2
Abstract Population movements, rapid technological development and globalization of the economy led to the increasing contact between cultures and cultural diversity, especially in an organizational environment. Issues of cultural diversity in the form of intergroup bias, such stereotype, prejudice and discrimination can hinder the continuity of interaction of workers within the organization. Related to the interaction and cooperation between cultures is important as to improve intercultural sensitivity. This experimental study aims to improve intercultural sensitivity in order to reduce intergroup bias through intercultural sensitivity training. Subjects were civil servants or civil servants who are 32 who were divided into 2 groups, ie 16 experimental group and 16 control group. Intercultural Sensitivity training as treatments. Measurements were performed before and after training. Measuring instruments used are scale intergroup bias, manipulation check using intercultural sensitivity scale. Analysis of research data using t-test. The results indicate there are differences in the level of intergroup bias in the group receiving intercultural sensitivity training with no training (t = 2.12, p = 0.042, p ≤ 0,05). Mean difference between the two groups showed that the treated group had a rate lower intergroup bias (mean = -6.44). Keywords: Diversity, Intercultural Sensitivity Training, Intergroup bias
Diversitas budaya di lingkungan kerja merupakan suatu fenomena yang tak dapat terelakkan bagi organisasi yang berdiri pada sebuah lingkungan demografis dengan keanekaragaman latar belakang budaya manusia seperti yang terdapat di Indonesia. Bennet & Bennet (2001) mendefinisikan diversitas dalam
perspektif
budaya sebagai perbedaan budaya dalam
hal nilai,
kepercayaan, perilaku yang dipelajari maupun dipengaruhi oleh kelompok ketika berinteraksi, yang mengacu pada pengidentifikasian diri berdasarkan pada perbedaan
kebangsaan,
etnisitas,
jender,
ras,
karakter
fisikal,
dan
pengelompokan lainnya. Hubungan antar budaya yang disebut oleh Alred, dkk (2003) sebagai intercultural merupakan hal yang alamiah pada manusia dan dibawa sejak lahir. Manusia sebagai mahluk budaya dilahirkan dan dibesarkan berdasarkan kelompok tertentu dengan norma dan nilai-nilai kelompok tersebut. Panggabean (2004) menjelaskan di Indonesia
keragaman budaya
bangsa telah berusia berabad-abad, berkembang melalui interaksi budaya yang natural berdasarkan pertemuan budaya dalam konteks perdagangan dan pertukaran
akademik.
Mobilitas
dan
migrasi
akibat
perdagangan
dan
3
perkembangan baik di bidang pariwisata maupun pendidikan secara tidak langsung membuat diversitas budaya di Indonesia terus bertumbuh dan membawa dampak luas bagi masyarakat pada umumnya dan organisasi pada khususnya. Diversitas budaya menjadi identitas khas bangsa Indonesia hingga saat ini, sehingga sulit dihindari adanya kemungkinan untuk bekerjasama dengan orang yang berbeda budaya dalam konteks sosial dan konteks industri serta organisasi. Organisasi di bawah naungan pemerintah yang memberikan pelayanan kepada sektor publik memiliki tantangan tersendiri ketika berhadapan dengan masyarakat dengan diversitas budaya. Yu & Chen (2008) mengungkapkan diversitas merupakan salah satu faktor penting dalam semakin cepatnya perkembangan teknologi, perpindahan penduduk dan globalisasi ekonomi yang menyebabkan meningkatnya hubungan antar budaya pada manusia baik dalam level individu dan organisasi. Badhesha, dkk (2008) menjelaskan pada telaah mengenai
perilaku
organisasi,
diversitas
budaya
membawa
sebuah
pengkategorian sosial yang didasarkan pada perbedaan karakteristik demografi, salah satunya karakteristik yang bersifat dapat dilihat, lebih mudah diidentifikasi dan dapat dikategorisasi misalnya seperti umur, jenis kelamin, dan ras. Pengkategorian secara sosial ini dapat membawa dampak salah satunya sikap negatif terhadap orang dari luar kelompok. Teori identitas sosial mengungkapkan bahwa seseorang cenderung membedakan individu lain ke dalam keanggotaan suatu kelompok tertentu. Pembedaan individu ini dilakukan melalui proses kategori sosial yaitu penetapan ciri-ciri seseorang berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok, dan melalui peningkatan
