BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan satu lembaga atau badan perwakilan rakyat daerah yang susunannya mencerminkan perwakilan seluruh rakyat daerah yang komposisi serta anggotanya adalah mereka yang telah diambil sumpah
serta dilantik dengan keputusan
Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, sesuai dengan hasil Pemilu maupun pengangkatan. Secara umum, fungsi lembaga legislatif berkisar pada fungsi perundang-undangan (legislasi), fungsi anggaran (budgeting) dan fungsi pengawasan (controling). Keseluruhan hak DPRD diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
pada dasarnya telah memuat fungsi-fungsi tersebut. Sebagai
lembaga legislatif, DPRD berfungsi membuat peraturan perundangundangan. Melalui fungsi ini DPRD mengaktualisasikan diri sebagai wakil rakyat. Fungsi lain DPRD adalah menetapkan kebijaksanaan keuangan. Hak
anggaran
memberi
kewenangan
kepada
DPRD
untuk
ikut
menetapkan atau merumuskan kebijakan daerah dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam konteks
pengawasan, penetapan kebijakan dan peraturan perundangan oleh DPRD, merupakan tahap pertama dari proses pengawasan. Penilaian
1
terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan daerah oleh eksekutif adalah bentuk pengawasan lainnya. DPRD sebagai lembaga politik melakukan pengawasan secara politis, yang tercermin dalam hak-hak DPRD yaitu hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan dan hak penyelidikan. DPRD diharapkan mampu menjadi penyambung aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah, guna kemajuan dan kemakmuran masyarakat sehingga
membawa
perubahan
dan
paradigma
baru
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang diemban oleh lembaga legislatif sebagai representasi dari rakyat yang diwakilinya, peningkatan kinerja merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan output guna pencapaian tujuan dari keberadaan lembaga ini. Pada umumnya, kinerja DPRD adalah seberapa jauh output yang dihasilkan memenuhi target (rencana yang telah ditetapkan), sehingga optimalisasi peran DPRD dalam pelaksanaan otonomi daerah menjadi sangat krusial. Itu bukan saja karena lembaga ini merupakan tempat lahirnya semua peraturan yang menjadi landasan bagi setiap kebijakan publik yang diterapkan didaerah, tetapi karena posisinya yang menentukan dalam proses pengawasan pemerintahan. Karena itu, penguatan posisi lembaga DPRD di era otonomi daerah merupakan kebutuhan yang harus diupayakan agar dapat melaksanakan tugas, wewenang dan haknya secara efektif.
2
DPRD sebagai lembaga penyambung aspirasi masyarakat, tidak terlepas dari masalah keterwakilan perempuan. Jika pada masa yang lalu anggota legislatif didominasi oleh laki-laki, bahkan hampir semuanya lakilaki, maka dua periode terakhir sudah mulai diwarnai oleh anggota legislatif perempuan. Masuknya perempuan kedalam lembaga legislatif merupakan upaya untuk menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah publik, termasuk politik. Upaya menciptakan kesetaraan tersebut ditempuh melalui berbagai cara, dimana salah satunya adalah mengikutsertakan perempuan kedalam lembaga legislatif. Upaya ini bahkan dituangkan dalam bentuk kebijakan politik yang lebih riil, agar partisipasi politik perempuan dalam politik praktis semakin lebih tinggi. Untuk lembaga legislatif telah dibuat UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang didalamnya memuat tentang kuota 30% bagi calon anggota legislatif perempuan. Undang-undang tersebut kemudian disempurnakan lagi pada tahun 2008 menjadi UU No. 10 Tahun 2008, yang tetap memuat kuota 30% bagi calon anggota legislatif perempuan1. Penetapan kuota 30% ternyata tidak serta merta membawa perubahan yang diinginkan,kuota 30% hanya merupakan sebuah stimulasi, karena pada kenyataannya partisipasi perempuan di bidang politik, dan secara khusus pada minat untuk menjadi anggota legislatif masih sangat kurang. 1
Ani Soetipto, Kuota 30%perempuan : langkah awal bagi partisipasi politik perempuan,Jakarta:Jurnal ilmu politik19,2003,hal 64
3
Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen, dalam hal ini ditingkat legislatif terkait dengan aspek nurture. Aspek nature berkaitan dengan pandangan bahwa dilihat dari aspek sosial budaya, perempuan terbentuk / terkonstruksi dengan tugas yang berbeda dengan kaum lakilaki. Dampak kultural demikian melahirkan kondisi bahwa lapanganlapangan aktifitas yang ada di kalangan birokrasi, pemerintahan, swasta, elit sosial budaya, dan agama, tidak banyak menyerap kaum perempuan2. Sifat alam yang melekat pada seorang perempuan seperti hamil, menyusui, menstruasi dan mengurus anak juga merupakan hal-hal yang dapat
mematahkan gairah kaum perempuan untuk berpolitik. Definisi
terhadap peran dan tanggung jawab yang harus dilakukan secara berbeda oleh
laki-laki
dan
perempuan,
menyebabkan
terjadinya
proses
pendomestikan, yang membatasi peran perempuan hanya pada lingkup rumah tangga dan laki-laki pada dunia publik3. Lemahnya kebijakan yang diambil terutama untuk kaum perempuan juga merupakan salah satu faktor rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Seringkali anggota legislatif perempuan tidak berdaya dalam merespon persoalan-persoalan masyarakat. Hal ini disebabkan karena perempuan belum mampu dalam melepaskan tugas sebagai ibu rumah tangga dan juga beban kerja serta waktu kerja yang belum bisa diikuti secara penuh oleh anggota legislatif perempuan, dan juga karena sikap mental yang lemah dan posisinya yang dimarginalkan. 2 3
Astrid Anugrah, keterwakilan perempuan dalam politik. Jakarta: pancuran alam, 2009, hal 11 Siagian Faisal. Wanita, Ideologi dan Negara. Republika. 15 September 1995.
4
Mengenai jumlah perempuan yang menjadi anggota dewan pada saat ini, memang masih sangat jauh dari harapan. Namun bukan hal ini yang seharusnya jadi pusat perhatian kita. Yang seharusnya menjadi persoalan saat ini adalah ketika kita membicarakan badan legislatif jika dikaitkan dengan keterwakilan perempuan, bagaimana perempuan yang telah duduk dikursi legislatif dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota legislatif khususnya ditingkat daerah. Masih banyak hak-hak perempuan yang selama ini kurang mendapat perhatian dari anggota legislatif perempuan yang berhasil duduk di DPRD. Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan. Diperlukan dukungan terhadap upaya bersama demi tercapainya persamaan hak bagi perempuan, menghilangkan diskriminasi,
mengatasi
persoalan
kesehatan,
pendidikan,
dan
kemiskinan. Perempuan akan tampil dengan maksimal menunjukkan potensi yang mereka miliki apabila mereka mampu mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi dengan bantuan dan dukungan orang-orang terdekat, terlebih jika masalah-masalah tersebut mendapat perhatian khusus oleh para anggota legislatif perempuan, karena mereka yang paling memahami kepentingan dan kebutuhan perempuan itu sendiri. Pemerintahan dikatakan berhasil dalam pembangunan di segala bidang apabila mampu memberikan perhatian yang lebih kepada rakyatnya yang termasuk di dalamnya adalah perempuan. Perhatian tersebut dapat dilakukan dalam bentuk memberikan pengetahuan,
5
perawatan ataupun pengobatan gratis atas masalah-masalah perempuan dengan campur tangan pemerintah dalam merespon kepentingankepentingan perempuan tersebut. Kelemahan dan keterbatasan anggota legislatif perempuan dalam menjalankan fungsinya, tidak mematahkan semangat mereka untuk tetap memperjuangkan dan mengupayakan yang terbaik bagi hak kaum perempuan, dalam hal ini mereka berusaha untuk tetap tanggap dan peka terhadap semua kebutuhan dan masalah-masalah yang tengah marak dihadapi oleh kaum perempuan. Anggota legislatif perempuan
akan
berusaha memastikan bahwa dalam setiap kebijakan yang diambil telah memperhitungkan keberadaan dan isu-isu perempuan yang selama ini belum
diperhatikan
seperti
hak
reproduksi,
kekerasan
terhadap
perempuan di lingkungan publik dan privat, diskriminasi, eksploitasi, dan marjinalisasi. Peran anggota legislatif perempuan telah ditunjukkan dengan beberapa program yang tengah dilaksanakan maupun yang masih dalam tahap perencanaan. Anggota legislatif perempuan DPRD Kota Makassar dalam melaksanakan perannya juga mengutamakan program-program terkait kepentingan perempuan ke dalam agenda kerja mereka. Programprogram tersebut meliputi bidang pendidikan, kesehatan ibu dan anak, penyediaan sarana untuk menunjang kegiatan perempuan (ruang menyusui), masalah kemiskinan, dan masalah-masalah KDRT.
6
Dukungan dan kerja sama dari Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Lembaga Swadaya Masyarakat juga sangat membantu anggota legislatif perempuan di DPRD Kota Makassar dalam melaksanakan peran mereka untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Kedua lembaga itu bersama anggota legislatif perempuan sering melakukan sosialisasi dan penyuluhan dalam hal pemberdayaan potensi perempuan di Kota Makassar. Program dan kegiatan yang dilaksanakan untuk kepentingan perempuan lebih berdaya guna dan tepat guna. Tugas anggota legislatif perempuan
adalah
pada
penganggaran,
mereka
akan
lebih
berkonsentrasi pada memperjuangkan anggaran yang diperlukan bagi kegiatan-kegiatan untuk kepentingan perempuan tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk memahami dan melakukan penelitian mengenai: “Peran Anggota Legislatif Perempuan di DPRD Kota Makassar Dalam Merespon Kepentingan Perempuan”
B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang diatas, yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Anggota Legislatif Perempuan Dalam Mengupayakan Program Kerja Untuk Kepentingan Perempuan di Kota Makassar ?
7
C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : a. Mendeskripsikan kinerja anggota legislatif
perempuan dalam
menjalankan program kerja terkait kepentingan perempuan di Kota Makassar . b. Mendeskripsikan hambatan-hambatan yang dihadapi anggota legislatif perempuan dalam menjalankan program kerja sebagai wakil dari kaum perempuan. D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Menunjukkan
secara
ilmiah
mengenai
keterwakilan
perempuan jika ditinjau lebih dalam teori perwakilan politik. b. Memberikan pemahaman mengenai politik perempuan jika ditinjau dari keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan bahan rujukan bagi anggota legislatif perempuan dalam merespon kebutuhan dan masalahmasalah yang dihadapi kaum perempuan. b. Memberikan informasi kepada praktisi dalam memahami realitas keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka sangat penting untuk lebih menjelaskan dan mempertegas aspek teoritis. Dalam bab ini akan membahas konsepkonsep penting yang relevan dengan judul dan rumusan masalah yang diteliti. Konsep-konsep ini menjadi landasan atau kerangka berfikir dalam perumusan masalah dan penelitian yang akan dilaksanakan.
