BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dimensi mutu telah dipelajari sejak lama, yaitu dimulai tahun 1966 saat Avedis Donabedian mengembangkan kerangka evaluasi mutu yang terdiri dari struktur, proses dan outcome (Donabedian 2003 dalam Utarini 2011). Dalam perkembangannya rumah sakit tidak hanya dituntut memberikan pelayanan yang bermutu tetapi juga aman. Hal ini dipicu oleh Laporan Institute of Medicine yang menyebutkan bahwa angka kematian disebabkan karena kejadian tidak diharapkan (KTD) lebih tinggi daripada kematian yang disebakan oleh kecelakaan lalu lintas, kanker payudara dan AIDS (Kohn et al. 2000). Selain menyebabkan kematian, KTD dapat meningkatkan lama perawatan dan biaya perawatan (Dupouy et al. 2013). Sejak itulah gerakan keselamatan pasien menjadi salah satu perhatian utama dalam pelayanan di rumah sakit. Publikasi di Amerika Serikat tahun 2011 menunjukkan bahwa 1 dari 3 pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami KTD. Jenis yang tersering adalah kesalahan pengobatan, kesalahan operasi dan prosedur serta infeksi nosokomial (Classen et al. 2011). Studi di 10 rumah sakit di North Carolina menemukan hasil yang serupa. Satu dari 4 pasien yang dirawat inap mengalami KTD, 63% diantaranya sebenarnya dapat dicegah (Landrigan et al. 2010). Saat ini telah dikembangkan sistem untuk meningkatkan mutu pelayanan klinis di rumah sakit yang disebut dengan clinical governance (tata kelola klinis). Sistem ini pertama kali dikembangkan di Inggris pada dekade 90-an. Tata kelola klinis timbul karena berbagai kenyataan buruk dalam sistem pelayanan kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Di samping itu tata kelola klinis muncul karena "putus-asanya" pemerintah dan manajer sarana pelayanan kesehatan di Inggris dalam mengimplementasi pendekatan total quality management (TQM) atau continuous quality improvement (CQI) untuk pelayanan kesehatan dengan alasan tidak dapat diterima secara luas karena para staf klinik menilai TQM dan
1
2
CQI tersebut terlalu "berbau" manajemen tanpa identifikasi peran yang jelas untuk para klinisi dalam meningkatkan mutu tersebut (Halligan & Donaldson 2001). Tata kelola klinis adalah pendekatan sistematis dan terintegrasi untuk menjamin dan menilai tanggung jawab dan tanggung gugat klinis melalui peningkatan mutu dan keselamatan yang membawa hasil outcome klinis yang optimal (Department of Health 2005c). Tujuan dari tata kelola klinis adalah menjamin bahwa pasien memperoleh pelayanan klinik yang terbaik (the best quality of clinical care). Hal-hal pokok dari tata kelola klinis bagi klinisi adalah kita dapat menunjukkan bahwa kita telah mengerjakan hal yang benar,
kita
praktek berdasarkan ilmu terbaru (up to date) serta terus menerus melakukan pengembangan kualitas pelayanan klinis (Bunch 2001). Konsep dasar dari tata kelola klinis adalah: (1) accountability, yaitu bahwa setiap upaya medis harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, etik, moral dan berbasis pada bukti terkini dan terpercaya (evidence-based medicine); (2) continuous quality improvement, yaitu bahwa upaya peningkatan mutu harus dilaksanakan secara sistematik, komprehensif dan berkesinambungan; (3) high quality standard of care, yang mengisyaratkan agar setiap upaya medis selalu didasarkan pada standar tertinggi yang diakui secara profesional; dan (4) memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang menjamin terlaksananya pelaksanaan pelayanan kesehatan yang bermutu (Djasri 2006). Di Indonesia pengaturan tentang tata kelola klinis terdapat pada UndangUndang No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Di tingkat peraturan pelaksanaan terdapat
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
755/Menkes/Per/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit. Peraturan ini bertujuan untuk mengatur tata kelola klinis yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien di rumah sakit lebih terjamin dan terlindungi serta mengatur penyelenggaraan komite medik di setiap rumah sakit dalam rangka peningkatan profesionalisme staf medis. Peraturan ini sebagai penyempurnaan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan
Internal Staf Medis
3
