A Model of Batik Cabut Design Development A Case Study in Pilang, Sragen*)
By Mulyanto **) Email:
[email protected]
Abstract This study aimed at describing the model of batik design development in which batik tulis technique, batik which is totally handmade, and batik cabut technique, batik made by using color discharging technique, are combined. This study was qualitativedescriptive with three subjects of study chosen purposively. The subject of the study was Batik nDerbolo industry, a small batik industry which combines both techniques located in Pilang village, Sragen regency, in the province of Central Java. The data used in this study were obtained from the social situation of the batik industry that consists of actor, action, and place by using observation technique, interview, and document analysis. The data were analyzed using interactive model of analysis. The result of the study is a description of the procedures for developing batik designs, which consist of problem identification, production planning analysis, and the process of batik production. The production planning stage covers the planning of material to be used, process planning, product’s aesthetic value planning, and product’s functionality planning. The process of batik cabut production begins with motif development, followed by screen making, basic coloring, motif printing, batik application, advanced coloring, and finishing. Based on the actor, problem identification and production planning analysis is done by the artisan. Motif and screen development is done by the artisan together with the lay outer. The coloring by using dying technique, motif printing, and finishing are done by male employees, while the application of batik process by using wax and coloring by using colet process -painting colors on the cloth directly by using a brush- are done by pembatik (wax painter), who are mostly women, at their homes or in the batik workshop. Based on the creativity aspect, problem identification and production planning analysis are done by the artisan, the owner of the batik industry, with his background knowledge about batik production and the related experiences, market demand, resources available in the batik industry, natural resources, and social and cultural resources available in the surrounding society. The batik production process is based on the resources owned by the batik industry, natural resources, and social and cultural resources. The development of creativity of the employees is based on human resources management implemented by the artisan (the owner) such as kinship, democracy, appreciation, and psychological freedom and safety. Keywords: model of development, design, batik, cabut, tulis _______. *) Penelitian HB, DIPA BLU FKIP UNS Surakarta, kontrak no.34/UN27.02/PL/2012 **) Dosen Prodi.Pendidikan Senirupa FKIP UNS Surakarta
1
PENDAHULUAN Batik, yang sejak 2 Oktober 2009 telah diakui oleh dunia sebagai warisan budaya non-kebendaan Indonesia, adalah sehelai wastra - sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional - beragam hias pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam ’lilin batik’ sebagai bahan perintang warna (Santoso, 2002: 10). Jadi, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok yaitu ”teknik rintang warna” menggunakan lilin dan ”pola atau motif” yang beragam hias khas batik. Batik cabut adalah wastra yang menampilkan motif-motif batik yang prosesnya melalui pencabutan warna dasar, sehingga hasilnya berupa batik kelengan, yaitu motif batik berwarna putih kain dan berlatar hitam atau sebaliknya motif batik berwarna hitam dan berlatar warna putih kain. Pembentukan motif dilakukan dengan teknik cetak, yang berakibat pada beberapa keterbatasan jika dibandingkan dengan teknik tulis. Padahal menurut Oakley (1985), desain produk berhubungan secara signifikan dengan prestasi industri. Pada proses selanjutnya, batik cabut dikombinasi dengan teknik tulis. Berkaitan dengan beberapa keterbatasan proses produksi batik cabut tersebut penelitian ini bertujuan merumuskan model pengembangan desain batik kombinasi antara teknik cabut dan teknik tulis. Batik adalah produk kreatif (Besemer dan Treffiger, 1981; Zaman, 2011). Pengembangan desain tekstil termasuk batik menurut Clipson (dalam Rizali, 2006: 42) meliputi tahap identifikasi masalah, analisa perencanaan produksi, proses kreatif, dan proses produksi. Proses desain pada hakikatnya adalah usaha kreatif untuk memenuhi kebutuhan manusia. Desain produk yang baik harus mampu menggambarkan respon psikologis dan perilaku konsumennya (Bloch, 1995). Dalam pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, desain mempunyai hubungan dengan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, budaya, teknologi, estetika, dan sebagainya, sehingga suatu produk diharapkan dapat memenuhi pasar, pembeli, dan pemakainya (Rizali, 2006). Desain batik yang dimaksud dalam konteks tulisan ini adalah meliputi perencanaan bahan, perencanaan proses, perencanaan produk, perencanaan estetika, dan perencanaan fungsi. Menurut Prasetyowibowo (1998:11-12), ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan di dalam perencanaan desain produk, yaitu: pertimbangan fungsional, estetika, teknis, ergonomi, ekonomis, lingkungan, dan pertimbangan sosial
2
budaya. Oleh sebab banyak aspek pertimbangan yang dibutuhkan, maka dalam pengembangan desain batik dibutuhkan kombinasi banyak ahli yang memiliki pengetahuan yang berbeda (Petrus et al., 2008).
