3). M akanan pendamping ASI diberikan mulai umur 6 bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat umur bayi/anak, kebutuhan zat gizi semakin bertambah untuk tumbuh kembang anak, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi(4) . 1) Jenis M akanan Pendamping ASI: Buah-buahan yang dihaluskan/dalam bentuk sari buah. M isalnya pisang Ambon, papaya, jeruk, tomat. M akanan lunak dan lembek. M issal bubur susu, nasi tim. M akanan bayi yang dikemas dalam kaleng/karton/sachet. 2) Tujuan Pemberian M akanan Pendamping ASI: M elengkapi zat gizi ASI yang sudah berkurang, M engembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam makanan dengan berbagai rasa dan bentuk, M engembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan, M encoba adaptasi terhadap makanan yang mengandung kadar energy tinggi. 3) Faktor yang M empengaruhi Pola Pemberian M akanan Pendamping ASI:Pendapatan, Besar Keluarga, Pendidikan, Pengetahuan gizi 4) Penyebab Penggantian ASI dengan M P-ASI: (1) Banyaknya ibu yang bekerja sehingga tidak dapat menyusui bayi secara sempurna. (2)Semakin maraknya promosi tentang M P-ASI. (3)Adanya persepsi yang menyatakan bahwa menyusui akan mengurangi kecantikan dan mempercepat penuaan. (4)Pemberian M P-ASI khususnya susu formula dikatakan lebih modern. (5)Rasa percaya diri ibu untuk menyusui kurang sehingga produksi ASI berkurang yang pada akhirnya ibu memberikan M P-ASI. (6)Keadaan sosial
budaya yang negatif yaitu memberikan makanan pada bayi sedini mungkin dengan harapan bayi kenyang dan tidak rewel. 5) Kerugian Pemberian M akanan Pendamping ASI Dini: (1) Kemungkinan terjadinya pencemaran sehingga bayi mudah infeksi misalnya diare dan ISPA. (2)Bayi tidak memperoleh zat gizi sesuai kebutuhan bayi untuk pertumbuhan secara optimal. (3)Bayi tidak memperoleh kekebalan tubuh. (4)Kemungkinan terjadi kekeliruan pembuatan M P-ASI sehingga beresiko terhadap bayi. (5) Perlu biaya mahal untuk pembuatan M P-ASI. 3. Konsep Pertumbuhan Berat Badan (BB) Bayi 1) Berat Badan Bayi Berat badan (BB) adalah ukuran antropometri yang menggambarkan indeks massa tubuh. BB bayi baru lahir normalnya harus mencapai 2500 gram, dan biasanya mereka akan kehilangan berat badan rata-rata 5-8% selama minggu pertama setelah lahir dimana persentase kehilangan ini lebih besar pada anak yang diberi ASI yaitu 7,4% dibanding yang tidak yaitu 4,9%. 2) Faktor-Faktor yang M empengaruhi Pertumbuhan Berat Badan Ada 2 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan berat badan anak, yaitu :(1) Faktor Genetik, (2) Faktor Lingkungan, yaitu faktor Prenatal (gizi ibu saat hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, imunitas, anoksia embrio, stres), faktor Postnatal (nutrisi, penyakit kronis/ kelainan congenital, lingkungan fisik dan kimia, psikologis, endokrin, sosio-ekonomi, lingkungan pengasuhan, stimulasi, obat-obatan(10). 3) Pertumbuhan & Standar Peningkatan Berat Badan Bayi Pada masa pertumbuhan berat badan bayi dibagi menjadi dua, yaitu usia 0-6 bulan, dan usia 6-12 bulan. Untuk usia 0-6 bulan pertumbuhan berat badan akan mengalami penambahan setiap minggu sekitar 140-200 gram dan berat badannya akan menjadi dua kali berat badan lahir pada akhir bulan ke-6. Sedangkan pada usia 612 bulan terjadi penambahan setiap minggu sekiktar 25-40 gram dan pada akhir bulan ke-12 akan terjadi penambahan tiga kali lipat berat badan lahir(11).
BAHAN DAN CARA PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah observasi analitik dengan desain penelitian studi komparatif . Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki bayi berusia 1-6 bulan di kelurahan Demangan Kecamatan Bangkalan Kabupaten Bangkalan sebanyak 46 bayi per periode April tahun 2010 dengan kriteria tidak menderita penyakit kronis atau cacat bawaan. Besar sampelnya adalah 41 responden menggunakan tehnik area proportional random sampling(12). Analisis yang digunakan adalah Univariat Bivariat dengan uji statistik t 2 sampel bebas dimana tingkat signifikasi α = 0,05 yang apabila nilai probability (P) < α maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan kenaikan berat badan pada bayi yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi M P-ASI dini. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah, variabel indepen yaitu ASI Eksklusif dan M PASI dini dan variabel dependen yaitu kenaikan berat badan bayi usia 1-6 bulan.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
HAS IL PENELITIAN 1. Data Umum S ubyek Penelitian Tabel 1. Karakteristik bayi dan ibu Variabel n (%) Umur Bayi (Bulan) 1 Bulan 7 (17) 2 Bulan 6 (14,6) 3 Bulan 3 (7,3) 4 Bulan 9 (22) 5 Bulan 14 (34,1) 6 Bulan 2 (5) Jenis Kelamin Bayi Laki-laki 24 (58,5) Perempuan 17 (41,5) Usia Ibu <17 17-20 5 (12,2) 21-25 21 (51,2) 26-30 13 (31,7) 31-35 2 (4,9) >35 Pendidikan Ibu SD 5 (12,2) SM P 10 (24,4) SM A 19 (46,3) SARJANA 7 (17,1) Pekerjaan Ibu Tidak bekerja 5 (12,2) Buruh 12 (29,3) Wiraswasta 15 (36,6) PNS 9 (21,9) Penghasilan Keluarga 18 (44) 250.000-500.000 14 (34,1) 600.000-750.000 9 (21,9) >750.000 Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa sebagaian besar bayi yang diteliti berumur 5 bulan yaitu sebanyak 14 bayi (34,1%), dan sebagian kecil yaitu pada umur 6 bulan sebanyak 2 bayi (5%). Variabel jenis kelamin menunjukkan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 24 bayi (58,5%) dan sisanya adalah 17 bayi (41,5 %) berjenis kelamin perempuan. Bila dilihat dari karakteristik ibu, tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu berusia antara 21-25 tahun pada saat dilakukan penelitian yaitu sebanyak 21 orang (51,2%) dan sebagian kecil berusia 31-35 tahun sebanyak 2 orang (4,9%). Pada variabel pendidikan diketahui bahwa sebagian besar pendidikan terakhir ibu adalah SM A (Sekolah M enengah Atas) sebanyak 19 orang (46,3%) dan sebagian kecil pendidikan terakhir ibu adalah SD (Sekolah Dasar) yaitu sebanyak 5 orang (12,2%). Sedangkan pada variabel pekerjaan menunjukkan sebagian besar ibu bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 15 orang (36,6%) dan sebagian kecil ibu tidak bekerja yaitu sebanyak 5 orang (12,2%). Dan pada variabel pendapatan didapatkan bahwa sebagian besar ibu penghasilan keluarganya antara Rp. 250.000,- - 500.000,- sebanyak
18 keluarga (44%) dan sebagian kecil lebih dari Rp. 750.000,- sebanyak 9 keluarga (21,9%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Pemberian MP-AS I, Jenis MP-AS I, dan Frekuensi Pemberian MP-AS I Variabel Frekuensi Persentase (%) Umur Pemberian 5 (23,8) 0-29 hari 1 (4,8) 1 bulan 3 (14,3) 2 bulan 2 (9,6) 3 bulan 10 (47,6) 4 bulan 5 bulan 6 bulan Jenis 3 (14,3) Bubur 10 (47,6) Pisang 7 (33,3) Susu 1 (4,8) formula Air Tajin Frekuensi Pemberian Per 11 (52,4) hari 4 (19) 1x 6 (28,6) 2x 3x >3x
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar bayi diberikan atau diperkenalkan dengan M P-ASI pada saat berumur 4 bulan sebanyak 10 bayi (47,6%) dan sebagian kecil pada saat berumur 1 bulan sebanyak 1 orang (4,8%). Sedangkan jenis M P-ASI yang diberikan dapat diketahui bahwa sebagian besar bayi diberi M P-ASI berupa pisang sebanyak 10 orang (47,6%) dan sebagian kecil diberi air tajin sebanyak 1 orang (4,8%). Dan pada variabel frekuensi pemberian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi diberikan M P-ASI sebanyak 2x/hari yaitu sebanyak 11 orang (52,4%) dan sebagian kecil yaitu 4 orang (19%) sebanyak 3x/hari. 2. Data Khusus Hasil Penelitian Tabel 3 Distribusi Frekuensi Bayi Berdasarkan Pemberian AS I Pemberian Frekuensi Persentase AS I (%) ASI Eksklusif 20 49 M P-ASI Dini 21 51 Total 41 100 Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa masih banyak ibu yang memberi bayinya M P-ASI Dini daripada ASI Eksklusif. Bayi Yang diberi M P-ASI Dini sebanyak 21 bayi (51%), sedangkan yang diberi ASI Eksklusif sebanyak 20 bayi (49%) .
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Bayi Berdasarkan Kenaikan Berat Badan Anak Frekuensi Frekuensi Kenaikan AS I % MP-AS I % BB Eksklusif Dini Kurang 3 15 4 19 dari normal Normal 15 75 11 52 Lebih dari 2 10 6 29 normal Total 20 100 21 100 Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu yang memberikan ASI Eksklusif memiliki bayi dengan kenaikan berat badan yang normal sesuai dengan standar kenaikan berat badan anak yaitu sejumlah 15 bayi (75%) dan 2 bayi (10%) berada pada kenaikan berat badan lebih dari normal. Sedangkan bayi yang diberi M P-ASI Dini hanya terdapat 11 bayi yang memiliki kenaikan berat badan normal dan 4 bayi (19%) mengalami kenaikan berat badan yang kurang dari normal. Tabel 5 Tabulasi S ilang Kenaikan Berat Badan Bayi dengan Pemberian AS I Kenaikan Berat Badan Total Normal Kuran Lebih Pemberian g Dari Dari AS I Norma Norma Σ % l l Σ % Σ % Σ % 7 ASI 15 3 15 2 10 20 100 5 Eksklusif M P-ASI Dini
11
Total
26
5 2
4
19
7
Uji Statistik t 2 sampel bebas
6 8
29
21
100
41
p = 0,017 < α = 0,05
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa bayi yang diberi ASI Eksklusif 75% (15 bayi) mengalami kenaikan berat badan normal dan 10% (2 bayi) mengalami kenaikan berat badan lebih dari normal. Sedangkan bayi yang diberi M P-ASI Dini hanya terdapat 52% (11 bayi) yang mengalami kenaikan berat badan normal, dan 19% (4 bayi) mengalami kenaikan berat badan kurang dari normal. Penjelasan tabel diatas menunjukkan bahwa bayi yang diberi ASI Eksklusif cenderung lebih banyak mengalami kenaikan berat badan normal daripada bayibayi yang diberi M P-ASI Dini. Hasil analisa statistik dengan Uji t 2 sampel bebas pada penelitian ini diperoleh nilai p = 0,017 < (α = 0,05) yang berarti H0 ditolak menunjukkan bahwa ada perbedaan kenaikan berat badan pada bayi usia 1-6 bulan antara yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi M P-ASI Dini.
PEMBAHAS AN 1. Kenaikan Berat Badan Bayi yang Diberi AS I Eksklusif Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5 diperoleh hasil bahwa 75% bayi yang diberi ASI Eksklusif mengalami kenaikan berat badan yang normal sesuai dengan standar kenaikan berat badan anak. Bayi yang mengalami kenaikan berat badan kurang dari normal sebanyak 15% dan bayi dengan kenaikan berat badan lebih dari normal sebanyak 10%. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa bayi-bayi yang mengalami kenaikan berat badan normal dikarenakan pada pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi kebutuhan bayi terhadap asupan makanannya, dimana dalam ASI mengandung lebih dari 200 unsur pokok, anatara lain : zat putih telur, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, faktor pertumbuhan, hormon, enzim, zat kekebalan tubuh dan sel darah putih yang kesemuanya ini terdapat secara proporsional dan seimbang satu sama lainnya, sehingga kebutuhan gizi bayi terpenuhi dengan baik. Kenaikan berat badan anak dibentuk dan tergantung pada gizi yang diberikan. Salah satu makanan terbaik yang mengandung semua zat gizi yang sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi ialah ASI. ASI adalah cairan biologis kompleks yang dihasilkan oleh kelenjar payudara wanita melalui proses laktasi yang mengandung sel-sel darah putih, immunoglobulin, enzim, dan hormon, serta protein spesifik untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI merupakan makanan yang mutlak untuk bayi yaitu pada usia 4-6 bulan pertama kehidupannya(6). ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa memberikan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan, kecuali obat dan vitamin(4). Hal ini mengartikan bahwa bayi tidak perlu diberi cairan dan makanan tambahan lain selama 6 bulan pertama, karena ASI terdiri atas 88% air, sehingga setiap kali ibu menyusui bayinya, bayi sudah memperoleh air melalui ASI, dan tidak dibenarkan untuk memberikan cairan lain yang merupakan jalan masuknya kuman, jamur, atau kontaminan lain yang dapat membahayakan bayi. Keistimewaan komposisi ASI ialah dapat berubah dari hari ke hari menyesuaikan dengan kebutuhan gizi bayi yang mengalami proses pertumbuhan khususnya pertumbuhan berat badan. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan indeks massa tubuh dan merupakan ukuran antropometri terpenting yang digunakan pada pertumbuhan bayi. Pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh beberapa faktor dan selalu berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik(10) . 2. Kenaikan Berat Badan Bayi yang Diberi MP-AS I Dini
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Dari hasil analisa data penelitian pada tabel 5 dapat digambarkan bahwa hanya 52% bayi yang diberi M P-ASI Dini mengalami kenaikan berat badan normal dan 29% mengalami kenaikan berat badan lebih dari normal serta 19% dinyatakan kenaikan berat badannya kurang dari normal. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari hasil penelitian, bayi yang diberi M P-ASI Dini mengalami kenaikan berat badan yang hanya 52% normal, hal ini dikarenakan bayi tidak mendapatkan ASI eksklusif serta pemberian makanan tambahan yang tidak sama kandungan gizinya dengan ASI, bayi terlalu cepat untuk mendapatkan makanan tambahan, dimana sistem pencernaannya belum siap untuk menerimanya, sehingga bayi mengalami gangguan pencernaan dan alergi yang diduga menyebabkan anak menderita kekurangan zat gizi (malnutrisi) yang dampaknya terlihat pada gangguan pertambahan berat dan bayi mengalami rentan sakit. Disamping itu juga dikarenakan zat gizi yang didapatkan oleh anak tidak seimbang sehingga pada pemberian M P-ASI dini bisa terjadi kurang atau kelebihan zat gizi yang menyebabkan berat badan anak menjadi kurang atau lebih dari normal, maka dari itu hal tersebutlah yang menyebabkan angka prosentase kenaikan berat badan normal pada bayi yang diberi M P-ASI dini lebih sedikit disbanding angka prosentase kenaikan berat badan normal pada bayi yang diberi ASI eksklusif. Status gizi yang berpengaruh terhadap pembentukan berat badan anak yang kurus atau kegemukan biasanya juga terjadi akibat zat gizi yang diperoleh dari makanan pendamping kekurangan atau kelebihan pada saat penyajiannya. M akanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman tambahan yang mengandung gizi diberikan pada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya(3). Sedangkan M P-ASI Dini merupakan pemberian makanan tambahan sebelum usia 6 bulan. Pemberian cairan dan makanan dapat menjadi sarana masuknya bakteri patogen yang nantinya berdampak terhadap status kesehatan dan gizi bayi. Pada usia sebelum enam bulan ini, sistem pencernaan bayi belum siap untuk menerima makanan selain ASI yang belum memiliki protein pencernaan yang lengkap yang berhubungan secara langsung dengan turunnya berat badan bayi. Banyaknya pemberian M P-ASI Dini oleh para ibu dikarenakan adanya anggapan bahwa ibu tidak bisa memproduksi ASI dengan maksimal, anak sudah tidak mau minum ASI lagi, serta adanya anggapan bahwa bayi sering menangis dikarenakan bayi masih merasa lapar walaupun sudah diberi ASI (13) . Alasan lainnya yaitu sebagian besar ibu-ibu bekerja sehingga cenderung memberikan makanan/minuman formula bayi yang praktis dan mudah disajikan (14) . M enurut James Akri (2004) pemberian makanan pendamping ASI berupa makanan orang dewasa seperti makanan campuran yaitu makanan pokok, lauk pauk dan lainnya tidak cocok bagi bayi baik ditinjau dari segi gizinya maupun sifat fisik makanan tersebut dan hal ini akan merugikan bagi status gizi dan kesehatan si bayi.