self-esteem
yaitu
kecenderungan
mengevaluasi
ciri-ciri
kelompoknya dan mengevaluasi negatif ciri-ciri kelompok lain (Tajfel & Turner, 1986). Padilla & Perez (2003) menyebutkan dalam kategori sosial seseorang membentuk penyaring persepsi yang mengorganisasi informasi dalam kelompok (ingroup) maupun luar kelompok (outgroup). Spears, dkk (1997) menyebutkan terdapat proses mental yang melibatkan evaluasi terhadap “kami” atau ”mereka” (in-group kontra out-group). Saleem (2011) menjelaskan bahwa individu memiliki identitas pribadi yang mendefinisikan perbedaan karakter seseorang dari pribadi lainnya, seperti halnya identitas sosial, seseorang juga mengkategorisasi dirinya ke dalam suatu unit sosial dengan mengubah penyebutan „saya„ sebagai
4
identitas pribadi menjadi „kami‟. Kepemilikan terhadap suatu kelompok sosial ini membuat seseorang mengidentifikasi dirinya dalam sebuah kelompok (in-group) dan membedakan kelompok tersebut dengan kelompok lain (out-group). Individu tersebut juga menganggap kelompoknya lebih baik, bersikap positif dan lebih menyukai kelompoknya sendiri. Rasa kepemilikan tershadap suatu kelompok ini menyebabkan tumbuhnya suatu mekanisme pada diri seseorang yang membedakan kepemilikan khusus atas kelompoknya yang ditandai dengan „kami‟ (us) dan membedakan kelompok lainnya atau yang disebut sebagai „mereka‟ (them). Evaluasi
seseorang
berdasarkan
keanggotaannya
dalam
sebuah
kelompok menurut Hewstone, Rubin, & Willis (2002) dapat menimbulkan bias. Miller (2008) mengungkapkan bias menyebabkan seseorang mengalami kesalahan persepsi ketika menerima informasi dari orang yang memiliki kelompok berbeda dengannya. Bias terhadap kelompok lain ini disebut intergroup bias atau McCaslin, (2010) menyebutnya sebagai sikap pilih kasih terhadap kelompoknya, dan merupakan refleksi kepercayaan diri secara kolektif untuk meningkatkan penilaian terhadap diri sendiri (Mizoguchi,2007). Hewstone, Rubin, & Willis (2002) secara terperinci menjelaskan intergroup bias merupakan kecenderungan untuk mengevaluasi keanggotaan diri sendiri di dalam kelompok budaya tertentu (in-group) atau menganggap keanggotaannya lebih baik daripada keanggotaan orang lain kelompok budaya lain (out-group). Bias berlatarkan keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelompok memunculkan penilaian yang diinterpretasi secara tidak adil, tidak benar, tidak memiliki alasan yang kuat dan tidak objektif sesuai dengan situasi yang dihadapi. Engberg
(2004)
menjelaskan
bias
muncul dalam
bentuk
sikap,
kepercayaan akan sesuatu, reaksi emosional hingga perilaku. Hewstone, Rubin, & Willis (2002) menyebutkan bias mencakup komponen kognitif yaitu stereotip, komponen sikap yaitu prasangka dan komponen perilaku yaitu diskriminasi.
Komponen pertama yaitu stereotip, merupakan komponen kognitif dari intergroup bias yang diartikan sebagai kepercayaan mengenai karakteristik
anggota sebuah kelompok budaya tertentu. Stereotip bersifat kurang disadari kemunculannya dan diaktifkan secara otomatis dalam kehidupan sehari-hari selama
berlangsungnya
sosialisasi.
Komponen
kedua
yaitu
prasangka,
merupakan sikap negatif yang berasal dari penilaian dan evaluasi pada orang
5
lain yang didasarkan pada sikap atau kepercayaan tentang keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Komponen ketiga adalah diskriminasi, yaitu perilaku negatif yang tidak tepat kepada anggota kelompok budaya tertentu. Hewstone, Rubin, & Willis (2002) menyebutkan diskriminasi disebabkan oleh evaluasi terhadap kelompok lain. Diskriminasi dapat dibedakan tingkatannya, pada diskriminasi yang muncul karena kecenderungan seseorang terhadap kelompoknya seperti kepercayaan, penghargaan positif kerjasama dan empati, dan sebaliknya terhadap kelompok lain, menyebabkan emosi yang tidak terlalu kuat. Dovidio & Gaertner (1999) mengungkapkan pada emosi yang lebih rendah tingkatannya, diskriminasi diekspresikan secara tidak langsung dan bersifat simbolis seperti penolakan dan menghindari untuk memperlakukan orang lain dengan