Tanggapan Masyaarkat Terhadap Konten Media… Hartiningsih
TANGGAPAN MASYARAKAT TERHADAP KONTEN MEDIA MASSA DALAM KASUS KONFLIK ANTAR WARGA DI KABUPATEN SIGI PEOPLE RESPONSE TOWARD MASS MEDIA NEWS IN CONFLICT AMONG PEOPLE IN SIGI REGENCY Hartiningsih Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Banjarmasin Jl. Yos Sudarso No. 29 Banjarmasin 70119, Kalimantan Selatan, Indonesia. Telp. 0511 - 3353849 Email:
[email protected] diterima: 4 Agustus 2015 | direvisi: 19 Agustus 2015 | disetujui: 1 September 2015
ABSTRACT A research about mass media news toward conflict among people in Sigi regency was done in Sigi regency. This study aims to give description about people response in Sigi regency toward mass media news about conflict among people in Sigi regency from neutrality side, news accuracy, positive and negative impact about the news for Sigi people. Through qualitative approach with purposive informant, the result shows that mass media news both print media and electronic media located in Central Sulawesi which informing about conflict in Sigi regency are considered neutral, objective, and accurate. One of those indicators are the information of mass media about Sigi tragedy mostly in line with the fact. The positive thing from that news is the rising of awareness to introspect each other to keep the security and tranquility. The negative thing is information about conflict in difference places could make trauma from the past. It can be conclude that mass media news toward conflict among people in Sigi regency was already in line with the applicable law and ethics. Thus, it is hoped that mass media are still prioritizing consciousness to consider the suitability of the news. Keywords: Mass Media, Conflict, Among People, News
ABSTRAK Penelitian konten pemberitaan media massa kasus konflik antar warga di Kabupaten Sigi di lakukan di Kabupaten Sigi. Tujuan penelitian untuk memberikan gambaran mengenai tanggapan masyarakat Kabupaten Sigi terhadap konten pemberitaan media massa dalam kasus konflik antar warga di Kabupaten Sigi dari sudut netralitas, akurasi berita dan dampak positif serta negatifnya berita tersebut bagi masyarakat Sigi. Melalui pendekatan kualitatif dengan infoman yang ditentukan secara porpusive hasil penelitian menunjukkan, bahwa konten pemberitaan media massa baik media cetak, maupun elektronik yang terdapat di Sulawesi Tengah mengenai konflik yang terjadi di Kabupaten Sigi dianggap informan cukup netral, dan juga cukup obyektif serta akurat. Indikasi tersebut antara lain pemberitaan media massa tentang tragedi Sigi sebagian besar sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Hal positif dari pemberitaan adalah munculnya kesadaran untuk saling introspeksi menjaga keamanan dan ketentraman. Negatifnya, pemberitaan konflik ditempat yang berbeda dapat menimbulkan kembali rasa troumatik masa lalu. Disimpulkan konten pemberitaan media massa dalam kasus konflik di Kabupaten Sigi telah seasui dengan ketentuan hukum dan etika yang berlaku. Sekalipun demikian, media massa hendaknya tetap mengedepankan hati nurani untuk mempertimbangkan kelayakan berita. Kata Kunci : Media Massa, Konflik, Warga, Berita
I.
sus konflik yang diistilahkannya dengan kerusuhan terjadi di Tasikmalaya, Semanggi II, Cibadak Mall dan Glodok Plaza serta kerusuhan antar warga dan antar pelajar lainnya yang merupakan ekspresi
PENDAHULUAN
Kasus konflik di Indonesia secara kuantitas maupun kualitas cukup tinggi. Pada tahun 1991 sampai dengan tahun 2000 terdapat sebanyak 1050 insiden. (Udi Rusadi 2005) mengatakan diantara ka95
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Oktober 2015: 95-106
konflik dalam masyarakat baik vertikal maupun horizontal. Hingga sekarang (2015) konflik pun masih sering terjadi dan bahkan semakin menyebar dihampir seluruh wilayah provinsi di Indonesia. Di Sulawesi Tengah misalnya merupakan salah satu daerah yang masih sering terjadi konflik, terdapat beberapa kabupaten di provinsi tersebut pernah berkonflik seperti : di Kabupaten Poso, Kabupaten Buol yang dikenal dengan insiden Ramadan berdarah, di Kabupaten Toli Toli dalam kasus Pemilukada dan konflik di Kabupaten Sigi dalam konflik antar warga yang terjadi lebih dari puluhan kali selama tahun 2012 dan 2013. Berbagai permasalahan yang memicu terjadinya konflik di Kabupaten Sigi antara lain kenakalan anak-anak remaja, ada pula yang memprediksikan karena tingginya angka pengangguran, selain dikarenakan akibat dendam lama, kesenjangan sosial, dan ekonomi, pengaruh minuman keras (Miras), miss komunikasi dan berbagai persoalan ketersinggungan lainnya yang membuat antar mereka saling meradang hingga berujung saling serang. Sejumlah desa yang pernah berkonflik di Kabupaten Sigi antara lain Desa Binangga, Beka, Padende, Uluboju, Watunonju, Bora, Sidondo, Pakuli, Kotarindau, Kotapulu dan Pambeve. Konflik Kabupaten Sigi merupakan salah satu dari sekian konflik yang terjadi di Indonesia yang mendapat sorotan media massa lokal maupun nasional, seperti surat kabar, radio dan televisi. Bagi media massa konflik merupakan lumbung berita dan momen yang sangat spesial. Tidak satu media pun yang membiarkan kasus konflik