3. Perbedaan Kenaikan Berat Badan Bayi dengan Pemberian AS I Setelah dilakukan analisis uji statistik menggunakan Uji t 2 sampel bebas, diperoleh nilai p = 0,017 < α = 0,05 yang artinya ada perbedaan kenaikan berat badan bayi usia 1-6 bulan antara yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi M P-ASI Dini. Hasil diatas menunjukkan masih ada kelemahan dan kekurangan dari pemberian M P-ASI Dini dibandingkan dengan ASI Eksklusif, karena ASI merupakan makanan dan minuman pertama dan terbaik yang mutlak untuk bayi yaitu pada usia 4-6 bulan pertama kehidupannya(6). ASI memiliki kandungan yang dapat membantu menyerap nutrisi dengan baik. Sejak bayi dilahirkan, nutrisi memainkan peranan terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Adapun komponen-komponen nutrisi yang terkandung dalam ASI adalah sebagai berikut : (1) Protein, (2) Karbohidrat, (3) Lemak, (4) Elektrolit, (5)Vitamin, (6) Zat protektif dalam ASI, Pertahanan tubuh spesifik seperti sel T dan immunoglobulin serta pertahanan tubuh yang tidak spesifik seperti sel fagosit, complemen C2 dan C4, lysosom, lactoperoxidase, laktoferin, transferin, semuanya terdapat dalam ASI(7). Dengan cara menyusui yang benar, produk ASI dinyatakan cukup sebagai makanan tunggal untuk pertumbuhan bayi yang normal sampai 6 bulan. Rekomendasi pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan didasarkan pada bukti ilmiah tercukupinya kebutuhan bayi dan lebih baiknya pertumbuhan bayi yang mendapat ASI eksklusif serta menurunnya morbiditas bayi, dimana sebelum mencapai usia 6 bulan system pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI(15). Pemberian M P-ASI harus memenuhi beberapa kriteria antara lain : 1. M emiliki nilai energi dan kandungan protein yang tinggi. 2. M emeiliki nilai suplementasi yang baik serta mengandung vitamin dan mineral yang cocok. 3. Dapat diterima oleh alat pencernaan bayi dengan baik. 4. Harganya relatif murah. 5. Sebaiknya dapat diproduksi dari bahan-bahan yang tersedia secara lokal. 6. Bersifat padat gizi 7. Kandungan serat kasar atau bahan lainnya yang sulit dicerna dalam jumlah sedikit. Pemberian M P-ASI sebelum waktunya sama saja dengan membuka pintu gerbang masuknya berbagai jenis kuman. M enurut Soetjiningsih (2004), pemberian makanan pendamping ASI terlalu dini akan menyebabkan bayi tidak dapat menghisap semua ASI sehingga kebutuhan bayi akan ASI tidak optimal ditambah lagi dengan rendahnya tingkat sanitasi dan higine dalam pemberian makanan pendamping ASI akan meningkatkan resiko infeksi saluran pencernaan. Saat bayi berusia di bawah 6 bulan, sel-sel disekitar usus belum siap untuk menerima kandungan dari makanan, sehingga makanan yang masuk dapat menyebabkan reaksi imun dan terjadinya alergi.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Cara yang paling utama untuk mencegah alergi terhadap makanan adalah dengan menunda pemberian makanan yang potensial menimbulkan alergi karena bayi baru lahir lebih mudah tersensitasi terhadap makanan dari pada bayi yang lebih tua(13). Selain itu dengan pemberian ASI Eksklusif sampai bayi berusia enam bulan baru dilanjutkan dengan pemberian makanan padat, karena pada usia ini bayi umumnya tidak lagi mendapat cukup energi dan zat gizi dari ASI sedangkan bayi terus membutuhkan banyak energi dan zat gizi tambahan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya (16). Semua permasalahan M P-ASI secara teoritis sangatlah mempengaruhi pertumbuhan dan status gizi anak(14) . Hal ini menyatakan bahwa tidak dapat disangkal pemberian ASI Eksklusif jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian M P-ASI pada bayi usia 1-6 bulan sehingga cenderung lebih banyak bayi yang mengalami kenaikan berat badan normal. Untuk itu perlu adanya promosi yang lebih maksimal mengenai pentingnya ASI Eksklusif kepada semua lapisan masyarakat terutama ibu yang memiliki bayi agar memberikan ASInya secara eksklusif untuk membantu meningkatkan pertumbuhan bayi secara optimal.
DAFTAR PUS TAKA 1. 2. 3. 4.
Indiarti, M .T. (2008). Asi, Susu Formula, & Makanan Bayi. Jakarta : Elmatera Publishing. Depkes RI. (1995). Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita. Jakarta : Depkes RI. Roesli, Utami. (2000). Mengenal ASI Eksklusif Seri I. Jakarta : Trinibus Agriwidya. Soetjiningsih. (1998). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
5.
Hidayat, Aziz Alimul. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba
6. 7.
8.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Baso, M . (2007). Studi Longitudinal Pertumbuhan Bayi yang Diberi MP-ASI Pabrik (Blended Food) dan Non Pabrik (Local Food) di Kabupaten Gowa. Akre, James. (2004). Pemberian Makanan untuk Bayi, Dasar-Dasar Fisiologis. Jakarta : Perinesia.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
HUBUNGAN ANTARA INIS IAS I MENYUS U DINI DENGAN KONTRAKS I UTERUS DAN INVOLUS I UTERI PADA IBU POS T PARTUM DI BPS AN-NUR PAMEKAS AN RELATIONS HIP BETWEEN EARLY WITH CONTRACTIONS BREAS TFEEDING INITIATIONUTERUS AND UTERINE INVOLUTION POS T PARTUM ON BPS IN AN-NUR PAMEKAS AN (1)
Dewi Caprina Andriyani, (2)Bambang Heriyanto (1) M ahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya (2) Dosen Poltekkes DEPKES Surabaya
ABS TRAK Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang penting bagi ibu setelah melahirkan. Sebab pada masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik. Dengan perubahan fisik tersebut yang salah satunya penyusutan rahim atau involusi uteri, diharapkan bisa berlangsung normal. Involusi uteri akan lebih cepat dan rahim segera kembali seperti semula dengan melakukan inisiasi menyusu dini, karena dengan inisiasi menyusu dini akan merangsang kontraksi uterus. Tetapi masih banyaknya ibu post partum yang mengalami perdarahan baik perdarahan primer maupun sekunder. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus dan involusi uteri pada ibu post partum. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik observasional dengan jumlah sampel sebanyak 37 ibu post partum, teknik sampling yang digunakan adalah sistematik random sampling sedangkan instrumen mengumpulkan data dengan metode observasi. Hasil Uji Statistik dengan Uji Fisher’s Exact Test diperoleh hasil p = 0,023 α = 0,05 dan p < α, dengan demikian H 0 ditolak berarti ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan. Sedangkan hasil kedua p ada kontraksi uterus dengan involusi uteri dengan Uji Fisher’s Exact Test diperoleh hasil p = 0,054, α = 0,05 dan p > α, jadi H 0 diterima artinya tidak ada hubungan antara kontraksi uterus dengan involusi uteri pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan. Kesimpulan yang didapatkan bahwa semakin cepat melakukan inisiasi menyusu dini maka kontraksi uterus semakin keras, dan semakin keras kontraksi uterus involusi uteri akan semakin cepat kembali, namun semakin lembek kontraksi uterus maka tidak menunjukkan semakin lambatnya involusi uteri. Sehingga disarankan bagi ibu bersalin meminta pada bidan saat proses persalinan menerapkan inisiasi menyusu dini. Kata kunci : Inisiasi M enyusu Dini – Kontraksi Uterus – Involusi Uteri – Ibu Post Partum ABS TRACT Health recovery proccess of nifas is an important thing which is neccesary for mother after bearing. Cause of at pregnancy time had make physically change. That change is the one thing from involusi uteri and expected can take in normally time. Involusi uteri wiil be more faster and gracious will immediately return by doing milk initiation early, because with the milk initiation early will stimulate the uterus contraction. But still so many post partum mother which bleeding like primary or secondary. The purpose of this analyse is to know the relationship among milk initiation early with uterus contraction and involusi uteri to post partum mother. This analyse was use observasional analitic. Total of sample is 37 post partum mother. Sampling technic was use random sampling system and for collecting was use observation methode. The result of the statistic test with Fisher’s Exact Test has obtained p = 0,023 α = 0,05 and p < α with mean H 0 is rejected and so that means there was any relationship among milk initiation early with uterus contraction to post partum mother. While second result of milk initiation early with involusi uteri the statistic test with Fisher’s Exact Test has obtained p = 0,036 α = 0,05 and p < α with mean H 0 is rejected and so that means there was any relationship among milk initiation early with involusi uteri to post partum mother. Conclusion is the milk initiation early that faster uterus contractoin hence getting louder and involusi uteri will be more quickly return like from the beginning. This matter because moment of mother ANC given important counselling about milk initiation early so that more motivated to mother apply the milk initiation early. And suggested for mother give of midwife to moment process copy to apply the milk initiation early.
Keyword
: milk intiation early – uterus contraction – involusi uteri – post partum mother
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUS TAKA
Latar Belakang Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang sangat penting bagi ibu setelah melahirkan. Sebab selama masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik. (Inayati, 2008). Salah satu perubahan yang terjadi di dalam tubuh ibu yaitu involusi atau penyusutan uterus yang secara perlahan-lahan bertambah besarnya hingga 1 kilogram selama masa kehamilan, dan setelah persalinan akan kembali ke keadaan sebelum hamil (Pusdiknakes, 2001). Proses involusi uterus terjadi karena adanya autolysis, kontraksi dan atrofi. Aktifitas otot-otot yaitu adanya kontraksi dan retraksi dari otot-otot setelah anak lahir yang diperlukan untuk menjepit pembuluh darah yang pecah karena adanya pelepasan plasenta. Dan involusi uterus akan lebih cepat dan rahim segera kembali seperti semula dengan melakukan inisiasi menyusu dini, karena dengan inisiasi menyusu dini juga akan dapat merangsang kontraksi uterus. Dan juga terhindar dari bahaya nifas yang nantinya bisa menyebabkan kematian (Cesillia, 2007). Hal ini bermanfaat bukan hanya bagi ibu tapi juga bagi bayi baru lahir. Hal utama dalam inisiasi menyusu dini adalah memberikan kesempatan pada bayi dan ibunya segera berinteraksi setelah proses kelahiran (Kompas, 2007). Dan mulai menyusu 1 jam pertama setelah lahir dapat menyelamatkan 1 juta bayi setiap tahunnya yaitu dimulai dengan satu tindakan memberi dukungan selama 1 jam (Roesli, 2008). Berbagai faktor penyebab mengapa involusi uteri masih mengalami keterlambatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan bidan Titik Yulianingsih Amd, Keb yang menyatakan bahwa kasus yang paling banyak di BPS An-Nur Pamekasan yaitu keterlambatan involusi uteri setelah melahirkan disebabkan oleh ibu-ibu yang tidak mau melakukan inisiasi menyusu dini dan masih banyaknya perdarahan pasca persalinan yang diakibatkan oleh sering meregangnya uterus karena ibu yang terlalu sering hamil dengan jarak persalinan yang dekat yaitu kurang dari 2 tahun serta kehamilan pada wanita dengan usia kurang dari 20 tahun. Padahal sebenarnya kalau ibu melakukan pemberian ASI sejak dini dengan cara inisiasi menyusu dini dengan benar, kejadian perdarahan pasca persalinan akibat kontraksi yang tidak bagus bisa dikurangi dan involusi uteri cepat kembali pada keadaan sebelum hamil. Risiko ibu pasca persalinan dapat ditekan dengan melakukan inisiasi menyusu dini karena tingkat menyusui di Indonesia masih rendah dan informasi yang benar masih belum tersampaikan. Untuk itu Sentra Laktasi Indonesia (Serasi) mengampanyekan inisiasi menyusu dini yang belum tersampaikan secara benar tersebut (Roesli, 2008). Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus dan involusi uteri pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan.