A. Pendekatan Institusional Pendekatan Institusional mengkaji lembaga/organisasi yang memiliki struktur dan fungsi untuk mencapai tujuan.4 Institusional adalah pendekatan umum (general approach) atau cara memahami masalah (perspective for understanding), Institusional mengenai lembaga atau bersifat kelembagaan, struktur Institusi
bukan
saja
merupakan
serta mekanisme administrasinya.5 refleksi
kekuatan
sosial
seperti
pemerintahan, parlemen, partai politik dan birokrasi, namun dapat dikatakan institusi adalah organisasi yang tertata oleh pola perilaku yang diatur oleh peraturan.6
4
Arifin Rahman. Sistem Politik Indonesia (LPM IKIP: Surabaya.1998) http://artikata.com/arti-330841-institusional.html 6 Miriam Budiarjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Hal 96-100 5
9
Ridley mendefinisikan pendekata institusional sebagai ” suatu subjek masalah yang mencakup peraturan, prosedur, dan organisasi formal pemerintahan”7
Pendekatan institusional
dalam ilmu politik memfokuskan pada
lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga negara baik legislatif maupun eksekutif sebagai kebutuhan para anggotanya untuk mengadakan kontak dan membina dukungan dengan masyarakat. Hal ini dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak bias dengan kebutuhan, tuntuan, dan harapan publiknya. Lembaga-lembaga inilah yang sehari-hari menjalankan
sistem
politik,
yang
misi
utamanya
melaksanakan
kepentingan rakyat atau warga Negara.8 Legislatif sebagai suatu lembaga yang berorientasi pada representation of ideas secara ideal dimaksudkan untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat, memberikan jalan kompromi
bagi
pendapat/tuntutan
yang
saling
bersaing,
serta
menyediakan ruang bagi suksesi kepemimpinan politik secara damai dan legitimasi.
Ciri pembeda paradigma institusional adalah dalam melihat hakekat organisasi. Ide mereka adalah organisasi lebih merupakan sistem sosial yang bentuknya dipengaruhi oleh sistem simbolis, budaya dan aspek sosial yang lebih institusional 7 8
luas dimana organisasi tersebut berada. Ide pokok
adalah
bahwa
organisasi
dibentuk
oleh
lingkungan
David Marsh dan Gerry Stoker. Teori Ilmu Politik. (Nusa Media:Bandung. 2012) hal 107 http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pendekatan-institusional.html di akses 12/04/2012
10
institusional yang mengitarinya. Pengamatan terhadap organisasi harus dilihat sebagai totalitas simbol, bahasa, ataupun ritual-ritual yang melingkupinya. Oleh sebab itu institusionalisme menolak anggapan bahwa organisasi dan kontek institusionalnya yang lebih besar bisa dipahami dengan melakukan agregasi
atas pengamatan terhadap
perilaku individu.
Scott
(1995)
memberikan
kerangka
pikir
untuk
mempelajari
institusional. Menurut Scott ada tiga pilar institusi, yaitu (1) Regulatif, (2) Normatif, dan (3) Kognitif. Perbedaan antara ketiga pilar tersebut dilihat dari sisi dasar ketaatan, mekanisme pengelolaan, logika mengenai perilaku manusia, indikator mengenai pilar institusi tersebut.
Kegiatan politik berpusat pada lembaga pemerintah tertentu seperti kongres, kepresidenan, dan sebagainya. Kegiatan individu dan kelompok diarahkan kepada lembaga pemerintah dan kebijakan publik secara otoritatif
ditentukan
dan
dilaksanakan
oleh
lembaga
pemerintah.
Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga pemerintah sangat erat. Suatu kebijakan tidak menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah.
Lembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepada kebijakan-kebijakan. Kebijakan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang sah menunutut loyalitas warganegara. Kedua, kebijakan
11
pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan pemerintah yang menjangkau dan dapat menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Keunggulan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah bahwa kebijakan tersebut dapat menuntut loyalitas dari semua
warga
kebijakan
yang
negaranya mengatur
dan
mempunyai
seluruh
kemampuan
masyarakat
dan
membuat
memonopoli
penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok-kelompok.
Pendekatan institusional atau kelembagaan mengacu pada negara sebagai fokus kajian utama. Setidaknya, ada dua jenis atau pemisahan institusi negara, yakni negara demokratis yang berada pada titik “pemerintahan yang baik” atau good governance dan negara otoriter yang berada pada titik “pemerintahan yang jelek” atau bad governance dan kemudian berkembang lagi dengan banyak varians yang memiliki sebutan nama yang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya jika dikaji secara krusial, struktur pemerintahan dari jenis-jenis institusi negara tersebut tetap akan terbagi lagi menjadi dua yakni masalah antara baik dan buruk tadi.
Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur
12
legal maupun institusional. Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:
1. Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum; 2. Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilaku seseorang; 3. Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang "bersifat" individu seperti legislatif; 4. Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan; 5. Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.
Akan tetapi mengenai kekuasaan dalam praktiknya sangat sukar untuk dilaksanakan dan kurang dapat berkembang. Sekalipun demikian, pandangan untuk memusatkan perhatian pada kekuasaan membuka jalan bagi timbulnya pendekatan lain yang lebih bersifat fungsional, dan pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga menjadi hanya
13
salah satu dari sekian banyak faktor dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan.
Hubungan antara kebijakan publik dan lembaga pemerintah sangat erat. Suatu kebijakan tidak dapat menjadi kebijakan publik sebelum kebijakan itu ditetapkan dan dilaksanakan oleh institusi atau lembaga pemerintah. Dalam sebuah kajian kebijakan publik, haruslah diperlukan sebuah teori yang dapat menjelaskan serta membatasi bagaimana seharusnya organisasi publik berperilaku dalam hubungannya dengan pembuatan kebijakan publik yang dapat mencapai tujuan akhir.
Banyak penelitian tentang institusionalisme yang mengkaji seberapa besar pengaruh institusi terhadap perilaku manusia melalui aturan dan norma yang dibangun oleh institusi. Jadi, bukan manusianya yang menentukan bagaimana corak institusi (lembaga) nya, melainkan sebuah institusi yang berdasarkan pada aturan dan norma itulah yang seharusnya mempengaruhi perilaku individu.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa institusi merupakan batasan sistem sosial yang dilingkupi oleh aturan formal dan non formal sebagai pengontrol dan pengarah interaksi antar manusia dalam aksesnya kepada sumberdaya. Demikian halnya dengan organisasi publik yang berurusan dengan permasalahan publik harus mendasarkan setiap perilakunya pada batasan-batasan sistem sosial tersebut.
14
Institusional telah memposisikan dirinya untuk membantu kita mengahadapi
sebuah
pertanyaan
penting
mengenai
dasar-dasar
kesamaan organisasi dan turunannya, hubungan antara struktur dan perilaku, peran simbol dalam kehidupan sosial, hubungan antara gagasan dan kepentingan, serta ketegangan antara kebebasan dengan ketertiban. Karena
itu,
tidak
keliru
apabila
Samuel
P.
Huntington
pernah
mengutarakan bahwa:”lembaga yang kuat dan terinstitusionalisasi akan menjanjikan terbangunnya sistem demokrasi yang lebih baik.”9 Sebuah lembaga sudah seharusnya memiliki kepribadiannya sendiri dan bukan merupakan hasil dari agregasi perilaku orang-perorangnya. Sehingga dalam mempelajari sebuah proses kelembagaan (institusionalisasi) kita harus memiliki frame yang jelas untuk hal tersebut.
B. Konsep Perwakilan Perwakilan Politik seperti yang dikemukakan oleh Hanna Pitkin, bahwa perwakilan termasuk konsep yang sering diperdebatkan maknanya di dalam ilmu politik. Perdebatan itu, diantaranya berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh para wakil ketika berhadapan dengan terwakil, yaitu apakah akan bertindak sebagai ’delegates’ ataukah sebagai ’trustees’. Sebagai ’delegates’, para wakil semata-mata hanya mengikuti apa yang menjadi pilihan dari para konsituen. Sementara itu, sebagai ’trustees’ berarti para wakil mencoba untuk bertindak atas nama para
9
Ibid.13
15
wakil
sebagaimana
para
wakil
itu
memahami
permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh konstituen10. Diantara dua pandangan itu, terdapat pandangan ketiga, yakni ketika para wakil bertindak sebagai ’politico’. Disini, para wakil bergerak secara kontitum antara ’delegates’ dan ’trustees’. Di satu sisi, para wakil harus bertindak sebagaimana dikehendaki oleh terwakil (the autonomy of the represented), sehingga akuntabel. Di sisi lain, mereka juga memiliki kemampuan secara lebih independen dari keinginan-keinginan para terwakil (the autonomy of representative). Berdasarkan argumen diatas, Pitkin mengelompokkan perwakilan dalam empat kategori, yakni : Perwakilan Formal (formalistic representation) Dalam kategori ini, perwakilan dipahami dalam dua dimensi: otorisasi dan akuntabilitas. Dimensi pertama berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan kepada wakil. Ketika para wakil melakukan sesuatu
diluar
otoritasnya,
dia
tidak
lagi
menjalankan
fungsi
perwakilannya. Sedangkan dimensi akuntabilitas menuntut adanya pertanggungjawaban dari para
wakil tentang apa
yang telah
dikerjakan. Perwakilan Deskriptif (descriptive representation) Para wakil biasanya merefleksikan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat tetapi tidak secara inheren melakukan sesuatu untuk kepentingan orang-orang yang diwakilinya.
10
Prof. DR. Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Kencana, 2010, hal 39
16
Perwakilan Simbolik (symbolic representation) Para wakil merupakan simbol perwakilan dari kelompok atau bangsa yang diwakili. Seperti dikatakan Pitkin bahwa ’all reprensetation as kind of symbolization, so that polical representative is to be understood on the model of flag representing a cult.’ Perwakilan Subtantif (substantive representation) Para wakil bertindak sebaik mungkin atas keinginan dan kehendak orang-orang yang diwakilinya atau publik (acting in the best interest of the public). Terlepas dari pemaparan diatas, perwakilan sebenarnya bukan sekedar pada relasi antara kelompok wakil dan terwakil. Ada empat hal terkait dengan konsep perwakilan. Pertama adalah adanya sekelompok orang yang mewakili, yang termanifestasi ke dalam bentuk lembaga perwakilan, organisasi, gerakan, dan lembaga-lembaga negara yang lain. Kedua, adanya sekelompok orang yang diwakili, seperti konstituen dan klien.
Ketiga,
adanya
sesuatu
yang
diwakili,
seperti
pendapat,
kepentingan, dan perspektif. Terakhir adalah konteks politik di mana perwakilan itu berlangsung. B.1 Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Pada UUD 1945 Pasal 28 jelas mengatakan pengakuan Hak Asasi bagi setiap warga negaranya adalarh sama. Setiap warganya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa ada batasan. Sehingga hak politik perempuan ditetapkan
17
melalui instrumen hukum dengan meratifikasi dengan berbagai konvensi yang menjamin hak-hak dalam perpolitikan tersebut. Hak-hak perpolitikan perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya konvensi PBB yang menjelaskan beberapa hal: 1. Perempuan berhak dalam memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama bagi laki-laki, tanpa suatu diskriminasi. 2. Perempuan berhak untuk dipilih bagi semua badan yang telah dipilih secara umum, diatur oleh hukum nasional dengan syaratsyarat yang sama dengan laki-laki dan tanpa ada diskriminasi. 3. Perempuan
berhak
untuk
memegang
jabatan
publik
dan
menjalankan semua fungsi publik, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki11. Pada tanggal 4 Januari di undangkan sebuah Undang-Undang partai politik baru yaitu UU No. 2 Tahun 2008 sebagai pengganti UU.No. 31 tahun 2002. Dan juga UU. No 2 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan peluang bagi perempuan untuk berkiprah dikancah perpolitikan karena jika dilihat dalam UU tersebut maka indonesia berusaha keluar dari sistem yang bersifat patriarki.