berlalu begitu saja karena kasus konflik memiliki nilai berita yang mengandung human interest sangat tinggi atau hard news yang bisa dipastikan mendapar perhatian masyarakat luas. Ruang gerak media massa dalam berekspresi dan mengeksploitasi insiden dengan menguak berbagai tabir yang terjadi dibalik peristiwa konflik terbuka lebar. Kebebasan media massa dalam mengekspose untuk kepentingan umum memang dijamin oleh undang-undang, yakni Undang Undang nomor 40 tahun 199 tentang Pers yang berbunyi : memenuhi hak masyarakat untuk men getahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta dapat memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Kinerja media massa yang profesional dalam peliputan konflik adalah sebuah tuntutan, sebab masalah konflik sangat sensitif. Namun demikian, banyak fakta yang menunjukkan bahwa demi mengejar deadline, ingin tampil lebih awal memberitakannya kepada masyarakat, maka tidak jarang berita yang disajikan sering mengabaikan akurasi, netralitas dan objektivitas. Hasil penelitian terhadulu mengenai kerusuhan di Sampang terkait Pemilu 1997 yang dilakukan Sudji Siswanto menunjukkan bahwa, sejumlah berita yang dimuat oleh media massa (surat kabar) cukup tinggi. Hal tersebut adalah sesuatu yang logis karena kerusuhan atau konflik/ pertikaian merupakan momen yang penting dan menjadi sorotan utama para awak media, dengan mempertontonkan bagaimana antar pihak yang bertikai saling serang dengan membawa berbagai senjata yang dimiliki oleh masingmasing pihak yang seakan-akan memberikan suatu gambaran sengitnya konflik yang terjadi. Praktek media semacam itu kalau dikaitkan dengan aturan yang berlaku tentu bertentangan sebagaimana yang diatur pada Undang Undang penyiaran Bab IV Pelaksanaan Penyiaran Pasal 36 ayat (5) poin B yang menyatakan isi siaran dilarang untuk menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Tujuan utama dari kebebasan pers adalah demi kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi serta mengungkapkan pikiran dan menyatakan pendapatnya. Namun kebebasan media massa sekarang memang sering disalahartikan dalam implementtasinya sebagaimana yang diungkapkan Artakusuma, (1989) yakni kebebasan pers sering disalahartikan, seolah-olah demi kebebasan pers itu semata. Tidak jarang, media massa atau pers yang dalam hal ini mencakup surat kabar, radio, televisi, dan film (Darwanto 2007) dalam kasus konflik di berbagai daerah baik konflik antar warga, konflik politik, budaya dan lain sebagainya yang sebenarnya hanya kasus kecil namun oleh media dikontruksi seolaholah sebagai kasus besar, sehingga memunculkan kesan ketidakkondusifan di daerah tersebut. Orangorang yang hanya mengetahui permasalahan hanya 96
Tanggapan Masyaarkat Terhadap Konten Media… Hartiningsih
sepihak melalui media massa misalnya, bisa jadi mendeskripsikan secara general bahwa di daerah itu tidak aman dan tentram. Lokasi tempat tinggal masyarakat yang relatif berdekatan obyek pemberitaan pun mungkin merasa was-was, tidak tenang, tidak merasa aman, serta kekhawatiran akan terkena imbas dari konflik. Tanggapan masyarakat terhadap konteks penyajian dan penyiaran masalah konflik di media massa menjadi urgen untuk diteliti, mengingat media massa sering mengabaikan atauran dan etika yang menjadi pedoman yang berlaku. Disamping itu, media massa memiliki potensi kekuatan untuk membentuk citra atau pandangan masyarakat pada suatu masalah maupun dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Dengan demikian, fokus permasalahan yang diteliti adalah: Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap konten pemberitaan media massa dalam kasus konflik yang terjadi di Kabupaten Sigi dari segi netralitas berita, akurasi berita, dampak positif dan negatifnya berita konflik bagi masyarakat kabupaten Sigi?. Tujuan dari penelitian adalah untuk memberikan gambaran mengenai tanggapan masyarakat Kabupaten Sigi terhadap konten pemberitaan media massa dalam kasus konflik di Kabupaten Sigi dari sudut netralitas, akurasi berita dan dampak positif dan negatifnya berita konflik bagi masyarakat kabupaten Sigi. Manfaat penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kontekstual media massa. Signifikansi dimensi praktis diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa pemikiran untuk sebuah kebijakan yang bermuara pada aspek profesionalisme media massa (pers). Istilah konflik dalam bahasa Latin adalah Configere yang berarti saling memukul. Dari perspektif ilmu sosiologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak yang lainnya dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Dalam ilmu sosial ada tiga teori konflik yang menonjol yaitu teori konflik Gerritz yaitu tentang primordialisme, kedua teori konflik Karl Marx yaitu tentang pertentangan kelas dan ketiga teori konflik James Scott yaitu tentang Patron Klien. Penelitian yang terkait dengan konflik atau kerusuhan dalam peliputan media massa telah dila-
