A E 0
1 09 S
E AKHIR ABAD XIX--TAHUH 1920
TIDAK DIPERDAGANGKAN UNTUK UMUM
SASTRA] AWA PERIODE AKHIR ABAD XIX-TAHUN 1920
Pardi
is
s4
Slamet Riyadi Prapti Rahayu Sri Haryatmo rnQ.
"qiiZ 3b3C[
FCRP'JSTAKAAI^ PUS AT PSMSIKAArj OA SI f£NGl MfiASiE AN BAHA3A OAPARTEMEN PENDIDIKAN OAN KPPUPAYAAN
00005213
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta 1996
ISBN 979-459-665-5
Penyunting Naskah Drs. Muhamad Fanani
Pewajah Kulit Agnes Santi
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang. Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan mituk keperluan
pennlisan artikel atau karaiigan ilmiati Proyek Pembinaan Biahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat
Drs. S.R.H. Sitanggang, M.A.(Pemimpin) Drs. Djamari (Sekretaris); Sartiman(Bendaharawan) Dede Supriadi, Hartatik, Samijati, dan Untoro (Staf) Katalog Dalam Terbitan(KDT) 899.231 09
SAS s
Sastra Jawa: periode akhir abad XIX~tahun 1920/Pardi [et.al\. Jakarta: Pusat Pmbinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996.
ibSblm.; bibl,; 21 cm ISBN 979-459-665-5
1. Kesusastraan Jawa-Sejarah dan Kritik I. Judnl
?erpust akaan ru sat PembinaanrianPangsmbangan Bahasa a:fnu»? tJC '
No. Kas^^asi GOi
iij: I.
,it;ii;t"f a:.
Mn l.nri;,k ,
5A5
Ttd.
:
d/
".'.Vtl
"SfJ ■■/ yj r
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA
Masalah bahasa dan sastra di Indonesia berkenaan dengan tiga masalah pokok, yaitu masalah bahasa nasional, bahasa daerah, dan
bahasa asing. Ketiga masalah pokok itu perlu digarap dengan sungguhsungguh dan berencana dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Pembinaan bahasa ditujukan pada peningkatan mutu pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan pengembangan bahasa ditujukan pada pemenuhan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana
komunikasi nasional dan sebagai wahana pengungkap berbagai aspek kehidupan, sesuai dengan perkembangan zaman. Upaya pencapaian tujuan itu, antara lain, dilakukan melalui
penelitian bahasa dan sastra dalam berbagai aspek, baik aspek bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun bahasa asing. Adapun pembinaan bahasa dilakukan melalui penyuluhan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam masyarakat serta penyebarluasan berbagai buku pedoman dan basil penelitian. Hal ini berarti bahwa
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha pengembangan bahasa dilakukan di bawah koordinasi proyek yang tugas utamanya ialah melaksanakan penelitian bahasa dan sastra Indonesia dan daerah, termasuk menerbitkan basil penelitiannya.
Sejak tahun 1974 penelitian bahasa dan sastra, baik Indonesia, daerah maupun asing ditangani oleh Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang berkedudukan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pada tahun 1976 penanganan penelitian bahasa dan sastra telah diperluas ke sepuluh Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah yang berkedudukan di (1) Daerah Istimewa Aceh, (2) Sumatera Barat, (3) III
Sumatera Selatan,(4) Jawa Barat,(5) Daerah Istimewa Ypgyakarta,(6) Jawa Timur,(7) Kalimantan Selatan, (8) Sulawesi Utara,(9) Sulawesi
Selatan,; dan (10) Bali. Pada tahun 1979 pen^ianan penelitian bahasa dan sastra diperluas lagi dengan dua Proyek Fenelitian Bah^a dan Sastra yang berkedudukan di (11) Sumatera Utara dab (12) Kalimantan Barat,
dan tahun 1980 diperluas ke tiga propinsi, yaitu (13)Riau,(14)Sulawesi Tengah, dan (15) Maluku. Tiga tsdiun kemudian (1983), penanganan
penelitian bahasa dan s^tra diperluas lagi ke lima Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra yang berkedudukan di (16) Lampung, (17) Jawa Tengah,(18) Kalimantan Tengah,(19) Nusa Tenggara Timur, dan (20) Irian Jaya. Dengan demikian, ada 21 proyek penelitian bahasa dan sastra, termasuk proyek penelitian yang berkedudukan di DKI Jakarta. Tahun
1990/1991 pengelolaan proyek ini hanya terdapat di(1)DKI Jakarta,(2) Sumatera Barat,(3) Daerah Istimewa Yogyakarta,(4) Sulawesi Selatan, (5) Bali, dan (6) Kalimantan Selatan. Pada tahun anggaran 1992/1993 nama Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah diganti dengan Proyek Penelitian dan Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun
anggaran 1994/1995 nama proyek penelitian yang berkedudukan di Jakarta diganti menjadi Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat, sedangkan yang berkedudukan di daerah menjadi
bagian proyek. Selain itu, ada dua bagian proyek pembinaan yang berkedudukan di Jakarta, yaitu Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia-Jakarta dan Bagian Proyek Pembinaan Buku Sastra Indonesia dan Daerah-Jakarta.
