1
13
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik, (Hanafiah dan Amir, 2008). Tingginya penghargaan atas hak setiap orang merupakan pencerminan dari hak asasi manusia. Ada 5 hak asasi manusia yang universal yaitu: 1) hak untuk menentukan diri sendiri (the right to self determination); 2) hak untuk memperoleh pemeliharaan kesehatan (the right to health care); 3) hak untuk memperoleh informasi secara terbuka (the right to information); 4) hak asasi manusia untuk perlindungan rahasia pribadi (the right to protection of privacy); 5) hak untuk mendapat pendapat dari dokter kedua (the right to second opinion) (Poernomo, 1999). Hak yang dimiliki manusia di bidang kesehatan umumnya adalah hak atas pelayanan kesehatan (right to health care). Pasien berhak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan atas tindakan medik dan pasien berhak menerima dan menolak pengobatan, (Hanafiah & Amir, 2008). Diantara hakhak yang dimiliki oleh pasien tersebut, hak untuk memperoleh informasi dan hak untuk memberikan persetujuan terhadap perawatan disebut sebagai "informed consent" merupakan hak terpenting diantara seluruh hak-hak tersebut karena dengan adanya informed consent terjadi kesepakatan antara dokter dan pasien yang menimbulkan perjanjian medis seperti halnya suatu perikatan. Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter setelah dokter memberikan penjelasan (Hanafiah & Amir, 2008). Di Indonesia informed consent dikenal dengan persetujuan tindakan medik (PTM) atau persetujuan tindakan kedokteran (PTK). Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Pihak-pihak yang terkait dalam hal ini adalah pemberi pelayanan (medical providers) dan yang
14
menerima pelayanan (medical receiver) mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati (Hanafiah & Amir, 2008). Berkembangnya teknik informasi dan pola pikir masyarakat akan berpengaruh pada kesadaran masyarakat akan arti pentingnya hukum. Hukum diciptakan untuk menjaga ketertiban agar timbul keadilan, saling menjaga, sadar akan hak dan kewajiban masing-masing. UU Kes. No. 36/2009 merupakan salah satu produk hukum yang melindungi dan menjaga hak dan kewajiban baik bagi penyelenggara kesehatan maupun bagi penerima pelayanan kesehatan. Pasal 56 mengupas tentang hak menerima dan menolak sebagian dan seluruh tindakan pertolongan yang diberikan kepada pasien setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan. Pemberlakuan UU Kesehatan No.36/2009 menuntut penyelenggara layanan kesehatan lebih menyadari akan pentingnya informed consent dalam melakukan pelayanan kesehatan. Pasien juga berhak untuk mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternative tindakan, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan (Notoatmojo, 2010). Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi diatur dalam UUPK No.29/2004 pasal 45. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diperoleh setelah pasien mendapat informasi yang jelas. Ketentuan tentang persetujuan tindakan kedokteran dan kedokteran gigi diperjelas dalam Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008. Lingkungan sosial masyarakat
telah berubah dan implikasi perubahan
tersebut menyebabkan masyarakat semakin kritis dalam menuntut hak pelayanan kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit harus memiliki aturan dan standar pelayanan yang sesuai dengan kode etik kedokteran dan norma hukum. Rumah sakit mengantisipasi perkembangan tuntutan hak pelayanan kesehatan dan profesionalisme kesehatan dari masyarakat dengan menerapkan konsep hak dan kewajiban pasien di rumah sakit.
