KANDUNGAN TIMAH HITAM (Pb) DAN KADMIUM (Cd) DALAM AIR, SEDIMEN DAN BIOAKUMULASI SERTA RESPON HISTOPATOLOGIS ORGAN IKAN ALU-ALU (Sphyraena barracuda) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
OKTO KHAISAR
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : KANDUNGAN TIMAH HITAM (Pb) DAN KADMIUM (Cd) DALAM AIR, SEDIMEN DAN BIOAKUMULASI SERTA RESPON HISTOPATOLOGIS ORGAN IKAN ALU-ALU (Sphyraena barracuda) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Februari 2006
OKTO KHAISAR C 24101046
ABSTR AK OKTO KHAISAR. Kandungan Timah Hitam (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam Air, Sedimen dan Bioakumulasi serta Respon Histopatologis Organ Ikan Alu-Alu (Sphyraena barracuda) di Perairan Teluk Jakarta. Dibimbing oleh ETTY RIANI dan M. MUKHLIS KAMAL. Logam berat yang masuk ke perairan akan terakumulasi baik di badan perairan, sedimen, maupun di dalam tubuh organisme yang hidup pada perairan yang sudah terkontaminasi. Semakin lama suatu perairan tercemar oleh suatu substansi beracun, maka dapat dipastikan keberadaannya membahayakan kondisi biota lingkungan perairan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2004 pada perairan Ancol, Teluk Jakarta. Lokasi pengambilan contoh dibagi menjadi 4 stasiun, dengan stasiun 1 terletak di sebelah barat dan stasiun 4 di sebelah timur. Pengambilan contoh air dan sedimen dilakukan pada stasiun 1, 2, 3, dan 4, sedangkan contoh ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) diambil pada stasiun 1, 3, dan 4. Data primer berupa kandungan logam Pb dan Cd pada ikan didapatkan setelah dilakukan analisa dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) pada laboratorium terpadu FKH-IPB serta data histologi organ dalam ikan yang dilakukan analisanya di Balai Penelitian dan Veteriner Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pencemaran perairan Ancol oleh logam Pb dan Cd pada waktu penelitian berlangsung masih berada di bawah baku mutu kualitas air menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut. Hal ini dikarenakan konsentrasinya lebih kecil dari 0.0001 ppm. Konsentrasi Pb dan Cd di sedimen perairan pada waktu penelitian juga masih tergolong aman untuk kehidupan biota. Menurut baku mutu standar internasional Dutch Quality Standards for Metals in Sediments , level terendah konsentrasi Pb yang masih dapat ditolerir sebesar 85 mg/kg, sedangkan untuk logam Cd 0.8 mg/kg (IADC/CEDA 1997). Akan tetapi apabila dilakukan analisa hingga tingkat jaringan, maka didapatkan hasil bahwa paparan ikan terhadap logam berat dapat mengakibatkan kerusakan beberapa jaringan organ dalam ikan alu-alu seperti insang, hati, ginjal, limfa, dan daging. Jenis kerusakan yang terjadi seperti degenerasi inti sel (ginjal), vacuolation (ginjal), degenerasi miofibril (daging), peradangan sel (ginjal), pendarahan (hati dan limfa). Hal ini dikarenakan respon dari perubahan struktur sel merupakan parameter yang paling sensitif sebelum terlihatnya respon yang dapat terlihat dari luar seperti perubahan tingkah laku, pola reproduksi, dan struktur komunitas. Kata kunci : Timah hitam, Timbal, Plumbum, Kadmium, Teluk Jakarta, Ikan alualu, histologi, histopatologi.
KANDUNGAN TIMAH HITAM (Pb) DAN KADMIUM (Cd) DALAM AIR, SEDIMEN DAN BIOAKUMULASI SERTA RESPON HISTOPATOLOGIS ORGAN IKAN ALU-ALU (Sphyraena barracuda) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
OKTO KHAISAR
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SKRIPSI Judul Skripsi
Nama
: Kandungan Timah Hitam (Pb) dan Kadmium (Cd) dala m Air, Sedimen dan Bioakumulasi serta respon histopatologis organ Ikan Alu-alu (Sphyraena barracuda) di Perairan Teluk Jakarta. : Okto Khaisar
NRP
: C24101046
Disetujui, Komisi Pembimbing, Ketua
Anggota
Dr. Ir. Etty Riani. H, MS NIP 131.619.682
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, MSc NIP 132.084.932
Mengetahui : Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Suwardi NIP 130.805.031
Tanggal Lulus : 6 Februari 2006
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta berbagai kemudahan dan kelancaran sehingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul
“Kandungan Timah Hitam (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam Air, Sedimen dan Bioakumulasi serta Respon Histopatologis Organ Ikan Alu-alu (Sphyraena barracuda ) di Perairan Teluk Jakarta” merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2004. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Etty Riani. H, M.S dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc yang telah banyak memberikan bimbingan serta arahan hingga skripsi ini selesai; PPLH-IPB dan BPLHD Propinsi DKI Jakarta yang telah mengizinkan penulis untuk terlibat didalam proyek; Bapak Tarmuzi selaku kepala laboratorium histologi Balai Penelitian Veteriner - Bogor ; Bapak Opi selaku staff laboratorium histologi Balitvet – Bogor; Ir. INN. Suryadiputera selaku pembimbing akademik; seluruh dosen dan pegawai Fakultas Perikana n dan Ilmu Kelautan IPB yang telah memberikan ilmu serta masukkan yang sangat berarti; rekan-rekan tim penelitian (Bram, mba Rima, Mega, Julius) atas kerjasamanya; teman-teman MSP’38 dan teman-teman angkatan 38 FPIK yang telah memberikan warna persahabatan semasa perkuliahan; bapak, ibu, dan adik yang telah memberikan do’a serta dukungannya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Februari 2006
Okto Khaisar
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 1983 sebagai anak pertama (2 bersaudara) dari pasangan bapak Suryadi Hadi Supramono dan ibu Mulyati. Pendidikan formal yang pernah penulis jalani adalah SMUN 58 Ciracas Jakarta Timur dan lulus tahun 2001. Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun ajaran yang sama (2001) dan memilih program studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama di IPB penulis pernah mengikuti kegiatan kelembagaan seperti Forum Keluarga Muslim FPIK (FKM-C) pada tahun 2002/2003 sebagai staf divisi syiar; Forum Silatur rahim dan Ukhuwah Muslim Manajemen Sumberdaya Perairan (FOSUMM) pada tahun 2003/2004 sebagai staf infokom. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Ikhtiologi semester ganjil S1 tahun ajaran 2003/2004 dan 2005/2006.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
iv
I. PENDAHULUAN................................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Perumusan Masalah......................................................................... 1.3 Tujuan..............................................................................................
1 1 2 3
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 2.1 Karakteristik Logam Berat.............................................................. 2.1.1 Logam Timah Hitam (Pb) ..................................................... 2.1.2 Logam Kadmium (Cd) .......................................................... 2.2 Logam Berat dalam Perairan Laut .................................................. 2.3 Logam Berat dalam Se dimen.......................................................... 2.4 Bioakumulator dan Bioindikator .................................................... 2.5 Biologi Ikan Alu-alu ........................................................................ 2.6 Analisa Histopatologis pada Organ Ikan Alu-alu ..........................
4 4 5 7 9 11 13 16 18
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 3.1 Waktu dan Lokasi ........................................................................... 3.2 Alat, Bahan dan Kegunaan ............................................................. 3.3 Metode Kerja .................................................................................. 3.3.1 Pengambilan Contoh Ikan Alu-alu ....................................... 3.3.2 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen ................................ 3.4 Penyajian dan Analisa Data ........................................................... 3.4.1 Deskriptif .............................................................................. 3.4.2 Analisa Histopatologi ...........................................................
20 20 21 22 22 23 23 23 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 4.1 Kandungan Pb dan Cd pada Perairan ............................................. 4.2 Kandungan Pb dan Cd pada Sedimen ............................................ 4.3 Bioakumulasi Pb dan Cd pada Ikan Alu-alu .................................. 4.4 Respon Histopatologis Organ Dalam Ikan Alu-alu Terhadap Logam Berat Pb dan Cd ................................................................. 4.5 Kualitas Perairan Teluk Jakarta Saat Penelitian Berlangsung ......
24 24 25 28
V. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 5.2 Saran ...............................................................................................
52 52 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
54
LAMPIRAN ...............................................................................................
59
38 46
DAFTAR TABEL Halaman 1. Penggunaan logam berat dalam industri ..............................................
5
2. Bentuk persenyawaan Pb dan kegunaannya ........................................
6
3. Kriteria Pb dalam badan air .................................................................
6
4. Baku mutu logam Pb pada air laut .......................................................
7
5. Konsentrasi mematikan ion logam Pb (ppm) pada paparan 96 jam ....
7
6. Kriteria Cd dalam badan air .................................................................
8
7. Baku mutu logam Cd pada air laut ......................................................
8
8. Konsentrasi mematikan ion logam Cd (ppm) pada paparan 96 jam ....
9
9. Konsentrasi berat logam dalam air laut ................................................
11
10. Baku mutu logam berat yang terdapat di sedimen (mg/kg) .................
12
11. Konsentrasi timah hitam (ppm) pada sedimen .....................................
26
12. Konsentrasi Pb (ppm) pada beberapa jenis ikan di Teluk Jakarta .......
36
13. Konsentrasi Cd (ppm) pada beberapa jenis ikan di Teluk Jakarta .......
36
14. Konsentrasi Pb dan Cd kerang hijau ( Perna viridis) di Teluk Jakarta . ...................................................................................
37
15. Konsentrasi Pb dan Cd ikan Sokang (Triacanthus nieuhofii) di Teluk Jakarta ....................................................................................
37
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan permasalahan .........................................................
3
2. Siklus biogeokimia logam berat dalam lingkungan (Paasivirta 2001) .
10
3. Ikan alu-alu (Sphyraena barracuda, Walbaum 1792) .........................
17
4. Peta lokasi pengambilan contoh ikan (•) serta air dan sedimen ( ) di Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2004 ...........................................
20
5. Kandungan logam Pb dalam sedimen perairan ....................................
26
6. Kandungan logam Pb pada organ ikan alu -alu .....................................
29
7. Kandungan logam Cd pada organ ikan alu-alu ....................................
32
8. Rantai makana n logam kadmium (Hartung 1972 yang diacu dalam Forstner dan Wittman 1983) .................................................................
35
9. Histopatologi daging ikan alu-alu (x 10) ..............................................
39
10. Histologi miofibril ikan Hoplias malabaricus .....................................
40
11. Histopatologi miofibril ikan Hoplias malabaricus ..............................
40
12. Histopatologi ginjal ikan alu-alu (x 40) ...............................................
41
13. Histopatologi ginjal ikan alu-alu (x 40) ................................................
41
14. Histologi ginjal ikan Channa punctatus................................................
42
15. Histopatologi hati ikan alu -alu (x 20) (Balitvet 2005) .........................
43
16. Histologi hati normal ikan Channa punctatus (x 50) (Bhuiyan et al. 2001) ............................................................................
43
17. Histopatologi hati ikan Channa punctatus (x 50) (Bhuiyan et al. 2001) ............................................................................
44
18. Histologi hati ikan Hoplias malabaricus ..............................................
44
19. Histopatologi insang ikan alu-alu (x 4).................................................
45
20. Histologi insang normal ikan Clarias gariepinus (x 400) ....................
46
21. Histopatologi struktur limfa ikan alu-alu (x 20) (Balitvet 2005) ........
46
22. Sebaran suhu rata-rata perairan ............................................................
47
23. Sebaran rata-rata pH dalam perairan ....................................................
48
24. Sebaran rata-rata DO dalam perairan ...................................................
49
25. Sebaran rata-rata salinitas dalam perairan ............................................
50
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lokasi stasiun pengamatan ................................................................... 60 2. Tabel kandungan logam Pb dalam ikan alu -alu ...................................
62
3. Tabel kandungan logam Cd dalam ikan alu-alu ...................................
62
4. Tabel kandungan logam Pb dalam sedimen .........................................
62
5. Tabel kualitas air di perairan Ancol, Teluk Jakarta .............................
63
6. Mesin Atomic Absorption Spectrophotometric ....................................
64
7. Denah sungai yang bermuara di Teluk Jakarta ....................................
65
8. Prosedur kerja analisa logam berat pada ikan, air dan sedimen ...........
66
9. Metode analisa, teknik serta alat yang digunakan ................................
68
10. Baku mutu air laut untuk biota laut ......................................................
69
11. Kondisi analisa mesin AAS dengan metode Flame Atomization .........
70
12. Kondisi analisa mesin AAS dengan metode Graphite Furnace Atomization ...........................................................................................
71
13. Peralatan di dalam pembuatan histologi ...............................................
72
14. Prosedur preparasi histopatologi dengan pewa rnaan Hematoksisilin dan Eosin (H.E). ....................................................................................
77
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teluk Jakarta merupakan salah satu perairan di Indonesia yang terletak di sebelah utara ibukota Jakarta. Seiring dengan perkembangannya, telah banyak perubahan yang terjadi seperti banyaknya pabrik -pabrik (industri), perumahan, maupun pelabuhan yang berada di sekitar Teluk Jakarta. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan masalah apabila terjadi aktivitas pembuangan limbah yang dilakukan secara masal, baik yang dilakukan ole h pabrik untuk pembuangan limbah hasil produksi maupun limbah rumah tangga dan limbah-limbah lainnya yang berasal dari sungai dan saluran-salurannya yang bermuara di perairan teluk. Hal yang menjadi perhatian di sini adalah limbah logam berat yang dihasilkan, karena logam berat merupakan unsur yang banyak digunakan dalam berbagai industri, baik sebagai bahan baku maupun sebagai katalisator.
Menurut
Hutagalung (1991), logam berat didefinisikan sebagai unsur-unsur yang memiliki berat jenis lebih dari 5 g/cm3, memiliki daya hantar listrik dan panas yang tinggi. Diantara logam berat yang masuk ke perairan teluk adalah timah hitam/timbal dan kadmium.
Logam Pb meningkat konsentrasinya di perairan dikarenakan
penggunaannya pada industri penambangan, pestisida, cat, bahan stabilizer pada industri plastik, serta dalam bentuk tetraethyl lead yang ditambahkan ke dalam bahan bakar minyak (BBM) digunakan sebagai bahan additive untuk peredaman mesin pembakaran (Clark 1986).
Namun secara alamiah Pb masuk melalui
pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan dan proses korotifikasi batuan mineral. Adapun logam Cd banyak digunakan dalam industri tekstil, peleburan logam Zn, pembuatan termoplastik, serta elektroplating (Darmono 1995). Logam berat masuk ke perairan me lalui proses kondensasi, presipitasi, maupun terdifusi karena energi angin. Di dalam perairan selanjutnya akan mengalami proses kimia dan biologi, sehingga dari proses tersebut akan mempengaruhi kelarutannya pada badan perairan maupun proses sedimentasi. Darmono (1995) menerangkan bahwa pengaruh logam berat terhadap ikan dapat mengakibatkan punahnya suatu spesies yaitu melalui proses bioakumulasi. Logam berat yang masuk dalam tubuh akan terakumulasi dalam jaringan dan akan berdampak pada kerusakan atau menimbulkan perubahan bentuk maupun fungsi
dari organel sel yang tergabung dalam jaringan. Salah satu jaringan yang paling peka terhadap pengaruh logam adalah insang, organ lainnya yang juga akan mengalami gangguan akibat pengaruh logam adalah alat pencernaan dan ginjal. Semakin lama perairan tercemar logam berat, maka jumlah logam berat yang akan terakumulasi di dalam tubuh ikan akan semakin besar sehingga ikan tersebut menjadi tidak sehat, bahkan mengalami kematian. Apabila ikan-ikan tersebut dikonsumsi oleh manusia, maka hal tersebut akan sangat membahayakan kesehatan manusia dan dapat menyebabkan keracunan logam berat yang dapat bersifat kronis bahkan akut jika logam berat yang terakumulasi cukup banyak. Kasus pengaruh negatif logam Cd terhadap manusia juga telah dilaporkan menimbulkan penyakit ’itai- itai’ yang artinya ’aduh-aduh’ di Jepang dan di beberapa negara dunia seperti Venezuela, Irak, Kanada, Swedia dan Amerika serikat (Hutagalung et al. 1997). Logam Pb diperkirakan dapat menyebabkan anemia, serangan kolik perut dan neuropati pada manusia (De Kruijf et al. 1988). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui jumlah kandungan logam berat pada ikan, air dan sedimen. Penelitian dilakukan pada ikan, air dan sedimen karena ketiga media tersebut merupakan tempat terjadinya reaksi-reaksi fisika, kimia, dan biologi yang akan dialami oleh logam berat saat memasuki perairan, sehingga ada kemungkinan untuk terakumulasi.