Buku Sastra Jawa Periode Abad XIX-Tahun 1920 ini merupakan salah satu basil Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1993/1994. Untuk itu, kami ingin menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para peneliti, yaitu (1) Drs. Pardi, (2) Drs. Slamet Riyadi, (3) Dra. Prapti Rahayu, dan (4) Drs. Sri Haryatmo. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada para pengelola Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Pusat Tahun 1995/1996, yaitu Drs. S.R.H. Sitanggang, M.A.(Pemimpin Proyek), Drs. Djamari (Sekretaris Proyek), Sdr. Sartiman (Bendahara-
IV
wan Proyek), Sdr. Dede Supriadi, Sdr. Haitatik, Sdr, Samijati, serta Sdr. Untoro (Staf Proyek) yang telah mengelola penerbitan buku ini. Pemyataan terima kasih juga kami sampaikan kepada Drs. Muhamad Fanani selaku penyunting naskah ini.
Jakarta, Desember 1995
Dr. Hasan Alwi
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami panjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Mahakuasa atas karunia-Nya sehingga penyusunan laporan penelitian Sastra Jawa Periode Akhir Abad XIX-Tahun 1920 dapat diselesaikan dengan baik.
Hasil penelitian ini dapat disajikan berkat saling pengertian, banman, dan kerja sama yang baik dari berbagai pihak. Untuk itu, kami merasa wajib untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemimpin Proyek Pene litian dan Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta,Kepala Balai Penelitian Bahasa di Yogyakarta, dan Dr. Darusuprapta selaku konsultan penelitian.
Dalam kesempatan ini, kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada staf Perpustakaan Balai Penelitian Bahasa, staf Perpustakaan Balai fhistaka di Jakarta, staf Perpustakaan Museum Nasional di Jakarta, staf
Perpustakaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional di Yogyakarta,staf Perpustakaan Radyapustaka,Reksapustaka, dan Sanapustaka di Surakarta, dan StafPerpustakaan Museum Sanabudaya di Yogyakarta. Di samping itu, kami juga tidak lupa untuk menyampaikan terima kasih kepada Drs. Asia
Padmapuspita yang telah memberikan berbagai masukan yang bermanfaat dalam penelitian ini.
Akhimya,kami secara tulus menyampaikan penghargaan kepada Sdr. Suhana dan Sdr. Sri Wiyatna yang telah bekeija keras dalam penyelesaian penyusunan laporan penelitian ini. Mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat seperti yang diharapkan bersama.
Yogyakarta, Februari 1994
Ketua Tim
VI
DAFTARISI
KATA PENGANTAR
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
vi
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR SINGKATAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar beiakang
1
1.2 Masalah
4
1.3 Tujuan dan Hasil yang Diharapkan 1.4 Kerangka Teori
4 5
1.5 Metode dan Teknik
12
1.6 Data Penelitian
12
BAB IISITUASI BUDAYA DAN SASTRA JAWA
14
2.1 Situasi Sastra Jawa Sebelum Abad XIX
14
2.2 Situasi Sastra Jawa Abad XK-Tahun 1920
19
BAB m JENIS SASTRA JAWA PERIODE AKHIR ABAB XIX
TAHUN 1920
25
3.1 Kisah Perjalanan
27
3.2 Babad
32
3.3 Roman Sejarah
33
3.4 Novel
35
3.5 Cerita Anak-Anak
43
3.6 Cerita Wayang
50 vu
BAB IV STRUKTUR SASTRA JAWA PERIODE AKHIR
ABAD XIX — TAHUN 1920
52
4.1 Struktur Kisah Peijalanan
52
4.2 Struktur Babad
64
4.3 Struktur Roman Sejarah
70
4.4 Struktur Novel 4.5 Struktur Cerita Anak-Anak
103
78
4.6 Struktur Cerita Wayang.....
137
BAB VPENUTUP
143
DAFTAR PUSTAKA
' 148
DAFTAR PUSTAKA KATA
152
LAMPIRAN
155
vin
DAFTAR SINGKATAN
APKS
Dongeng Akal Pengaos Kalih Sen
BB
Basiran Basirun
BKW
CASI
Biyung Kuwalon Bok Randha Setiya Darma Cariyos Sae Sawelas Iji
CB
Carita Becik
CI
Cekel Indralaya
CIKIN
Cariyos ingkang Kasawaban ing Nama
CK
Cariyos Kartimaya Cariyos Pandung
BRS
CP
,
CT
Cariyos Rara Kadreman Cariyos Tilarso
CUKN
Cariyos Ulam Ngrabeni Tiyang Estri
CRK
D
Dorawaca
DKKM
EE
Dongeng Kancil Krida Martana Dongeng Manca Wami Dongeng Sari Mulya Dongeng Waris Ian Laiis Dongeng Empol Empii
GG
Gara Gara
hal.
