PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti Jurusan Arsitektur, FTSP ITS, Surabaya, Indonesia Kampus ITS Keputih, Surabaya 60111, Telp. 031-5922425 e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kawasan Tunjungan merupakan pusat Kota Surabaya yang meliputi Embong Malang – Blauran – Praban – Tunjungan. Sebagai pusat bisnis, maka fasade kawasan ini tidak lepas dari keberadaan reklame ruang luar atau yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai sign. Masalah yang terjadi adalah keberadaan private sign di ruang luar bangunan konservasi tidak harmonis dengan wajah bangunannya yang dilindungi oleh Undangundang Cagar Budaya. Ketidakharmonisan tersebut berakibat pada perubahan image bangunan dan koridor di jalan Tunjungan sebagai bagian dari kawasan cagar budaya Tunjungan. Oleh dari itu penelitian ini berupaya untuk menemukan faktor, kriteria, prinsip dan konsep arahan untuk penataan sign yang sesuai dengan wajah koridor Tunjungan sebagai kawasan cagar budaya. Kajian teori yang digunakan meliputi kajian image, kajian karakter bangunan konservasi, kajian sign dan preseden. Hasil dari kajian terhadap referensi tersebut menghasilkan 4 aspek, yaitu aspek estetika, aspek bangunan, aspek efektifitas dan aspek keselamatan dengan masing-masing aspek memiliki komponen penyusunnya. Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan metode rasionalistik yang menggabungkan bukti empiris lapangan dan etika penataan fasade bangunan cagar budaya. Dengan menggunakan Metode Perancangan Kota Moughtin (1999) maka dilakukan 4 proses dalam penelitian ini yang meliputi analysis-synthesis-appraisal-decision. Pembacaan terhadap koridor dan bangunan kawasan ini menggunakan teknik Walkthrough Analysis dan Character Appraisal . Kemudian hasil pembacaan tersebut dilakukan evaluasi dan pengkajian ulang terhadap referensi terpilih untuk mendapatkan kriteria, penyusunan konsep dan memberikan arahan desain untuk penataan sign di koridor jalan Tunjungan. Pada akhirnya penelitian ini menghasilkan kriteria desain fungsional, konsep desain dan arahan teknis berdasarkan evaluasi terhadap aspek-aspek penataannya. Dengan penataan berdasarkan pengkajian tersebut maka dihasilkan sign yang bisa mempertahankan image kawasan konservasi, mempertahankan keutuhan bangunan konservasi, efektif dan efisien bagi pembaca sign, serta menjaga keselamatan pengguna jalan dan kekuatan struktur bangunan akibat penempatan dari sign yang terpasang pada bangunan tersebut. Kata Kunci : Cagar Budaya, Image kawasan konservasi, Metode, Sign ABSTRACT Tunjungan area is the center of Surabaya covering Embong Malang - Blauran - Praban - Tunjungan. As a business center, building facade in the area can not be separated from the existence of outdoor advertisement, or in this study, will be named as sign. In fact, private signs outside the buildings alongside the corridor are experiencing visual disharmony order with their facade based on the fact that the buildings are preserved by Heritage Act. As a result, building image along the corridor as heritage preservation area is deteoriating. Therefore, factors, criteria, principles, and arrangement concept of sign arrangement which appropriately match with the image of conservation area are needed. The study consists of image assessment, conservation building character assessment, sign and precedent assessment. The result of the study has four aspects: aesthetic, building, effectiveness, and safety aspects which have their own constituent component. The study is a descriptive research with rationalistic method of approach which combines empirical evidence and building facade arrangement ethics at preservation area. By using Urban Design Methods by Moughtin (1999), four process is carried out in this study: analysis - synthesis - appraisal - decision. The corridor and buildings at the area are analyzed using main technique: Walkthrough Analysis and Character Appraisal. Then the analysis is evaluated and cross checked with the selected references to get criteria, preparation of design concepts, and to provide guidance for the arrangement of building sign along Tunjungan corridor.Through these methods, it can be identified functional design criteria, design concept, and technical referral based on evaluation of arrangement aspects. Based on the assessment, the result of the study are: conservation area representative sign, maintain the integrity of conservation building, effectiveness and efficiency for sign readers, as well as maintaining the safety of road users and the strength of building structure due to the placement of a sign mounted on the building. Keywords: Heritage, Image of Conservation Area, Methods, Sign Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
49
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
PENDAHULUAN Surabaya Utara adalah kawasan dengan keunikan warisan budaya yang menjadi awal perjalanan panjang sejarah kota Surabaya. Kawasan Surabaya Utara tersebut merupakan pusat regional yang menjadi awal mula sejarah perkembangan kota Surabaya dan kemudian dikenal sebagai kota bawah (Benedenstad) atau kota-tua (Oude stad). Pusat pemerintahan ketika itu masih berada di Utara Jembatan Merah, sehingga segala pusat kegiatan masyarakat, termasuk di dalamnya perdagangan dan jasa serta permukiman berada di sekitar Jembatan Merah, Ampel dan Kembang Jepun (Handinoto, 1996). Sementara kawasan lain di luar Benedenstad termasuk kawasan Atas (Bovenstad). Pada awal tahun 1900-an, perkembangan kota mulai mengarah ke Selatan dan Timur. Sekitar tahun 1905, kegiatan perdagangan mulai meluas dan menyentuh kawasan Tunjungan. Pertumbuhan kota ini kemudian diikuti terbentuknya pemerintah Surabaya (Gemeente Soerabaia) pada 1906 dan pembangunan kantor pemerintahan serta penunjangnya berupa rumah sakit, sekolah, permukiman serta klub-klub sosial melengkapi kawasan elit Eropa yang tumbuh di kawasan Gubeng, Ketabang, Darmo-Kupang, dan TegalsariSawahan (Purwono, 2006). Dalam perkembangannya, kawasan Tunjungan ini berkembang dengan sangat cepat dan menjadi pusat kegiatan perkotaan, mulai pusat kegiatan bisnis, wisata dan keagamaan. Wajah bangunannya berubah secara drastis mengikuti kebutuhan dan perkembangan jaman. Di sepanjang koridor muncul papan reklame/billboard dan sign/penanda yang menutupi wajah bangunan sehingga mengakibatkan menurunnya estetika arsitektural dari bangunan yang tertutupi. Reklame sebagai salah satu jenis elemen penandaan (sign) memiliki arti penting bagi masyarakat, swasta, Pemerintah Kota maupun bagi perencana kota. Reklame bagi pengusaha merupakan salah satu media pemasaran yang cukup efektif untuk menyampaikan informasi produknya. Sedangkan bagi masyarakat, media reklame merupakan media penting untuk mendapatkan informasi bukan saja informasi yang sifatnya komersial tetapi juga yang sifatnya non-komersial. Bagi Pemerintah Kota, adanya reklame berarti adanya peluang untuk meningkatkan PAD, sedangkan bagi perencana kota, reklame merupakan elemen pendukung kota yang harus diatur/dirancang sedemikian rupa sehingga tercipta lingkungan kota yang indah dan tertib (Natalivan, 1997).