1.2 Perumusan Masalah Seiring dengan perkembangan yang terjadi di sekitar Te luk Jakarta berupa pembangunan daerah padat industri maupun perumahan penduduk yang terletak dekat dengan daerah teluk, maka bukan hal yang mustahil jika limbah yang bermuara di Teluk Jakarta akan semakin banyak, termasuk di dalamnya limbah timah hitam (Pb) dan kadmium (Cd) sehingga kandungan logam berat, baik yang sudah secara alami ada di perairan maupun yang sengaja dimasukkan di perairan akan semakin terakumulasi. Limbah logam berat akan masuk ke perairan melalui run-off dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta lalu akan mengendap di sedimen seiring dengan kondisi fisika kimia perairan, selanjutnya melalui proses pengambilan (uptake) langsung dari lingkungan perairan oleh biota maupun melalui rantai makanan (dalam hal ini ikan alu-alu berperan sebagai predator)
akan menyebabkan terjadinya bioakumulasi dalam tubuh ikan alu -alu. Oleh karena itu penelitian tentang kandungan logam berat pada ikan, air dan sedimen di sekitar Teluk Jakarta harus dilakukan. Penjelasan di atas dirangkum kedalam skema pada Gambar 1 berikut ini : Limbah industri, limbah pertanian, limbah rumah tangga, dsb
Teluk Jakarta
Logam Berat
Timah hitam (Pb) dan kadmium (Cd)
AIR
SEDIMEN
Kandungan alamiah PB dan Cd
Pengambilan secara langsung (direct uptake)
Bioakumulasi pada ikan alu-alu
Rantai makanan ikan
Gambar 1. Skema perumusan permasalahan
1.3 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta dengan cara melihat tingkat akumulasi logam berat yang ada dalam tubuh ikan alu-alu (Sphyraena barracuda), di perairan maupun sedimen. Disamping itu juga ingin mengetahui dampak akumulasi logam berat timah hitam (Pb) dan kadmium (Cd) pada kerusakan jaringan organ dalam ikan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Logam Berat Logam adalah elemen atau campuran elemen yang mempunyai karakteristik permukaan yang mengkilap, daya hantar panas dan listrik yang tinggi serta tidak mudah mengalami dekomposisi. Hutagalung et al. (1997) menyatakan bahwa logam berat adala h unsur logam yang mempunyai densitas lebih besar dari 5 g/cm3. Dalam jumlah yang sangat kecil, keberadaan beberapa unsur logam berat dalam tubuh makhluk hidup sangat dibutuhkan oleh organisme hidup untuk pertumbuhan dalam perkembangan hidupnya (Phillips 1980 yang diacu dalam Hutagalung et al. 1997). Kadar logam berat yang terlalu rendah dalam perairan pun akan dapat menyebabkan defisiensi pada berbagai organisme yang akan menyebabkan fungsi metabolisme terganggu (Bryan 1976). Namun peningkatan kadar loga m berat dalam air laut juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar logam berat yang ada dalam tubuh organisme laut akibatnya dapat berubah menjadi racun yang membahayakan tubuh biota (Hutagalung et al. 1997). Dari seluruh jenis logam berat yang berada di alam, terdapat beberapa yang dianggap sebagai bahan pencemar yang berbahaya dan memberikan akibat yang buruk bagi lingkungan
maupun
bagi
kesehatan
manusia
yang
mengkonsumsinya.
Diantaranya yaitu timah hitam (Pb), seng (Zn), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan nikel (Ni). Sumber-sumber
pencemaran
dapat
berasal
dari
limbah
industri,
pertambangan, pertanian dan domestik. Namun yang paling banyak memberikan konstribusi peningkatan kandungan logam berat dalam perairan adalah limbah industri, karena logam berat sering digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan maupun sebagai katalisator (Hutagalung et al. 1997). Penggunaan logam berat dalam industri tersebut memberikan sejumlah kemungkinan ikut terbuangnya sisa sebagian logam berat yang masuk dalam limbah, sehingga jika limbah tersebut dibuang ke perairan tanpa melalui proses pengolahan limbah yang sesuai dengan standar yang berlaku akan mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasinya dalam air.
Selain dalam badan air, logam berat juga akan
terakumulasi dalam sedimen dan biota melalui proses gravitasi, bio-akumulasi, bio-konsentrasi dan bio -magnifikasi (Hutagalung et al. 1997).
Secara umum
industri-industri yang memanfaatkan logam berat dalam proses produksinya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Penggunaan logam berat dalam industri Logam Berat Kadmium (Cd) Tembaga (Cu) Nikel (Ni) Timah (Pb) Seng (Zn)
Pemakaian dalam Industri Electroplating; pigmentasi; penstabil termoplastik misalnya pada PVC; baterai; logam campuran (alloy) dengan titik leleh yang rendah. Industri elektronik; logam campuran (alloy) misalnya: kuningan ; katalis kimia; anti-fouling paint; pengawet kayu. Metalurgi, baja dan logam campuran lainnya; electroplating; katalisator. Stroge battery; additif BBM; pigmentasi misalnya pada cat merah; amunisi; solder; pelindung kabel; anti- fouling paint. Logam campur seng, misalnya kuningan, perunggu; galvanasi; seng gulungan; cat baterai; karet.
Sumber: Bryan (1976).
2.1.1 Logam Timah Hitam (Pb) Timbal atau timah hitam memiliki nama ilmiah Plumbum (Pb) dengan nomor atom 82, bobot atom 207,21, densitas 11,34 g/cm3 , titik lebur 327,5 °C dan titik didih 1725 °C (Reilly 1980).
Memiliki karakteristik logam yang lunak,
berwarna coklat kehitaman, tahan terhadap korosi atau karat, memiliki kerapatan yang lebih besar dibanding logam-logam biasa dan merupakan penghantar listrik yang buruk (Palar 2004). Sumber utama Pb adalah batuan sulfida Galena, PbS dan batuan karbonat Cerrusite, PbCO3 (Portmann 1972). Pb banyak terdapat dalam batuan dan tanah krust bumi dengan konsentrasi sebesar 12 hingga 20 ppm, didapatkan melalui penambangan dan dapat dipisahkan dari PbS dengan hanya memanaskan pada suhu yang rendah dengan cara membakar kayu atau batubara (Settle dan Petterson 1980 yang diacu dalam Laws 1993). Sedangkan di laut sendiri sumber utama Pb berasal dari alam yaitu debu yang tertiup angin dan debu vulkanik. Sumber lainnya adalah berasal dari aktivitas manusia yaitu lead alkyls pada Bahan Bakar Minyak (Laws 1993). Menurut Saeni (1989) timbal masuk ke
perairan melalui pengendapan jatuhan debu yang mengandung Timbal Tetraetil, erosi dan limbah industri. Bentuk-bentuk persenyawaan dari logam Pb dengan unsur kimia lainnya, serta fungsi dari bentuk persenyawaannya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Bentuk persenyawaan Pb dan kegunaannya. Bentuk persenyawaan
Kegunaan
Pb dan Sb
Kabel telepon
Pb + As + Sn + Bi
Kabel listrik
Pb + Cr + Mo + Cl
Pewarnaan cat
Pb – Asetat
Pengkilapan keramik & bahan anti api
Tetrametil – Pb & Tetraetil - Pb
Additif untuk bahan bakar kendaraan bermotor
Sumber : Palar (2004)
Preston (1989) menyatakan bahwa konsentrasi Pb dalam laut terbuka berkisar antara 5 hingga 70 pmol/kg. Tabel 3 berikut dibawah ini menjelaskan mengenai kriteria konsentrasi Pb dalam air.
Tabel 3. Kriteria Pb dalam badan air. Tipe air Air Laut 50 mg/l CaCO3 Air Tawar 100 mg/l CaCO3 200 mg/l CaCO3
Konsentrasi kontinyu (ppb) 5.6 1.3 3.2 7.7
Konsentrasi maksimum (ppb) 140 34 82 200
Sumber: EPA 1987 yang diacu dalam Laws 1993
Konsentrasi logam berat timah hitam di perairan yang masih dapat ditolerir berdasarkan baku mutu perairan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/Men KLH/I/2004 dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Baku mutu logam Pb pada air laut. Satuan Timah Hitam
Baku mutu air laut Wisata bahari Pelabuhan
Biota
mg/l
0.008
0.005
0.05
Sumber: Kep Men LH 2004.
Tabel 5 di bawah ini merupakan hasil penelitian bioassay yang bertujuan untuk mengetahui konsentrasi mematikan ion-ion logam Pb (ppm) pada beberapa biota laut termasuk ikan
Tabel 5. Konsentrasi mematikan ion logam Pb (ppm) pada paparan 96 jam Jenis Hewan Laut
Jenis Logam Berat Pb Sumber
Ikan
Udang
Kerang
Polychaeta
188
-
-
7.7 - 20
: dari berbagai sumber yang diacu dalam Palar (2004).
2.1.2 Logam Kadmium (Cd) Memiliki karakteristik berwarna putih keperakan seperti logam aluminium, tahan panas, tahan terhadap korosi. Kadmium digunakan untuk elektrolisis, bahan pigmen untuk industri cat, enamel dan plastik. Logam kadmium biasanya selalu dalam bentuk campuran dengan logam lain terutama dalam pertambangan timah hitam dan seng (Darmono 1995). Kadmium terdapat dalam bentuk sulfida sebagai batuan Greenockite CdS, namun sumber utama cd adalah batuan yang mengandung logam Zn, dimana Cd terikat didalamnya (Portmann 1972).
Cd tersebar pada lapisan lithosfer, dan
biasanya ditemukan dalam konsentrasi yang rendah pada batuan krustal, yaitu sekitar 100 hingga 300 ppb, dan pada tanah sekitar 200 hingga 800 ppb (Nriagu dan Sprague 1987 yang diacu dalam Laws 1993). Sumber Cd dalam laut terutama berasal dari alam yaitu letusan gunung berapi, debu yang terbawa angin, kebakaran hutan, menyebabkan Cd yang terkandung didalam pohon terlepas, namun tidak dijelaskan mengenai jenis pohon secara spesifik, lahan pertanian yang menggunakan pupuk yang mengandung kadmium dan aliran sungai yang
berasal dari lahan tersebut. Sumber lainnya merupakan hasil buangan manusia berasal dari pertambangan, ekstraksi dan pengolahan Zn (Laws 1993). Konsentrasi normal kadmium di perairan adalah 0.02 µg/l (Brooks 1960 yang diacu dalam Portmann 1972). Sedangkan menurut Bruland (1983) yang diacu dalam Preston (1989), konsentrasi Cd dalam perairan laut berkisar antara 1 sampai pmol/kg hingga 1.1 nmol/kg. Kriteria konsentrasi Cd dalam perairan yang dikeluarkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini :
Tabel 6. Kriteria Cd dalam badan air. Konsentrasi kontinyu (ppb) 9.3
Konsentrasi maksimum (ppb) 43
50 mg/l CaCO3
0.66
1.8
100 mg/l CaCO3
1.1
3.9
200 mg/l CaCO 3
2.0
8.6
Tipe air Air Laut
Air Tawar
Sumber: EPA 1987 yang diacu dalam Laws 1993 .
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/Men KLH/I/2004, besarnya konsentrasi logam berat kadmium di perairan yang masih dapat ditolerir dapat dilihat pada Tabel 7 : Tabel 7. Baku mutu logam Cd pada air laut. Baku mutu air laut
Satuan Kadmium
mg/l
Biota
Wisata bahari
Pelabuhan
0.001
0.002
0.01
Sumber: KepMen LH 2004.
Konsentrasi ion-ion logam (ppm) pada beberapa biota laut terma suk ikan dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini :
Tabel 8. Konsentrasi mematikan ion logam Cd (ppm) pada paparan 96 jam Jenis Hewan Laut
Jenis Logam Berat Cd
Ikan
Udang
Kerang
Polycheta
22 - 55
0.0015 - 47
2.2 - 35
2.5 – 12.1
Sumber : dari berbagai sumber yang diacu dalam Palar (2004).
2.2 Logam Berat dalam Perairan Laut Menurut Verenberg (1974) yang diacu dalam Hamidah (1980), logamlogam di perairan ditemukan dalam bentuk terlarut, yakni ion logam bebas dalam air dan logam yang membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik; tidak terlarut, terdiri dari partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang terabsorbsi pada zat tersuspensi. Logam berat yang terdapat dalam perairan biasanya dalam bentuk ion seperti Hg2+ , Pb2+, Cd2+ , jarang sekali yang berbentuk molekul (Darmono 1995). Logam berat masuk ke perairan laut melalui berbagai sumber, diantaranya yaitu hasil buangan limbah, limbah berupa lumpur, hasil samping dari sisa pembakaran bahan bakar kendaraan yang sebagian besar mengandung timbal dan juga batubara. Partikel pencemar ini masuk melalui sungai yang bermuara di laut maupun dari air hujan yang akan mengabsorbsi partikel pencemar yang berada diudara bebas. Sedangkan menurut Saeni (1989) mengatakan logam timah hitam masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengandung timbal yaitu dari hasil pembakaran bensin yang mengandung timbal tetraetil, erosi dan limbah industri. Secara ilmiah logam berat sesungguhnya telah ada dalam air laut yang dihasilkan dari erosi batuan dan aktivitas gunung (Clark 1986). Logam berat terdapat dalam bentuk terlarut (dissolved) dan tersuspensi atau terikat dengan partikel tersuspensi.
Secara keseluruhan proses-proses yang mengendalikan
keberadaan logam berat di lingkungan dapat dilihat pada Gambar 2 berikut :
Penguraian Kondensasi Evaporasi
Presipitasi
Penguraian
Penguraian
Evaporasi Pengenceran Dekomposisi
Reaksi kimia dan biologi
Reaksi kimia dan biologi Pelapukan Sedimentasi
Gambar 2. Siklus biogeokimia logam berat dalam lingkungan (Paasivirta 1991)
Konsentrasi logam berat yang terdapat dalam perairan dikontrol oleh beberapa faktor seperti presipitasi, adsorpsi partikel yang ada di laut serta absorbsi serta redistribusi oleh proses-proses biologis (Bryan 1976). Parameter lain yang turut mempengaruhi konsentrasi logam berat adalah arus, salinitas, suhu, pH serta padatan tersuspensi (Nanty 1999 dan Damayanti 1999). Suhu turut mempengaruhi daya toksisitas logam berat dalam perairan. Semakin tinggi suhu maka daya toksisitas akan meningkat pula (Sumardianto 1995 yang diacu dalam Nanty 1999). Namun untuk salinitas ternyata memiliki hubungan berbanding terbalik dengan konsentrasi logam berat yang ada, semakin tinggi salinitas maka konsentrasi akan menurun. perairan juga mempengaruhi kelarutan logam.
Derajat keasaman atau pH
Menurut Bryan (1976), logam
berat Zn pada pH 8 akan berikatan dengan partikel dan mengalami deposisi, sehingga dengan kata lain logam berat akan sukar larut dan berada dalam bentuk partikel tersuspensi. Selanjutnya dengan adanya pengaruh arus akan berdampak pula pada proses pengendapan logam berat di sedimen. Jumlah logam berat, dalam bentuk partikel yang diendapkan ke dasar perairan pada daerah yang
mempunyai arus yang tenang jauh lebih banyak daripada di perairan yang arusnya besar (Hutagalung 1994). Konsentrasi alami dari berbagai logam berat dalam perairan dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini :.
Tabel 9. Konsentrasi berat logam dalam air laut. Logam Berat
Konsentrasi Berat (mg/kg)
Residence Time (Thn)
Kadmium (Cd)
70
500.000
Tembaga (Cu)
120
18.000
Nikel (Ni)
480
18.000
Timah Hitam (Pb)
1
2.000
Seng (Zn)
390
180.000
Sumber: Kennish (1994)
2.3 Logam Berat dalam Sedimen Material yang ada di udara maupun permukaan air akan mengalami proses evaporasi, radiasi ultra violet, teroksidasi, serta polymerisasi. Jika material ini tidak tersuspensi dalam perairan maka material tersebut akan saling berikatan satu sama lainnya sehingga akan mengendap ke sedimen. Besar kandungan logam berat yang mengendap di dasar perairan pada daerah yang memiliki arus tenang akan jauh lebih 1994).
banyak jika dibandingkan perairan berarus kuat (Hutagalung
Namun arus yang kuat akan menyebabkan terjadinya resuspensi dan
desolusi logam berat yang ada di sedimen kembali ke badan perairan. Kontaminasi perairan oleh logam berat sering terjadi di daerah estuaria dan perairan pantai serta daerah fjord (lembah es yang terbentuk di dekat laut, lebih rendah dari permukaan laut sehingga intrusi air laut sangat tinggi (Wikipedia 2005)) dimana konsentrasi logam berat dapat mencapai nilai yang sangat tinggi (Bryan 1976). Konsentrasi logam berat tertinggi terdapat dalam sedimen yang partikelnya paling halus, oleh karena itu sedimen yang terkontaminasi oleh logam berat tetap dapat menjadi sumber pencemar bahkan jika sumber asli pencemar telah dihilangkan (Bryan 1976). Konsentrasi logam berat yang ada di sedimen
sangat dipengaruhi oleh musim (Deu et al. 1994). Jika dibandingkan dengan logam Timbal, konsentrasi logam berat Cu dan Zn akan lebih tinggi pada saat musim hujan dibandingkan pada saat musim kemarau.