Konsep Dasar Inisiasi Menyusu Dini (IMD) ASI Dini adalah pemberian ASI dalam waktu 1 jam setelah lahir (Depkes, 2002). Inisiasi M enyusu Dini adalah membiarkan bayi untuk menyusui pada ibunya sesaat setelah dilahirkan (Cesillia, 2007). Inisiasi M enyusu Dini (early initation) atau permulaan menyusui dini adalah bayi mulai menyusu sendiri segera setelah lahir (Ambarwati, 2008). Inisiasi yang benar adalah begitu lahir, setelah dipotong tali pusatnya, segera letakkan di dada ibunya. Biarkan sampai ia bergerak dan mencari puting susu ibunya hingga dapat. Kemudian biarkan minimal 30-40 menit, maksimal 1 jam (Rudhy, 2008). Cara bayi melakukan inisiasi menyusu dini dinamakan the best crawl atau merangkak mencari payudara (ambarwati, 2008). Hasil pengamatan membenarkan bahwa segera menyusukan bayi setelah bayi lahir memungkinkan bayi tidak akan kekurangan ASI dan ibu tidak harus mengalami demam karena payudara bengkak (Purwanti, 2004). Setelah lahir, ia menangis, dengan menangis membuat sistem pernafasan, peredaran darah, perkemihan, pencernaan dan syaraf mulai berfungsi secara normal sehingga mampu beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim. Bayi akan beradaptasi dengan lingkungan selama setengah jam sampai satu jam kemudian bayi akan tidur selama dua jam (Purwanti, 2004). Faktor Yang M empengaruhi Inisiasi M enyusu Dini : 1. Faktor internal : 1) Ibu ; Sentuhan kulit dengan kulit antara ibu dan janin mampu menghadirkan efek psikologis yang dalam di antara ibu dan bayi, 2) Biomedik ; Faktor biomedik terdiri dari jumlah kelahiran, kesehatan bayi dan kesehatan ibu ( selama hamil, melahirkan dan setelah melahirkan) dan status merokok, 3) Obat Kimiawi ; Obat kimiawi yang bertujuan menghilangkan rasa sakit persalinan seperti metode Intrathecal Labor Analgesia (ILA), tidak bisa disejalankan dengan IM D, karena ketika ibu dibius bayi yang dilahirkan ikut terbius sehingga tak bisa berjuang menggapai puting ibu (Parameter, 2008) 2. Faktor eksternal : 1) Tenaga medis ; Begitu lahir, bayi yang ditaruh di perut ibunya dalam 50 menit akan bergerak ke arah payudara lalu mengisap puting susu dengan benar. Sebaliknya, dari kelompok bayi yang segera dimandikan setelah dilahirkan, baru kemudian dikembalikan kepada ibunya ternyata 50%-nya tidak bisa mengisap dengan benar walaupun sudah didekatkan ke payudara. Namun, sosialisasi tentang inisiasi menyusui dini masih kurang oleh tenaga medis dan belum dipraktekkan serta kesalahan yang terjadi selama ini atas pemisahan bayi yang baru lahir dengan ibunya merupakan tindakan keliru (M irna, 2008), 2) Dukungan tenaga Kesehatan ; Dukungan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dapat membangkitkan rasa percaya diri ibu untuk membuat keputusan menyusui bayinya (Kevyn’s, 2009), 3) Dukungan Saat ibu cemas dan kelelahan, ayah atau keluarga dapat berperan mengulurkan dukungan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
dengan memberikan pujian dan dorongan. Percayalah, pujian seperti ini amat dibutuhkan ketika si ibu merasa lelah dan patah semangat (Senior, 2008). 4) Persalinan Dengan Tindakan, 5) Sosial Budaya, 6 ) Sosial Ekonomi Konsep Dasar Kontraksi Uterus dan Involusi Uterus Kontraksi Uterus Uterus adalah organ yang sangat luar biasa dan menjadi rumah janin selama dalam kandungan. Setelah melahirkan,,beratnya masih sekitar 0.7 kg (1 1/2 Ib). Jika anda menekan bagian tengah perut, uterus terasa sebesar buah grapefruit (sejenis jeruk) yang keras. (Listyani, 2008) Uterus adalah organ muskuler yang berbentuk seperti buah pir dan terletak diantara vesika urinaria dan rectum. Uterus biasanya tertekuk ke ventral (antefleksi) diatas vesica urinaria (Hariyanto, 2002) kontraksi adalah serangkaian kontraksi rahim yang teratur, yang secara bertahap akan mendorong janin melalui serviks (rahim bagian bawah) dan vagina (jalan lahir), sehingga janin keluar dari rahim ibu (Administrator, 2008). Rahim atau uterus merupakan jaringan otot yang kuat terletak di pelvis minor diantara kandung kemih dan rectum. Dinding belakang dan dinding depan rahim dan bagian atas rahim tertutup peritonium. Sedangkan bagian bawahnya berhubungan dengan kandung kemih. Untuk mempertahankan posisinya rahim disangga oleh beberapa ligamentum, jaringan ikat dan parametrium. (Admojo, 2008).
Faktor-faktor yang M empengaruhi Involusi : 1. Paritas (Jumlah Anak) Paritas mempengaruhi involusi uterus. Otot-otot yang terlalu sering terenggang maka elastisitas akan berkurang. Dengan demikian untuk mengembalikan keadaan semula setelah terenggang memerlukan waktu yang lama (Reeder, 1997).
1.
2.
Involusi Uteri
Involusi adalah perubahan yang merupakan proses terjadinya alat kandungan atau uterus dari jalan kelahiran seperti sebelum hamil. (Ibrahim, 1996 : 54). Involusi uterus adalah secara berangsur-angsur uterus menjadi kecil sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil (Rustam, 1998). Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera setelah plesenta lahir akibat kontraksi otot – otot polos uterus (Ambarwati, 2008). Pada akhir kala III persalinan, uterus berada di garis tengah, kira-kira 2 cm di bawah umbilicus dengan bagian fundus bersandar pada promontorium sakralis. Pada saat ini besar uterus kira – kira sama dengan besar uterus sewaktu usia kehamilan 16 minggu dengan berat 1000 gram. Peningkatan kadar estrogen dan progesteron bertanggung jawab untuk pertumbuhan masif uterus selama masa hamil. Pertumbuhan uterus pada masa prenatal tergantung pada hyperplasia, peningkatan jumlah sel-sel otot dan hipertropi, yaitu pembesaran sel – sel yang sudah ada. Pada masa postpartum penurunan kadar hormon – hormon ini menyebabkan adanya autolisis.
2.
Usia
Ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi oleh proses penuaan. Pada proses penuaan terjadi perubahan metabolisme yaitu terjadi peningkatan jumlah lemak, penurunan otot dan penurunan penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat. Dengan adanya penurunan regangan otot akan mempengaruhi pengecilan otot rahim setelah melahirkan, serta membutuhkan waktu yang lama dibanding dengan ibu yang mempunyai kekuatan dan regangan otot yang lebih baik. Involusi uterus terjadi karena proses autolisis, dimana zat protein dinding rahim pecah, diserap dan kemudian dibuang bersama air kencing. Bila proses ini dihubungkan dengan penurunan penyerapan protein pada proses penuaan maka hal ini akan menghambat involusi uterus. Selain itu juga adanya penurunan regangan otot dan peran jumlah lemak akan menjadi semakin lambat proses involusi uterus (Sweet, 1998). 3.
Laktasi/M enyusui
Setelah ada persalinan pengaruh dari esterogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh hormon hipofise kembali, antara lain prolaktin. Payudara yang telah dipersiapkan pada masa kehamilan terpengaruhi dengan akibat kelenjarnya berisi air susu. (Prawirohardjo, 2007) Faktor Yang M empengaruhi Inisiasi M eyusu Dini, Kontraksi Uterus dan Involusi Uteri : Wanita yang mengalami persalinan dan yang melakukan inisiasi menyusu dini akan meningkatkan produksi prolaktin dan oksitosin sebagai respon terhadap stimulasi hisapan mulut bayi (sucking). Dengan meningkatnya prolaktin, terjadi produksi air susu, sementara oksitosin menyebabkan kontraksi mammae yang membantu pengeluaran air susu. Oksitosin juga berfungsi meningkatkan kontraksi uterus sehingga membantu involusi. Setelah tercapai tingkat kontraksi tertentu, kadar prolaktin dan oksitosin kembali (feedback negatif), sehingga produksi dan pengeluaran berhenti. Produksi Asi dirangsang melalui “let down reflex” yaitu rangsang putting – hipofisis – prolaktin – kelenjar susu. Demikian juga oksitosin akan keluar sebagai hormon yang memompa mioepitel duktus mamaria. Pada saat menyusui mungkin ibu merasakan ngilu atau kontraksi di daerah uterus karena pengaruh oksitosin yang meningkat juga terhadap uterus. Untuk itu proses menyusui membantu rahim anda untuk kembali ke ukuran awal sebelum melahirkan. Faktor yang mempengaruhi inisiasi menyusu dini sendiri adalah faktor internal dan eksternal, faktor internal terdiri dari ibu, obat kimiawi dan biomedik. Sedangkan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
faktor eksternal yaitu pelayanan medis, dukungan tenaga kesehatan, dukungan suami, dan keluarga, persalinan dengan tindakan, sosial budaya dan social ekonomi. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kontraksi uterus yaitu hormon estrogen, hormon oksitosin, hormon prostaglandin, hormon relaksin. Sedangkan faktor yang mempengaruhi involusi uteri yaitu usia, paritas dan laktasi/menyusui. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian analitik observasional adalah pengukuran penelitian yang dilaksanakan dengan cara pengamatan terhadap suatu objek yang dipantau dengan lembar observasi. Populasinya adalah semua ibu post partum di BPS An-Nur yang memenuhi kriteria yaitu ibu nifas fisiologis, primi/multipara, dengan persalinan pervaginam, bersedia untuk diteliti sebanyak 40 ibu post partum dengan melakukan survey awal pada tanggal 12 Januari 2009, sampel memenuhi kriteria penelitian yaitu sebanyak 37 ibu post partum. Adapun besar sampel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan rumus sebagai berikut :
N. Za 2 .P.q d 2 . N 1 Za 2 .P.q
n
HAS IL PENELITIAN DAN PEMBAHAS AN
Penyajian data yang ditampilkan meliputi data umum dan data khusus. Data umum menampilkan umur, paritas, dan laktasi. Sedangkan data khusus akan menggambarkan data hasil observasi tentang inisiasi menyusu dini, kontraksi uterus dan involusi uteri ibu post partum, dan hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus, serta hubungan antara kontraksi uterus dengan involusi uteri pada ibu post partum. Untuk mengetahui tingkat signifikan frekuensi antar variabel dan mengukur hubungan yang bermakna, akan di uji dengan uji Chi Square. Data ibu post partum tentang inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus Data Khusus Data ini menampilkan tentang inisiasi menyusu dini, kontraksi uterus, dan involusi uteri pada ibu post partum, hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus, serta hubungan antara kontraksi uterus dengan involusi uteri pada ibu post partum. 1.
Data Ibu Post Partum tentang Inisiasi M enyusu Dini
6 16.2%
Keterangan : n = Jumlah Sampel P = Estimator proporsi populasi (0,5) Q= 1 – P (0,5) Za= Harga kurva normal yang tergantung dari alpha (a) (1,96) N = Besar Populasi d = Presisi / tingkat kepercayaan 5% (0,05) dari rumus ini didapatkan jumlah sampel : 2
n
N.Za .P.q d . N 1 Za 2 .P.q 2
2
n
40. 1,96 .0,5.0,5 2 0,05 .(40 1) (1,96) 2 0,5.0,5
n
40.3,8416. 0,25 0,0025.39 3,8416.0,2 5
IMD Lambat IMD Cepat 31 83.8%
Diagram 1. Distribusi frekuensi ibu post partum berdasarkan inisiasi menyusu dini di BPS An-Nur Pamekasan tanggal 15 Juni sampai 25 Agustus 2009. Dari diagram dapat diketahui bahwa antara ibu post partum dengan inisiasi menyusu dini cepat sebanyak 31 orang (83,8%) dan yang melakukan inisiasi menyusu dini lambat sebanyak 6 orang (16,2%)
38,416 0,0975 0,9604 n 36,3 n 37
n
jadi, sampel dalam penelitian ini sebanyak 37 responden
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
2.
Data Ibu Post Partum tentang Kontraksi Uterus
2 5.4% Kontraksi uterus lembek
Dari tabel di dapatkan bahwa ibu post partum yang melakukan inisiasi menyusu dini cepat dengan kontraksi uterus keras sebanyak 100% Sedangkan dari ibu post partum yang melakukan inisiasi menyusu dini lambat dengan kontraksi uterus keras sebanyak 66,7% dan yang kontraksi uterusnya lembek sebanyak 33,3%. Data ibu post partum tentang kontraksi uterus dengan involusi uteri
Kontraksi uterus keras 35 94.6%
Tabel.2 Distribusi kontraksi uterus dengan involusi uteri pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan pada tanggal 15 Juni sampai 25 Agustus 2009
Diagram 2. Distribusi frekuensi ibu post partum berdasarkan kontraksi uterus di BPS An-Nur Pamekasan tanggal 15 Juni sampai 25 Agustus 2009.
Dari diagram dapat diketahui bahwa antara ibu post partum dengan kontraksi uterus keras sebanyak 35 orang (94,6%) dan ibu post partum dengan kontraksi uterus lembek sebanyak 2 orang (5,4%).
3.
Data Ibu Post Partum tentang Involusi Uteri
1 2.7%
36 97.3%
Kontraksi Uterus Lembek Keras Total
Involusi Uteri Lambat ∑ % 1 50 0 0 1 2,7
Involusi uteri lambat Involusi uteri cepat
Dari diagram didapatkan bahwa sebanyak 36 orang (97,3%) dengan involusi uteri cepat sedangkan yang mengalami involusi uteri lambat sebanyak 1 orang (2,7%).
% 50 100 97,3
∑ 2 35 37
Dari tabel di dapatkan bahwa ibu post partum yang kontraksi uterusnya keras sebanyak 100% dengan involusi uteri cepat. Sedangkan ibu post partum yang kontraksi uterusnya lembek sebesar 50% dengan involusi uteri cepat dan yang involusi uterinya lambat sebanyak 50%.