50
a
b c
Gambar 1. Eksisting sign yang menutupi wajah bangunan eks gedung Handelsbon (bekas kantor perdagangan Hindia Belanda) di pojok persimpangan jalan Tunjungan-Praban Kota Surabaya dimana Proporsi a : b : c = lebar reklame : lebar gedung : bagian gedung yang tampak dari muka Pada saat ini, keberadaan reklame yang mendominasi wajah kawasan Tunjungan, membentuk rangkaian (sequence) street picture yang tidak teratur, baik dikarenakan isi reklame/ konten, dimensi, penempatan dan jenis medianya tidak mendukung kultur dan karakter dari kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi. Ketidak sesuaian keberadaan reklame di kawasan ini mengakibatkan rusaknya nilai sejarah kawasan dan nilai arsitektural kawasan. Tabel 1. Daftar bangunan konservasi di koridor Tunjungan yang menjadi obyek pengamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Bangunan Konservasi Toko Lalwani (jl. Tunjungan 30) Rabo Bank (jl. Tunjungan 60) Eks- Master Springbed (jl. Tunjungan 62) Kantor Badan Pertanahan Nasional (jl. Tunjungan 80) Museum Perjuangan Pers (jl.Tunjungan 100) Tunjungan City/SIOLA (jl.Tunjungan 1) PT. Gading Murni (jl. Tunjungan 27) Tiger Office Chair (jl. Tunjungan 33) Yayasan Nurussalam (jl. Tunjungan 39) Grha Bank Benta (jl.Tunjungan 41) CIMB Niaga (jl. Tunjungan 47) Eks-Gedung BCA (jl. Tunjungan 51) Hotel Mojopahit (jl. Tunjungan 65)
SK Walikota 188.45/004/402.1.04/1998/100 188.45/004/402.1.04/1998/045 188.45/004/402.1.04/1998/090 188.45/251/402.1.04/1996/028 188.45/251/402.1.04/1996/024 188.45/251/402.1.04/1996 (sebagai ikon kawasan) 188.45/004/402.1.04/1998/078 188.45/004/402.1.04/1998/091 188.45/004/402.1.04/1998/029 188.45/004/402.1.04/1998/092 188.45/004/402.1.04/1998/076 188.45/004/402.1.04/1998/098 188.45/251/402.1.04/1996/026
Sumber: SK. Walikota Surabaya nomor 188.45/251/402.1.04/ 1996 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan SK. Walikota Surabaya nomor 188.45/004/402.1.04/1998 tentang Penetapan Benda Cagar Budaya Di Wilayah Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Gambar 2. Sequence yang terbentuk dari sign pada muka bangunan saat ini dibandingkan wajah bangunan aslinya pada th. 1945 (sumber : kiri:hasil survey, 2012; kanan: N. Purwono, 2006) METODE PENELITIAN Pustaka Kajian pustaka yang digunakan dalam pengkajian aspek estetika ini adalah kajian Image tentang kawasan cagar budaya. Image suatu kawasan merupakan sebuah gambaran mental yang terekam dalam memori orang yang melakukan pengamatan terhadap kawasan tersebut ataupun orang yang hanya sekedar melewati kawasan tersebut saja. Image yang terekam dalam memori seseorang adalah sejarah pertumbuhan, tipologi bangunan dan morfologi kota (Rossi, 1982). Image bisa direkam dan disusun dalam bentuk rangkaian bingkai-bingkai gambar potret (Ashihara, 1986). Image yang dipotret tersebut dapat dipotret dalam bingkai geometrik dan estetikanya. Bingkai ruang perkotaan adalah fasade dan ketinggian massa (elevation) serta mempunyai nilai estetis yang dapat membuatnya diterima sebagai ruang kota (urban space) (Krier, 1979). Bidang – bidang image membentuk keterhubungan, akan membentuk sebuah serial vision yang membentuk streetscape. Streetscape melibatkan semua elemen arsitektural agar menjadi sebuah peristiwa menarik. Vision yang tercipta harus bisa membangkitkan memori dan pengalaman pengguna jalan. Estetika dipengaruhi 3 hal; Orientasi, Posisi dan Isi (Cullen, 1961). Umumnya pengamat dalam mengamati sebuah streetscape kawasan lebih cenderung melihat bagian vertikal dari bidang muka bangunan secara lebih dominan dibandingkan horizontalnya. Perulangan garis vertikal imajiner dan tingkat kerapatan garis vertikal sejajar akan memperkuat persepsi pembaca ruang dari bidang yang digambarkannya (Ching, 1979). Image selain bisa dilihat juga harus bisa ‘dirasakan’ sense of place-nya untuk memperkuat kesan visual kawasan. Elemen fisik dibutuhkan untuk membentuk kesan visual dengan penataan yang mempunyai tujuan penyampaian (Lynch, 1960). Image suatu kawasan dapat dinilai dari aspek Estetikanya, yang tentu saja berkaitan dengan estetika arsitektural dari bangunan-
bangunan penyusunnya. Penilaian estetika terhadap tampak bangunan dari sebuah karya arsitektural secara intuisi dan rasional harus mengikuit prinsip-prinsip estetika yang meliputi: sumbu (axis), simetri, hirarki, irama, pengulangan, datum, transformasi, proporsi, skala, keseimbangan, emphasis/ tekanan, solid/rongga dan warna (Ching, 1979). Pertimbangan estetika meliputi pertimbangan rasional dan pertimbangan intuisi. (Purwadarminto, 1976 dalam Wondoamiseno, 1994). Pertimbangan rasional yang paling sering digunakan dalam merancang tampak bangunan adalah (1) keseimbangan (balance), (2) kesatuan (unity), (3) proporsi (proportion) dan (4) skala (scale). Penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah membuat pencandraan (deskripsi) secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Deskripsi yang dilakukan tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, melakukan test ‘hipotesis’ (jawaban sementara terhadap masalah penelitian), membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasi. Penelitian ini hanya ditujukan untuk mencari informasi faktual yang secara detail mencandra yang ada (Darjosanjoto, 2006). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan rasionalistik. Pendekatan rasionalistik adalah proses pengujian kebenaran yang tidak hanya dilakukan melalui empiri sensual semata (diukur dengan indera) tetapi dilanjutkan dengan pemaknaan dengan menggunakan empiri logik dan etik. Berdasarkan empiri sensual, empiri logik, empiri etik serta didukung oleh landasan teori yang sesuai dengan bahasan penelitian, komponen tersebut sebagai alat yang digunakan untuk memaknakan kembali hasil dari analisis data (hasil hipotesa), mempresentasikan temuan serta pembahasan (pemaknaan hasil temuan) (Moehadjir, 2000). Dalam proses Urban Desain, Moughtin (1999) mendeskripsikan bahwa proses urban desain merupakan perpaduan antara proses dalam perencanaan urban dan perencanaan arsitektur. Proses urban desain tidak bersifat progresif linier, tetapi setiap fasenya diselesaikan secara lengkap sebelum melaksanakan proses selanjutnya. Dalam proses ini dimungkinkan terjadinya pengulangan pada bagian tengah proses karena adanya tambahan data atau hal lainnya, sehingga prosesnya dianggap bersifat berulang (cyclical) pada bagian tengah (intermediate) loops. Sebagai contoh, setelah evaluasi dari rencana atau konsep alternative maka mungkin dibutuhkan untuk mendefinisikan ulang tujuan atau mengumpulkan
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
51
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
data tambahan atau menganalisa data melalui metode yang lain.