kukan oleh banyak peneliti, antara lain seperti yang dilakukan Rusadi (2005) tentang diskursus kerusuhan sosial dalam media massa. Studi kekuasaan di balik sajian berita surat kabar dinya-takan dalam hasil penelitian bahwa bahwa media massa memproduksi citra ketidakpastian semakin tidak pasti, kemurnian semakin tidak murni karena media kehilangan pegangan dan larut dalam pertarungan kekuasaan. Industri bisa menciptakan, memperbesar, menenggelamkan citra pada suatu masalah. Kapasitas tersebut digunakan oleh media dan berbagai pihak untuk melakukan perjuangan dalam perta-rungan dalam memperoleh kekuasaan. Para pemain dan spesies dalam pertarungan tersebut ialah pemilik media, pemodal, awak media, elit politik, penguasa, militer. Pertarungan tersebut oleh media dijadikan komoditas dalam memelihara kelanggengan institusi bisnis untuk mempertahankan eksistensinya. Penelitian lain mengenai Konteks Konflik dan Media Massa dilakukan pula oleh (Siswanto 1999) Diperoleh kesimpulan dari penelitian tersebut terdapat isu kontroversial tentang kerusuhan Pemilu 1997 yang diekspose oleh media massa dalam berbagai berita dengan frekuensi liputan yang sangat tinggi. Dikatakan pula, pada umunya media massa (surat kabar) kurang akurat dalam menyajikan berita. Kebanyakan wartawan karena dikejar deadline dan persaingan antar media dalam menyajikan berita aktual menyebabkan mereka tidak melakukan check and recheck. Apa yang dikatakan dengan media massa, terdapat sejumlah versi yang tentang defisi media massa. Arifin (2010) misalnya membaginya kedalam tiga bentuk, yang pertama media yang menyalurkan ucapan (the spoken word). Karena media tersebut hanya dapat ditangkap melalui indera pendengaran yakni telinga, maka dinamakan juga the auditif media (media dengar). Media yang termasuk dalam kategori ini antara lain: telepon, kentongan, dan radio. Yang termasuk dalam kategori media massa seperti media radio. Kedua, media yang menyalurkan tulisan (the printed writing) karena hanya dapat ditangkap oleh mata maka disebut sebagai the visual media (media pandang). Media yang masuk dalam golongan ini antara lain: pamflet, brosur, poster, baliho, spanduk,
97
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Oktober 2015: 95-106
majalah, buka dan surat kabar. Yang paling familiar disebut sebagai media massa adalah surat kabar. Ketiga, media yang menyalurkan gambar hidup media ini dapat ditangkap oleh mata dan telinga sekaligus atau disebut pula sebagai the audio visual media atau media pandang dengar. Media massa yang termasuk pada kategori ini adalah media film dan televisi. Diantara salah satu dari fungsi yang harus dijalankan oleh media massa sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai media penyampai informasi yang di dalam penelitian ini disebut berita. Bleyer (1991) memberikan batasan bahwa berita adalah sesuatu yang termassa yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar, karena dia dapat menarik atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar, atau karena dapat menarik pembaca-pembaca tersebut. Sementara William S. Maulsby menurut Dja’far H Assegaff, berita didefinisikan sebabagi suatu penuturan secara benar, tidak memihak, bersumber dari fakta-fakta dan mempunyai arti penting serta baru terjadi yang dapat menarik perhatian para pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut. Definisi dari berita dalam arti teknis adalah laporan tentang fakta atau ide terkini dan dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah karena pentingnya, atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan. (Assegaff 1991) Definisi di atas titik beratnya lebih kepada definisi berita media cetak dan ini dipahami karena media cetak lebih awal diketemukan dibandingkan dengan media lainnya, seperti radio dan televisi. Ketentuan hukum bagaimana media masa menjalankan tugas, peran dan kewajibannya diatur dalam Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers seperti yang termuat pada Bab II Pasal 5 yang berisikan 3 ayat yang mana ayat (1) berbunyi : pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan. Ayat (2) Pers wajib melayani hak jawab. Ayat (3) Pers wajib melayani hak koreksi. Berikutnya pada Pasal 6 mengatur tentang peranan pers yang mana poin (a) disebutkan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (b) menegakkan
nilai-nilai dasar demokratis, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. (c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. (d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan (e) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Konflik yang cukup banyak terjadi diberbagai wilayah di Indonesia menjadi lumbung informasi bagi media massa. Hampir tiap hari masyarakat disuguhi oleh berita konflik, baik konflik antar warga karena perebutan tapal batas, konflik perebutaan lahan antar warga dengan perusahaan, konflik politik, budaya, ekonomi dan sebagainya. Konflik yang terjadi di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, merupakan konflik internal yakni konflik antar warga kampung atau dusun. Kasus konflik di kabupaten tersebut dikenal dengan konflik Sigi yang terjadi sekitar 2012 dan 2013. Peristiwa konflik internal tersebut termasuk topik hangat yang diangkat oleh berbagai media massa baik lokal maupun media massa nasional, dan diasumsikan sebagai salah satu lokasi tertinggi kasus konflik karena terjadi puluhan kali di sejumlah desa di Kabupaten Sigi.