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di perusahaan kecil (Republik Indonesia, 2008) batik nDerbolo yang berlokasi di Desa Pilang, Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah. Subyek penelitian ditetapkan secara purposif, yaitu dengan memilih perusahaan batik yang memproduksi batik dengan cara mengkombinasikan teknik cabut dan teknik tulis, kreatif mengembangkan desain-desain tidak berpola dan desain berpola, pewarnaan kain menerapkan teknik colet dan celup, dan pembatikan menerapkan batik granitan. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk memotret model pengembangan desain yang sedang berjalan. Informan kunci terdiri atas 10 orang, seorang pengusaha, seorang tukang gambar, 2 orang tukang cetak dan pewarna, dan 6 orang pembatik. Data penelitian merupakan situasi sosial pengrajin batik yang terdiri atas aktor, aksi dan tempat. Aktor terdiri atas pengrajin dan anggota keluarganya, tukang gambar, tukang cetak, tukang warna, dan pembatik.
Aksi meliputi proses
pengembangan desain, proses produksi batik, dan kegiatan masyarakat sekitarnya. Tempat penelitian meliputi tempat pengembangan desain, tempat proses produksi batik, dokumen gambar desain dan produk batik, peralatan produksi batik, serta kondisi lingkungan alam dan sosial budaya masyarakat sekitarnya. Ketiga komponen tersebut dikumpulkan menggunakan teknik observasi biasa (Rohidi, 2011) atau observasi berperan pasif (Spradley, 1980), teknik wawancara mendalam (Bogdan & Biklen, 1982), dan analisis isi untuk memperkuat hasil analisis lapangan. Untuk menjaga keabsahan data penelitian digunakan teknik triangulasi sumber, triangulasi teori, triangulasi metode, review informant, dan peer debriefing. Data kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis lapangan yang prosesnya berurutan (Bogdan dan Biklen, 1982), kemudian langkah-langkahnya dilakukan secara interaktif di antara reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi, yang prosesnya bersamaan dengan proses pengumpulan data (Miles dan Huberman, 1992; Rohidi, 2011).
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Usaha Perusahaan nDerbolo berlokasi di tepi Bengawan Solo, didukung oleh ±50 orang karyawan, meliputi
pengusaha dan isterinya, empat orang laki-laki sebagai
tukang cetak dan sekaligus tukang warna, dan ±45 orang pembatik. Semua pembatik adalah kaum perempuan, 10 orang bekerja di dalam perusahaan, dan ±35 orang bekerja dirumahnya masing-masing. Tingkat pendidikan karyawan laki-laki tamat SMA, sedangkan karyawan perempuan hanya lulusan SMP dan SD. Sistem pengupahan karyawan berdasarkan kerja harian dan borongan. Pekerjaan upah borongan dilakukan di perusahaan atau di rumah karyawan. Karyawan yang bekerja di perusahaan berasal dari desa setempat, sedangkan karyawan yang bekerja di luar perusahaan berasal dari desa-desa tetangga. Menurut pengusaha Ngadiyono, produk utama yang diproduksi perusahaan nDerbolo berupa kain batik kombinasi antara teknik cabut dan teknik tulis. Teknologi utama yang diterapkan meliputi afdruk motif pada screen, pencetakan resin ajunat di atas kain, pengeringan resin ajunat, pembatikan tulis lilin di atas kain dengan alat canting, pewarnaan kain dengan pigmen menggunakan teknik colet, pewarnaan kain dengan zat remazol menggunakan teknik celup, dan penguncian warna dengan water glass. Bahan baku yang digunakan meliputi kain katun prima dan primissima, zat warna remazol dan zat penguncinya water glass serta pigmen, resin ajunat, dan lilin. Bahan pendukungnya berupa air, kayu bakar, dan minyak tanah. Peralatan utama yang digunakan perusahaan meliputi sebuah meja cetak panjang 10 meter digunakan untuk mencetak motif, sekali cetak mampu dihasilkan sebanyak 4 potong kain (110 cm x 240 cm). Screen kecil (80 cm x 150 cm) sebanyak 80-an buah, screen besar (250 cm x 150 cm) sebanyak 10 buah, sebuah pengaduk resin ajunat, 2 buah fedeer untuk melakukan proses pewarnaan celup dan proses penguncian warna, sebuah kenceng bahan tembaga untuk melorod lilin, 3 buah bak semen untuk pencucian kain, dan 2 set wajan-komporgawangan-canting untuk membatik. Perusahaan nDerbolo menempati bangunan 2 lantai berdiri di atas lahan seluas sekitar 1000-an m2 (12 m x 85 m). Lahan bagian depan merupakan jalan desa, sedang bagian belakang berbatasan dengan Bengawan Solo. Bangunan lantai bawah seluas 600-an m2, di bagian depan (100 m2) digunakan untuk menyimpan produk jadi, bagian
4
tengah (200 m2) digunakan untuk menyimpan produk setengah jadi dan tempat tinggal keluarga, bagian belakang (300 m2) digunakan untuk melakukan proses produksi dan menyimpan screen. Bangunan lantai atas seluas 400m2 dan bagian belakang (100 m2) yang berupa bangunan tertutup berdinding setengah terbuka dan berlantai kayu digunakan untuk pentirisan kain, sedangkan bagian depan yang hanya berupa lantai cor semen (300 m2) digunakan untuk menjemur kain.