Gambar 3. Desain proses dalam pengembangan kriteria, konsep dan arahan penataan kawasan Tunjungan (sumber : Moughtin, 1999) Langkah Penelitian
Gambar 4. Metode Urban Desain dalam pengembangan kriteria, konsep dan arahan penataan kawasan Tunjungan (sumber : Moughtin, 1992 dan Moughtin, 1999) Langkah penelitian ini merupakan turunan dari proses umum dalam Urban Planning, Urban Design dan Arsitektur yaitu Analysis – Synthesis – Appraisal–Decision. Dengan memadukan proses dalam perencanaan urban dan perencanaan arsitektur serta memasukkan proses induksi dan deduksi untuk menjaga keberlangsungan proses ilmiah, maka disusunlah proses ilmiah yang memasukkan permasalahan dalam teori yang ada, untuk kemudian dilakukan deduksi logis. Setelah melakukan pengamatan lapangan akan ditemukan permasalahan-permasalahan baru yang perlu dikaji kembali dengan peraturan dan teori yang ada dan dilakukan proses investigasi serta penyusunan program. Setelah itu dilakukan proses evaluasi terhadap ide dan keputusan yang diambil dari teori yang sudah dipilih dan dilanjutkan untuk penentuan solusi praktis dan dikaji ulangkan kembali dengan teori sehingga terbentuk konstruksi skema penyelesaian masalah yang bisa disebut sebagai kriteria, konsep dan arahan penataan kawasan (Moughtin, 1999).
52
Aspek Penelitian dan Alat Analisa Penelitian ini menitikberatkan pada aspek Estetika yang bertujuan untuk memberi gambaran mengenai pemahaman terhadap image suatu koridor, menjelaskan komponen-komponen pembentuk sebuah image, menjelaskan bagaimana image ditangkap pembaca dan proses membaca sebuah image (Rossi, 1982; Krier, 1979; Ashihara, 1986; Ching, 1979; Cullen, 1961) dan menjelaskan bagaimana unsur pembentuk image yang tercipta memberikan pengaruh estetika pada sebuah koridor ruang kota (Shirvani, 1985; Ching, 1979). Alat analisa yang digunakan pada penelitian ini memiliki dasar untuk memberikan penilaian secara kualitatif. Alat analisa tersebut Walkability/Walkthrough Analysis (Manaugh, 2011) dan Character Appraisal (UDT, 2006). Dalam pelaksanaannya, teknik Walkthrough Analysis dilakukan dengan melakukan pengamatan dan presentasi data yang dilakukan pada sepenggal ruas jalan dengan pengelompokan data bangunan konservasi. Dalam teknik ini, bangunan didokumentasikan sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan fasade bangunan dan sign/reklame ruang luar agar dapat dijadikan sebagai sumber data lapangan dari penelitian ini. Data dan/atau informasi diperoleh dari dokumentasi pribadi, serta catatan dan dokumentasi stakeholder terkait yang dalam hal ini adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya serta responden dari kalangan ahli konservasi dirangkum dalam tulisan dan/ atau tampilan gambar/sketsa yang memperlihatkan segmen-segmen wilayah penelitian. Character appraisal digunakan dalam mengidentifikasi karakter lingkungan kawasan konservasi cagar budaya yang telah mempertahankan otentisitas elemen-elemen bangunannya dari bentuk dan karakter bangunannya. Hal ini memungkinkan untuk memberikan pengukuran nilai dan pentingnya kawasan terhadap kota secara keseluruhan dimana penilaiannya mencakup sejumlah fitur bangunan, antara lain : (1) Penilaian bangunan (usia, tipe, skala, ketinggian dan gaya); (2) massa bangunan; (3) ukuran site; (4) kemunduran bangunan (GSB, GSSB, GSBB); (5) penilaian karakter jalan (pola, desain, lebar); (6) fitur lansekap kawasan (detail pagar/ tembok, spesies dan dimensi kanopi tanaman, penggunaan paving pada pedestrian dan street furniture); dan (7) karakter visual lainnya yang berpengaruh terhadap sudut pandang, kemudahan memandang dan keterkaitannya dengan fokus penglihatan
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
Jl.
bagi pengguna jalan untuk mengenali karakter sign di koridor jalan Tunjungan.
Pra ban We tan III
Jl.
Jl.
Pr
ab
Pra ban
an
Komponen Penelitian
GEM BLO NG AN
1
AU RO RA SH CE OP NT PIN ER G
Walkthrough analysis ini digunakan dengan cara penelusuran pada jalan Tunjungan yang dibagi dalam 2 sekuen jalan.
SI
OL
A
TU NJU NG AN CE NT ER
TO KO BU SA KU RIA GU NG
16 18,
20-
22
11 13 20-
15 22
30 32 34 36 38
40-
42
44-
46
48
BE FIAT RR MO ET TO Y SE R RV ICE
52
54 37 56
37A
58
60
JL.G
39
enten
g Be sar
62
66-
68
70 72
74 76
JL. T U N J U N G A N
Walkthrough Analysis
0
14
78
KA NT OR
51
53-
55
80
AG KM RA S RIA
61
63
59 82 57 84
PA SA R TU NJ UN GA N BA RU
86-
92 65-
94-
83
98
100
85-
99
JL. KE NARI
0
25
50
75
100 m
Gambar 5. Pembagian koridor wilayah pengamatan Komponen Kesinambungan a.
Reklame berbentuk bando/melintang di tengah jalan dan JPO memutus kesinambungan dari enclosure sebuah koridor menjadi terputus.
Gambar 6. Bangunan JPO Tunjungan Electronic Center yang memutus kesinambungan koridor bangunan b.