Hal ini dikarenakan
limbah industri maupun limbah domestik yang mengandung logam berat tersebut terkumpul di darat selama musim kemarau, lalu pada saat musim hujan terbawa oleh air hujan ke perairan. Saat musim kemarau kelarutan Timbal juga akan lebih tinggi dibandingkan logam Cu dan Zn. Nilai Pb lebih tinggi daripada musim hujan, karena pada saat musim kemarau debit air rendah, sehingga nilai Pb di perairan lebih tinggi dibandingkan logam Cu dan Zn. Berikut ini merupakan tabel standar internasional baku mutu logam yang terdapat di sedimen (Dutch Quality Standards for Metals in Sediments).
Tabel 10. Baku mutu logam berat yang terdapat di sedimen (ppm). Level
Level
Level
Level
Level
Target
Limit
Tes
Intervensi
Bahaya
Arsen
29
55
55
55
150
Kadmium
0.8
2
7.5
12
30
Kromium
100
380
380
380
1000
Tembaga
35
35
90
190
400
Merkuri
0.3
0.5
1.6
10
15
Timbal
85
530
530
530
1000
Nikel
35
35
45
210
200
Seng
140
480
720
720
2500
Metal
Sumber: IADC/CEDA (1997).
Definisi masing-masing tingkatan baku mutu pada Tabel 10, adalah sebagai berikut: a. Level target.
Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen
memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.
b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan test level, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan (hanya untuk logam berat) berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
2.4 Bioakumulator dan Bioindikator Secara alami unsur-unsur logam berat yang berada di perairan laut sudah ada dengan kadar yang rendah yaitu sekitar 10 -2 – 10-5 ppm (Hutagalung 1984), sehingga apabila kandungan logam berat di perairan melebihi nilai tersebut berarti ada masukan dari sumber lain, dalam hal ini berarti bahan pencemar yang berasal dari berbagai aktivitas termasuk buangan limbah produksi dari pabrik. Limbah buangan dari industri ini jika tidak dikelola dengan baik dapat memberikan pengaruh yang buruk bagi lingkungan terutama perairan sekitar yang akan tercemar oleh logam berat. Industri yang berpotensi untuk menghasilkan limbah buangan berupa logam berat adalah industri pengolahan logam, electroplating (proses pelapisan suatu permukaan logam dengan logam lain dengan menggunakan arus listrik katoda-anoda (Wikipedia 2005)), pestisida, konduktor listrik, pertambangan dan masih banyak lagi yang menggunakan bahan baku pengolah produksi yang mengandung unsur logam berat. Pestisida dari limbah pertanian yang dihasilkan mengandung bahan campuran dari logam berat juga dapat menjadi sumber pencemar di perairan. Bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan akan mengalami tiga macam proses yaitu proses fisika, kimia da n biologi. Proses biologi ini akan berkaitan dengan proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup
sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi secara biologis yang disebut bioakumulasi.
Di dalam perairan ada tiga media yang dapat dipakai sebagai
indikator pencemaran logam berat yaitu air, sedimen dan organisme hidup. Setiap perairan alami akan dihuni berbagai makhluk hidup dengan trofik levelnya masing-masing.
Masuknya bahan pencemar akan membunuh organisme yang
paling sensitif sehingga bila bahan pencemar terus masuk maka organisme yang paling sensitif berikutnya akan mati. Sebagai contoh fitoplankton akan dimangsa oleh zooplankton, zooplankton tersebut akan dimangsa ikan-ikan kecil diikuti dengan pemangsaan ikan kecil oleh ikan yang lebih besar seperti ikan cucut, tuna, termasuk juga ikan alu-alu.
Sehingga konsentrasi akan sangat tinggi pada
organisme konsumen tingkat tinggi, termasuk manusia dimana ikan merupakan salah satu sumber pakan yang berprotein tinggi (Ratkowsky 1975 yang diacu dalam Hutagalung 1984). Konsentrasi logam berat tertinggi yang akan diserap oleh biota ditemukan pada invertebrata dari jenis ”filter feeder” (Plasket dan Potter 1979 yang diacu dalam Hutagalung 1984). Hal ini dikarenakan logam berat yang masuk ke dalam tubuh organisme khususnya biota laut akan masuk melalui rantai makanan, hanya sedikit sekali logam berat yang berada bebas dalam air akan diserap langsung ke dalam tubuh (Pentreath 1973 yang diacu dalam Waldichuk 1974). Bioakumulasi akan terjadi karena logam berat yang diserap organisme akan cenderung membentuk senyawa kompleks dengan zat-zat organik yang terdapat di dalam tubuh organisme sehingga logam berat akan terfiksasi dan tidak akan terekskresi oleh organisme tersebut (Waldichuk 1974). Menurut Palar (2004), toksisitas atau daya racun yang dimiliki oleh toksikan logam berat memiliki efek yang berbeda pada tubuh. Hal ini juga terkait dengan sifat, konsentrasi, lama paparan logam berat itu sendiri.
Bentuk serangan
toksisitas tersebut adalah : v Toksisitas fisika Bentuk serangan yang ini cenderung menimbulkan efek penghancuran sel-sel dermatitis. Penyebab utama hal tersebut adalah karena faktor radiasi, dimana dalam intensitas tinggi dapat menyebabkan penghancuran lapisan mukosa
kulit. Contoh dari efek toksisitas fisika adalah kulit kering, kulit pecah-pecah dan iritasi. v Toksisitas kimia Bentuk serangan secara kimia memiliki variasi yang lebih luas.
Sebagai
contoh, asam-asam kuat yang berhubungan langsung dengan mata, kulit, atau saluran pencernaan dapa t menyebabkan kerusakan jaringan bahkan kematian sel. Logam merkuri dalam fungsi metabolisme tubuh akan menghalangi kerja enzim, padahal enzim memiliki fungsi sebagai katalisator yaitu substansi yang mendorong laju proses metabolisme di dalam tubuh. v Toksisitas fisiologis Bentuk serangan secara fisiologis terkait dengan keberadaan logam berat yang mensubstitusikan keberadaan gugus logam yang berfungsi sebagai ko-faktor enzim dalam fungsi fisiologis tubuh. Hal ini menyebabkan proses fisiologis tubuh yang mengatur keseimbangan metabolisme tubuh agar suatu makhluk hidup bertahan hidup dalam lingkungannya menjadi terganggu. Faktor konsentrasi didefinisikan sebagai perbandingan antara kadar logam berat dalam tubuh dan dalam air. Besar nilai faktor konsentrasi sangat tergantung pada jenis logam berat, jenis organisme, lamanya pemaparan, serta kondisi fisika kimia perairan seperti pH, temperatur dan salinitas.
Misalkan, ikan yang
dipelihara dalam air yang mengandung Cd2+ = 10 ppm dapat mengandung Cd2+ sampai 113 ppm. Sedangkan jenis moluska dapat mengakumulasi unsur tersebut hingga 352 kali lebih tinggi dari kadarnya dalam perairan (Eisler 1971 yang diacu dalam Waldichuk 1974). Hasil penelitian dari Waldichuk (1974) menunjukkan kenaikan suhu, penurunan pH dan salinitas perairan dapat menyebabkan tingkat bioakumulasi semakin meningkat. Sehingga konsentrasi logam yang terkandung dalam tubuh suatu organisme akan semakin beracun atau dengan kata lain tingkat toksisitasnya semakin tinggi. Menurutnya urutan daya rac un logam berat adalah : Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As 2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+. Menurut Romimohtarto (1991) menyatakan bahwa sifat maupun kondisi bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan akan ditentukan oleh beberapa faktor yang dialaminya, yaitu :
a. Pengenceran dan proses pengadukan yang diakibatkan turbulensi dari arus laut. b. Proses pemekatan melalui : •
Proses biologis yang akan terkait dengan konsep bioakumulasi yaitu dimana bahan pencemar yang terkonsumsi oleh biota konsumen tingkat rendah akan dikonsumsi kembali oleh predator yang trofik levelnya lebih tinggi.
•
Proses fisika maupun kimia yaitu melalui proses adsorbsi, pertukaran ion, dan sedimentasi yang terjadi di dasar perairan.
c. Terbawa langsung oleh arus dan biota terutama nekton.
Pola penyebara n
bahan pencemaran pun akan tergantung pada luas daerah sebaran yang akan mengalami proses yang berbeda-beda sehingga berpengaruh juga pada pengendapan bahan-bahan pencemar tersebut. Menurut Romirill (1971) dan Mandelli (1976) yang diacu dalam Hutagalung (1984), unsur -unsur logam berat dapat masuk kedalam tubuh organisme melalui rantai makanan, insang dan proses difusi yang terjadi dipermukaan kulit, sedangkan proses pengeluaran logam berat dari dalam tubuh makhluk hidup itu sendiri dapat melalui proses ekskresi urin maupun feses.
2.5 Biologi Ikan Alu-alu Klasifikasi
ikan
alu-alu
seperti
yang
diinformasikan
dalam
situs
www.fishbase.org adalah sebagai berikut : Filum : Pisces Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Scombroidei (Helfman et al., 1997) Famili : Sphyraenidae Genus : Sphyraena Spesies : Sphyraena barracuda (Walbaum 1972)
Gambar 3. Ikan Alu-alu (Sphyraena barracuda, Walbaum 1792) (Sumber: Kamal 2005) Ikan ini memiliki nama umum great barracuda sedangkan nama lokalnya di Indonesia adalah alu-alu (Jawa). Ikan alu-alu termasuk dalam ikan pelagis besar yang memiliki dimensi panjang total 90-120 cm dan dapat mencapai panjang maksimum hingga 180-200 cm (Mojeta 1992) dengan berat maksimum yang pernah terukur adalah 48 kg (106 lbs) (Bailey et al., 2001). Hidupnya disekitar daerah karang tropis dan subtropis dengan posisi lintang 30°LU – 30°LS yang berkedalaman 0 – 100 m dengan jarak ke arah laut lepas 1-6 mil laut dari arah pantai (Mojeta 1992).
Hidup pada daerah bersubstrat pasir maupun pasir
berlumpur, sehingga banyak terdapat pada perairan dangkal (Bailey et al., 2001). Ikan alu-alu dapat berenang cepat hingga kecepatan 12 m/s (www.fishbase.org 2005).
Sebanyak 20 spesies ikan jenis barracuda terdapat pada Samudera
Atlantik, Pasifik dan Hindia (Helfman et al., 1997), namun terdapat juga di perairan Laut Hitam (Black Seas) (Bailey et al., 2001). Ciri-ciri morfologi ikan alu-alu adalah bentuk tubuh semi-silindris; memiliki mulut yang panjang dengan ujung meruncing dan bergigi tajam dimana rahang bawah lebih panjang dari rahang atas; terdapat sepasang sirip pektoral, dua buah sirip dorsal yang secara jelas terpisah pada dorsal bagian depan dan belakang, sebuah sirip ventral yang memiliki posisi abdominal terhadap sirip pektoral, dan sebuah sirip anal; memiliki sisik yang kecil-kecil berbentuk sikloid (Mojeta 1992). Warna tubuh ikan alu-alu adalah keabu-abuan hingga hijau kecokelatan pada bagian punggung (Mojeta 1992). Daerah lateral di bawah linea lateralis (flanks) dan badan ikan bagian bawah (belly) berwarna keperakan (Mojeta 1992). Terdapat bintik-bintik hitam disekitar bawah linea lateralis hingga ekor (www.fishbase.org 2005).
Ikan alu-alu termasuk kedalam ikan predator karnivora yang akan memangsa dengan buas ikan-ikan kecil, cephalopoda dan krustasea seperti udang dan kepiting.
Ikan ini cukup banyak ditemukan di perairan Samudera Hindia.
Tingkah laku hidupnya saat masih individu muda cenderung untuk menggerombol (schooling) berenang sepanjang daerah pesisir bahkan dapat mencapai laguna, akan tetapi pada individu dewasa akan cenderung menyendiri (soliter) (Mojeta 1992). Pada beberapa daerah, ikan alu-alu merupakan ikan ekonomis penting, hal ini dikarenakan dagingnya memiliki rasa yang cukup enak dan gurih namun harganya yang cukup mahal - terutama jika sudah masuk restoran-restoran besar yang menyajikan hidangan laut (sea food) - menyebabkan tidak semua orang dapat memakannya. Namun pada beberapa kasus ditemukan bahwa daging ikan alu-alu bisa saja beracun, hal ini tergantung dari jenis ikan (prey) yang dimakannya (Mojeta 1992). Waktu memijahnya adalah antara bulan November sampai Januari dengan habitat tempat memijahnya di perairan dalam dekat dengan cekungan benua, dimana telur -telur yang telah dikeluarkan akan terbawa arus hingga ke tepi daratan atau pesisir pantai.
Juvenil-juvenil muda akan tinggal di ekosistem
mangrove, lamun ataupun daerah pesisir lainnya yang terlindung dari gangguan predator (www.fishbase.org 2005).
2.6 Analisa Histopatologis pada Organ Ikan Alu-alu Menurut Banks (1986), histologi merupakan cabang ilmu biologi anatomi yang mempelajari tentang susunan struktur sel-sel yang memiliki fungsi fisiologi yang sama tersusun menjadi satu jaringan yang kompleks. Saat terjadi perubahan dalam struktur sel akibat terkena penyakit, bakteri, adanya substansi berbahaya seperti logam berat, maupun karena terjadinya perubahan faktor fisika (suhu) dan kimia (salinitas, pH, DO) lingkungan, hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi atau bahkan sedang berlangsung perubahan pada kondisi lingkungan dimana ikan tersebut berada.
Analisa histologi dapat menjadi parameter yang
sangat sensitif dan menjadi sangat penting didalam menentukan perubahan struktur sel yang terjadi di organ dalam seperti ginjal, hati dan gonad (Dutta 1996 yang diacu dalam Anonymous 2005).
Menurut Banks (1986), nekrosis yang terjadi pada sel dapat dikenali secara morfologi dari kerusakan yang terjadi pada inti sel; terjadi homogenisasi sitoplasma; serta peningkatan jumlah eosinofil. Nekrosis sel sangat tergantung dari seberapa tinggi tingkat kerusakan dan lamanya sel mengalami kerusakan. Kerusakan pada inti sel terdiri dari: pyknosis dimana terjadi penyusutan inti; karyolysis
dimana inti akan terdissolusi; karyorrhexis yaitu dimana inti akan
mengalami fragmentasi (Banks 1989 dan Copenhaver 1978).
Kondisi akut
menggambarkan sel yang mengalami kerusakan dalam waktu singkat namun bersifat mematikan (lethal); membran sel akan pecah sehingga isi sel seluruhnya akan ter -dissolusi; terjadi pada sejumlah grup sel. Sedangkan pada kondisi kronis, sel mengalami kerusakan dalam jangka waktu cukup lama dan bersifat sub-letal; inti sel dan sitoplasma akan sangat mengkisut. Gangguan lainnya dalam tubuh dapat berupa gangguan metabolisme sel, gangguan sirkulasi dan radang (Banks 1989 dan Copenhaver 1978). Tingkat pencemaran di dalam lingkungan perairan dapat diketahui dengan melakukan pengamatan konsentrasi bahan toksik yang terdapat pada organisme yang ada (dalam hal ini adalah ikan). Tingkat pencemaran logam berat yang terdapat pada organisme perairan juga sangat tergantung dari rantai makanan. Hal ini disebabkan logam berat dapat masuk ke dalam rantai makanan (Farkas et al., 2002 yang diacu dalam Olojo et al., 2004) dan akan menggantikan keberadaan substansi yang memang diperlukan oleh tubuh (Chanin 1985 yang diacu dalam Olojo et al., 2004), sehingga keberadaannya dapat merusak fungsi metabolisme tubuh dan dapat menyebabkan penyakit kronis jika organisme tersebut terpapar dalam konsentrasi bahan toksik yang tidak terlalu tinggi namun dalam jangka waktu yang lama; maupun penyakit akut yang dapat menyebabkan kematian organisme dalam waktu sesaat akibat dari konsentrasi bahan toksik yang sangat tinggi (Farkas et al. , 2002 yang diacu dalam Olojo et al. , 2004).
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2004 yang meliputi kegiatan pengambilan sampel di lapangan dan analisa data di laboratorium.
Lokasi pengambilan contoh ikan dilakukan di sekitar perairan
Pantai Marina Ancol, Teluk Jakarta. Lokasi sampling ikan dilakukan pada 3 titik sampling yaitu stasiun 1, 3, dan 4 yang akan digunakan sebagai data primer dalam penelitian ini; sedangkan lokasi sampling air dan sedimen dilakukan pada 4 titik sampling yaitu stasiun 1, 2, 3, 4 dengan masing-masing ulangan sebanyak 4 kali, data yang didapat pada air dan sedimen akan digunakan sebagai data sekunder dikarenakan penulis mendapatkannya dari UPT Laboratorium Lingkungan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta. Analisa sampel kandungan logam berat di dalam organ tubuh ikan dilakukan di Laboratorium Terpadu FKH-IPB, Bogor.
Lokasi-lokasi pengamatan tersebut terlihat pada
Gambar 4 berikut ini :
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan contoh ikan (•) serta air dan sedimen ( ) di Teluk Jakarta pada bulan Oktober 2004.
