115
BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Mei 2015 Vol. 1 No. 2, p 115-121 ISSN: 2442-2622
Analisis semikuantitatif ekspresi auxin induced genes family pada mutan heterosigot Auxin Binding Protein1 (abp1/ABP1) Arabidopsis thaliana Yunus Effendi Prodi Biologi/Bioteknologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia, Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja Jakarta Selatan, Indonesia. Email:
[email protected] Auksin merupakan fitohormon sentral yang banyak berperan dalam pengaturan fungsi dan regulasi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Walau demikian informasi tentang mekanisme molekular sinyal auksin khususnya bagaimana sel tanaman merespon auksin pada specific membrane bounded auxin receptor masih sangat terbatas jumlahnya. Auxin Binding Protein1 (ABP1) merupakan satu-satunya kandidat membrane bounded auxin receptor pada tanaman yang fungsi dan mekanisme kerjanya masih belum banyak diketahui. Dalam penelitian ini, fungsi gen ABP1 dianalisis dengan mengukur ekspresi auxin induced genes family, yakni IAA gene family (IAA3, IAA5, IAA14, IAA19, dan IAA20), GH3 genes family (GH3-3, dan GH3-5) dan gen SAUR1 pada mutan heterosigot ABP1 (abp1/ABP1) menggunakan metode semikuantitatif PCR. Data ekpresi gen dicatat setelah mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 dan wild type Arabidopsis thaliana diperlakukan dengan menambahkan asam indol asetat (IAA) (0.03µM dan 0.1µM). Gen ACTIN digunakan sebagai gen referensi. Hasil menunjukkan adanya reduksi dan delay ekpresi sebagian besar auxin induced genes yang dianalisis pada mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 dibandingkan dengan wild type 30 menit pasca penambahan IAA. Dari eksperimen ini dapat disimpulkan bahwa mutasi gen ABP1 berimplikasi pada reduksi dan delay ekpresi auxin induced genes. Penelitin ini juga mengindikasikan potensi ABP1 sebagai reseptor auksin pada tanaman. Kata kunci : ABP1, Auksin, ekspresi semikuantitatif, auxin-induced gene families PENDAHULUAN Auksin merupakan hormon utama pada tanaman yang berperan dalam mengatur berbagai macam aspek perkembangan pada tanaman. Auksin mengkoordinasi berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman misalnya pada proses embriogenesis, morfogenesis, organogenesi, reproduksi, pemanjangan dan pembelahan sel, dan diferensiasi. Selain itu auksin turut menentukan kemampuan tanaman dalam merespon faktor lingkungan seperti respon terhadap gaya gravitasi dan cahaya dengan mengembangan respon tropisme tertentuk (Davies, 1995; Leyser, 2006; Benjamins and Scheres, 2008; Mockaitis and Estelle, 2008; Champman and Estelle, 2009). Namun demikian, sejauh ini tersediannya informasi yang cukup lengkap tentang fungsi dan efek auksin dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tidak diimbangi dengan tersediannya informasi yang memadai tentang mekanisme sinyal transduksi auksin, khususnya mekanisme molekuler sinyal
transduksi auksin (Scherer, 2002; Dharmasiri and Estelle, 2004; Tromas et al., 2009; Effendi et al., 2011). Secara umum mekanisme sinyal transduksi hormon diawali dengan pengikatan ligan spesifik pada reseptornya yang kemudian dilanjutkan dengan transduksi sinyal molekuler melalui second messanger yang akan mengaktifkan protein-protein transduser berikutnya sampai pada pengaktifan atau penonaktifan ekspresi faktor transkripsi atau gen target. Reseptor secara umum berdasarkan lokasinya pada sel dapat dikelompokkan sebagai membrane-bounded receptor atau cytosolic receptor (Scherer, 2011). Auxin Binding Protein 1 (ABP1) merupakan Auxin-binding protein yang pertama kali dikarakterisasi dan dianggap sebagai kandidat reseptor auksin pada tanaman adalah ABP1 (Venis and Napier, 1995; Napier, 1991) oleh karena memiliki spesifisitas dan afinitas yang tinggi dalam mengikat auksin (Löbler and Klämbt, 1985). Walau demikian sebagian besar fungsi sebagai reseptor auksin masih tetap belum dapat dijelaskan