HASIL DAN PEMBAHASAN
2-1
JL. TUNJUNGAN
Manaugh (2011) menjelaskan bahwa walkability adalah ukuran sejauh mana masyarakat mau menikmati pergerakan dan melakukan aktifitas lainnya dengan berjalan kaki secara baik dan menyenangkan. Sedangkan Grant (2009) menegaskan bahwa Walkabilitas dapat ditingkatkan dengan peningkatan keterbacaan koridor (legibility) dan kejelasan sign (wayfinding sign). Faktor yang mempengaruhi adalah (1) Kesinambungan (Connectivity), berkaitan dengan Kesinambungan antar bangunan dalam satu koridor (serial vision) yang mempengaruhi bentuk dan tatanan sign di fasade bangunan; (2) Kejelasan (Conspicious), berkaitan dengan kemudahan sign untuk dilihat. Kesinambungan dipahami sebagai keterkaitan antara fasade bangunan satu dengan bangunan berikutnya, bangunan dengan sign di muka bangunan dan bangunan dengan street furniture, dengan parameternya adalah jarak dalam satuan meter antara bangunan satu dengan bangunan berikutnya dan keselarasan bentuk dasar antara bangunan satu dengan bangunan berikutnya. Sedangkan Kejelasan dipahami sebagai kemampuan Sign dalam memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami pembacanya dengan parameter ukur berupa ukuran huruf sesuai aturan proporsi perbandingan jarak baca antara pembaca dengan tulisan dan desain tulisan memiliki kesesuaian antara dimensi, warna dan pencahayaannya. Untuk memperkuat kedua komponen tersebut, maka dipergunakan teknik character appraisal. Character Appraisal dipahami sebagai proses identifikasi dari pola perkembangan yang khas dari suatu kawasan yang memberikan gambaran menyeluruh dari lingkungan tersebut mulai awal waktu pengembangan hingga saat ini(UDT, 2006). Wondoamiseno (1994) memberikan kesimpulan bahwa unsur-unsur bentuk arsitektur bangunan yang umum digunakan untuk penilaian estetika setidaknya bisa dinilai dari aspek keseimbangan (balance), kesatuan (unity), proporsi (proportion) dan skala (scale).
GG . II
6A
12
Ket : jalur pengamatan dibagi dalam 2 sekuen; Jalur 1-2 : dari perempatan Tunjungan City – pertigaan Genteng Besar Jalur 2-3 : dari pertigaan Genteng Besar – pertigaan Embong Malang
Ketinggian kanopi pohon, ketinggian atap bangunan dan ketinggian pemasangan sign pada levelling bangunan dapat membantu membentuk sebuah garis koneksi yang menghubungkan antar bangunan sehingga membentuk rangkaian kesinambungan antar bangunan.
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
53
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
f. Gambar 7. Kesinambungan terbentuk dari kesamaan tinggi atap bangunan c.
Kemunduran bangunan dari Ruang Milik Jalan mempengaruhi lebar Garis Sempadan Bangunan juga mempengaruhi kesinambungan garis enclosure koridor. Semakin mundur suatu bangunan, maka akan membuat “lubang” pada garis massa bangunan kawasan yang membuat garis enclosure terputus di suatu titik.
Gambar 8. “Lubang” yang tercipta akibat perbedaan D/H antar bangunan d.
e.
54
Jarak antar bangunan yang semakin rapat atau memiliki D/H<1 membentuk kesinambungan antar bangunan yang erat pada koridor jalan Tunjungan. D/H adalah perbandingan antara jarak lebar antar bangunan dengan ketinggian bangunan. Jika D/H <1 maka kesannya adalah sempit, D/H=1 maka kesannya harmonis, dan D/H>1 maka kesan yang timbul adalah sunyi/lengang (Ashihara, 1970). Jarak antara bangunan dan sign mempengaruhi bentuk massa bangunan, sehingga semakin dekat jarak bangunan dengan sign maka kesinambungan massa bangunan tidak terputus. Kecepatan berkendara mempengaruhi pengamatan terhadap sign di fasade bangunan, dimana jika pengendara menjalankan kendaraan semakin cepat maka sign akan semakin tidak terlihat. Dimana hal ini selaras dg pendapat Motloch (2011), dimana derajat konsentrasi pengendara meningkat seiring bertambahnya kecepatan kendaraan : yaitu ketika kecepatan pengendara semakin meningkat, perasaan dan waktu reaksi menjadi lebih penting, jumlah stimulan visual semakin meningkat dan relevansi dari informasi yang terlihat menjadi lebih penting sekali.
Penglihatan berfokus pada jalur di depan, dimana path atau jalur jalan terlihat secara langsung di depan mata secara nyata. Pengamatan terhadap enclosure koridor Tunjungan terbentuk dari garis imajiner yang tersambung antar ketinggian bangunan dan keteraturan massa bangunan yang jika dilihat dari ujung jalan Tunjungan akan membentuk sebuah garis maya yang memusat ke sebuah titik di ujung jalan. Enclosure juga terbentuk dari sign di muka bangunan, baik yang terpisah ataupun bersatu dengan bangunan. Sehingga posisi sign juga membantu terbentuknya jalinan antar bangunan. Sesuai dengan Cullen (1961) yang menyatakan bahwa sebuah kota tidak dapat dilihat dalam satu titik saja, melainkan juga suatu proses pengamatan di dalam gerakan. Cullen memakai istilah ‘optik’ untuk proses tersebut dan membagi dua kelompok, yang pertama existing view yang berfokus pada satu daerah saja dan yang kedua emerging view yang berfokus pada kaitan antara satu daerah dengan yang lain. Enclosure termasuk dalam bagian proses emerging view, dimana sering kali seseorang ketika berorientasi terhadap lingkungannya melakukannya tanpa sadar.
Komponen Kejelasan a.
Tinggi huruf dan panjang kata dalam sign sangat mempengaruhi kejelasan pembacaan terhadap sebuah sign bagi pengguna kendaraan bermotor. Tabel 2. Hubungan antara kecepatan dengan tinggi huruf yang ekuivalen untuk membaca sign dengan pembacaan lateral untuk 6 huruf 6 Huruf Ketinggian huruf capital (mm) yang ekuivalen dengan jarak pembacaan lateral offset (meter) 30 25 20 15 12 10 392 335 278 221 187 164 60 401 344 287 230 196 70 409 352 295 238 204 80 418 361 304 247 90 426 369 312 255 100 434 377 320 110 443 386 120 Sumber : Roadside Advertising Guide (2013:48) Kecepatan (km/jam)
b.
Sudut pandang seorang pengamat ketika melihat sign yang berada di zona ‘nyaman melihat’ sangat mempengaruhi keterbacaan dari pesan yang ada dalam sign, sehingga selain sudut pandang dari pembaca terhadap sign maka arah hadap dan posisi penempatan sign terhadap bangunan juga harus diletakkan tegak lurus dengan fasade bangunan agar bisa terlihat oleh pembaca baik yang berjalan kaki maupun berkendaraan bermotor.