Oleh karena syarat uji Chi Square belum terpenuhi yaitu ada harga expected < 5, maka uji statistik yang dipilih adalah Fisher’s Exact Test. Dengan α = 0,05 didapatkan nilai p = 0,023 dan p < α, dengan demikian H 0 ditolak yang berarti semakin cepat melakukan inisiasi menyusu dini maka semakin keras kontraksi uterus. Hubungan Antara Kontraksi Uterus Dengan Involusi Uteri Oleh karena syarat uji Chi Square belum terpenuhi yaitu ada harga expected < 5, maka uji statistik yang dipilih adalah Fisher’s Exact Test. Dengan α = 0,05 didapatkan nilai p = 0,054 dan p > α, dengan demikian H 0 diterima yang berarti bahwa kontraksi uterus tersebut bukan satu-satunya penyebab terjadinya percepatan involusi uteri. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor lain.
Tabel.1
IM D Lambat IM D Cepat Total
∑ 1 35 36
Hubungan Antara Inisiasi Menyusu Dini Dengan Kontraksi Uterus
Diagram 3. Distribusi frekuensi ibu post partum berdasarkan involusi uteri di BPS An-Nur Pamekasan tanggal 15 Juni sampai 25 Agustus 2009.
IM D
Total
Cepat
Distribusi inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan pada tanggal 15 Juni sampai 25 Agustus 2009 Kontraksi Uterus Total Lembek Keras ∑ % ∑ % ∑ % 2 33,3 4 66,7 6 100 0 0 31 100 31 100 2 5,4 35 94,6 37 100 JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
% 100 100 100
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Inisiasi Menyusu Dini Berdasarkan diagram 1 dari 37 ibu post partum, sebanyak 31 ibu post partum (83,8%) dengan inisiasi menyusu dini cepat dan yang melakukan inisiasi menyusu dini lebih lambat sebanyak 6 ibu post partum (16,2%). Data tersebut menunjukkan bahwa ibu post partum yang inisiasi menyusu dini cepat dengan waktu antara 2 menit sampai 1 jam lebih banyak dari pada ibu post partum yang inisiasi menyusu dini lebih lambat yaitu dengan waktu lebih dari 1 jam. M enurut Purwanti (2004) M enyusui segera setelah bayi lahir merupakan penentu untuk keberhasilan penerapan ASI eksklusif. Sebelum setengah jam pertama, bayi harus disusukan kepada ibunya. Aktivitas ini untuk merangsang hipofise agar tetap mempertahankan hormon prolaktin sebelum hormon ini turun kadarnya dalam peredaran darah. Segera setelah lahir, ia menangis, dengan menangis membuat sistem pernafasan, peredaran darah, perkemihan, pencernaan dan saraf mulai berfungsi secara normal sehingga mampu beradaptasi dengan kehidupan di luar rahim. Bayi akan beradaptasi dengan lingkungan selama setengah jam sampai satu jam kemudian bayi akan tidur selama dua jam. Bayi akan terbangun lagi kira-kira lima belas menit sampai setengah jam dan bayi akan tidur lagi. Oleh karena itu penting untuk segera menyusukan bayi kepada ibu sebelum setengah jam setelah persalinan untuk menghindari bayi masuk jam tidur. Jika demikian bayi akan malas bahkan tidak mau menghisap puting susu ibu selama jam tidurnya. Bila ini terjadi, upaya merangsang pengeluaran ASI akan sangat terlambat dan membuat produksi ASI tertekan. Responden lebih dominan berhasil menerapkan inisiasi menyusu dini lebih cepat dikarenakan setiap ibu yang melakukan ANC mendapat penyuluhan yang diperlukan sesuai trimester. Pada trimester III ibu diberikan penyuluhan tentang pentingnya menerapkan inisiasi menyusu dini. Dengan adanya penyuluhan, ibu akan termotivasi untuk menerapkan inisiasi menyusu dini pada saat persalinan. M enurut Notoatmodjo yang dikutip dari Rodgers 1974 bahwa subyek mulai berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Selain itu, perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh umur. M enurut Nursalam (2001) mengutip pendapat Hunlock bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir. Hal ini sesuai dengan umur ibu post partum yang banyak berumur 20-35 tahun bahwa dengan usia dewasa lebih mudah menerima informasi dan lebih matang dalam menerapkan inisiasi menyusu dini. Kontraksi Uterus Berdasarkan diagran 2 dapat diketahui bahwa sebanyak 35 ibu post partum (94,6%) kontraksi uterusnya keras dan yang mengalami kontraksi uterusnya lembek sebanyak 2 ibu post p artum (5,4%). Dari data tersebut didapatkan lebih banyak ibu post
partum yang kontraksi uterusnya keras dari pada responden yang kontraksi uterusnya lembek. M enurut M ochtar 1998, setelah bayi lahir uterus yang selama persalinan mengalami kontraksi dan retraksi akan menjadi keras, sehingga dapat menutup pembuluh darah besar yang bermuara pada bekas implantasi plasenta. Otot rahim terdiri dari tiga lapis otot yang membentuk anyaman sehingga pembuluh darah dapat tertutup sempurna. Sedangkan menurut Syaifuddin 2001, pada kala empat normal fundus uteri berkontraksi teraba keras sehingga mudah dilakukan perabaan dan berada dibawah pusat. M asase fundus juga perlu untuk menumbuhkan kontraksi. Responden lebih dominan dengan kontraksi uterusnya keras dikarenakan setiap ibu yang bersalin diajari cara melakukan masase fundus agar kontraksi uterus tetap keras. Selain itu, kontraksi uterus yang keras dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya yaitu faktor hormonal seperti esterogen yang konsistensinya akan meningkat pada saat persalinan. Disamping itu juga dipengaruhi oleh hormon oksitosin, oksitosin dihasilkan oleh hipofisis ibu dan janin, suntikan oksitosin juga diberikan pada ibu setelah pemotongan tali pusat sehingga kontraksi uterus menjadi semakin keras, yang ditandai dengan perasaan mulas pada ibu dan kadang perasaan mulas tersebut juga mengganggu yang biasanya berlangsung 2 – 3 hari post partum. Hal ini banyak dialami pada ibu post partum dengan multipara dibandingkan pada ibu post partum dengan primipara. Involusi Uteri Berdasarkan diagram 3 dapat diketahui bahwa sebanyak 36 ibu post partum (97,3%) dengan involusi uterinya cepat dan yang mengalami involusi uterinya lambat sebanyak 1 ibu post partum (2,7%). Dari data tersebut didapatkan lebih banyak ibu post p artum yang involusi uterinya cepat dari pada ibu post partum yang involusi uterinya lambat. M enurut Rustam (1998) Involusio uterus adalah secara berangsur-angsur uterus menjadi kecil sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Sehingga proses involusio uteri sangat penting untuk mempercepat pengecilan rahim dan tidak terjadi tanda-tanda bahaya post partum. Ibu post partum lebih dominan dengan involusi uterusnya cepat dikarenakan ibu sangat kooperatif pada saat persalinan sehingga tanda-tanda bahaya nifas tidak terjadi. Selain itu faktor yang berpengaruh terhadap percepatan involusi uteri yaitu dipengaruhi oleh faktor usia ibu post partum. Ibu post partum sebagian besar dengan usia antara 20 – 35 tahun. Pada usia tersebut ibu yang mengalami involusi uteri cepat lebih banyak karena usia tersebut merupakan usia yang baik untuk bereproduksi. Disamping faktor usia, involusi uteri yang cepat juga dipengaruhi oleh paritas atau jumlah anak, meskipun jumlah anak ibu lebih banyak yang lebih dari 1, tetapi jarak kehamilan dan persalinan bukan termasuk golongan resiko tinggi. Sehingga ibu post partum tetap mengalami involusi uteri yang lebih cepat. Dan involusi uteri juga dipengaruhi oleh tenaga kesehatan yang membantu ibu tersebut saat bersalin dengan asuhan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
sayang ibu. Ibu yang normal saat persalinan tanpa adanya sisa plasenta yang menyebabkan perdarahan post partum merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi involusi uteri cepat. Hubungan Inisiasi Menyusu Dini dengan Kontraksi Uterus Berdasarkan tabel 1 ibu post partum dengan inisiasi menyusu dini cepat dan kontraksi uterusnya keras terdapat 31 ibu post partum (100%). Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu akan pentingnya menerapkan inisiasi menyusu dini yang disampaikan oleh bidan saat memberikan penyuluhan selama hamil, serta adanya dukungan dari keluarga terutama suami sehingga ibu mau menerapkan inisiasi menyusu dini. M enurut Roesli (2000) ayah merupakan bagian yang vital dalam keberhasilan atau kegagalan menyusui. Ayah mempunyai peran yang sangat menentukan dalam keberhasilan menyusui karena ayah akan turut menentukan kelancaran reflek pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan ibu. Selain itu menurut Purwanti (2004) dengan memberikan ASI dalam waktu kurang dari setengah jam pasca persalinan bayi mendapat terapi psikologis berupa ketenangan dan kepuasan. Pelukan ibu membuat bayi mendapatkan rasa aman dan nyaman seperti di dalam rahim ibu. Dengan isapan bayi yang benar, oksitosin akan keluar lebih banyak sehingga rahim akan terus berkontraksi. Dengan demikian perdarahan post partum dapat dicegah yang dapat mengurangi angka anemi pada ibu post partum. Sedangkan ibu post partum dengan inisiasi menyusu dini lambat tetapi kontraksi uterusnya keras terdapat 4 ibu post partum (66,7%). M eskipun ibu dalam menerapkan inisiasi menyusu dini lebih dari 1 jam tetapi ibu tetap bersabar sampai akhirnya bayi bisa menemukan puting ibu sendiri, karena ibu ingin menerapkan ASI eksklusif pada bayinya. M enurut Roesli (2008) inisiasi menyusu dini dapat melatih dan membiasakan bayi menghisap payudara ibu yang nantinya berperan penting dalam mewujudkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dan berlanjut dengan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun. Inisiasi menyusu dini juga membantu bayi mendapatkan kolostrum, sesuatu yang dibutuhkan dalam menyongsong kehidupan dunia. ibu post partum dengan inisiasi menyusu dini lambat dan kontraksi uterusnya lembek terdapat 2 ibu post partum (33,3%). Hal ini karena bayi memerlukan waktu untuk menyesuaikan dengan lingkungan luar dalam mencari dan merambat untuk menemukan puting susu ibunya, serta proses persalinan yang berat yaitu persalinan lama. M eskipun pada proses persalinan lama ibu tetap mencoba menerapkan inisiasi menyusui dini, meskipun pada kenyataannya kontraksi yang dialami ibu masih lembek. Berdasarkan analisis tabulasi silang bahwa semakin cepat melakukan inisiasi menyusu dini maka kontraksi uterus semakin keras. Sedangkan berdasarkan hasil Uji Fisher’s Exact Test diperoleh hasil p = 0,023 α = 0,05 dan p < α, dengan demikian H 0 ditolak yang
berarti ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus pada ibu post partum. Hal ini sesuai teori yang dikemukakan pada manajemen laktasi (Depkes, 2001) bahwa dengan menyusui merangsang reflek letdown atau reflek oxitosin yang memperlancar otot rahim. Dengan menerapkan inisiasi menyusu dini maka isapan bayi pada puting susu ibu terjadi secara dini pula. Dengan adanya isapan bayi, puting akan terangsang dan rangsangan ini oleh saraf diteruskan ke otak, selanjutnya otak memerintahkan kelenjar hypofise bagian belakang untuk mengeluarkan oksitosin. Hormon ini akan mempengaruhi otot-otot pada buah dada dan uterus sehingga uterus berkontraksi lebih baik (Ibrahim, 1996). Penyebab dari adany a hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uterus pada ibu post partum di BPS An-Nur Pamekasan dikarenakan beberapa faktor yaitu faktor dari ibu sendiri. Kebanyak ibu sangat ingin menyusui bayinya sesaat setelah melahirkan dengan menerapkan inisiasi menyusu dini, ibu yang berhasil menerapkan inisiasi menyusu dini lebih cepat akan segera terjalin sentuhan kulit dengan kulit antara ibu dan janin. Sehingga mampu menghadirkan efek psikologis yang dalam di antara ibu dan bayi, sehingga atas isapan bayi pada puting ibu tersebut tanpa disadari ibu akan merasakan nyeri atau kontraksi di daerah uterus. Karena pengaruh oksitosin yang meningkat terhadap uterus. Hubungan Kontraksi Uterus dengan Involusi Uteri Berdasarkan tabel 2 ibu post partum dengan kontraksi uterus keras dan involusi uterinya cepat terdapat 35 ibu post partum (100%). Hal ini dipengaruhi oleh usia ibu yang kebanyakan berusia antara 20-35 tahun, karena pada usia tersebut merupakan usia reproduksi. M enurut Prawirohardjo 2007 bahwa Setelah ada persalinan pengaruh dari esterogen dan progesteron terhadap hipofisis hilang. Timbul pengaruh hormon hipofise kembali, antara lain prolaktin. Payudara yang telah dipersiapkan pada masa kehamilan terpengaruhi dengan akibat kelenjarnya berisi air susu. Dan M enurut Ibrahim 1996, dengan isapan bayi, puting susu terangsang, rangsangan ini oleh syaraf diteruskan ke otak kemudian otak memerintahkan kelenjar hipofise bagian belakang mengeluarkan hormon oksitosin yang dibawa ke otot-otot polos sehingga berkontraksi lebih baik lagi. Dengan demikian involusi uterus lebih cepat dan pengeluaran lochea lebih lancar. Sedangkan ibu post partum yang mengalami kontraksi uterus lembek dengan involusi uteri cepat sebanyak 1 ibu post partum (50%) dan ibu post partum yang mengalami kontraksi uterus lembek dengan involusi uteri lambat sebanyak 1 ibu post partum (50%). Hal ini dipengaruhi oleh usia yang lebih dari 35 tahun dan paritas yang lebih dari 1 dengan jarak anak yang kurang dari 2 tahun. M enurut Sweet 1999, ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi oleh proses penuaan. Pada proses penuaan terjadi perubahan metabolisme yaitu terjadi peningkatan jumlah lemak, penurunan otot dan penurunan penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat. Dengan adanya penurunan regangan otot akan mempengaruhi pengecilan otot rahim setelah melahirkan, serta membutuhkan waktu yang lama dibanding dengan
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
ibu yang mempunyai kekuatan dan regangan otot yang lebih baik. Involusi uterus terjadi karena proses autolisis, dimana zat protein dinding rahim pecah, diserap dan kemudian dibuang bersama air kencing. Bila proses ini dihubungkan dengan penurunan penyerapan protein pada proses penuaan maka hal ini akan menghambat involusi uterus. Selain itu juga adanya penurunan regangan otot dan peran jumlah lemak akan menjadi semakin lambat proses involusi uterus. Sedangkan menurut Reeder 1997, paritas mempengaruhi involusi uterus. Otot-otot yang terlalu sering terenggang maka elastisitas akan berkurang. Dengan demikian untuk mengembalikan keadaan semula setelah terenggang memerlukan waktu yang lama. Sedangkan menurut Sweet 1998, Involusi uterus bervariasi pada ibu pasca salin, dan biasanya ibu yang paritasnya tinggi proses involusinya menjadi lebih lambat. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan uterusnya, karena makin sering hamil uterus yang sering mengalami regangan. Berdasarkan analisis tabulasi silang bahwa semakin keras kontraksi uterus maka semakin cepat involusi uteri, namun semakin lembek kontraksi uterus maka involusi uteri tidak menunjukkan semakin lambatnya involusi uteri. Hal ini ditunjang dengan hasil Uji Fisher’s Exact Test dengan α = 0,05 didapatkan nilai p = 0,054 dan p > α, maka H 0 diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara kontraksi uterus dengan involusi uteri pada ibu post partum. Hal ini bahwa kontraksi itu bukan satu – satunya penyebab terjadinya percepatan involusi uteri. Penyebab dari tidak adanya hubungan antara kontraksi uterus dengan involusi uteri bisa disebabkan oleh faktor – faktor lain. Faktor tersebut antara lain faktor usia, ada beberapa ibu yang usianya lebih dari 35 tahun. Ibu yang usianya lebih tua banyak dipengaruhi oleh penuaan. Pada proses penuaan tersebut terjadi perubahan metabolisme yang salah satunya terjadinya penurunan otot. Hal tersebut akan mempengaruhi pengecilan otot rahim setelah melahirkan, serta membutuhkan waktu yang lama dibanding dengan ibu yang mempunyai kekuatan dan regangan otot yang lebih baik. Faktor lain yang berpengaruh yaitu paritas atau jumlah anak. Ada beberapa orang dengan paritas lebih dari 1. Hal ini mempengaruhi otot – otot yang terlalu sering teregang maka elastisitas akan berkurang. Dengan demikian untuk mengembalikan keadaan semula membutuhkan waktu yang lama. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan uterus ibu, karena semakin sering meregang (hamil) uterus juga akan mengalami regangan. Kesimpulan dan S aran S impulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dikemukakan pada 37 ibu post partum dapat disimpulkan sebagai berikut : i. Ibu post partum sebagian besar melakukan inisiasi menyusu dini cepat sebanyak 31 orang (83,8%).