halaman
IB
INB
Irawan Bagna Isin Ngaku Bapa
JSJS
Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya
DMW
DSM DWL
KG
Kresna Gugah
KLDPP
Kesah Leiayaran dhateng Pulp Papuwah IX
KP
Karaton Powan
KSDDW
Kekesahan saking Tanah Djawi Dhateng Negari Walandi
LA
Lelakone Amir
LDWL
Layang Dongeng Worya Locita
LK
Lakon Kartawiyoga
LS
MK
Cariyos Lelapahanipun Sida Margining Kautamen
PD
Pamoring Dhusun
PDR
Petruk Dados Ratu
PTE
Poerwa Tjarita Bali
RR
Rara Rarasati
S
Senggutru Serat Biwadaraja
SB
SBK SD
Serat Bares Kures Serat Darcakanda
SDR
Serat Djajaprana Serat Dongeng Sari Mulya Serat Sabda Rahayu
SG
Sri Gandana
SGG
Serat Gita Gati
SJJ
Serat Jaka Johanis
SDp SDM
SK
Serat Kramaloyo
SKs
Serat Kumalasekti
SKp
Serat Kulapratama
SLRK
Serat Lelampahanipnn Robinson Krusu Serat Lelampahartipun Sang Retna Suyati
SLSRS SN
Serat Nitileksana Serat Nitikarsa
SP
Serat Panutan
SPw
SUD
Serat Piwulang Serat Riyanta Serat Rukun Aija Serat Rangsang Tuban Serat Upa Darya
SW
Serat Walidarma
SN
SR SRA
SRT
SWd
Serat Wedamadia
TK
Tuhuning Katresnan
TNP TNW
: Tjariyos ing Nagari Padang Tjariyos Nagari Walandi
TT
; Tig Ian Tor
TTS
: TJraiyos Tijang Sepuh ing Djaman Kina
WBSI
Wewulang Besik Salawe Iji
XI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan sastra Jawa telah berlangsung sangat panjang, yaitu sejak zaman sastra Jawa kuna sampai dengah sastra Jawa modem dew^a ini.
Dalam peijalaiian yang sangat panjang itu, sastra Jawa telah diwamai
berbagai jenis karya sastra yang beragam. Banyaknya karya sastra Jawa yang muncul telah menarik minat para ahli untuk meneliti atau membica-
rakannya, baik yang mengambil bbjek karya sastra Jawa ktina, sastra Jawa pertengahan, sastra Jawa baru maupun sastra Jawa modem. Di antara
penelitian atau tulisan yang membicarakan sasjra Jawa \Xa dda\dh Supple mentofCatalogus van de Jayaansehe en Madumsche(Juynboll,1907)»The
Language of Java and Madura (Uhlenbeck, 19(54), Kasusastran—Djawi (Anonim, 1946), Kapustakan Djam (Poerbatjaraka, 1952), Literature of Java (Pigeaud, 1967), Ngungak Kawontenaning Basa saha Kasusastran Djawi(Damsuprapta, 1969),Sari Kasusastran Jawa(Hadisubrata),Periodisasi Kasusastran Jawa Gagrak Anyar(Optomo, 1912), Telaah Kesusastraan Jawa Modern(Hutomo, 1975), The Novelin Javanese(Quinn,1984),
Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir (Rass, \9%5f Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang(Zoetmulder, 1985),Struktur Cerita Pendek
Jawa (Widati Pradopo, 1985), dan Novel Jawa Tahun l950-an(T>amono, 1993).
Di antara tulisan atau penelitian di atas terdapat pula buku yang disusun sebagai upaya penyusunan periodisasi sastra Jawa,seperti Pigeaud (1967), Poerbatjaraka(1957),Kementrim Pengadjaran,Pendidikan dan Kebudayaan (1946), dan Hutomo (1972). Buku hasil penelitian atau buku yang berisi 1
uraian tentang karya sastra Jawa dalam kumn waktu tertentu adalah karya Rass(1985) dan Zoetmulder (1974). Karangan Zoetmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kum Selayang Pandang, mengetengahkan uraian secara
panjang lebar tentang karya sastra Jawa kakawin dan kidung. Poerbatjaraka dalam Kapustakaan Djawa (1954) membahas karya sastra Jawa sejak sastra Jawa kuna gplongan tua sampai dengan sastra Jawa zaman Surakarta awal.Secara singkat dapat disebut bahwa buku itu memuat
daftar karya sastra Jawa rtlaisa Raja'^Balituhg s'ampai dengan karya Raden Ngabai Ranggawarsita, pujangga terakhir istana Surakarta. Poerbatjaraka membagi perjalanan dan karya sastra Jawa berdasarkan kelahiran suatu karangan dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan yang sedang beirIpngsung. Sejak zaman sastra Jawa kuna sampai dengan kepiinjanggaan Ranggawarsita, sastra Jawa diklasifikasikan menjadi tujuh pembagian waktu,;yakni(I)kitab-kitab Jawa kuna golongan tua,(2)kitab-kitab Jawa kuna dalam bentuk tembang,(3)kitab atau sastra Jawa kuna golongan baru, (4) sastra Jawa pertengahan,(5) karya sastra syair dalam bahasa Jawa pertengahan, (6) sastra Jawa zaman Islam, dan (7) sastra Jawa zaman Surakarta awal.