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
a
kukan, namun tidak untuk deret bangunan eks-Pasar Tunjungan mulai dari BPN hingga gedung Museum Pers. Sign pada gedung museum pers tidak dapat dibaca dari arah Jalan Tunjungan karena posisi sign berada di bagian Selatan-Barat menghadap jalan Embong Malang, sedangkan jalan Tunjungan merupakan jalan satu arah dari Utara ke Selatan, sehingga untuk membaca sign bangunan ini harus dilihat dari arah Embong Malang. Sehingga disimpulkan bahwa pembacaan terhadap sign yang memiliki arah hadap searah dengan jalan Tunjungan menyulitkan bagi pengguna jalan disebabkan sudut yang dibentuk berada di luar kurva sudut pandang yang nyaman digunakan untuk membaca. Selain itu pembacaan sign dengan sudut pandang yang sulit terbaca dapat membahayakan keselamatan berkendara bagi pengguna kendaraan bermotor. Sebaliknya pembaca sign yang berjalan di atas pedestrian ways yang terletak di bawah kanopi bangunan tidak mengalami kesulitan ketika membaca sign yang berada di seberang jalan, akan tetapi justru mengalami masalah ketika membaca sign yang berada di sisi jalan yang sama dengan pembaca. Hal ini dikarenakan sign terletak di fasade bangunan, sedangkan pembaca berada di bawah kanopi bangunan atau memiliki sudut baca yang diluar zona nyaman. Oleh karena itu bangunan di jalan Tunjungan memerlukan jenis marquee sign dan projected sign yang menghadap ke arah pembaca agar identitasnya bisa dikenali.
b
Gambar 3. (a) Hubungan antara kecepatan berkendara dengan jarak fokus pengemudi dan (b) hubungan antara kecepatan berkendara dengan sudut pheriperal vision (Sumber : Motloch, 2001 : hal. 127)
Gambar 4. Sudut yang dibutuhkan pembaca berkendaraan bermotor dengan posisi sign menghadap tegak lurus kepada pembaca (Sumber : Grove, 2006) c.
Pengendara bermotor di jalan Tunjungan akan mengalami kesulitan dalam mengamati sign jika bergerak terlalu cepat, umumnya kecepatan bergerak di jalan ini saat kondisi peak hour adalah antara 10-30 km/jam. Sehingga disarankan agar pengamatan menjadi efektif untuk berada pada kecepatan 5 m/s atau 18 km/jam. Jumlah huruf yang banyak mempersulit pembacaan, karena membutuhkan waktu yang lebih banyak. Untuk pembacaan salah satu sign terpanjang yaitu “ASURANSI WAHANA TATA”, jumlah hurufnya adalah 18 huruf, sehingga dengan rumus DMR (2002) dan Motloch (2001) didapatkan bahwa Jarak pembaca mulai melakukan observasi terhadap sign (L) adalah 76,77 m; Jarak pembaca mulai membaca sign (2/3L) adalah 50,8 m; Jarak pembaca harus menghentikan pembacaan sign (S cot θ) adalah 28,356 m; dan Panjang jarak yang diperbolehkan seorang pembaca membaca sign (0,25Nv) adalah 22, 5m. Artinya serang pembaca bermotor dengan kecepatan 18 km/jam harus bisa membaca sign dalam waktu kurang dari 4,5 detik. Dengan batasan tersebut, maka pembacaan sign untuk semua bangunan dari Yayasan Nurussalam-Rabo Bank hingga Museum Pers masih bisa dila-
Character Appraisal Komponen Keseimbangan a.
b.
c.
Keseimbangan visual yang dimaksud adalah kondisi dimana obyek-obyek dalam formasi yang bersangkutan telah demikian menyatunya. Obyek yang dimaksud adalah sign dari bangunan itu sendiri dengan bangunannya. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan (Wondoamiseno, 1996). Di antara bangunan-bangunan tersebut yang sudah memiliki keseimbangan dalam bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan adalah sign milik Kantor BPN, Hotel Mojopahit, Rabo Bank dan Toko Lalwani. Ukuran keseimbangan bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan bersifat sangat subyektif namun bisa dirasakan oleh pengamat. Pengamatan terhadap
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
55
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
komponen ini hanya bisa dilakukan oleh pembaca sign yang berjalan kaki, sedangkan pengamat berkendaraan bermotor tidak akan bisa mengamati dikarenakan posisi pengamat yang tidak menghadap tegak lurus pada fasade bangunan yang diamati.
c.
d.
Gambar 5. Contoh bangunan yang memiliki keseimbangan dalam bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan d.
Secara formasi sign, di jalan Tunjungan terdapat 7 bangunan konservasi yang menggunakan keseimbangan simetris, 3 bangunan asimetris dan 3 bangunan tidak memiliki formasi keseimbangan sign. Secara umum formasi penempatan sign di bangunan kolonial pada umumnya menggunakan formasi keseimbangan simetris terhadap bangunan.
Komponen Proporsi a.
Komponen Kesatuan a.
Kesatuan yang dimaksud adalah melihat sign dan bangunan sebagai satu keseluruhan utuh (dominasi, pengulangan dan kesinambungan) (Wondoamiseno, 1996).
Gambar 6. Contoh bangunan yang memiliki kesatuan dalam dalam dominasi, pengulangan dan keseimbangan dengan karakter bangunan b.
56
Kesatuan dari sign dengan bangunan diperoleh dari keberadaan ukuran dimensi sign yang tidak mendominasi terhadap bangunan. Dimensi sign memiliki ukuran yang sesuai dengan bagian bangunan yang bisa ditempeli sign namun tetap bisa terlihat dengan baik oleh pengguna jalan. Ke tidak-
dominanan sign yang baik dapat dilihat pada bangunan Hotel Mojopahit, museum Pers atau pada Rabo Bank. Kesatuan dari sign dengan bangunan akibat pengulangan/repetisi dari bisa dilihat dari Museum Pers yang menempatkan beberapa sign di sisi bangunan sebagai penguatan dan pengenalan identitas bangunan dengan desain sign yang senada dan pada hotel Mojopahit yang melakukan ekstensifikasi bentuk sign dengan bentuk wallsign, free standing sign, projected sign dan awnings yang selaras dengan tema langgam bangunan. Kesatuan dari sign dengan bangunan juga diperoleh dengan pengulangan/repetisi yang menempatkan beberapa sign di sisi bangunan sebagai penguatan dan pengenalan identitas bangunan dengan desain sign yang senada dan ekstensifikasi bentuk sign dengan bentuk wallsign, free standing sign, projected sign dan awnings yang selaras dengan tema langgam bangunan. Proporsi sign mengambil perbandingan panjang dan lebar sign dengan bangunan, dimana pengamatan proporsi ini dilakukan dengan menggunakan pengamatan secara visual (Wondoamiseno, 1996). Proporsi yang dimaksud bukan hanya pada bagian tulisan pengenal bangunan saja, tetapi mencakup juga pada material penyangga/bidang papan sign yang menyangga sign ke tembok bangunan.
Gambar 7. Contoh bangunan yang memiliki proporsi baik dalam pada koridor jalan Tunjungan b.
Bangunan yang sudah memiliki proporsi visual baik, pada umumnya menggunakan bentuk sign dari tulisan yang diemboss keluar. Proporsi ini selain memberikan kesan menarik, juga terlihat tidak menguasai bangunan dan bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat. Bangunan yang menjadi contoh adalah Museum Pers, Hotel Mojopahit dan Tunjungan City.
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
c.
d.
Sedangkan yang menggunakan bidang papan atau bahan fiber dengan pencahayaan internal sebagai landasan tulisan, yang proporsinya baik adalah milik Yayasan Nurussalam dan Rabo Bank. Papan sign milik Yayasan Nurussalam bisa terlihat menyatu dengan bagian bangunan karena tersamarkan dengan bentuk tutupan anginangin dari gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan sign. Sedangkan papan fiber milik Rabo Bank terkesan seolah-olah membentuk dinding penghalang tampias hujan untuk gedung. Bangunan juga memiliki proporsi visual yang baik jika papan sign bisa terlihat menyatu dengan bagian bangunan karena tersamarkan dengan bentuk salah satu komponen fasade bangunan dari gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan sign atau terkesan seolah-olah membentuk salah satu komponen fasade bangunan.