(Medical Staff Bylaws) dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 469/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit. Selama ini laporan atau tulisan mengenai komite medik di rumah sakit masih sangat jarang, diantaranya adalah tulisan Setyorini (2004) yang melaporkan bahwa komite medik di RSUD Wonogiri belum mempunyai peran, fungsi dan kegiatan yang berarti terutama dalam fungsi evaluasi dan monitoring penggunaan obat. Berman Saragih (2005) menulis tentang kondisi dan sinergisme komite medik dan komite keperawatan pada rumah sakit umum daerah di Provinsi Jambi dengan kesimpulan bahwa sinergisme kedua komite belum baik. Dengan penelitian ini penulis ingin mengetahui bagaimanakah implementasi tata kelola klinis oleh komite medik di rumah sakit umum daerah di Provinsi Jawa Tengah.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah implementasi tata kelola klinis oleh komite medik di rumah sakit umum daerah di Provinsi Jawa Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : Mengukur tingkat implementasi tata kelola klinis oleh komite medik di rumah sakit umum daerah di Provinsi Jawa Tengah
D. Manfaat Penelitian
Hasil akhir yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Manajemen rumah sakit : sebagai masukan untuk perbaikan dalam usaha penerapan tata kelola klinis di rumah sakit melalui komite medik
4
2. Masukan
bagi
organisasi
rumah
sakit
daerah
(Arsada)
untuk
mendorong implementasi tata kelola klinis melalui capacity building komite medik. 3. Masukan bagi Kementerian Kesehatan untuk pengaturan pelaksanaan tata kelola klinis di rumah sakit.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian Setyarini (2004) tentang efektifitas pemberian umpan balik kepada komite medik terhadap pola peresepan di instalasi rawat inap RSUD Wonogiri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran, fungsi dan kegiatan komite medik di RSUD Wonogiri terutama dalam peran evaluasi dan monitoring penggunaan obat sebagai salah satu usaha meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit terutama mutu pelayanan pengobatan. Penelitian juga berusaha menemukan pola peresepan di bangsal rawat inap RSUD Wonogiri. Hasil: komite medik di RSUD Wonogiri belum mempunyai peran, fungsi dan kegiatan yang berarti terutama dalam fungsi evaluasi dan monitoring penggunaan obat di rumah sakit ini. Di RSUD Wonogiri masih terjadi polifarmasi, penggunaan obat generik yang masih rendah, penggunaan obat antibiotik, obat injeksi dan obat infus masih tinggi. Kesesuaian dengan obat standar diagnosis dan terapi baru 56,47% serta penulisan obat yang sesuai dengan formularium sebesar 87,11%. Penelitian Berman Saragih (2005) tentang kondisi dan sinergisme komite medik dan komite keperawatan pada rumah sakit umum daerah di Provinsi Jambi. Tujuan penelitian untuk mengetahui kondisi dan sinergisme komite medik dan komite keperawatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinergisme kedua komite belum baik. Implementasi sinergi sangat minim sekali. Penelitian Freeman (2003) di Inggris tentang pengukuran kemajuan dalam tata kelola klinis: penilaian reliabilitas dan validitas kuisioner iklim tata kelola klinis (Clinical Governance Climate Questioner(CGCQ)). Tujuannya mengurangi indikator iklim tata kelola klinis yang dikembangkan dengan penelitian kualitatif sebelumnya dan mendiskripsikan struktur faktor laten iklim tata kelola klinis.
5
Hasil: enam faktor (planned and integrated QI, pro-active risk management, absence of unjust blame, working with colleagues, training and development, organizational learning) dalam CGCQ membantu dalam pengembangan sebagai instrumen “gold standard” (Freeman 2003). Penelitian (Burca et al. 2008) dengan tujuan untuk melaporkan design dan lahirnya direktorat klinik yang sangat terpecaya. Laporan ini merupakan hasil fase mapping studi kasus pada Direktorat Obsgyn dan Pediatri pada RS Galway University yang menerangkan pendekatan yang dipakai dan kemajuan rumah sakit dalam menjamin mutu pelayanannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mix-method strategy, terdiri dari metode kuantitatif, kualitatif dan analisa dokumen rumah sakit. Metode kuantitatif dengan survei menggunakan kuesioner Clinical Goverment Survey (CGS) dan Clinical Governance Climate Questioner (CGCQ) sedangkan metode kualitatif dengan wawancara dan focus group discussion. Penelitian (Specchia et al. 2010) di Italia tentang evaluasi implementasi tata kelola klinis dengan menggunakan metode OPTIGOV (Optimizing Health Care Governance). OPTIGOV dikembangkan pada tahun 2006 oleh Institute of the Catholic University of the Sacred Heart dan Eurogroup Consulting Alliance. Penelitian ini bertujuan menjelaskan proses yang mendasari pengembangan OPTIGOV, menjelaskan karakteristik dan langkah-langkahnya. Kesimpulannya bahwa metode OPTIGOV dikembangkan dengan berdasar evidence based. OPTIGOV menghasilkan penilaian representatif tentang status organisasi, menunjukkan praktek terbaik. Dalam penelitian ini penulis akan mengukur tingkat implementasi tata kelola klinis oleh komite medik di rumah sakit umum daerah di Jawa Tengah.