ii. iii. iv.
v.
ibu post partum sebagian besar mengalami kontraksi uterus keras sebanyak 35 orang (94,6%). ibu post partum sebagian besar mengalami involusi uteri cepat sebanyak 36 orang (97,3%). Berdasarkan analisis tabulasi silang sebanyak 31 ibu post partum (100%) melakukan inisiasi menyusu dini cepat dengan kontraksi uterus keras yang berarti bahwa semakin cepat melakukan inisiasi menyusu dini maka kontraksi uterus semakin keras. Sedangkan berdasarkan hasil uji Fisher’s Exact Test bahwa ada hubungan antara inisiasi menyusu dini dengan kontraksi uteri pada ibu post partum. Berdasarkan analisis tabulasi silang sebanyak 35 ibu post partum (100%) yang mengalami kontraksi uterus keras dengan involusi uteri cepat yang berarti bahwa semakin keras kontraksi uterus involusi uteri akan semakin cepat kembali, namun semakin lembek kontraksi uterus maka involusi uteri tidak menunjukkan semakin lambatnya involusi uteri. Hal ini ditunjang dengan hasil uji Fisher’s Exact Test bahwa tidak ada hubungan antara kontraksi uterus deangan involusi uteri pada ibu post partum.
S aran Bagi Profesi Bidan 1. Bidan diharapkan dapat memberikan penyuluhan mengenai pentingnya inisiasi menyusui dini pada saat ibu hamil melakukan ANC, sehingga ibu mengerti dan memahami tentang manfaat inisiasi menyusu dini. 2. Bidan diharapkan dapat menerapkan inisiasi menyusu dini pada saat persalinan. Bagi M asyarakat 1. Ibu hamil pada saat ANC diharapkan meminta penjelasan pada bidan mengenai bagaimana memberikan ASI sedini mungkin dan cara penerapan ASI eksklusif. 2. Khususnya bagi ibu bersalin meminta pada bidan saat proses persalinan menerapkan inisiasi menyusu dini
DAFTAR PUS TAKA 1. Listyani, Ningsih. 2008. Mengenal Organ Reproduksi Wanita, www.google.com 2. Hariyanto, 2002. Susunan Organ Reproduksi Kewanitaan, www.google.com 3. Administrator, 2008. Syarat Mendapatkan Manfaat, www.google.com 4. Admojo, 2008. Bagian-bagian Dalam Pada Wanita, www.google.com 5. Ambarwati, dkk, 2008. Asuhan Kebidanan Nifas, Jogjakarta : M itra Cendikia Press 6. Reeder, Js. 1997. Maternity Nursing, Eighteenth Edition, New York : Lippincoth Philadelphia 7. Prawirohardjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
ANALIS IS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM ( GAKY ) ( S tudi di Desa S ejati Kecamatan Camplong Kabupaten S ampang ) ANALYS IS OF FACTORS RELATED TO THE INCIDENT DIS RUPTION DUE TO LACK IODIZED (GAKY) (S tudies in the Village District True Camplong S ampang District) (1)
(1)
M och.Choirin Dosen STIKES Insan Se Agung
ABS TRAK Salah satu dari empat masalah gizi di Indonesia adalah Defisiensi Yodium. Kekurangan Yodium adalah sekelompok symptons yang terjadi karena kekurangan unsur yodium secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Iodine juga dibutuhkan oleh semua orang, terutama pada pertumbuhan janin, bayi dan teanager. Kekurangan Yodium akan menyebabkan pertumbuhan fisik terganggu dan kecerdasan yang rendah sehingga kualitas sumber daya manusia menjadi lebih buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor whici berhubungan dengan Kekurangan Yodium di Desa Sejat Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang (Desa Sejati, Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang). Ini adalah kasus kontrol penelitian survei analitik dengan pendekatan retrospektif. Populasi adalah ibu-ibu yang anak-anaknya menderita Defisiensi Yodium (70 kasus) dan orang-orang yang anaknya tidak menderita Defisiensi Yodium sebagai kelompok kontrol (70). M ereka akan diambil secara stratified random sampling proporsional. pengumpulan data dalam bentuk questinaire, wawancara, observasi dan pengujian garam. Analisis data dilakukan uji statistik regresi logistik. Berdasarkan hasil penelitian 0,05, dapat conluded bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan, sikap, tindakan dan makanan goitrogonic dikonsumsi oleh keluarga kelompok kasus dan kelompok kontrol. 94,3% keluarga tidak memiliki pengetahuan tentang garam beryodium yang terkait dengan Yodium Kekurangan, sikap setuju 52,85%, dan 87,85 tindakan keluarga adalah kesalahan dalam menyimpan dan menggunakan garam yodium dan 53,6 keluarga jarang mengkonsumsi zat goitronic. 68,2 orang-orang penting tidak memiliki pengetahuan tentang garam beryodium yang terkait dengan Kekurangan Yodium. Sikap 90,9% orang Penting setuju, penjual garam 70% tidak memiliki pengetahuan tentang garam yodium 70% setuju untuk yodium garam. 51,42% keluarga di Desa Sejati mengkonsumsi garam yodium sehari-hari. garam yodium 77,77% yang di Desa Sejati cukup baik dalam kualitas. Saran: kesehatan Continuous advokasi dan penyuluhan tentang garam beryodium perlu ditingkatkan sehingga dapat menurunkan prevalance Kekurangan Yodium di Desa Sejati Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang (Desa Sejati, KecamatanCamplongKabupatenSampang). Kata Kunci: Faktor, Defisiensi Yodium kejadian . ABS TRACT One of the four nutritional problems in Indonesia is Iodine Deficiency. Iodine Deficiency is a group of symptons which occur because of lack of Iodine elements continuously and in a long period. Iodine is needed by everyone, especially during the growth of fetus, baby and teanager. Iodine Deficiency will cause the physical growth disturbed and intelligence low so human resource qualities become worse. This research is aimed at analyzing the factors whici are related to Iodine Deficiency in Desa Sejat Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang (Sejati Village, Camplong Sub District Sampang Regency). This is a survey analytic case control research with retrospective approach. The population are the mothers whose children suffer from Iodine Deficiency (70 cases) and the ones whose children do not suffer from Iodine Deficiency as a control group (70). They are taken in propositional stratified random sampling. Data collection is in the forms of questinaire, interviews, observations and salt testing. Data analysis is done in the test of logistic regression statistics. Based on the result of research 0.05, it can be conluded that there is no correlation between knowledge, attitudes, acts and goitrogonic food consumed by the family of case group and that of control group. 94.3 % of the families do not have knowledge on Iodine salts related to Iodine Deficiency, attitudes 52.85 % agrees, and acts 87.85 of families are mistakes in storing and using Iodine salts and 53.6 of families seldom consume goitronic zat. 68.2 important people do not have knowledge on Iodine salts related to Iodine Deficiency . Attitudes 90.9 % Important people agree, 70% salt sellers do not have knowledge on Iodine salts 70% agree to Iodine salts. 51.42 % families in Desa Sejati consume Iodine salts everyday. 77.77% Iodine salts which are in Desa Sejati are good enough in quality. Suggestion: Continuous health advocating and conselling on Iodine salts need to be increased so that it can decrease Iodine Deficiency prevalance in Desa Sejati Kecamatan CamplongPENDAHULUAN Kabupaten Sampang (Sejati Village, Camplong Sub District Sampang Regency). Key Words: Factors, Iodine Deficiency occurances. JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Latar Belakang Tujuan Pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal serta berupaya untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Oleh sebab itu sebagai sasaran pembangunan masyarakat berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salah satu masalah kesehatan yang sampai saat ini diprioritaskan oleh pemerintah adalah masalah pangan dan gizi, mengingat masalah pangan dan gizi merupakan hal yang bersifat kompleks dan menyentuh kebutuhan dasar serta menyangkut hak asasi manusia sehingga memerlukan perhatian yang serius penanganannya. Di Indonesia dan negara berkembang lainnya masalah gizi utama didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemi Gizi Besi (AGB), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan Kurang Vitamin A (KVA). Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi keempat masalah penting tersebut (Supariasa, 2001). GAKY merupakan masalah yang serius mengingat dampak secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia yang mencakup, aspek perkembangan kecerdasan, aspek perkembangan sosial, dan aspek perkembangan ekonomi. Perkembangan selanjutnya istilah defisiensi yodium yang dahulu diidentikkan dengan Gondok Endemik dan Kretin diganti dengan istilah GAKY (Djokomoeljanto, 1996).Dampak GAKY akan menghambat tujuan pembangunan nasional karena berkaitan dengan penurunan kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan data UNDP tahun 2007 Human Development Index (HDI) Indonesia berada pada urutan 108 dari 177 negara, termasuk pada negara dengan level medium Human Development Index. Dampak negatif dari GAKY terhadap kelangsungan hidup manusia dapat terjadi mulai dari dalam kandungan hingga pada orang dewasa, jika dampak ini terjadi sejak masih dalam kandungan maka akan berisiko antara lain terjadinya keguguran (abortus), lahir mati, cacat bawaan,. Untuk mencegah hal itu terjadi maka upaya pendidikan kesehatan mengenai masalah GAKY serta pemberian keterampilan tentang cara untuk menguji kualitas garam beryodium yang benar dapat dilakukan sedini mungkin antara lain pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS). Wanita Usia Subur (WUS) adalah salah satu kelompok yang menjadi sasaran dalam upaya penanggulangan masalah GAKY. WUS mempunyai peranan penting dalam mempersiapkan calon generasi penerus yang berkualitas baik, oleh karena itu upaya penanggulangan GAKY sebaiknya dilakukan pada tahap ini sebelum WUS tersebut merencanakan kehamilan atau memasuki tahap rumah tangga baru. Upaya pencegahan GAKY pada kelompok WUS bertujuan untuk mencegah terjadinya defisiensi yodium yang akan mengakibatkan masalah pada tumbuh kembang WUS tersebut, juga untuk mencegah timbulnya akibat yang merugikan khususnya kelahiran bayi kretin.
