ABSTRACT This research titled “Feminism in the Novel Rêves de Femmes: Une Enfance Au Harem by Fatima Mernissi an Analysis of Roland Barthes Five Codes System”. The material object of this research is worked by Fatima Mernissi, the writer who came from Morocco, North Africa. In 2003, Rêves de Femmes: Une Enfance Au Harem escorted her to win Prince of Austria award. The novel tells about the struggle of women who lives in a harem and hopes to get the equality in the entitlement. The study maintains on the aspect of feminism with the semiotic approach. The theory used in this research is semiotic theory proposed by Roland Barthes using Roland Barthes five systems codes: they are the proairetic code or action code, the semic code, the hermeneutic code, the symbolic code and the cultural code. The purpose of this research are to identify and represent elements of feminism, in addition, this research aims to express the role of feminism in this novel. Finally, the result of this research showed that "Rêves de Femmes: Une Enfance Au Harem" contains some elements of liberal feminism and the role of feminism in the novel. Keywords : feminism, Rêves de Femmes : Une Enfance Au Harem by Fatima Mernissi, Roland Barthe’s semiotics.
xiii
EXTRAIT Le thème de mémoire se titre “ Le Féminisme dans le roman : Rêves de Femmes de Fatima Mernissi : Une Analyse Sémiotique ”. L’objet matériel de cette recherche est un travail de Fatima Mernissi. Rêves de Femmes a obtenu le prix Prince des Asturies en 2003. Le roman relate sur la lutte et le combat de femmes qui habitent dans un harem et qui espèrent obtenir une similarité dans les droits. L’étude insiste sur l’aspect du féminisme trouvée dans ce roman en utilisant l’approche sémiotique. La théorie utilisée est la théorie sémiotique de Roland Barthes, à l’aide des cinq systèmes de codes Roland Barthes, à savoir : le code proaïrétique ou le code d’action, le code sèmique ou la connotative, le code herméneutique, le code symbolique, et le code culturel. Le but de cette recherche est de définir et de mettre en relief d’éléments du féminisme dans cette œuvre, en plus, cette recherche a pour objectif d’exprimer le rôle du féminisme libéral dans ce roman. Enfin on peut conclure que le roman « Rêves de Femmes » contient des éléments du féminisme ainsi que le rôle du féminisme dans ce roman. Mots clés : féminisme, rêves de femmes de Fatima Mernissi, la sémiotique de Roland Barthes.
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diskriminasi gender masih berlangsung di berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia walaupun ditemukan banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade terakhir ini. Gender merujuk pada peran dan perilaku yang tertanam melalui proses sosialisasi dan sejumlah tuntutan yang berkaitan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dan dengan kata seks (jenis kelamin). Menurut Fakih (1996: 7 - 8) pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Secara perlahan-lahan penindasan dan pelabelan yang diberikan mulai disadari perempuan. Oleh karena itu, muncul resistensi dan upaya membongkar sistem yang dianggap sebagai akar penindasan perempuan, yaitu gender. Gender seharusnya
tidak
akan
menjadi
masalah
sepanjang
tidak
menimbulkan
ketidakadilan. Akan tetapi, adanya perbedaan gender ternyata membuat lahirnya ketidakadilan (Fakih, 2005:12). Perbedaan gender yang dimaksud meliputi segala bidang sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi. Pada perkembangannya ketidakadilan gender inilah yang sedang digugat perempuan. Hal ini merupakan
1
fakta pandangan kaum perempuan terhadap sistem patriarkat yang ada di masyarakat (Sugihastuti dan Suharto, 2002:6). Pandangan ini menganggap patriarki mendominasi perempuan dan menyebabkan ketidakadilan gender terjadi. Rosemarie Putnam Tong (1989) dalam Feminist Thought, menjelaskan ragam usaha feminis ke dalam berbagai aliran feminisme, misalnya feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis, dan feminisme sosialis, dan ecofeminism. Feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut sebagai kodrat. Gerakan feminis datang dengan analisis dan dari ideologi yang berbeda-beda, namun pada umumnya mereka mempunyai kesamaan serta kepedulian, yakni memperjuangkan nasib perempuan. Salah satu penulis perempuan yang konsisten memperjuangkan hak - hak perempuan khususnya melalui tulisannya ialah Fatima Mernissi. Ia merupakan, seorang tokoh feminis muslim, sosiolog, sekaligus penulis aktif yang berasal dari Maroko. Melalui karnyanya Fatima banyak mengangkat topik – topik mengenai perempuan terlebih lagi kritik – kritik mengenai kedudukan perempuan dalam Islam khususnya dunia Arab. Lahir di Fez, Fatima belajar di Universitas Mohammed V di Rabat kemudian pergi ke Paris dan bekerja sebagai seorang jurnalis. Mernissi menempuh pendidikan pascasarjananya di Amerika Serikat dan pada tahun 1973 memperoleh gelar PhD di bidang sosiologi dari Universitas Brandeis. Kembali ke Maroko, ia bergabung dengan departemen sosiologi di Universitas Mohammed V,
