BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pemilikan tanah merupakan hak asasi dari setiap warga negara Indonesia yang diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28 H yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Negara menjamin hak warga negaranya untuk memiliki suatu hak milik pribadi termasuk tanah. Penjaminan ini lahir atas dasar hak menguasai negara yang dianut dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Tanah merupakan salah satu kekayaan alam yang ada di bumi yang memiliki nilai tinggi karena mempunyai peran serta fungsi penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kebutuhan akan tanah adalah kebutuhan yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena itu manusia cenderung menempati tanah tersebut secara turun temurun dan dalam kurun waktu yang cukup lama. Hal ini merupakan asal mula timbulnya penguasaan atas tanah. Pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh subyek hukum, yang menimbulkan penguasaan atas tanah, membuat Negara berkewajiban memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah dengan cara mengadakan pendaftaran tanah, dengan menerbitkan sertipikat sebagai bukti penguasaan tanah. Sebelum diterbitkannya sertipikat, terdapat alat bukti atas tanah yang disebut Letter C, Girik, Petuk D atau Kekitir. Girik merupakan satu-satunya bukti yang diperlakukan sebagai bukti kepemilikan tanah sebelum lahirnya UUPA (Undang Undang Pokok Agraria)dan keberadaannya masih diakui hingga sekarang. Permasalahan yang hendak diangkat, yaitu bagaimana kekuatan hukum Girik sebagai alat pembuktian hak penguasaan tanah menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hal ini mengingat tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia, yaitu karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan memperoleh bahan pangan dengan cara
mendayagunakan tanah. Manusia akan hidup senang serba kecukupan kalau mereka dapat menggunakan tanah yang dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku untuk mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat. Pengaturan bidang pertanahan diatur dalam peraturan hukum dalam hal ini UndangUndang bidang Agraria. Pengaturan bidang pertanahan agar tercapai tertib bidang pertanahan. Kebutuhan akan tanah terus mengalami peningkatan, padahal tanah tidak mengalami perkembangan. Kebutuhan atas tanah selalu meningkat seiring dengan jumlah penduduk. Betapa pentingnya arti sebuah tanah sehingga sesuai dengan kultur masyarakat Jawa ”Sedumuk bathuk senyari bumi”.Tersedianya tanah merupakan kunci eksistensi manusia dan pengaturan serta penggunaannya merupakan kebutuhan yang sangat penting. Tanah dalam pembangunan nasional merupakan salah satu modal dasar yang strategis. Hal ini untuk menopang tujuan nasional sesuai yang termaktub dalam pembukaan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945yaitu
memajukan kesejahteraan umum, sehingga akan
terwujud suatu masyarakat adil dan makmur baik dalam materiil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat serta kehidupan berbangsa bernegara yang tertib, aman dan dinamis untuk mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata bagi segenap rakyat Indonesia. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan suatu program pembangunan yang terpadu dan menyeluruh dan berkelanjutan termasuk dalam bidang pertanahan. Hak menguasai negara ini memberi wewenang kepada negara yang diantaranya adalah untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan menentukan serta mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Hak-hak penguasaan atas tanah di dalam UUPA (Undang Undang Pokok Agraria)diatur dan sekaligus ditetapkan diantaranya adalah hak-hak perorangan/individual yang memiliki
aspek perdata.1Hak perorangan/individual ini, termasuk hak atas tanah negara, UndangUndang Pokok Agraria menentukan bahwa hak-hak atas tanah terdiri dari Hak Milik; Hak Guna Usaha; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai; Hak Sewa; Hak Membuka Tanah; Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas, termasuk Hak Pengelolaan. Hak perseorangan/individu adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersamasama, badan hukum) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Hak-hak perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, wakaf tanah hak milik, hak tanggungan dan hak milik atas satuan rumah susun.2 Sebagai konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh orang atau badan hukum, maka negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, sehingga setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak tersebut dapat mempertahankan haknya. Untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum tersebut, Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum akan hak atas tanah. Produk akhir pendaftaran tanah adalah sertipikat hak atas tanah. Sertipikat hak atas tanah memiliki fungsi utama, yaitu sebagai alat pembuktian yang kuat, tidak mutlak. Pendaftaran tanah dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik hak atas tanah (Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria jo Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Sertipikat berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat di dalam bukti pemilikan. Sertipikat menjamin kepastian hukum mengenai orang yang menjadi pemegang hak atas tanah, kepastian hukum mengenai lokasi dari tanah, batas serta luas suatu bidang tanah, dan kepastian hukum mengenai hak atas tanah miliknya. Dengan kepastian hukum tersebut dapat diberikan perlindungan hukum kepada orang yang tercantum namanya dalam sertipikat terhadap gangguan pihak lain serta menghindari sengketa dengan pihak lain. 3
1