Model Pengembangan Desain Berdasarkan wawancara dengan pengusaha Ngadiyono (54 tahun) dan tukang cetak Arifin, sambil observasi di tempat pencetakan, proses pengembangan desain batik cabut berdasarkan alur produksi dan pelakunya, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Identifikasi masalah batik dilakukan oleh pengusaha berdasarkan kebutuhan pasar, produk-produk yang telah dihasilkan dan pengalamannya. Kemudian dilakukan analisis perencanaan produksi, yang meliputi perencanaan estetika yang dikembangkan, perencanaan bahan yang akan digunakan, perencanaan proses yang akan dilakukan, perencanaan produk, dan perencanaan fungsi produk yang diharapkan. Perencanaan produksi tersebut kemudian direalisasikan dalam proses produksi. Proses produksi diawali dengan membuat sketsa motif di atas kertas 40cm x 60cm yang dilakukan oleh pengusaha. 2. Sketsa disempurnakan oleh tukang gambar menjadi gambar motif di atas kertas dengan skala 1:1. Penyempurnaan gambar motif dapat dilakukan dengan dua cara, secara manual dan menggunakan komputer. Gambar motif skala 1:1 kemudian dipindahkan di atas screen. Pemindahan motif ke atas screen dapat dilakuan dengan dua cara, melalui teknik afdruk dan melalui teknik manual. 3. Oleh tukang cetak, screen dicetak dengan resin ajunat di atas kain yang telah diwarna dasar hitam. Kemudian kain dikeringkan di bawah sinar matahar langsung, warna dikunci dengan water glass, dan dicuci. 4. Kain kelengan bermotif warna hitam-putih, kemudian dibatik isen-isen dan atau dibatik granitan oleh para pembatik yang berbeda. 5. Hasil batikan dikontrol, kemudian kain diwarna colet (merah, hijau, biru, atau kuning) oleh pembatik, baru kemudian diwarna celup (coklat). Lilin yang masih menempel pada kain dilorod, dicuci, dan dikanji. Akhirnya dihasilkan produk batik
5
kombinasi cabut-tulis. Oleh pengusaha dan karyawan terkait, produk akhir dievaluasi mengenai hasil pencabutan warna dasar, hasil pewarnaan, hasil coletan, dan tingkat kepresisian screen. Alur model pengembangan desain batik cabut-tulis dapat disajikan dalam gambar seperti berikut. Pengusaha
Tk.gambar/
Identifikasi masalah, analisis perencanaan produksi Konsep
Desain motif skala 1:1
desain
Tk.cetak
Pembatik
Tk.warna
Pembatik A Afdruk/ dibatik manual
Cetak, pengeringan, penguncian
Pembatik B
Kontrol
Pembatik C CCi Colet
Celup Lorod Batik cabut-tulis
Evaluasi Gambar 1 Alur Model Pengembangan Desain Batik Cabut Identifikasi Masalah dan Perencanaan Produksi
Pengembangan desain batik cabut diawali oleh pengusaha dengan melakukan identifikasi masalah batik. Masalah batik digali melalui identifikasi dan analisis produk-produk batik yang telah dibuat dan laris diterima pasar, analisis faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan produk, analisis motif terhadap produk-produk batik yang menjadi tren pasar, analisis kebutuhan konsumen berdasarkan masukan dari distributor, dan konsumen, dan analisis jenis inovasi yang dapat dikembangkan untuk diterapkan pada produk batik cabut seperti teknik colet dan batik granitan. Berdasarkan identifikasi masalah batik, pengusaha melakukan (1) analisis perencanaan produksi, yang meliputi perencanaan bahan yang digunakan (jenis kain, zat warna, dan lilin); (2) perencanaan proses produksi yang meliputi proses afdruk, gambar secara manual, cetak, batik, colet, dan celup dengan memperhatikan kondisi
6