perasaan yang sama. Hewstone, Rubin, & Willis (2002) menyebutkan evaluasi terhadap kelompok lain yang memunculkan tingkat emosi yang lebih kuat mengakibatkan agresivitas atau tindakan yang mengarah pada perlawan terhadap kelompok lain, dan emosi ini dapat menjadi pembenaran untuk melukai kelompok. Dovidio & Gaertner (1999) menyebut tindakan perlawanan terhadap kelompok lain sebagai bentuk diskriminasi yang diekspresikan secara langsung dan terbuka. Ia juga menegaskan bahwa bias terjadi dalam bentuk yang beragam. Penelitian mengenai intergroup bias telah banyak dan didasarkan pada perbedaan ras, suku, orientasi seksual, baik yang berupa intensi maupun yang tampak. Penelitian yang dilakukan penulis mengemukakan persoalan diversitas budaya berdasarkan perbedaan kelompok suku yang di dalam interaksi dan hubungan antar budayanya terdapat bias. Bias antar kelompok suku budaya berbeda terjadi karena pembedaan kami yaitu kelompoknya secara ekslusif (ingroup) terhadap mereka yaitu kelompok lain (out-group). Pengkategorian kami dan mereka pada kelompok suku berbeda ini didasarkan oleh perbedaan budaya yang mencakup nilai dan norma-norma yang ada. Berdasarkan penjajagan penelitian, diperoleh data melalui metode wawancara yang dilakukan pada tanggal 10-11 Juli 2011, terhadap beberapa karyawan tenaga kesehatan kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman yang memiliki pasien dengan suku yang berbeda. Data hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa subjek cenderung memiliki penilaian dan anggapan tersendiri terhadap pasien dari suku berbeda dengannya. Penilaian tersebut mengenai sikap dan kebiasaan para pasien yang
6
dinilai negatif. Subjek yang mengenali seseorang dari suku budaya berbeda berdasarkan dialek bicara dan warna kulitnya, memiliki penilaian bahwa pasien dari daerah tersebut cenderung lamban dalam memahami informasi yang disampaikan. Mereka juga memiliki beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan norma masyarakat, misalnya kurangnya rasa empati terhadap orang lain, sikap keras kepala, sulit diarahkan, kurang sopan, sulit beradaptasi dan sulit berinteraksi dengan orang lain. Penilaian ini menyebabkan subjek merasa kesal dan cenderung menyederhanakan penilaian bahwa orang yang berasal dari suku tersebut memiliki kecenderungan sikap negatif yang sama, sehingga para tenaga kesehatan menjadi kurang bersemangat dalam memberikan pelayanan dan terkadang berusaha menghindar untuk memberikan pelayanan. Hewstone, Rubin, & Willis (2002) mengungkapkan bias terhadap kelompok lain dihubungkan dengan timbulnya emosi tertentu, persepsi mengenai kelompok lain dan kecenderungan untuk bertindak. Bias terhadap kelompok lain muncul dikarenakan adanya perbedaan norma-norma maupun tindakan yang dianggap tidak adil bagi salah satu kelompok. Emosi yang lebih kuat terhadap kelompok lain dimanifestasikan dalam bentuk rasa takut, rasa membenci, rasa jijik serta reaksi tertentu. Reaksi pada emosi yang lebih kuat dapat berupa gerakan melawan atau tindakan kekerasan terhadap kelompok lain. Emosi yang dirasakan serta perasaan terancam dapat menjadi pembenaran munculnya reaksi tersebut. Pada emosi yang lebih rendah tingkatnya, ditunjukkan hanya dengan sikap menghindari kelompok tertentu karena merasa jijik. Hopkins & Hopkins (2002) menyebutkan iklim diversitas membawa dampak heterogenitas budaya di tempat kerja baik dari segi sikap, norma, perilaku, dan struktur di dalam organisasi. Iklim diversitas ini pada level atribut individu, kelompok dan organisasi membawa sikap dan perilaku berupa manifestasi prasangka atau bias pada kelompok lain (outgroup). Spears, dkk (1997) mengungkapkan stereotip yang berdampak impresi negatif seperti prasangka dan perilaku diskriminasi disebabkan oleh kategorisasi sosial yang membedakan orang lain adalah bagian kelompoknya (in-group) atau kelompok lain (out-group). Efek dari membandingkan seseorang berdasarkan karakteristik suatu kelompok diversitas dapat memunculkan persepsi dan perilaku yang bersifat negatif (Barak, 2005) serta dapat menghambat proses kerjasama antar kelompok
7