11
Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007, hal 155-157
18
Perjuangan dalam menggolkan perempuan di parlemen bukan hanya memperjuangkan kuantitas saja tetapi, hal yang paling penting adalah kualitas perempuan. bagaimana perempuan dapat memiliki kepekaan dan komitmen untuk mewujudkan kesetaraan, pemberdayaan perempuan dan keadilan. Keikutsertaan perempuan dalam politik dapat menyumbangkan pemikiran terhadap permasalahan politik yang sangat diperlukan. Ada beberapa
hal
yang
menyebabkan
perempuan
harus
ikut
dalam
pengambilan kebijakan : 1. Perempuan adalah separuh penduduk dunia sehingga secara demokratis pendapat dari perempuan harus dipertimbangkan. Dalam demokrasi pandangan kelompok-kelompok yang berbeda jenis harus diformulasikan dan dipertimbangkan dalam setiap kebijakan. 2. Partisipasi poliitik perempuan diharapkan dapat mencegah kondisi yang
tidak
menguntungkan
bagi
kaum
perempuan
dalam
menghadapi masalah steriotipe terhadap perempuan, diskriminasi dibidang hukum, kehidupan sosial dan kerja dan juga eksploitasi terhadap perempuan. 3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan politik dapat berpengaruh
pada
pengambilan
keputusan
politik
yang
mengutamakan perempuan.
19
4. Keterwakilan politik perempuan dalam parlemen akan membuat perempuan lebih berdaya untuk terlibat dalam pembuatan budget berperspektif gender. Penggunaan analisa berperspektif gender akan meningkatkan efektivitas kebijakan sehingga penggunaan uang publik juga akan mempertimbangkan perspektif gender tersebut.
B.2 Politik Gender Gender merupakan suatu wacana yang menarik dan sedang juga menjadi perhatian masyarakat sehingga ada suatu gerakan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pada suatu sisi hubungan gender menjadi persoalan tersendiri, hal ini disebabkan karena persoalan emansipasi wanita masih belum mendapat posisi yang sepenuhnya bisa diterima. Perempuan seharusnya tidak diikat oleh aturan patriarki karena hal ini dapat membuat posisi perempuan semakin lemah dan dapat menghambat pekerjaan atau pendidikan yang sedang mereka jalani. Sehingga pada posisi inilah dibutuhkan pengertian atau konsep gender agar masyarakat bisa membedakan emansipasi perempuan dan gender. Konsep gender pertama sekali di bedakan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oaekley dimana ia membedakan antara seks dan gender. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yang menyangkut prokreasi (menyusui, hamil, melahirkan dan menstruasi).
20
Perbedaan
gender adalah
perbedaan simbolis
atau
sosial yang
berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Dalam khasanah ilmu-ilmu sosial, istilah gender diperkenalkan untuk mengacu pada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis. Jadi bila dimaknai lebih dalam bahwa rumusan gender merujuk pada perbedaanperbedaan antara perempuan dan laki-laki yang merupakan konstruksi dan terbentuknya masyarakat secara sosial, ekonomi dan politik12. Gender adalah perbedaan peran, perilaku, tingkah laki-laki dan perempuan oleh budaya masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Jadi gender tidak diperoleh sejak lahir tetapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa13. Di indonesia kesetaraan gender sudah mulai dirasakan sejak emansipasi yang dicita-citakan oleh kartini sedikit banyak telah
melahirkan
perubahan-perubahan
pada
aspek
kehidupan
perempuan indonesia. Ditambah lagi dengan adanya undang-undang untuk memasukkan perempuan dalam lembaga politik formal, sehingga semakin tampak perjuangan keadilan terhadap gender.
12
Leo Agustino, Politik Ilmu Politik: sebuah bahasan memahami ilmu politik, PT.Graha Ilmu, Yogyakarta 2007, hal.227 13 Harmona Daulay, Perempuan Dalam Kemelut Gender, USU Press, Medan 2007, hal.4
21
C. Kerangka Pemikiran Kuota 30 % perempuan dalam parlemen membuka ruang bagi kaum perempuan untuk berperan aktif dalam politik dalam merumuskan kebijakan
politik.
Keterwakilan
perempuan
diharapkan
mampu
memperjuangkan kepentingan perempuan. Walaupun kuota 30% belum mencukupi target namun setidaknya telah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk dapat bersama menyusun kebijakan. Pada pemilihan umum legislatif 2009 di Kota Makassar, terpilih tujuh orang perempuan untuk duduk di DPRD Kota Makassar. Kehadiran anggota legislatif perempuan di Kota Makassar diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai wakil rakyat lebih khusus merespon kepentingan perempuan di Kota Makassar. Skema Pikir
Keterwakilan Perempuan dalam Politik (Kuota 30 %)
DPRD KOTA MAKASSAR
Peran Legislatif Perempuan Merespon Kepentingan Perempuan Kota Makassar 1. Memperjuangkan kepentingan perempuan dalam proses legislasi (membuat perda), dan Musrembang Perempuan Kota Makassar. 2. Melakukan fungsi kordinasi dengan LSM pemerhati perempuan dan Lembaga Pemberdayaan Perempuan.
22
BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini ada lima aspek yang akan dibahas, diantaranya sebagai berikut : Lokasi Penelitian, Tipe dan Dasar Penelitian, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis Data. Kelima hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut seperti berikut.
A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini akan dilakukan di Kantor DPRD Kota Makassar, provinsi Sulawesi Selatan. Alasan pemilihan lokasi sebagai upaya untuk menggambarkan peran anggota legislatif perempuan di Kota makassar dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat (perempuan) yang ada di Kota Makassar. Kota Makassar merupakan salah satu daerah yang jumlah anggota legislatif perempuannya sudah lumayan banyak, meskipun belum mencapai kuota tiga puluh persen. Anggota legislatif perempuan yang ada di DPRD Kota Makassar ada tujuh orang, dari lima puluh anggota DPRD keseluruhan. Jika dipersentasekan, maka jumlah tersebut telah mencapai 14 %. Dengan jumlah anggota legislatif perempuan yang sudah cukup banyak tersebut, maka besar harapan bahwa kepentingan masyarakat khususnya perempuan di Kota makassar akan terpenuhi. Oleh sebab itulah, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di DPRD Kota Makassar.
23
B. Tipe dan Dasar Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian diarahkan untuk menggambarkan fakta dengan argument yang tepat. Penelitian dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Tujuan penelitian deksriptif adalah untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta. Namun secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta. Namun demikian, dalam perkembangannya selain menjelaskan tentang situasi atau kejadian yang sudah berlangsung sebuah penelitian deskriptif juga dirancang untuk membuat komparasi maupun untuk mengetahui hubungan atas satu variabel kepada variabel lain. Dasar penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Riset kualitatif menganalisis perilaku dan sikap politik yang tidak dapat atau tidak di anjurkan untuk di kuantifikasikan. Dengan kata
lain
penelitian
kualitatif
cenderung
fokus
pada
usaha
mengeksplorasikan sedetail mungkin sejumlah contoh atau peristiwa yang dipandang menarik dan mencerahkan, dengan tujuan untuk mendapatkan pamahaman yang mendalam. Karena itu pada umumnya diakui bahwa penelitian dengan kualitatif memberikan kesempatan ekspresi dan penjelasan yang lebih besar14.
14
Lisa Harison, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset, 2009, hal 86
24
C. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer Peneliti membutuhkan data untuk membuktikan fakta dilapangan. Data yang diperoleh melalui lapangan atau daerah penelitian dari hasil wawancara mendalam dengan informan dan observasi langsung. Peneliti akan turun langsung ke daerah penelitian untuk mengumpulkan data dalam berbagai bentuk, seperti rekaman hasil wawancara dan foto kegiatan di lapangan. Dari proses wawancara peneliti berharap akan mendapatkan data-data seperti, pelaksanaan fungsi dan peran anggota legislatif perempuan di DPRD Kota Makassar. 2. Data sekunder Dalam penelitian penulis juga melakukan telaah pustaka, yaitu mengumpulkan data dari penelitian sebelumnya berupa buku, jurnal, koran, mengenai peran dan fungsi DPRD dalam penyelenggara otonomi daerah serta sumber informasi lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
25
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu: 1. Wawancara Mendalam Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara. Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Proses pengumpulan data dengan wawancara mendalam peneliti membaginya menjadi dua tahap, yakni : Pertama peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan demensi kebermaknaan hidup sesuai dengan permasalahan yang dihadapi subjek. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaanpertanyaan
mendasar
yang
nantinya
akan
berkembang
dalam
wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, ditunjukan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat
masukan
mengenai
isi
pedoman
wawancara.
Setelah
mendapat masukan dan koreksi dari pembimbing, peneliti membuat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Tahap persiapan selanjutnya adalah peneliti
26
membuat pedoman observasi yang disusun berdasarkan hasil observasi terhadap perilaku subjek selama wawancara dan observasi terhadap lingkungan atau setting wawancara, serta pengaruhnya terhadap perilaku subjek dan pencatatan langsung yang dilakukan pada saat peneliti melakukan observasi. Namun apabila tidak memungkinkan maka peneliti sesegera mungkin mencatatnya setelah wawancara selesai. Peneliti selanjutnya mencari subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Sebelum wawancara dilaksanakan peneliti bertanya kepada subjek tentang kesiapanya untuk diwawancarai. Setelah subjek bersedia untuk diwawancarai, peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara. Kedua, Peneliti membuat kesepakatan dengan subjek mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang dibuat. Setelah wawancara dilakukan, peneliti memindahakan hasil rekaman berdasrkan wawancara dalam bentuk tertulis. Selanjutnya peneliti melakukan analisis data dan interprestasi data sesuai dengan langkah-langkah yang dijabarkan pada bagian metode analisis data di akhir bab ini. setelah itu, peneliti membuat dinamika psikologis dan kesimpulan yang dilakukan, peneliti memberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sehingga wawancara tetap berada pada fokus penelitian, meski tidak menutup kemungkinan terdapat pertanyaan-pertanyaan berlanjut.
27
Informan yang dipilih adalah informan yang benar paham dan mengetahui permasalahan yang dimaksud. Informan yang akan penulis wawancarai terdiri dari: 1. Anggota DPRD Kota Makassar periode 2009-201415, yakni : -
Kartini E Galung, SS (Sekretaris Komisi A)/Perempuan
-
Shinta Mashita Molina, A.Md (Anggota Komisi A)/Perempuan
-
Hj. Sri Rahmi (Ketua Komisi B)/Perempuan
-
Nurmiati,SE (Anggota Komisi A)/Perempuan
-
Hj. Erna Amin (Anggota Komisi D)/Perempuan
-
A. Rahmatika Dewi Y,S.Kg (Anggota Komisi D)/Perempuan
-
Haidar Majid, S.sos (Wakil Ketua DPRD)/laki-laki
-
Mujiburrahman B. S.sos (Wakil Ketua Komisi C)/laki-laki
2. Anggota DPRD Sulsel -
Andi Mariattang, S.Sos/Perempuan
3. Lembaga Pemberdayaan Perempuan -
Daniaty (Ketua divisi Perempuan dan Anak)
2. Arsip / Dokumen Metode atau teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dan informasi
melalui
pencarian
dan
penemuan
bukti-bukti.