peralatan yang ada; (3) perencanaan produk (kain motif batik berpola, motif tidak berpola namun dapat sanggit, atau motif tidak berpola); (4) perencanaan estetika (jenis motif, makna motif, jumlah warna, jenis warna, dan komposisi warna); (5) perencanaan fungsi kain (sebagai jarit, pakaian, hem, sarung, dan aksesoris); dan (6) analisis perencanaan produksi dilakukan dengan mempertimbangkan tiga hal, yaitu kebutuhan pasar, sumberdaya perusahaan (SDM, teknologi, alat, fasilitas, dan modal), serta sumberdaya lingkungan alam dan sosial budaya. Apabila produk batik diproyeksikan untuk dipasarkan kepada konsumen kelas ekonomi menengah dan atas, maka unsur utama yang dirancang adalah estetika. Perencanaan estetikanya dirancang dengan menerapkan motif-motif yang sederhana; motif unik yang jarang dikembangkan; motif-motif batik pakem bermakna simbolis seperti sidomukti, wahyu tumurun, dan sebagainya; perpaduan warna sederhana, cenderung corak batik Yogya yaitu motif berwarna coklat klasik dipadu hitam, dan berlatar putih. Unsur garis-garis dirancang lembut dan dipadu dengan garis yang berupa titik-titik granitan (deretan titik-titik). Proses pemindahan motif di atas screen dilakukan dengan cara menggambar motif secara manual agar garis-garisnya lebih luwes tidak kaku sehingga mirip dengan batik tulis. Proses pembatikannya dilakukan dengan pembatikan alusan (garis-garis kecil, rumit), dan kontur motif utama dibatik granitan. Bahan kain yang digunakan dipilih jenis kain yang berkualitas baik seperti kain katun primissima agar nyaman dipakai. Zat warna yang digunakan dirancang difinishing dengan zat warna alam (soga) agar tampilan warna kelihatan lebih mantap, klasik, dan berwibawa. Perencanaan produk dimaksudkan bahwa kain batik yang dirancang dapat menjadi kain batik berpola dan kain batik tidak berpola namun sanggit. Sebaliknya, apabila produk batik diproyeksikan untuk dipasarkan kepada konsumen kelas ekonomi menengah dan bawah, maka produk didesain agar harganya dapat dijangkau konsumen. Salah satu pertimbangan konsumen dalam membeli produk (batik) adalah harga terjangkau (Russanti, 2006; Prasetyawibawo, 1988), selain aspek motif, warna, dan mutu. Untuk memproduksi batik cabut dengan harga terjangkau kelas ekonomi bawah, perencanaan produksi dirancang dengan menekan biaya produksi. Bahan kain yang digunakan jenis katun berkualitas sedang yaitu Prima. Aspek estetika meliputi perpaduan warna dasar hitam dan warna coklat yang dibuat dengan teknik celup, warna putih kain, dan warna-warna primer seperti merah hijau dan biru yang
7
dibuat dengan teknik colet. Motif dibuat tidak berpola, digambar dengan program komputer, kemudian dipindahkan di atas screen dengan teknik afdruk. Proses pembatikan dilakukan secara batikan biasa bukan alusan, tanpa granitan. Batik berpola adalah selembar kain batik berukuran 240cm x 110cm yang didesain sebagai bahan pakaian hem, dan motif-motifnya didesain dapat menyatu. Di atas kain tersebut telah digambar sebanyak 8 bagian motif yang sesuai kegunaannya, yaitu motif bagian punggung, motif bagian dada kiri dan kanan, motif bagian lengan kiri dan kanan, motif bagian marset, motif bagian kerah, dan tiga motif bagian saku. Jika masing-masing motif dijahit sesuai dengan bagiannya, akan dihasilkan motif utuh yang menyatu (sanggit). Jahitan samping kiri dan kanan menyatu, jahitan bagian depan kiri dan kanan (kancing) menyatu, bagian saku juga menyatu dengan bagian dada. Batik tidak berpola adalah kain yang jika difungsikan sebagai pakaian hem, motifmotifnya tidak didesain menurut bagian-bagian hem.