116
(Dharmasiri and Estelle, 2004) khususnya mekanisme molekular yang terjadi pasca pengikatan auksin oleh ABP1 pada plasma membran dan komponen seluler lainnya yang ikut terlibat dalam transduksi sinyal auksin belum teridentifikasi, sehingga posisi ABP1 sebagai kandidat reseptor pada tanaman masih diperdebatkan. Reseptor auksin lainnya yang sudah diterima dalam dunia sains sebagai reseptor auksin adalah Transport Inhibitor Protein 1 (TIR1). TIR1 merupakan satu-satunya reseptor auksin yang telah diidentifikasi mekanisme molekuler sinyal transduksinya dan dianggap sebagai reseptor utama auksin yang berfungsi memediasi ekspresi auxininduced genes pada tanaman (Dharmasiri et al., 2005). TIR1 bekerja melalui mekanisme regulasi ubiquitinasi dan proteolisis faktor-faktor transkripsi protein IAA (Indole Acetic Acid) yang pada akhirnya akan menginduksi ekspresi auxininduced genes (Dharmasiri et al., 2005; Kepinsky dan Leyser, 2005). Walau demikian, terdapat proses-proses seluler yang dinduksi oleh auksin yang berlangsung dalam hitungan detik atau dibawah 30 menit pasca aplikasi auksin seperti depolarisasi membran sel dan ion fluxes, yang tidak dapat dijelaskan prosesnya sebagai fungsi proteolisis faktor-faktor transkripsi IAA dan sintesis protein baru oleh TIR1 (Badescu dan Napier, 2006). Fungsi-fungsi yang berlangsung secara cepat dan pasca auksin induksi tersebut diduga dimediasi oleh reseptor auksin lainnya, yang kemungkinan terletak di plasma membran sel. Auxin Binding Protein 1 (ABP1) sejauh ini merupakan satu-satunya kandidat plasma membran reseptor auksin pada tanaman. Beberapa publikasi terbaru menunjukkan ABP1 merupakan pemain kunci dalam sinyal transduksi auksin khususnya persepsi auksin pada plasma membran sel (Robert et al., 2010; Tromas et al., 2010; Xu et al., 2010; Sauer and Kleine-Vehn, 2011; Schere, 2011). Namun berkaitan dengan mekanisme kerja dan fungsi ABP1 masih banyak pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini. Karakter protein ABP1 yang sebagian besar terletak di dalam lumen retikulum endoplasma yang memiliki pH sangat rendah dan tidak memungkinkan pengikatan auksin oleh protein ABP1 menjadi satu pertanyaan penting tentang fungsi ABP1 dalam mengikat auksin (Tian et al., 1995). Selain itu sampai saat ini hanya terdapat sedikit publikasi yang menunjukkan bahwa ABP1 menginduksi regulasi ekspresi gen. Hal ini utamanya disebabkan belum tersedianya ABP1 mutan yang dapat digunakan untuk menguji fungsi dari protein ABP1 sebagai reseptor auksin. Sampai saat ini hanya terdapat sebuah T-DNA abp1 mutan Arabidopsis yang sudah dilaporkan
(Chen et al, 2001). Chen et al. (2001) melaporkan bahwa homosigot abp1 T-DNA mutan pada Arabidopsis thaliana bersifat letal pada tahap embrionik. Data ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ABP1 adalah gen esensial pada tanaman dan kandidat potensial reseptor auksin. Namun di saat yang dengan adanya karakter letal pada mutan homosigot abp1 T-DNA, studi fungsi ABP1 sebagai auksin reseptor juga terhambat (Effendi et al, 2011). Untuk itu, penelitian ini dirancang untuk mempelajari fungsi ABP1 sebagai reseptor auksin dengan memanfaatkan mutan abp1 (Chen et al, 2001) khususnya fungsi ABP1 dalam merespon induksi auksin dan meregulasi ekspresi auxin-induced genes.
METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Arabidopsis thaliana wild type dan mutan TDNA heterosigot abp1 ekotipe Wassilewskija (Was) digunakan sebagai obyek penelitian. Mutan T-DNA heterosigot abp1 diperoleh dari Nottingham Arabidopsis Stock Center (NASC) England. Biji Arabidopsis ditumbuhkan pada tanah kompos mengandung campuran pasir silika. Setelah stratifikasi pada kondisi gelap selama 3-4 hari pada suhu 4oC, tanaman ditumbuhkan pada green house pada kondisi long day (16 jam sinar/8 jam gelap) sampai tanaman siap untuk dipanen. Seleksi tanaman mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 dilakukan dengan menumbuhkan biji Arabidopsis secara aseptik pada media agar 0.5X Murashige and Skoog yang ditambah dengan 1% (w/v) sukrosa dan mengandung antibiotik kanamisin 100µg/ml. Setelah stratifikasi selama 34 hari pada suhu 4oC, tanaman diinkubasi pada kondisi 18 jam sinar putih pada suhu 22oC dan dipindahkan pada media tanah pasca daun keempat muncul dan kemudian dipindahkan pada kondisi long day. Karakterisasi Fenotip mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 Beberapa karakter fenotip pertumbuhan seperti panjang hipokotil, panjang akar utama, dan banyaknya akar lateral setelah ditambahkan dengan beberapa konsentrasi auksin (0µM, 0.02µM, dan 0.03µM 1-NAA) pada tanaman berumur 11 hari diukur dan dibandingkan antara mutan heterosigot abp1/ABP1 dengan wild type (WT). Eksperimen dilakukan secara in-vitro pada media 0.5X MS agar, sebanyak 4 kali ulangan dan tiap ulangan terdiri dari lebih 10 tanaman per perlakuan. Mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 diverifikasi dengan menggunakan teknik PCR.
117
Tanaman discan dan diukur menggunakan progam AxioVision LE Ver. 4.6 (Zeis – Germany). Perlakuan auksin, Isolasi RNA, dan sintesis cDNA Tiga konsentrasi asam indol asetat (IAA) (0µM, 0.03µM dan 0.1µM) diaplikasikan pada Arabidopsis WT dan mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 berumur 7 hari yang ditumbuhkan secara in-vitro pada media 0.5X MS agar. DMSO (Dimetylsulfoxid) ditambahkan pada sampel kontrol. Perlakuan auksin diberikan selama 0 min, 30 min dan 60 min dan diulang sebanyak 3 kali ulangan secara terpisah. Sampel tanaman yang sudah diperlakukan dengan auksin kemudian diekstraksi guna mengisolasi RNA total dari masing masing sampel. RNA diisolasi menggunakan kit Nucleospin RNA Plant kit (Macherey-Nagel) dan dilakukan sesuai dengan prosedur manual Nucleospin RNA Plant kit (Macherey-Nagel). Sebanyak 4-5 gr RNA total digunakan sebagai template untuk mensintesis cDNA. Sintesis cDNA dilakukan menggunakan RevertAidtm H Minus First Strand cDNA Synthesis Kit (Fermentas). 1µl oligo(dT) 18 primer (0.5µg/µl) digunakan dalam sintesis cDNA. Semi kuantitatif Real Time PCR. Sebanyak ± 320ng cDNAdigunakan sebagai template semi kuantitatif RT-PCR. Kondisi amplifikasi amplifikasi adalah 94oC selama 4 min, 30 siklus (94oC selama 30 dtk; 53oC-63oC selama 20 dtk; 72oC selama 25 dtk). 10 pmol forward dan reverse primer (IAA3, IAA5, IAA14, IAA19, IAA20, GH3-3, GH3-5 dan SAUR1), dicampurkan pada reaksi PCR. Gen ACTIN digunakan sebagai endogenous reference gene untuk reaksi amplifikasi. 10µl produk amplifikasi dielektroforesis pada gel agarose 2% dan didokumentasikan serta dianalisis menggunakan program ImageJ (www.imagej.nih.gov/ij/) HASIL DAN PEMBAHASAN Data fenotipik menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara WT dan mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 dalam hal respon terhadap penambahan auksin baik pada konsentrasi 0.02µM, 0.03µM, dan 1 µM. Respon yang berupa panjang akar dan jumlah akar lateral menunjukkan bahwa mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 lebih insensitif terhadap perlakuan auksin khususnya pada konsentrasi 0.02µM dan 0.03µM dalam hal panjang akar (Gambar 1). Sedangkan pada penambahan auksin konsentrasi yang sama, panjang hipokotil pada mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 lebih panjang dari pada WT meskipun tidak signifikan (Gambar2).