Buku yang dikeluarkan oleh Kementrian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1946) membagi sastra Jawa yang lahir dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan semasa karya itu diciptakan.Pembagian sastra Jawa tersebut adalah (1)Zaman Hindu,(2)Zaman Majapahit,(3)Zanian
Islam, (4) Zaman Mataram, dan (5) Zaman Sekarang. Yang dimaksud dengan sastra zaman sekarang adalah karya sastra yang saat penuiisannya bertepatan dengan akhir abad:ke-19 Masehi. Pigeaud (1967) nlengelompokkan sastra Jawa atas (1) Era Pra-Islam (Sejak±900-1500M),(2)lErakedud(peribde Jawa-Bali,±1500-sekarang), khusus sastra Jawa dari wilayah Jawa—Pasisir diklasifikasi dalam(3)Era
ketiga (sejak ±150()M), dari (4) Era keempat (atau periode Renaisans, berlangsung pada abad ke-18 dan abad ke-19), yang berpusat di Surakarta dan Yogyakarta.
Karya sastra Jawa baru atau Jawa modem telah puladibicarakan oleh Rass(1985)dalam bukunya,Bunga RampaiSastra Jawa Mutakhir,Hutomo (1972)telah membicarakan sastra Jawa Modem dalam tulisannya,Periodisasi Kesusastraan Jawa Gagrak Anyar.
Di samping buku yang telah disebutkan di atas,sejauh ini ada dua buah
buku yang merauat daftar karya sastra Jawa yang terbit pada akhir abad XlX-tahun 1920. Pertama, buku yang htxyadMiVJayaansche Bibliographie (Jilid I dan H) karangan Poerwa Suwignyo dan R. Wirawangsa (1920). Buku itu memuat karya berbahasa Jawa yang terbit pada tahun 1880-1920, yang merupakan koleksi Museum Nasional, Jakarta. Oleh.sebab itu, daftar
tersebut juga memuat berbahasa Jawa nonsastra, misalnya mengenai katumngan dan primbon. Kedua,buku yang mendaftar karya teitulis berbahasa Jawa berjudul Delapan Puluh Tahun Sejarah Sastra y<2wa(Padmapuspita, 1980).Buku itu berisi karya teitulis berbahasa Jawa yang terbit antara tahun 1900-1920. Seperti halnya buku Poerwa Suwignyo dan R. Wirawangsa (1920),buku Padmapuspita itu juga berisijudul karya yang tergolong sastra dan nonsastra. Di antara karya nonsastra yang disebut dalam daftar tersebut adalah buku yang berisi tentang pemeliharaan binatang piaraan. Pada akhir abad XIX,akibat berlangsungnya hubungan budaya Jawa dengan budaya luar atau Barat, mulailah unsur-unsur modem menyusup dalam budaya tradisional. Periode sastra Jawa akhir abad XIX merupakan zaman baru atau renaisance (Pigeaud^ 1967). Dalam periode tersebut, sastra Jawa yang muncul berupa puisi tradisional, prosa atau gancar, dm drama atau sastra lakon.Di samping itu, pada periode itu mulai munculjenis karya baru merupakan bentuk penyimpangan karya-karya tradisional sebelumnya. Karya-karya yang terbit pada masa itu, misalnya Serat Rangsang Tuban (Padmasusastra, 1901), Tunggal Ati (Sastradimeja, 1912), dtm Doraweca (Arjasuparta, 1906). Dunia atau khazanah sastra Jawa pada akhir abad XlX-tahun 1920Juga
diwamai dengan kehadiran sastra salinan atau saduran. Beberapa karya sastra Jawa yang lahir sebelumnya dalam bentuk tulisan tangan, manuschrif, ditulis kembali pada periode tersebut, Selain itu, juga muncul beberapa karya saduran yang bersumber dari sastra daerah lain di Nusantara dan sastra asing. Karya-karya saduran yang muncul pada periode tersebut, antara \&\n, Serat Cemporet (1886), Serat Saridin (1885), Serat- Lelampahanipm Sang Retna Suyati, Lelampahanipun Robinson Krusu (1881), dan Serat Jayaprana. Kedua karya sastra yang disebut terakhir itu disadur dari sastra Belanda dan sastra berbahasa Bali.
Berdasarkan tinjauan hasil penelitian atau telaah yang ada selama ini, peneltian atau tulisan yang membahas karya sastra Jawa pada akhir abad XU-tahun 1920 secara khusus dan menyelumh belum dilakukan, padahal karya sastra Jawa pada masa itu sangat banyak dan meliputi berbagai jenis.
Oleh sebab itu,karya-karya pada periode itu perlu diteliti secara khusus dan mendalam guna mendapatkan gambaran yang lengkap dan menyelurah. 1.2 Masatalt
Kafya sastra Jawa pada periode akhir abad XIX—tahun 1920 sangat banyak dan beragam jenisnya. Dilihat dari isi danjenisnya,periode tersebut
merupakan masa kemunculan karya-karya sastra Jawa yang mulai dimasuki unsur-unsur modem. Pada akhir abad ke-19, terjadi perubahan sosial
budaya dalam masyarakat Jawa, termasuk sastra Jawa. Pembahah dalam kehidupan sastra Jawa itu, antara lain (1) semakin perkembangnya usaha penerbitan sastra,(2) munculnya jenis atau genre bam dalam penciptaan sa:stra, dan (3) teijadi pembahan penikmatan sastra Jawa dari sastra oral
menjadi sastra buku untuk dibaca, sebelumnya hanya sastra biasa diperdengarkan atau dilisankan. Pembahan-perabahan itu tidak terlihat dari peranan lembaga bahasa di Surakarta pada pertengahan abad ke-19. Jenisjenis karya sastra tersebut perlu diteliti untuk memperoleh gambaran tentang ciri stmktur dan jenis karya saistra pada periode tersebut sebagai bahan penyusunan periodisasi sastra Jawa.