Menggambar Motif Pengembangan motif batik cabut yang dilakukan oleh pengusaha diawali dengan analisis perencanaan produksi berdasarkan pengalaman estetiknya selama bergulat dengan dunia perbatikan (Sumardjo, 2000; Tabrani, 2000). Pengusaha memvisualisasikan perencanaan produksi dengan cara membuat sketsa pada kertas ukuran kecil 40cm x 60cm. Sketsa motif batik yang dikembangkan tidak sama persis, namun dilakukan beberapa perubahan dengan cara menambah atau mengurangi bagian motif
tertentu,
memperbesarkan
atau
mengecilkan
motif
tertentu,
dan
mengkomposisikan ulang. Sketsa motif kemudian diserahkan kepada tukang gambar untuk diperbesar dengan skala1:1. Pembuatan motif ukuran sebenarnya di atas kertas ukuran lebar 110cm x panjang 70cm s.d. 80cm dapat dilakukan dengan tiga cara: secara manual, dengan komputer, dan kombinasi manual dan scan. Proses pembuatan motif batik dengan menggunakan program komputer lebih cepat meskipun hasilnya agak kaku. Pengembangan produk baru berhubungan positif dengan penggunaan digitalisasi (Li et al., 2009). Pembuatan motif batik secara kombinasi manual dan scan dilaksanakan dengan menggambar secara manual dan kemudian hasilnya discan. Hasil scan kemudian direplikasi digabung-gabungkan. Proses pembuatan motif secara manual,
8
lebih lama dibanding jika dibuat dengan program komputer, namun hasilnya kelihatan lebih luwes lentur akan menyerupai motif-motif batik tulis pada umumnya. Kontur garis motif bagian kiri harus sanggit dengan motif bagian kanan, sebab selama proses pencetakan motif, hasil cetakan pertama disambung hasil cetakan kedua dan seterusnya. Berdasarkan observasi, motif-motif tidak berpola yang dibuat pengusaha belum disesuaikan dengan ukuran badan konsumen. Pada batik cabut yang bermotif besar, jarak menyamping antara motif satu dengan motif lainnya lebih dari 30cm. Apabila kain bermotif tersebut dibuat hem ukuran orang Indonesia, yang rata-rata berukuran lingkar badan 120cm, maka sebagian motif hilang terpotong dan bagian samping tidak sanggit. Sebaiknya, pembuatan motif dirancang agar jarak samping antar motif dibuat kurang atau sama dengan 30cm, sedangkan jarak ke bawah-atas motif bebas. Kain batik cabut produksi pengusaha, apabila diretang memanjang, motif awal sebelah kiri tidak selalu dapat bersambung dengan motif akhir sebelah kanan. Motif-motif batik cabut tidak berpola yang motif awal dan motif akhirnya tidak bersambung tidak dapat sanggit apabila dibuat hem. Aspek estetika dan teknis draf gambar negatif berupa motif batik dalam ukuran sebenarnya di atas kertas dibahas oleh tukang gambar dan pengusaha bersama-sama, kemudian diperbaiki dan hasilnya dipindahkan pada screen. Proses pemindahan motif pada screen dapat dilakukan dengan dua cara: teknik afdruk dan manual. Proses teknik afdruk lebih cepat dan hasilnya persis seperti motif yang diafdruk. Dengan teknik manual, motif digambar pada screen dengan menggunakan alat canting seperti proses membatik. Dengan cara manual akan dihasilkan produk batik cabut yang goresan garisgarisnya kelihatan luwes lentur hampir menyerupai produk batik tulis.
Proses Cetak Kain yang dicetak adalah kain berwarna dasar hitam, yang diwarnai dengan zat remazol, yang belum dikunci. Pada proses pewarnaan kain digunakan alat fedeer. Kemudian kain ditiriskan di ruang tertutup dan dicetak. Bahan yang digunakan untuk mencetak adalah adonan resin ajunat dan peralatan yang digunakan adalah meja panjang, screen dan rakel. Berikut adalah proses cetak menurut tukang cetak Arifin: ”Apabila pencetakaan dilakukan pada musim kemarau, cuaca panas seperti sekarang ini, adonan dibuat agak encer, dan menggunakan screen ukuran T16. Sebaliknya, apabila pencetakaan dilakukan pada musim hujan, cuaca kurang
9
panas, adonan dibuat agak kental, dan digunakan screen T18 yang pori-porinya lebih rapat. Apabila cuaca mendung, biasanya tidak dilakukan proses cetak, sebab resin kurang mampu menembus screen, dan hasilnya kurang bagus”. Proses pencetakaan dilakukan oleh dua orang. Kendala yang dihadapi oleh perusahaan pada saat proses mencetak adalah cuaca yang tidak menentu. Pada musim kemarau di saat cuaca panas, obat resin ajunat yang digunakan mencetak cepat kering, sulit dibesut rakel, sulit menembus ke dalam pori-pori serat kain, sehingga obat tidak mampu mencabut warna dasar hitam kain. Untuk mengatasinya, adonan obat ajunat dibuat agak encer, proses pembesutan dilakukan minimal 3 kali agar obat dapat menembus kain, sehingga obat dapat mencabut warna hitam. Kain hasil cetakan dikeringkan dengan cara digelar di lantai di bawah sinar matahari langsung. Apabila cuaca cerah proses pengeringan berlangsung selama 10 menit, dan jika cuaca kurang cerah selama 15-20 menit. Kemudian kain dianginanginkan di tempat yang teduh. Warna dasar hitam kain yang terkena larutan ajunat akan tercabut menjadi warna putih. Warna hitam yang tidak tercabut kemudian dikunci dengan larutan water glass menggunakan alat fedeer. Kemudian kain dicuci dengan larutan soda abu dan air biasa untuk menghasilkan batik kelengan. Batik kelengan adalah kain bermotif berwarna hitam dengan latar putih atau sebaliknya. Dalam proses penguncian, campuran water glass yang terlalu banyak akan melarutkan warna namun juga dapat memperkuat warna. Sebaliknya, jika water glass terlalu sedikit, warna hitam akan mudah luntur.