Metode
dokumenter ini merupakan metode pengumpulan data yang berasal dari 15
http://gasa-storyofmylife.blogspot.com/2010/10/nama-nama-anggota-dprd-kotamakassar.html diakses pada tanggal 17 April 2012 Pukul 12.43 WITA
28
sumber non manusia. Dokumen berguna karena dapat memberikan latar belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian. Dokumen dan arsip mengenai
berbagai
hal
yang
berkaitan
dengan
fokus
penelitian
merupakan salah satu sumber data yang paling penting dalam penelitian. Dokumen yang dimaksud adalah dokumen tertulis, gambar/foto.
E. Teknik Analisis Data Adapun teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah secara kualitatif untuk mendapatkan penjelasan mengenai upaya anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan perempuan di kota Makassar. Adapun angka-angka yang muncul dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk dianalisa secara kuantitatif, akan tetapi hanya sebagai pelengkap memperkuat analisa kualitatif demi pencapaian tujuan penelitian.
29
BAB IV GAMBARAN OBJEK PENELITIAN
DPRD Kota Makassar Salah satu wujud tata kepemerintahan yang baik itu terdapatnya citra pemerintahan yang demokratis. Prinsip demokrasi yang paling penting adalah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat dimana pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah dan negara, oleh karena kebijakan itu menentukan kehidupan rakyat. Dalam sistem penyelenggaraan kenegaraan, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
(DPRD)
ditetapkan
sebagai
salah
satu
unsur
penyelenggara pemerintahan Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah penyelenggara urusan DPRD dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Susunan DPRD terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Adapun alat kelengkapan DPRD terdiri atas ; pimpinan, Badan musyawarah, Komisi, Badan Legislasi Daerah, Badan Anggaran, Badan Kehormatan, dan alat kelengkapan lainnya yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam menjalankan tugasnya, maka alat kelengkapan dibantu oleh
30
sekretariat yang berasal dari pegawai negeri sipil (PNS). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai fungsi : a. Legislasi, merupakan fungsi DPRD untuk membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah. b. Anggaran, merupakan fungsi DPRD yang bersama-sama dengan pemerintah
daerah
menyusun
dan
menetapkan
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, yang di dalamnya termasuk anggaran untuk pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang DPRD. c. Pengawasan, merupakan fungsi DPRD untuk melaksananakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, peraturan daerah, dan keputusan kepala daerah serta kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah daerah.
DPRD Kota Makassar adalah lembaga legislatif daerah yang merupakan lembaga perwakilan rakyat Kota Makassar. DPRD mempunyai tugas dan wewenang : 1.
Membentuk peraturan daerah bersama Walikota.
2.
Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai APBD yang diajukan oleh Walikota.
3.
Melaksanakan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
peraturan
daerah dan APBD. 4.
Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Walikota dan/atau Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui
31
Gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian. 5.
Memilih Wakil Walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Walikota.
6.
Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.
7.
Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
8.
Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
9.
Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
10.
Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan
11.
Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pimpinan DPRD adalah alat kelengkapan DPRD dan merupakan
satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif.
Pimpinan DPRD
mempunyai tugas : •
Memimpin sidang DPRD dan menyimpulkan hasil sidang untuk mengambil keputusan;
32
•
Menyusun rencana kerja pimpinan dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;
•
Melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPRD;
•
Menjadi juru bicara DPRD;
•
Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD;
•
Mewakili DPRD dalam berhubungan dengan lembaga/instansi lainnya;
•
Mengadakan
konsultasi
dengan
Walikota
dan
pimpinan
lembaga/instansi vertikal lainnya sesuai dengan keputusan DPRD; •
Mewakili DPRD di pengadilan;
•
Melaksanakan Keputusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
•
Menyusun rencana anggaran DPRD bersama sekretariat DPRD yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
•
Menyampaikan laporan kinerja pimpinan DPRD dalam rapat paripurna DPRD yang khusus diadakan untuk itu.
33
Tabel.01 Pimpinan DPRD Kota Makassar
No
Nama
Jabatan
Partai
1.
Ir. FAROUK M. BETTA, MM
Ketua DPRD Kota Makassar
Partai Golongan Karya
2.
HAIDA MAJID, S.Sos
Wakil Ketua DPRD Kota Makassar
Partai Demokrat
Drs. SYAMSU NIANG, M.Pd
Wakil Ketua DPRD Kota Makassar
Partai Demokrasi Kebangsaan
H.M. BUSRAH ABDULLAH, SE
Wakil Ketua DPRD Kota Makassar
Partai Amanat Nasional
3
4
Jumlah anggota DPRD Kota Makassar tahun 2010 sebanyak 50 orang merupakan wakil dari tujuh fraksi, 7 orang adalah perempuan, hal ini menunjukan bahwa
kaum perempuan telah diperhitungkan untuk
menduduki jabatan legislatif, sekalipun porsinya masih relatif kecil sebesar 14 %. Dalam menjalankan tugasnya DPRD Kota Makassar telah menghasilkan 4 peraturan daerah, 15 keputusan dewan, dan 12 keputusan pimpinan dewan.
34
Tabel. 02 Anggota DPRD Makassar Menurut Fraksi Fraksi Laki- Laki Perempuan Golkar 10 1 Demokrat 9 PAN 5 PDK 4 1 PKS 4 1 Makassar Bersatu 7 2 Persatuan Nurani 4 2 Sumber: Makassar Dalam Angka Tahun 2011
Tabel. 03 Anggota DPRD Makassar Menurut Komisi Komisi Laki- Laki Perempuan Komisi A 9 3 Komisi B 9 2 Komisi C 12 Komisi D 9 2 Unsur Pimpinan Dewan 4 Sumber: Makassar Dalam Angka Tahun 2011
KOMISI A
Nama
Kedudukan
Unsur
No
1.
Rahman Pina, SIP
Ketua
Fraksi Golongan Karya
2
Busranuddin BT, SE
Wakil Ketua
Fraksi Persatuan Nurani
35
3
Mustagfir Sabry, S.Ag., M.Si
Sekertaris
Fraksi PDK
4
A. Fadly F. Dharwis, SE
Anggota
Fraksi Demokrat
5
Imran Mangkona, SH
Anggota
Fraksi Demokrat
6
Kartini E. Galung, SS
Anggota
Fraksi Makassar Bersatu
7
Yusuf Gunco, SH, MH
Anggota
Fraksi Golkar
8
Drs. H.A. Hasir, HS
Anggota
Fraksi Golkar
9
Drs. Abdul Rauf Rachman, SH
Anggota
Fraksi PAN
10
Asriady Samad, A.Md
Anggota
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
36
11
H. Muh. Arfan Fajar, SE
Anggota
Fraksi Makassar Bersatu
12
Nurmiati, SE
Anggota
Fraksi Persatuan Nurani
Bidang Pemerintahan Meliputi: Pemerintahan Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat Informatika/Komunikasi dan Pengelolaan Data Elektronik Media Massa Hukum/Perundang-undangan dan HAM Kepegawaian /Aparatur Perizinan Organisasi Sosial Politik Organisasi Sosial Masyarakat dan Pertanahan Kependudukan Umum
Komisi B No
Nama
Kedudukan
Unsur
1
Irwan, ST
Ketua
Fraksi PKS
2
Ir. Haeruddin Hafid
Wakil Ketua
Fraksi P Demokrat
37
3
H. Bahar Machmud
Sekertaris
Fraksi Makassar Bersatu
4
Hj. Sri Rahmi
Anggota
Fraksi PKS
5
Drs. Lukman Basra, M.Pd
Anggota
Fraksi PAN
6
Haris Yasin Limpo
Anggota
Fraksi Partai Golkar
7
H. Hasanuddin Leo, SE,M.Si.Ak
Anggota
Fraksi PDK
8
Abdul Wahab Tahir, S.Sos
Anggota
Fraksi Partai Golkar
9
A.Endre M.Cecep Lantara, SE, AK
Anggota
Fraksi P Demokrat
38
10
Erik Horas, SE
Anggota
Fraksi Makassar Bersatu
11
Hj. ST.Muhyina Soefian, SIP,MM
Anggota
Fraksi Makassar Bersatu
12
Hamzah Dorahing, SE,AK, M.Si
Anggota
Fraksi Persatuan Nurani
Bidang Perekonomian dan Keuangan: Perdagangan Perindustrian Pertanian Perikanan dan Kelautan Peternakan Perkebunan Kehutanan Pengadaan pangan / logistik Koperasi dan UKM Pariwisata Keuangan Daerah Perpajakan Retribusi Perbankan Perusahaan Daerah Perusahaan Patungan Dunia usaha dan Penanaman Modal
Komisi C Nama - H. Nasran Mone, S.Ag.,MM - Mujiburrahman B., S.Sos - H. Zaenal. DG. Beta, S.Sos
Jabatan
Fraksi
Ketua Wakil Ketua Sekertaris
Golkar PDK Golkar
39
- Ir. H. Muh. Iryanto Ahmad - Imran Tenri Tata, SE - Ir. H. Bakhrif Arifuddin - Adi Rasyid Ali, SE - Mudzakkir Ali Djamil, ST - Drs. Amar Busthanul - Nelson Marnanse Kamisi, ST - Drs. H. M. Yunus HJ
Golkar Golkar Demokrat Demokrat PKS Gerindra PDS Hanura
Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Bidang Pembangunan: • • • • •
Perhubungan Tata Ruang Badan Lingkungan hidup Pertmanan Kebersihan
Komisi D No
Nama
Kedudukan
Unsur
1.
Nuryanto G. Liwang, S.Sos
Ketua
Fraksi Partai Demokrat
2
Hamzah Hamid, S.Sos
Wakil Ketua
Fraksi PAN
3
Drs. Rahman, SE, M.Si
sekertaris
Fraksi Makassar Bersatu
4
Rafiuddin Kasude,SE
Anggota
Fraksi Partai Golkar
5
A. Rahmatika Dewi Y, S.Kg
Nggota
Fraksi Partai Golkar
40
6
Ir. Soewarno Soedirman
Anggota
Fraksi Partai Demokrat
7
Dra. Hj. Erna Amin
Anggota
Fraksi PDK
8
Muh. Iqbal Abdul Djalil, LC
Anggota
Fraksi PKS
9
Ir. Stefanus Swardy Hiong
Anggota
Fraksi Makassar Bersatu
10
Shinta Mashita Molina, A.Md
Anggota
Fraksi Persatuan Nurani
11
Muh. Amin
Anggota
Fraksi Persatuan Nurani
Bidang Kesejahteraan Rakyat: • • • • • • • • •
Ketenagakerjaan Pendidikan Ilmu Pengetahuan & Teknologi Kepemudaan & Olah Raga Agama Kebudayaan Sosial Kesehatan & Keluarga Berencana Peranan Wanita
41
BAB V HASIL PENELITIAN
Upaya Anggota Legislatif Perempuan dalam Mengakomodasi Kepentingan Perempuan di Kota Makassar Demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat
yang
demokratis
(free
societies).
Pemerintah
daerah
dipandang sebagai pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan
dan
kecenderungan
anti‐demokratis
di
dalam
suatu
pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Di dalam transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat. Demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu di antara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila dibandingkan dengan di tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam berdemokrasi.