15
Akhir-akhir ini sering terjadi tuntutan dan gugatan hukum terhadap dokter dan rumah sakit di
Indonesia. Tuntutan dan gugatan hukum itu bisa berawal dari
ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan dokter dan petugas-petugas kesehatan di rumah sakit. Masalah-masalah ketidakpuasan pasien dapat berasal dari pribadi dokter yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik, tidak berempati pada penderita dan keluarganya. Komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan suatu hal yang sangat penting. Salah satu akar dari berbagai permasalahan dalam praktek kedokteran adalah kegagalan komunikasi antara klinisi dan pasien. Untuk menghindari permasalahan perlu ditingkatkan kualitas komunikasi antara pasien dan dokter. Dalam komunikasi antara dokter dengan pasien diharapkan dokter dapat memperoleh informasi yang lengkap tentang riwayat penyakit pasien. Sebaliknya pasien juga dapat memperoleh informasi yang cukup jelas dengan perawatan yang akan dilakukan dokter sehingga pasien dapat memberikan persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan. Pelaksanaan informed consent dilapangan sering mendapat kendala baik dari dokter maupun pasien. Kadang informasi yang disampaikan dokter tidak dapat dimengerti oleh pasien karena dokter menggunakan bahasa medis. Kesenjangan pengetahuan antara pasien dan dokter membuat tidak efektifnya komunikasi. Tidak semua dokter dapat menyampaikan informasi dengan bahasa sederhana yang dapat dipahami pasien. Adanya anggapan dari pihak pemberi pelayan kesehatan bahwa penandatanganan format informed consent lebih utama dari pada memberikan informasi yang dipandang tidak efisien. Oleh karena itu seorang dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan harus mempunyai kesadaran, pengetahuan, sikap dan kemampuan berkomunikasi dalam pelaksanaan informed consent. Informed consent dalam perawatan gigi penting dan merupakan bagian vital dalam praktek kedokteran gigi. Perkembangan teknologi meningkatkan harapanharapan pasien terhadap perawatan gigi. Namun kenyataanya pasien sering tidak puas dengan perawatan yang diberikan, sehingga memunculkan keluhan. Keluhan dalam kedokteran gigi dapat dikategorikan sebagai situasi dimana sesuatu berjalan dengan
16
tidak baik (fraktur tuberositas maksila selama pencabutan) dan ketika dokter dengan timnya gagal memberi kepuasan pasien (pemasangan gigi tiruan yang tidak nyaman). Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya keluhan pasien adalah faktor pencetus dan faktor predisposisi yang dijumpai bersamaan. Faktor pencetus adalah sesuatu yang menyebabkan munculnya keluhan seperti pemberian perawatan yang tidak tepat dan kekeliruan sistem. Faktor-faktor predisposisi sendiri tidak memunculkan keluhan tetapi meningkatkan terjadinya keluhan misalnya perilaku kasar, kurangnya perhatian, apatis atau komunikasi yang buruk. Penyampaian informasi harus jelas dan pernyataan persetujuan sebaiknya dalam dokumen informed consent (D’Cruz, 2010). Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof. Soedomo adalah Rumah Sakit Gigi dan Mulut tipe pendidikan yang diresmikan pada tanggal 30 Desember 2005. Rumah sakit ini mengutamakan pelayanan kepada masyarakat serta menjadi tempat rujukan bagi kasus gigi dan mulut di Provinsi DIY-Jawa Tengah. Dalam operasionalnya, rumah sakit ini menawarkan 3 jenis klinik perawatan, yaitu klinik pelayanan umum (ditangani oleh dokter gigi umum, dan spesialis), klinik VIP (ditangani oleh dokter gigi spesialis), klinik pendidikan (ditangani oleh dokter gigi muda dan residen). Rumah Sakit Gigi dan Mulut Prof. Soedomo memberikan pelayanan kesehatan gigi terpadu dan lengkap mulai dari aspek promosi, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Hal ini didukung dengan tersedianya 8 bagian pelayanan serta 3 instalasi pendukung, yaitu Klinik Bedah Mulut (menangani ekstraksi gigi, perawatan tumor dan kista, dll), Klinik Konservasi Gigi (menangani restorasi gigi, root canal treatment, dll), Klinik Ortodonsia (menangani perawatan gigi berjejal), Klinik Pedodonsia (menangani kasus-kasus pada anak usia di bawah 16 tahun), Klinik Periodonsia (menangani kasus pada jaringan pendukung gigi), Klinik Prostodonsia (menangani kasus kehilangan gigi dengan partial denture, full denture, implant), Klinik Penyakit Mulut (menangani kasus kelainan pada rongga mulut) dan sebuah unit - promosi dan pencegahan. Tiga instalasi penunjang adalah bagian radiologi, farmasi, dan laboratorium teknik gigi.