II. METODOLOGI Penelitian tersebut merupakan penelitian studi kasus dengan lokasi Kabupaten Sigi, Provinsi karena itu pemilihan lokasi dilakukan secara porposive sampling yakni Kabupaten Sigi. Kabupaten Sigi merupakan salah satu daerah konflik (pasca konflik). Herdiansyah (2010) menyatakan: ”studi kasus adalah suatu model penelitian kualitatif yang terperinci tentang suatu unit sosial tertentu selama kurun waktu tertentu”. Lebih diarahkan sebagai upaya untuk menelaah masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer (berbatas waktu). Sampel penelitian diambil menggunakan teknik snowball sampling, yakni pemilihan informan secara berantai terhadap orang-orang yang memang yang berkompeten memberikan infomasi konflik dan muatan media massa. Orang pertama dijadikan informan adalah : (1) Humas Kabupaten Sigi, berikutnya terus mengalir pada informan (2) sesuai rekomendasi informan pertama yakni camat Biromaru, terus berla98
Tanggapan Masyaarkat Terhadap Konten Media… Hartiningsih
njut hingga peneliti menentukan informasi yang didapat sudah mencukupi. Jumlah informan dimaksud dalam penelitian tersebut hingga berjumlah 10 informan terdiri dari : Humas Kabupaten Sigi, Camat Biromaru, Kabid Dishubkominfo, berikutnya dari DPRD Kabupaten Sigi bagian media massa, berikutnya pendidik (guru), dari TNI ABRI Kecamatan Dolo, Tokoh Masyarakat/ulama, dan unsur pemuda serta anggota KIM. Sejumlah narasumber tersebut digolongkan kedalam beberapa bagian terdiri dari: Humas Kabupaten Sigi, Camat Biromaru dan Kabid Media Dishubkominfi Sigi disebut sebagai unsur yang mewakili unsur informal. Berikutnya, dari anggota DPRD disebut sebagai unsur legislatif, Guru dan dosen disebut sebagai unsur pendidik, dari ABRI TNI disebut sebagai unsur penegakl hukum, pemuka agama.tokoh masyarakat disebut sebagai unsur informal, dan unsur pemuda serta anggota KIM (Kelompok Informasi Masyarakat) disebut sebagai unsur Ormas. Dengan demikian, informan pada penelitian terbagi dalam 6 unsur. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indepth interview) kepada sejumlah informan yang ditentukan secara porpusive sampling yakni informan yang dianggap berkompeten dan dianggap banyak mengetahui perihal kasus insiden Sigi serta muatan media massa terhadap hal itu. Hasil wawancara ditulis dalam buku catatan yang telah tersedia (notebook). Untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin saja terabaikan dalam pencatatan wawancara, peneliti juga menggunakan alat perekam untuk merekam semua informasi /keterangan dari wawancara. Hasil wawancara tersebut dijadikan sebagai data primer. Selain data primer penelitian juga menggali data sekunder berupa monografi Kabupaten Sigi, dan kliping berita-berita media massa termasuk kliping berita tragedi kerusuhan konflik Sigi. Berdasarkan teori, agar penelitian kualitatif dapat betul-betul berkualitas, maka data yang dikumpulkan harus lengkap yaitu data primer dan sekunder. Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subyek. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen grafis (tabel, catatan, notulen rapat, SMS, foto-foto, rekaman video, benda-benda lainnya yang dapat meperkaya data primer. (Arikunto 2013) Data diolah dengan tahapan : melakukan reduksi data yakni melakukan proses penggabungan dan penyeragaman yang diperoleh menjadi suatu bentuk tulisan yang akan dianalisis. Tahap berikutnya, display data yakni pengolahan data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas ke dalam suatu kategorisasi sesuai tema-tema yang sudah dikelompokkan serta sudah memecah tema-tema tersebut ke dalam bentuk yang lebih kongkret, selanjutnya verifikasi yakni tahap pengelompokan jawaban sesuai dengan variabel permasalahan yang diajukan dengan mengungkap apa dan bagaimana. (Herdiansyah 2010). Data dianlisis secara deskriptif kualitatif, yakni memberikan gambaran berupa narasi fenomena yang raelistis berdasarkan data lisan, tulisan dan hasil pencermatan obyektif di lapangan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Akurasi Berita Terhadap Konflik Sigi
Akurasi pemberitaan konteks peliputan media massa lokal kasus konflik di beberapa desa di Kabupaten Sigi memang diamini oleh sebagian besar informan, dari unsur ligislatif mengatakan : “Media massa baik berita pada surat kabar, berita di radio, maupun berita pada televisi cukup akurat memberitakan kasus konflik di Kabupaten Sigi antara lain seperti yang terjadi di Desa Sidondo maupun yang terjadi di Desa Pasaku, Rampadende, Pulu, Kotarindau, Oluboju, Watunujo, Desa Binangga, Pakuli, Bora, dan beberapa desa lainnya yang berkonflik. Berita yang dilaporkan adalah berita atau kejadian yang sebenarnya. Kan tinggi resikonya jika media membuat berita yang dikarang-karang, maksudnya di tambah-tambah, nanti malah kantornya yang menjadi sasaran massa atau tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media massa akan luntur. Tapi sekadar diketahui, diantara masyarakat yang berkonflik tidak senang jika selalu diliput oleh media.” 99
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Oktober 2015: 95-106
“Saat terjadi konflik, seluruh media massa meliput kejadian itu, dan sejumlah media massa pula baik surat kabar maupun televisi meminta keterangan keberbagai pihak seperti ke pihak keamanan/penegak hukum, tokoh masyarakat, dan pihak lainnya yang mungkin mereka anggap mengetahui akar permasalahan terjadinya konflik. Sayangnya media massa tidak mengkonfirmasi keanggota masyarakat yang terlibat. Makanya, kalau kita boleh menilai media kurang cermat juga atau kurang lengkap dalam menghimpun data yang akan diekspos. Harusnya mereka juga mengakomodir informasi dari masyarakat yang memang mengetahui betul akar permasalahan. Memang untuk sementara ini berita yang mereka ungkap ya sesuai saja, tetapi masih banyak lagi yang mungkin tidak terungkap oleh media.”