42
Munculnya gagasan penguatan demokrasi di daerah pada dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi itu sendiri. Sebagaimana dikemukan oleh Robert A. Dahl, disamping untuk menghindari munculnya tirani, demokrasi juga bermaksud untuk mencapai tujuan‐tujuan yang lain. Diantaranya adalah terwujudnya hak‐hakesensial individu, terdapatnya kesamaan politik, munculnya moral otonomi, terdapatnya kesempatan untuk menentukan posisi dari diri individu, dan adanya kesejahteraan.16 Dalam konteks pendekatan institusional kelembagaan, munculnya demokratisasi di daerah melalui penguatan peran dan fungsi DPRD diharapkan tidak hanya memiliki muara terhadap kebebasan rakyat di daerah untuk menyampaikan aspirasinya. Proses itu diharapkan bisa melahirkan kemakmuran dan kesejateraan rakyat melalui DPRD yang akuntabel dan profesional. Namun banyak faktor yang mempengaruhi gerak
langkah
DPRD
dalam
memperjuangkan
aspirasi
rakyat.
Pertama‐tama soal status dan kedudukan DPRD itu sendiri. Meskipun sama‐sama dipilih melalui mekanisme pemilu yang sama dengan DPR, keberadaan DPRD sebagai lembaga legislatif di tingkat lokal masih sering dipertanyakan. Hal itu dikarenakan DPRD memiliki dua kapasitas. Selain sebagai lembaga legislatif di tingkat lokal, DPRD juga adalah bagian dari
16
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan oleh Sahat Simamora, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, Hlm. 45.
43
pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah salah satu lembaga negara yang disebut dalam UUD 1945. Pemerintahan daerah yang memiliki DPRD tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang dijalankan adalah otonomi seluas‐luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang‐undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hanya enam urusan yang mutlak menjadi wewenang pusat, yaitu (1) politik luar negeri, (2) pertahanan, (3) keamanan, (4) yustisi, (5) moneter dan fiskal nasional, dan (6) agama.11 Urusan‐urusan lain di luar enam urusan ini menjadi kewenangan pemerintahan daerah sepanjang pemerintahan yang bersangkutan dapat melaksanakannya sendiri. Sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah, DPRD mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara
laki-laki
dan
perempuan
dalam
pengambilan
keputusan.
Kesetaraan kesempatan dalam pengambilan keputusan akan mewujudkan persamaan peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam kuasa pengambilan
keputusan
sehingga
kepentingan
perempuan
dapat
perjuangkan. Pengalaman, kepentingan, dan daya tanggung perempuan dan laki-laki seharusnya menjadi pertimbangan dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga semua kebijakan publik
44
memberikan manfaat yang sama adilnya bagi perempuan dan laki-laki. Perjuangan mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen adalah salah satu strategi mewujudkan kesetaraan gender di bidang politik, terutama dalam hal pengambilan keputusan. Tujuan akhir dari perjuangan mewujudkan kesetaraan gender dalam politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen adalah mencapai keadilan bagi perempuan dan laki-laki (keadilan gender) di segala aspek kehidupan. Merujuk pada pengertian politik, yakni merupakan suatu usaha untuk mencapai tatanan masyarakat yang terbaik, politik perempuan juga tidak jauh berbeda, tetap memiliki esensi yang sama. Namun tatanan masyarakat yang baik dalam konteks politik perempuan ialah terciptanya keseimbangan ataupun kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya politik praktis. Kaum perempuan harus tahu bahwa dalam Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 %, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dan Pasal 53 UU mengatakan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 % keterwakilan perempuan. Ada yang pro dan ada yang kontra tentang
45
keterwakilan perempuan di parlemen. Seperti yang diungkapkan Shinta Mashita Molina: “dalam UU telah diatur tentang keterwakilan perempuan 30 % di palemen, memang ada sedikit masalah dan perdebatan dengan kuota perempuan 30 % tapi kita harus bersyukur karena ini sudah menjadi pintu untuk kita perempuan berpartisipasi, kalau tidak maka lelaki akan mendominasi.”17 Undang-Undang tentang keterwakilan 30% perempuan di parlemen telah membuka ruang demokrasi bagi perempuan untuk dapat lebih lagi masuk dalam sistem politik dan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen, namun banyak juga yang kurang begitu sepakat dengan kuota 30 % perempuan di parlemen dikarenakan secara tersirat membatasi jumlah perempuan di parlemen seperti yang dikatakan Kartini E. Galung: “menurut saya ada kekeliruan dalam UU keterwakilan perempuan, dari redaksi 30 persen tersirat bahwa perempuan di batasi dalam parlemen, sebenarnya tidak usah ada redaksi begitu sehingga tidak di batasi, asalkan mereka mampu dalam melakukan fungsi sebagai wakil rakyat. Lebih dari itu bisa, dan perempuan dari dulu sudah melakukan dan terlibat dalam perjuangan bersama rakyat.”18
Sesungguhnya
jaminan
persamaan
kedudukan
laki-laki dan
perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945, tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang lengkapnya berbunyi :
17
Wawancara dengan Shinta Mashita Molina, anggota DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi D), pada tanggal 26/09/2012 pukul 16.05 Wita 18 Wawancara dengan Kartini E. Galung Anggota DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi A), pada tanggal 14/8/2012 pukul 13.17 wita
46
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Kebebasan semestinya diberikan kepada laki-laki dan perempuan tanpa harus memberikan kuota minimal terhadap perempuan. Hal itu karena pemberian kuota dianggap merupakan pembentukan sekat yang baru antara laki-laki dan perempuan. Padahal semestinya antara laki-laki dan perempuan tidak ada jurang pemisah. Melainkan mereka harus bekerja bersama secara sinergis dan saling melengkapi, agar tercapai suatu hasil (dalam hal ini produk politik atau kebijakan) yang efektif dan mewakili semua kepentingan. Pemberian kuota sama halnya dengan pemberian batasan atas perempuan itu sendiri, karena hanya dilihat dari segi kuantitas. Padahal semestinya juga harus melihat aspek kualitas, dalam hal ini bagaimana posisi dan peran perempuan itu didalam sistem nantinya. Perwakilan
perempuan
di
legislatif
diharapkan
dapat
mengartikulasikan kebutuhan kaumnya dalam setiap proses politik yang menghasilkan kebijakan untuk kepentingan perempuan. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah tanggungjawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu. Selain itu, perlu diakui kenyataan bahwa perempuan sudah terbiasa menjalankan
47
tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok – kelompok pengajian. Alasan tersebut tidak hanya ideal sebagai wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman organisasi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Argumen tersebut juga menunjukkan bahwa perempuan dekat dengan isu-isu kebijakan publik dan relevan untuk memiliki
keterwakilan
dalam
jumlah
yang
signifikan
dalam
memperjuangkan isu-isu kebijakan publik dalam proses kebijakan, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Lahirnya kuota perempuan melalui undang-undang tersebut sebenarnya menjadi berita baik bagi kaum perempuan. Secara tekstual, undang-undang tersebut memang baru mengakui adanya kebutuhan untuk melibatkan perempuan dalam partai politik sebagai upaya agar perempuan dapat memperoleh akses yang lebih luas dalam pengambilan keputusan. Pesan semacam itu tidak terdapat dalam regulasi sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Apabila dicermati secara lebih mendalam, terutama dalam undang-undang partai politik, kebijakan kuota perempuan ini sebenarnya sangat lemah. Hal itu tercermin dari tidak adanya penekanan secara eksplisit tentang keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan partai. Maka dari itu tidak ada jaminan bahwa penyertaan 30% perempuan di dalam keanggotaan partai politik akan secara otomatis mengubah paradigma
48
partai untuk berpihak kepada perempuan. Ketidaktegasan aturan dalam undang-undang tersebut juga menyebabkan angka 30% menjadi angka yang meragukan untuk dapat terwujud. Adanya kebebasan berpolitik bagi kaum perempuan atau lahirnya politik perempuan ternyata juga dianggap sebagai salah satu faktor atau indikator dari kemajuan suatu negara. Suatu negara dianggap belum maju atau masih tertinggal apabila belum memberikan kebebasan atau kesempatan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam ranah politik. Sebab kesetaraan adalah salah satu aspek dari penegakan Hak Azasi Manusia yang merupakan ciri dari negara demokrasi. DPRD Kota Makassar pada pemilu legislatif 2009 terpilih 7 orang anggota legislatif perempuan, sehingga belum mencapai kuota 30 % yang disediakan, seperti yang diungkapkan Mujiburrahman : “Jika melihat kuota belum tercapai disini, seharusnya sekitar 16 orang tapi disini hanya 7 orang, tapi dari segi peran, kualitas mereka, serta fungsi, mereka itu menyeimbangkan semua, antar tugas dirumah dan di DPRD, secara kuantitatif belum, tapi secara kualitas saya tidak meragukan, saya berharap akan bertambah lagi perempuan di DPRD pada periode berikutnya.”19 Hal senada juga diungkapkan Haidar Majid: “Perempuan lebih banyak lebih cepat menampung aspirasi, dan mereka bertujuh disini sudah terlatih, mereka sangat memperhatikan isu dan sensitif melihat aspirasi diluar yang ditujukan ke DPRD, menanggapi aspirasi kepada panggilan hati dan jika ada datang kesini dan memberi aspirasi mereka lebih cepat merespon, saya harus akui bahwa anggota legislatif disini
19
Wawancara dengan Mujirrahman B, S.Sos anggota DPRD Kota Makassar (Wakil Ketua Komisi C) pada tanggal 25/09/2012 pukul 14.52 Wita
49
mereka punya kemampuan dan terlatih. Mereka kalah kuantitas , tetapi kualitas jangan diragukan.”20
Dari pernyataan kedua narasumber diatas penulis menyimpulkan bahwa secara kuantitas jumlah kuota 30 % keterwakilan perempuan di DPRD Kota Makassar belum terpenuhi, namun secara kualitas ke tujuh anggota legislatif perempuan tersebut telah menunjukan kapasitas mereka sebagai wakil perempuan di DPRD yang berupaya untuk selalu memperjuangkan
kepentingan
rakyat,
khususnya
perempuan.
Perempuan Kota Makassar bisa semakin meningkatkan peran sosial secara kuantitatif maupun kualitatif di berbagai bidang ruang publik. Karena itu perempuan harus diletakkan sebagai subyek pembangunan yang memiliki akses, kontrol, dan manfaat dari berbagai kebijakan publik. Adapun tugas yang dijalankan perempuan sebagai anggota dewan adalah: 1. Mengembangkan jaringan lintas fraksi antara perempuan di parlemen guna memperkuat basis dalam memperjuangkan kepentingan perempuan. 2. Mempertegas pasal tentang kuota perempuan 3. Memperjuangkan Undang-undang (perda) yang menjamin peran perempuan diranah publik dan perlindungan kepada perempuan.
