LANTIP Volume 02. No. 02. Oktober 2012 KOLONIALISME DALAM TEKS SASTRA
Purwanto Abstract
English and Indonesian literature produced many novels having the historical backgrounds in the colonial period. These literary works can be read as texts that reflect the grand narrative hegemony of the imperialists. However, there are also texts that can be read as a resistance of the marginalized and stigmatized.
Keywords: literary works, history, colonialism, post-colonialism, hegemony,
resistance.
A. SASTRA SEBAGAI NARASI SEJARAH Penulisan karya-karya sastra banyak yang berpijak atau berdasarkan pada fakta dan kenyataan sejarah pada masanya. Meski ada perdebatan tentang korelasi dan posisi antara sejarah dan karya sastra yang umumnya berpusat pada pertentangan antara aspek fakta dan fiksi, namun terdapat semacam intertekstualitas yang menjembatani peran kedua ranah tersebut. Proses intertekstualitas terjadi ketika teks sastra mencoba mengemas fakta sejarah menjadi sebuah narasi yang dibumbui elemen dramatik, romantisme, tragedi, ataupun komedi. Penarasian teks sejarah menjadi teks sastra dapat dilihat sebagai mimesis, sebuah teori yang pernah digagas oleh filsuf Yunani, Plato. Kesenjangan antara narasi dan fakta sejarah jauh sebelumnya sudah diantisipasi oleh Plato. Meski demikian menurut Plato, mimesis adalah sarana artistik. Ia menambahkan, tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme dalam seni. (Teeuw, 2003: 181). Berkaitan dengan konteks sastra sebagai narasi sejarah, tulisan ini mencoba mengulas buku Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia, tulisan Prof. Faruk H.T. Dalam buku tersebut, melalui perspektif poskolonialisme, Faruk membedah karya-karya klasik kesusastraan Indonesia yang diwarnai sejarah kolonialisme.
LANTIP Volume 02. No. 02. Oktober 2012 B. KOLONIALISME DISKURSIF Dalam buku Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia, Faruk mencoba menghadirkan potret beberapa karya sastra di Indonesia pada masa kolonial (rentang medio abad 19 hingga tahun 1942) yang dipotret dengan ‘kamera’ poskolonial. Diantara tujuh karya sastra yang ada (dan yang merupakan terjemahan) terdapat karya-karya yang termasuk dalam kanon sastra Inggris yaitu Robinson Crusoe, karya Daniel Defoe, serta karya novelis Perancis, Alexandre Dumas, The Count of Monte-Cristo, disamping novel Max Havelaar, serta novel yang diterbitkan Balai Pustaka yang juga masuk dalam kanon sastra Indonesia yakni Sitti Noerbaja. Melalui karya-karya sastra diatas, Faruk ingin menyampaikan bahwa kolonialisme tidak melulu bersifat fisik, melainkan juga diskursif. Teks bisa menjadi media yang efektif dalam rangka mempertahankan, ataupun menyokong hegemoni sang penjajah. Salah satu bentuk teks ialah karya sastra dimana dalam konteks yang dibahas oleh buku ini karya sastra merupakan media yang tidak steril dari kepentingan pihak penerbit atau penulisnya. Ini agaknya sebangun dengan kritik marxisme terhadap humanisme bahwa ada kepentingan dibalik produksi pengetahuan. Dalam buku ini dipaparkan bagaimana paradigma humanisme Barat beroperasi via teks yang melingkupi kesusastraan era kolonial di Indonesia dengan penerbit Balai Pustaka sebagai salah satu otoritas yang memproduksi teks-teks tersebut. Tapi mungkin karena ikut ‘terbelenggu’ oleh koridor pembatasan masalah, penulis buku tersebut tidak mengulas novel-novel Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang notabene adalah salah satu tokoh Balai Pustaka, yang justru dikenal ngeyel dalam membela Barat dengan kredo yang memicu polemik pada masanya yakni “menoleh ke Barat”. Pisau Faruk bahkan tidak sempat menakik visi STA yang pro Barat ditengah resistensi yang justru ingin mengubur sisa-sisa kebudayaan kolonial. Faruk hanya sedikit menyinggung kiprah STA seputar sejarah pendirian Balai Pustaka.