(Vallaster, 2005). Penanganan dampak diversitas di lingkungan kerja ini penting untuk segera mendapat tindakan. Cox & Blake (1991) menekankan pentingnya organisasi dalam memfokuskan pegawainya pada pemahaman, kemampuan untuk memaknai, mengelola serta menghargai diversitas melalui tumbuh dan berkembangnya kesadaran dan sensitivitas terkait isu-isu stereotip dalam lintas budaya. Diversitas di lingkungan kerja yang dikelola dengan tepat akan membawa dampak positif dan menjadi keunggulan kompetitif bagi organisasi. Badhesha, dkk (2008) menyebutkan bahwa sikap negatif karena kategorisasi sosial dapat diatasi melalui metode pelatihan. Engberg (2004) menyebutkan pengurangan intergroup bias melalui pelatihan dapat membawa efek yang positif, salah satunya adalah pelatihan diversitas. Tujuan dari pelatihan in antara lain adalah mengusahakan pengetahuan mengenai diversitas kelompok, mengurangi prasangka dan stereotip, mengembangkan ketrampilan untuk bekerjasama dengan orang yang memiliki diversitas, dan mengurangi ketidaksetraaan serta ketidakadilan perlakuan di masyarakat. Penelitian eksperimen lapangan yang dilakukan oleh Roberson, Kulik & Pepper
(2001)
menyebutkan
bahwa
pelatihan
peningkatan kesadaran dan ketrampilan mengelola
diversitas
efektif
dalam
isu-isu diversitas budaya
seperti stereotip, prasangka dan diskriminasi pada kelompok budaya yang berbeda. Ketrampilan diversitas ini diantaranya terkait dengan kemampuan untuk berempati dan mengurangi bentuk-bentuk sikap negatif maupun stereotip. Pengukuran terdiri dari level reaksi dan level pembelajaran yang terdiri dari pengukuran kognitif yang mengukur perubahan pada pengetahuan mengenai isu diversitas, pengukuran afektif mengukur perubahan penghargaan terhadap diversitas dan pengkuran perilaku mengukur perubahan pada ketrampilan membuat tujuan. Pelatihan yang dilakukan selama setengah hari dengan durasi empat jam, menggunakan variasi teknik pembelajaran seperti latihan, aktivitas kelompok, diskusi kelompok besar dan kuliah singkat yang berisi tentang pengenalan diversitas yang terdiri dari perbedaan karakter ras, suku, jenis kelamin dan usia serta beberapa karakter yang tidak tampak seperti agama, pekerjaan
dan
kepribadian.
Pelatihan
juga
berisi
perpaduan
antara
pengembangan kesadaran dan komponen kompetensi diversitas. Paluck (2006) menyebutkan pelatihan diversitas merupakan suatu respon terhadap peningkatan diversitas di lingkungan kerja. Pelatihan diversitas biasanya
8
diadakan satu hari dan merupakan tipe metode yang digunakan untuk mengurangi prasangka dan sebagai intervensi inklusi sosial dengan mengintegrasikan teori dan praktek. Isi ataupun materi yang dikemukakan dalam pelatihan diversitas berasal dari konsep teori yang bervariasi, salah satunya adalah dengan mengembangkan konsep sensitivitas dalam hubungan antar budaya. Konsep sensitivitas interkultural digunakan pada pengelolaan diversitas dan isu-isu yang dibawa, seperti pelatihan interkultural yang telah banyak digunakan oleh beberapa praktisi dan ahli sebelumnya (Chen & Starosta, 1997). Penggunaan pelatihan kompetensi interkultural dengan mengikutsertakan aspek sensitivitas interkultural juga disebutkan oleh Graft (2004) dan Sizoo, Serrie & Shapero (2006) dalam usaha menurunkan bias ketika berlangsung interaksi antar budaya seperti stereotip maupun prasangka. Bennet & Bennet (2001) menyebutkan pelatihan ketrampilan interkultural yang mencakup sensitivitas interkultural mampu membuat interaksi antar budaya menjadi lebih efektif dengan menumbuhkan kesadaran diri seseorang sehingga tidak mudah terbawa stereotipe, mampu bertoleransi dan memahami hal-hal terkait ambiguitas budaya pada kelompok budaya yang berbeda. Chen & Starosta (1997) mengungkapkan konsep sensitivitas interkultural terdiri dari enam elemen intekultural yaitu self- esteem, self-monitoring, openmindedness, interacting involvement dan non-judgement. Enam elemen sensitivitas interkultural tersebut dikembangkan dari kesadaran dan kepekaan terhadap diversitas budaya. Beberapa peneliti terkait bias antar kelompok juga menyebutkan bahwa kesadaran dan kepekaan terhadap diversitas mampu menjadi sarana mengurangi bias antar