Lokasi-lokasi titik sampling ini merupakan kegiatan monitoring yang dilakukan oleh kerjasama PKSPL IPB, P2O LIPI, DPTL-BPPT, BRPL-DKP, dan BPLHD Propinsi DKI Jakarta. Lokasi stasiun pengambilan sampel ikan dipilih stasiun-stasiun yang berada dekat dengan daratan, dengan menggunakan asumsi lokasi-lokasi tersebut merupakan lokasi yang paling dekat dengan daratan yang memberikan masukan bahan-bahan pencemar yang berasal dari run-off sungaisungai yang seluruhnya bermuara ke Teluk Jakarta ini.
Stasiun 1 dan 2
merupakan lokasi pengamatan yang dekat dengan daerah industri; stasiun 3 dekat dengan aktivitas wisata seperti DUFAN dan hotel; dan stasiun 4 dekat dengan pelabuhan. Besarnya bahan-bahan pencemar yang terbawa masuk ke perairan oleh aliran sungai diperkirakan berasal dari limbah buangan dari pabrik-pabrik industri yang ada di daerah Jakarta Utara yang juga dilalui aliran sungai diantaranya seperti Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Sunter, dan Kali Cakung (Kantor kependudukan dan lingkungan hidup 1989 diacu dalam Diniah 1995) seperti yang terlihat pada Lampiran 7.
3.2 Alat, Bahan, dan Kegunaan Kegiatan penelitian ini menggunakan alat-alat seperti cool box untuk menyimpan sampel, plastik, alat bedah untuk memisahkan contoh organ dalam seperti insang, daging, ginjal, hati, dan limfa, kertas label untuk memberi tanda botol sampel dan mesin Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS) yang digunakan untuk mengukur kandungan logam berat.
Bahan yang digunakan
adalah sampel ikan alu-alu atau great barracuda fish , contoh air laut, es untuk mengawetkan agar kondisi sampel dalam keadaan segar lebih lama dan formalin untuk mengawetkan sampel. Pertimbangan penulis di dalam menggunakan ikan alu-alu sebagai contoh dikarenakan ikan alu-alu sebagai top-predator yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Melalui rantai makanan yang ada ikan alu-alu mengakumulasi logam berat yang ada di perairan, sehingga diduga hal inilah yang menyebabkan tingginya kandungan logam berat dalam tubuh ikan alu-alu.
3.3
Metode Kerja
3.3.1 Pengambilan Contoh Ikan Alu-alu Penangkapan ikan alu-alu menggunakan jaring bondet (purse seine) dilakukan oleh nelayan setempat pada tiga stasiun yang telah ditentukan. Kemudian sampel ikan yang tertangkap dimasukkan ke dalam kotak pendingin atau cool box yang di dalamnya terdapat es batu untuk selanjutnya ditransportasikan ke Bogor.
Sampai di Bogor ikan dibawa ke Laboratorium
Ekobiologi Perairan yang berada di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk dilakukan penanganan lebih lanjut berupa pembedahan untuk mengambil sampel organ-organ dalam ikan seperti daging, hati, insang, limfa dan ginjal yang akan dilakukan analisa kandungan logam beratnya pada laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). Selama proses penanganan sampel organ mulai saat ikan dibedah hingga organ dalam dipisahkan dan ditempatkan ke dalam botol film, sampel selalu disimpan di dalam cool box yang berisikan es batu, hal ini bertujuan agar sampel tidak cepat mengalami pembusukan. Prinsip kerja metode Spektrofotometrik Serapan Atom (AAS) yang digunakan berdasarkan pada hukum Lambert-Beer yaitu banyaknya sinar yang diserap akan berbanding lurus dengan kadar za t. Setelah dilakukan analisa AAS, untuk mendapatkan konsentrasi logam berat yang sebenarnya maka dilakukan konversi nilai dengan perhitungan menggunakan formula sebagai berikut :
Konsentrasi AAS (ìg/ml) x Vol penetapan (ml) K sebenarnya = Berat kering (g) Analisa histologi untuk melihat tingkat kerusakan jaringan akibat dari paparan logam berat dilakukan di Laboratorium Patologi/Toksikologi Balai Penelitian Veterinary (Balitvet – Bogor). Organ dalam yang dianalisa histologinya adalah ginjal, hati, limfa, daging, dan insang.
3.3.2 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen Data parameter lainnya seperti suhu, salinitas, pH, DO, logam berat Pb dan Cd merupakan data sekunder yang didapatkan dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah propinsi DKI Jakarta. Metode analisa, teknik serta alat yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 9.
3.4
Analisa dan Penyajian Data
3.4.1 Deskriptif Keseluruhan data parameter kualitas perairan dan logam berat yang ada di sedimen, badan perairan maupun yang terkandung di dalam tubuh ikan alu-alu disajikan secara deskriptif. Data lapang yang didapat akan dibandingkan dengan nilai baku mutu perairan baik untuk perairan laut untuk wisata bahari, pelabuhan, maupun untuk biota. Nilai baku mutu yang digunakan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut dan baku mutu standar internasional untuk sedimen mengacu pada Dutch Quality Standards for Metals in Sediments (IADC/CEDA 1997).
3.4.2 Analisa Histopatologi Disamping menganalisa besar kandungan logam berat yang terdapat dalam tubuh ikan, dilakukan pula analisa hasil foto histologi beberapa jaringan organ dalam seperti hati, daging, ginjal, limfa dan insang. Melalui cara ini maka dapat diketahui jenis-jenis kerusakan yang diakibatkan dari adanya penetrasi logam berat ke dalam tubuh ikan alu-alu. Disamping itu juga untuk mengetahui tingkat kerusakan sel-sel pada organ ikan alu -alu.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Pb dan Cd pada Perairan Logam berat timah hitam (Pb) dan kadmium (Cd) yang terkonsentrasi pada badan perairan di keempat stasiun yang diamati rata -rata memiliki nilai konsentrasi yang masih berada di bawah batas yang dapat ditoleransi. Keberadaan kedua logam tersebut di sampel air yang diambil setelah dilakukan uji analisa dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS) ternyata tak terdeteksi, dengan kata lain memiliki konsentrasi dibawah 0.0001 mg/l (batas deteksi alat yang digunakan). Menurut EPA (1987) yang diacu dalam Laws (1993) menyatakan bahwa batas konsentrasi maksimum logam berat timah hitam di perairan laut adalah sebesar 140 ppb dan untuk logam kadmium 43 ppb. Sedangkan nilai baku mutu kandungan logam berat timah hitam di perairan untuk kehidupan biota laut yang masih ditolerir menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/Men KLH/I/2004 adalah sebesar 0.008 ppm dan untuk kadmium adalah 0.001 ppm. Sepintas hal ini mungkin menunjukkan bahwa di perairan Teluk Jakarta tidak tercemar oleh logam berat timah hitam maupun kadmium, jika hanya dilakukan analisa contoh air laut yang berada di badan perairan. Konsentrasi logam timah hitam yang tidak terdeteksi di badan perairan diduga karena terlalu banyaknya logam timah hitam yang masuk ke perairan secara terus menerus (kontinuitas tinggi) namun keberadaannya akan terakumulasi di dalam sedimen atau dengan kata lain logam timah hitam akan mengalami pengendapan. Menurut Leckie dan James (1974) yang diacu dalam Connel dan Miller (1995), logam yang terdapat di perairan dalam bentuk terlarut biasanya merupakan ion-ion sederhana maupun ion kompleks, kelat, atau komple ks organo-logam yang tidak terionisasi. Namun begitu beberapa faktor seperti pH; jenis dan kepekatan ligan dan zat-zat pengkelat; keadaan oksidasi komponen mineral dan lingkungan redoks, akan turut mempengaruhi kelarutan logam berat di suatu perairan. Namun diasumsikan pula bahwa keberadaan arus dan gelombang air laut yang kuat di sekitar lokasi pengamatan juga berperan dalam menentukan keberadaan logam timah hitam di badan perairan. Hal ini dikarenakan arus dapat mengaduk massa air yang ada di
dekat dasar perairan maupun yang berada di sedimen sekalipun sehingga keberadaannya di perairan tidak akan terkonsentrasi hanya di tempat tertentu saja. Keberadaan logam kadmium di perairan yang tidak terdeteksi juga diduga karena memang keberadaannya yang berasal dari sumber pencemar (industri) sudah mengalami reduksi atau jumlah penggunaan logam berat kadmium di dalam proses produksi sudah dikurangi atau sudah mulai disubstitusikan dengan menggunakan substansi lain yang lebih ramah lingkungan.
Sebagai data
pembanding adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui sumber dari beberapa logam berat – diantaranya Cd – dalam perairan Teluk New York (Mueller et al. 1979 yang diacu dalam Palar 2004). Data yang didapat dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa sumber Cd dalam badan perairan yang terkontribusi dari limbah industri sangat sedikit yaitu 0,6 % dari total kandungan Cd yang ada. Kontribusi paling besar dari logam Cd justru berasal dari limbah padat yaitu sebesar 82 %, sedangkan limbah yang berasal dari limbah cair rumah tangga dan aliran dari pemukiman perkotaan adalah 5 %. Hal ini diduga erat ada kaitannya dengan peringatan keras yang diserukan oleh beberapa lembagalembaga di dunia yang bergerak dibidang lingkungan hidup - seperti greenpeace, akan baha ya pencemaran logam kadmium, sehingga apabila suatu industri kedapatan secara nyata mencemari perairan dengan kadmium maka dapat saja dicabut ijin buka usahanya. Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab tidak terdeteksinya logam berat yang diteliti adalah sensitifitas alat yang digunakan. Sensitifitas deteksi kandungan logam mesin yang digunakan hanya sebatas 0.0001 ppm. 4.2 Kandungan Pb dan Cd pada sedimen Besar konsentrasi logam berat timah hitam (Pb) pada sedimen masih berada di bawah tingkat aman standar internasional baku mutu menurut Dutch Quality Standards for Metals in Sediments (IADC/CEDA 1997). Mengacu pada baku mutu yang ada, dijelaskan bahwa pada level target, konsentrasi maksimum logam timah hitam adalah 85 ppm.
Penjelasan yang terdapat pada Dutch Quality
Standards for Metals in Sediments menyatakan bahwa jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi
lingkungan (IADC/CEDA 1997). Nilai konsentrasi kandungan logam berat timah hitam yang terdapat di dalam sedimen dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 5 berikut ini :
Tabel 11. Konsentrasi timah hitam (ppm) pada sedimen. Stasiun Pengamatan
Ulangan 1
2
3
4
1
32,64
23,91
27,13
13,34
2
26,13
32,82
31,71
14,09
3
30,56
35,48
43,28
*
4
39,58
31,4
28,21
13,57
Rata-rata
32,2275 ± 5.6033
30,9025 ± 4.9589
32,5825 ± 7.3947
13,6667 ± 0.3842
Konsentrasi Timah Hitam (ppm)
45 40 35 30
Stasiun 1
25
Stasiun 2
20
Stasiun 3
15
Stasiun 4
10 5 0 Stasiun Pengamatan
Gambar 5. Kandungan logam Pb dalam sedimen perairan.
Pada Tabel 11 maupun grafik diatas terlihat nilai rata -rata terendah diperoleh pada stasiun 4, sedangkan nilai rata-rata tertinggi ditemukan di stasiun 3. Konsentrasi logam berat pada tiga stasiun pertama (1, 2, dan 3) relatif tidak berbeda konsentrasinya. Tidak diketahui alasan mengapa pada ulangan ketiga dari stasiun ke-4 tidak terdeteksi (nilai konsentrasi logam dibawah 0.0001 ppm). Salah satu faktor yang mungkin dapat menjadi penjelasan adalah diduga karena stasiun 4 berada pada daerah yang banyak arus, sehingga keberadaan logam timah itu sendiri di perairan maupun di sedimen menjadi tidak stabil. Keberadaan lokasi
stasiun 4 berikut ulangannya yang dekat dengan daratan sebelah timur juga akan menyebabkan kondisi dasar perairan yang tergolong tidak tenang, hal ini dikarenakan gelombang yang menuju pantai akan memecah didekat tepi karena adanya bangunan pemecah gelombang. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terjadinya pergolakan massa air yang akan menyebabkan teraduknya sedimen. Meskipun logam timah hitam yang terdapat pada sedimen masih berada di bawah baku mutu perairan, perlu diwaspadai pula keberadaannya pada biota laut seperti ikan-ikan demersal. Hal ini terkait dengan sistem rantai makanan yang ada, maka bukan hal yang mustahil bahwa konsentrasi timah hitam yang kecil akan menjadi besar (terakumulasi) pada biota dengan trofik level yang lebih tinggi. Logam berat timah hitam yang terakumulasi dalam biota yang dikonsumsi oleh manusia seperti ikan dan kerang-kerangan akan sangat membahayakan. Hal ini sejalan dengan pernyataa n Fostner dan Wittman (1983), keracunan logam berat timah hitam pada masa anak-anak akan menyebabkan kerusakan pada jaringan otak sehingga menyebabkan keterbelakangan mental serta menyebabkan masalah tingkah laku yang serius. Menurut Palar (2004), keracunan akibat kontaminasi logam timah hitam dapat menimbulkan hal-hal seperti : meningkatkan kadar ALA (d-Amino Levulinic Acid) atau asam amino levulinat dalam darah dan urin; meningkatkan kadar protoporphirin dalam sel darah merah; memperpendek umur sel darah merah; menurunkan jumlah sel darah merah; menurunkan kadar retikulosit (sel- sel darah merah yang masih muda); serta meningkatkan kandungan logam Fe dalam plasma darah. Organ-organ tubuh yang banyak menjadi sasaran keracunan logam timah hitam adalah siste m syaraf, sistem ginjal, sistem reproduksi, sistem endokrin, dan jantung. Besar konsentrasi logam berat kadmium pada sedimen di perairan Ancol Teluk Jakarta masih tergolong aman bagi kehidupan biota yang ada menurut Dutch Quality Standards for Metals in Sediments yaitu di bawah 0.8 mg/kg (IADC/CEDA 1997). Hal ini dikarenakan konsentrasi kadmium di sedimen yang dianalisa tidak terdeteksi oleh mesin AAS (dibawah 0.0001 mg/kg).
Namun
menurut EPA (1987) yang diacu dalam Laws (1993), besar konsentrasi logam berat kadmium dalam perairan maksimum yang masih diperbolehkan adalah sebesar 43 ppb.
Sangat kecilnya konsentrasi logam berat kadmium dalam
sedimen diduga karena tidak terjadi pembuangan limbah lumpur dari beragam sumber pencemaran seperti dari industri cat dan plastik, kegiatan penambangan, kegiatan ekstraksi dan pengolahan logam Zn, maupun kegiatan-kegiatan industri lainnya yang berada disekitar perairan yang berpotensi menimbulkan pencemaran di perairan Teluk Jakarta.
Padahal apabila dilihat dari sifat logam kadmium itu
sendiri yang cenderung untuk mengendap ke dasar perairan seharusnya logam tersebut banyak terakumulasi di dasar perairan. Secara alami logam-logam berat biasanya tidak akan hilang dari ekosistem perairan dan akan cenderung untuk mengakumulasi di sedimen (Fostner dan Wittman 1983).
Kemungkinan rendahnya konsentrasi logam kadmium dalam
sedimen mengacu kepada Fostner dan Wittman (1983) kontaminasi logam kadmium memang tidak seluas logam-logam lainnya seperti merkuri, namun begitu sama berbahayanya bagi manusia. Hal ini dikarenakan menurut Fasset dan Don (1962) yang diacu dalam Yoga dan Sudarso (1997) bahwa keracunan logam berat kadmium dapat menyebabkan pengaruh pada sekresi kelenjar ludah, muntah yang berkelanjutan, sakit perut, vertigo, diare bahkan dapat hilang kesadarannya apabila seseorang mengkonsumsi ikan yang telah terakumulasi oleh logam berat kadmium cukup banyak. 4.3 Bioakumulasi Pb dan Cd pada Ikan Alu-alu Data kandungan logam berat timah hitam pada ikan alu-alu yang diperoleh menunjukkan bahwa akumulasi konsentrasi terbesar terdapat pada organ limfa yaitu sebesar 9.1241 mg/kg. Akumulasi terbesar kedua dan berikutnya berturutturut terdapat pada organ daging dengan nilai 3.4483 mg/kg, organ insang 3.2258 mg/kg, hati 3.0260 mg/kg, dan terakhir organ ginjal yang memiliki konsentrasi logam berat timah hitam paling kecil diantara organ-organ lainnya yaitu sebesar 2.8217 mg/kg (Gambar 6).
Konsentrasi Timah Hitam (mg/kg)
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Limfa
Daging
Insang
Hati
Ginjal
Gambar 6. Kandungan logam Pb pada organ ikan alu-alu.