C. OTHERING, FOUCAULT, DAN PSIKOANALISIS LACAN Melalui analisis Robinson Crusoe, Faruk - meski tidak eksplisit - mencoba menggambarkan terjadinya proses pelainan atau othering, subjugation, pengosongan subjek dari budaya, dan sebagainya yang dilakukan tokoh Crusoe terhadap tokoh bernama Friday. Pembaca yang tidak asing dengan pemikiran filsuf Michel Foucault juga dapat mengkaitkannya dengan teori pembentukan wacana atau pengetahuan dimana kredo humanisme knowledge is power oleh Foucault - dengan strategi dekonstruksi - dibaca ulang menjadi power is knowledge. Namun Faruk tak menyinggung adanya relevansi psikoanalisis Jacques Lacan yang sebenarnya juga beroperasi dalam diri tokoh Crusoe. Crusoe, dalam interaksinya dengan Friday, menyebut yang terakhir ini sebagai “my man Friday”. Defoe sendiri menggambarkan bagaimana Crusoe ‘mendikte’ Friday hingga pada caranya berpakaian yang mirip Crusoe. Jika dihubungkan dengan psikoanalisis Lacan, dalam interaksi CrusoeFriday - selain proses othering - juga terjadi ‘pengakuan’ jati diri Crusoe melalui kehadiran atau ‘pandangan’ Friday. Dengan membuat Friday bergaya busana seperti dirinya, maka Crusoe ingin menempatkan Friday sebagai ‘cermin’ yang ‘merefleksikan’ atau ‘mengakui’ keberadaan dirinya. Demikian halnya dengan Friday yang menempatkan Crusoe sebagai ‘pusat’. Dengan kata lain terjadi proses ‘saling memandang’ yang bersifat hirarkis.
LANTIP Volume 02. No. 02. Oktober 2012
D. BAHASA SEBAGAI MEDAN HEGEMONI DAN RESISTENSI Pada bab pendahuluan buku Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia, sebagai latar Faruk memberikan semacam tinjauan teoretis seputar pakem-pakem di rimba poskolonial yang sebelumnya sudah dibabat alas oleh trio pendekarnya yakni Edward Said, Homi K. Bhabha, dan Gayatri C. Spivak. Bab berikut dari buku itu mengupas domain bahasa sebagai wilayah yang juga dirambah pihak kolonial - yang dalam konteks di buku itu ialah Belanda - guna memperkuat hegemoninya melalui kodifikasi dan standarisasi bahasa Melayu yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia pun pada akhirnya juga dipakai sebagai salah satu medium resistensi para tokoh pergerakan politik Indonesia kala itu. Jika dikaitkan dengan situasi Indonesia saat ini ada semacam kaitan historis dimana domain bahasa selalu menjadi medan yang tak lepas dari pertarungan hegemoni dan resistensi dua kutub. Antara pihak penjajah dan terjajah, atau dalam konteks Indonesia kontemporer pasca kolonial: antara budaya Barat dan Timur. Maka wacana yang meninjau posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional - baik dalam teks sastra ataupun diluar sastra - ditengah ‘hegemoni’ bahasa Inggris, akan menjadi bahan studi poskolonial yang menarik. Kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia untuk nama-nama gedung serta sarana-sarana publik beberapa waktu lalu bisa dibaca sebagai bentuk ‘resistensi’ terhadap merajalelanya gejala peng-Inggrisan di Indonesia.