Konsentrasi auksin (µM) Gambar 1. Sensitifitas akar terhadap induksi auksin (0, 0.02, 0.03 dan 1 µM) pada mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 dan pada WT. Balok hitam = WT, diagram balok putih = mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1. Panjang akar dihitung relatif terhadap kontrol (0 µM). Sampel tiap perlakukan sebanyak 10 tanaman dan diulang sebanyak 3 kali secara terpisah.
Sebagai fitohormon yang berperan sentral dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, sebagain besar efek fisiologi auksin telah diidentifikasi. Diantaranya perkembangan buah, organogenesis, diferensisasi jaringan vaskular, pementukan akar, elongasi dan tropisme, dominansi apikal dan ekspansi guard cell (Bauly et al., 2000; Berleth and Sachs, 2001; Leyser, 2002; Delker et al., 2008). Sehingga ketidakakurantan pada sinyal transduksi misalnya pada tahap persepsi auksin, tentunya akan mengakibatkan kegagalan fungsi dari fitohomron tersebut. Hal ini yang nampaknya terlihat pada kasus mutan heterosigot abp1/ABP1 pada penelitian ini, dimana heterosigot abp1/ABP1 merespon lebih lemah terhadap induksi auksin yang dibandingkan dengan WT ABP1. Data gel eletroforesis menunjukkan bahwa sebagian besar gen-gen yang diteliti ekspresinya dalam penelitian ini menunjukkan ekpresi yang tinggi setelah diaplikasi dengan 0.1 µM IAA, terkecuali ekspresi gen IAA19 dan GH3-5. Untuk penambahan auksin pada konsentrasi 0.03 µM terlihat perbedaan ekspresi pada mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 dan WT kurang dapat dilihat (Gambar 3). Semi kuantitatif PCR secara umum menunjukkan bahwa auksin menginduksi secara kuat beberapa gen dalam penelitian ini seperti IAA1, IAA5, IAA14, GH3-3, SAUR1 dan terlihat mempunyai efek lemah pada ekspresi gen IAA20. Walau demikian, dapat diamati pada data penelitian ini bahwa tidak semua gen yang dianalisis, misalnya IAA3, IAA19, dan GH3-5 menunjukkan perbedaan yang jelas dalam level ekpresinya ketika diinduksi dengan auksin selama 30 menit dan 60 menit. Oono et al (2002) melaporkan bahwa level ekpresi dari beberapa gen famili Aux/IAA padaWT Arabidopsis akan selalu
118
bervariasi. Lebih lanjut diterangkan bahwa gen IAA1 dan IAA5 tereskpresi secara kuat, sedangkan IAA3 dan IAA4 relatif terekspresi lemah.
1,5 1,2 0,9 0,6 0,3 0 0,001
0,02
0,03
1
Konsentrasi auksin (µM)
Gambar 2. Sensitifitas akar terhadap induksi auksin (0, 0.02, 0.03 dan 1 µM) pada mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 dan pada WT. Balok hitam = WT, diagram balok putih = mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1. Panjang hipokotil dihitung relatif terhadap kontrol (0 µM). Sampel tiap perlakukan sebanyak 10 tanaman dan diulang sebanyak 3 kali secara terpisah.
