1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keperawatan sebagai profesi merupakan perubahan proses jangka panjang yang ditujukan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dalam proses perubahan ini perawat harus mempunyai keterampilan, yang pertama keterampilan asuhan keperawatan dan yang kedua ilmu teoritis dan pengalaman praktik (Nursalam, 2011). Menurut Azwar, (1997) salah satu permasalahan pokok yang dihadapi perawat dalam sistem pelayanan kesehatan adalah rendahnya rasa percaya diri, hal tersebut timbul karena penguasaan ilmu yang kurang memadai, sehingga perawat tidak melihat dirinya sebagai sumber informasi bagi pasien, akibatnya kualitas pelayananpun tidak memuaskan. Melalui pelatihan yang merupakan pendidikan non formal dalam suatu organisasi, maka pengetahuan dan keterampilan perawat dapat ditingkatkan. Azwir, dkk. (2010) menyebutkan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu faktor dalam mekanisme pengembangan tenaga keperawatan di RSUD Tarakan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pendidikan dan pelatihan ini tidak bisa selalu dilaksanakan sesuai program yang telah ditentukan karena terbentur permasalahan keuangan. Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak dan paling lama kontak dengan pasien. Asmuji (2012), menyebutkan bahwa 40% tenaga yang ada di rumah sakit adalah tenaga keperawatan, dan sebanyak 90% pelayanan yang ada di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan. Peran dan tugas perawat dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit cukup dominan. Selama 24 jam perawat selalu berinteraksi dengan pasien, sehingga baik tidaknya pelayanan kesehatan yang diberikan dalam suatu rumah sakit dapat dilihat melalui kinerja perawatnya (Suryanto dkk., 2011). Salah satu tempat praktik pelayanan keperawatan adalah rumah sakit. Menurut Alamsyah (2011), rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan
2
sistem kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan; sehingga pembangunan rumah sakit tidak lepas dari pembangunan kesehatan. Pertumbuhan rumah sakit di Indonesia cukup masif, terutama setelah pemerintah membuka insvestasi asing dalam industri jasa rumah sakit. Sebagai implikasinya, terjadi persaingan cukup ketat pada industri jasa pelayanan kesehatan (rumah sakit). Persaingan yang ketat ini mendorong terjadinya perubahan permintaan kebutuhan pelayanan kesehatan dari masyarakat. Pasien yang datang berobat ke rumah sakit kini tidak sekedar menginginkan kesembuhan, tetapi juga kenyamanan. Kondisi ini kemudian mendorong pihak rumah sakit berlomba-lomba melakukan perbaikan pelayanan kesehatan. Bagi rumah sakit bermodal besar, hal itu dapat diantisipasi dengan cepat dan baik. Namun, bagi rumah sakit milik pemerintah, kondisi tersebut betul-betul sangat menyulitkan, karena terbatasnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah (Trisnantoro, 2009) Kondisi seperti itu kemudian dapat menyebabkan sebagian rumah sakit milik pemerintah kurang berhasil dalam memberikan pelayanan kesehatan. Kurang berhasil tersebut antara lain disebabkan oleh kinerja perawat yang kurang maksimal, dengan indikasi banyaknya keluhan pasien dan keluarganya yang dialamatkan pada pelayanan perawat yang jauh dari prima. Sitorus dan Yulia (2006) juga mengungkapkan bahwa walaupun sudah banyak hal positif yang telah dicapai di bidang pendidikan keperawatan, tetapi gambaran pengelolaan layanan keperawatan belum memuaskan. Layanan keperawatan masih sering mendapat keluhan masyarakat, terutama tentang sikap dan kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien/keluarga. Hal itu juga tercermin pada hasil penelitian deskriptif tentang mutu asuhan keperawatan yang dinilai berdasarkan tingkat kepuasan klien/keluarga terhadap keperawatan serta kepatuhan perawat terhadap standar penerapan proses keperawatan pada 14 ruang rawat medikal-bedah di dua rumah sakit pemerintah dengan jumlah responden sebanyak 572 orang. Hasil yang didapat menunjukkan tingkat kepuasan klien/keluarga dengan kategori baik (16,9%), kategori sedang (81,5%), dan kategori kurang (1,55%). Hasil penelitian Beake et al. (2010) menyatakan adanya
3