Konsentrasi logam timah hitam yang tertinggi terdapat pada organ limfa, diduga karena sistem metabolisme tubuh mengenali logam berat timah hitam yang masuk ke dalam tubuh sebagai suatu zat asing, sehingga saat terjadi proses filtrasi darah maka logam Pb akan tersaring dalam plasma limfa (sistem limfatik) untuk selanjutnya dikeluarkan dari tubuh. Hal tersebut sejalan dengan fungsi utama organ limfa itu sendiri yaitu sebagai organ pertahanan atau kekebalan tubuh (immune system) yang memproduksi antibodi (Hibiya 1982; Banks 1986) maupun sebagai tempat untuk memproduksi sel-sel darah putih (defensive cells) dan sel-sel darah merah (eritrosit); mentransportasikan berbagai materi yang terlarut dalam plasma limfa; menyaring darah dan plasma limfa; menghancurkan sel-sel (fagositosis); serta mengeluarkan substansi asing, sel darah putih yang sudah mengalami degenerasi, maupun bakteri yang masuk ke dalam darah dan tersaring oleh plasma limfa (Copenhaver e t al., 1978). Konsentrasi logam berat pada limfa dengan nilai hampir dua kali lipat dibandingkan konsentrasi logam pada organ dalam lainnya diduga karena ikan alu-alu tersebut masih memiliki sistem limfatik yang masih bagus. Hal ini sejalan dengan Banks (1986) yang menyatakan bahwa, jika di dalam plasma limfa banyak substansi asing yang tidak diperlukan proses metabolisme tubuh ikut tersaring dari darah, maka hal tersebut menunjukkan bahwa fungsi sistem limfatik tubuh -
sebagai organ yang berfungsi sebagai penyaring atau filtrasi dan menjaga sistem immunitas - masih dalam kondisi bagus di dalam menjalanka n fungsinya. Fungsi hati juga tidak jauh berbeda dari sistem limfatik, yaitu diantaranya metabolisme lemak, karbohidrat, protein, dan vitamin berlebih yang terdapat dalam darah (Copenhaver et al., 1978); memproduksi serum protein dan lipoprotein (Copenhave r et al., 1978); biotransformasi substansi toksik, senyawa kimia obat-obatan, dan hormon yang dianggap racun baik karena keberadaannya sudah tidak diperlukan oleh sistem metabolisme tubuh, maupun dikarenakan keberadaannya dapat membahayakan organisme tersebut dalam hal ini adalah ikan alu-alu (Banks 1986); mengeluarkan pigmen warna bilirubin pada kantung empedu (Banks 1986). Tingginya logam Pb pada organ hati diduga karena sifat organ hati itu sendiri yang cenderung untuk mengakumulasikan semua hasil filtrasi substansi asing yang berasal dari darah (Banks 1986). Namun penimbunan senyawa toksik dalam hati tidak akan berlangsung lama, proses pengeluaran dari dalam tubuh akan terjadi saat tubuh menganggap tingkat akumulasi dalam hati sudah berada pada tingkat kritis. Hal ini diduga dapat menjelaskan konsentrasi timah hitam pada organ hati yang tidak setinggi pada limfa. Konsentrasi kedua tertinggi yaitu pada daging, diduga karena ikan alu-alu mengkonsumsi ikan-ikan kecil (prey), krustasea seperti kepiting, lobster, dan udang – yang notabene memiliki trofik level lebih rendah dari ikan alu-alu, dengan kandungan logam berat yang tinggi dalam tubuhnya. Terkait juga dengan rantai makanan yang ada, ikan alu-alu sebagai ikan predator karnivor dengan trofik level paling tinggi pada jenis ikan, tentunya akan mengakumulasi logam berat yang berasal dari mangsa-mangsanya yang berupa ikan-ikan kecil (Newman 1991). Hal tersebut sejalan dengan keberadaan logam berat Pb yang rendah pada perairan, dikarenakan menurut Newman (1991) apabila logam berat yang terkandung di dalam perairan rendah maka yang akan sangat berperan di dalam proses pengambilan (up-take) logam berat tersebut adalah melalui rantai makanan. Namun jika logam berat yang ada pada perairan tinggi, maka insang ikan akan dominan berperan di dalam proses pengambilan logam berat. Pada insang juga ditemukan konsentrasi logam berat yang tinggi. Hal ini terkait dengan fungsi insang ikan yaitu sebagai osmoregulator, respirator, dan
ekskretor (Hughes et al., 1973). Pola tingkah laku ikan alu-alu yang termasuk ke dalam ikan pelagis besar ini selalu bergerak cepat di kolam perairan laut yang luas, sehingga bukan tidak mungkin bagi ikan ini bergerak ke berbagai kolom perairan yang telah tercemar logam berat timah hitam me ngingat sangat kecilnya kandungan logam berat timah hitam di kolom perairan yang ada di beberapa stasiun yang diteliti.
Proses pengambilan (up-take) logam berat dari perairan
melalui insang sangat tergantung dari fungsi ventilation yaitu masuknya sejumlah air ke dalam insang sebagai akibat dari kontraksi otot filamen insang, dan juga kinerja mekanisme pompa operkulum yang akan menyedot air dari luar untuk masuk ke dalam rongga antara operkulum dan insang (Hughes et al., 1973). Namun ikan pelagis tidak memiliki fase pernafasan yang cepat, terkait juga dengan tingkah laku ikan alu-alu yang termasuk ikan perenang cepat. Besarnya volume air yang masuk akan sangat tergantung dari ukuran bukaan mulut ikan dan bukaan operkulum (Brown dan Muwir 1970 yang diacu da lam Hughes et al., 1973). Konsentrasi logam timah hitam yang tinggi pada ginjal disebabkan karena fungsi ginjal itu sendiri yaitu sebagai organ pengekskresi sisa metabolisme yang berupa urin, sehingga sisa metabolisme yang mengandung bahan pencemar logam berat juga akan dikeluarkan dari tubuh. Menurut Banks (1986), secara umum mekanisme proses filtrasi yang terjadi dalam organ ginjal terdiri dari: penyaringan glomerular, penyerapan kembali (re-absorption) pada bagian tubular ginjal, serta sekresi tubular. Pada mekanisme penyaringan glomerular, sebanyak 60.000 ml darah akan disaring setiap harinya. Substansi dengan berat molekul 5000 ìg akan mudah melewati glomerulus (tidak ikut tersaring).
Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses filtrasi glomerulus adalah permeabilitas permukaan glomerular, tekanan hidrostatik saluran darah, dan tekanan osmotik koloid darah. Substansi yang tidak tersaring pada glomerular filtration akan dilakukan penyerapan kembali secara aktif melalui transpor aktif seperti pada glukosa, asam amino dan sodium, maupun melalui transpor pasif yaitu seperti air dan urea. Transpor aktif memiliki batas maksimum mekanisme penyerapan, jika sudah melebihi dari batas, maka substansi tidak akan dilakukan penyerapan kembali. Proses re-absorpsi dipe ngaruhi oleh parathormone, hormon aldosteron, dan
antidiuretic hormone (ADH). Proses selanjutnya adalah pengeluaran substansi yang sudah tidak dapat dimanfaatkan melalui urin. Perolehan data dari hasil analisa AAS sampel dari beberapa organ dalam pada ika n alu -alu menunjukkan bahwa ikan tersebut sudah tercemar oleh logam kadmium (Gambar 7).
Konsentrasi Kadmium (mg/kg)
0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 Hati
Ginjal
Daging
Insang
Limfa
Gambar 7. Kandungan logam Cd pada organ ikan alu-alu. Kandungan logam berat kadmium pada ikan alu-alu dengan konsentrasi terbesar adalah pada organ hati yaitu sebesar 0.26 mg/kg, selanjutnya pada organ ginjal sebesar 0.1418 mg/kg, organ daging 0.1183 mg/kg, organ insang 0.1028 mg/kg, terakhir adalah organ limfa dengan jumlah konsentrasi terkecil diantara organ lainnya yaitu sebesar 0.0723 mg/kg. Konsentrasi logam kadmium yang tinggi pada hati merupakan hal yang wajar, mengingat salah satu fungsi dari organ hati itu sendiri yaitu melakukan metabolisme dan mengeluarkan zat-zat asing yang ada di dalam tubuh ikan termasuk di dalamnya logam berat yang terdapat dalam jumlah yang melebihi keperluan tubuh dalam fungsi metabolismenya. Menurut Heath (1987), apabila di dalam tubuh ikan sudah terlalu banyak terkonsentrasi logam berat namun laju metabolisme untuk mengekskresikan zat-zat sisa tidak sebanding dengan besarnya laju akumulasi substansi toksik, maka zat-zat tersebut akan ditampung terlebih dahulu di dalam organ hati untuk selanjutnya akan dikeluarkan dari tubuh. Pada
dasarnya makhluk hidup tetap membutuhkan keberadaan logam berat di dalam menjalankan fungsi metabolisme tubuhnya, hanya saja dalam konsentrasi yang sangat sedikit. Jika kekurangan dalam jumlah yang cukup maka tubuh pun akan mengalami defisiensi, namun jika berlebihan dapat bersifat racun bagi tubuh (Owen 1985). Organ ginjal menempati posisi kedua terbesar setelah organ hati yaitu dengan konsentrasi kadmium sebesar 0.1418 mg/kg. Fungsi ginjal itu sendiri adalah sebagai organ yang akan mengekskresikan zat-zat sisa metabolisme yang terbawa bersama darah lalu akan dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk urin. Banyaknya zat-zat sisa yang harus dikeluarkan oleh ginjal pun akan meningkatkan kinerja ginjal itu sendiri. Namun menurut Heath (1987), proses ekskresi logam berat melalui organ ginjal tidak terjadi dalam waktu singkat melainkan akan diakumulasikan terlebih dahulu. Hal tersebut terkait dengan besar maupun berat molekul logam berat itu sendiri yang cenderung akan membuat kinerja ginjal meningkat (Banks 1986). Pada daging terdapat konsentrasi logam kadmium sebesar 0.1183 mg/kg. Hal ini dikarenakan logam yang masuk ke dalam tubuh ikan melalui insang maupun melalui makanan akan dicerna di dalam saluran pencernaan untuk selanjutnya akan didistribusikan dan akan ikut ke dalam bentuk daging di seluruh bagian tubuh ikan, namun perlu diketahui bahwa logam berat tidak akan ikut terkonversi menjadi daging. Hal tersebut dikarenakan unsur dalam nutrisi yang mengalami metabolisme tubuh adalah unsur C (karbon), H (hidrogen), O (oksigen) dan N (nitrogen). Diniah (1995) mengatakan bahwa, logam berat akan banyak diakumulasikan dalam usus, kulit dan bagian ekor ikan.
Sehingga
menurutnya dianjurkan dalam mengkonsumsi ikan-ikan laut sebaiknya bagian tubuh tubuh tersebut tidak dimakan. Konsentrasi logam kadmium pada insang adalah sebesar 0.1028 mg/kg. Jika suatu perairan terkontaminasi logam kadmium maka organ seperti kulit dan insang akan cenderung mengakumulasinya terlebih dahulu baru kemudian mengekskresikannya (Heath 1987). Insang akan terstimulasi untuk memproduksi sel-sel klorida yang akan mengeluarkan lendir (mucus) sebagai respon osmoregulasi yang juga akan mengeluarkan logam berat dari tubuh ikan (Hughes
et al., 1973).
Hal ini diduga ada hubungannya dengan sistem pernafasan
merupakan jaringan yang menghubungkan langsung antara ikan dengan lingkungan akuatik, dimana permukaannya hanya terdiri dari selapis tipis sel epitelium yang menjadi pembatas antara sistem sirkulasi darah ikan dengan air (Eller 1975 yang diacu dalam Mallins dan Jensen 1992). Namun seiring dengan produksi lendir terutama pada kulit akan memberi efek juga berupa pencegahan terabsorbsinya logam berat untuk masuk ke dalam tubuh melalui kulit. Hal ini dikarenakan lendir itu sendiri memiliki kerapatan massa jenis yang tinggi sehingga sukar untuk terjadinya pertukaran zat baik dari lingkungan ke dalam tubuh maupun sebaliknya, sehingga keberadaan lendir justru akan membuat logam berat menempel pada lendir yang lengket dan mengakumulasinya (Heath 1987). Logam berat yang banyak menempel pada lendir akan dengan sendirinya ikut terlepas bersamaan lepasnya le ndir dari kulit maupun insang ikan, dikarenakan ikan akan terus memproduksi lendir selama kondisi lingkungan masih terpapar logam berat (Heath 1987). Pada dasarnya semua proses ekskresi tersebut terkait dengan “depuration rate” atau laju pemurnian yang merupakan lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pengeluaran zat-zat kimia yang ada dalam tubuh ikan tersebut. Nilainya dapat diketahui dari proses bio-assay yaitu dengan cara menempatkan ikan yang berasal dari perairan senyawa toksik ke dalam lingkungan perairan baru yang belum tercemar, lalu dalam kurun waktu tertentu dilakukan pengukuran untuk mengetahui kandungan senyawa toksik yang telah dikeluarkan melalui metabolisme tubuh ikan (Wikipedia 2005). Menurut Riani (komunikasi pribadi 2006) mengatakan bahwa proses pengeluaran logam ini dilihat juga dari keberadaannya di dalam tubuh.
Jika logam sudah berikatan menjadi gugus
sulfidril atau berikatan dengan enzim, maka proses detoksifikasi menjadi lebih sulit jika dibandingkan apabila logam tersebut masih dalam keadaan bebas. Laju pemurnian tersebut berbeda -beda pada masing-masing organ tubuh, hal ini terkait juga dengan besar ukuran tubuh ikan tersebut.
Laju pemurnian zat-zat sisa
seluruh tubuh pada ikan yang memiliki ukuran badan lebih kecil akan mengalami proses yang lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan berukuran tubuh besar. Jika dikaitkan dengan laju metabolisme tubuh, maka laju pemurnian akan sejalan
berbanding lurus. Laju metabolisme ikan kecil lebih besar dari ikan-ikan yang memiliki ukuran tubuh besar, hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan di dalam volume tubuh ikan (Schaepercalus 1933 yang diacu dalam Hoar et al., 1969). Sebagai perbandingan adalah ikan carper dengan berat 12 gram membutuhkan energi sebesar 24.48 kcal dalam waktu 24 jam/kg berat badan, sedangkan ikan dengan berat 600 gram hanya memerlukan energi sebesar 7.97 kcal. Konsumsi oksigen ikan kecil per unit berat badan yang tinggi juga membuktikan bahwa semakin besar juga kalori yang dikeluarkan (Schaepercalus 1933 yang diacu dalam Hoar et al., 1969). Akumulasi logam berat timah hitam dan kadmium yang tinggi pada ikan alu-alu jika dikaitkan dengan keberadaannya pada rantai makanan yaitu sebagai ikan konsumen tingkat II pemakan daging atau dikenal sebagai ikan karnivora, tentunya dapat menjelaskan proses akumulasi yang terjadi. Gambar 8 berikut merupakan contoh rantai makanan dari logam berat merkuri (Hartung 1972 yang diacu dalam Forstner dan Wittman 1983).
ALGAE
ZOOPLANKTON
IKAN-IKAN KECIL
H2O PARTIKEL TERSUSPENSI
IKAN-IKAN PREDATOR
SEDIMEN
DEKOMPOSER MANUSIA Jalur pemanfaatan Jalur kematian
Gambar 8. Rantai makanan logam kadmium (Hartung 1972 yang diacu dalam Forstner dan Wittman 1983).
Diawali dengan ikan-ikan herbivora kecil yang mengkonsumsi fitoplankton, zooplankton, maupun algae yang sudah tercemar logam berat timah hitam dalam sistem jaringannya sebagai akibat dari terpaparnya organisme di dalam perairan yang mengandung kontaminan logam berat. Selanjutnya ikan-ikan kecil tersebut akan dimakan oleh ikan-ikan karnivora yang trofik levelnya berada diatas ikan herbivora, demikian seterusnya hingga kemungkinan terjadinya biomagnifikasi suatu penumpukkan biomassa logam berat dalam tubuh organisme yang terkait dengan adanya proses rantai makanan, adalah sangat besar. Organisme tingkat tinggi seperti manusia adalah yang paling dirugikan, hal ini terjadi karena manusia adalah rantai konsumen terakhir yang akan mendapatkan akumulasi logam berat terbesar dari keseluruhan rantai makanan yang ada. Sebagai perbandingan, maka digunakan juga data kandungan logam berat pada ikan-ikan maupun organisme laut lainnya yang pernah diteliti di perairan Teluk Jakarta. Data tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini :
Tabel 12. Konsentrasi Pb (ppm) pada beberapa jenis ikan di Teluk Jakarta Petek (Leiognathus sp.)
Beloso (Saurida tumbil)
Lidah (Cynoglossus sp.)
Jenaha (Lutjanus sp)
Kepiting (Scylla serrata
Daging
1.0679
2.4954
0.5517
0.4545
0,5261
Insang
7.7493
4.7692
1.8105
5.6250
4,3581
Sumber: Diniah (1995 )
Tabel 13. Konsentrasi Cd (ppm) pada beberapa jenis ikan di Teluk Jakarta Petek (Leiognathus sp.)
Beloso (Saurida tumbil)
Lidah (Cynoglossus sp.)