2
dan kemudian melakukan penelitian di Institut Universitaire de la Recherche Scientifique. Fatima dikenal di kalangan feminis sebagai salah satu feminis Arab yang diakui di negaranya sendiri dan di luar negeri, terutama di Perancis. Buku utamanya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk Inggris, Jerman, Belanda, dan Jepang. Dia menulis mengenai isu-isu perempuan, berpartisipasi dalam debat publik mengenai perempuan muslim internasional, dan telah mengawasi penerbitan seri buku tentang status hukum perempuan di Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Fatima fokus dalam mengeksplorasi hubungan antara ideologi seksual, identitas gender, organisasi sosial politik, dan status perempuan dalam Islam. Sebagai seorang feminis, karyanya merupakan upaya untuk melemahkan sistem ideologi dan politik yang membungkam dan menindas perempuan muslim. Dalam penelitian ini akan digunakan objek material yang merupakan salah satu karya Fatima Mernissi yang paling banyak disoroti yaitu Rêves de Femmes: Une Enfance au Harem. Ini merupakan sebuah roman yang mengisahkan masa kecil seorang anak dalam sebuah harem di tanah kelahirannya di Maroko. Melalui berbagai karakter dalam novel ini, Mernissi berusaha memaparkan bagaimana kehidupan dinamika perempuan dalam harem ketika aktivitas mereka benar-benar diatur dan dibatasi secara ketat. Tidak hanya oleh batasan fisik berupa tembok harem melainkan juga batasan-batasan tak tampak namun sangat mengikat kuat. Batasan tersebut bersembunyi dibalik agama dan tradisi. Novel ini menghadirkan kisah maupun pandangan yang kental dengan nilai positif serta membebaskan
3
bagi perempuan. Novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem dipilih sebagai objek material penelitian ini karena telah membawa Fatima Mernissi memenangkan Prince of Asturias Award pada tahun 2003. Harem dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan berupa bentuk rumah besar milik raja tempat tinggal selir-selir (kebiasaan di tanah Arab); wanita harem, wanita selir raja penghuni harem itu. Harem yang dimaksud dalam buku ini adalah harem domestik, lebih tepatnya sebuah rumah besar dengan dinding-dinding tinggi mengelilingi.Bisa juga diartikan sebuah keluarga besar yang memberi perlindungan kepada jandajanda dan anak-anak mereka. Harem dikatakan Fatima memang tidak selalu berkonotasi dengan “keangkuhan” laki-laki untuk mengendalikan perempuan. Fatima membedakan harem domestik ini dengan harem kerajaan yang lebih populer karena konotasi keerotikannya. Dalam novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem diceritakan terdapat ruang terbesar dan terbagus dari semua ruang yang ada ,yaitu ruang khusus para laki-laki, tempat para laki-laki makan, mendengarkan berita, melakukan perjanjian bisnis dan bermain kartu. Hanya laki-laki diantara anggota kelurga yang berhak mengakses radio, satu-satunya sumber berita dan hiburan dari dunia luar pada masa itu. Radio besar tersebut diletakkan dalam lemari yang dikunci di ujung ruangan. Sang ayah yakin sekali hanya dia dan paman yang memiliki kunci. Namun ternyata para perempuan telah mencuri kunci dan membuat salinannya. Lalu diam-diam mereka mendengarkan radio Kairo ketika para laki-laki keluar rumah. 4
Dengan adanya ketimpangan mengenai perlakuan perempuan dan laki-laki dalam harem membentuk sikap para wanita untuk melakukan perlawanan terhadap peraturan yang ada. Salah satu ungkapan bentuk ketidakadilan gender yang membentuk resistensi melalui ide feminis pada tokoh Chama dalam novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem. « J’ai dix-sept ans et je ne peux pas voir un film parce que je suis une femme ! Qu’est-ce que c’est que cette justice ? Quand traitera-t-on de la même manière garçons et filles » (p.112) « Usiaku tujuh belas tahun dan saya tidak bisa menonton film karena saya seorang perempuan! Apakah ini sebuah keadilan? Kapan laki-laki dan perempuan diperlakukan sama? ».