kelompok budaya yang berbeda (Combs, 2002; Dong, Day & Colloco, 2007; Hewstone, Rubin, & Willis 2002; Palluck 2006; Spears, Oaks, Ellemers & Haslam, 1997). Intervensi pada penelitian ini adalah pelatihan sensitivitas interkultural. Pelatihan sensitivitas interkultural ini berisi enam aspek sensitivitas yang dikembangkan oleh Chen & Starosta (1997), yaitu self-esteem, self-monitoring, open-mindedness atau keterbukaan pikiran, empati, interacting involvement atau keterlibatan dalam interaksi dan non-judgement atau tidak terburu-buru dalam memberikan penilaian. Keterkaitan aspek-aspek pada pelatihan sensitivitas interkultural untuk mengurangi intergroup bias dapat dijelaskan melalui teori identitas sosial yang mencakup pendekatan individual dan antar kelompok, serta
9
melibatkan proses kognitif, afektif dan perilaku dalam pelaksanaannya. Hewstone, Rubin, & Willis (2002) mengungkapkan teori identitas sosial yang melibatkan aspek sosial dan psikologis dapat mengurangi intergroup bias. Pendekatan
yang
digunakan
berdasarkan
teori
identitas
pelaksanaannya untuk mengurangi intergroup bias,
sosial
pada
yaitu menggunakan
pendekatan individual maupun kontak antar kelompok. Pendekatan tersebut memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek sensitivitas interkultural. Aspek selfmonitoring dalam konsep sensitivitas interkultural (Chen & Starosta, 1997) yang diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk secara sadar mengontrol perilakunya sehingga mampu menyesuaikan diri dengan situasi, terkait dengan pendekatan individual yaitu motivasi yang diungkapkan oleh Hewstone, Rubin, & Willis (2002). Pendekatan ini menyebutkan motivasi mampu membentuk mekanisme kontrol. Pendekatan psikologis mengungkapkan bahwa motivasi dapat menjadi salah satu hal yang akan mengurangi bias. Motivasi akan mengarahkan seseorang untuk membuat suatu mekanisme kontrol diri yang bertujuan menghambat munculnya bias. Motivasi ada apabila terdapat insight terkait dengan kesadaran akan nilai-nilai diversitas.
Spears, Oaks, Ellemers & Haslam (1997) menjelaskan motivasi seseorang juga terkait dengan self-esteem. Motivasi untuk menyadari, memahami dan menerima nilai-nilai diversitas akan mampu menciptakan self-esteem yang positif. Seseorang yang memiliki self-esteem positif lebih percaya diri dalam berinteraksi
antar
budaya.
Self-esteem
yang
negatif
sebaliknya
akan
menyebabkan semakin besarnya kemungkinan terjadi intergroup bias. Chen & Starosta (1997) menyebutkan self-esteem yang positif membuat individu berpikir tentang hal-hal yang positif mengenai seseorang dari budaya yang berbeda, ia juga mengharapkan untuk dapat diterima, sehingga akan menghasilkan interaksi harmonis. Self-esteem berwujud kemampuan untuk mengekspresikan rasa optimis dan kepercayaan diri pada saat interaksi antar budaya terjadi. Seseorang diharapkan dapat secara tepat mengenali dan memahami perbedaan situasi ketika berinteraksi. Chen
&
Starosta
(1997)
menyebutkan
pada
aspek
sensitivitas
interkultural selanjutnya adalah open-mindedness yang menjelaskan bahwa
10
seseorang yang memiliki pikiran terbuka akan bersedia untuk mengenali, menerima dan mengapresiasi perbedaan pandangan dan ide. Aspek selanjutnya yang dilibatkan adalah non-judgement yaitu sikap yang tidak cenderung cepatcepat membuat kesimpulan tanpa memiliki fakta yang cukup selama interaksi, sehingga dapat menghindari penilaian yang salah mengenai pesan yang disampaikan oleh orang lain. Kehadiran insight tentang kesadaran nilai-nilai diversitas diharapkan mampu menstimulus pikiran yang terbuka dan tidak terburu-buru membuat kesimpulan sehingga terdapat persepsi yang objektif dan pemahaman bahwa setiap orang adalah individu yang unik. Hewstone, Rubin, & Willis (2002) menjelaskan seseorang yang memiliki kecenderungan untuk mengkategorisasi orang lain ke dalam kelompok tertentu dapat memunculkan intergroup bias. Bias ini dapat dikurangi dengan membentuk decategorization.
Engberg
(2004)
menjelaskan
bahwa
decategorization
dilakukan dengan menghilangkan hambatan di dalam proses berpikir seseorang dan menjelaskan bahwa setiap orang adalah individu yang unik.