Pembatikan Tahap pembatikan pada proses produksi batik cabut merupakan tahap utama untuk mengembangkan kreativitas. Meskipun kain batik kelengan berupa kain bermotif warna putih kain dan berlatar warna hitam yang dibatik sama persis, namun apabila kain kelengan tersebut dibatik oleh para pembatik yang tingkat kreativitasnya berbeda, akan dihasilkan kualitas produk batik yang berbeda pula. Kain bidang putih yang dirancang tetap berwarna putih kemudian dibatik, sedangkan kain bidang putih yang dirancang berwarna selain coklat (merah, hijau, biru, kuning) kemudian diwarna dengan teknik colet oleh para pembatik. Pada tahap pembatikan (klowongan, isen-isen,
10
dan granitan) dan pewarnaan colet, daya kreativitas para pembatik sesuai dengan kemampuannya ditumbuhkembangkan pengusaha melalui beberapa cara. 1. Pembatik ditunjukkan contoh-contoh motif isen-isen, seperti cecek, sawut, galar, sisik, dan sebagainya (Susanto, 2000) oleh penguasa dengan sabar, yang dapat ditiru untuk diterapkan. 2. Pembatik
diberi
pekerjaan
membatik
secara
jelas
yang
sesuai
dengan
kemampuannya. Apabila banyak garapan, para pembatik dibolehkan memilih motif-motif garapan yang diminati yang biasa dikerjakan. Di sini pengusaha menghagai proses kreatif dan mendefinikasn tugas secara jelas (Moelyono, 2010). Menurut pengusaha Ngadiyono, tingkat kemampuan pembatik dapat dibagi tiga, yaitu kualitas batik kasaran, sedang dan alusan. 3. Pembatik diberi kebebasan untuk mengembangkan motif isen-isen sendiri sesuai dengan minat dan kemampuannya. 4. Proses evaluasi pengusaha terhadap hasil batikan disesuaikan dengan karakter pembatiknya. Pengusaha menerima hasil sebagimana adanya, tidak menuntut di luar kemampuan pembatik. Berdasarkan manajemen SDM, sikap pengusaha dalam pengembangan desain batik di perusahaan nDerbolo tersebut sesuai pendapat Rogers (dalam Munandar, 2009), bahwa kreativitas individu dapat ditumbuhkan melalui kebebasan psikologis dan keamanan psikologis. Dengan proses belajar tersebut, para pembatik tidak digurui, melainkan ditumbuhkan semangat belajar bersama dengan pembatik lainnya, agar lebih kreatif dan mandiri (Mead dalam Mardikanto, 2010). Manajemen yang diterapkan pengusaha adalah pendekatan sumberdaya manusia (Baedowi, 2007), yaitu pengelolaan yang lebih mengarah pada individu sebagai manusia yang berbeda yang memiliki kebutuhan yang berbeda pula. Perhatian terhadap karyawan inilah yang dipercaya menjadi kunci keberhasilan pengelolaan SDM. Model-model komunikasi pengusaha dapat membuat kepuasan bagi karyawan (Maxwell, 2005).
Pewarnaan dan Finishing Proses pewarnaan colet dilakukan oleh para pembatik, sedangkan proses pewarnaan celup, proses penguncian warna, dan finishing dilakukan oleh tukang warna laki-laki. Kain hasil batikan dan yang telah dicolet, selajutnya diwarna coklat tua
11
dengan zat remazol menggunakan teknik celup dengan alat feeder, selanjutnya warna dikunci dengan waterglass menggunakan feeder yang lain. Apabila dikehendaki latar motif berwarna putih, maka proses pewarnaan cukup sekali. Apabila warna dasar dikehendaki berwarna coklat muda, maka setelah lilin dilorod dilakukan pewarnaan sekali lagi dengan warna coklat muda. Proses akhir, lilin yang menempel pada kain dilorod dengan cara mencelupkan kain dalam air panas, kemudia dicuci. Kain yang telah bersih kemudian dikeringkan dengan menjemur kain di bawah sinar matahari.