Latar belakang terbentuknya feminisme adalah perempuan mengalami subordinasi dan perlakuan sewenang-wenang dalam setiap sisi kehidupan. Kehadiran feminisme diyakini muncul dan berkembang untuk memperjuangkan kesederajatan maupun kesetaraan serta kebebasan perempuan. Gelombang feminisme pertama berkembang sejak tahun 1800an seiring dengan terjadinya revolusi Prancis dan industrialisasi menjadi landasan awal pergerakan perempuan. Perempuan mulai merintis perjuangan mencapai kesetaraan di bidang sosial, politik, pendidikan dan ekonomi. Pada gelombang kedua tahun 1960an, para tokoh feminis mulai mempertanyakan dan mengkritisi citra, representasi, gagasangagasan, teori maupun pandangan-pandangan tradisional tentang perempuan dan feminitas.
5
1.2 Rumusan Masalah Novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem ini merupakan novel yang kental akan nuansa gender dengan latar belakang budaya Islam. Ideologi patriarki merupakan sistem yang melekat pada struktur kehidupan masyarakat timur tengah. Perempuan menjadi subjek sekaligus objek yang mendominasi sebagian besar cerita. Kehidupan yang menganggap wanita sebagai orang kedua muncul dalam cerita novel ini. Hal ini mendasari perumusan masalah ini. 1) Unsur – unsur feminisme liberal apa saja yang terdapat dalam novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem ? 2) Bagaimana peran unsur-unsur feminisme liberal yang ada dalam novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan mampu memenuhi dua tujuan yaitu tujuan praktis dan tujuan teoritis. Tujuan praktis penelitian ini adalah melihat hubungan yang terbentuk antara teori yang digunakan dengan bentuk- bentuk feminisme yang dilakukan perempuan dalam novel Rêves de Femmes: Une Enfance au Harem.
Sedangkan tujuan teoritis yang ingin
dicapai adalah pengaplikasian teori dalam analisis novel Rêves de Femmes: Une Enfance au Harem untuk mengetahui unsur-unsur feminisme yang muncul.