Soni Harsono, Makalah Disampaikan dalam Seminar Memperingati HUT UUPA XXXII, Jakarta, Fakultas Hukum Trisakti, 1992. 2 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 82 3 Adrian Sutedi, Kekuatan Hukum Berlakunya Sertipikat Sebagai Tanda Bukti Hak atas Tanah, Bina Cipta, Jakarta, 2006, hlm. 23
Perlindungan hukum yang diberikan kepada setiap pemegang hak atas tanah merupakan konsekuensi terhadap pendaftaran tanah yang melahirkan sertipikat. Untuk itu setiap orang atau badan hukum wajib menghormati hak atas tanah tersebut. Sebagai suatu hak yang dilindungi oleh konstitusi, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah milik orang atau badan hukum lain, wajib dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang pada dasarnya tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Di Indonesia hak atas tanah diakui oleh UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) yang diwujudkan dalam bentuk sertipikat hak atas tanah sebagai alat pembuktian yang kuat yang ditindak-lanjuti oleh Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang kini telah dicabut dan ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembahasan mengenai pengakuan hak atas tanah yang dikonkritkan dengan penerbitan sertipikat tanah menjadi sangat penting, setidak-tidaknya karena :4 1. Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum pemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Pemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram, karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun; 2. Dengan pemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu sertipikat hak atas tanah mempunyai nilai ekonomis seperti dapat disewakan, menjadi jaminan utang atau sebagainya; 3. Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah kepemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Betapa pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan ketentuan tersebut kita mengetahui bahwa kemakmuran masyarakat adalah tujuan utama dalam pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia. Sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3) DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, pada tanggal 24 September 1960 pemerintah mengundangkan Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Agraria yang termuat dalam Lembaran Negara No.104 tahun 1960.
4
Ibid, hlm.1
Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut. Untuk tanah yang memiliki surat minim itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, Letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa atau Kelurahan. Dalam masyarakat masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku Letter C, karena didalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan sangat jarang dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku Letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak, dan keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku Letter C itu sangatlah tidak lengkap dan cara pencatatannya tidak secara teliti sehingga akan banyak terjadi permasalahan yang timbul dikemudian hari dikarenakan kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku Letter C tersebut. Adapun kutipan Letter C terdapat dikantor Kelurahan, sedangkan Induk dari Kutipan Letter C terdapat di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah memiliki alat bukti berupa girik sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah. Saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38
Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat. Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan Letter C yang berada di Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. Juga masih terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh aktaakta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27 Maret 1993, Nomor : SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB II). Saat ini dibeberapa wilayah Jakarta pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sudah ditiadakannya mutasi girik, hal ini disebabkan karena banyaknya timbul permasalahan yang ada di masyarakat karena dengan bukti kepemilikan berupa girik menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan atau ketidakpastian mengenai obyek tanahnya. Maka peran serta buku kutipan Letter C sangat dominan untuk menjadi acuan atau dasar alat bukti yang dianggap masyarakat sebagai alat bukti kepemilikan tanah. Oleh Sebab itu dalam mewujudkan salah satu tujuan dalam Undang-Undang Pokok Agrariaadalah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, maka diadakan pendaftaran tanah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agrariamerupakan instruksi kepada pemerintah sebagai agar di seluruh wilayah Republik Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat recht kadaster artinya yang bersifat menjamin kepastian hukum. Adapun Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agrariaadalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yang mulai diundangkan pada tanggal 8 Juli 1997 di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No.59 Tahun 1997 yang mengatur mengenai Pendaftaran Tanah. Berkenaan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