Sehubungan dengan data penelitian yang mengkhususkan sastra fiksi pada periode akhir abad XlX-^tahun 1920, masalah yang mendasari peneli tian ini adalah bagaimana ciri stmktur danjenis-jenis karya sastra Jawa pada periode tersebut.
1.3 Tujuan dan Hasil yang Diharapkan.
Penelitian yang dilaksanakan terhadap karya sastra fiksi pada periode akhir abad XlX-tahun 1920dimasudkan untuk menggali,mengiventarisasi,
dan menganalisis karya-karya itu guna mengetahui ciri stmktur serta
jenisnya yang muncul pada periode tersebut berdasarkan teori yang relevan. Penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan jenis dan stfuktur karya
sastra pada periode tersebufdi atasV Disamping itu,penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan keberadaan pengarang dan penerbit pada periode akhir abad XlX-tahun 1920.
Deskripsi yang lengkap dari ciri stmktur dan jenis-jenis karya sastra
pada periode tersebut di atas dapat memperkaya dan memperdalam pemahaman terhadap karya sastra Jawa sebagai hasil kreativitas pengarang pada kumn waktu akhir abad XDC-tahun 1920.Pada gilirannya, hasil penelitian
itu sangat bermanfaat dalam rangka penyusunan sejarah sastra Jawa. Di samping itu, hasil penelitian tersebut dapat merangsang untuk menunbuhkan tanggapan raasyarakat yang lebih besar terhadap karya sastra Jawa, khususnya karya fiksi, pada periode akhir abad XlX-tahun 1920. 1.4 Kerangka Teori
Upaya untuk mengetahui genre atau jenis karya sastra, kriteria yang mendasari adalah ciri struknir karya yang bersangkutan. Berkenaan dengan tujuan dan data dalam penelitian serta analisis terhadap karya sastra Jawa periode akhir abad XlX-tahun 1920, penelitian ini menggunakan teori genre dengan dasar pendekatan struktural. Oleh sebab itu, klasifikasi dan
penjenisan karya sastra yang muncul dalam periode itu dilakukan dengan dasar ciri struktur karya yang ada. Wellek dan Warren (1976:226) mengatakan bahwa pada hakikatnya genre sastra itu merupakan sebuah modal penjenisan karya sastra melalui kerangka atau prinsip-prinsip struktur sastra tertentu. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa teori genre itu mengklasi-
fikasikan sastra dan sejarah sastra tidak berdasarkan pada waktu dan tempat, tetapi ditentukan pada tipe struktur dalam sebuah karya. Di samping itu, Guillen (1971:109) mengatakan bahwa penjenisan karya sastra sering dilakukan atas dasar bentuknya,a genre is a invitation toform. Genre atau jenis karya sastra ditentukan oleh elemen-elemen atau unsur-unsur dalam struktur karya sastra (Riffaterre, 1976:5-6).
Secara umum, karya sastra sering dikelompokkan pada jenis puisi, prosa, dan drama(Atmazaki, 1990:20; Sumardjo, 1984:25). Tiap-tiapjenis karya itu memiliki ciri struktur yang berbeda antara yang satu karya dan karya lainnya.
Karya sastra fiksi, menurut Culler (1978:192) memiliki unsur alur,
tokoh, dan latar.Halitujugadinyatakan oleh Wellek dan Warren(1976:216). Stanton(1965:11)menyatakan bahwa sebuah karya atau cerita fiksi memiliki elemen temadan masalah,faktacerita,dan sarana cerita.Dalam hal ini,fakta
cerita terdiri atas unsur struktur alur,tokoh,dan latar. Sarana cerita meliputi unsurjudul, pengisahan,simbol, humor,suasana^an gaya. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa unsur unsur pembangun karya fiksi adalah alur, tokoh, tema, latar, suasana dan gaya serta pengisahan atau sudut pandang (Sumardjo, 1984:54). Pada dasamya,karya sastra yang selama ini disebut dramajuga memiliki unsur strliktur seperti dalam karya fiksi lainnya. Akan
tetapi, drama merupakan karya pentas atau pei^unjukan yang juga mempunyai aspek atau unsur lain, seperti dialog dan pembagian waktu. Sebuah cerita fiksi didasari ide pokok, gagasan pokok yang disebut
tema(Sudjiman, 1992). Tema dapat ditampilkan secara langsung (tersurat) atau tidak langsung(tersirat). Esensi tema dapat dibedakan atas tema mayor dan tema minor(pokok dan tema bawahan). Shipley (1962:417) mengklasifikasikan tema cerita atas (1) tema jasmaniah,(2) egoik,(3) sosial,(4) moral,(5) religius (ketuhanan).