6
1.4 Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, terdapat seorang mahasiswa yang menganalisis novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem. Penelitian dilakukan oleh Siswi pada tahun 2006 dengan judul Representasi Perempuan dalam Roman Rêves de Femmes : Une Enfance Au Harem Karya Fatima Mernissi (Pendekatan Psikologi Sosial). Dalam penelitian itu digunakan pendekatan psikologi sosial untuk mengungkapkan representasi perempuan dalam dimensi psikologis dan dimensi sosiologis. Penelitian mengenai feminisme dan ketidakadilan gender pernah dilakukan dengan menggunakan objek material yang berbeda. Tinjauan pustaka yang bertemakan hal tersebut diantaranya : Pada tahun 2012 Dwi Nurma Aprilia melakukan penelitian yang berjudul Resistensi dalam novel Notre Dame de Paris karya Victor Hugo : Tinjauan Feminisme. Dijelaskan mengenai bentuk- bentuk resistensi perempuan dalam novel Notre Dame de Paris. Tesis yang ditulis oleh Egawati pada tahun 2011 yang berjudul “ Resistensi Perempuan Bali Terhadap Patriarki Dalam Novel Seroja Karya Sunaryono Basuki KS : Tinjauan Kritik Sastra Feminis. Dalam penelitiannya mengungkapkan mengenai resistensi yang dilakukan perempuan Bali. Penelitian mengenai ketidakadilan gender selanjutnya dibuat oleh Agusta B.Da Costa (2001) yang berjudul Ketidakadilan Gender Dalam Novel L’Assommoir Karya Emile Zola. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai ketidakadilan gender yang didominasi oleh tokoh wanita.
7
Memahami Kekuatan Perempuan melalui Cerpen- Cerpen Karya Guy Maupassant (2007) oleh Rosyid Nurul Hakim. Dalam penelitiannya dipaparkan mengenai subordinasi terhadap perempuan dalam ruang publik maupun ruang domestik. Perempuan berusaha mendobrak benteng kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki. “Ketidakadilan Gender dalam Cerita Remaja La Fille du Canal karya Thierry Lemain : Tinjauan dari Segi Kekerasan” oleh Anjani Nari W. Menjelaskan adanya bentuk kekerasan emosional yang berupa penggunaan kata-kata kasar, cacian, serta adanya bentuk kekerasan seksual. Berdasarkan tinjauan pustaka diatas dapat diketahui belum ada penelitian yang menggunakan objek formal teori feminisme dan objek material novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem.
1.5 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan dua teori untuk menganalisis novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem yaitu teori semiotika Roland Barthes dan teori kritik sastra feminis. Teori semiotika Roland Barthes digunakan untuk menganalisa kode-kode yang terdapat di dalam cerita sebagai dasar untuk analisis selanjutnya. Untuk teori berikutnya yaitu kritik sastra feminis yang digunakan untuk menganalisa resistensi tokoh perempuan dalam novel ini.
8
1.5.1
Teori Semiotika Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti
tanda. Maka semiotika berarti ilmu tentang tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1). Peletak dasar teori semiotika ada dua orang, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Saussure menggunakan istilah semiologi sedangkan Peirce memakai istilah semiotik. Menurut Saussure, ilmu tentang tanda mempunyai dua aspek dikotomi yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signifié). Penanda adalah aspek sensoris dari tanda-tanda yang disebut sebagai citra bunyi atau citra akustik yang berkaitan dengan sebuah konsep (petanda). Penanda senantiasa bersifat material seperti bunyi-bunyi, objekobjek, imaji-imaji dan sebagainya (Budiman, 1999 : 93). Sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda-tanda, yang biasanya disebut sebagai “konsep”. Petanda bukanlah “sesuatu yang diacu oleh tanda” (referen), melainkan sebuah representasi mental dari “apa yang diacu” (Budiman, 1999: 94). Signifiant adalah /kursi/, dan signifié adalah gambaran atau citraan benda secara nyata atau hanya sebuah gambar berupa kursi. Menurut Charles S.Peirce, Semiotik adalah doktrin formal tentang tanda-tanda (Budiman, 1999 : 108). Semiotika Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant). Tanda adalah segala sesuatu
9
yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda dapat berarti bagi seseorang jika hubungan yang « berarti » ini diperantarai oleh interpretan (Zoest, 1996: 43).