Hasil pemetaan GAKY nasional pada tahun 1998 prevalensi gondok di Jawa Timur cukup tinggi, dari 37 kabupaten / kota yang ada semuanya termasuk daerah endemik gondok, meskipun termasuk endemik ringan dan sedang. Demikian juga hasil survei GAKY tahun 1999 di Kabupaten Sampang menunjukkan bahwa dari 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Sampang prevalensi TGR bervariasi dari yang terendah 1,6 % di Kecamatan Sreseh sampai yang tertinggi 25,5 % di Kecamatan Robatal. Namun setelah berselang 5 tahun terjadi suatu perubahan yang cukup memprihatinkan, hal ini dapat dilihat hasil tahun 2004 menunjukkan bahwa rata – rata prevalensi TGR kabupaten Sampang termasuk endemik berat (32,1 % ) Oleh karena itu perlu dilakukan upaya penanganan terhadap masalah ini agar dampak yang akan ditimbulkan tidak menjadi lebih parah lagi. Secara geografis Kabupaten Sampang khususnya wilayah selatan dan utara termasuk daerah pantai yang banyak menghasilkan aneka ragam hasil laut yang seharusnya kaya dengan kandungan yodium, Bahkan di wilayah selatan yakni di desa Sejati Kecamatan Camplong, selain penduduknya banyak yang menjadi nelayan di desa tersebut juga terdapat gudang dan pabrik garam, namun data yang ada menunjukkan bahwa desa Sejati termasuk daerah endemik berat dengan prevalensi TGR 36,7 %. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Desa Sejati Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Dari hasil Skrining yang dilakukan terhadap siswa kelas 2 sampai kelas 6 SDN dan M adrasah Ibtidaiyah Desa Sejati tanggal 3 sampai 10 Nopember 2007 terhadap 438 siswa yang diperiksa terdapat 102 anak mengalami pembesaran kelenjar tiroid ( TGR 23,28 % ). Batasan M asalah M asalah penelitian dibatasi pada ” Analisis faktor - faktor yang berhubungan dengan kejadian GAKY di Desa Sejati Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang “ Tujuan umum : Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis faktor yang berhubungan dengan kejadian GAKY di kecamatan Camplong Kab.Sampang. Tujuan khusus : 1. M enganalisis hubungan pengetahuan keluarga tentang garam yodium dengan kejadian gaky 2. M enganalisis hubungan sikap keluarga tentang garam yodium dengan kejadian gaky 3. M enganalisis hubungan pola konsumsi garam dalam keluarga dengan kejadian gaky 4. M enganalisis hubungan bahan makanan mengandung zat goitrogenik yang sering dikonsumsi keluarga dengan kejadian gaky 5. M endiskripsikan pengetahuan dan sikap penjual garam tentang garam yodium dan gaky 6. M endiskripsikan pengetahuan dan sikap tokoh masyarakat tentang garam yodium dan gaky 7. M endiskripsikan alur peredaran garam beryodium sampai ke masyarakat 8. M endiskripsikan kualitas garam yodium yang beredar
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian Termasuk penelitian dengan metode survei analitik, Berdasarkan jenis pendekatannya termasuk survey case Kontrol (retrospective). 2. Populasi penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah 1) ibu yang anaknya menderita gaky yang berjumlah 102 anak. 2) ibu yang anaknya tidak menderita gaky (sebagai Kontrol) yang ada di Desa Sejati 3. S ampel dan besar sampel Besar sampel ditentukan dengan menggunakan rumus :
n
n
Z1
/2
2 P2* (1 P2* ) Z1 P1*
P1* (1 P2*
2
dan pengisian kuesioner terhadap 10 tokoh informal dan 10 tokoh formal 3) Untuk memperoleh gambaran distribusi garam yodium di tingkat penjual / warung di desa, dilakukan wawancara terhadap seluruh warung / penjual garam yang ada di desa Sejati. 4) Untuk mengetahui mutu garam yang ada dilakukan test garam yang dikonsumsi keluarga di rumah 7. Analisis Data Dengan menggunakan tabel distribusi silang dilanjutkan dengan uji statistik Regresi logistik menggunakan program komputer SPSS 11.5 for Windows, dengan ketentuan H1 diterima jika p hitung lebih kecil dari 0,05 % 8. Lokasi dan waktu penelitian . 2 * : penelitian dilaksanakan di Pa.1* ) P2*Lokasi (1 Ppenelitian ) 2 Desa Sejati wilayah kerja Puskesmas camplong kecamatan Camplong, Kab.Sampang b. Waktu penelitian : penelitian dilaksanakan selama 1 bulan yaitu mulai bulan Pebruari 2008 sampai M aret 2008
1,3859 1,28 (0,2328 )(0,7672 ) (0,5)(0,5)
2
(0,2328 0,5) 2
1,3859 0,8379 0,2672
2
2
Hasil Penelitian 1.Data pengetahuan responden
4,93555 0,2672 2 = 69,265 = 70 4. Teknik sampling Cara pengambilan sampel menggunakan probability / acak dalam bentuk proporsional stratified random sampling . 5. Variabel penelitian a. Variabel bebas terdiri : 1) Pengetahuan keluarga / ibu 2) Sikap keluarga 3) Pola konsumsi garam 4) Konsumsi Zat goitrogenik 5) Pengetahuan tokoh masyarakat 6) Sikap tokoh masyarakat 7) Pengetahuan penjual garam 8) sikap penjual garam 9) Alur peredaran garam 10) Kualitas garam b. Variabel tergantung : Kejadian gaky 6. Prosedur pengambilan dan pengumpulan data 1) Untuk memperoleh gambaran pengetahuan , sikap dan tidakan keluarga dalam penggunaan garam beryodium serta makanan yang mengandung zat goitrogenik , dilakukan observasi, wawancara dan penyebaran kuesioner terhadap ibu ibu rumah tangga 2) Untuk memperoleh gambaran pengetahuan dan sikap tokoh masyarakat berkaitan dengan garam beryodium dan kejadian gaky,dilakukan wawancara
Tabel 3 Tabulasi silang antara pengetahuan responden kelompok Kasus dan kelompok kontrol tentang garam yodium di desa S ejati Pebruari 2008 Kelompok Tingkat pengetahuan
Total
kurang
%
cukup
%
Baik
%
Kasus
67
95,7
2
2,85
1
1,43
Kontrol
65
92,8
3
4,30
2
2,85
70
100
Total
132
94,3
5
3,6
3
2,1
140
100
Uji statistic Regresi Logistik 0,05
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
α = 0,05
n 70
% 100
p = 0,725 > α =
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
2.Data sikap responden
4. Data Makanan zat Goitrogenik yang sering
Tabel 4 Tabulasi silang antara sikap responden kelompok kasus dan kelompok Kontrol tentang garam yodium di desa S ejati Pebruari 2008 Kelomp Sikap total
dikonsumsi keluarga .
ok
Setuj
%
u
Tida
%
n
%
Tabel 6.Tabulasi silang antara makanan mengandung zat goitrogenik antara kelompok kasus dan kelompok Kontrol di desa S ejati bulan Pebruari 2008 Kelomp M akanan mengandung zat total ok
k
goitrogenik Serin
setuj
39
55,7
31
44,2
2 Kontrol
35
50
70
8 35
50
Kasus
10
29
41,4
74
52,9
66
47,1
Kontrol
10
α = 0,05
Uji statistic Regresi
14
10
0
0
36
51,4
r Kasus
7
Sala
%
n
63
90
%
70
10
14,2
60
85,7
8 Total
17
12,1
Uji statistic Regresi Logistik
70
2 123
87,9
α = 0,05
58,5
70
10
7 34
48,5
0 70
10
7 75
53,6
α = 0,05
0 14
10
0
0 p=
0,207 > α = 0,05
Tabel 7
No
Distribusi frekuensi berdasarkan tingkat pengetahuan responden penjual garam di Desa S ejati bulan Pebruari 2008. Tingkat Jumlah % pengetahuan
1
Baik
3
30
2
Kurang
7
70
Total
10
100
10 0
Kontrol
41
5. Data pengetahuan penjual garam
h 10
46,4
Logistik
yodium %
65
Uji statistic Regresi
Tabel 5 Tabulasi silang antara pola konsumsi garam yodium kelompok kasus dan kelompok Kontrol di desa S ejati bulan Pebruari 2008 Kelomp Pola konsumsi garam total
Bena
Total
p=
3. Data pola konsumsi garam yodium responden
ok
%
3
0,255 > α = 0,05
Logistik
n
3
0 70
%
g
0 Total
Jaran
g
u Kasus
%
6.
10
Data sikap penjual garam tentang garam yodium kaitannya dengan gaky
0 14
10
0
0 p=
0,519 > α = 0,05
Tabel 8. Distribusi frekuensi berdasarkan sikap penjual garam tentang garam yodium di Desa S ejati bulan Pebruari 2008 No Sikap penjual Jumlah % garam
7.
1
Setuju
7
70
2
Tidak setuju
3
30
total
10
100
Data pengetahuan tokoh masyarakat tentang garam yodium kaitannya dengan gaky
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Tabel 9. Distribusi frekuensi pengetahuan tokoh masyarakat tentang garam yodium kaitannya dengan gaky di Desa S ejati Pebruari 2008. No Tingkat Jumlah % pengetahuan 1
Baik
7
31,8
2
Kurang
15
68,2
Total
22
100
No
Kandungan
Jumlah
%
yodium 1
Cukup
46
63,9
2
Kurang
26
36,1
3
Tidak ada
0
0
Total
72
100
PEMBAHAS AN 8.
Data sikap tokoh masyarakat tentang garam yodium kaitannya dengan gaky
Tabel 10. Distribusi frekuensi berdasarkan sikap tokoh masyarakat tentang garam yodium kaitannya dengan gaky di Desa S ejati Pebruari 2008. No Sikap tomas Jumlah % 1
Setuju
20
90.9
2
Tidak setuju
2
9,1
Total
22
100
9. Alur peredaran garam di Desa S ejati PRODUSEN GARAM
DISTRIBUTOR
GARAM T AMBAK GARAM
PEDAGANG KELILING (MOBIL)
PASAR
15 %
T OKO /SUB AGEN
WARUNG
KONSUM E N
Gambar : 1 Alur peredaran garam dari produsen sampai ke konsumen Di Desa S ejati tahun 2008. 10. Kualitas garam dimasyarakat
yodium
yang
beredar
Tabel 11. Distribusi frekuensi kadar yodium pada garam yodium yang beredar di Desa S ejati Pebruari 2008
1. Kejadian gaky Ada dugaan bahwa pada masa sekarang , konsumsi makanan pada generasi muda mulai bergeser kepada protein bersumber daratan, misalnya telur ayam, daging ayam , daging sapi dimana kadar yodium hewan tersebut jauh lebih rendah bila dibandaningkan dengan bahan makanan yang bersumber dari hasil laut (marine based), Hal ini sesuai dengan pendeapat Hetzel (1987) bahwa ikan laut / cumi - cumi kadar yodiumnya sangat tinggi bila dibandingkan dengan makanan bersumber dari daratan. Selain itu garam beryodium yang dikonsumsi baru 51,42 % suatu jumlah yang masih jauh dari target yang diharapkan pada tahun 2010 , yakni konsumsi garam yodium > 30 ppm mencapai 90 % (Dep Kes RI 2001). Sedangkan 25 – 30 tahun yang lampau ketika generasi orang tua mereka pada usia yang sebaya dengan mereka , tingkat konsumsi proteinnya lebih kaya yodium , karena bersumber kelautan yaitu ikan laut meskipun saat itu garam yang digunakan belum mengandung yodium. Sedangkan penurunan dari kategori endemik berat ke kategori endemik sedang dugaan peneliti adalah disebabkan karena 1) meningkatnya mobilitas penduduk akibat perbaikan sarana dan prasarana transportasi sehingga banyak penjaja makanan yang keluar masuk desa / kampung , seperti penjual bakso, roti, pentol dan lain lain dimana mereka telah menggunakan bahan penyedap / garam beryodium. 2) meningkatnya konsumsi makanan instant khususnya mie instan yang juga menggunakan garam yodium. 3) serta adanya program garam beryodium pemerintah, walaupun belum seluruh masyarakat memngetahui / melaksanakannya. 2 Hubungan antar variabel kasus dan variabel Kontrol Berdasarkan hasil uji statistik Regresi Logistik dari ke 4 ( empat ) variabel yang diteliti yaitu variabel pengetahuan , variabel sikap, variabel pola konsumsi garam yodium serta variabel makanan mengandung zat goitrogenik didapatkan hasil bahwa P hitung dari ke 4 variabel tersebut semuanya lebih besar dari 0,05 . sehingga H 1 ditolak, dengan demikian berarti tidak ada hubungan antara ke 4 variabel pada kelompok kasus dengan kelompok Kontrol tersebut dengan kejadian gaky di Desa sejati kecamatan Camplong. Hal ini disebabkan karena : 1) Selain variabel tersebut masih ada variabel lain yang dapat menyebabkan terjadinya gaky , dimana variabel tersebut tidak termasuk variabel dalam penelitian ini, misalnya keturunan, sesuai dengan pendapat Noor
