BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik dianggap sebagai hal yang
merusak dan berbahaya. Namun para
ilmuwan ahli perilaku telah mempelajari dan menyimpulkan bahwa tidak semua konflik bersifat merusak. Pada tingkat tertentu konflik merupakan hal yang esensial (Cowling et al., 1988), menjadi katalis untuk ide-ide baru, kemajuan, perubahan positif dan pertumbuhan (Rahim, 1986), serta meningkatkan kreativitas dan inovasi. Selain itu konflik memberikan lebih banyak energi dan motivasi, memberikan kesempatan kepada seseorang untuk maju, mengevaluasi diri dan situasi (Smyth, 1985). Organisasi kesehatan rentan terhadap konflik yang dapat mempengaruhi pelayanan kesehatan serta berpengaruh pada pasien (McVivar, 2003). Cepatnya perubahan mendasar (secara radikal) sepuluh tahun terakhir di lingkungan pelayanan kesehatan, tim pelayanan kesehatan yang multi profesional, meningkatnya pengetahuan dan harapan masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih berkualitas merupakan faktor yang menyebabkan organisasi kesehatan rentan terhadap konflik (Hurley dan Linsley, 2007; Ogunyemi et al., 2011). Lebih lagi pada organisasi pelayanan kesehatan yang kompleks seperti rumah sakit. Sebagai bagian dari pemberi layanan kesehatan, perawat sangat mungkin menghadapi konflik selama menjalankan tugasnya. Beberapa sumber konflik pada bidang keperawatan adalah perbedaan cara pandang antara manajemen dan staf, jumlah sumber daya perawat yang terbatas sehingga mereka memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, perbedaan tujuan kerja dan kompetisi antar kelompok (Kunaviktikul et al., 2000; McVivar, 2003), serta konflik antara perawat dan dokter (Vivar, 2006). Perubahan organisasi pelayanan kesehatan dan kebijakan baru dapat menimbulkan tingkat perbedaan pendapat dan konflik lebih tinggi (Broome, 1990).
1
2
Sebuah penelitian skala internasional mendapatkan 40% perawat yang menjadi responden tidak puas dengan lingkungan kerja mereka. Perawat dari Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan bahwa pelecehan verbal dari berbagai sumber adalah kejadian biasa di tempat kerja dan memberikan kontribusi terhadap ketidakpuasan kerja, menyebabkan kelelahan dan selanjutnya meningkatkan ketegangan di tempat kerja. Bangsal kemarahan (ward rage) adalah istilah yang dipakai untuk mewakili apa yang terjadi di lingkungan kerja keperawatan saat gesekan dan frustrasi mencapai tingkat kritis (Aiken et al., 2001). Penelitian pada perawat onkologi di Australia, Barrett dan Yates (2002) menemukan bahwa 40% perawat menganggap beban kerja mereka berlebihan, 48% tidak puas dengan gaji dan penghargaan profesi dan lebih dari 70% dilaporkan mengalami kelelahan emosional sedang sampai tinggi. Di Indonesia, konflik perawat mulai dari konflik perseorangan, di unit pelayanan, sampai skala nasional banyak dijumpai. Salah satu contoh adalah konflik perawat dengan pasien/keluarga di RSUD Tabanan, dimana keluarga menganggap para perawat yang bertugas di UGD mengabaikan pelayanan untuk anaknya (Bali Post, 6 Maret 2011). Di Jayapura terjadi saling lapor ke POLDA Papua antara kordinator perawat dan Sekda Propinsi Papua, perawat dituding melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan penghasutan sehingga delapan perawat RS Jayapura ditangkap dan dimintai keterangan sekaligus ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan perawat menyatakan mereka menuntut hak mereka (Harian Bintang Papua, 24 Maret 2011). Perawat bersama tim medis dan pegawai farmasi Rumah Sakit Honoris Tangerang Banten menggelar aksi mogok kerja dalam rangka menuntut hak-hak normatif karyawan seperti upah layak dan uang lembur yang selama ini tidak pernah dibayarkan pihak manajemen serta dihapuskannya sistem kontrak (Indosiar.com, 12 September 2012). Di Bandarlampung perawat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Karyawan dan Karyawati RSUDAM