E. MIMIKRI, AMBIVALENSI, RELASI METONIMIK DAN SEMIOTIK DALAM SITTI NOERBAJA Dalam buku tersebut Faruk juga menunjukkan bentuk lain dari kolonialisme, yaitu pendudukan pikiran. Melalui analisis novel roman Sitti Noerbaja Faruk mepaparkan konstruksi kolonial terhadap citra diri yang tersirat melalui karakterisasi tokoh-tokoh seperti Datuk Maringgih dan Samsul Bahri. Penulis novel ini, Marah Rusli, yang ternyata juga berprofesi sebagai dokter hewan di lingkungan birokrasi kolonial Belanda (Faruk, hlm. 309) dengan halus mengantarkan pembaca dari liku-liku romantisme Samsul dan Sitti yang mengharubiru ke domain politik. Mungkin karena kisah-kisah roman dianggap efektif dalam membangun empati dan simpati pembaca atas tokoh-tokoh protagonis yang sengaja diposisikan dalam kondisi ‘teraniaya’. Melalui konstruksi pencitraan para tokoh seperti Samsul versus Datuk yang hitam-putih dan berpola oposisi biner; baik-buruk, dari segi fisik dan watak maka emosi dan empati pembaca dipancing untuk kemudian - tentu saja - berada di pihak ‘si baik’ yaitu Samsul Bahri. Tokoh Datuk Maringgih, yang citra dirinya - sejak awal - sudah dibuat babak belur dimata pembaca, kemudian ditambahi lagi dengan label ‘pemberontak’ yang melawan pemerintah kolonial/Belanda. Dan ‘kebetulan’ penumpasnya adalah Samsul sendiri yang digambarkan menjadi serdadu Belanda. Ada semacam relasi metonimik yang ditimbulkan dari konstruksi pencitraan kedua tokoh tersebut, yakni Datuk: pribumi, kolot, jahat, pemberontak, Samsul: pemerintah Belanda, moderen, baik, penyelamat. Relasi metonimik tersebut mencoba menyiasati pembaca agar bisa mentolerir dan membenarkan tindakan Samsul atas Datuk yang akhirnya akan bisa dibaca sebagai pembenaran atas tindakan pemerintah kolonial atas subjek-subjek yang dikoloninya.
LANTIP Volume 02. No. 02. Oktober 2012 Meski Faruk tidak secara ekplisit membahasnya, dalam Sitti Noerbaja juga ada proses othering dalam karakterisasi Samsul dan Datuk. Melalui penggambaran watak fisik dan non fisik, kedua tokoh ini sudah ‘dilainkan’ oleh penulisnya. Pada saat kedua tokoh utama itu terlibat konflik pun terjadi aksi saling ‘memperlainkan’. Samsul dengan ‘warna’ barunya yakni serdadu kolonial memandang Datuk sebagai pemberontak yang layak ditumpas, sedangkan Datuk adalah seorang pribumi yang resisten yang memaki Samsul sebagai ‘anjing Belanda’. Adegan ini bisa dibaca sebagai adanya kesadaran tentang asal-usul identitas diri meski pada tokoh Samsul ada semacam kegamangan identitas atau meminjam istilah Bhabha ada ambivalensi yang mengiringi mimikri subjek terjajah terhadap penjajahnya. Di awal kisah, gambaran narator atas sosok Samsul yang mirip dengan sosok sinyo Belanda merupakan mimikri. Pada perkembangan kisahnya posisi Samsul seperti bunglon yang berubah-ubah warna diantara dua lingkungan dan identitas. Disini ambivalensinya bermain karena Samsul seperti terperangkap dan terombang-ambing dalam dilema antara dua sikap, yakni antara pengabdian dan loyalitasnya sebagai serdadu kolonial dan nurani nasionalismenya sebagai warga pribumi dari negara yang terkoloni. Andaikan Faruk juga menggunakan pendekatan semiotik dalam pembacaan atas konflik antara tokoh Samsul dan Datuk maka akan terlihat semacam ‘permainan tanda’ dimana ‘tanda-tanda’ (tokohtokoh) saling memberi tambahan tanda pada tanda yang lainnya. Tanda tambahan itu seakan mencoreng tanda yang telah melekat sebelumnya pada diri masing-masing tokoh. Samsul dengan tanda barunya yakni serdadu Belanda ‘menandai’ Datuk dengan tanda baru yakni ‘pemberontak’ hingga tanda Datuk sebagai pribumi menjadi tercoreng. Sedangkan Datuk balik ‘menandai’ Samsul sebagai anjing Belanda sekaligus mencoreng tanda ‘penyelamat’ yang dimiliki Samsul. Aksi dari tandatanda yang saling menandai satu sama lain ini berlangsung dalam bahasa dan situasi yang konfrontatif dan bermusuhan sehingga efek yang dirasakan oleh masing-masing tanda atas ‘penandaan tambahan’ itu ialah apa yang bisa disebut sebagai kekerasan semiotik (semiotic violence) atau semacam pendiskreditan, ‘pembunuhan tanda’, ‘pembunuhan karakter’.