1.5.2
Teori Semiotika Roland Barthes Roland
Barthes
sebagai
penerus
semiologi
Saussurian
mengetengahkan proses signifikasi. Signifikasi adalah suatu proses akta (tindakan) yang menyatakan significant dan signifié, dengan signe (tanda) sebagai produknya. Baginya semua hal di dunia ini mulai dari mode pakaian, kuliner, musik, sampai otomotif adalah kumpulan tanda yang oleh manusia secara tidak sengaja dilakukan pembacaan tertentu untuk memaknai kumpulan tanda tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Di dalam buku S/Z (1970) Barthes mencoba untuk menguraikan makna-makna yang terkandung di dalam novel Sarrasine karya Honoré de Balzac. Untuk mempermudah pemaknaan sebuah teks, Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Dalam buku tersebut terdapat sekitar lima jenis kode Barthes sebagai acuan setiap tanda, yang juga merupakan lima kode untuk menganalisis Sarrasine dalam buku S/Z. 1. Kode Teka-Teki / Hermeneutik Merupakan tanda yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di dalam benak pembaca selama proses pembacaan cerita. Kode ini meliputi
10
penempatan sebuah teka-teki dan penyimpanan terhadap teka-teki tersebut. Menurut Sobur (2003:65), kode ini berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul di dalam teks. 2. Kode Semik Merupakan kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda tertentu. Kode ini lebih mirip dengan apa yang disebut dengan tema atau struktur tematik, sebuah thematic grouping (Barthes, 1975: 19) 3. Kode Simbolik Jenis penanda teks yang mampu membawa pembaca untuk memasuki dunia lambang-lambang berikut maknanya. Lambang-lambang dalam wilayah simbolis ini mempunyai banyak makna yang dapat saling bertukar tempat. Simbol adalah aspek pengkodean fiksi yang khas bersifat struktural. 4. Kode Aksi / Proairetik Kode Aksi merupakan tindakan naratif dasar (basic narrative) yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Dengan kata lain, merupakan pengungkapan utama teks yang dapat terbaca langsung oleh pembaca. Barthes berpendapat secara teori bahwa semua aksi atau lakuan dalam teks dapat disistemasikan atau disusun. Dalam hal ini, tindakan atau aksi
11
bersifat sintagmatik, yaitu melalu pengidentifikasian tindakan atau aksi yang berangkat dari titik satu ke titik lainnya. 5. Kode Budaya / Kultural Penanda yang merujuk pada seperangkat referensi atau pengetahuan yang menjadi rujukan tersebut. Kode ini berkaitan dengan berbagai sistem pengetahuan dan sistem nilai yang tersirat di dalam teks. 1.5.2.1 Analisis Tekstual Roland Barthes Penelitian ini mengacu pada salah satu analisis yang digunakan Barthes dalam mengkaji cerita-cerita, yaitu analisis tekstual. Analisis tekstual tidak berusaha untuk mengetahui dengan apa suatu teks bisa dideterminasi (bisa dikumpulkan sebagai terma sebuah kausalitas), tetapi berusaha memahami bagaimana teks itu meledak dan menyebar kemana-mana (Barthes, 2007: 388). Barthes menentukan sejumlah disposisi operatoris1 yang harus diikuti untuk masuk ke dalam analisis tekstual sebuah cerita. Disposisi tersebut terbagi dalam empat ukuran (mesures) yang akan dijabarkan secara ringkas (Barthes, 2007: 389). 1. Pemotongan teks menjadi leksia Pemecah-mecahan teks naratif ini menjadi leksia murni bersifat empiris, yang ditentukan oleh kebutuhan kenyamanan. Sebuah leksia adalah sebuah signifiant tekstual, tetapi tujuan di sini bukan untuk mengamati signifiant 1
Disposisi operatoris merupakan kata yang digunakan untuk menghindari istilah metode (Barthes: 349)
12
signifiant, melainkan mengamati makna-makna (sens). Leksia yang berguna adalah leksia yang di dalamnya hanya lewat satu, dua, atau tiga makna. 2. Mengamati makna yang terkandung dalam leksia Makna (sens) dalam sebuah leksia tentu saja bukan tentang makna katakata seperti yang terdapat dalam kamus. Konotasi leksia dipahami sebagai makna kedua. Makna konotasi bisa berupa asosiasi yang merupakan deskripsi fisik seseorang yang diperluas hingga beberapa kalimat atau relasi, muncul dari dihubungkannya dua tempat, yang kadang saling berjauhan pada teksnya. 3. Analisis bersifat progresif Jalannya analisis ini berada pada pembacaan itu sendiri. Cara ini penting secara teoris untuk mengikuti struktur teksnya. Hal ini menunjukkan struktur yang terjadi pada pembacaan adalah lebih penting daripada strukturasi penyusunan (komposisi) teks itu (komposisi dalam pengertian retoris dan klasik) 4. Kelupaan Makna Barthes mengungkapkan bahwa tidak perlu khawatir ketika “melupakan” beberapa makna di sepanjang daftar yang dibuat. Dalam arti tertentu kelupaan makna adalah bagian dari pembacaan. Apa yang memberi dasar sebuah teks bukanlah sebuah struktur yang internal, tertutup yang bisa dihitung, melainkan sketsa teks itu yang bisa ditemukan pada beberapa
13
teks lain, pada beberapa kode lain. Apa yang membuat teks itu ada adalah intertekstualnya.