Ungkapan dari unsur pemerintah dan penegak hukum mengatakan: “keakuratan berita kasus konflik yang pernah terjadi di Kabupten Sigi sebagian besar memang akurat. Kisruh itu pula kadang menjadi head line dalam pemberitaan media. Memang, kita tidak bisa menutupi persoalan tentang konflik antar warga di Sigi. Namun satu hal yang terkadang kita kurang respon terhadap liputan media adalah skala kejadian. Maksudnya, insan media pandai menakar mana kejadian yang harus diberitakan mana pula kejadian yang tidak harus masuk ranah media. Contoh konflik yang kecil yang sudah diselesaikan oleh masyarakat desa sendiri, masa harus diberitakan juga, kan tidak perlu. Dampak dari pemberitaan yang tersebar luas di media pula harus dipertimbangkan karena bagaimanapun pasti mengungkap kepedihan dan kesedihan, apa lagi diantara mereka masih ada ikatan persaudaraan, dengan adanya konflik bukan saja dapat menimbulkan kerugian harta benda tetapi juga korban jiwa, dan dikhawatirkan berita yang dilansir justru meningkatkan suhu yang makin memanas. Apa lagi jika yang menjadi korban dalam konflik itu semisal hanya dua orang, di dalam berita media massa disebutkan tiga orang. Pemberitaaan semacam itu kan bisa menyesatkan. Jumlah rumah yang dibakar yang hanya dua atau tidak buah tetapi dalam pemberitaan misalnya disebutkan puluhan buah rumah. Jadi benar apa yang digariskan di dalam peraturannya bahwa media harus mengutamakan ketelitian, kecermatan bukan kecepatan karena dikejar dead line atau keaktualan berita karena dorongan persaingan antar media. Kita tahu, berita yang pertama mereka (masyarakat) ketahui (baca, dengar, tonton) maka itulah yang menjadi pegangan yang dipercaya. Kalaupun tenyata ada ralat belum tentu diikuti masyarakat”
Masalah konflik baik konflik antar warga, konflik lahan dan sebagainya merupakan berita yang cukup sensitif. Para jurnalis harus sangat berhatihati dalam menyampaikannya kepada publik, karena terdapat sedikit kesalahan dalam informasi bisa berakibat sangat fatal. Kasus konflik kerusuhan Pemilu di Sampang Madura beberapa tahun silam misalnya, berdampak pada intimidasi dan pencarian massa terhadap wartawan yang kurang tepat dalam memberitakan kasus tersebut. Sisi lain, pemberitaan media massa besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini publik. Ketika ada pemberitaan yang keliru maka opini yang berkembang akan keliru, demikian pula kesimpulan mereka miliki. Dengan demikian. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar merupakan peran yang harus diperhatikan oleh media massa. Sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers Pasal 6 poin b yakni: mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Koreksi terhadap pers memang pernah dilakukan sebagaimana pengakuan informan dari unsur pemerintah berikut ini:
Dari unsur Ormas mengatakan:
“Memang pernah ada pemberitaan yang menyangkut kejadian di Sigi ini yang 100
Tanggapan Masyaarkat Terhadap Konten Media… Hartiningsih
mengatakan:
terjadi di daerah kita (Sigi) misalnya yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya artinya, pemberitaan itu sepertinya terlalu dibesar besarkan misalnya jumlah kerugian harta benda dan korban terluka atau meninggal. Nah inikan sangat tidak baik dampaknya. Ada lagi kejadian hal kecil yang menurut kacamata kita tidak perlulah dibuat dalam pemberitaan media karena hal biasa, tetapi oleh media menjadi topik berita. Fakta semacam ini maka dengan segera pula kita melakukan klarifikasi dan melakukan konfirmasi pada media bersangkutan Hal ini diperlukan agar tidak semakin memperkeruh suasana dan tidak terjadi pembohongan publik”.
“Netralitas media dalam menyampaikan atau menyajikan berita konflik di Sigi jujur dikatakan secara umum bisa dikatakan netral. Sesekali memang tampak ada yang kurang netral, sama seperti ketika media massa memberitakan kasus politik di tanah air bertepanan dengan pelaksanaan Pilpres. Kita lihat saja dalam tayangaan televisi semacam ada kubu-kubuan. Yang jelas-jelas dapat terbaca oleh orang awan. Contohnya pemberitaan kisruh dalam tubuh Partai Golongan Karya. Dalam hal kasus Sigi khususnya yang terjadi di Kecamatan Dolo misalnya, media lebih berpihak pada pemeritaan pertikaian antara massa, jumlah korban dalam pertikaian itu, kerugian harta benda, dan lain sebagainya. namun ketika ada pihak tertentu yang sepertinya ikutan membela salah satu kelompok massa/kanpung tertentu itu tidak muncul pada pemberitaan. Nah apakah media tidak tahu gerak gerik pihak tertentu yang membela atau melindungi kelompok itu, atau media sengaja untuk tidak tahu, kita tidak mengerti. Tapi mana mungkin media tidak tahu, karena dalam inseden itu jelas terlihat adalanya ketidakseimbangan atau adanya perlakuan yang berbeda dari penanganan konflik. “Perlakuan media massa mmereka anggap kurang netral. lainnya sehari panca terjadi peristiwa konflik suasana desa sepi, warga tidak berani keluar rumah dan adanya pihak tertentu yang turut mendobrak kembali sebagian rumah warga di salah desa yang berkonflik, ada pula yang melakukan penjebolan atap rumah, tetapi media tidak dimuat media, demikian pula perlakukan pihak tertentu yang pilih kasih dalam menegakkan hukum tidak pula terangkat dalam kontrol media, Kalaupun ada yang mengetengahkan itu cuma sedikit dan frekuensi pemuatannya pun paling cuma satu kali. Sisi lain, gesekan terjadi konflik lanjutan masih tinggi. Namun media yang pula melakukan kontrol, untuk suatu antisipasi dan sigapnya aparat jika konflik harus juga terjadi. Memang kalau
Upaya menghadirkan berita yang teraktual dan terdepan dari media yang lainnya mmerupakan praktik yang sering dilakukan media massa. Sementera praktik yang demikian sering menggiring media pada penyesatan informasi dan pencibiran massa, karena pada gilirannya akan terungkap fakta berita yang sebenarnya. Karena tantangan media massa adalah cepat, dapat dan tepat. Artinya, kasus konflik memang sangat penting untuk diberitakan, banyak hal positif dari pemberitaan itu, seperti masyarakat akan lebih berhati-hati, perhatian dari pemerintah maupun aparat penegak hukum terhadap penanganan agar kasusnya tidak meluasnya menjadi tinggi, demikian pula pemulihkan keadaan yang lebih kondusif ditangani lebih konsen. B.