Karya sastra fiksi atau cerita terbangun atas serangkaian peristiwa yang
te^adi secara padu yang disebut alur. Kepaduan peristiwa itu dibentuk pleh adanya hubungan sebab akibat, tokoh,tema,dan sebagainya(Zaidan,dkk., 1991:5). Keterjalinan atau keterkaitan peristiwa juga sangat dipengaruhi oleh kewajaran yang terjadi dalam.cerita tersebut.
Terjadinya peristiwa dalam rangkaian alur, biasanya, dibedakan atas permulaan atau paparan, gawatan, tikaian, rumitan, klimaks, uraian, dan selesaian (Sudjiman, 1992:30). Dikemukakan oleh Prihatmi (1990:10) bahwa alur dibedakan atas alur tunggal dan alur ganda.Berdasarkan urutan
peristiwanya, alur digolongkan menjadi alur kurun (progresif), sorot balik (flasback), dan toleh balik (back tracking) kalau peristiwa atau sebagian peristiwa saja yang ditarik ke belakang atau waktu sebelumnya.Jika dilihat teknik penutupan cerita, alur diklasifikasikan atas alur tertutup dan alur terbuka.
Tokoh atau pelaku cerita mempakan unsur utama dalam suatu cerita. Tokoh merupakan penggerak alur atau penyebab munculnya peristiwa. Tokoh dapat dibedakan atas tokoh sentral (tokoh utama) dan tokoh bawahan. Tokoh juga dapat dibedakan atas protagonis dm antagonis
(Sudjiman, 1992:17-19). Teknik penampilan tokoh dalam cerita dapat dilakukan secara analitik(deskripsi secara langsung)dan dramatik(Hudson, .1965:147).
Di samping alur dan tokoh,unsur penting dalam cerita fiksi adalah latar,
yang merupakan kapan dan di mana peristiwa yang dialami oleh tokoh cerita berlangsung. Abrams (1981:175) membedakan latar cerita menjadi latar tempat, sosial, dan waktu atau latar historis. Sarana cerita merupakan teknik pengarang dalam menyusun komponenatauunsurceritaagarterbentukceritayangbertnakna(Stanton,1965:23). Judul merupakan lapis pertama yang dapat mernberikan petunjuk dalam
memberikan makna terhadap cerita yang bersangkutan. Oleh sebab itu, judul cerita sering memiliki kaitan atau membayangkan tema,tokoh, latar, konflik cerita, dan Iain-lain.
Pengisahan atau sudut pandang merupakan cara atau teknik pengarang dalam menampilkan tokoh cerita. Sudutpandang(pointofview)merupakan cara pengarang dalam memerankan pelaku dalam cerita fiksi. Wellek dan
Warren (1976:222) membedakan pengisahan atau sudut pandang menjadi teknik orang pertama, yakni cerita dihadirkan melalui pelaku utama dan biasanya, pelaku utama diidentifikasikan dengan tokoh aku(teknik akuan), dan teknik ketiga rf/aan.
Dalam hal sudut pandang, Tasrif dalam buku Teknik Mengarang (Lubis, 1981:21) membedakan peran pengarang dalam kaitannya dengan pengisahan menjadi pengisahan (a) orang ketiga (anthor amniscient), (b) pengarang terlibat dalam CQht&(authorparticipant),(c)peng^ang berlaku sebagai observer(peninjau), dan(d)pengarang berperan sebagai gabungan a/cM dan (teknik pengisahan OTM/rip/e). Simbol adalah gambaran yang dialami secara konvensional (Zaidan dkk., 1991:73). Simbol dan maknanya tidak memiliki hubungan secara langsung. Stanton (1965)menjelaskan bahwa dalam cerita fekaan, simbol mempunyai tiga efek, yaitu(1)simbol yang sering ditampilkan dalam saatsaat penting akan menunjukkan makna waktu itu; (2) simbol yang di tampilkan secara berulang dapat memberikan kesan adanya unsur cerita yang ingin ditonjolkan kepada pembaca;dan(3)simbol yang muncul dalam berbagai situasi dapat memberikan kejelasan tema cerita. Humor merupakan bentuk kelucuan atau kejenakaan dalam sebuah cerita yang dapat terwujud melalui penampilan keanehan, kemustahilan dalam situasi tertentu. Humor dapat tercipta melalui penggunaan bahasa, (kata, frasa, kalimat, dan Iain-lain), penampilan atau gerakan tokoh, dan situasi yang lucu. Humor berfungsi untuk menghilangkan ketegangan atau pehyegar cerita, dan dalam kaitan struktur cerita dapat mempertegas tema, alur, tokoh, dan Iain-lain.
Suasana dan gaya merupakan salah satu dari sarana cerita yang menggambarkan sifat dan ciri khusus tentang gaya seorang penulis. Zaidan dkk. (1991:14) rnenyatakan bahwa suasana cerita sangat ditentukan oleh pemilihan latar, penampilan watak tokoh, dan penggarapan tema cerita.