ketidakpuasan pada pasien rawat inap yang dirawat di dua bangsal post natal terhadap cara pelayanan dan penyampaian informasi tentang cara menyusui. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan tingkat kompetensi perawat secara independen berkaitan dengan tingkat kematian dan sepsis pada pasien trauma yang dirawat di tingkat I dan II pusat trauma (Glance et al., 2012). Studi eksplorasi Moret et al., (2012) menyatakan bahwa dalam jangka pendek ketidakhadiran perawat di rumah sakit secara signifikan berkorelasi negatif dengan ketidakpuasan pasien. Dalam penelitiannya mengenai analisis kepuasan pasien dalam implementasi model MPKP di ruang penyakit dalam RSUD Gunung Jati Cirebon, Tukimin (2005) menyatakan bahwa kelompok pasien yang mendapat implementasi MPKP memiliki tingkat kepuasan yang lebih baik daripada kelompok kontrol yang tidak mendapat implementasi MPKP. RSUD Tarakan dengan visi Safety, Trusted and Satisfaction merupakan RS Kelas B Non Pendidikan, dan telah memperoleh sertifikasi ISO 9001: 2008 dan dalam proses akreditasi 16 pelayanan. Rumah sakit ini memiliki 2 buah gedung, yaitu gedung DP I dan II. Kapasitas tempat tidur 352 TT (Kelas III: 70%) dan UPT DINKES dengan pengelolan keuangan BLU penuh. RSUD Tarakan memiliki 916 pegawai medis dan non medis, dengan jumlah tenaga perawat 469 orang (51,2% dari seluruh jumlah pegawai). Metode praktik keperawatan yang digunakan di RSUD Tarakan adalah metode tim. RSUD Tarakan mempunyai 4 strategi kebijakan 2011-2014, yaitu: 1. Memantapkan Komitmen Direktur RSUD Tarakan untuk mencapai visi-misi 2014. 2. Meningkatkan
peran
pimpinan
dalam
membuat
kebijakan-kebijakan
pelayanan kesehatan yang prima. 3. Meningkatkan budaya kerja tenaga RS, dimana salah satu indikator pencapaian misi adalah jumlah pelatihan untuk meningkatkan kompetensi SDM (target 2014 100%, dengan 6 jam/org/th). 4. Meningkatkan jumlah dan kualitas tenaga medis. Dari kotak saran pada Rumah Sakit Tarakan diperoleh informasi bahwa keluhan terbanyak (28,5%) dari pasien dan keluarganya adalah perawat,
4
khususnya yang terkait dengan perilaku, keterampilan dan komunikasi. Fauziyah (2012), juga mengungkapkan kasus malpraktek sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh dokter, tapi juga perawat. Namun, hal tersebut sering tidak disadari oleh pasien. Untuk mencegah malpraktek yang dilakukan oleh perawat diperlukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang didapat melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan dalam dokumentasi asuhan keperawatan (Nursalam, 2011). Wahid (2012) menilai
pentingnya
upaya
preventif dengan
melakukan
pendokumentasian asuhan keperawatan dengan baik. Bidang keperawatan merupakan bagian yang berperan atas kebijakan dalam hal pendokumentasian asuhan keperawatan pada instalasi rawat inap di RSUD Tarakan Jakarta, dalam hal ini RSUD Tarakan telah menggunakan instrumen model A dari Depkes yang dijadikan alat bantu untuk mengevaluasi asuhan keperawatan. Akan tetapi instrumen ini tidak dipakai sebagai penilaian kinerja perawat, penilaian kinerja perawat di RSUD Tarakan hanya menggunakan DP3 (Daftar Penilaian Prestasi Pegawai). Dari wawancara peneliti dengan Kepala Bidang Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) mengatakan bahwa status yang masuk ke rekam medik untuk pendokumentasian asuhan keperawatan masih kurang dan belum lengkap, tetapi prosentase lembar yang telah terisi belum diketahui, karena selama ini belum dilakukan perhitungan. Analisa rekapitulasi kelengkapan rekam medis hanya dilakukan pada dokter, karena adanya audit dari BPKP, sedangkan untuk perawat tidak dilakukan. Serangkaian kegiatan pelatihan dan pendidikan telah dilakukan untuk meningkatkan SDM yang berkualitas dan tuntutan konsumen akan pelayanan kesehatan yang berkualitas, yaitu dengan adanya indikator jumlah pelatihan untuk meningkatkan kompetensi SDM. Target RSUD Tarakan adalah 6 jam/org/th, tetapi dari hasil wawancara dengan Asmen SDM bahwa target tersebut belum terpenuhi, tahun 2011 hanya target yang dicapai baru 60%, hal ini dikarenakan terbentur masalah keuangan. Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat memerlukan kolaborasi atau kerjasama antara anggota tim. Faktor komunikasi dan pendidikan merupakan elemen penting dalam hubungan kolaborasi dan manajemen keperawatan. Setiap
5
anggota tim harus sadar pentingnya sistem pemberian asuhan keperawatan yang berpusat pada kebutuhan kesehatan pasien, bukan pada kelompok pemberi asuhan keperawatan (Sitorus, 2006) Penelitian Swansburg (dalam Nursalam, 2011) memperlihatkan bahwa lebih dari 80% waktu digunakan oleh manajer untuk berkomunikasi, 16% untuk membaca, dan 9% untuk menulis. Kemampuan dan peningkatan keterampilan organisasi dalam komunikasi merupakan salah satu cara untuk sukses dalam proses keperawatan. Di rumah sakit banyaknya komplain pasien terhadap pelayanan keperawatan, dimana pelayanan kurang memuaskan dan membuat pasien marah, sehingga tidak datang lagi berkunjung ke rumah sakit yang sama. Di satu sisi sering juga terdapat selisih paham atau perbedaan pendapat antara sesama perawat. Kesalahan tersebut dapat menimbulkan konflik komunikasi antara tenaga keperawatan (Syadiyah, 2013). Dalam penelitian mengenai ketrampilan interpersonal perawat di IRNA Dewasa Kelas 3 RS Baptis kediri, Hanafi dan Richard (2012) menemukan bahwa ada pengaruh komunikasi interpersonal terhadap tingkat kepuasan pasien. Bila ketrampilan komunikasi perawat tinggi pasien akan semakin puas.Hasil penelitian