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Nasri Noor (1997) bahwa ada hubungan garis keturunan dan antar keluarga yang jelas pada penyakit gondok, Diabetes dan asma serta dipengaruhi juga oleh cara hidup atau sosial. 2) Populasinya hanya satu desa, dimana antara variabel kasus dan Kontrol sangat homogen baik dalam hal perilaku , keadaan geografis , social budaya dan lain sebagainya.oleh karena itu kemungkinan faktor lain seperti kerentanan / kekebalan individu sangat mempunyai peranan yang cukup dominan dalam menimbulkan gaky di Desa Sejati . 3 Hubungan pengetahuan dengan kejadian gaky Tingkat pengatahuan ibu yang rendah dapat menyebabkan pemilihan bahan pangan yang salah misalnya sering mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung zat goitrogenik atau pemilihan serta penggunaan garam yang salah sehingga dapat mempertinggi resiko terjadinya gaky. Pengetahuan ibu rumah tangga yang kurang akan dapat menimbulkan beberapa macam permasalahan seperti pemilihan jenis makanan yang kurang beragam, cara memperlakukan bahan dalam pengolahan yang tidak benar sehingga banyak zat gizi yang hilang (Khumaidi, 1994) 4 Hubungan sikap dengan kejadian gaky Alasan yang setuju dengan penggunaan garam yodium pada umumnya setelah mereka tahu akibat bila kekurangan yodium, sedangkan yang tidak setuju umumnya karena garam grosok lebih mudah didapat , mudah digunakan, harganya murah, sedangkan alasan kualitas garam yang baik belum menjadi pertimbangan utama. Pendapat Azwar S, (2000) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah (1) Pengalaman pribadi, apa yang telah/sedang dialami mempengaruhi atau sebagai dasar terbentuknya sikap. (2) Pengaruh orang lain; orang sekitar kita merupakan komponen sosial yang mempengaruhi sikap. (3) Pengaruh kebudayaan ; budaya dimana ia tinggal berpengaruh terhadap pembentukan sikap. (4) M edia massa ; media massa mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan kepercayaan orang yang berpengaruh pula terhadap pembentukan sikap. (5) Lembaga pendidikan; Lembaga pendidikan termasuk lembaga agama mempunyai pengaruh terhadap pembentukan sikap karena keduanya meletakkan konsep moral dalam diri individu. (6) Pengaruh emosional; 5 Hubungan tindakan /pola konsumsi garam yodium dengan kejadian gaky Kebiasaan ini terbentuk secara turun temurun dari generasi ke generasi. suatu pola konsumsi pangan diperoleh karena terjadi berulang-ulang (food consumptive behavior). Kebiasaan makan juga menunjukkan tindakan manusia. (What people do and practice) terhadap makan dan makanan diperuhi oleh pengetahuan (what people think) dan perasaan (what people feel) serta persepsi (what people perceive) tentang hal itu. Garam beryodium merupakan salah satu intervensi yang diharapkan secara jangka panjang dapat mengurangi prevalensi GAKY. Dengan kata lain bahwa masyarakat dituntut untuk merubah kebiasaan yang telah bertahun tahun mereka kerjakan, sedangkan
mereka merasa tidak ada masalah dengan tindakannya, sehingga sebagian masyarakat ada yang tidak setuju dengan cara yang baru / ada yang mengerjakan dengan terpaksa, hal ini mengingat keuntungan yang didapatkan dari perubahan tersebut / mengkonsumsi garam yodium tidak dirasakan secara langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Sebagian keluarga memasak garam dengan cara memasukkan garam pada makanan yang belum matang atau diulek bersama dengan bumbu. M enurut Arhya (1996) penggunaan bumbu-bumbu untuk memasak seperti cabai, merica, ketumbar, asam atau cuka akan menurunkan kandungan kadar yodium. 6 Hubungan makanan mengandung zat goitrogenik dengan kejadian gaky M eskipun masyarakat desa Sejati jarang mengkonsumsi zat goitrogenik, namun masyarakat Desa Sejati juga jarang mengkonsumsi sumber makanan yang berasal dari hasil laut yang kaya akan kandungan yodium, meskipun sebagian masyarakatnya bekerja sebagai nelayan, Hal ini disebabkan karena pengaruh sistem perekonomian / tata niaga yang ada, serta demi pemenuhan kebutuhan pokok yang lain sehingga sebagian besar hasil tangkapan ikan langsung dijual dipasar, bahkan ada yang sudah dijual pada tengkulak di tengah laut, akibatnya mereka jarang mengkonsumsi ikan laut, kalaupun ada tapi yang kualitasnya kurang baik atau sisa, sedangkan yang kualitasnya lebih baik dijual ke pengepul untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain,dan masyarakat sendiri malah banyak yang membeli tahu, tempe serta telur ayam buras yang banyak dijual dipasar setempat. Di daerah endemik gondok kebanyakan masyarakatnya lebih banyak mengkonsumsi makanan nabati dengan kuantitas dan frekuensi cukup besar dibandingkan dengan makanan hewani, hal ini berpengaruh pada asupan y odium yang sedikit dalam tubuh. 7 Pengetahuan penjual garam S elama ini peraturan Daerah tentang larangan pengedaran garam yang tidak beryodium oleh pemerintah daerah Kabupaten sampang belum di sosialisasikan kepada masyarakat khususnya para pedagang garam, sehingga pedagang garam di wilayah ini memasok garam hanya berdasarkan penyediaan komoditi dan kebutuhan konsumen. 8. S ikap penjual garam Berdasarkan tabel 5.21 diketahui bahwa 70 % penjual garam di desa Sejati bersikap setuju / mendukung tentang penggunaan garam yodium dan 30 % yang menolak, sikap 70 % penjual garam yang mendukung ini adalah para penjual garam di warung / toko yang garam dagangannya kulaan dari mobil keliling atau sub agen garam, sedangkan yang menolak adalah para penjual garam yang berjualan garam di pasar yang mendapatkan garamnya dari petani garam yang ada di daerahnya.jadi sikap mendukung / menolak disini terkait dengan mata pencaharian hidup sehari hari, mengingat berjualan garam dipasar merupakan sumber pendapatan keluarga sehari hari maka anjuran menjual garam yodium dianggap sebagai ancaman , sehingga pada waktu peneliti menanyakan tentang garam yang dijual ( dipasar) agak mengalami kesulitan.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
9. Pengetahuan tokoh masyarakat . Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan promosi kesehatan tentang gaky belum dilaksanakan sampai ke desa desa, berdasarkan keterangan dari tokoh masyarakat setempat kira – kira 6 bulan yang lalu pernah diadakan sosialisasi tentang anjuran menggunakan garam yodium oleh bidan desa setempat setelah Desa ini menjadi desa Siaga, namun hanya sekedar anjuran menggunakan garam yodium yang gunanya untuk mencegah penyakit gondok tetapi tidak dijelaskan secara detail tentang dampak yang lain akibat kekurangan yodium seperti dapat menyebabkan keguguran, cacat bawaan, serta dampak terhadap kecerdasan anak. Bila ditinjau dari teori Inovation Decision Proces, keadaan tokoh masyarakat didesa Sejati saat ini berada pada tahap pengertian (Knowledge) dimana individu baru mengenal sesuatu yang baru (inovasi) dari orang lain dan telah memperoleh pengertian tentang inovasi tersebut. Keadaan ini bisa berlanjut pada tahap persuasi, tahap pengambilan keputusan, sampai tahap pemantapan bila rangsangan / stimuli yang berupa informasi terus menerus diberikan . 10. S ikap tokoh masyarakat Pada umumnya masyarakat desa Sejati mendukung terhadap program pemerintah tentang anjuran menggunakan garam yodium, Perubahan sikap akan terjadi akaibat dari proses yang dinamakan internalisme yaitu perubahan yang diintegrasikan dengan dirinya, ada kelompok lain yang dipercayai yaitu kelompok para ahli yang memberikan pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan penggunaan garam yodium, namun tidak semua orang dapat mengaplikasikan sikapnya dengan baik terutama jika reference group kurang representatif untuk diikuti. 11. Alur peredaran garam di masyarakat Dari hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa masyarakat yang membeli garam ditoko / warung pada umumnya menggunakan garam yodium untuk keperluan memasak, mengingat semua warung yang menjual garam hanya menjual garam yodium. Sedangkan yang membeli dipasar sebagian besar menggunakan garam grosok, mengingat dari 4 orang penjual garam yang ada di pasar hanya 1 orang yang menjual garam beryodium , sedang yang 3 orang berjual garam grosok. 12. Kualitas garam yang beredar di masyarakat dari 72 keluarga yang menggunakan garam yodium kandungan yodium dalam garam yang digunakan 63,9 % baik dan 36,1 % kurang. Hal ini disebabkan karena cara penyimpanan garam yang salah, yaitu disimpan pada wadah yang terbuka, sehingga garam menjadi lembab, sehingga dapat mengurangi kadar yodium karena yodiumnya terjadi penguapan . Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Tidak ada hubungan antara .pengetahuan ibu tentang garam yodium dengan kejadian gaky di desa Sejati
2.
1.
1)
2)
3)
4)
Tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang garam yodium dengan kejadian gaky di desa Sejati Kecamatan Camplong Sampang.. 3. Tidak ada hubungan antara sikap ibu tentang garam yodium dengan kejadian gaky di desa Sejati Kecamatan Camplong Sampang. 4. Tidak ada hubungan antara pola konsumsi ibu tentang garam yodium dengan kejadian gaky di desa Sejati Kecamatan Camplong Sampang. 5. Tidak ada hubungan antara makanan zat goitrogenik yang dimakan keluarga dengan kejadian gaky di desa Sejati Kecamatan Camplong Sampang. 6. Pengetahuan penjual garam tentang garam yodium kaitannya dengan gaky sebagian besar ( 70 % ) kurang. 7. Sikap penjual garam tentang garam yodium kaitannya dengan gaky sebagian besar ( 70 % )setuju atau mendukung penggunaan garam yosium. 8. pengetahuan tokoh masyarakat tentang garam yodium kaitannya dengan gaky sebagian besar ( 68,2 ) kurang. 9. Sikap tokoh masyarakat tentang garam yodium kaitannya dengan gaky sebagian besar (90,9 %) setuju dengan penggunaan garam yodium 10. Garam yang dikonsumsi keluarga 50 % membeli di warung / toko, 35 % membeli di pasar dan 15 % memperoleh langsung dari petani tambak / gudang garam yang ada di Desa Sejati. 11. Kualitas garam yodium yang beredar dimasyarakat sebagian besar (63,9 % ) cukup baik. S aran Dinas Kesehatan hendaknya mengadakan Advokasi kepada pemerintah daerah Kabupaten Sampang agar : M enjalin kemitraan dengan pemimpin sektor swasta atau pengusaha dan LSM , misalnya dalam bentuk subsidi garam yodium sehingga penanggulangan gaky menjadi tanggung jawab bersama. Dinas pendapatan dan pengelolaan pasar kabupaten sampang dapat berperan secara aktif dalam melakukan pengawasan terhadap garam yang beredar dipasar, dengan mengadakan pembinaan kepada setiap pedagang yang mengedarkan garam tidak beryodium untuk konsumsi manusia, dan menyediakan alat “mini” yodisasi dipasar agar garam grosok yang ditemukan dapat diyodisasi ditempat. M enyebarluaskan Peraturan Daerah yang mengatur tentang larangan dan memberi sangsi yang tegas bagi pihak yang mengedarkan maupun menggunakan garam konsumsi yang tidak beryodium. M eningkatkan pengetahuan, tentang garam beryodium pada ibu rumah tangga, anak sekolah dasar, guru, penjual garam, dan tokoh masyarakat, sebaiknya promosi kesehatan dilakukan dengan menggunakan komunikasi interpersonal secara terus menerus, sehingga penerimaan masyarakat terhadap garam yodium lebih cepat.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
5)
2.
Pembangunan yang dijalankan terutama dibidang pertanian hendaknya berwawasan kesehatan / Healthy Public Policy. M engingat posisi penjual garam sangat strategis dalam peredaran garam beryodium, hendaknya kegiatan sosialisasi tentang GAKY dan garam beryodium pada kelompok ini perlu dilakukan lebih instensif .
Kemungkinan Penelitian. Semarang : Penerbit Undip 13.
Hartono, I.R. (2003) Diagnostic Bentuk Ringan dari Kretin Endemik, Jurnal GAKY Indonesia Volume 4. Nomor 2. April 2003
14.
Hetzel, B.S (1987) , An Overview of the Prevention and Control of Iodine Deficiency Disorders, Elsevier Amsterdam –New York- Oxford.
15.
M antra.IB, (1994) , Perencanaan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Dep Kes RI
DAFTAR PUS TAKA 1.
2.
Adriani,M ,Bambang W. (1999). Identifikasi permasalahan Gangguan Akibat kekurangan akibat yodium di Daerah Perkotaan. Surabaya : Lembaga Peneletian Universitas Airlangga Arhya, (1996), Kendala – kendala Penggunaan Garam Beryodium di Indonesia, M akalah dipresentasikan pada pertemuan Nasional Gaky, Semarang
3. teori dan Jokyakarta. 4.
Azwar,S.(2000). Sikap manusia , pengukurannya, pustaka pelajar,
Anonim ,(1993). Universal Salt Lodation As the Main Strategy To Elliminate Lodine Deficiency Disordes (kumpulan Simposium GAKY) Semarang, Badan penerbit Undip.
5.
Benny S, (2004). Laporan Akhir Penelitian Penyebaran Gaky Kabupaten Sampang.
6.
Benny S. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (Gaky). Akademi Gizi Surabaya.
7.
Berg A ,(1986). Peranan Gizi Dalam Pengembangan Nasional. Jakarta : CV Rajawali
8.
Depkes. (1999). Indonesia Sehat 2010 : visi baru, Visi Kebijakan Dan Strategis Pengembangan Kesehatan, Jakarta
9.
(1995). Petunjuk Pelaksanadan Pemberian Kapsul MInyak Beryoduim. Jakarta : Direktorat Bina Gizi M asyarakat.
10.
Gaitan E,(1980), Goitrogensln Ethiology Of Indemic Goitre. In Stambury and Hetzel (Eds), Endemik Goitre And Endemik Cretinism. Iodine Nutrition In Health and Disease.Jhon Willey and Son ,Toronto
11.
Gunanti, I.R, (1999), Pola Konsumsi Pangan Kaitannya Dengan kejadian Gondok Pada Anak Sekolah Dasar Di Daerah Pantai , Thesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
12.
Djokomoeljanto, R.,(1996) Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium : Pengamatan Seperempat Abad Terbukanya
16. M uhilal dan R Iriani. (1985) Cara Sederhana Deteksi Kandungan Yodium Dalam Garam. Jurnal Gizi Indonesia. Volume X. Nomor 2.1985 17. M .Khumaidi, (1994), Gizi Masyarakat, PT BPK Gunung M ulia 18. Noor .NN, (1997), Dasar Epidemiologi, Jakarta, PT Renika Cipta . 19. Notoatmodjo S (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta 20.