Penggarapan berbagai unsur dalam sebuah cerita dapat memberikan petun-
juk bahwa cerita itu bersuasana netral (realitis), humor (lucu)y harUi mencekam,tragik, religius, dan Iain-lain. Gaya dalam sebuah cerita meru-
pakan teknik khusus pengarang dalam mengungkapkan cerita. Gaya atau gayabahasa dapat menyatakan ciri khusus seorang penulis dalam menciptakan ceritasehinggacenderung bersifat perseoraiigan.Gaya dapatdiketahui melalui pemilihan bentuk kata, frasa, kalimat, dan Iain-lain. Gaya bahasa merupakan bentuk diksi seorang pengarang dalam ciptaannya tersebut. Unsur-unsur pembangun struktur sebuah karya fiksi tersebut tidak berdiri sebagai unsur yang saling terpisah. Antarunsur tersebut saling berkaitan dan menentukan dalam rangka membentuk struktur cerita yang
utub dalam kesatuan atau keseluruhan cerita, unified whole.
Penjenisan karya sastra Jawa telah b^yak dilakukan pada saat ini. Di antara upaya pengklasifikasi karya sastra tersebut telah dilakukan oleh Hadisoebroto (t.t.) dan Padmapuspita(1991).Akan tetapi, klasifikasi karya sastra tersebut masih didasarkan atas bentuk gubahan dan kandungan ini
yang khas dalam sebuah karya itu. Padmapuspita membuat penjenisan karya sastrasecara umum yang terdiri atas sepuluhjenis, yaim(1)puisi Jawa tradisional,(2)puisi Jawa modem,(3)bahasa gancar atau prosa,(4)epik,(5) lirik,(6)dramatik,(7)babad,(8)suluk,(9)kisah perjalanan,dan(10)serat
niti atau ajaran. Karya sastra berbahasa gancar atau prosa dibedakan lagi atas cerpen, novel, dan biograft; kaiya sastra epik memiliki subjenis mite, sage, epos binatang, legenda, dongeng, dan roman. Bahkan, karya sastra roman masih dibedakan lagi atas(1)roman percintaan,(2)roman sejarah, dan (3) roman peijuangan.
Berdasarkan penelitian sebelumnyua terdapat karya sastra Jawa yang muncul,karya sastra fiksi yang ada dapat diklasifikasikan atas sastra babad, roman atau roman sejarah, novel, kisah perjalanan, cerpen, sastra pewa-
yangan, dan dongeng atau cerita anak-anak. Dalam kerangka teori penelitian ini,jenis fiksi tersebut dibedakan atas indikasi-indikasi yang.menonjol dari perbedaan antarkarya masing-masing- Indikasi-indikasi itu diidasarkan atas unsur dalam straktur cerita dari setiap karya.
Sastra jenis babad adalah karya sastra Jawa yang berisi tentang cerita sejarah, Pada umumnya, ceritanya.nyata, tetapi dibumbui dengap unsurunsur fiktiffSubaiidinata, 1974:4). Berkenaan dengan ciri tersebut, sastra
babad sering disebut cerita sejarah. Unsur-unsiurcerita dalam karyajenis ini terdiri atasfakta,sesuatu yangkongkret,seperti tokoh cerita,latar peristiwa,
dan latar tempat peristiwa berlangsung; Latar tempat sering berapa kerajaan atau negara tertentu.
Menurut Djajadiningrat(1913),sastrajenis babad diperkirakan miincul dalam khazanah sastra Jawa pada pemerintahan Kaftasura. Diiihat dari susunan ceritanya, babad dapat dibedakah dengan jenis karya yang lain. Urutan eerita dalam karya babad, biasanya terdiri atas pengantar, bagian
pendahuluan, bagian isi, dan penutup. Bagian pengantar memuatjudul,jati diri penulis, tempat penulisan, permintaan maaf penulis, dan maksud penulisan; Bagian pendahuluan berisi peristiwa yang melatarbelakangi cerita serta silsilah nenek moyang dari tokoh dalam cerita tersebut. Bagian isi memuat inti atau pokok-pokok cerita; dan bagian penutup berisi keterangan tentang waktu cerita itu selesai dikarang. Pada umumnya, karya sastra Jawa jenis babad pada periode sebelum sastra Jawa modem masih ditulis dalam bentuk tembang macapat. Sastra babad pada umumnya sering mengisahkan tokoh sejarah dan mengambil judul dari nama tokoh sejarah atau nama pemerintahan dalam sejarah. Karya babad seperti itu, misalnya Babad Diponegara dan Babad Mataram. Berdasarkaii unsUr-unsur pembangun sastra babad tersebut,Padmapuspita(1991)membuat atau menyimpulkaii bah wa ciri-ciri sastra babad adalah(1)judul sebagian besar memakai