Komponen Skala a.
b.
Pendekatan skala mirip dengan pendekatan proporsi, hanya saja pada skala ini menggunakan perbandingan skala manusia dengan bangunan dan manusia dengan sign (Wondoamiseno, 1996). Pengamatan terhadap skala ini juga dilakukan dengan menggunakan pengamatan secara visual, dimana pengamat tidak melakukan pengukuran secara teknis tapi hanya membandingkan dari sudut pandang pengguna jalan. Bangunan yang sudah memiliki skala visual baik, pada umumnya menggunakan bentuk sign dari tulisan yang di-emboss keluar. Kesan yang menarik terlihat karena skala sign tidak menguasai bangunan dan bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat. Bangunan yang menjadi contoh adalah Museum Pers, Hotel Mojopahit dan Tunjungan City.
Gambar 8. Contoh bangunan yang memiliki skala sign yang baik pada koridor jalan Tunjungan
c.
Sedangkan yang menggunakan bidang papan atau bahan fiber dengan pencahayaan internal sebagai landasan tulisan, yang skalanya sudah cukup baik adalah milik Yayasan Nurussalam dan Rabo Bank. Skala papan sign milik Yayasan Nurussalam terlihat tidak dominan terhadap fasade bangunan karena tersamarkan dengan bentuk tutupan angin-angin dari gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan sign dan membentuk kesamaan bentuk horizontalitasnya. Sedangkan papan fiber milik Rabo Bank membentuk skala yang sesuai dengan ukuran dinding penghalang tampias hujan. d. Khusus pada sign milik CIMB Niaga ada beberapa catatan khusus, secara skala memang ukuran sign ini sudah terlihat sesuai dengan ukuran dan bentuk gedung, akan tetapi penempatan yang menutupi beberapa elemen detil bangunan perlu menjadi pertimbangan tersendiri untuk melakukan desain ulang terhadap bentuk, dimensi dan penempatannya. e. Sehingga disimpulkan bahwa : (1) Skala sign yang baik adalah yang tidak menguasai bangunan dan bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat. (2) Skala sign yang baik adalah yang tidak dominan terhadap fasade bangunan dengan cara menyamarkan ukuran dengan komponen fasade gedung yang memiliki proporsi yang sama dengan sign dan membentuk kesamaan bentuk horizontalitasnya. (3) Skala sign yang baik adalah yang memiliki penempatan di fasade bangunan yang tepat, sehingga tidak menutup bidang pandang ke komponen fasade dari bangunan konservasi. Proses berikutnya setelah mendapatkan hasil penelusuran melalui Walkthrough dan penguatan data bangunan melalui Character Appraisal adalah penyusunan appraisal dan decision. Agar lebih mudah terbaca maka disusun dalam tabulasi dengan susunan sebagai berikut :
Gambar 9. Susunan posisi penyusunan Alternatif pemecahan masalah hingga pengambilan keputusan akhir pemilihan arahan penempatan sign
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
57
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
Pembahasan hasil Walkthrough pada Aspek Kesinambungan dan Kejelasan Fakta Lapangan : a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Reklame berbentuk bando/melintang di tengah jalan dan JPO dapat membuat bentuk kesinambungan dari enclosure sebuah koridor menjadi terputus. Ketinggian kanopi pohon, ketinggian atap bangunan dan ketinggian pemasangan sign pada levelling bangunan dapat membantu membentuk sebuah garis koneksi yang menghubungkan antar bangunan sehingga membentuk rangkaian kesinambungan antar bangunan. Kemunduran bangunan dari Ruang Milik Jalan mempengaruhi lebar Garis Sempadan Bangunan juga mempengaruhi kesinambungan garis enclosure koridor. Semakin mundur suatu bangunan, maka akan membuat “lubang” pada garis massa bangunan kawasan yang membuat garis enclosure terputus di suatu titik. Kecepatan berkendara mempengaruhi pengamatan terhadap City gate, dimana jika pengendara menjalankan kendaraan semakin cepat maka City gate akan semakin tidak terasa. Pengamatan enclosure koridor terbantu dengan ketinggian bangunan dan keteraturan massa bangunan yang memudahkan pengamat melihat detil bangunan, termasuk di dalamnya sign sebagai bagian bangunan yang bisa membantu membentuk sebuah enclosure dalam deret sign yang tercipta pada sebuah koridor. Tinggi huruf dan panjang kata dalam sign sangat mempengaruhi kejelasan pembacaan terhadap sebuah sign bagi pengguna kendaraan bermotor. Sudut melihat sign yang berada di zona nyaman melihat sangat mempengaruhi keterbacaan dari pesan yang ada dalam sign, sehingga selain sudut pandang dari pembaca terhadap sign maka sudut penempatan sign terhadap bangunan juga harus diletakkan tegak lurus dengan fasade bangunan agar bisa terlihat oleh pembaca baik yang berjalan kaki maupun berkendaraan bermotor.
Faktor pertimbangan dari referensi : a.
b.
58
Pembentuk kesinambungan dalam deret bangunan pada sebuah koridor ditentukan oleh 3 hal; yaitu : Orientasi, Posisi dan Isi (Cullen, 1961). Pemahaman kesinambungan menggunakan asumsi dengan melihat “kesamaan umum”
c.
d.
e.
f.
g.
h.
antara bangunan lama-bangunan baru, bangunan lama-bangunan lama dan bangunan baru-bangunan baru yang terdapat pada koridor jalan Tunjungan dengan melihat seperti pada kesamaan ketinggian, kesamaan bahan material dan kesamaan massa bangunan (Brolin, 1980). Hendraningsih (1985) menjelaskan bahwa ciri-ciri visual tersebut tidak bisa berdiri secara independen, tetapi terpengaruh oleh pada suatu keadaan, antara lain : a) Perspektif atau sudut pandang pengamat; b) Jarak pengamat terhadap benda tersebut; c) Keadaan pencahayaannya; d) Lingkungan visual yang mengelilingi benda obyek tersebut. Penempatan sign agar jelas terlihat harus memperhatikan : a) Arah perjalanan; b) Jenis produk; c) Jangkauan; d) Kecepatan arus lalu lintas; e) Persepsi orang terhadap lokasi; f) Keserasian dengan bangunan di sekitarnya (Kasali, 1995). Penempatan sign agar jelas harus mempertimbangkan : a) Penempatan longitudinal (membujur); b) Penempatan lateral dan ketinggian; c) Tata letak jalan, lingkungan dan topografi; d) Orientasi permukaan sign sehubungan dengan para pengemudi (Grove, 2006). Penandaan diharapkan tidak terlalu detail atau berantakan sehingga membuat sign tak bisa dibaca oleh lalu lintas kendaraan (Verona Design Guidelines Version 1.0. 2009). Pasal 10c UU. No 11 th 2010 : Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila: memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun; Pasal 80 UU no.11 th 2010 : (1) Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya asli berdasarkan kajian. (2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya.