bersama pegawai lainnya
melakukan aksi dan mogok kerja selama enam jam, menuntut Direktur Rumah Sakit mundur dari jabatannya, karena dinilai arogan, tidak profesional, dan semena-mena
3
terhadap para karyawannya, sedangkan Gubernur Lampung mempertahankannya karena dinilai berkinerja bagus dan membawa perubahan (Metrotvnews.com, 23 Nopember 2011). Di tingkat nasional ribuan perawat melakukan demonstrasi di depan gedung DPR/MPR menuntut dibahas dan disahkannya UU Keperawatan (Merdeka.com, 12 Desember 2012). Konflik yang penulis sebutkan merupakan sebagian kecil dari jumlah dan jenis konflik yang mencuat ke permukaan, tentu konflik yang tidak sampai mencuat dan tercatat jauh lebih banyak lagi, seperti fenomena puncak gunung es. Dengan banyaknya konflik yang dihadapi perawat, maka belajar mengelola dan menyelesaikan konflik dengan cara yang paling efektif dan konstruktif harus menjadi prioritas bagi perawat. Hal tersebut penting untuk meningkatkan efektifitas fungsi organisasi keperawatan dan keberhasilan asuhan keperawatan. Manajemen konflik yang konstruktif dapat dilihat sebagai proses, kerjasama kreatif dalam pemecahan masalah, dimana konflik didefinisikan sebagai masalah bersama menjadi terselesaikan (Deutsch et al., 2000). Peran kepemimpinan kelompok dalam konflik antar kelompok merupakan elemen penting. Pemimpin mempengaruhi dan mengarahkan individu dan kelompok, dan membutuhkan banyak kualitas dan keterampilan agar dapat secara efektif menangani konflik. Untuk menciptakan lingkungan praktek sehat dan aman bagi baik perawat dan pasien, diperlukan kepemimpinan keperawatan yang kuat (Dierchx et al., 2008). Para peneliti telah menemukan bahwa pemimpin transformasional lebih efektif dan memuaskan dari pemimpin transaksional (Bass, 1997, 1999; Dunham-Taylor, 2000). Namun demikian, gaya transformasional dan kepemimpinan transaksional bukan hal yang eksklusif dan pemimpin yang efektif menggunakan kombinasi keduanya (Bass, 1990; Yukl, 2006). Sekarang konseptualisasi kepemimpinan dalam perawatan kesehatan telah bergeser fokusnya dari berorientasi pemimpin-pengikut
4
kepada kegiatan organisasi dan proses interpersonal yang mempengaruhi pencapaian sasaran (Barrett et al., 2005). Faktor demografi juga merupakan variabel penting dalam banyak studi tentang gaya manajemen konflik. Meskipun belum ada hasil konklusif dan konsisten dalam literatur yang relevan, tetapi secara umum faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, posisi (jabatan) dalam pekerjaan mempengaruhi pemilihan strategi manajemen konflik. McKenna dan Richardson (1995) menyatakan bahwa secara keseluruhan, perilaku konflik individu adalah kombinasi dari karakteristik pribadi mereka dan persyaratan keadaan di mana mereka berada. Di Indonesia sangat terlihat perbedaan antara budaya organisasi instansi pemerintah dan swasta. Di instansi pemerintah sistem yang mendukung seperti reward dan punishment tidak begitu berjalan, perhatian terhadap kemampuan dan kinerja masih kurang, indikator kinerja yang kurang baik dibanding instansi swasta, yang mempengaruhi perilaku keduanya (Komara, 2007; Rahayu, 2010). Oleh karena itu perbedaan budaya organisasi di instansi pemerintah dan swasta mungkin menjadi faktor yang mempengaruhi manajer dalam memilih strategi manajemen konflik. Dengan pentingnya kepemimpinan yang efektif, pemilihan strategi manajemen konflik yang tepat untuk penyelenggaraan pelayanan keperawatan yang bermutu, maka upaya-upaya peningkatan kemampuan perawat dalam kepemimpinan dan manajemen keperawatan sangat dibutuhkan. Penelitian dan pengembangan di bidang kepemimpinan dan manajemen keperawatan ini merupakan dasar perencanaan dan upaya peningkatan kemampuan manajerial perawat melalui pendidikan dan pelatihan keperawatan.