Netralitas Berita Media Massa
Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pada Bab IV Pelaksanaan Penyiaran Pasal 6 ayat (4) ditulis: Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Konteks dengan pelaksanaan Pasal pada ayat tersebut media massa sering mendapat cibiran atau penilaian yang miring, karena prakteknya media massa dalam menjalankan tugas, peran dan fungsinya sering dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagaimana pula dengan tanggapan sejumlah informan pada penelitian ini berikut ungkapan mereka. Dari unsur Ormas 101
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Oktober 2015: 95-106
liputan sejumlah media sudah siap dan selalu sigap dengan liputannya. Secepat kilat mereka sampai ketempat konflik yang jaraknya cukup jauh dari kota ke kabupaten”.
jadi tutup mata pada fakta lainnya. Dengan kata lain, perlakuan media yang juga tidak memberitakan adanya ketimpangan perlakuan pihak tertentu pula saat konflik berlangsung seperti ungkapan unsur Ormas artinya, masyarakat sekarang adalah masyarakat yang cukup kritis dan cerdas, mereka mampu menilai apakah media massa sudah bekerja secara profesional atau belum. Media massa sebagai lembaga sosial yang memiliki fungsi umum: memberikan informasi, mendidik, menghibur dan melakukan kontrol sosial. Dalam menjalankan peran dan fungsi tersebut media tidak terlepas dari ketentuan hukum, norma dan etika sebagai acuan dan rujukan. Wartawan dalam mencari, mengolah dan menyaring berita menjadi suatu berita tentu menurujuk pada ketentuan, noma maupun etika yang berlaku, namun tidak menutup kemungkinan didasarkan pula pada kepribadian, visi dan misa media massa dimana wartawan tersebut bekerja. (Arifin, 2010) mengatakan bahwa kepribadian sebuah media akan tercermin dalam isi, bentuk dan gaya berita yang disajikannya dalam media. Disinilah media memperoleh status, prestise dan kribilitas dalam masyarakat dan sekaligus memperoleh citranya dari khalayak. Ketika media massa dianggap kurang netral dalam melaporkan pemberitaan yang berarti pula media mengurangi citranya dihadapan publik.
Ungkapan yang berbeda tentang netralitas media diungkapkan oleh unsur pemerintah, pendidik, tokoh masyarakat dan pihak legislatif, pendidik dan penegak hukum mereka mengatakan bahwa: ”Media massa dalam memuat sajian berita kasus konflik antar warga di Kabupaten Sigi cukup netral. Media tidak penah timpang sebelah dalam memuat pemberitaan. Media massa cukup apik, bijak dan selalu berhati-hati dalam memberitakan masalah konflik yang terjadi baik konflik yang terjadi tahun 2012 maupun pada tahun 2013, seperti yang terjadi di desa Rarampadende, Pakuli, Kotarindau, Kotapulu dan beberapa desa lainnya yang sangat tragis dengan pembakaran puluhan buah rumah, semua itu diberitakan secara netral oleh media massa. Secara ideal media harus bersikap netral tidak memihak pada sudut manapun dalam memberikan informasi, mendidik, dan kontrol sosial untuk kepentingan publik. Memang agak sulit mendapatkan media massa yang mampu menjalankan perannya yang benarbenar netral. menjadi media yang netral diera kebebasan seperti sekarang ini memang sulit karena hampir semua segi ada unsur politis juga, paling tidak politis media”. Konteks netralitas pemberitaan kasus konflik antar warga di Sigi beberapa waktu lalu dinilai oleh sebagian besar informan tidak jauh berbeda dengan pandangan informan terhadap akurasi berita artinya, ada sebagian yang beranggapan netral namun ada pula yang beranggapan sebagian media kurang netral. Amir menyimpulkan dalam hal netralitas media dalam menjalankan tugasnya hanyalah teori, tidak ada media massa yang seratuspersen dapat menjalankan tugasnya secara netral. Ungkapan informan bahwa media massa yang hanya melirik satu sudut pemberitaan tertentu boleh
C.