20
Wawancara dengan Haidar Majid S, Sos, Wakil Ketua DPRD Kota Makassar 25/09/2012 pukul 14.52 Wita
50
Berbicara
kepentingan
perempuan
dalam
proses
legislasi
setidaknya menyangkut dua hal. Pertama, adanya produk legislasi yang memperhatikan kepentingan kaum perempuan termasuk di dalamnya perempuan dan anak. Kedua, partisipasi perempuan dalam proses legislasi. Keduanya saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Tabel. 04 Anggota DPRD Perempuan Kota Makassar Partai Komisi Alamat
Nama Kartini E Galung, SS
No. HP
Gerindra
A
Hanura
A
Hj. Sri Rahmi Hj. ST. Muhyina, Muin, SP,MH
PKS PKP
PKS B
Dra. Hj. Erna Amin
PDK
D
Jl. Telaga Raya No. 38, Taman Kayangan Tanjung Bunga Jl. Borong Raya Komp Delta II Jl. BTN Paropo Blok CB Jl. Sunu III Sari Regency Blok C 2 Jl. Taman Makam Pahlawan
Hanura
D
Jl. Baji Gau No.1
Sekwan
Jl. Dr. Ratulangi
Nurmiati, SE
Shinta Mashita Molina, A.Md
Hj. Nuraeni Ma’mur,SH,MH Sumber: Makassar Dalam Angka Tahun 2011
08156093698
08124113925 4880078 0813425883298 081354979740 0811410309 0815240332255 5627866 081342720302
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi sehingga kuota 30 % belum diupayakan secara maksimal oleh perempuan, antara lain : 1. Perempuan menjalankkan dua peran sekaligus, yaitu peran reproduktif serta peran produktif, di dalam maupun diluar rumah. Peran produktif, perempuan berusaha membantu dalam hal pendapatan keluarga. Sedangkan peran reproduktif yaitu peran perempuan
sebagai
nyonya
rumah
(home
maker)
yang
bertanggung jawab atas kegiatan reproduktif dan pekerjaan domesitik. Adanya peran ganda tersebut, membatasi waktu pilihanpilihan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. 51
2. Adanya hambatan budaya yang terkait dengan pembagian kerja secara seksual dan pola interaksi perempuan dengan laki-laki yang membatasi gerak perempuan. Kaum lelaki masih dominan dalam kepengurusan dan kekuasaan di dalam partai politik. seperti diungkapkan oleh Sri Rahmi : “Perempuan harus terbuka untuk diajak pintar, budaya adalah penghalang terbesar dalam keterlibatan perempuan, dimana lelaki yang paling mendominasi.”21 Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh cara pandang dan
sikap
yang
cenderung
melihat
serta
memperlakukan
kaum
perempuan sebagai pelengkap kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya melihat dan menempatkan kaum perempuan sebagai pelengkap laki-laki bahkan dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Secara cultural dimana sudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebih superior) menjadi acuan utama dalam melihat dan menempatkan perempuan, telah menyebabkan peranan perempuan selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang bersifat pelengkap kaum lakilaki, bukan sebagai mitra yang mempunyai kedudukan sejajar sehingga berhak mendapatkan peluang yang sama diberbagai bidang sendi kehidupan.
Hambatan
kultural
merupakan
hambatan
yang
cukup
fundamental karena kultur/budaya akan membentuk persepsi dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bersama 21
Wawancara dengan Hj. Sri Rahmi, anggota DPRD Perempuan Kota Makassar, pada tanggal 10/09/2012 pukul 12.53 wita
52
untuk meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami
dan
memandang
kaum
perempuan
sehingga
kaum
perempuan dapat memainkan peran dan fungsinya lebih maksimal lagi. Untuk dapat terlibat dalam segala aspek kegiatan politik bagi perempuan tidaklah mudah. Kondisi perempuan Indonesia yang dicapai sekarang ini terbentuk oleh adanya kendala yang menghambat partisipasi politiknya. Kendala pokok yang sering sekali dipergunakan sebagai alasan lemahnya partisipasi politik perempuan, keengganan besar perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik. Keengganan ini dikarenakan budaya mereka yang belum memungkinkan bisa aktif menyuarakan dan menyampaikan keinginan serta aspirasinya di bidang politik. Hal senada juga diungkapkan Anggota DPRD Sulsel, Andi Mariattang :
“Perempuan masih kurang minat dan belum nyaman dipolitik, dan masih dominan lelaki dan ada yg merasa kurang cocok, mungkin karena pertarungan dan intrik, Mengapa saya terlibat ? karena saya paham ketika kita terlibat kita bisa memperjuangkan hak rakyat, kalau kita masuk di dalam mungkin bisa lebih efektif, kita punya kekuassan, dan bisa berpendapat, dan kita juga melakukan fungsi pengawasan sebagai anggota dewan.”22 Lingkungan sosial budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan, antara lain wawasan orang tua, adat, penafsiran terhadap ajaran agama yang tidak tepat, tingkat pendapatan keluarga, dan system pendidikan yang diskriminatif. Masih lekatnya budaya tradisional dan kecilnya akses wanita pada penguasaan faktor sosial ekonomi 22
Wawancara dengan Andi Mariattang, S.Sos anggota DPRD Sulsel, pada tanggal 25/10/2012 pukul 13.20 wita
53
menyebabkan terbentuknya image dalam diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria. Birokrasi yang paternalistik, pola pembangunan ekonomi dan politik yang kurang seimbang dan kurang berfungsinya partai politik. Kendala pokok lemahnya partisipasi politik perempuan antara lain berada pada lingkungan social budaya yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan. Selain itu dapat pula bersumber dari kebijaksanaan pembangunan politik yang kurang memadai serta kurang berfungsinya partai politik. Peningkatan partisipasi politik perempuan dapat diupayakan antara lain dengan melalui pendidikan politik yang mampu menciptakan kemampuan dan kesadaran perempuan akan hak dan kewajibannya di bidang politik. Selain itu, menurut analisis penulis pembatasan terhadap mobilitas perempuan yang didasarkan pada pertimbangan keamanan, juga merupakan hambatan yang muncul. Adanya hambatan legal bagi perempuan seperti larangan berpartisipasi dalam politik tanpa seijin suami. Perempuan masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap “menerima” tanpa perlawanan (reserve) sehingga pada akhirnya kaum perempuan lebih dilihat sebagai objek dari pada sebagai subjek yang menjadi mitra kaum laki-laki. Kekerasaan rumah tangga yang sering menempatkan perempuan pada posisi yang lemah, adalah sebuah contoh nyata dimana kaum perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari kaum laki-laki.
54
Lahirnya
UU
KDRT
(Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga)
membuktikan bahwa sering sekali terjadi kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan karena cara pandang kaum pria terhadap perempuan. Begitu pula dalam kasus hubungan suami-istri, kaum perempuan cenderung diperlakukan tidak sejajar dan dalam posisi bargaining yang lemah
sehingga
dominasi
dan
ego
kaum
laki
laki
seolah-olah
mendapatkan tempat yang lebih baik. Pencerahan politik kepada kaum perempuan ini masih sangat jarang. Aspek-aspek historis yang menuturkan peran perempuan dalam kehidupan politik seharusnya diangkat agar ruang politik jangan dikesankan maskulin sehingga membuat kaum perempuan phobia, menekankan pentingnya peningkatan kapasitas dan kompetensi kaum perempuan agar bisa semakin melebarkan peran-peran sosial di dalam ruang publik. Keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol, dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak asasi manusia. Tidak dapat dipungkiri perempuan secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati posisi minoritas. Di Kota Makassar kualitas perempuan sudah dapat dikatakan baik diliat dari potensi, tingkat pendidikan dan strata hidup. Namun untuk terlibat dalam politik minat perempuan Kota Makassar masih terbilang
55
sedikit, mereka lebih nyaman hanya menjadi partisipasi aktif politik dalam memilih, ketimbang harus dipilih, dan perempuan Kota Makassar banyak yang lebih memilih berada pada jajaran jabatan publik ketimbang jabatan politik. seperti yang diungkapkan Daniaty: “Perempuan Makassar sudah dapat dikatakan mampu dan memiliki skill, pemerataan pendidikan perempuan merata semakin meningkat. Perempuan sebenarnya sangat teliti dalam dan peka terhadap aspirasi. Sayangnya mereka masih agak ragu-ragu terlibat dalam jabatan politik, mereka lebih banyak yang suka pada tataran jabatan publik.”23 Terkait peran anggota legislatif perempuan dalam merespon kepentingan
perempuan
di
Kota
Makassar,
Kepentingan
perempuan dapat dibedakan menjadi kepentingan gender “strategis” dan kepentingan gender “praktis”. Kepentingan gender strategis lahir dari analisis subordinasi perempuan dalam masyarakat yang mendorong keinginan untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil gender. Contoh kepentingan gender strategis adalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, pemberian kesempatan bagi perempuan di bidang politik, dan kebebasan bagi perempuan untuk memiliki anak atau tidak, termasuk untuk melakukan aborsi. Tuntutan-tuntutan tersebut identik dengan feminisme. Sementara itu, kepentingan gender praktis berangkat dari kondisikondisi konkret yang dialami perempuan sehari-hari. Kepentingan gender praktis tidak mempersoalkan konstruksi gender yang tidak adil, melainkan 23
Wawancara dengan Daniaty, Ketua Divisi Perempuan dan Anak, Lembaga Pemberdayaan Perempuan Kota Makassar, pada tanggal 06/08/2012 pukul 13.26 wita
56
bersumber dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi perempuan dalam menjalankan fungsi-fungsi mereka sebagai perempuan, seperti masalah pemeliharaan
anak,
perawatan kesehatan,
kebutuhan
sanitasi
lingkungan, air bersih dan pemenuhan kebutuhan pangan. Seperti yang diungkapkan Nurmiati: ‘’Kepentingan perempuan banyak, namun kita masih terbentur gendernisasi, perempuan lebih hebat karena memiliki banyak kepentingan, namun masih belum bisa direalisasi secara optimal”24 Dari penelitian penulis lebih banyak mendapatkan jawaban seluruh perempuan menerjemahkan
kepentingan perempuan
pada tataran
pemenuhan kebutuhan perempuan dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai ibu dan istri. Walaupun menjadi perwakilan perempuan di DPRD Kota Makassar, anggota legislatif perempuan tidak hanya memperjuangkan kepentingan perempuan semata, sebagai anggota
legislatif tetap mengutamakan
kepentingan publik tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. seperti yang diungkapkan Sri Rahmi: “kita merespon kepentingan perempuan, ada juga kepentingan lelaki, jadi kita juga memperjuangkan keduanya dalam politik gender, kesolidan perempuan dalam legislatif diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan, namun ingat kita tidak boleh hanya perempuan saja diperjuangkan tetapi semuanya jika kita hanya berbicara perempuan kita akan diskriminasi, sebagai wakil perempuan seharusnya tidak hanya memperjuangkan
24
Wawancara dengan Nurmiati, SE DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi A), pada tanggal 28/08/2012 pukul 13.25.wita
57
perempuan tapi semua kalangan masyarakat tanpa terkecuali, jadi harus menggunakan politik gender,”25 Pernyataan dari Sri Rahmi penulis pararel dengan apa yang diungkapkan Haidar Majid : “Problematika gender, jangan pisahkan kepentingan perempuan dan lelaki, apa yang membedakan? Jika saya lebih kepada pencapaian kualitas peran-peran perempuan, dimana menyikapi aspirasi yang masuk, secara kualitas ke tujuh nya mampu menerima, membahas dan merespon dengan tindakan, kasus perempuan PHK, ada anggota komisi D Erna Armin yang membela, bukan karena ia perempuan, tapi karena ini kepentingan masyarakat kota Makassar”26 Perjuangan
anggota
legislatif
perempuan
agar
kepentingan
perempuan di segala bidang diperhatikan oleh para anggota dewan bukanlah tanpa rintangan. Suara-suara bernada tidak senang dari anggota legislatif laki-laki sering terdengar manakala anggota legislatif perempuan mengajukan usul yang menyangkut kepentingan perempuan. Seperti yang diungkapkan Shinta Mashita Molina: “kita harus melakukan lobi politik guna menyakinkan bapak-bapak disini, bahwa program ini bagus”27 Shinta Mashita Molina menyatakan ia sering menerima keluhan dari Komisi Perempuan Parlemen (KPP) bahwa beberapa anggota legislatif laki-laki bersikap tidak bersahabat. Pada waktu KPP mempresentasikan program-programnya, para anggota legislatif laki-laki yang tidak setuju 25
Wawancara dengan Hj. Sri Rahmi, anggota DPRD Perempuan Kota Makassar, pada tanggal 10/09/2012 pukul 12.53 wita 26 Wawancara dengan Haidar Majid S, Sos, Wakil Ketua DPRD Kota Makassar pada tanggal 25/09/2012. Pukul 14.52 wita 27 Wawancara dengan Shinta Mashita Molina, anggota DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi D), pada tanggal 26/09/2012 pukul 16.05 wita
58
dengan program khusus untuk perempuan senantiasa mengejar dengan berbagai pertanyaan sehingga KPP kewalahan atau bahkan tidak mampu lagi menjawab dengan memuaskan. Ini mensinyalir sikap sebagian anggota legislatif laki-laki mencecar pertanyaan semacam itu merupakan upaya untuk membatalkan anggaran program-program perempuan. Dalam hal ini memang tidak terlepas dari keberadaan laki-laki yang secara luas mendominasi arena politik, laki-laki sangat dominan dalam memformulasikan aturan-aturan permainan politik; dan laki-laki lah yang sering mendefinisikan standar untuk evaluasi. Lingkungan ini sering bertentangan
dengan
perempuan.