17
Residen diberikan kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan perawatan gigi spesilistik terhadap pasien yang datang berkunjung ke RSGM Prof. Soedomo namun dengan pengawasan atau supervisi dosen, dalam hal ini dosen (dokter gigi spesialis). Oleh karena itu residen harus mematuhi peraturan serta standar kerja yang berlaku di RSGM Prof.Soedomo. RSGM Prof. Soedomo memiliki prosedur tetap (protap) yang dijadikan sebagai pedoman bagi pemberi pelayanan gigi dan mulut. Pelaksanaan informed consent juga sudah ditetapkan dalam standar pelayanan medis (SPM), sehingga seluruh provider di RSGM, baik mahasiswa maupun
residen
(mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis I) harus berpedoman pada SPM. Residen yang menjalankan praktek di RSGM Prof. Soedomo mempunyai persyaratan yaitu sudah memiliki surat tanda registrasi (STR) dan menyerahkan STR ke program studi masing-masing. Residen bertanggungjawab terhadap semua tindakan yang dilakukan, sehingga residen harus memahami prosedur tetap dan standar pelayanan medis yang berlaku di RSGM Prof. Soedomo. Informed consent telah ditetapkan dalam standar pelayanan medis di RSGM Prof. Soedomo. Penetapan informed consent dalam standar pelayanan medis belum dibedakan jenis perawatan yang harus dibuat informed consent tertulis dan lisan, sehingga residen harus benarbenar paham tentang informed consent dan dapat menentukan kapan harus dilakukan informed consent tertulis atau lisan (Komite Medis RSGM Prof. Soedomo, 2008). Berdasarkan pengamatan penulis masih terdapat keluhan-keluhan dari pasien seperti lama waktu perawatan dan kunjungan perawatan yang tidak jelas. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan informed consent benar-benar dilakukan, penulis merasa perlu untuk mengevaluasi kelengkapan dokumen informed consent dan kelengkapan informasi yang diterima pasien berkaitan dengan perawatan yang dilakukan terhadap pasien. Dalam pelaksanaan informed consent pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya. Pasien harus memberikan persetujuan atas perawatan terhadapnya
18
baik secara lisan atau tertulis. Informasi medik yang diterima pasien dievaluasi apakah pasien mendapat informasi yang jelas tentang diagnosis penyakitnya, terapi dan kemungkinan alternatif terapi lain, resiko yang mungkin terjadi atas terapi yang dilakukan, keuntungan-keuntungan terapi yang dilakukan, prognosa atau gambaran kesembuhan terhadap terapi yang dipilih, perhitungan biaya dan lama waktu perawatan. Evaluasi kelengkapan berkas format informed consent di RSGM Prof. Soedomo mengacu pada Permenkes 290 tahun 2008 meliputi nama pasien, tempat & tanggal lahir, nomor identitas pribadi, tindakan/terapi yang akan dilakukan, tanggal dibuat surat pernyataan, tandatangan
dan nama terang dokter yang merawat,
tandatangan dan nama terang pasien yang memberikan persetujuan, tanda tangan dan nama terang saksi.
B.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana pelaksanaan informed consent di RSGM Prof. Soedomo dan bagaimana tingkat pengetahuan, sikap, dan skill atau kemampuan residen berkomunikasi dalam pelaksanaan informed consent di RSGM Prof. Soedomo?
C. 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum: Untuk mengevaluasi pelaksanaan informed consent oleh residen di RSGM Prof. Soedomo.
2.
Tujuan Khusus a. Mengevaluasi kelengkapan pengisian format informed consent sesuai dengan format informed consent yang berlaku di RSGM Prof. Soedomo mengacu pada Permenkes No.290/2008. b. Mengevaluasi kelengkapan informasi medik yang disampaikan residen terhadap pasien di RSGM Prof. Soedomo.
19
c. Mengevaluasi
pengetahuan residen
tentang pelaksanaan informed
consent di RSGM Prof. Soedomo Yogyakarta. d. Mengevaluasi sikap residen tentang pelaksanaan informed consent di RSGM Prof. Soedomo Yogyakarta. e. Mengevaluasi
kemampuan
residen
dalam
berkomunikasi
dalam
penyampaian informasi medik
D. 1.
Manfaat Penelitian
RSGM Prof. Soedomo Sebagai bahan untuk memperbaiki pelaksanaan informed consent yang dapat memberikan perlindungan kepada dokter dan pasien sehingga dapat mencegah terjadinya tuntutan hukum dan secara tidak langsung dapat juga meningkatkan mutu pelayanan.