Positif dan Negatifnya Pemberitaan Konflik Sigi
Dalam upaya menarik pemisra/pembaca dan pendengar berbagai cara digunakan media bahkan sering membuat orang tidak bisa lagi membedakan yang benar, palsu, simulasi, riil dan yang hiperiil. (Haryatmoko, 2007). Ketentuan pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang di dalam Bab I pasal 3 disebutkan bahwa Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan. Dipahami, bahwa kasus pelanggaran hukum dan kriminalitas apa lagi kasus konflik sering menjadi topik utama dalam pemberitaan media massa. Tidak jarang pula jika media massa memberitakan 102
Tanggapan Masyaarkat Terhadap Konten Media… Hartiningsih
kasus konflik pada frekuensi yang tinggi dengan tingkat intensitas yang cukup sering. Satu hal yang sudah biasa dilakukan media massa adalah sedikit sentilan dengan sansasi. Contoh pemberitaan yang ringan bisa menjadi suatu yang penting dan dapat menarik perhatian publik. Cukup banyak pemberitaan yang dapat diambil contoh, suatu berita yang awalnya tidak mendapat perhatian masyarakat, akan tetapi karena rentang waktu yang cukup lama berbulan-bulan, frekuensi pemberitaan yang cukup tinggi maka jadilah sebuah sebuah berita media yang mendapat rating tinggi. Memang tidak semua peristiwa bisa menjadi berita kata karena tidak semua berita itu manarik perhatian publik. Untuk itu, suatu peristiwa yang menarik perhatian publik membutuhkan ukuran atau nilai sehingga menjadi standar umum dalam penilaian suatu peristiwa. (Wazis, 2012) Namun demikian, kasus konflik adalah kasus nerw value yakni peristiwa yang memang menarik perhatian publik dan memiliki nilai human interest. Kasus konflik di Kabupaten Sigi merupakan salah satu peristiwa memperihatikan yang menjadi perhatian publik yang bukan saja mendapat perhatian masyarakat Sulawesi Tengah saja, tetapi masyarakat lainnya di berbagai provinsi. Seperti diketengahkan sebelumnya bahwa Kabupaten Sigi memiliki 15 kecamatan dengan 176 desa dan 1 unit pemukiman transmigrasi, beberapa desa diantaranya yang pernah berkonflik seperti : desa diantaranya meliputi : Desa Bora, Oloboju, Watununjo, Sidondo, Kota rindau, Kotapulu, Desa Pesaku, Kinovaro, Binangga, Desa Rapadende, dan Pakuli, Selama tahun 2012, paling tidak terdapat puluhan kali insiden konflik terjadi di beberapa desa, demikian pula pada tahun 2013. Akan tetapi sejak tahun 2014 hingga sekarang pertengahan tahun 2015, Seluruh informan dari unsur pemerintah, legislatif, pendidik, tokoh masyarakat, Penegak hukum, dan Ormas menyagatakan:
sejumlah orang kehilangan nyawa atau korban jiwa yang bukan saja pada masyarakat bertikai tetapi juga pada warga dan anak yang tidak berdosa. Suasana yang kondusif seperti sekarang ini tidak terlepas dari munculnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk dan mirisnya pertikaian, disamping pula karena antisipasi dari segenap elemen formal maupun informal, penegak hukum, tokoh agama dan adat, serta berbagai pihak lainnya yang berkompeten yang memberikan pemahaman untuk mempersatukan dan mempererat tali silaturrahmi antar warga, atau memediasi kese-pakatan damai antar warga yang bertikai. Hal yang lebih teknis lagi adalah penempatan Kantor Polres Kabupaten Sigi didaerah rawan konflik. Dengan unsur kedekatan kantor pihak keamanan dengan lokasi rawan konflik tersebut bertujuan antara lain : segala geliat atau riak yang mengarah pada konflik cepat tercium dan terantisipasi aparat, dan masyarakat yang berkonflik pun berpikir dua kali jika ingin melakukan keonaran. Konteks pemberitaan media massa dalam kasus konflik di Kabupaten Sigi mengandung unsur positif dan negatif. Unsur positif menurut sejumlah sebagian besar informan mengatakan : Berita konflik di Kabupaten Sigi yang terjadi dibeberapa desa begitu banyak diungkapkan oleh media massa, baik berupa pemberitaan atau semacam informasi maupun berita berita fakta semata. Ungapan dari Pemerintah, penegak hukum, dewan, tokoh masyarakat menilai : Potret pemberitaan konflik Sigi paling tidak ada beberapa hikmah positif yang bisa didapat antara lain : Mengundang simpati bagi berbagai unsur untuk turut menyelesaikan konflik yang terjadi, masyarakat bisa lebih berhati-hati dan waspada agar tidak terkena imbas konflik. Positif lainnya pemberitaan itu merupakan salah satu kontrol terhadap pemerintah dan pihak terkait yang berkompeten lainnya untuk memiliki rancangan/strategi meminimalisir konflik sekecil mungkin, dan banyak lagi hal positif dari pemberitaan atas suatu kasus apapun, terutama dalam hal kesadaran atau intraspeksi diri
“Suasana Sigi sudah kondusif, antar warga sepertinya sudah saling menyadari dampak dari konflik, yang tidak saja rusak dan hilangnya harta benda akibat pembakaran sejumlah rumah, sejumlah warga terluka, dan 103
Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 19 No.3 Oktober 2015: 95-106
terhadap masyarakat yang bertikai. Unsur negatifnya juga tidak kalah banyak karena adanya pemberitaan pertama, memberikan gambaran bahwa Kabupaten Sigi merupakan salah satu kabupaten yang rawan konflik dengan tingkat kondisi keamanan yang masih diragukan, kedua, menguak gambaran bahwa di tempat itu penyelesaian masalah dilakukan secara kekerasan berikutnya, masih lemahnya perhatian pemerintah setempat terhadap dinamika kehidupan warganya kemudian, pemberitaan konflik bisa jadi menyisakan dendam pada anak cucu-cucu mereka dikemudian hari.- , dan traomatik yang semakin susah untuk dilupakan, apalgi jika ada tayangan atai bearita diserupa diungkap media massa Tetapi itu sama sekali tidak kita harapkan, karenanya media massa selain bertugas memberitakan atau mengontrol, tetapi juga dapat menanamkan nilai edukasi. Banyak tulisan atau ungkapan yang dapat menyadarkan masyarakat untuk berbuat kepada hal yang lebih baik, untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah dan kepala dingin. Atau menyerahkan semua kasus kepada pihak yang berwenang”.