Keberadaan
dari
model
yang
didominasi laki-laki ini menyebabkan perempuan menolak politik secara keseluruhan atau menolak politik gaya laki-laki. Jadi, ketika perempuan berpartisipasi dalam politik, mereka cenderung melakukannya dalam jumlah kecil. Dalam menghadapi suara-suara dan sikap bernada ketidaksukaan dari sebagian anggota legislatif laki-laki yang menolak anggaran khusus bagi program-program perempuan, para anggota legislatif perempuan mengambil strategi penguatan diri dengan bersikap kompak, bersatu, dan mendukung satu sama lain. Upaya penggalangan dukungan bahkan tidak saja berasal dari sesama anggota perempuan, tetapi juga anggota laki-laki yang peduli pada persoalan perempuan. Kartini mengemukakan bahwa sebelum rapat Panitia Anggaran dimulai anggota perempuan yang ingin
59
menyampaikan
pendapat
selalu
meminta
dukungan
dari
para
anggota laki-laki yang bersimpati pada gerakan perempuan. “Kami ada tujuh orang, kami selalu mengawal badan anggaran , harus ada perempuan mengawal anggaran untuk kepentingan perempuan, program datang dari mereka kami yang memperjuangkannya.”28 Anggota legislatif perempuan menyadari bahwa penggalangan dukungan dari sesama anggota perempuan dan sebagian anggota lakilaki merupakan kebutuhan mutlak yang harus dilakukan mengingat jumlah perempuan teramat sedikit dibandingkan jumlah laki-laki. Selama jumlah perempuan di lembaga legislatif masih sangat kecil, maka upaya untuk memperjuangkan kepentingan perempuan tetap masih akan menemui hambatan. Hj. Erna Amin menuturkan: ‘’Sebagai
anggota legislatif perempuan kita harus selalu memperdalam khasanah berfikir kita tentang politik, sehingga kita disini dapat menunjukan kualitas kita sebagai perempuan tidak disepelekan. namun Selama ini kita sudah berusaha maksimal. Tetapi kendalanya yang kita hadapi jumlah perempuan sedikit. Sehingga di dalam memperjuangkan isu-isu perempuan kita kalah suara dari segi kuantitas.” 29 Namun menurut Haidar Majid bukan permasalahan jumlah atau kuantitas tapi kepada persoalan kualitas personal anggota legislatif perempuan dalam menyampaikan usulan menjadi faktor penting yang menentukan apakah anggota laki-laki akan mendukung usulan anggota
28
Wawancara dengan Kartini E. Galung Anggota DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi A), pada tanggal 14/08/2012 pukul 13.17 wita 29 Wawancara dengan Dra. Erna Amin Anggota DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi D), pada tanggal 16/08/2012 pukul 14.00 wita
60
perempuan atau tidak. respon anggota laki-laki terhadap usulan yang disampaikan anggota perempuan sangat tergantung pada kualitas bagaimana anggota perempuan menyampaikan argumen. Seperti yang tersirat dari ungkapannya: “Ini bukan masalah voting oleh karena jumlah, tapi kita melihat dan mengedepankan musyawarah mufakat untuk menggolkan perda dalam proses legislasi”30 Saat ini,
perlahan-lahan isu
perempuan
mulai
mendapatkan
perhatian dari anggota DPRD Kota Makassar. Hal itu dibuktikan dengan persetujuan anggaran untuk Kantor Pemberdayaan Perempuan yang mengalami
kenaikan
dari
tahun
ke
tahun
termasuk
anggaran
untuk program-program pendampingan yang berkaitan dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Terlebih lagi, semakin banyak anggota legislatif laki-laki memahami kepentingan perempuan. Beberapa anggota laki-laki yang dulu selalu menolak usulan untuk program khusus perempuan kini mulai berubah sikap. Bahkan kini mulai banyak anggota laki-laki yang di dalam forum menyampaikan dukungan bagi persoalanpersoalan perempuan. Salah satu bentuk dukungan tersebut berupa ide perlunya peraturan daerah (Perda) yang secara khusus mengatur kepentingan perempuan Shinta Mashita Molina mengemukakan bahwa hingga kini
30
Wawancara dengan Haidar Majid S, Sos, Wakil Ketua DPRD Kota Makassar pada tanggal 25/09/2012 pukul 14.52 wita
61
belum ada peraturan daerah (Perda) yang khusus mengakomodasi dan mengatur kepentingan perempuan. Menurut Haidar Majid, hal itu merupakan satu kelemahan. Ia menilai kedudukan perempuan dalam ekonomi dan politik sangat strategis, sehingga diperlukan suatu skema pelayanan khusus bagi perempuan, seperti kemudahan pendidikan, kemudahan mengakses modal dan teknologi. Menurutnya lagi, semua itu semestinya dapat diatur dengan Perda sesuai dengan kewenangan daerah. Penulis melihat tentang perlunya Perda yang dapat mengakomodir kepentingan perempuan menunjukkan adanya perhatian anggota legislatif laki-laki terhadap persolan perempuan, merupakan bukti kekritisan mereka dalam
melihat persoalan
perempuan,
sebuah
pandangan
yang
semestinya disampaikan oleh anggota legislatif perempuan, tetapi justru dikemukakan oleh laki-laki. Peraturan Daerah Kota Makassar sampai saat ini belum ada yang secara khusus mengatur tentang kepentingan perempuan, namun dalam melandasinya, dasar hukum yang dipakai adalah Undang-Undang yang bersifat universal secara keseluruhan yang dipakai di Indonesia, seperti yang diungkapkan Haidar Majid:
62
“Ada UU KDRT yang bersifat umum, dan semua secara nasional harus melakukannya, sehingga ini bersifat nasional dan tidak perlu diperdakan”31 UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang pada ayat (1) disebutkan : “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.” Dalam lingkup Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan ada Undang-Undang No 9 tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak. Upaya anggota DPRD Perempuan Kota Makassar terlihat dengan mengusulkan dua ranperda “Perda Kawasan Tanpa Rokok dan Perda Kawasan bagi ibu untuk menyusui” walaupun bersifat umum, tapi secara tersirat memperjuangkan hak-hak perempuan, hampir sebagian besar perempuan terganggu dengan asap rokok, penyediaan tempat menyusui bagi para ibu merupakan salah satu kebutuhan para perempuan yang hendak menyusui anaknya di tempat umum.seperti yang diungkapkan Rahmatika Dewi:
31
Wawancara dengan Haidar Majid S, Sos, Wakil Ketua DPRD Kota Makassar 25/09/2012 pukul 14.52 wita
63
“Kita mau membuat perda kawasan bebas asap rokok dan kawasan khusus ibu menyusui, perda asap rokok masih terlibat pertentangan, rancangan perda yang kita bikin masih dipending. KPP [komisi perempuan parlemen] sebagai penggagas masih menghadapi kendala untuk perda kawasan bebas asap rokok, karena ada uu tembakau yang baru jadi kita harus memperhatikannya lagi, tapi akan tetap kami perjuangkan.”32 Media massa merupakan salah satu sarana bagi anggota legislatif perempuan
untuk
menggalang
kekuatan
dalam
memperjuangkan
kepentingan perempuan. Melalui media massa, anggota legislatif dapat berwacana untuk membentuk opini publik. Media massa biasanya memanfaatkan
peristiwa-peristiwa
tertentu
yang
berkaitan
dengan
persoalan perempuan ketika melakukan peliputan dan wawancara. Momentum yang biasanya dimanfaatkan media massa untuk melakukan peliputan dan wawancara adalah Hari Perempuan, Hari Ibu, Hari Kartini, saat ada audiensi di DPRD yang membawa persoalan-persoalan perempuan, saat komisi terkait terjun ke lapangan kemudian menemukan kasus, atau pada saat penyusunan anggaran untuk dinas-dinas pemerintah. Selain memperjuangkan kepentingan perempuan dalam proses legislasi, serta memanfaatkan media massa, anggota legislatif perempuan juga membuka diri dan bekerjasama dengan masyarakat, terutama organisasi perempuan. DPRD Kota Makassar khususnya anggota DPRD perempuan
juga
berkordinasi
dengan
Lembaga
Pemberdayaan
Perempuan, LSM pemerhati perempuan, dan lembaga-lembaga yang 32
Wawancara dengan A. Rahmatika Dewi Y, S.Kg Anggota DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi D), pada tanggal 12/09/2012 pukul 14.19 wita
64
menaruh fokus terhadap masalah perempuan, Seperti yang diungkapkan Sri Rahmi: “Keterkaitan lembaga perempuan dan DPRD baik, kita saling mendukung satu dengan yang lain, lembaga pemberdayaan perempuan selalu melibatkan kami, begitupun sebaliknya, misalnya dalam musrembang perempuan. LSKP adalah LSM yang selalu juga terlibat dengan kita dalam memperjuangkan kepentingan perempuan dan kami juga sering mengikuti seminarnya. Sosialisasi pembinaan kepada ibu-ibu rumah tangga, kami juga awalnya sama dengan mereka ibu rumah tangga tapi kami punya kemauan untuk memperjuangkan mereka di DPRD”.33 Pernyataan Sri Rahmi juga diperkuat oleh Daniaty yang mengatakan : “Tupoksi kami adalah bagaimana perempuan dapat diberdayakan, Anggota dewan saling bekerja sama dengan kami dalam menjalankan program perempuan, Untuk mengoptimalkan layanan itu, kami bekerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan, termasuk lembaga bantuan hukum dan LSM yang fokus pada persoalan perempuan”34 Kerjasama antara anggota legislatif perempuan dengan organisasi perempuan berlangsung dalam bentuk kerjasama tidak langsung, yaitu melalui KPP. Organisasi-organisasi perempuan sering menitipkan isu perempuan untuk diperjuangkan melalui KPP. Selanjutnya, KPP akan menghimpun usulan-usulan dan menindaklanjutinya dengan penyusunan program-program
dan
anggaran
untuk program
perempuan yang
selanjutnya dibawa ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan. Selain itu, kerjasama dengan para aktivis organisasi perempuan juga dilakukan
33
Wawancara dengan Hj. Sri Rahmi, anggota DPRD Perempuan Kota Makassar, pada tanggal 10/09/2012 pukul 12.53 wita 34 Wawancara dengan Daniaty, Ketua Divisi Perempuan dan Anak, Lembaga Pemberdayaan Perempuan Kota Makassar, pada tanggal 06/08/2012 pukul 13.26 wita
65