Secara umum, dari data dapat diamati bahwa ekspresi auxin-induced genes pada mutan T-DNA heterosigot abp1/ABP1 menunjukkan level ekpresi yang rendah dari pada WT. Data skala waktu yang digunakan pada penelitian ini yakni 0, 30, dan 60 menit menunjukkan bahwa penambahan waktu akan meningkatkan level ekspresi dari hampir semua auxin-induced genes yang diteliti. Yang menarik adalah, setelah 30 menit aplikasi IAA, khususnya pada konsentrasi 0.1 µM, ekpresi sebagian gen sudah terlihat muncul khususnya pada sampel WT. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi ekspresi gen juga menjadi domain fungsi dari ABP1. Pada sebagian besar publikasi tentang ABP1, dijelaskan bahwa fungsi dari gen ABP1 adalah lebih pada regulasi proses-proses seluler yang berlangsung pada plasma membran sel (MacDonald, 1997; Hager, 2003; Badescu and Napier, 2006). Penelitian awal yang mengidentifikasi fungsi regulasi ekspresi gen melalui fungsi reseptor ABP1 telah dilakukan sebelumnya oleh Braun et al. (2008). Braun et al. (2008) menguji transkripsi dari early auxinregulated genes setelah 8 jam menambahkan antibodi anti-ABP1. Tiga belas dari 14 gen IAA yang diteliti menunjukkan downregulation atau upregulation secara transien setelah lebih dari 48 jam pasca perlakuan bila dibandingkan dengan sampel tanpa perlakuan. Penemuan ini konsisten dengan data yang diperoleh dalam penelitian ini.
Dapat ditambahkan pula dari penelitian ini bahwa regulasi ekpresi auxin-induced genes dapat terjadi 30 menit setelah aplikasi auksin, hal yang belum dapat dijelaskan apabila regulasi dilakukan via fungsi reseptor TIR1. Mekanisme regulatori via TIR1 memerlukan paling tidak tiga kelompok protein yakni transkripsi faktor ARFs, protein repressor Aux/IAA, dan protein komponen ubiquitination-proteasome pathway, yang bertindak dalam degradasi protein (Woodward and Bartel, 2005). Dalam merespon peningkatan level auksin seluler, protein-protein Aux/IAA akan dimodifikasi oleh protein komponen ubiquitin dan akan didegradasi melalui jalur proteosome, yang mengakibatkan terlepasnya protein ARFs dari elemen regulator pada promoter auxin-induced genes sehingga transkripsi gen dapat dimulai. (Hobbie, 2005; Woodward and Bartel, 2005). Calderon-Villalobos et al (2006) melaporkan bahwa terdapat jeda waktu antara 30-45 menit setelah penambahan auksin sampai terdeteksi munculnya protein baru, sehingga dapat diduga bahwa regulasi ekspresi gen melalui reseptor TIR1 membutuhkan waktu lebih dari 30 menit. Secara umum dapat disimpulkan bahwa regulasi ekpresi gen via reseptor TIR1 adalah regulasi yang timedependent dan membutuhkan waktu lebih dari 30 menit pasca induksi auksin. Ekpresi auxin-induced genes selalu dihubungkan dengan fungsi regulasi dari TIR1 (Parry and Estelle, 2006 ). Namun dari hasil penelitian ini dapat dibuktikan bahwa regulasi ekspresi gen, khususnya auxin-induced genes dapat diregulasi melalui fungsi ABP1 bersama-sama dengan reseptor TIR1. Walau demikin tercatat pula adanya fluktuasi ekpresi dari endogenous reference gene ACTIN pada sampel yang berbeda. Hal ini dimungkinkan dapat disebabkan oleh ekpresi gen ACTIN yang tidak sesuai untuk penelitian induksi auksin, atau dapat juga disebabkan oleh adanya kekurangakuratan teknik semi kuantitatif PCR untuk menganalisis ekspresi gen. Sehingga ketika data gel semi kuantitatif dikuantifikasi menggunakan program ImageJ (data tidak ditunjukkan), tidak didapatkan hasil yang maksimal yang menunjukkan kuantitas level ekpresi gen-gen yang diteliti. Oleh karena itu analisis menggunakan teknik yang lebih baik, seperti kuantitatif Real Time PCR (qRT-PCR) sangat dianjurkan untuk digunakan dalam ekperimen kuantifikasi ekspresi gen baik kuantifikasi absolut ataupun relatif kuantifikasi.
119
Gambar 3. Data semi-kuantitatif profil gel electrophoresis. Tiga skala waktu (0, 30 min, 60 min) untuk dua konsentrasi auksin (0.03µM and 0.1µM) digunakan. ACTIN digunakan sebagai endogenous reference gene. (1) WT, (2) Mutan, (3) ACTIN-WT, and (D) ACTIN-Mutan.