dan saling menghargai serta menghormati antar sesama. Potret kehidupan yang damai membangunan daerah dan manusia yang berkualitas patut ditanamkan oleh media seperti dalam suara pers atau menggali pemberitaan melalui sumber atau tokoh-tokoh yang memiliki kharismatik yang suaranya dapat menjadi panutan masyarakat. Dengan kata lain, media massa tidak terkesan hanya menarik keuntungan dibalik peristiwa yang menyedihkan dan sangat memperihatinkan. Media cetak misalnya merupakan media yang memiliki rekam jejak sangat otentik, dapat dibaca ulang, didokumenkan dalam sebuah kliping, dan sebagainya. Karenanya pemberitaan seperti pada media apakah menimbukan reaksi dan aksi positif atau negatif sangat tergantung dari ulasan produk berita yang diolah atau diulas, baik oleh media cetak, televisi maupun radio. Dampak negatifpun tidak kalah banyak dalam skala besar dapat menurunkan minat investor untuk menanamkan modal, kunjungan wisata yang menurun. Sisi lain, warga masyarakat atau orang yang benkunjung ketempat itu senantiasa diselimuti oleh perasaan tidak tenang dan was-was.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Diketengahkan sebelumnya bahwa beberapa media massa yang menjadi sumber informasi dan pengetahuan bagi sejumlah informan dalam mencerna konten pemberitaan konflik Sigi maupun berita lainnya adalah : Radar Sulteng, Nuansa Post, Mercusuar dan Sulteng Post. (terbitan lokal). Disamping itu informan juga mengikuti siaran radio seperti : RRI Palu, dan radio Alkhairat. Sedangkan media televisi adalah TVRI Palu dan Nuansa TV. Pemberitaan konflik yang dilasir media massa tentulah memiliki konsekuensi dampak yakni positif dan negatif bagi masyarakat. Edukasi publik terhadap kasus konflik merupakan produk informasi yang paling tepat. Atau berdampak positif. Karenanya media massa patut menanamkan betapa penting hidup rukun
A. Kesimpulan Media massa menjadi konsumsi publik manakala terjadi peristiwa konflik antar wagra di beberapa daerah di Kabupaten Sigi. Mereka mengikuti segala kajadian itu melalui surat kabar ataupun mendengarkan radio dan menonton televisi. Media massa baik surat kabar, radio maupun televisi dianggap oleh sebagian besar informan cukup baik dalam menjalankan peran, fungsi serta kewajibannya memberikan informasi mengeani konflik Sigi kepada publik. Media cukup akurat dan netral dalam pemberitaan. Ketidakakuratan dan ketidaknetralan dalam pemberitaan relatif sangat kecil. Konsekwensi positif dari pemberitaan konflik dapat meningkatkan kewaspadaan berikut, masyarakat dapat mengambil pelajar berharga dari kasus konflik. Konsekuensi 104
Tanggapan Masyaarkat Terhadap Konten Media… Hartiningsih
negatif dapat menimbulkan rasa takut dan traumatik yang dalam jika ada tayangan serupa di media massa, rasa tidak aman ketika berada di kabupaten tersebut cukup tinggi, dan juga minyisakan perasaan dendam bagi anak cucu dan keturunan mereka kelak.
Peraturan Presiden tentang Penyiaran Tahun 2005. Menkumham RI Rusadi, U., 2005. Diskursur kerusuhan Sosial dalam Media mssa Studi Kekuasaan Dibalik Sajian Berita Surat Kabar. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika Vol 44
B. Saran Media massa dalam memerlukan tugas dan fungsinya hendaknya dapat bekerja cepat, dapat dan tepat dan mengedapnankan netralitas.
Siswanto, S., 1998. Peran Surat Kabar dan Kyai Dalam Pembentukan Opini Publik Kasus Kerusuhan Pemilu 1997 di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Jurnal Penelitian dan Komunikasi Pembangunan. Vol.4 (2)
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Pemerintah Kabupaten Sigim Camat biromaru, Dishubkominfo, DPRD Kab. Sigi, Kepala BPPKI Banjarmasin dan sejumlah pihak ang telah mamfasilitasi dan membantu kelancaran penelitian ini.
Sugiyono, 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta Suwaso, L., 1998. Wajah Media Massa Kita, Jakarta: AJI Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Triasnani, 1999. Apresiasi Masyarakat Jawa Timur terhadap Berita Televisi, Jurnal Penelitian Media Massa.
Anwar, A., 2010. Opini Publik. Depok: Kota Penerbit Arikonto, S., 2013. Prosedur Penelitian. Jakarta: Reneka Cipta
Undang Undang Pers No 40 tahun l999, Departemen Pengerangan RI, Jakarta.
Assegaff, H. D., 1991, Jurnalistik Masa Kini Pengatar Ke Praktik Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia
Undang Undang Penyiaran. No.32 tahun 2002. Menkumham RI
Darwanto, 2011. Televisi Sebagai Media Pendidikan. Yogyakarta.: Pustaka Pelajar
Wazis, K. 2012, Media Massa dan Konstruksi Realitas. Yogyakarta: Aditiya Media.
Harjatmoko, 2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornograf. Yogyakarta.: Kanisius Hartiningsih, 2014. Komunikasi Massa, televisi Dan Tayangan Kekerasan Dalam Pendekatan Kasus. Jakarta: RajaGrafindo Persada Herdiansyah, H., 2010. Metode Penelitian Kuanlitatif Untuk Ilmu Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Kusuma, A., 1998. Kebebasan Pers Untuk kebebasan Masyarakat, Aliansi Jurnalistik Independen, Jakarta : AJI Indonesua 105