Hewstone, Rubin, & Willis (2002) menyebutkan pada pendekatan individu, empati juga merupakan salah satu aspek yang mampu mengurangi bias yaitu dengan menciptakan perasaan positif terhadap perbedaan. Chen & Starosta (1997) menjelaskan seseorang yang memiliki empati menilai tidak berdasarkan pendapat pribadinya semata, ia akan lebih memperhatikan perasaan dan reaksi dari rekan interaksinya. Proses identifikasi, pemahaman dan pertimbangan tentang karakteristik orang lain merupakan karakteristik empati dalam konsep sensitivitas interkultural. Taufik (2011) mengungkapkan empati dalam aspek kognitif mengungkapkan empati melibatkan pemahaman atas perasaan orang lain yang dapat berupa cara pangambilan sudut pandang dan komunikasi ketika berinteraksi yang juga disebut insight dalam sosial-emosional. Elemen sensitivitas interkultural selanjutnya yaitu keterlibatan interaksi. Chen & Starosta (1997) menegaskan bahwa dalam aspek keterlibatan dalam interaksi seseorang mampu menerima pesan dengan tepat dan memahami situasi. Bersikap responsif, memahami dan perhatian terhadap situasi yang dihadapi oleh orang lain. Keterlibatan interaksi menurut Hewstone, Rubin, &
11
Willis (2002) terkait dengan teori kontak antar kelompok. Pettigrew (1998) menjelaskan bahwa dalam kerjasama yang melibatkan kontak antar kelompok akan membantu meningkatkan pengetahuan dan empati terhadap orang lain. Berdasarkan penjelasan di atas, melatihkan aspek-aspek sensitivitas interkultural, hadirnya insight mengenai kesadaran nilai-nilai diversitas dan insight sosial-emosional terkait perbedaan budaya merupakan faktor yang penting untuk dikembangkan dalam dalam sesi-sesi pelatihan sensitivitas interkultural. Terdapatnya pemahaman yang mendalam terkait aspek-aspek sensitivitas interkultural juga menjadi komponen penyusun kegiatan pelatihan sehingga diharapkan peserta dapat mengevaluasi dan memberi penilaian secara objektif terhadap kelompok budaya yang berbeda baik mengenai kepercayaan, sikap dan perilaku, sehingga intergroup bias dapat dikurangi. Metode yang digunakan dalam pelatihan ini sebagian besar adalah metode eksperiensial berbentuk role-play dan dikombinasikan dengan metode instruksional seperti ceramah, menonton cuplikan film dan latihan. Paluck (2006) menyebutkan metode instruksional maupun eksperiensial dapat digunakan untuk mengurangi bias seperti prasangka. Kegiatan yang dilatihkan dalam pelatihan sensitivitas interkultural ini terbagi menjadi dua bagian besar kegiatan yang masing-masing terdiri dari beberapa sesi. Bagian pertama adalah sesi pembuka dan sesi role play bafa-bafa. Sesi pembuka bertujuan untuk menyiapkan partisipan dalam mengikuti kegiatan pelatihan. Thorndike dalam Walgito (2003) menyebutkan bahwa belajar harus disertai dengan kesiapan untuk belajar agar dapat mencapai hasil yang terbaik. Peserta juga diharapkan memahami secara ringkas maksud dan tujuan aktivitas pelatihan. Noe (2002) mengungkapkan bahwa dengan memahami maksud dan tujuan dari pelatihan membuat peserta lebih merasa terlibat di dalam pelatihan. Sesi ini diisi dengan permainan perkenalan untuk menyiapkan peserta serta penjelasan aktivitas pelatihan secara ringkas. Sesi selanjutnya adalah role-play bafa-bafa. Permainan bafa-bafa digunakan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Brislin, 1993; Spears, Oaks, Ellemers & Haslam, 1997) untuk memberikan pemahaman kepada peserta bahwa dalam interaksi antar budaya terdapat perbedaan nilai, kepercayaan dan kebiasaan serta pentingnya memahami isyarat non-verbal, yang memungkinkan munculnya prasangka dan sikap negatif terhadap orang yang berasal dari
12
budaya berbeda. Permainan bafa-bafa juga dapat memunculkan emosi positif dan menghindari timbulnya prasangka atau sikap negatif terhadap perbedaan budaya (Brislin 1993). Role-play bafa-bafa memiliki dua tujuan, yang pertama adalah membangun kesadaran dan pemahaman mengenai diversitas budaya beserta isu-isu yang dibawa. Devine (1989) mengungkapkan bahwa seseorang biasanya tidak sadar dengan keberadaan bias dalam diversitas. Tujuan yang kedua dari role-play bafa-bafa adalah partisipan mendapatkan insight mengenai ke enam elemen sensitivitas interkultural. Bhawuk (2000) menyebutkan bafa-bafa adalah salah satu simulasi populer pada pelatihan tentang diversitas budaya, selain dapat menciptakan insight, interaksinya mampu melibatkan partisipan secara emosional dan kognitif. Brislin (1993) mengungkapkan simulasi ini sebaiknya dilakukan saat