Jenaha (Lutjanus sp)
Kepiting (Scylla serrata)
Daging
1.8016
3.0553
0.5901
0.2902
0,7857
Insang
4.6378
4.3953
1.6555
3.49
2,0218
Sumber: Diniah (1995 )
Tabel 14. Konsentrasi Pb dan Cd kerang hijau (Perna viridis) di Teluk Jakarta Jenis logam
Konsentrasi (ppm)
Hepatopankreas
Pb
2.7709
Insang
Pb
6.1350
Daging
Pb
5.5351
Rataan
4.8136
Hepatopankreas
Cd
0.2494
Insang
Cd
0.2065
Daging
Cd
0.5357
Rataan
0.3305
Sumber: Armanesa (2005)
Tabel 15. Konsentrasi Pb dan Cd ikan sokang (Triacanthus nieuhofii) di Teluk Jakarta Stasiun
Jenis logam
Konsentrasi (ppm)
1
Pb
9.5565
2
Pb
4.5109
3
Pb
3.2883
Rataan
5.7852
1
Cd
0.2791
2
Cd
0.2517
3
Cd
0.0725
Rataan
0.2011
Sumber: Bangun (2005) dan Raditya (2005)
Secara umum dari data konsentrasi logam Pb dan Cd yang ada menunjukkan bahwa konsentrasi logam-logam berat tersebut yang terdapat pada berbagai jenis ikan di Teluk Jakarta berada pada tingkatan konsentrasi yang membahayakan kesehatan apabila terkonsumsi oleh manusia.
Bahkan pada
beberapa jenis ikan pelagis kecil seperti ikan petek (Leiognathus sp.) dan ikan sokang (Triacanthus nieuhofii), kandungan logam Pb dan Cd yang terdapat pada tubuhnya justru lebih besar dari kandungan logam serupa yang terdapat dalam ikan alu-alu. Begitu pula yang terjadi pada jenis kerang hijau (Perna viridis). Pada ikan-ikan pelagis kecil lainnya seperti ikan beloso (Saurida tumbil), ikan lidah (Cynoglossus sp.), ikan jenaha (Lutjanus sp.), serta jenis krustasea seperti kepiting (Scylla serrata) masing-masing memiliki kandungan logam kadmium yang lebih besar dari yang terakumulasi pada tubuh ikan alu-alu, namun ikan-ikan termasuk kepiting tersebut memiliki konsentrasi logam timah hitam yang lebih kecil dari ikan alu-alu. Akumulasi yang lebih besar lagi akan terjadi jika ikanikan pelagis kecil tersebut dimangsa oleh ikan dengan trofik level yang lebih tinggi. Dalam hal ini jika dilihat dari aspek biologis dan kebiasaan hidup ikan alu-alu yang akan memangsa ikan-ikan kecil maupun organisme jenis krustasea, dan cephalopoda, maka diduga ikan-ikan pelagis kecil tersebut maupun kepiting yang ada di perairan Teluk Jakarta merupakan mangsa (prey) ikan alu -alu yang menyebabkan akumulasi logam berat yang tinggi dalam tubuhnya. Namun hal yang menjadi perhatian disini adalah kerang hijau (Perna viridis) - yang notabene merupakan organisme yang hidupnya menetap (sesille) dan mempunyai sifat akumulasi terhadap substansi-substansi beracun termasuk di dalamnya logam berat, memiliki kandungan logam Pb maupun Cd yang tinggi pada organ-organ seperti hepatopankreas, insang, dan daging. Hal tersebut juga membuktikan kalau pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta memang sudah berada dalam kondisi memprihatinkan dan memerlukan penanganan yang lebih lanjut terhadap upaya pengendalian pencemaran yang terjadi.
4.4 Respon Histopatologis Organ Dalam Ikan Alu-alu Terhadap Logam Berat Pb dan Cd Beberapa organ dalam ikan alu-alu yang dilakukan analisa histopatologinya menunjukkan kerusakan jaringan organ yang beragam, hal ini dapat dijadikan indikasi positif adanya pencemaran perairan oleh logam berat maupun oleh substansi lainnya yang menyebabkan struktur sel mengalami kerusakan. Mengacu pada Anonymous (2005) yang menyatakan efek kerusakan dari suatu substansi
yang toksik karena adanya pencemaran dapat dilihat pertama kali dari analisa tingkat sel atau jaringan sebelum terlihat pada perubahan tingkah laku maupun penampakan dari luarnya.
Gambar 9 berikut menunjukkan kerusakan dari
jaringan daging ikan alu-alu yang ada di perairan Teluk Jakarta :
B C A
B Gambar 9. Histopatologi daging ikan alu -alu (x 10); a) Degenerasi myofibril; b) Gumpalan retikulum sarkoplasmik; c) Myofibril yang sudah tidak berbentuk normal (Riani 2005). Terlihat bahwa susunan myofibril pada organ daging tela h mengalami degenerasi yaitu mengalami perubahan bentuk seperti berliku-liku (A), terdapat beberapa retikulum sarkoplasmik yang tergabung menjadi satu sehingga terlihat berupa gumpalan putih (B), maupun susunan miofibril yang sudah tidak berbentuk (C).
Sebagai perbandingan, berikut ditampilkan beberapa hasil
penelitian dari Ferreira et al. (2003) yang ingin mengetahui pengaruh pencemaran logam berat merkuri (Hg) terhadap organ dalam hati dan daging ikan Hoplias malabaricus yang berasal dari 4 danau di daerah utara Rio de Janeiro, Brazil yaitu Cima Lake, Campelo Lake, Feia Lake, dan Taquarucu Lake). Penelitian tersebut dilakukan Ferreira dikarenakan menurutnya pengaruh logam merkuri akan sangat berbahaya bagi ikan, yang pada akhirnya jika dikaitkan dengan proses rantai makanan, maka manusia akan menjadi sasaran terakhir bioakumulasi logam berat merkuri tersebut. Pada gambar histologi daging ikan Hoplias malabaricus yang terkontaminasi logam raksa (Hg) dibawah ini (Ferreira et al. 2003) menunjukkan struktur miofibril yang masih normal maupun yang sudah mengalami kelainan.
A
B
Gambar 10. Histologi miofibril ikan Hoplias malabaricus; a) Histologi struktur miofibril normal (x 12000); b) Histopatologi miofibril akibat kontaminasi logam Hg (x 4400) (Ferreira et al. 2003).
A
B
Gambar 11. Histopatologi miofibril ikan Hoplias malabaricus; a) Histopatologi retikulum sarkoplasmik yang menggerombol (x 12000); b) Histopatologi retikulum sarkoplasmik yang menggabungkan diri (x 20000) (Ferreira et al. 2003). Organ ginjal pada ikan alu-alu yang terpapar pada perairan yang sudah tercemar logam timah hitam dan kadmium jika dilihat secara histologis pun sudah mengalami kelainan struktur sel (histopatologis) seperti yang terlihat pada Gambar 12 di bawah ini:
B
A Gambar 12. Histopatologi ginjal ikan alu-alu (x 40); a) Terjadi pembentukan rongga udara (vacuolation); b) Terjadi degenerasi inti sel (Riani 2005).
Gambar 13. Histopatologi ginjal ikan alu-alu (x 40). Panah menunjukkan sel-sel nefron yang mengalami peradangan (nephritis) (Riani 2005). Pada Gambar 12 histologi ginjal alu-alu di atas, terlihat pengaruh kontaminasi logam berat pada ikan alu -alu berupa degenerasi inti sel (B), serta terjadi pembentukan rongga -rongga vakuola (vacuolation) (A).
Sedangkan
Gambar 13 menunjukkan sel-sel nefron yang mengalami peradangan - yang lebih dikenal dengan sebutan nephritis (Hibiya 1982), sebagai akibat dari adanya kontaminasi organ oleh senyawa atau substansi toksik yang meskipun keberadaannya sangat sedikit pada tubuh namun begitu mempengaruhi terhadap kerusakan organ.
Namun menurut Tarmuzi (komunikasi pribadi 2005),
vacuolation yang ada merupakan lemak yang terbentuk – berwarna putih dikarenakan pewarnaan Hematoksisilin dan Eosin (H.E), denagn pembesaran yang lebih kuat lagi barulah dapat diketahui lemak tersebut ber-rongga atau tidak.
Sebagai data pembanding maka berikut juga akan ditampilkan hasil penelitian Bhuiyan et al. (2001) yang ingin mengetahui tingkat kerusakan di beberapa jaringan seperti hati, ginjal, dan ovarium ikan Channa punctatus sebagai akibat dari paparan sumithion (O, O-dimethyl-O-(3-methyl-4-nitrophenyl) phosphothionate) yang berasal dari limbah pestisida pertanian. Metode penelitian yang dilakukan Bhuiyan et al. adalah dengan cara melakukan bioassay. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa paparan sumithion sangat mempengaruhi kerusakan pada jaringan organ dalam yang diamati. Berikut merupakan histologi ginjal ikan Channa punctatus yang terekspos sumithion (Gambar 14) (Bhuiyan et al. 2001).
A
B
Gambar 14. Histologi ginjal ikan Channa punctatus ; a) Histologi ginjal normal (x 50); b) Histologi struktur ginjal yang mengalami kelainan akibat terekspos sumithion (x 50) (Bhuiyan et al. 2001). Menurut hasil penelitian yang diperoleh Bhuiyan et al. (2001) bahwa jika dilihat dari struktur sel ginjal yang terkontaminasi sumithion, sel ginjal mengalami banyak perubahan seperti terjadinya pembentukan rongga-rongga (vacuolation), degenerasi tubuli ginjal dan sel-sel hematopoietic.
Selain itu
disebutkan juga terjadi nekrosis (kematian sel), pyknosis (penyusutan inti) dan hemorrhage (pendarahan) pada sel ginjal. Organ hati ikan alu-alu yang terpapar logam berat pun mengalami kelainan yaitu berupa pendarahan (hemorrhage) atau yang lebih tepatnya adalah pembendungan sel-sel darah merah (congesti) (Tarmuzi, komunikasi pribadi 2005). Pada gambar hasil histologi yang didapat, yang terlihat adalah gumpalangumpalan sel-sel darah merah (eritrosit) yang terkonsentrasi disuatu tempat
(ditunjukkan oleh panah). Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 15 berikut:
Gambar 15.
Histopatologi hati ikan alu -alu (x 20) (Riani 2005). menunjukkan kelainan congesti.
Panah
Pada beberapa studi penelitian lainnya seperti hasil penelitian dari Bhuiyan et al. (2001), disimpulkan bahwa pada organ hati ikan Channa punctatus yang terekspos sumithion menunjukkan kelainan-kelainan seperti pecahnya pembuluh darah, pyknosis, nekrosis ringan, dan pembentukan rongga-rongga (vacuolation). Disamping itu juga terjadi pendarahan (hemorrhage) sebagai akibat keluarnya selsel darah merah dari pembuluhnya yang sudah pecah. Gambaran jelasnya terlihat pada Gambar 17 berikut ini:
Gambar 16. Histologi hati normal ikan Channa punctatus (x 50) (Bhuiyan et al. 2001).
Gambar 17. Histopatologi hati ikan Channa punctatus (x 50) (Bhuiyan et al. 2001). Penelitian yang dilakukan Ferreira et al. (2003) yang ingin melihat pengaruh kontaminasi logam raksa (Hg) terhadap perubahan histologi daging dan hati ikan spesies Hoplias malabaricus, terbukti bahwa logam raksa berpengaruh terhadap struktur sel mitochondria maupun retikulum endoplasmik. Secara umum mereka mengatakan telah terjadi perubahan seperti menyebarnya retikulum endoplasmik dan terdapatnya se jumlah kecil mitokondria yang terkonsentrasi di dekat nukleus.
Berikut ini adalah gambar histologi organ hati ikan Hoplias
malabaricus (Gambar 18):
Gambar 18. Histologi hati ikan Hoplias malabaricus; a) Histologi hati dengan pertumbuhan retikulum endoplasmik (x 7000); b) Retikulum endoplasmik (x 20000). N = nukleus; m = mitokondria; er = retikulum endoplasmik (Ferreira et al. 2003). Insang ikan merupakan salah satu media masuknya berbagai macam partikel tersuspensi yang ada di perairan, selain melalui kulit dan sistem pencernaan.
Semakin lama paparan logam berat yang ada di perairan, maka
pengaruh kerusakan pada organ insang akan sangat terlihat melalui histologi. Namun begitu kerusakan jaringan insang dapat saja disebabkan oleh faktor lain, tidak hanya oleh logam berat (Kamal, komunikasi pribadi 2005). Histologi insang ikan alu-alu menunjukkan bahwa telah terjadi kelainan seperti degenerasi sel-sel lamella (A) yaitu lamella-lamella insang mengalami lisis atau hancur; deformasi lamella (B) yaitu keteraturan susunan lamella seperti insang normal sudah tidak terbentuk, dalam gambar yang ditunjukkan panah B lebih tepatnya disebut edema yaitu terputusnya pasangan insang (Tarmuzi, komunikasi pribadi 2005).
Hal
tersebut dikarenakan normalnya insang ikan terdiri dari sepasang lamella sekunder yaitu sisi kiri dan kanan. Disamping itu juga terjadi tumpang tindih antara lamella primer dan lamella sekunder maupun antara lamella sekunder itu sendiri (C). Gambar 19 berikut menunjukkan kerusakan-kerusakan yang terjadi pada insang:
B
A
C
Gambar 19. Histopatologi insang ikan alu-alu (x 4); a) Degenerasi lamella; b) Deformasi lamella; c) Tumpang tindih antar lamella (Riani 2005). Pada insang yang masih normal (Olojo et al. 2004), susunan struktur dari lamella-lamella masih sangat teratur, terlihat antara lamella primer (P) dan lamella sekundernya (S). Jaringan kartilago (C) yang berisi pembuluh darah juga masih terlihat solid. Berikut adalah contoh histologi insang normal dari ikan Clarias gariepinus :
P
C S Gambar 20. Histologi insang normal ikan Clarias gariepinus (x 400); P = lamella primer, S = lamella sekunder, C = Jaringan kartilago (Olojo et al. 2004). Organ limfa ikan alu-alu mengalami kelainan hemosiderin yaitu dimana terjadi penggumpalan sel-sel darah merah, sehingga akan terkonsentrasi membentuk gumpalan-gumpalan (Wikipedia 2005). Umumnya kelainan organ seperti hemosiderin banyak terjadi pada organ limfa, hal ini dikarenakan organ limfa itu sendiri fungsinya memproduksi sel-sel darah merah (Hibiya 1982). Hemosiderin terlihat sangat jelas dalam Gambar 21 berikut:
Gambar 21. Histopatologi struktur limfa ikan alu -alu (x 20) (Riani 2005).
4.5 Kualitas Perairan Teluk Jakarta Saat Penelitian Berlangsung Kondisi parameter kualitas air yang berhubungan dengan kelarutan dan konsentrasi logam Pb dan Cd di Teluk Jakarta yang diamati adalah suhu, pH, salinitas, serta kandungan oksigen terlarut. Suhu perairan yang tercatat dari hasil pengamatan keempat stasiun menunjukkan kisaran normal alami suhu perairan
pada umumnya yaitu dengan kisaran rata-rata antara 30 - 31°C. Namun kisaran nilai tersebut adalah relatif, bervariasi antara suhu siang dan malam maupun karena perbedaan musim. Suhu tertinggi berada pada stasiun 1 dengan nilai rata-rata 30.75 °C dengan standar deviasi ±0.2887, dan suhu terendah yang tercatat adalah 30.13 °C dengan standar deviasi ±0.25 yang terdapat pada stasiun 3. Stasiun 2 memiliki suhu ratarata 30.25 °C dengan standar deviasi ±0.5, sedangkan stasiun 4 bersuhu rata-rata 30.38 °C dengan standar deviasi ±0.4781. Kondisi suhu perairan yang terdapat di lokasi pengamatan dapat terlihat pada Gambar 22 di bawah ini :
31,0
o
Suhu ( C)
30,5
30,0
Suhu
29,5
29,0 1,0 0,0 1
2
3
4
Stasiun
Gambar 22. Sebaran suhu rata-rata perairan.
Lebih tingginya suhu perairan pada stasiun 1 jika dibandingkan dengan ketiga stasiun pengamatan lainnya diduga karena letak stasiun pada daerah barat Ancol yang dekat dengan jajaran industri serta PLTU yang berdiri, sehingga hal tersebut memungkinkan terjadinya pencemaran panas yang dihasilkan dari aktivitas tersebut (lihat Lampiran 1). Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi akan meningkatkan kelarutan serta tingkat toksisitas logam berat itu sendiri (Sumardianto 1995 yang diacu dalam Nanty 1999). Nilai pH yang tercatat selama pengamatan ditunjukkan pada Gambar 23 berikut ini :
pH
8,00
7,75
pH
7,50
0,00 1
2
3
4
Stasiun
Gambar 23. Sebaran rata-rata pH dalam perairan. Nilai parameter pH yang tercatat memiliki kisaran antara 7.96 – 8.06. Nilai pH yang tertinggi terdapat pada sta siun 3 adalah sebesar 8.05 dengan standar deviasi ±0.0577 dan yang terkecil adalah stasiun 1 sebesar 7.975 dengan standar deviasi ±0.1258. Tertinggi kedua yaitu stasiun 4 sebesar 8.025 dengan standar deviasi ±0.05 dan selanjutnya stasiun 2 dengan nilai pH 8 dengan standar deviasi 0.
Nilai pH pada perairan Pantai Marina Teluk Jakarta masih berada dalam
kisaran baku mutu perairan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/Men KLH/I/2004 yang diperbolehkan untuk pemanfaatan wisata bahari, kegiatan pelabuhan maupun kehidupan biota yang ada diperairan. Rendahnya nilai pH pada stasiun 1 diduga terkait dengan letak lokasi yang dekat dengan daerah industri seperti industri baja, industri pengolahan kayu, industri cat, maupun industri pangan, yang semuanya berlokasi di sebelah barat Ancol sehingga banyak pula buangan limbah yang dilepaskan ke saluran-saluran pembuangan berupa zat organik.