Hasil Evaluasi a.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa koridor ini tidak memiliki garis imajiner penghubung yang menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi, atau garis yang menghubungkan satu bentuk dengan bentuk lainnya dalam komposisi sehingga tidak tercipta keteraturan letak.
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
b.
c.
d.
keberadaan JPO yang dijadikan struktur penyangga billboard menyalahi peraturan perundangan Cagar Budaya dan pengaturan koridor secara teoritis. Keberadaan JPO menyalahi pasal 10C dan pasal 80 UU no.11 th 2010 karena merusak fungsi ruang kawasan konservasi dan melemahkan informasi tentang Cagar Budaya. peletakan sign antar muka bangunan yang belum teratur belum bisa menggambarkan enclosure koridor di masa lalu, sehingga keberadaan sign yang ada pada saat ini masih belum bisa menguatkan kawasan sebagai koridor kawasan cagar budaya Pembaca sign memerlukan kemudahan dalam untuk membaca sign di jalan Tunjungan, oleh karena itu dengan menyesuaikan dimensi jalan dan posisi bangunan terhadap jalan maka bangunan konservasi di jalan Tunjungan memerlukan sign yang posisinya tegak lurus terhadap jalan dan sejajar terhadap jalan agar bisa dibaca dengan baik oleh pejalan kaki yang berjalan di pedestrian dan pengendara kendaraan yang berada di badan jalan.
mencantumkan logo yang mudah dikenali masyarakat, membatasi tulisan dalam 1 hingga 2 kata pendek dan ditulis dalam 1 lajur. Sign hanya perlu menunjukkan produk yang ditawarkan dalam bangunan. Sedangkan untuk konten penunjang yang lain bisa dipajang dalam storefront atau di bagian lain yang bersifat lebih internal dari gedung dan tidak mengganggu fasade bangunan.
Sign dipasang menghadap pembaca
Ketinggian sign antara yang di fasade ataupun free standding sign disamakan agar membentuk garis levelling dan garis enclosure koridor
Sign tidak terlalu detail agar mudah terbaca lalu lintas kendaraan
Gambar 10. Penempatan sign untuk membentuk enclosure bangunan 2 buah Sign dipasang dalam 1 bangunan, untuk memudahkan dibaca pengguna jalan sign dipasang tegak lurus terhadap bangunan, agar mudah terbaca pengguna kendaraan bermotor
Kriteria terpilih sign dipasang sejajar bangunan, agar mudah terbaca pejalan kaki
a.
b. c.
Untuk membentuk kesinambungan garis enclosure, maka sign pada fasade bangunan dalam 1 koridor harus dipasang segaris pada ketinggian yang sama dengan mempertimbangkan garis ketinggian levelling bangunan di jalan Tunjungan. Sign harus mudah terbaca oleh pengguna jalan Panjang huruf dibatasi agar mudah terbaca pengguna kendaraan bermotor
Sign dipasang sejajar garis levelling lantai
Bentuk dan dimensi ukuran sign kurang dari setengah luas bidang yang boleh dipasangi sign
Sign tidak terlalu detail dan menghadap arah lalu lintas
Gambar 11. Penempatan sign yang menghadap arah lalu lintas pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor
Konsep terpilih a.
b.
c.
Ketinggian sign antara yang di fasade ataupun free standing sign disamakan setinggi pada garis levelling bangunan dalam koridor Sign dipasang untuk melayani kebutuhan bagi orang yang membacanya dan bukan untuk kebutuhan dari bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, arah hadap Sign dipasang dengan menghadap kepada pembacanya, sehingga harus ada sign yang dipasang sejajar bangunan agar mudah dibaca pejalan kaki dari seberang jalan dan tegak lurus terhadap bangunan agar mudah dibaca pengguna kendaraan bermotor maupun pejalan kaki yang berjalan di bawah kanopi bangunan. Sign tidak terlalu detail agar mudah terbaca lalu lintas kendaraan, yaitu dengan
Pembahasan hasil Character Appraisal pada Aspek Keseimbangan, Kesatuan, Proporsi dan Skala. Fakta Lapangan : a.
b.
Di antara bangunan-bangunan tersebut yang sudah memiliki keseimbangan dalam bentuk, proporsi, warna dan gaya dengan karakter bangunan adalah sign milik Kantor BPN, Hotel Mojopahit, Rabo Bank dan Toko Lalwani. Kesatuan dari sign dengan bangunan diperoleh dari keberadaan ukuran dimensi sign yang tidak mendominasi terhadap bangunan. Dimensi sign memiliki ukuran yang sesuai dengan bagian bangunan yang bisa ditempeli sign namun tetap bisa terlihat dengan baik oleh pengguna jalan. Ketidak-
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
59
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
c.
d.
e.
f.
dominanan sign yang baik dapat dilihat pada bangunan Hotel Mojopahit atau Rabo Bank. Bangunan yang sudah memiliki proporsi visual baik, pada umumnya menggunakan bentuk sign dari tulisan yang di-emboss keluar. Proporsi ini selain memberikan kesan menarik, juga terlihat tidak menguasai bangunan dan bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat. Bangunan yang menjadi contoh adalah Museum Pers, Hotel Mojopahit dan Tunjungan City. Ada pula proporsi yang terbentuk dari bidang papan atau bahan fiber dengan pencahayaan internal sebagai landasan tulisan dengan kualitas baik, seperti milik Yayasan Nurussalam dan Rabo Bank. Papan fiber milik Rabo Bank terkesan seolah-olah membentuk dinding penghalang tampias hujan untuk gedung Bangunan-bangunan yang dianggap sesuai antara bentuk 2D-nya secara umum mengikuti bentuk dasar dari bidang yang ditempati. Jika bidang bangunan dominan segi empat, maka bentuk sign juga segi empat, seperti pada Rabo Bank, Yayasan Nurussalam dan CIMB Niaga. Sedangkan komposisi yang sesuai karena tidak terikat dengan fasade bangunan akibat dari bentuknya yang hanya berupa emboss tulisan adalah milik Hotel Mojopahit, Museum Pers dan Tunjungan City. Komposisi yang sifatnya bebas digunakan oleh BPN, karena posisi sign berupa free standing sign yang terpasang diatas gerbang masuk menjadikan sign sebagai sebuah gapura pintu masuk bangunan, sehingga tetap sesuai perannya sebagai pintu yang tidak terikat oleh bentuk fasade bangunan.
b.
Hasil Evaluasi a.
b.
c.
d.
Faktor pertimbangan dari referensi : a.