No.24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah diharapkan dapat mencegah konflik-konflik di bidang pertanahan yang sering terjadi pada masa sekarang. Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah bertujuan : a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan satuan rumah susun dan hal-hal lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, tentu mempunyai maksud dan tujuan yaitu demi kelancaran dan ketertiban tatanan kehidupan masyarakat di bidang agraria. Kebijakan dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan atau ke arah kesempurnaan Kebijakan pemerintah yang dilakukan dalam waktu ke waktu tentunya mengalami bertujuan demi perbaikan. Pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan yang tentunya tidak sesuai harapan. Seperti yang disampaikan oleh Owen Hughes dalam Pan S. Kim.5 “Summarized for this group: “The administrative paradigma in is terminal stages and unlikely to be revbuved...(It is being replaced by) a new paradigm of public management which pust forward a different relationship betwen government, the public service aand the public”. (Paradigma administrasi berada pada tahap akhir dan tidak mungkin dibangkitkan kembali... (hal ini digantikan oleh) sebuah paradigma baru tentang manajemen pemerintah yang mengusulkan suatu hubungan yang berbeda antara pemerintah, pelayanan masyarakat dan masyarakat). Dalam mencapai tujuan di bidang agraria, khususnya pendaftaran tanah, digunakan sistem pendaftaran tanah dengan menggunakan bukti kepemilikan, berupa data fisik dan data 5
Pan S. Kim, Civil Service reform in Japan and Korea toward Competitiveness and competency, International Review of Administrative Science. Vol. 68
yuridis, yang dimuat dalam buku tanah serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Bila terjadi perubahan tidak dibuatkan buku tanah baru, melainkan dilakukan pencatatannya pada ruang mutasi yang disediakan pada buku tanah yang bersangkutan. Pada kenyataannya
pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Indonesia masih
menimbulkan berbagai permasalahan yuridis. Banyak sekali dijumpai di lapisan masyarakat yang tidak akurat atau tidak jelasnya riwayat kepemilikan atau perolehan hak-hak atas tanah seorang itu sebelum didaftarakan untuk memperoleh tanda bukti yang berupa sertipikat. Selain itu permasalahan yang muncul akibat peralihan hak atas tanah sering kali terjadi yang menimbulkan ketidakpastian mengenai siapa sebenarnya pemilik sebidang tanah maupun batas-batas tanahnya. Sering terjadi perkara pertanahan dalam proses peradilan, orang yang tersebut atau tercantum pada sertipikat kurang mendapatkan jaminan kepastian hukum sehingga dalam hal data yuridis yang dimiliki oleh seseorang kurang kuat untuk membuktikan haknya. Dalam praktek sekarang ini tidak jarang terjadi, terdapat dua atau lebih sertipikat atas sebidang tanah yang sama. Dua atau lebih sertipikat tanah atas sebidang tanah yang sama akan menimbulkan tumpang tindih (overlapping) sertipikat dan membawa ketidakpastian hukum pemegang hakhak atas tanah yang sangat tidak diharapkan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia6. Berdasarkan uraian tersebut maka menjadi penting penelitian mengenai Pendaftaran Hak atas Tanah untuk pertama kali dan Pendaftaran Peralihan yang berasal dari Letter C, Girik dan Petuk D di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. PERUMUSAN MASALAH Agar memudahkan penulis dalam melaksanakan penelitian, maka penulis perlu untuk merumuskan masalah. Masalah-masalah yang menjadi fokus penulis adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Proses Pendaftaran Hak atas Tanah untuk pertama kali dan Pendaftaran Peralihan yang berasal dari Letter C, Girik dan Petuk D di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menciptakan Kepastian Hukum? 6
Bachtiar Effendi, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah. Jakarta : Rajawali Pers, 1993, hlm. 73
2. Apa hambatan Proses Pendaftaran Hak atas Tanah untuk pertama kali dan Pendaftaran Peralihan yang berasal dari Letter C, Girik dan Petuk D di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta serta bagaimana Solusinya?
C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian hukum ini merupakan sasaran yang ingin dicapai. Dengan menetapkan suatu tujuan dari sebuah penelitian, diharapkan penelitian yang dilakukan tidak salah arah. 1. Tujuan Obyetif Tujuan Objektif Penelitian ini adalah: a
Mengetahui dan menganalisis ProsesPendaftaran Hak atas Tanah untuk pertama kali dan Pendaftaran Peralihan yang berasal dari Letter C, Girik dan Petuk D di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
b
Mengetahui dan menganalisis hambatan Proses Pendaftaran Hak atas Tanah untuk pertama kali dan Pendaftaran Peralihan yang berasal dari Letter C, Girik dan Petuk D di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta serta bagaimana Solusinya.
2. Tujuan Subyektif Tujuan Subyektif dari penelitian ini adalah: a
Melatih kemampuan penulis dalam meneliti suatu masalah terutama hal yang menyangkut tentang pertanahan seperti penerbitan sertipikat hak atas tanah berikut masalah-masalahan yang ada di dalamnya.
b
Meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisis suatu masalah hukum secara kritis dan sistematis.
c
Memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN Penulisan yang penulis lakukan mempunyai manfaat bukan hanya bagi penulis saja, tapi diharapkan juga dapat berguna bagi pihak-pihak lain. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1 Manfaat Teoritis Manfaat Teoritis dari Penelitian ini adalah :
a
Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan ilmu hukum terutama yang menyangkut masalah peraturan pendaftaran hak tanah serta kebijakan di bidang agraria, khususnya mengenai pendaftaran hak tanah terkait dengan bukti asal Letter C, Girik dan Petuk D yang pengaruhnya di dalam pembuktian sertipikat hak atas tanah. .
b
Menambah pengetahuan mengenai ilmu hukum agraria terutama mengenai masalah pendaftaran tanah, dengan bukti asal Letter C, Girik dan Petuk D serta penerbitan sertipikatnya.
c
Mengembangkan wawasan ilmiah yang dapat digunakan dalam penulisan ilmiah di bidang hukum terutama yang berkaitan dengan hukum agraria.
2 Manfaat Praktis Manfaat Praktis dari Penelitian ini adalah: a
Memberi jawaban mengenai masalah yang diteliti.
b
Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi semua pihak yang tertarik dalam masalah yang sama.