Dari penelitian ini dapat dibuktikan bahwa protein ABP1 adalah reseptor auksin yang tidak hanya terlibat dalam determinasi perkembangan auxin-regulated morphological characters, seperti pemanjangan akar dan hipokotil tetapi juga dalam regulasi ekpresi gen. Fungsi regulasi ekspresi gen via ABP1 merupakan informasi baru, karena sejauh ini informasi tentang regulasi ekspresi gen yang melibatkan aplikasi auksin selalu dilaporkan berada di bawah kontrol reseptor auksin seluler TIR1. Adanya delay dan reduksi dalam level ekpresi auxin-induced genes pada heterosigot abp1/ABP1 menunjukkan bahwa adanya
kerusakan pada protein ABP1 akan berdampak pada kemampuan tanaman untuk merespon induksi auksin. SIMPULAN Data fenotip dan semi-kuantitatif real time PCR ekspresi auxin-induced genes pada penelitian ini menunjukkan bahwa ABP1 merupakan kandidat reseptor auksin yang mempunyai fungsi dalam regulasi ekpresi gen. Delay dan rendahnya ekspresi level dari auxin-induced genes pada mutan heterosigot T-DNA abp1/ABP1 dibandingkan
120
dengan WT menunjukkan bahwa kerusakan pada gen ABP1 akan berimplikasi pada regulasi proses fisiologi auksin pada tanaman. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dana berupa Domestic Seminar Grant dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Al Azhar Indonesia – Jakarta, untuk pelaksanaan Seminar Nasional Biologi Wallacea 2014 di Universitas Mataram – Lombok. DAFTAR PUSTAKA Badescu, G.O., dan Napier, R.M. 2006. Receptors for auxin: will it all end in TI Rs?. Trends Plant Sci. 11: 217-223. Bauly, JM, Sealy, IM, Macdonald, H, Brearley, J, Droge, S, Hillmer, S, Robinson, DG, Venis, MA, Blatt, MR, Lazarus, CM & Napier, RM. 2000. Overexpression of auxin binding protein enhances the sensitivity of guard cells to auxin. Plant Physiol. 124:1229 - 1238. Benjamins R and Scheres B. 2008. Auxin: The looping star in plant development. Annu Rev Plant Biol 59: 443–465. Berleth, T and Sachs, T. 2001. Plant morphogenesis: Long-distance coordination and local patterning. Curr. Opin. Plant Biol. 4: 57–62. Braun, N., Wyrzykowska, J., Muller, P., David, K., Couch, D., Perrot Rechenmann, C., and Fleming, A. J. 2008. Conditional repression of AUXIN BINDING PROTEIN1 reveals that it coordinates cell division and cell expansion during postembryonic development in Arabidopsis and tobacco. Plant Cell20, 2746–2762. Calderon-Villalobos, L.I.A., Kuhnle, C., Li, H., Rosso, M., Weisshaar, B., and Schwechheimer, C. 2006. LucTrap vectors are tools to generate luciferase fusions for the quantification of transcript and protein abundance in vivo1. Plant Physiol.141: 3– 14. Chapman E.J., dan Estelle M. 2009. Mechanism of auxin-regulated gene expression in plants. Annu. Rev. Genet. 43: 265-85. Chen, J.G., Ullah, H., Young, J.C., Sussman, M.R. and Jones, A.M. 2001. ABP1 is required for organized cell elongation and division in Arabidopsis embryogenesis. Genes Dev. 15: 902–911 Claussen, M., Lüthen, H., Blatt, M., and Böttger, M. 1997. Auxin-induced growth and its