F. PENUTUP Dalam buku Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia, bentuk dan struktur narasi karya sastra yang menjadi obyek bahasan diberikan porsi khusus. Pada bab-bab tersebut pembaca seperti tiba-tiba masuk dalam buku pengantar teori sastra. Teks-teks diluar karya sastra yang juga dipakai sebagai pengiring wacana hegemoni seperti unsur mitologi, mistisisme lokal, yang kadang sengaja disisipkan para penulis sastra barangkali perlu disinggung. Mengacu pada subjudul buku itu - Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia - tidak dimasukkannya karya tetralogi Pramoedya Ananta Toer sebagai obyek bahasan atau pembanding patut dipertanyakan mengingat karya-karya Pramoedya dikenal sarat dengan teks dan wacana yang menyuarakan resistensi terhadap kolonialisme. Tetralogi Buru karya Pramoedya setidaknya bisa menjadi pembanding novel-novel keluaran Balai Pustaka yang dibidani pemerintah kolonial. Dalam buku tersebut penulis tidak memasukkan karya-karya sastra era orde baru dan pasca orde baru yang sebetulnya dapat menjadi pembanding dalam rangka ‘merayakan’ perspektif poskolonialis yang melihat kolonialisme lebih sebagai akibat yang laten ketimbang masa lalu yang
LANTIP Volume 02. No. 02. Oktober 2012 sudah final. Setidaknya dengan begitu akan tergambar apakah – ditengah globalisasi dengan segala kompleksitasnya - jejak-jejak dan residu kolonialisme masih eksis dan laten hingga kini atau sekadar menjadi ‘hantu’, yang ‘penampakannya’ hanya bisa dirasakan dan dilihat oleh ‘kamera paranoia’ poskolonialis, sementara diskursus poskolonialisme, nasionalisme, dan nation state juga tengah ‘diuji’ oleh isu-isu mutakhir seperti multikulturalisme, serta oleh demokrasi liberal dan kapitalisme global, yang digagas Fukuyama dalam buku The End of History and The Last Man. Untuk lebih memahami buku ini setidaknya dibutuhkan literatur pengiring tentang diskursus poskolonialisme lengkap dengan ragam terminologi serta wacana-wacana dari trio pendekar rimba poskolonial yaitu Edward Said, Homi K. Bhabha, dan Gayatri C. Spivak. Buku ini sendiri sangat disayangkan tidak melampirkan glosarium yang berisi terminologi poskolonialisme yang pasti akan sangat berguna bagi pembaca dalam rangka mengenal dan memahami ‘spesies’ bernama poskolonialisme tersebut.
*** Catatan: Othering : suatu cara atau proses untuk mendefinisikan dan mengeksiskan superioritas identitas suatu pihak/orang atas pihak/orang yang dianggap 'lain' atau inferior melalui stigmatisasi atau penajaman perbedaan Mimikri : proses adaptasi, peniruan, kamuflase.
DAFTAR PUSTAKA
Childs, P., Williams, RJP. (1997) An Introduction to Post-Colonial Theory.
London: Prentice Hall.
Edgar, A., Sedgwick, P. (ed.) (2002) Cultural Theory The Key Concepts. New York: Routledge. Faruk H.T. (2007) Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sastra
Fukuyama, F. (2006) The End of History and The Last Man. New York: FreePress. Loomba, A, (1998) Colonialism/Postcolonialism. London: Routledge. Mulder, N. (1978) Mysticism & Everyday Life in Contemporary Java. Singapore UP Teeuw, A. (2003) Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya. Lain-lain: Catatan Kuliah Reguler Teori Poskolonial, IRB, USD, 2008
Indonesia.