Tjahyani (2006),
menemukan bahwa pelatihan komunikasi berpengaruh meningkatkan sikap dan perilaku tenaga kesehatan. Dari kotak saran di RSUD Tarakan
komunikasi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketidakpuasan pasien. Uraian di atas memperlihatkan urgensi kinerja perawat ditinjau dari perspektif pelatihan dan komunikasi organisasi, sehingga penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara pelatihan Standar Asuhan Keperawatan (SAK) dan komunikasi organisasi dengan kinerja perawat RSUD Tarakan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Adakah hubungan antara pelatihan SAK dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan? 2. Adakah hubungan antara komunikasi organisasi dengan kinerja perawat di
6
Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan? 3. Adakah hubungan antara pelatihan SAK dan komunikasi organisasi dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian bertujuan untuk: 1. Untuk mengetahui hubungan antara pelatihan SAK dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan. 2. Untuk mengetahui hubungan antara komunikasi organisasi dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan. 3. Untuk mengetahui hubungan antara pelatihan SAK dan komunikasi organisasi dengan kinerja perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoritis dapat memperkaya kajian-kajian dalam bidang manajemen rumah sakit, khususnya terkait dengan studi tentang pengaruh pelatihan dan komunikasi organisasi terhadap kinerja. Selain itu, juga berguna sebagai informasi dan tambahan referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti masalah yang sama. 2. Secara praktis dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit Tarakan untuk mengevaluasi masalah pelatihan dan komunikasi organisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja perawat Rumah Sakit. Di samping itu, juga diharapkan dapat menggugah kesadaran perawat RSUD Tarakan untuk senantiasa aktif memberikan masukan-masukan yang mengarah pada terselenggaranya pelatihan dan komunikasi organisasi sehingga kinerja perawat menjadi lebih baik.
7
3. Bagi peneliti dapat digunakan untuk kepentingan peneliti, baik dalam pengembangan kemampuannya dalam penelitian ataupun untuk pengalaman meneliti.
E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Pelatihan dan Komunikasi Organisasi Terhadap Kinerja Perawat Di Rumah Sakit, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Penelitian yang mirip pernah dilakukan oleh: 1. Tjahyani,
2006,
yaitu
tentang
Pengaruh
pelatihan
komunikasi
interpersonal terhadap kemampuan komunikasi bagi tenaga kesehatan di RSUD Dr. Soedono Madiun. Penelitian ini mengeksperimen semu dengan rancangan ekuivalen kontrol grup pre dan post test. Hasilnya pada kelompok intervensi pelatihan komunikasi berpengaruh meningkatkan sikap dan perilaku. Perbedaannya pada penelitian ini adalah terletak pada indikator, yaitu hubungan pelatihan SAK dan komunikasi organisasi terhadap kinerja perawat di RSUS Tarakan. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner, jadi tidak ada intervensi. 2. Aziz, 2005, yaitu tentang Pengaruh pelatihan pendokumentasian asuhan keperawatan terhadap motivasi dan kinerja perawat di RSUD Undata Palu. Penelitian ini menggunakan metoda kuasi eksperimental tanpa kontrol, dengan cara pelatihan pendokumentasian SAK. Hasilnya ada pengaruh yang bermakna, terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan motivasi perawat. Perbedaannya pada penelitian ini yang diteliti adalah hubungan pelatihan SAK dan komunikasi organisasi dengan kinerja perawat di RSUD Tarakan. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner tanpa adanya intervensi dalam pendokumentasian asuhan keperawatan. 3. Wandrati, 2000, yaitu tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja perawat di RS Telogorejo. Metode penelitian analitik kuantitatif non eksperimental, dengan alat penelitian berupa angket. Hasilnya adanya
8
perbedaan yang bermakna antara perilaku pimpinan, masa kerja, kepuasan kerja dan umur kerja dengan kinerja perawat. Perbedaannya pada penelitian variabel ini yang diteliti adalah hubungan pelatihan SAK dan komunikasi organisasi dengan kinerja perawat di RSUD Tarakan. Sedangkan penelitian terdahuhu variabel independennya adalah perilaku pemimpin, kepuasan kerja, dan karakteristik individual. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner tanpa adanya intervensi dalam pendokumentasian asuhan keperawatan.