melalui forum public hearing (dengar pendapat), sebuah forum sidang DPRD yang terbuka untuk umum dan bertujuan menjaring pendapat dari berbagai elemen masyarakat. Tabel. 05 Kegiatan Kantor Pemberdayaan Perempuan a. Kegiatan Pembinaan Organisasi Perempuan Tujuan: Meningkatkan partisipasi perempuan dalampembangunan, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga dapat menghasilkan perempuan yang berkualitas. b. Peringatan Hari Kartini Tujuan: Meningkatkan pemahaman terhadap perjuangan R.A Kartini dan bisa mengikuti jejak Ibu Kartini yang memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia. c. Peringatan Hari Ibu Tujuan : Meningkatkan pemahaman tentang hari ibu. d. Kegiatan Bimbingan Manajemen Usaha bagi Perempuan dalam mengelola usaha. Sumber. Kantor Pemberdayaan Perempuan
Ada empat indikator yang penulis digunakan untuk menilai apakah keterlibatan perempuan di parlemen berdampak positif atau berpihak pada kepentingan perempuan atau tidak, yaitu: 1. Perubahan institusional/prosedural yang menghasilkan peraturanperaturan yang lebih ramah terhadap perempuan, 2. Perubahan representasi, termasuk tindakan di parlemen yang dirancang untuk menempatkan perempuan dalam posisi penting di parlemen
66
3. Perubahan terhadap keluaran (output), yaitu apakah lahir UndangUndang atau regulasi yang mengakomodir keinginan perempuan (gender sensitive) 4. Perubahan wacana, sehingga menjadikan berpolitik sebagai sikap yang wajar dan membuat akses yang lebih besar bagi media dan publik kepada parlemen. Dari hasil penelitian, peran anggota DPRD Perempuan dalam memperjuangkan kepentingan perempuan di Kota Makassar secara keseluruhan berjalan baik, terlihat dari keberhasilan program yang dilaksanakan, walaupun ada catatan-catatan kecil yang masih harus diperbaiki, dan menjadi kendala utama adalah masalah penyediaan dana untuk program perempuan. seperti yang diungkapkan Kartini E. Galung: “Keberhasilan kami baik karena kami saling membantu dan mengawal kepentingan perempuan, misalnya ada dari kami yang jadi calon walikota, ketua partai, itu berarti kami sudah dipercaya oleh konstituen. Keberhasilan program selalu kami upayakan pada pencapaian maksimal , hambatan lebih kepada dana anggaran.”35 Anggota DPRD perempuan Kota Makassar memperjuangkan hakhak dalam proses penyusunan anggaran di parlemen untuk kepentingan perempuan
dalam
pengalokasian
anggaran
terhadap
penanganan
masalah perempuan yang termarginalkan. Kepemimpinan perempuan di parlemen sebagai pengambil kebijakan juga menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan monitoring akan sangat berdampak dalam perkembangan 35
Wawancara dengan Kartini E. Galung Anggota DPRD Perempuan Kota Makassar (Komisi A), pada tanggal 14/08/2012 pukul 13.17 wita
67
perubahan
bagi
kemajuan
pembangunan
khususnya
bagi
kaum
perempuan. Kerjasama yang dilakukan anggota DPRD Perempuan Kota Makassar dengan para aktivis dari organisasi perempuan merupakan bentuk keterbukaan diri dari para anggota perempuan. Kerjasama ini juga menunjukkan arti penting organisasi perempuan di mata anggota perempuan.
68
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Keterlibatan perempuan di kancah politik bukanlah sesuatu hal yang baru. Dalam sejarah perjuangan kaum perempuan, partisipasi perempuan dalam pembangunan telah banyak kemajuan dicapai terutama di bidang pendidikan, ekonomi, lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Partisipasi perempuan dibidang politik pada masa reformasi kini mengalami perluasan peran menjadi anggota parlemen. Partisipasi perempuan dalam pemilu legislatif menunjukan adanya kemajuan bagi proses demokrasi yang berbudaya partisipatoris dan tentu saja hal ini membuat kaum perempuan lebih kaya akan pemenuhan haknya. Dengan adanya keterwakilan perempuan di Parlemen diharapkan berbagai aspirasi yang berkaitan tentang masalah-masalah perempuan bisa “terinstitusionalisasikan” melalui berbagai produk politik yang dibuat. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 53 mengamanatkan agar partai politik memuat (keterwakilan) paling sedikit 30% perempuan dalam daftar calon legislatifnya. Pasal ini diperkuat oleh pasal 55 ayat (2) yang
69
menyatakan bahwa di dalam setiap tiga nama kandidat, setidaknya terdapat sekurang-kurangnya satu kandidat perempuan. Kebijakan kuota perempuan paling sedikit 30% dalam daftar calon legislatif juga diperkuat dengan kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan tanpa alasan yang mendasar. Keterwakilan perempuan menjadi wakil rakyat adalah sebuah ikhtiar untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan dalam arena legislasi. Dengan kedudukan mereka di parlemen diharapkan kepentingan para kaum hawa dapat terwakili. Akan tetapi, partisipasi kaum wanita yang terlibat di parlemen tidak sebatas pemenuhan kuota belaka. Mereka tidak sekedar kuantitas tapi juga harus memiliki kualitas yang menunjukan kemampuan
dirinya
sebagai
penyalur
aspirasi
rakyat.
Penulis
menyimpulkan : 1. Secara kuantitas jumlah kuota 30% keterwakilan perempuan di DPRD Kota Makassar belum terpenuhi, pada pemilu legislatif 2009 hanya terpilih dan menempatkan 7 (tujuh) orang wakil perempuan di parlemen. Namun secara kualitas ketujuh anggota DPRD Perempuan Kota Makassar telah menunjukan perannya dalam merespon kepentingan perempuan di DPRD Kota Makassar. Wakil-Wakil perempuan di DPRD ini turut
70
memperjuangakan
kepentingan
perempuan
dalam
proses
legislasi. 2. Hubungan antar DPRD, Lembaga Pemberdayaan Perempuan serta LSM pemerharti perempuan berjalan baik dengan suksesnya program-program kerja yang berorientasi kepada perlindungan dan pemberdayaan perempuan di Kota Makassar.
B. Saran Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih dua bulan dengan berbagai temuan dilapangan, maka penulis memberikan beberapa saran terkait dengan Peran Anggota DPRD Perempuan dalam Merespon Kepentingan Perempuan di Kota Makassar, antara lain: 1. Reformasi
Undang-Undang
Partai
dan
redaksi
dalam
Keterwakilan perempuan di Parlemen, dimana tidak membatasi jumlah keterwakilan perempuan di Parlemen. 2. Hendaknya DPRD Kota Makassar melahirkan sebuah regulasi dalam bentuk perda yang khusus untuk melindungi dan mengakomodasi kepentingan perempuan di Kota Makassar. 3. Ketegasan semua unsur atau lembaga dalam menerapkan undang-undang terkait dengan politik perempuan, khususnya komisi pemilihan umum dan partai politik. Partai politik harus memberikan kebebasan terhadap perempuan secara sukarela demi mencapai kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan.
71
Komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara Pemilu juga harus tegas dalam menerapkan aturan. Jika ada partai politik yang tidak memenuhi aturan, maka tidak boleh diberikan izin untuk menjadi peserta Pemilu. 4. Memberikan pemahaman kepada semua elemen masyarakat mengenai pentingnya diciptakan kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan dalam segala bidang, khususnya politik praktis. Hal tersebut dapat dilakukan oleh berbagai institusi politik, baik itu formal maupun non formal, khususnya partai politik. Masalah ini merupakan hal yang paling mendasar untuk dilakukan, sebab menjadi landasan bagi setiap elemen masyarakat
untuk
mau
secara
sukarela
menciptakan
kesetaraan.
72
DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo. 2007. Politik Ilmu Politik: sebuah bahasan memahami ilmu politik. Yogyakarta : PT.Graha Ilmu Anugrah, Astrid. 2009. Keterwakilan Perempuan Dalam Politik. Pancur Alam: Jakarta Budiardjo, Miriam dan Ambong, Ibrahim. 1995. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia. RajaGrafindo Persada: Jakarta. ----------------- Dasar Dasar Ilmu Politik. Cipto, Bambang. 1995. Dewan Perwakilan Rakyat. Raja Grafindo Persada: Jakarta Daulay, Harmona. 2007. Perempuan Dalam Kemelut Gender. USU Press
Medan:
David Marsh dan Gerry Stoker. 2012. Teori Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media Faisal , Siagian. 1995. Wanita, Ideologi dan Negara. Republika Harison, Lisa. 2009. Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: PT Fajar Interpratama Offset Heriyanto. 2002. Memahami Tugas dan Wewenang D PR, DPRD. Bina Aksara: Jakarta
DPD,
dan
73
Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi I. Rieneka Cipta: Jakarta Komite Pemantau Legislatif Sulawesi. 2007. Meneropong Kinerja DPRD SULSEL Periode 2004-20009. Makassar Kusnadi. 2001. Pangamba’: Kaum Perempuan Fenomenal. Humaniora Utama Press: Bandung Lapera (TIM). 2001. Otonomi Pemberian Negara. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta. Lawang, Robert M. Z. 1985. Pengantar Sosiologi. PT Karunika Universitas Terbuka: Jakarta Marbun, B.N. 1994. DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Erlangga: Jakarta Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Kencana
Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya: Bandung Rahman, Arifin. 1998. Sistem Politik Indonesia. Surabaya : LPM IKIP Sihite,Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan, Suatu Tinjauan Berwawasan Gender, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers: Jakarta Soetipto, Ani. 2003. Kuota 30%perempuan : langkah awal bagi partisipasi politik perempuan, Jakarta: Jurnal ilmu politik
Tjandra, Riawan. Darsono, Kresno Budi. 2009. Legislative Drafting. Universitas Atmajaya: Yogyakarta Wasistiono, Sadu dan Yonatan Wiyoso. 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Fokusmedia: Bandung 74
Widjaja, Haw. 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Raja Grafindo Persada: Jakarta Zaman, Aqiq. 2004. Potret Wakil Rakyat Di Era Reformasi: Refleksi Memimpin DPRD Kab. Situbondo. Bayumedia Publishing: Malang Sumber Internet
Website DPRD Kota Makassar http://dprd-makassarkota.go.id/v2/ Arti kata institusional http://artikata.com/arti-330841-institusional.html http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/pendekatan-institusional.html diakses 12/04/2012 http://gasa-storyofmylife.blogspot.com/2010/10/nama-nama-anggota-dprdkota-makassar.html diakses pada tanggal 17 April 2012 Pukul 12.43 WITA http://achsan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/4487/BAB+III.doc. Diakses Tanggal 17 April 2012 Pukul 13.30 WITA
75