mengawali suatu pelatihan. Role-play bafa-bafa pada penelitian ini merupakan modifikasi dari bentuk permainan bafa-bafa yang dijelaskan oleh Bhawuk (2000), Brislin (1993) dan Pedersen (2004). Permainan bafa-bafa ini dilakukan dengan membagi partisipan ke dalam dua kelompok budaya berbeda dengan ciri khas tertentu. Kedua kelompok tersebut kemudian diminta untuk menyelesaikan tugas yaitu membangun sebuah menara dan melakukan kunjungan secara bergilir ke kelompok lain untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di kelompok lain. Masing-masing kelompok akan mempresentasikan hasil pengerjaan tugasnya dan melakukan penilaian baik terhadap budaya maupun produk berupa bangunan menara yang diciptakan oleh kelompok mereka sendiri dan kelompok lainnya. Trainer kemudian melakukan pemaknaan terkait simulasi yang dilakukan melalui diskusi dalam kelompok besar, dengan memberikan pertanyaan mengenai penilaian yang dilakukan oleh peserta. Tujuannya adalah agar trainer dapat memantik apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan pada saat simulasi berlangsung. Trainer akan memandu diskusi untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman peserta mengenai diversitas, serta insight aspek-aspek sensitivitas interkultural. Cole (2008) menyebutkan penggunaan role-play merupakan salah satu metode eksperiensial yang efektif untuk meningkatkan kesadaran peserta akan hal yang dilatihan dikarenakan mereka dapat langsung menerima umpan balik saat terlibat di dalam role-play tersebut. Miner (1992) mengungkapkan bahwa dalam metode eksperiensial atau pembelajaran melalui pengalaman terjadi proses belajar yaitu ketika individu melakukan suatu aktivitas, kemudian individu tersebut
13
memperhatikan,
menganalisis
aktivitas
yang
dilakukannya,
lalu
mencari
pemahaman dari analisis tersebut untuk kemudian menerapkan pengetahuan dan pemahaman tersebut dalam perilaku. Walgito (2002) menyebutkan dalam teori belajar sosial Albert Bandura menyatakan bahwa belajar akan efektif dalam membentuk perilaku apabila dilakukan dengan observasi perilaku yang terjadi ketika interaksi sosial terjadi serta munculnya self-activated dari dalam diri seseorang. Metode pembelajaran melalui pengalaman ini disertai dengan pemberian pemahaman dan pengetahuan lebih dalam terhadap ke enam elemen sensitivitas interkultural dan diversitas. Aktivitas yang dilakukan adalah dengan memberikan ceramah sehingga dapat membantu partisipan mengoreksi kembali dan menambah wawasan serta pemahaman terkait hasil role-play. Pemahaman lebih dalam mengenai elemen sensitivitas interkultural agar dapat lebih dihayati dan terinternalisasi di dalam diri peserta, selanjutnya diaplikasikan pada beberapa latihan pada sesi selanjutnya. Munandar (2001) menyebutkan konsep sentral dari pembelajaran dengan pengalaman adalah bahwa terdapat praktek aktif agar seseorang dapat mengulang-ulang apa yang harus mereka pelajari dan hayati sehingga akhirnya menguasai pengetahuannya atau ketrampilannya. Bagian kedua pada pelatihan sensitivitas interkultural ini terdiri dari sesi pendalaman ke enam elemen sensitivitas interkultural dan bagian penutup. Kegiatan pada bagian kedua pelatihan sensitivitas interkultural ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih dalam terkait aspek-aspek sensitivitas interkultural, dan peserta dapat berlatih mengevaluasi dan memberikan penilaian secara objektif terhadap kelompok budaya yang berbeda baik mengenai kepercayaan, sikap dan perilaku. Kegiatan pertama pada sesi ketiga adalah terkait dengan self-monitoring, yaitu partisipan diminta mencatatkan hal-hal yang akan dilakukan berhubungan dengan interaksi antar budaya selama sisa waktu pelatihan yang diikuti pada selembar kertas. Kegiatan ini bertujuan untuk melatih peserta untuk dapat mengontrol perilakunya saat terlibat situasi berinteraksi dengan orang dari budaya berbeda. Kurman, Kui & Dan (2010) menggunakan self-report untuk mengontrol perilaku seseorang terkait dengan interaksi dalam budaya berbeda. Kegiatan kedua bertujuan untuk membantu peserta mengaplikasikan insight yang didapatkan terkait self-esteem, self-monitoring, empati, keterbukaan pikiran dan tidak terburu-buru membuat penilaian terhadap anggota kelompok budaya lain. Kegiatan ini berbentuk menonton film pendek yang diikuti oleh diskusi untuk
14