1.5.3
Teori Feminisme Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan salah satu masalah pendorong lahirnya feminisme. Menurut Sofia dan Sugihastuti (2003:26) munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik sastra feminis yang terbentuk dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan artikel, novel maupun media lain. Moeliono (1988: 241) menyatakan feminisme merupakan gerakan perempuan menuntut adanya persamaan hak sepenuhnya antara kaum laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri. Sementara itu Goefe (1986: 837) mendefinisikan feminisme sebagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik,
ekonomi,
dan
sosial,
kegiatan
yang
terorganisasi
yang
memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.
14
Menurut Djajanegara (2000: 51) pada umumnya karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feminis, baik cerita rekaan, lakon, maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan pendekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh protagonis atau tokoh bawahan. Perbedaan peran jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan selanjutnya menimbulkan masalah gender terwujud dalam karya sastra. Akhirnya bermunculan studi yang memfokuskan kajian pada perempuan dalam karya sastra yang sering disebut kritik sastra feminis. Ruthven (1984:40-50) menyatakan bahwa kritik sastra feminis merupakan kritik yang menelusuri bagaimana kaum perempuan direpresentasikan, bagaimanakah teks terwujud melalui relasi gender dan perbedaan sosial. Selain kritik sastra feminis membicarakan bagaimana perempuan dilukiskan, kritik juga mendeteksi potensi yang dimiliki perempuan ditengah kekuasaan patriarki dalam karya sastra. Diungkapkan pula bahwa laki-laki dan perempuan adalah sepasang jenis kelamin yang di dalam karya sastra, laki-laki dilukiskan selalu mendapatkan hak-hak istimewa. Menurut Showalter kritik sastra feminis adalah suatu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra ialah laki – laki maka karya sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan harapan kedalam pengalaman sastranya (Sugihastuti, 2002:18).
15
Dalam kritik sastra feminis, yang tidak dapat disingkirkan adalah jiwa analisisnya, yakni analisis gender. Ada lima konsep analisis gender yang digunakan sebagai dasar analisis (Sugihastuti dan Suharto, 2002: 23-24). Pertama, perbedaan gender adalah dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan, peranan, dan sebagainya yang dirumuskan
untuk
perorangan
menurut
ketentuan
kelahiran.
Kedua,
kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hak berpolitik, memberikan suara, bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan dari dan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan perbedaan perilaku sesuai dengan karakteristik biologis. Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau peranan laki-laki yang diaplikasikan secara nyata. Dalam kaitannya dengan kritik sastra feminis Culler menawarkan konsep Reading as a woman. Reading as a woman merupakan salah satu cara analisis sastra dengan melihat sebuah karya melalui kacamata perempuan. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita atau kritik tentang wanita atau kritik tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandungnya ialah pengkritik memandang satra dengan kesadaran khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan (Sugihastuti, 2002: 28-29).