(2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
21. picauly, I, 2002. Iodium dan Gangguan akibat Kekurangan Iodium (GAKI). 22. http://rudyct.topcities.com//pps702/int je picauly.htm 23. Rogers, Everett.M . (1987), Diffution of Innovations Thind Edition , New York, the free press Adiv of M acmilan Publising, Co.Inc. 24. Supariasa I. D. N, dkk.(2001). Penelitian Status Gizi Jakarta: Penerbit ECG. 25. Tim Penanggulangan (TP) GAKY Pusat. 2003. Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program Penanggulangan GAKY. http://www.gizi.net.gaky/exit%20gaky.pdf. 26. UNDP. 2007 Monitoring Human Development Reports: 2007. 27. http://www.hdr.undp.org/reports/global/2007/pdf.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
FAKTO R- FAKTO R YANG MEMPENGARUHI PERNIKAHAN DINI PADA REMAJA DI DESA BATANG-BATANG DAYA KABUPATEN SUMENEP (1)
Eva Widhiana, (2) A’im M atun Nadhiroh M ahasiswa STIKES Insan Unggul Surabaya (2) Dosen STIKES Insan Unggul Surabaya
(1)
ABS TRAK Indonesia masih banyak yang berpandangan bahwa lebih baik menikah muda, kemudian menjadi janda dari pada terlambat menikah, apabila seorang wanita terlambat menikah, hal itu merupakan suatu keadaan yang belum diterima secara baik oleh anggota M asyarakat. Angka pernikahan usia dini di Pulau Garam (M adura) tergolong tinggi. Berdasarkan data yang di dapat dari berbagai Kabupaten di Jawa Timur pernikahan usia dini terbanyak di M adura sebanyak 23,2 % bahkan hampir merata di empat Kabupaten seperti Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan. Pernikahan dini sering disebabkan oleh faktor sosial budaya dan pendidikan yang dikarenakan faktor ekonomi relatif rendah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja di Desa Batang – batang Daya Kabupaten Sumenep (1) Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi penelitian adalah remaja usia 17-21 tahun sebanyak 122 orang dengan besar sampel yang digunakan adalah 93 responden, teknik pengambilan sampelnya yaitu Simple Random Sampling. Analisis data menggunakan uji Regresi Logistik Ganda dengan taraf signifikasi 0,05 Dari hasil penelitian berdasarkan distribusi frekuensi didapatkan mayoritas usia remaja 17-18 tahun sebanyak 55 orang (59,1%), mayorits pekerjaan orang tua wiraswasta sebanyak 69 orang (74,2%), pendidikan kurang mayoritas sebanyak 59 responden (63,4%), sosial budaya yang mendukung mayoritas sebanyak 68 orang (73,1%), sosial ekonomi kurang mayoritas sebanyak 66 (70,9%), pengetahuan kurang mayoritas sebanyak 65 orang (69,9%) dan yang melakukan pernikahan dini mayoritas sebanyak 62 orang (66,7%). Dari hasil uji Regresi Logistik Ganda didapatkan hasil P<α maka H 0 di tolak berarti ada pengaruh faktor pendidikan, sosial budaya terhadap pernikahan dini pada remaja dan P>α maka H 0 diterima berarti tidak ada pengaruh sosial ekonomi, pengetahuan terhadap pernikahan dini pada remaja. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa ada pengaruh faktor pendidikan, sosial budaya, sosial ekonomi, pengetahuan terhadap pernikahan dini pada remaja di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep. Sebagai tenaga kesehatan kita dapat memberikan penyuluhan kepada keluarga dan remaja tentang pernikahan dini, dampak pernikahan dini dari segi kesehatan reproduksi dan segi psikologi. Upaya penyelesaian berupa solusi tentunya harus ada pendekatan antara tenaga kesehatan dan keluarga agar hasilnya dapat maksimal. Kata Kunci : Pendidikan, S osial Budaya, S osial Ekonomi, Pengetahuan, Pernikahan Dini. ABS TRACT Indonesia still many who believe that it is better to marry young, then became the widow of the late marriage, late marriage when a woman, it is a situation that has not been well received by members of the Society. Figures for early marriage on the island of Salt (M adura) is high. Based on data obtained from various districts in East Java early marriage ever as much as 23.2%, M adura, and even almost evenly in the four districts like Sumenep, Pamekasan, Sampang and Bangkalan. Early marriage is often caused by socio-cultural and educational factors are relatively low due to economic factors. The purpose of this study was to determine the factors that influence early marriage among adolescents in the village of Batang - Power trunk Sumenep The design used in this study are cross sectional analytical approach. The study population is 17-21 year olds as much as 122 people with a large sample used is 93 respondents, the sample loading technique that is Simple Random Sampling. Data analysis using M ultiple Logistic Regression test with significance level 0.05 From the results of research based on the frequency distribution is obtained the majority of adolescents aged 17-18 years as many as 55 people (59.1%), mayorits parents work as many as 69 people self-employed (74.2%), education is less a majority of 59 respondents (63.4% ), social culture that supports the majority of as many as 68 people (73.1%), social economics is less a majority of 66 (70.9%), knowledge about the majority of as many as 65 people (69.9%) and who perform the majority of early marriages were 62 people (66.7%). From the M ultiple Logistic Regression test results found that the result P <α then reject H0 means no influence on educational factors, socio-culture of early marriage in adolescents and P> α then H0 accepted means no influence of socioeconomic, knowledge of early marriage among adolescents. Based on the analysis concluded that there is influence of educational factors, socio-cultural, socioeconomic, knowledge of early marriage among adolescents in the village of Daya rods Sumenep. As health workers we can provide counseling to families and adolescents about early marriage, early marriage impacts in terms of reproductive health and psychological aspects. Efforts completion of course there must be a solution approach between health workers and family so the results can be maximized. Keywords: Education, S ocial, Cultural, S ocial, Economic, S cience, Early Marriage.
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
PENDAHULUAN Indonesia masih banyak yang berpandangan bahwa lebih baik menikah muda, kemudian menjadi janda dari pada terlambat menikah. Apabila seorang wanita terlambat menikah, hal itu merupakan suatu keadaan yang belum diterima secara baik oleh anggota masyarakat. Banyak di daerah pedesaan, pernikahan sering kali dilakukan segera setelah anak perempuan mandapat haid pertama. Padahal pernikahan usia muda berarti mendorong remaja untuk melewati tahapan tugas perkembangannya, menjalani peran sebagai dewasa tanpa memikirkan kesiapan fisik, mental dan sosial si pengantin (Walgito, 2004). Pernikahan dini sering disebabkan oleh pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan. Sementara pernikahan dini banyak disebabkan oleh faktor sosial budaya dan kurangnya kesempatan pendidikan yang dikarenakan faktor ekonomi relatif rendah. M enurut Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Propinsi Jawa Timur yang menjadi pemicu banyaknya warga M adura melakukan perkawinan diusia dini karena faktor pendidikan. Kebanyakan mereka itu warga pedesaan 60% dari total jumlah penduduk M adura, dan yang tertinggi di kabupaten Sumenep (Syarifuddin, 2009). Pada masyarakat yang berpendidikan rendah dan keadaan ekonomi yang kurang, faktor ekonomi menjadi pendorong dilaksanakannnya pernikahan dini, dengan melakukan pernikahan diharapkan status ekonomi atau taraf hidup dapat terangkat menjadi lebih baik serta kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Seharusnya pernikahan dini pada saat ini dihindari mengingat dampak negatif dari pernikahan tersebut yang tidak sedikit. Banyak pengalaman sosial menyatakan bahwa banyak rumah tangga yang bermasalah atau tidak dapat mendidik anak dengan baik karena ibu dan bapaknya masih belum cukup umur, belum cukup umur disini berarti usia mereka dianggap belum dewasa atau masih remaja (Kusumawati, 2005). Pernikahan usia dini di bawah 15 tahun, mempunyai risiko cukup tinggi bagi kesehatan perempuan, terutama pada saat hamil dan melahirkan. Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Balikpapan Husada (RSBH) dr Ahmad Yasa, SpOG yang dikutip oleh Atriana mengatakan perempuan yang menikah di usia dini memiliki banyak risiko, meskipun sudah mengalami menstruasi atau haid. Rata-rata penderita infeksi kandungan dan kanker mulut rahim adalah wanita yang menikah di usia dini yaitu di bawah usia 19 atau 16 tahun. Untuk risiko kebidanan hamil di bawah usia 19 tahun bisa berisiko pada kematian, selain kehamilan di usia 35 tahun ke atas. Risiko lain hamil di usia muda juga rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur dan premature di masa kehamilan. Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan (Atriana, 2007) Tujaun penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan dini pada
remaja di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep.
TINJAUAN PUS TAKA Konsep Dasar Remaja M enurut Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU No. 4/1979), menganggap semua orang di bawah usia 21 tahun dan belum menikah sebagai anak-anak. Oleh karena itu, berhak mendapat perlakuan dan kemudahankemudahan yang diperuntukkan bagi anak, misalnya; pendidikan, perlindungan dari orang tua, dan lain-lain (Sarwono, 2006). Remaja menurut WHO Tahun 1974 yang dikutip oleh Sarwono (2006), memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Remaja atau istilah adolescence berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitif demikian pula orang-orang zaman purbakala, memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock, 2002). Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja (adolescence) merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanakkanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja ini berkisar antara usia 12 tahun atau 13-21 tahun. Untuk menjadi orang dewasa, maka remaja akan melalui masa krisis dimana remaja berusaha untuk mencari identitas diri. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2002) adalah : 1) M asa Remaja Sebagai Periode Yang Penting Semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibatakibat jangka panjangnya. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Pada periode remaja keduaduanya sama-sama penting. 2) M asa Remaja Sebagai Periode Peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah, dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Apabila anak-anak beralih dari masa kanakkanak ke masa dewasa, anak-anak harus “meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan” dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan. 3) M asa Remaja Sebagai Periode Perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
dengan pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan perilaku juga menurun. 4) M asa Remaja Sebagai Usia Bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak sebagian diselesaiakan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru. 5) M asa Remaja Sebagai M asa M encari Identitas Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak lakilaki dan perempuan. Lambat laun mereka mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dalam segala hal, seperti sebelumnya. 6) M asa Remaja Sebagai Usia Yang M enimbulkan Ketakutan Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anakanak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda yang takut bertanggung jawab dan bersifat tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. 7) M asa Remaja Sebagai M asa Yang Tidak Realistik Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Citacita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temanya, menyebabkan meningginya emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik ciracitanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. 8) M asa Remaja Sebagai Ambang M asa Dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. M ereka mengganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
analitik dengan pendekatan “Cross Sectional” yaitu penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan yang dikumpulkan secara sesaat untuk mengetahui hubungan sebab dan akibat dari penelitian (Nursalam, 2003). Alat penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data agar lebih mudah dan hasil lebih baik dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Nursalam, 2003). Kriteria S ampling Kriteria inklusi adalah karakteristik umum penelitian dari populasi target yang terjangkau yang akan di teliti (nursalam, 2003). Untuk menentukan layak tidaknya sampel yang akan diteliti maka ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini kriteria inklusi adalah sebagai berikut: 1. Remaja umur 17-21 tahun tahun di Desa Batangbatang Daya Kabupaten Sumenep. 2. Remaja umur 17-21 tahun tahun yang bersedia menjadi responden. 3. Remaja umur 17-21 tahun tahun yang bersedia mengisi dan menandatangani formulir Informed Consent HAS IL PENELITIAN 1. 1. Data umum Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Budaya di Desa Batang-batang Daya Kabupaten S umenep bulan Oktober 2009 Budaya
Frekuensi
Persentase
M endukung
68
73,1
Tidak M endukung
25
26,9
Total
93
100
2. Tabulasi pendidikan terhadap pernikahan dini Tabel 2. Tabulasi silang Pendidikan terhadap Pernikahan Dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten S umenep bulan Oktober 2009 Pernikahan Dini Pendidikan
Ya ∑
Jumlah
Tidak %
∑
%
∑
%
Tinggi
0
0
0
0
0
100
Sedang
10
29,4
24
70,6
34
100
Rendah
52
88,1
7
11,9
59
100
Jumlah
62
66,7
31
33,3
93
100
METODE PENELITIAN Desain penelitian adalah keseluruhan dari perencanaan untuk menjawab dan mengatasi beberapa kesulitan yang kemungkinan timbul dalam penelitian. Desain penelitian yang digunakan yaitu penelitian
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN
Vol. 2 NO. 1, JUNI 2010
Tabel 3. Tabulasi silang Pendidikan terhadap Pernikahan Dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten S umenep bulan Oktober 2009
1. 2.
Pendidikan Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Pernikahan Dini Ya Tidak ∑ % ∑ % 0 0 0 0 10 29,4 24 70,6 52 88,1 7 11,9 62 66,7 31 33,3
Jumlah ∑ 0 34 59 93
% 100 100 100
Tabel 4 Tabulasi silang Ekonomi terhadap Pernikahan Dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten S umenep bulan Oktober 2009
Ekonomi Tinggi Sedang Kurang Jumlah
Pernikahan Dini Ya Tidak ∑ % ∑ % 0 0 5 100 10 45,5 12 54,5 52 78,8 14 21,2 62 66,7 31 33,3
Jumlah ∑ 5 22 66 93
% 100 100 100 100
3.
4.
5.
6.
7. 8.
9.
KES IMPULAN Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas memiliki Pendidikan rendah yaitu sebanyak 59 orang (63,4%). Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas mendukung budaya pernikahan dini yaitu sebanyak 68 orang (73,1%). Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas ekonominya rendah yaitu sebanyak 66 orang (70,9%). Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas memiliki pengetahuan rendah 100 yaitu sebanyak 65 orang (69,9%). Dari 93 remaja usia 17-21 tahun mayoritas yang melakukan penikahan dini yaitu sebanyak 65 orang (69,9%). Ada pengaruh antara pendidikan dengan pernikahan dini dimana hasil uji Regresi Logistik Ganda P=0,008. Ada pengaruh antara budaya dengan pernikahan dini dimana hasil uji Regresi Logistik Ganda P=0,033. Tidak ada pengaruh antara ekonomi dengan pernikahan dini dimana hasil uji Regresi Logistik Ganda P=0,999. Tidak ada pengaruh antara pengetahuan dengan pernikahan dini dimana hasil uji Regresi Logistik Ganda P=0,995.
PEMBAHAS AN DAFTAR PUS TAKA Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas yang melakukan pernikahan dini sebanyak 62 responden (66,7%). Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 93 responden mayoritas pendidikan rendah yang melakukan pernikahan dini sebanyak 52 responden (88,1%). Berdasarkan uji Regresi Logistik Ganda diperoleh P=0,008, maka P< α jadi Ho ditolak berarti ada pengaruh antara pendidikan remaja dengan pernikahan dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep. Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa dari 93 responden mayoritas pendidikan rendah yaitu sebanyak 52 responden (88,1%). Berdasarkan uji Regresi Logistik Ganda diperoleh P=0,008, maka P< α jadi Ho ditolak berarti ada pengaruh antara pendidikan remaja dengan pernikahan dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep. Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 93 responden mayoritas ekonomi kurang yang melakukan pernikahan dini sebanyak 52 responden (78,8%). Berdasarkan uji Regresi Logistik Ganda diperoleh P=0,999, maka P>α jadi Ho diterima berarti tidak ada pengaruh antara pendidikan remaja dengan pernikahan dini di Desa Batang-batang Daya Kabupaten Sumenep. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa ekonomi bisa berpengaruh pada pernikahan dini menurut Cendi, dkk tetapi setelah dilakukan penelitian kenyataannya tidak ada pengaruh ekonomi terhadap pernikahan dini di Desa Batang-Batang Daya Kabupaten Sumenep.
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Atriana, A (2007) Dampak Pernikahan Dini (Pernikahan Dibawah Umur). Bersumber dari: http://www.dwp.or.id/dwp1.php?kas=12&noid=799 (Diakses 29 Juni 2009, jam 07.45 ) lock, EB (2002) Psikologi Perkembangan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga Nursalam (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta Salemba Medika Sarwono, S. W. (2006), Psikologi Remaja. Edisi Revisi 10. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Syarifuddin (2009) Pernikahan Dini Ngetren di Madura.Bersumberdari:http://seputarmadura.blogspot.com /2009/05/pernikahandini-ngetren-di-madura.htm l(Diakses 1 Juli 2009, jam 10.10)
JURNAL INSAN KESEHATAN, STIKES INSANE SE AGUNG BANGKALAN