Zat organik yang masuk ke perairan dan
terakumulasi dalam sedimen akan diuraikan menjadi zat anorganik dimana dalam kondisi perairan anaerob akan menghasilkan senyawa H2 S maupun methana hasil dekomposisi zat organik tersebut. Hal tersebut dibuktikan dari grafik nilai oksigen terlarut dibawah ini, terlihat bahwa pada oksigen terlarut stasiun 1 memiliki konsentrasi yang lebih
rendah. Rendahnya oksigen tersebut diduga karena oksigen yang ada di perairan banyak terpakai untuk menguraikan limbah zat organik yang masuk ke perairan. Nilai oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) di perairan Pantai Marina Ancol Teluk Jakarta terlihat pada Gambar 24 berikut ini : 12
Nilai Oksigen Terlarut
10 8
Stasiun 1 Stasiun 2
6
Stasiun 3 Stasiun 4
4 2 0 Stasiun Pengamatan
Gambar 24. Sebaran rata -rata DO dalam perairan.
Nilai oksigen terlarut yang terukur pada lokasi pengamatan memiliki kisaran antara 5.5 – 9.5 ppm. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 9.4475 ppm dengan standar deviasi ±0.3186, dan nilai terendah pada stasiun 4 sebesar 5.6225 ppm dengan standar deviasi ±0.9244. Stasiun 1 dan 2 masing-masing memiliki nilai oksigen terlarut sebesar 7.22 ppm dengan standar deviasi ±1.1488 dan 8.4325 ppm dengan standar deviasi ±1.0659. Nilai konsentrasi oksigen terlarut keempat stasiun pengamatan masih berada pada batas normal baku mutu dimana menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/Men KLH/I/2004 untuk pemanfaatan biota laut maupun untuk wisata bahari konsentrasi yang masih ditolerir adalah 5 ppm. Apabila diperhatikan antara kedua grafik nilai pH dan nilai konsentrasi oksigen terlarut diatas menunjukkan bahwa kedua parameter tersebut saling berbanding lurus. Jika oksigen terlarut disuatu stasiun berkurang akibat terpakai untuk mengurai zat organik terutama yang ada di dasar maka senyawa sampingan yang dihasilkan seperti senyawa methana dan H2S akan menurunkan pH perairan, begitu pun sebaliknya. Besarnya konsentrasi oksigen terlarut juga tergantung dari
bentuk dan jenis substrat yang ada.
Substrat di perairan Teluk Jakarta yang
berada 200 – 600 meter dari pantai memiliki substrat berupa pasir berlumpur (Parjaman 1977). Substrat berlumpur akan menyebabkan oksigen dari udara sulit mengalami difusi ke dalam sedimen, sehingga akan membuat kondisi oksigen pada sedimen semakin rendah. Kondisi oksigen yang rendah akan membuat pH semakin menurun dikarenakan terjadi dekomposisi bahan-bahan organik dalam keadaan anaerob. Nilai salinitas pada keempat lokasi pengamatan di perairan te rlihat pada Gambar 25 di bawah ini :
30,750
30,625
Salinitas
30,500
30,375 Salinitas
30,250
30,125
30,000 0,000 1
2
3
4
Stasiun
Gambar 25. Sebaran rata -rata salinitas dalam perairan.
Besar nilai salinitas di perairan sekitar lokasi pengamatan berkisar antara 30.475 – 30.65 ‰. Stasiun pengamatan 1 dan 3 memiliki nilai rata-rata salinitas yang hampir sama yaitu berturut-turut 30.65 ‰ dengan standar deviasi ±0.0387 dan 30.625 ‰ dengan standar deviasi ±0.005. Nilai salinitas pada stasiun 2 dan 4 juga tidak jauh berbeda yaitu sama-sama 30.475 ‰
namun dengan standar
deviasi untuk stasiun 2 sebesar ±0.025 dan nilai standar deviasi untuk stasiun 4 sebesar ±0.0287.
Tidak terdapat baku mutu terhadap parameter salinitas di
perairan laut, hal ini dikarenakan besar konsentrasi salinitas pada perairan biasanya tidak mudah mengalami perubahan yang berarti sepanjang tahun. Beda halnya dengan tingkat salinitas di perairan payau atau perairan darat lainnya,
dimana terjadinya perubahan cuaca akan sangat mempengaruhi salinitas perairan. Nilai salinitas perairan laut lebih dipengaruhi oleh adanya run-off dari sungaisungai yang banyak bermuara di Teluk Jakarta, besarnya curah hujan (presipitasi), dan tingkat penguapan (evaporasi).
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Konsentrasi logam berat timah hitam dan kadmium yang terukur di air lokasi pengamatan di perairan Teluk Jakarta menunjukkan bahwa kedua logam tersebut sangat rendah (tidak terdeteksi oleh alat yang digunakan), sehingga masih tergolong aman bagi kehidupan biota laut yang ada. Logam berat kadmium di sedimen juga tidak terdeteksi oleh alat yang digunakan. Sedangkan logam berat timah hitam di sedimen terdeteksi, namun masih di bawah nilai baku mutu yang dapat di tolerir untuk kehidupan biota maupun untuk keseimbangan ekosistem perairan. Logam berat timah hitam dan kadmium yang terdapat pada organ dalam tubuh ikan alu-alu seperti hati, ginjal, insang, limfa maupun yang terdapat dalam daging menunjukkan tingkat akumulasi cukup tinggi. Timah hitam dalam organ hati sebesar 3.0260 mg/kg, pada insang 3.2258 mg/kg, ginjal 2.8217 mg/kg, daging 3.4483 mg/kg.
Akumulasi tertinggi pada limfa yaitu 9.1241 mg/kg.
Kadmium pada hati ikan alu-alu menempati tingkat tertinggi diantara organ dalam lainnya yaitu 0.2600 mg/kg, pada insang 0.1028 mg/kg, ginjal 0.1418 mg/kg, daging 0.1183 mg/kg, dan limfa 0.0723 mg/kg.
Parameter kualitas perairan
seperti suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut masih berada pada kisaran nilai yang diperbolehkan pemerintah menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/Men KLH/I/2004. Perairan Teluk Jakarta pada waktu penelitian belum mengindikasikan terjadinya pencemaran oleh logam berat timah hitam dan kadmium. Hal serupa juga terjadi pada kandungan kedua logam tersebut pada sedimen. Namun begitu berdasarkan analisa preparat histologi beberapa organ dalam ikan alu-alu, bahwa kerusakan yang terjadi pada tingkat jaringan merupakan bukti dari terpaparnya ikan terhadap berbagai jenis kontaminan, salah satunya yaitu logam berat timah hitam dan kadmium.
Jenis kerusakan yang terjadi seperti degenerasi inti sel
(ginjal), vacuolation (ginjal), degenerasi miofibril (daging), peradangan sel (ginjal), pendarahan (hati dan limfa).
5.2 Saran Apabila dilihat dari hasil pengamatan yang diperoleh bahwa ikan alu-alu telah tercemar oleh logam berat timah hitam dan kadmium maka keberadaannya di tempat penjualan ikan patut diwaspadai. Jika ingin membeli harus ditanyakan terlebih dahulu daerah asal penangkapannya, karena mengkonsumsi ikan yang telah tercemar oleh logam berat akan menimbulkan penyakit yang serius seperti terganggunya fungsi saraf dan otak yang akan membuat buruknya respon sel saraf motorik maupun sensorik tubuh. Namun begitu bukan hanya ikan alu-alu saja yang harus diwaspadai akan tetapi ikan-ikan kecil, hal ini terkait dengan trofik levelnya didalam sistem rantai makanan. Perlunya dilakukan penyuluhan terhadap masyarakat nelayan setempat agar aktivitas penangkapan maupun budidaya ikan maupun kerang-kerangan tidak dilakukan di dekat daerah pesisir Teluk Jakarta. Akan lebih baik jika kegiatan melaut dilakukan lebih ke arah laut dalam, hal ini dikarenakan ikan-ikan yang berada jauh dari daerah pesisir Teluk Jakarta kemungkinan besar tidak ikut terkontaminasi oleh logam berat. Pemerintah dalam fungsinya sebagai pembuat keputusan, harus membuat peraturan tentang pengendalian pencemaran yang terjadi.
Perusahaan industri yang menghasilkan limbah berbahaya yang tidak
mudah terdegradasi pada lingkungan alami diharuskan terlebih dahulu melakukan pengolahan limbah terpadu agar limbah yang dialirkan ke saluran-saluran pembuangan sudah aman bagi lingkungan. Apabila terdapat industri yang terbukti melakukan pencemaran pun harus diberi sangsi yang tegas. Saran berikutnya yang dapat diberikan disini adalah perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai lama waktu paparan serta besar konsentrasi berbagai logam berat yang ada di perairan Teluk Jakarta pada beberapa ikan-ikan kecil yang berada di bawah trofik level ikan alu -alu. Analisa histologi dengan menggunakan metode analisa yang lebih spesifik untuk melihat jenis kerusakan dan penyebab kerusakannya perlu dilakukan. Hal ini mengingat begitu banyaknya substansi toksik yang dapat menjadi penyebab kerusakan pada jaringan. Disamping itu juga perlunya dilakukan kegiatan monitoring terhadap kualitas perairan Teluk Jakarta. Hal ini dilakukan agar deteksi dini dapat dilakukan jika terjadi pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. General introduction. Http://www.etd.rau.ac.zathesesavailable (24 Oktober 2005). 9 Hlm. Armanesa MP. 2005. Frekuensi kecacatan morfometrik cangkang kerang hijau (Perna viridis) [Skripsi]. Bogor: Program studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor Bailey J, P Gathercole, T Housby, D Moss, B Vaughan, P Williams. 2001. The new encyclopedia of fishing. The complete guide to the fish, tackle, techniques of fresh and saltwater anglin. London: Design Revolution, Ltd. Hlm: 162 – 163. Bal DV, KV. Rao. Marine fisheries. 1984. New Delhi: Tata McGraw -Hill Publishing Co. Ltd. Bangun JM. 2005. Kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam air, sedimen dan organ ikan sokang (Triacanthus nieuhofii) di perairan Ancol Teluk Jakarta [Skripsi]. Bogor: Program studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor. Banks WJ. 1986. Applied veterinary histology , 2nd ed. USA: The Williams and Wilkins Company. 583 Hlm. Bhuiyan AS, B. Nesa, Q. Nessa. 2001. Effects of sumithion on the histological changes of spotted murrel, Channa punctatus (Bloch). Pakistani journal of biological sciences 4 (10). Rajshahi: Fisheries research laboratory, Department of Zoology, Rajshahi University. Http://www.ansinet.org (6 November 2004). Hlm: 1288-1290. Bryan GW. 1976. Heavy metal contamination in the sea dalam Johnston (Ed). Marine pollution. London: Academic press. Hlm: 185 – 302. Clark RB. 1986. Marine pollution. Oxford: Claredom press. 215 Hlm. Connell DW, GJ. Miller. 1995. Chemistry and ecotoxicology of pollution , diterjemahkan oleh Yanti Koestoer dalam Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Jakarta: Universitas Indonesia press. 520 Hlm. Copenhaver WM, DE. Kelly, RL. Wood. 1978. Bailey’s textbook of histology , 17th ed, Asian edition. USA: The Williams and Wilkins Company. 800 Hlm. Daget J. Sphyraena barracuda. 1986. Http://www.fishbase.org/summary/speciessummary.php?ID=1235&genu sname=Sphyraena&speciesname=barracuda (7 Februari 2005).
Damayanti Y. 1999. Kandungan logam berat dalam daging ikan demersal di perairan estuaria Kuala Tangka, Daerah Tingkat I Propinsi Jambi [Skripsi]. Bogor: Program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor. Darmono. 1995. Logam dalam sistem biologi makhluk hidup. Jakarta: UI press. 139 Hlm. De Kruijf HAM, D de Zwart, PN. Visnawthan, PK. Ray. 1988. Manual on aquatic ecotoxicology. New Delhi: Allied publishers private Ltd. 332 Hlm. Deu K, S. Londong, F. Inkiriwang, HP. Hutagalung. 1994. Kandungan logam berat dalam sedimen di muara sungai Tondano, Manado. Prosiding makalah penunjang seminar pemantauan pencemaran laut. Jakarta: P3OLIPI. . Diniah. 1995. Korelasi antara kandungan logam berat Hg, Cd, dan Pb pada beberapa ikan konsumsi dengan tingkat pencemaran di perairan Teluk Jakarta [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor. 150 Hlm. Edward, FS. Pulumahuny. 1992. Kandungan logam berat Hg, Pb, Cd, Cu, Zn dalam sedimen di perairan Teluk Ambon. Jurnal Fakultas Perikanan. Vol II No.1. Menado: Universitas Sam Ratulangi. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 258 Hlm. Ferreira AG, EJT. Melo, CEV. Carvalho. 2003. Histological aspects of mercury contamination in muscular and hepatic tissues of Hoplias malabaricus (Pisces, Erythrinidae) from lakes in the north of Rio de Janeiro State, Brazil. Volume 12 No. 1 (2003). Http://www.sbmm.org.bractartrabalhos9.pdf (18 Agustus 2004). Hlm: 49-54. Fostner U, GTW Wittmann. 1983. Metal pollution in the aquatic environment. Berlin: Springer-Verlag. 486 Hlm. Hamidah. 1980. Pengaruh logam berat terhadap lingkungan. Pewarta oceana. 6(2). Hlm: 15-19. Heath AG. 1987. Water pollution and fish physiology. USA: CRC press, Inc. 245 Hlm. Helfman GS, BB Collette, DE Facey. 1997. The diversity of fishes. Australia: Blackwell Science, Inc. Hlm 266 - 267.
Hibiya T. 1982. An atlas of fish histology, normal and pathological features. Japan: Kodansha, Ltd. 147 Hlm. Hoar WS, DJ Randall. 1969. Fish physiology. Volume I: Excretion, ionic regulation and metabolism. USA: Academic press, Inc. 465 Hlm. Hughes GM, M Morgan. 1973. The structure of fish gills in relation to their respiratory function. Biological reviews, vol. 48 (3). Bristol: The University, Woodland Road. Hlm: 419 – 468. Hutagalung HP. 1984. Logam berat dalam lingkungan laut. Pewarta Oceana IX No.1. Hlm : 45-59. Hutagalung HP. 1991. Pencemaran laut oleh logam berat. Dalam status pencemaran laut di Indonesia dan teknik pemantauannya. Jakarta: P30LIPI. Hlm 45-58. Hutagalung HP. 1994. Kandungan logam berat dalam sedimen di kolam pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Prosiding makalah penunjang seminar pemantauan pencemaran laut. Jakarta: P3O-LIPI. Hutagalung HP, D. Setiapermana, SH. Riyono. 1997. Metode analisa air laut, sedimen dan biota. Buku kedua. Jakarta: P3O-LIPI. 182: 59-77. IADC/CEDA. 1997. Conventions, codes, and conditions: Marine disposal. Environmental aspects of dredging 2a. Hlm 71. Kennish MJ. 1994. Practical handbook of marine science, 2 nd Edition. USA Florida: CRC Press. 710 Hlm. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51/Men KLH/I/2004. Laws EA. 1993. Aquatic pollution: An introductory text. Canada: John Riler and Sons, Inc. 611 Hlm. Mallins DC, A. Jensen. 1992. Aquatic toxicology, vol 23 (1992). Netherland: Elsevier Science Publishers. 308 Hlm. Mojeta A. 1992. Simon and schluster’s guide to saltwater fish and fishing by Angelo Mojeta. New York : Fireside. 255 Hlm. Nanty IH. 1999. Kandungan logam berat dalam badan air dan sedimen di muara sungai Way Kambas dan Way Sekampung, Lampung [Skripsi]. Bogor: Program studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor. Newman MC, AW McIntos h. 1991. Metal ecotoxicology, concepts and applications. USA: Lewis Publishers, Inc. 399 Hlm.
Olojo EAA, KB. Olurin, G. Mbaka, AD. Oluwemimo. 2004. Histopathology of the gill and liver tissues of the African catfish Clarias gariepinus exposed to Lead. African journal of biotechnology Vol. 4 (1). Nigeria: Department of Biological Sciences, Olabisi Onabanjo University. Http://www.academicjournals.org/AJB (14 Maret 2005). Hlm: 117-122. Owen RF. 1985. Food chemistry. 2nd ed, revised and expanded. New York. 991 Hlm. Paasivirta J. 1991. Chemical toxicology. Lewis publisher. 210 Hlm. Palar H.
2004. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 152 Hlm.