16
Dalam kritik sastra feminis dilakukan eksplorasi terhadap aspek kebahasaan pengarang sebagai hal yang penting untuk menemukan bias gender dalam bahasa yang sering merugikan kaum perempuan. Hal ini seperti diungkapkan oleh Showalter (1985 : 255) bahwa tugas kritik sastra feminis adalah mengonsentrasikan pada penggunaan bahasa yang terdapat dalam susunan leksikal dari kata-kata yang dipilih atau hal yang menentukan nilai ideologis atau kultural pada ekspresi yang digunakan. Inti dari gerakan feminisme adalah adanya asumsi atas munculnya ketidakadilan berbasis gender dan adanya usaha perlawanan untuk meningkatkan kedudukan serta derajat perempuan agar setara dengan lakilaki. Untuk mendapatkan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dalam hal ini, muncul istilah equal right’s movement and women’s liberation movement sebagai cara perempuan untuk mendapatkan persamaan kedudukan dengan laki-laki. Equal right’s movement adalah usaha untuk mendapatkan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Sementara itu women’s liberations movement adalah usaha pembebasan perempuan dari lingkungan dan adat. Konsep yang sering disalahartikan dengan feminisme adalah emansipasi. Namun feminisme memiliki pengertian yang berbeda dengan emansipasi. Apabila feminisme sangat mementingkan persamaan derajat, kedudukan serta hak antara laki-laki dan perempuan, emansipasi tidak menitikberatkan pada hal tersebut. Emansipasi adalah gerakan untuk menempatkan perempuan pada posisi yang biasa ditempati laki-laki di
17
lingkungan publik. Emansipasi bertujuan untuk membebaskan perempuan dari perbudakan (Humm,2002:130). Gerakan
feminis
merupakan
perjuangan
dalam
rangka
mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial- dalam arti tidak melulu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotype, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial kearah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik (Fakih, 1996 : 100).
1.5.4
Teori Feminis Liberal Rosemarie Putnam Tong dalam Feminis Thought (2008 : 66) mengungkapkan feminis liberal memiliki tujuan reformasi di bidang hokum
dan
pendidikan
untuk
memperbaiki
kualitas
perempuan.
Banyaknya wanita yang telah mencapai posisi professional merupakan satu bentuk nyata perjuangan feminis liberal.
Feminis liberal muncul
sebagai tombak untuk menekan sistem patriarki dan sebagai penegasan atas kemampuan perempuan.
18
Feminisme liberal bertujuan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah. Feminis liberal tidak mengklaim bahwa perempuan harus mengorientasi hasrat seksualnya terhadap perempuan dan menjauh dari laki-laki. Feminis liberal bersikeras mengungkapkan bahwa laki-laki sama juga seperti perempuan yang harus diperlakukan secara setara.
1.6 Metode dan Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk memahami fenomena pada subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan,
dan
lain-lain
secara
holistik
dengan
cara
mendeskripsikan dengan kata dan bahasa (Moleong, 1989:3). Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 1989:4) metode kualitatif merupakan suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 1989:5) juga menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
19
1) Menentukan objek penelitian yaitu novel Rêves de Femmes : Une Enfance au Harem 2) Melakukan
studi
pustaka
dengan
mencari
dan
mengumpulkan informasi yang relevan dalam penelitian ini. 3) Melakukan pembagian teks ke dalam satuan analisis yang disebut leksia. Leksia merupakan satuan analisis yang dihasilkan dengan cara melakukan pemenggalan teks dan kemudian
mengidentifikasi
kode-kode
sebagai
sandarannya. 4) Identifikasi dan penafsiran terhadap leksia-leksia secara sistematis berdasarkan lima jenis kode Roland Barthes. 5) Menyusun daftar semua kode dan penafsiran atas leksia, serta menganalisis setiap leksia yang ditemukan. 6) Tahap terakhir adalah penyajian hasil analisis data. Pada tahap ini nantinya hasil akan dipaparkan dan dimasukkan pada bagian kesimpulan disertai daftar data. Kemudian menyajikannya dalam bentuk laporan penelitian berupa skripsi.
20