pemaknaaan kegiatan. Pedersen (2004) menggunakan metode ini dalam pelatihan ketrampilan interkultural, yaitu partisipan diminta untuk memprediksi apa yang terjadi atau menjelaskan maksud sebuah gambar maupun tayangan film pendek. Kegiatan selanjutnya partisipan diminta untuk mengikuti sebuah role-play yang membagi peserta menjadi empat kelompok kecil. Peserta untuk menyusun puzzle dengan melakukan interaksi antar kelompok. Tantangan untuk menyusun puzzle disertai dengan peraturan yang sedemikian rupa, sehingga peserta berinteraksi dengan membawakan peran sesuai kekhasan budaya masing-masing kelompok, seperti perilaku dan bahasa tertentu. Di akhir permainan pelatih memimpin diskusi dan memberikan umpan balik kepada peserta. Tujuan dari role-play ini adalah untuk melihat bagaimana peserta mempraktekkan pemahaman yang telah didapatkan pada sesi sebelumnya terkait keenam elemen sensitivitas interkultural. Metode diskusi dan presentasi secara sukarela dilakukan untuk mengetahui apa yang disimpulkan oleh peserta melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Cole (2008) menyebutkan metode diskusi yang interaktif merupakan pendekatan yang efektif untuk mempelajari hal-hal yang bersifat kognitif dan ketrampilan interpersonal, selain juga dapat mengeksplorasi materi pelatihan lebih luas. Sesi penutup berisi kegiatan melihat kembali kegiatan yang telah dilakukan pada tiga sesi sebelumnya dan peserta diajak untuk melakukan refleksi agar didapatkan kesimpulan akhir dari pelatihan sensitivitas interkultural. Berdasarkan paparan sebelumnya, telah sebutkan bahwa penelitian ini menggunakan intervensi berupa pelatihan diversitas yang melatihkan elemen-elemen sensitivitas interkultural. Intervensi dalam penelitian ini diberi nama pelatihan sensitivitas interkultural. Elemen-elemen sensitivitas interkultural memiliki keterkaitan dengan pendekatan individual maupun antar kelompok, terdapat pula proses kognitif, afektif dan perilaku yang tercermin di dalam sesi-sesi pelatihan sehingga mampu mengurangi intergroup bias. Tingkat intergroup bias dalam konteks penelitian ini didasarkan pada temuan yang didapatkan di lapangan. Engberg (2004) mengungkapkan intergroup bias bersifat tergantung pada konteks meskipun intergroup bias merupakan fenomena yang dapat ditemui secara umum pada perbedaan suatu kelompok budaya. Intergroup bias pada penjagagan penelitian didapatkan dalam taraf emosi yang rendah, muncul dalam bentuk penilaian dan sikap yang kurang objektif terhadap orang dari kelompok budaya tertentu seperti berusaha menghindar.
Tujuan
dari
15
penelitian ini adalah pelatihan sensitivitas interkultural dapat menurunkan intergroup bias. Berikut alur penelitian yang terdapat pada gambar tentang kerangka berpikir penelitian.
Intergroup bias: • Diversitas karakteristik individu • Iklim diversitas di dalam organisasi
• Stereotip • Prasangka • Diskriminasi
Teori identitas sosial • Pendekatan individual • Pendekatan kontak antar kelompok
Pelatihan sensitivitas interkultural
Intergroup bias berkurang
Gambar 1: Kerangka Berpikir Penelitian Berdasarkan gambar 1 dapat dilhat alur berpikir dari penelitian ini, fenomena diversitas yang terdapat di masyarakat khususnya iklim diversitas di dalam lingkungan organisasi dapat membawa isu-isu diversitas salah satunya berbentuk intergroup bias, yaitu evaluasi mengenai keanggotaan seseorang didalam sebuah kelompok budaya, yang melibatkan aspek kognitif yaitu stereotip, aspek afektif berupa prasangka dan dan aspek perilaku yaitu diskriminasi. Teori identitas sosial yang melibatkan aspek psikologis dan sosial melalui pendekatan individual dan antar kelompok menjelaskan hal-hal yang dapat mengurangi intergroup bias. Integrasi dari pendekatan tersebut dapat ditemui pada konsep sensitivitas interkultural (Chen & Starosta, 1997). Penelitian sebelumnya beberapa elemen sensitivitas interkultural digunakan dalam bentuk pelatihan diversitas dalam usahanya untuk mengurangi intergroup bias (Engberg, 2004; Paluck, 2006; Roberson, Kulik & Pepper, 2001). Penelitian ini menggunakan pelatihan sensitivitas interkultural yang terintegrasi dari pendekatan yang didasarkan pada teori identitas sosial. Pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas interkultural. Peningkatan kesadaran, pemahaman dan kemampuan mengelola diversitas beserta isu-isunya, khususnya dalam melakukan evaluasi dan penilaian yang objektif terhadap kelompok budaya lain,diharapkan dapat mengurangi intergroup bias. Hipotesis yang diajukan dari penelitian ini adalah
pelatihan sensitivitas interkultural berpengaruh dalam menurunkan tingkat intergroup bias.