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Desain Kondisi lingkungan alam sekitar wilayah pengusaha batik berupa tanah persawahan. Kondisi masyarakat sekitar merupakan masyarakat agraris tradisional, ditandai oleh pemilikan terikat pada status turun temurun, belum ada mekanisme kerja, dan motivasi utama untuk memuaskan kebutuhan sehari-hari, menerima keuntungan tradisional, dan kesempatan untuk mendapat penghasilan yang makin besar masih kurang menarik (Weber dalam Sztompka, 2004). Ketika musim sawah tiba, pada saat para petani mulai mengolah tanah dan menanam padi, maupun pada musim panen, sebagian besar anggota masyarakat perempuan cenderung memilih bekerja di sawah daripada bekerja sebagai pembatik, apalagi jika sawah tersebut milik pembatik sendiri. Upah bekerja di sawah sebesar Rp35.000,-,lebih tinggi daripada upah sebagai (buruh) pembatik yang hanya Rp 20.000,- per hari. Kondisi lingkungan sosial budaya masyarakat juga mempengaruhi proses produksi batik. Pada musim gawe seperti apabila terdapat upacara pernikahan, mitoni (usia 7 bulan kehamilan), sepasaran (usia bayi 5 hari), dan selapanan (usia bayi 35 hari), pada umumnya masyarakat melakukan kegiatan tolong-menolong (Marzali, 1997). Anggota masyarakat membantu tenaga (rewang) warga yang sedang menyelenggarakan hajatan, pernikahan selama 3 sampai dengan 5 hari sebelum dan sesudah hari hajatan. Pada musim gawe tersebut para pembatik cenderung mengikuti kegiatan masyarakat rewang dan meninggalkan pekerjaan sebagai pembatik, sehingga terjadi paceklik pembatik. Hal itu sesuai pendapat Mulder (1973), bahwa: “Salah satu sikap yang menonjol orang Jawa adalah ketergantungannya pada masyarakat, seseorang dianggap baik apabila masyarakatnya menyatakan demikian”. Pada musim sawah dan musim gawe, proses poduksi batik terganggu, dan produksi menurun.
12
Faktor-faktor yang terkait dengan pengembangan desain batik cabut dapat disajikan pada gambar berikut ini. Sumberdaya: Lingkungan alam Lingkungan masyarakat Pesaing Pasar Identifikasi masalah Analisis perencanaan produksi
Produk Pengalaman
Estetika Ekonomis Teknis Ergonomis Sosial-budaya Fungsional Lingkungan
Proses produksi: Pembuatan motif master Pembuatan motif screen Pembatikan Pewarnaan dan finishing
Sumberdaya Perusahaan SDM Teknologi Alat Fasilitas Modal
Gambar 2 Faktor-faktor yang terkait Pengembangan Desain Batik Cabut SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa model pengembangan desain batik cabut berdasarkan alurnya dilaksanakan melalui tahap identifikasi masalah, analisis perencanaan produksi, dan proses produksi batik. Analisis perencanaan produksi meliputi perencanaan estetika, bahan, proses, produk, dan fungsi. Alur proses produksi batik cabut diawali pembuatan motif, pembuatan screen motif, pewarnaan dasar, pencetakan motif, pembatikan, pewarnaan colet dan celup, dan finishing. Analisis perencanaan produksi dilakukan oleh pengusaha dilatarbelakangi oleh kebutuhan pasar, produk yang telah dibuat dan pengalamannya dengan memperhatikan unsur-unsur desain, sumberdaya perusahaan, sumberdaya lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya. Model pengembangan desain batik cabut terletak pada proses pembuatan gambar motif dan pembatikan. Untuk menumbuhkan kreativitas tukang gambar dan para pembatik diciptakan kebebasan psikologis, keamanan psikologis, hubungan yang harmonis secara kekeluargaan, demokratis, saling menghargai dan tidak mengurui. Kepada pengusaha nDerbolo, disarankan bahwa dalam mengembangkan desain batik yang tidak berpola, jarak menyamping antara dua motif dibuat maksimal 30cm.
13
Hal tersebut agar kain dapat difungsikan secara sanggit sebagai pakaian ukuran orang Indonesia. Kepada konsumen batik cabut, apabila membeli kain batik cabut untuk difungsikan sebagai pakaian hem, disarankan agar: (1) memilih motif batik yang telah berpola; dan (2) jika memilih motif yang tidak berpola, agar merentangkan kain dahulu, kemudian memilih motif-motif yang berupa motif awal di ujung kiri kain yang dapat digabungkan dengan motif akhir yang ada di ujung kanan kain.