60
Image suatu kawasan dapat dinilai dari aspek Estetikanya, yang tentu saja berkaitan dengan estetika arsitektural dari bangunanbangunan penyusunnya. Penilaian estetika terhadap tampak bangunan dari sebuah karya arsitektural secara intuisi dan rasional harus mengikuit prinsip-prinsip estetika yang meliputi: sumbu (axis), simetri, hirarki, irama, pengulangan, datum, transformasi, proporsi, skala, keseimbangan, emphasis/ tekanan, solid/rongga dan warna (Ching, 1979). Pertimbangan estetika meliputi pertimbangan rasional dan pertimbangan intuisi. (Purwadarminto, 1976 dalam Wondoamiseno, 1994). Pertimbangan rasional yang paling sering digunakan dalam merancang tampak bangunan adalah (1) keseimbangan
(balance), (2) kesatuan (unity), (3) proporsi (proportion) dan (4) skala (scale). pasal 80 UU no.11 th 2010 : (1) Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap budaya asli berdasarkan kajian. (2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi tentang Cagar Budaya
e.
Adaptasi sign pada fasade bangunan konservasi harus mempertahankan nilai yang terkandung dalam sebuah bangunan cagar budaya, dimana yang termasuk dalam nilai-nilai tersebut adalah gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan sign dengan estetika arsitektural bangunannya Estetika arsitektural yang dimaksud adalah estetika terhadap tampak fasade bangunan dari sebuah karya arsitektural yang penilaiannya dilakukan secara intuisi dan rasional dengan mengikuti prinsip-prinsip estetika yang penilaiannya meliputi: sumbu (axis), simetri, hirarki, irama, pengulangan, datum, transformasi, proporsi, skala, keseimbangan, emphasis/ tekanan, solid/rongga dan warna sebagai hasil kajian yang mendalam Bentuk, proporsi, warna dan gaya sign tidak boleh mendominasi bangunan, memberikan kesan menarik dan juga terlihat tidak menguasai bangunan, serta bagian bangunan yang tertutupi masih tetap bisa terlihat Komposisi sign di muka bangunan harus selaras dengan komposisi 2D fasade bangunan dengan tetap mengacu pada tata ruang dan tata letak yang berlaku pada langgam bangunan Sign yang menggunakan penyangga dan terletak diluar massa bangunan (free standing sign) tidak mempengaruhi komposisi fasade bangunan, sehingga diperbolehkan memiliki bentuk dasar apapun selama sesuai dengan langgam bangunan dan memberikan penguatan informasi tentang bangunan Cagar Budaya
Kriteria Terpilih a.
b.
Sign harus mempertahankan nilai asli bangunan cagar budaya, mampu beradaptasi dengan gaya bangunan konservasi dan harus memiliki nilai estetika arsitektural Penempatan massa sign tidak boleh mengganggu massa dan langgam bangunan
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
Ismail Wahyu Widodo, Bambang Soemardiono, Endang Titi Sunarti
c. Sign yang terlepas dari bangunan harus mampu menjadi penguat informasi bangunan Konsep Terpilih a.
b.
c.
Sign di kawasan konservasi cagar budaya mengikuti pola desain era kolonial, dimana bentuk-bentuk baru dari sign mengikuti bentuk, gaya, pola dan cara pemasangan konstruksinya mengikuti pola pada masa dibangunnya kawasan dimana bangunan konservasi didirikan. Sign yang menempel pada dinding bangunan dibentuk dari cat atau semen yang dicetak membentuk emboss logo atau tulisan, sedangkan yang berbentuk papan dari kayu, logam atau neon box diberi jarak kurang dari 15 cm agar tidak terlihat seperti massa bangunan yang terpisah. Sign yang terpisah dari bangunan tetapi masih berada dalam site bangunan, tetap berfungsi sebagai tanda pengenal bangunan dan bukan reklame produk yang tidak berhubungan dengan kegiatan yang dijual atau dilakukan di dalam bangunan.
Free standing sign dengan pencahayaan eksternal di Jalan Tunjungan
Desain Free standing sign dengan pencahayaan internal/eksternal untuk Jalan Tunjungan
Gambar 11. Contoh penggunaan free standing sign di Jalan Tunjungan pada era-kolonial (sumber :Troppen museum dan hasil analisa, 2013) SIMPULAN Hasil diskusi dari penelitian ini memberikan kesimpulan : Keberadaan sign yang melintang di tengah jalan merusak jalinan keterhubungan antar bangunan sehingga keberadaannya sangat mengganggu.
Kemunduran bangunan, kecepatan berkendara, ketinggian huruf, panjang kalimat dalam sign, kedudukan sign terhadap bangunan dan arah hadap sign mempengaruhi kejelasan pembacaan terhadap sign. Nilai estetika sign ketika terpasang pada bangunan konservasi ditentukan pada tingkat gangguan dari sign terhadap bangunan. Semakin sebuah sign menghalangi pengguna jalan untuk melihat fasade dan ornament hiasan bangunan, maka nilai estetikanya semakin rendah. Demikian juga sebaliknya jika sebuah sign mampu menonjolkan dan menguatkan fasade bangunan serta mendukung konsep konservasi kawasan, maka nilai estetikanya semakin baik. DAFTAR PUSTAKA Ashihara, Yoshinobu (1970), Exterior Design in Architecture, New York : Van Nostrand Reinhold Company. Ching, Francis D.K. (1979), Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Tatanan (terjemahan edisi ketiga), Jakarta: Erlangga. Cullen, Gordon (1961), Townscape, New York: Van Nostrand Reinhold. Darjosanjoto, Endang T.S. (2006), Penelitian Arsitektur di Bidang Perumahan dan Permukiman, Surabaya: ITS Press. Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1870-1940), LPPKM UK. Petra Surabaya & Penerbit Andi Yogyakarta. Krier, Rob (1979), Urban Space. Rizolli International Publications, Inc Lynch, Kevin (1960), The Image Of The City. U.S: The M.I.T. Press. Manaugh, Kevin (2011), “Toward a Comprehensive Understanding Of Walking Behaviour: Incorporating Attitudes, Values, Preferences, SocioEconomic Factors and Home Location Decision”, TRAM-Seminar, McGill-SOUP Moughtin, James Clifford (1992), Urban Design: Street and Square. British Library Cataloguing in Publication Data: Butterworth-Heinemann Ltd. Moughtin, James Clifford (1999), Urban Design: Method and Techniques. British Library Cataloguing in Publication Data: Butterworth-Heinemann Ltd. Moehadjir, Noeng (2000), Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014
61
PENATAAN SIGN PADA KORIDOR TUNJUNGAN KOTA SURABAYA DALAM UPAYA PERBAIKAN KUALITAS LINGKUNGAN PUSAT KOTA DENGAN MEMPERTAHANKAN IMAGE SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI CAGAR BUDAYA
Natalivan,
Petrus (1997), Pedoman Teknis Penataan Media Reklame Luar Ruangan. Skripsi, ITB, Bandung. Rossi, Aldo (1982), The Architecture Of The City, England : The MIT Press. Wondoamiseno, Rachmat (1996), “Evaluasi Penggunaan Teori Pertimbangan
62
Rasional Pada Bangunan “Teatro Del Mondo” Karya Arsitek Aldo Rossi”, Jurnal Media Teknik no. 3 Tahun XVIII Edisi November 1996 No. ISSN 2016-3012
Jurnal Tata Kota dan Daerah Volume 6, Nomor 1, Juli 2014