2.
Bagi penulis untuk mendapat pengetahuan dan pengalaman tentang sistem penyelenggaraan informed consent di RSGM Prof. Soedomo.
E.
Keaslian Penelitian
Penelitian tentang informed consent pernah dilakukan oleh: 1.
Suryono, (2008), meneliti tentang Rekam Medis dan Persetujuan Tindakan Medis Pada Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Pasca Pemberlakuan UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di Rumah Sakit Pendidikan RSGM Prof. Soedomo Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian cross sectional. Unit analisis dari penelitian ini adalah dokter gigi muda di bagian periodonsia RSGM Prof. Soedomo. Hasil penelitian menemukan lebih dari 60% dokter gigi muda menganggap bahwa tidak membuat persetujuan tindakan medik merupakan perbuatan melawan hukum.
2.
Yuosuf, (2007), meneliti tentang Kesadaran, Pengetahuan, dan Prilaku terhadap informed consent diantara dokter-dokter dengan dua kultur yang
20
berbeda di Asia (studi perbandingan di Malaysia dan Kasmir India). Studi ini menggunakan rancangan survey cross sectional dengan instrumen koesioner. Hasil penelitian ini adalah tingginya kesadaran dalam pelaksanaan informed consent, tetapi model yang dilakukan masih termasuk dalam model paternalistik dokter, di mana dokter memiliki opini sendiri dalam memutuskan tindakan terhadap pasien di Kashmir, yang menekankan perlu adanya perubahan dokter dalam hal sikap dan pengetahuan terhadap otonomi pasien, yang didasari pada pembaharuan etika medis, dan juga kesadaran budaya dan agama atau kepercayaan setempat yang belum mendukung pelaksanaan tentang informed consent ini. 3.
Wijanarko, (2010), meneliti tentang Pengetahuan, Sikap dan Pelaksanaan Informed Consent di bagian bedah umum, kebidanan, dan tulang di RSUD Panglima Sebaya Tanah Grogot Kabupaten Paser Kalimantan Timur. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian cross sectional dengan instrumen kuesioner dan dokumen informed consent, hasil penelitiannya adalah bahwa pengetahuan dan sikap dokter, perawat, dan bidan masih tergolong kurang, dan pengisian lembar informed consent tidak lengkap sebesar 62.5%.
4.
Sampe, (2008) meneliti tentang Pengaruh Penyuluhan Informed Consent di bagian anestesiologi dan reanimasi RS Dr. Sardjito terhadap prilaku dalam penerapan informed consent. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan studi korelasi yang dikaji terhadap pengetahuan aspek hukum dan pertimbangan normative dalam hubungannya dengan penerapan informed consent. Subjek penelitian adalah residen yang bekerja di bagian anestesiologi dan reanimasi di RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini diperoleh dari kelompok provider intervensi memiliki persentase pengetahuan informed consent lebih tinggi dan penerapan informed consent lebih baik.
21
Persamaan: 1.) Meneliti tentang informed consent di RSGM dengan dengan jenis penelitian observasional dan rancangan penelitian cross sectional. 2.) Meneliti tentang pengetahuan dan perilaku dokter terhadap pelaksanaan informed consent dengan rancangan penelitian cross sectional. 3.) Subjek penelitian ini sama dengan penelitian Sampe yaitu yaitu residen. 4.) Persamaan dengan penelitian Wijanarko adalah sama-sama meneliti tentang pengetahuan dan sikap dokter terhadap pelaksanaan informed consent. Perbedaan: 1) Subjek penelitian pada penelitian Suryono adalah co-ass bagian periodonsia RSGM Prof. Soedomo. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah seluruh residen yang aktif memberi pelayanan perawatan gigi di RSGM Prof. Soedomo. 2) Selain pengetahuan dan sikap, penulis juga mengidentifikasi faktor skill atau
kemampuan
residen
berkomunikasi
dengan
pasien
dalam
penyampaian informasi yang berhubungan dengan pelaksanaan informed consent. 3) Pada penelitian Yousuf selain pengetahuan dan sikap, kesadaran dalam budaya dan agama juga diteliti dalam pelaksanaan informed consent. 4) Jenis penelitian pada penelitian Sampe adalah penelitian observasional dengan desain posttes only control group design.