linkage to potassium channels. Planta 201:227–234. David, K., Carnero-Diaz, E., Leblanc, N., Monestiez, M., Grosclaude, J. and PerrotRechenmann, C. 2001. Conformational dynamics underlie the activity of the auxin binding protein, Ntabp1. J. Biol. Chem. 276: 34517-34523. Delker,C., Raschke, A., Quint, M. 2008. Auxin dynamics: the dazzling complexity of a small molecule’s Message. Planta.227:929– 941 Dharmasiri, N. and Estelle, M. 2004. Auxin signaling and regulated protein degradation. Trends Plant Sci. 9: 302–308 Dharmasiri, N., Dharmasiri, S. and Estelle, M. 2005. The F-box protein TIR1 is an auxin receptor. Nature 435: 441-445. Effendi Y., Rietz S., Fischer U., Scherer G.F.E. 2011. The heterozygous abp1/ABP1 insertional mutant has defects in functions requiring polar auxin transport and in regulation of early auxin-regulated genes. Plant J. 65: 282-294. Hager, A. 2003. Role of the plasma membrane H+-ATPase in auxin-induced elongation growth: historical and new aspects. J. Plant Res. 116: 483-505. Henderson, J., Bauly, J.M., Ashford, D.A., Oliver, S.C., Hawes,C.R., Lazarus, C.M. and Venis, M.A. 1997. Retention of maize auxin-binding protein in the endoplasmic reticulum: quantifying escape and the role of auxin. Planta 202: 313–323. Hobbie, L. 2005. Seek and Ye shall [eventually] find: The end of the search for auxin receptor. J. Integr. Plant Biol. 47: 14121417. Kepinski, S. and Leyser, O. 2005. The Arabidopsis TIR1 protein is an auxin receptor. Nature 435: 446–451. Leyser, O. 2002. Molecular genetic of auxin signaling. Annu. Rev. Plant Biol. 53: 377-398. Löbler, M. and Klämbt, D. 1985. Auxin-binding protein from coleoptile membranes of corn (Zea mays L.). I. Purification by immunological methods and characterization. J. Biol.Chem. 260: 9848– 9853. Napier RM. 2001. Models of auxin binding. J. Plant Growth Regul. 20: 244–254. Macdonald H. 1997. Auxin perception and signal transduction. Physiol. Plant 100: 423-430. Mockaitis K dan Estelle M. 2008. Auxin receptors and plant development: a new signaling paradigm. Annu.Rev. Cell Dev. Biol. 24:5580
121
Oono, Y., Ooura,C., and Uchimiya, H. 2002. Expression pattern of Aux/IAAgenes in the iaa3/shy2-1D mutant of Arabidopsis thaliana(L.). Ann. Bot. 89: 77-82. Parry, G. and Estelle, M. 2006. Auxin receptors: a new role for F-box proteins. Curr. Opin. Cell Biol. 18: 152-156. Robert S., Kleine-Vehn J., Barbez E., Sauer M., Paciorek T., Baster P., Vanneste S., Zhang J., Simon S., Čovanová M., Hayashi K., Dhonukshe P., Yang Z., Bednarek S.Y., Jones A.M., Luschnig C., Aniento F., Zažímalová E., Friml J. 2010. ABP1 mediates auxin inhibition of clathrindependent endocytosis in Arabidopsis. Cell 143:111-121. Sauer M., Kleine-Vehn J. 2011. AUXIN BINDING PROTEIN1: The Outsider. Plant Cell 23: 2033-2043. Scherer G.F.E. 2011. AUXIN-BINDINGPROTEIN1, the second auxin receptor: what is the significance of a two-receptor concept in plant signal transduction? J. Exp Bot. 62: 3339-3357. Tian, H., Klämbt, D., and Jones, A.M. 1995. Auxin binding protein 1 does not bind auxin within the endoplasmic reticulum despite this beingthe predominant sub-cellular location for this hormone receptor. J. Biol.Chem. 270: 26962–26969. Tromas A., Braun N., Muller P., Khodus T., Paponov I.A., Palme K., Ljung K., Lee J.Y., Benfey P., Murray J.A.H., Scheres B., Perrot-Rechenmann C. 2009. The AUXIN BINDING PROTEIN 1 is required for differential auxin responses mediating root growth. PLoS ONE 4: e6648. Venis, M.A. and Napier, R.M. 1995. Auxin receptors and auxin binding proteins. Crit. Rev. Plant Sci. 14: 27–47. Woodward, A.W. and Bartel, B. 2005. A Receptor for auxin. Plant Cell 17: 2425-2429. Xu T., Wen M., Nagawa S., Fu Y., Chen J.G., Wu M.J., et al. 2010. Cell surface- and Rho GTPase-based auxin signaling controls cellular interdigitation in Arabidopsis. Cell 143: 99-110.