REFERENSI Baedowi. 2007. Manajemen Sumberdaya Manusia. Semarang: Pelita Insani. Besemer, S.P. dan D.J. Treffiger. 1981. Analysis of creative products review and synthesis. Journal of Creative Behavior. Bloch, Peter H. 1995. Seeking the ideal form: Product design and consumer respone. dalam Journal of Marketing. Chicago: Juli Vol.59, Edisi 3. Bogdan, Robert C. dan Biklen, Sari Knopp. 1982. Qualitative research for education: An introduction to theory and methods. USA: Allyn and Bacon Li, Jun, Michael Merenda dan A.R.Venkatachalam. 2009. Business process digitalization and new product development: an empirical study of small and medium-sized manufacturers. International Journal of E-Business Research, Vol.5, Edisi 1. (January-March 2009): p49. Marzali, Amri. 1997. Nilai Dasar Perstuan Bangsa Indonesia. Jurnal Analisis Centre for Strategic and International Studies (CSIS): Pemberdayaan Masyarakat Lapis Bawah. Tahun XXVI, No.1 (Januari-Februari 1997): p5-21. Maxwell. 2005. Manageent of employee empowerment. Juornal of Organizational Culture, Communications and Conflict, Vol.9, Edisi 1 (Jan 2005): p61. Miles, M.B. dan Huberman A.M. 1984. Qualitative data analysis: A sourcebook of a new methods. Berverly Hills Sage Publication. Moelyono, Mauled. 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif: Antara Tuntutan dan Kebutuhan. Jakarta: Rajawali. Mulder. 1973. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: UGM Press. Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
14
Oakley, M. 1985. The influence of design on industrial and economic achievement. Journal of Management Decision London, Vol.23, Edisi 4: p3-14. Petrus, Sunley, Pinch Stevan, Reamer Suzanne dan James Macmillen. 2008. Innovation in a creative production system: The case of design. Dalam Journal of Economic Geography, Oxford Vol.8, Edisi 5 (September 2008) (Abstr) Prasetyowibowo, Bagas. 1998. Desain Produk Industri. Bandung: Yayasan Delapan Sepuluh Republik Indonesia. 2008. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 93. Rizali, Nanang. 2006. Tinjuan Desain Tekstil. Surakarta: LPP UNS Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi Penelitian Seni. Semarang: Cipta Prima Nusantara. Russanti, Irma. 2006. Kajian karakteristik desain batik cap berorientasi selera konsumen sebagai upaya pemberdayaan UKM produsen batik cap di wilayah Jetis Sidoarjo. Laporan Penelitian. Jakarta: UI Santoso, Doellah. 2002. Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Surakarta: PT Batik Danarhadi. Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB. Susanto, Sewan S.K. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Departemen Industri. Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Terjemahan Alimandan. Jakarta: Prenada Media. Tabrani, Primardi. 2000. Proses Kreasi, Apresiasi, Belajar. Bandung: ITB. Zaman, Biranul Anas. 2011. Batik-kreatifitas-ekonomi: Menanggapi peran batik dalam ekonomi kreatif. Makalah dalam World Batik Summit 2011, Indonesia: Global Home of Batik, JCC, 28 September 2011.
15
BIODATA Drs. Mulyanto, M.Pd., lahir di Blora 12 Juli 1963. Jabatan Lektor Kepala (IV-C) di Prodi. Pendidikan Seni rupa FKIP UNS Surakarta, sekretaris Prodi.Pendidikan Senirupa PBS FKIP UNS Surakarta (1996-1999), dan sekretaris Jurusan Bahasa dan Seni FKIP UNS Surakarta (2007-2011). Alamat rumah Jl.Nuri 200 Perumahan Dosen Triyagan Sukoharjo, e-mail:
[email protected], telepon/fax (0271) 6820540, dan hp 081226266868. Lulus S1 (Drs.) Pendidikan Senirupa IKIP Semarang 1987, dan lulus S2 (M.Pd.) Program Penelitian Evaluasi Pendidikan IKIP Jakarta 1994. Pengalaman penelitian, judul dan tahun meliputi Model pengembangan desain produk dalam upaya pemberdayaan industri kecil menengah kreatif batik (2012), Kajian proses produksi batik cabut (2009), Pengembangan media pembelajaran matakuliah gambar perspektif (2008), Umpan balik lulusan terhadap Program Studi Pendidikan Senirupa (2007), dan Inovasi media pembelajaran matakuliah gambar proyeksi melalui program 3Ds-MAC (2007). Pengalaman kegiatan pengabdian pada masyarakat, judul dan tahun meliputi: Pelatihan pewarnaan batik dengan zat warna alam di Sragen (2012), Pemberdayaan UKM kerajinan tenun melalui pengembangan desain di Klaten (2011); IbM Usaha kecil menengah batik di Sragen (2011); Revitalisasi usaha kerajinan tenun melalui pengembangan desain di Klaten (2010); Pengembangan usaha batik melalui pengembangan desain, rekayasa alat, pembenahan manajemen, dan perluasan jaringan pemasaran di Sragen (2010); IbM Kelompok perempuan produktif penganggran di Sukoharjo (2010); Pengembangan usaha kerajinan tembaga melalui pengembangan desain dan proses produksi (2008); Peningkatan mutu keramik melalui pengembangan desain di Klaten (2007); Peningkatan mutu produk kerajinan payet melalui pengembangan desain di Klaten (2007); dan Peningkatan pendapatan UMKM kerajinan perak melalui perluasan jaringan pemasaran dan pengembangan desain di Gunungkidul (2007).
16