Parja man D. 1977. Akresi dan abrasi pantai Teluk Jakarta disebabkan oleh kondisi fisik dan sosial. Dalam Teluk Jakarta : sumberdaya, sifat-sifat oseanologi serta permasalahannya. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hlm: 83 – 106. Portmann JE. 1972. Possible dangers of marine pollution of mining operator metal ores dalam M.Ruiv. Marine pollution and sea life. England: Fishing News Ltd. FAO. Prartono T. 1985. Kandungan logam berat timbal (Pb), tembaga (Cu), dan seng (Zn) dalam tubuh kerang hijau (Mytilus viridis L.) yang dibudidayakan di perairan Ancol, Teluk Jakarta [Skripsi]. Bogor: Program studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor. Presston MR. 1989. Marine pollution dalam JP Riley (Ed) Chemical oceanography. Volume 9. London: Academis press. 363 Hlm. Raditya BD. 2005. Kandungan logam berat Cr pada air, sedimen, ikan sokang (Triacanthus nieuhofii) dan ikan alu-alu (Sphyraena barracuda ) di perairan Ancol, Teluk Jakarta [Skripsi]. Bogor: Program studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB Reilly C. 1980. Metal contamination of food. Publisher, Ltd.
London: Applied Science
Riani E. 2005. Histopathologi pada organ hati, limpa, ginjal, insang dan otot ikan alu-alu yang tertangkap di Teluk Jakarta. Bogor: FPIK-IPB. (Belum dipublikasikan). Romimohtarto NN. 1991. Pengantar pemantauan pencemaran al ut. Dalam status pencemaran laut di Indonesia dan teknik pemantauannya (editor:
D.H. Kunarso dan Riyono). Jakarta: Puslitbang sumberdaya laut dan air tawar Jakarta, P2O -LIPI. Saeni MS. 1989. Kimia lingkungan. Bahan pengajaran. Bogor: Pusat Antar Universitas - Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depa rtemen Pendidikan dan Kebudayaan. 151 Hlm. Sorensen EM. 1991. Metal poisoning in fish. Florida: CRC press, Inc. 374 Hlm. Waldichuk M. 1974. Some biological Concern in metal pollution. London : Academic press. 492 Hlm. Wikipedia. 2005. Wikipedia: The free encyclopedia. Http://www.wikipedia.org (23 Oktober 2005). Williams J. 1979. Introduction to marine pollution control. New York: A Wiley Interscience Publication. 173 Hlm. Yoga GP, Y. Sudarso. 1997. Status toksisitas senyawa logam-logam berat di waduk Saguling. Cibinong: Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi-LIPI. Hlm: 207-220.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi stasiun pengamatan.
Stasiun 1.
Stasiun 2.
Lokasi Stasiun Pengamatan (lanjutan).
Stasiun 3.
Stasiun 4.
Lampiran 2. Tabel kandungan logam Pb dalam ikan alu-alu. Stasiun 3 Nama Organ
Berat Awal (gr)
Berat Kering (gr)
Konsentrasi AAS (mg/kg)
AAS sebenarnya
Daging
3,1694
0,8700
0,03
3,4483
Hati
3,3382
0,9914
0,03
3,0260
Ginjal
3,6596
1,0632
0,03
2,8217
Insang
4,002
0,9300
0,03
3,2258
Limfa
1,1180
0,3288
0,03
9,1241
Lampiran 3. Tabel kandungan logam Cd dalam ikan alu -alu. Stasiun 3 Nama Organ
Berat Awal (gr)
Berat Kering (gr)
Konsentrasi AAS (ppm)
AAS sebenarnya
Daging
3,1694
0,87
0,0010
0,1183
Hati
3,3382
0,9914
0,0026
0,2600
Ginjal
3,6596
1,0632
0,0015
0,1418
Insang
4,002
0,93
0,0010
0,1028
Limfa
1,118
0,3288
0,0002
0,0723
Lampiran 4. Tabel kandungan logam Pb (ppm) dalam sedimen. Stasiun
Ulangan 1
2
3
4
1
32,64
23,91
27,13
13,34
2
26,13
32,82
31,71
14,09
3
30,56
35,48
43,28
*
4
39,58
31,4
28,21
13,57
Rata-rata
32,2275
30,9025
32,5825
13,6667
Standar deviasi
5,6033
4,958 9
7,3947
0,3842
Lampiran 5. Tabel kualitas air di perairan Ancol, Teluk Jakarta Stasiun 1 Parameter
Satuan
pH
1
2
3
4
Rata-rata
7,8
8
8
8,1
7,975
DO
ppm
5,85
7,24
7,13
8,66
7,22
Salinitas
ppt
3,03
3,05
3,06
3,12
3,065
Suhu
°C
31,00
31
30,5
30,5
30,75
Stasiun 2 Parameter
Satuan
pH
1
2
3
4
Rata-rata
8
8
8
8
8
DO
ppm
6,91
9,4
8,7
8,72
8,4325
Salinitas
ppt
3,05
3,04
3,02
3,08
3,0475
Suhu
°C
31
30
30
30
30,25
Satuan
1
2
3
4
Rata-rata
8,1
8,1
8
8
8,05
Stasiun 3 Parameter pH DO
ppm
9,86
9,37
9,47
9,09
9,4475
Salinitas
ppt
3,06
3,07
3,06
3,06
3,0625
Suhu
°C
30,5
30
30
30
30,125
Satuan
1
2
3
4
Rata-rata
8
8
8,1
8
8,025
Stasiun 4 Parameter pH DO
ppm
5,63
4,75
6,9
5,21
5,6225
Salinitas
ppt
3,05
3,01
3,05
3,08
3,0475
Suhu
°C
30
31
30,5
30
30,375
Lampiran 6. Mesin Atomic Absorption Spectrophotometric
Main unit mesin AAS.
Mesin Auto Sampler.
Lampiran 7. Denah sungai yang bermuara di Teluk Jakarta
Lampiran 8. Prosedur kerja analisis logam berat pada ikan, air dan sedimen Analisa
logam
berat
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
Spektrofotometrik Serapan Atom (AAS) dimana prinsip kerjanya berdasarkan pada hukum Lambert-Beer yaitu banyaknya sinar yang diserap akan berbanding lurus de ngan kadar zat.
Prosedur lengkap analisa logam berat menurut buku
panduan analisa standar laboratorium FKH-IPB adalah : a. Larutan abu berasal dari pengabuan basah. 1. Pindahkan larutan abu ke dalam labu takar. Pilih labu takar yang sesuai sehingga diperoleh konsentrasi logam yang sesuai dengan kisaran kerjanya. 2. Tepatkan sampai tanda tera dengan air lalu campur sampai merata. b. Abu berasal dari pengabuan kering. 1. Tambahkan 5-6 ml HCl 6N ke dalam cawan/pinggan berisi abu, kemudian dengan hati-hati panaskan diatas hot plate (pemanas) dengan pemanasan rendah sampai kering. 2. Tambahkan 15 ml HCl 3N, panaskan cawan di atas pemanas sampai mulai mendidih. 3. Dinginkan dan saring dengan menggunakan kertas saring, masukkan filtrat ke dalam labu takar yang sesuai.
Usahakan padatan tertinggi sebanyak
mungkin dalam cawan. 4. tambahkan 10 ml HCl 3N ke dalam cawan, kemudian panaskan sampai larutan mulai mendidih. 5. Dinginkan, saring dan masukkan filtrat ke dalam labu takar. 6. Cuci cawan dengan air sedikitnya tiga kali, saring air cucian lalu masukkan ke dalam labu takar. 7. Cuci kertas saring dan masukkan air cucian ke dalam labu takar.
c. Kaliberasi alat dan penetapan sampel. 1. Set alat AAS sesuai dengan instruksi dalam manual alat tersebut. 2. Ukur larutan standar logam dan blanko. 3. Ukur larutan sampel. Selama penetapan sampel, periksa secara periodik apakah nilai standar tetap konstan.
4. Buat kurva standar untuk masing-masing logam (nilai absorpsi/ emisi vs konsentrasi logam dalam µg/ml. Untuk mendapatkan konsentrasi logam berat yang sebenarnya digunakan formula: K sebenarnya =
K AAS x Volume penetapan Berat Kering
Keterangan : K = konsentrasi Sumber : Laboratorium Terpadu FKH IPB, 2005 Prosedur analisis logam berat pada air laut: 1. 200 ml air laut ditambahkan 2 ml 1% APDC (Ammonium Pyrolidin Dichtio Carbonat). 2. Dinginkan, lalu tambahkan 7 ml MLBK, dikocok dengan shaker ± 20 menit. 3. Masukkan ke dalam corong pemisah, untuk memisahkan larutan asamnya maka harus didiamkan selama ± 20 menit. 4. Larutan asam ini digunakan untuk dianalisis dengan AAS. Prosedur analisis logam berat pada sedimen: 1. Timbang 2-5 g contoh sedimen. 2. Tambahkan 1 ml asam sulfat (H2 SO4) dan 5 ml asam nitrat (HNO3) pekat. 3. Destruksi pada suhu 400-450 °C sampai semua bahan organik hilang (endapan menjadi putih dan larutan jernih). 4. Endapan putih didinginkan, kemudian la rutkan dengan HCl 5N. 5. Encerkan dengan aquades 50 ml. 6. Larutan jernih lalu diukur dengan AAS.
Lampiran 9. Metode analisa, teknik serta alat yang digunakan. Parameter
Satuan
Alat
Metode
Keterangan
1
Suhu
°C
Thermometer
Pemuaian
In Situ*
2
Salinitas
‰
Refraktometer
Refraktometrik
Laboratorium*
1
pH
Unit
Kertas Lakmus
Komparasi warna
In Situ*
2
Oksigen terlarut
mg/l
Titrasi
Titrimetrik
Laboratorium*
3
Timah hitam (Pb)
-
Spektrofotometer
AAS
Laboratorium*
4
Kadmium (Cd)
-
Spektrofotometer
AAS
Laboratorium*
Fisika
Kimia
Ket : * = sumber data BPLHD Jakarta
Lampiran 10. Baku mutu air laut untuk biota la ut. Parameter
Satuan
Baku mutu
Fisika Suhu a
°C
Alami 3(a) Coral : 28 - 30 (a) Mangrove : 28 - 32 (a) Lamun : 28 - 30 (a)
Kimia pH b Salinitas c
‰
Oksigen Terlarut (DO)
Ppm
7 – 8.5 (b) Alami 3(c) Coral : 33 - 34 (c) Mangrove : s/d 34 (c) Lamun : 33 - 34 (c) >5
Logam terlarut Kadmium (Cd) Timah hitam (Pb)
Ppm Ppm
0.001 0.008
Sumber: KepMen LH No.51/Men KLH/I/2004.
Keterangan : 5. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan. 6. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 7. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam, dan musim). a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2 °C dari suhu alami. b. Diperbolehkan Terjadi perubahan sampai dengan < 0.2 satuan pH. c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5 ‰ salinitas rata-rata musiman
Lampiran 11. Kondisi analisa mesin AAS dengan metode Flame Atomization. Satuan
Pb
Cd
Lamp current
mA
9
9
Wave length
nm
283.3
228.8
Slit
nm
1.3
1.3
Standard type
Standard type
7.5
5
Air acetylene
Air acetylene
Burner head Burner height
Mm
Flame Oxidant gas pressure
kPa
160
160
Fuel gas flow rate
l/min
2.2
2
Sumber : Manual book of Flame Atomization Analysis guide for polarized zeeman AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). 3rd edition (2001).
Lampiran 12. Kondisi analisis mesin AA S dengan metode Graphite furnace Atomization. Satuan
Pb
Cd
Lamp current
mA
9
9
Wave length
nm
283.3
228.8
Slit
nm
1.3
1.3
A-Type
A-Type
Cuvette Carrier gas in atomization
ml/min
30
30
Sample volume
ìg/l
20
20
Sumber : Manual book of Graphite furnace Atomization Analysis guide for polarized zeeman AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). 3 rd edition (2001).
Lampiran 13. Peralatan di dalam pembuatan histologi.
Ruang penyiapan preparat (Trimming Area); pemotongan organ untuk ditempatkan ke dalam tissue casette; tissue casette (Red: dari kiri – kanan)
Dehydrated machine untuk menguapkan kandungan air dalam organ sampel dengan menggunakan larutan alkohol bertingkat.
Vacuum machine untuk menghilangkan udara yang ada pada contoh jaringan dengan mengunakan parafin cair.
Peralatan di dalam pembuatan histologi (lanjutan).
Parafin block machine untuk mencetak sampel organ ke dalam cetakan parafin.
Contoh sampel organ yang sudah dicetak ke dalam parafin beku.
Freezer sebagai tempat untuk mendinginkan sampel cetakan agar lebih solid.
Peralatan di dalam pembuatan histologi (lanjutan).
Microtome machine untuk memotong sampel menjadi slide dengan ketebalan 0.03 mikron.
Water-bath yang berisikan air hangat 46 °C untuk melarutkan lilin yang masih terdapat pada slide sampel.
Slide sampel yang sudah dibersihkan dari lilin namun belum diberi pewarnaan, diletakkan pada gelas preparat.
Peralatan di dalam pembuatan histologi (lanjutan).
Inkubator. Tempat untuk menyimpan gelas preparat sebelum dilakukan pewarnaan.
Hematoksilin
Eosin
Pewarnaan dengan H.E (Hematoksilin Eosin).
Contoh slide jaringan
Contoh slide sampel yang sudah diberi pewarnaan H.E.
Peralatan di dalam pembuatan histologi (lanjutan).
Mikroskop stereo dengan menggunakan kamera film.
Lampiran 19. Prosedur preparasi histopatologi dengan pewarnaan Hematoksisilin dan Eosin (H.E). Teknik
pembuatan
preparat
histopatologi
dengan
pewarnaan
H.E
merupakan jenis pewarnaan rutin yang paling umum dipakai. Sehingga pada hasil akhir
preparat
histologi
akan
didapatkan
keseimbangan
warna
antara
hematoksisilin (biru) dan eosin (merah) pada preparat. Urutan prosedur kerjanya adalah sebagai berikut: 1. Organ yang akan dilakukan analisa histologinya harus berada dalam keadaan segar. Selanjutnya akan dilakukan fiksasi dengan larutan Buffered Neutral Formalin (BNF) 10 % dengan pH antara 6.5 – 7.5. Perbandingan antara larutan dan organ agar diperoleh hasil yang optimal adalah 10 : 1. 2. Lalu dilakukan teknik preparasi jaringan dengan cara memotong organ dengan menggunakan pisau scapel dengan ketebalan 3 – 5 mm untuk selanjutnya disusun ke dalam tissue cassette, kemudian tissue cassette tersebut dimasukkan ke dalam keranjang khusus (basket). 3. Keranjang basket tersebut lalu dimasukkan ke dalam mesin dehydrated processor automatic untuk proses dehidrasi bertahap dengan putaran waktu secara berurutan adalah sebagai berikut: Ethanol 70% (2 jam), ethanol 80% (2 jam), ethanol 90% (2 jam), ethanol absolut (2 jam), ethanol absolut (2 jam), xylol (2 jam), xylol (2 jam), parafin cair (2 jam), dan terakhir parafin cair kembali (2 jam). 4. Selanjutnya keranjang yang berisi tissue cassette dikeluarkan untuk selanjutnya dilakukan proses penghilangan udara dalam jaringan dengan menggunakan mesin vacuum yang menggunakna parafin cair dengan suhu 59 – 60 °C selama ±30 menit. 5. Proses berikutnya adalah mencetak organ yang ada dalam tissue cassette ke dalam parafin cair (60 °C). Blok parafin yang terbentuk dimasukkan ke dalam freezer agar lebih solid, sehingga memudahkan di dalam proses pemotongan selanjutnya. 6. Blok parafin lalu dipotong dengan mesin mikrotome dengan ketebalan 3– 4 mikron.
7. Potongan lalu diletakkan secara hati-hati di atas permukaan air dalam waterbath bersuhu 46 °C untuk melarutan sisa parafin. Selanjutnya lembaran irisan organ diletakkan di atas gelas preparat yang telah dioleskan ewith yang berfungsi sebagai bahan perekat. Gelas preparat tersebut lalu disusun dalam rak khusus yang selanjutnya ditempatkan ke dalam inkubator bersuhu 60 °C sekitar 30 – 60 menit. 8. Preparat slide yang sudah siap untuk dilakukan proses pewarnaan selanjutnya dimasukkan ke dalam keranjang khusus untuk selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam gelas-gelas yang berisi cairan secara berurutan adalah sebagai berikut: Xylol (3 menit), xylol (3 menit), ethanol absolute (3 menit), ethanol absolut (3 menit), ethanol 90% (3 menit), ethanol 80% (30 menit), bilas dengan air keran (1 menit), larutan hematoksilin (6 – 7 menit), bilas dengan air keran (1 menit), larutan pembiru (scot) (1 menit), bilas air keran (1 menit), larutan Eosin (1 - 5 menit), bilas dengan air keran (1 menit), ethanol 70% (10 celupan), ethanol 90% (10 celupan), ethanol absolut (10 celupan), alkohol absolut (1 menit), xylol (1 menit), xylol (3 menit), dan terakhir xylol (3 menit). 9. Preparat lalu diangkat satu persatu dari larutan terakhir yaitu xylol dalam keadaan basah, diberi satu tetes cairan perekat (DPX) dan selanjutnya ditutup dengan kaca penutup. Hasil pewarnaan lalu dapat dilihat di bawah mikroskop. Sumber : Laboratorium histopatologi Balai Penelitian Veteriner, Bogor. 2005.