5
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adakah perbedaan gaya kepemimpinan dan pilihan strategi manajemen konflik antara perawat manajer di rumah sakit pemerintah dan swasta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum: Membandingkan gaya kepemimpinan dan pilihan strategi manajemen konflik antara perawat manajer rumah sakit pemerintah dan swasta Tujuan Khusus: 1. Mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang paling menonjol yang ditunjukkan perawat manajer di rumah sakit pemerintah dan swasta. 2. Membandingkan gaya kepemimpinan antara perawat manajer rumah sakit pemerintah dan swasta. 3. Mengidentifikasi strategi manajemen konflik paling menonjol yang ditunjukkan oleh perawat manajer di rumah sakit pemerintah dan swasta. 4. Membandingkan pilihan strategi manajemen konflik antara perawat manajer rumah sakit pemerintah dan swasta. 5. Mengukur hubungan antara gaya kepemimpinan perawat manajer dan pemilihan strategi manajemen konflik. 6. Mengukur hubungan antara faktor demografi perawat manajer dan pilihan strategi manajemen konflik.
6
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat bermanfaat : 1. Dasar pertimbangan bagi manajemen rumah sakit dalam penempatan perawat manajer. 2. Dasar perencanaan di bidang pendidikan dan pelatihan keperawatan dalam upaya peningkatan kemampuan manajerial perawat. 3. Memperkaya sumber kajian akademik di bidang manajemen dan kepemimpinan keperawatan.
E. Keaslian Penelitian
Kunaviktivul et al. (2000) meneliti hubungan sebab dan level konflik, manajemen konflik terhadap kepuasan kerja, keputusan tetap dan keluar dari pekerjaan perawat profesional di Thailand. Kesamaan dengan penelitian penulis adalah dalam mengidentifikasi strategi manajemen konflik pada perawat di empat rumah sakit daerah. Perbedaannya terletak pada pengukuran terhadap sebab dan level konflik dan hubungannya dengan kepuasan kerja, keputusan tetap dan keluar dari pekerjaan. Instrumen yang digunakan untuk mengukur strategi manajemen konflik The Thomas-Kilmann Conflict Management of Differences Exercise (MODE) sedangkan penulis menggunakan The Rahim Organizational Conflict Inventory II (ROCI-II). Hendel et al. (2005) dalam penelitiannya “Gaya kepemimpinan dan pilihan strategi dalam manajemen konflik antara manajer perawat Israel di rumah sakit umum “ melakukan penelitian pada 60 perawat manajer di rumah sakit umum pusat Israel. Kesamaan dengan penelitian penulis adalah pada identifikasi gaya kepemimpinan menggunakan the Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) dan mengukur hubungannya dengan strategi manajemen konflik. Perbedaannya, pada
7
penelitian penulis membandingkan gaya kepemimpinan dan pilihan strategi manajemen konflik perawat manajer rumah sakit pemerintah dan swasta. Hendel et al. menggunakan instrumen MODE untuk mengukur strategi manajemen konflik. Bing-You et al. (2010) meneliti strategi manajemen konflik dan gaya kepemimpinan pada residensi para direktur program di Maine Medical Center, Department of Medical Education, Portland. Persamaannya ada pada identifikasi strategi manajemen konflik dan gaya kepemimpinan. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah pada subjek penelitian dan instrumen gaya kepemimpinan.Penelitian Bing-You et al. Menggunakan subjek dokter dan the Hersey-Blanchard Situational Leadership (HBSL) Model, sedangkan di penelitian penulis menggunakan subjek perawat dan instrumen MLQ. Ogunyemi et al. (2011) meneliti hubungan strategi manajemen konflik, gaya komunikasi dan prilaku pada administrator pendidikan kedokteran, residen dan dewan sertifikasi dokter. Penelitian penulis juga mengidentifikasi strategi manajemen konflik, tapi berbeda subjek penelitiannya yaitu: administrator pendidikan kedokteran, residen dan dewan sertifikasi dokter. Hubungan antara model manajamen konflik, gaya komunikasi dan perilaku diukur pada penelitian ini. Al-Hamdan et al. (2011) meneliti strategi manajemen konflik perawat manajer rumah sakit di Kesultanan Oman. Persamaan penelitian dalam mengidentifikasi pilihan strategi manajemen konflik perawat manajer di rumah sakit dan menggunakan
instrumen ROCI-II untuk mengukur strategi manajemen konflik.
Perbedaannya pada penelitian ini hanya melihatnya dari karakteristik individual, tidak mengukur hubungannya dengan gaya kepemimpinan dan jenis rumah sakit. Pada penelitian penulis mengidentifikasi gaya kepemimpinan, pilihan strategi dalam manajemen konflik dan membandingkan antara perawat manajer rumah sakit pemerintah dan swasta.