nama tokoh atau menggunakan kata babad;(2)latar sejarah cukup menonjol; dan (3)tokoh utama sering merupakan tokoh historis. Jenis karya fiksi yang lain adalah cerita roman. Roman memuat kisah atau pengalaman hidup seorang tokoh. Pada umumnya,roman berisi kisah tokoh sejak lahir sampai meninggal atau sejak tokoh kecil hingga dewasa. Para pelaku atau tokoh-tokoh itu bergerak dari scene\t sebuah scene yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain (Bates dalam Lubis, 1981:28). Pengalaman hidup seorang tokoh dalam karya sastra roman dikisahkan secara utuh atau keselurahan. Dalam sastra Jawa, roman sering kali berisi aspek-aspek sejarah. Oleh sebab itu, di antara roman yang ada bersifat sejarah. Pada umumnya, unsur sejarah yang menjadi bahan dalam roman sejarah adalah latar tempat peristiwa; sedangkan tokoh dalam cerita roman sejarah merupakan tokoh fiktif atau rekzian. Bahkan,latar tempat biasanya berupa sebuah pemerintahan atau negara,dan dapat berupa pemerintahan di Jawa ataii di luar Jawa. Banyak pula cerita roman yang mengambil latar
kehidupan pemerintahan non-Nusantara,misalnyacerita-cerita mendk yang berlatar negara-negara Islam di Parsi atau Arab. Latar sejarah yang berupa sebuah pemerintahan Jawa adalah karya roman sejarah yang mengambil
? i; R P 'J S T A ;< A A W
P U S A T P E M 3 I N A AW OA W P £ W C £ M S A w G A N 8 A H A 3A DAPAfiTEMEfJ PENOIOIKAN DAW
10
KEBUDAYAAW
sumber dari cerita-cerita Panji atau Damarwulan. Menurut Poerbatjaraka (1954:88), cerita Panji telah muncul pada masa pemerintahan Majapahit. Bersamaan dengan berdirinya Commissie yoor de Volkslectuur, mun cul karya-karya yang ditulis dalam bentuk gancar atau prosa dalam dunia sastra Jawa. Cerita prosa itu salah satunya berupa kisah peijalanan atau cerita andon lelana (Darusuprata, 1969:24). Rass (1985:8) menyebutkan bahwa kisah peijalanan dalam sastra Jawa telah muncul pada awal berdi rinya Instituut voorde Javanshe Taal di Surakarta. Kisah perjalanan berisi penggambaran perjalanan atau pengalaman tokoh dalam perjalanan atau
pengembaraannya.Tokoh cerita dalam kisah perjalanan dapat berupa tokoh fiktif dan tokoh historis. Yang diceritakan dalam karya itu adalah segala yang dialami, dilihat oleh tokoh sewaktu-waktu mengadakan perjalanan, pengemb^aan, dan/atau pelayaran (Subalidinata, 1974:4). Menurut Padmapuspita (1991), kisah perjalanan dalam sastra Jawa memiliki ciri konvensi, yakni (1)judul biasanya memakai kata kekesahan 'bepergian',
lelayaran 'berlayar', dan lelana 'bepergian', serta (2) tema cerita bempa perjakn^ atau pengembaraan seorang tokoh, Akan tetapi, konvensi itu tidak mutlak, sebab terdapat juga karya kisah perjalanan yang memakai judul yang tidak menunjuk pada makna bepergian. Di antara karya seperti itu adalah cerita Catur Tunggal karya Abdullah (1876). Jenis kisah perja lanan dalam sastra Jawa sering digubah dalam bentuk tembang 'puisi' atau gancar'prosa'. Di samping karya fiksi yang berupa roman sejarah dan kisah perja lanan, sastra Jawa juga diwamai oleh karya fiksi yang berupa novel. Menurut The American College Dictionary(1960:830), novel adalah suatu cerita berbentuk prosa yang panjang, yang tertentu, fiktif, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata kacau atau kusut. Wolf (dalam Lubis, 1960:30) menyebutkan bahwa novel berupa eksplorasi atau suatu kronik penghidupan, yakni merenungkan dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh,ikatan, hasil,kehancuran atau tercapainyagerakgerik manusia. Secara kuantitatif, sebuah novel lebih kurang terdiri atas empat puluh ribu kata(Kenney, 1966:103). Pada umumnya,novel memuat satu sisi dari kehidupan tokoh. Aspek yang menjadi ciri novel itu berbeda
dengan jenis karya asastra yang lain karena adanya perubahan sikap atau pandangan hidup tokoh. Jadi, perubahan tingkah laku atau tindakan tokoh itulah sebagai indikasi pembeda novel dengan karya sastra lainnya. Dalam sastara Jawa,novel hadir pada masa awal abad duapuluh atau periode Balai
11
Pustaka. Karya Ki Padmasusastra, Serat Pangsang Tuban, terbit (1912), sering disebut-sebut sebagai protonoveldalam sejarah sastra Jawa. Melihat hal itu, sangat dimungkinkan bahwa novel Jawa itu lahir akibat pengaruh Barat. Alasannya, Ki Padmasusastra sendiri merupakan rhurid dari C.F. Winter,seorang ahli sastra Jawa berkebangsaan Belanda yang bekeija pada lembaga Bahasa di Surakarta. Pada periode itu karya fiksi yang berbentuk novel, antara lain DjakaSetya Ian DjakaSedya 0912). Karya cerpen atau cerita pendek juga mewamai keberadaan sastra
Jawa. Secara kuantitatif, sebuah cerpen biasanya memuat seribu sampai dengan lima belas ribu kata(Kenny, 1966:103). Dilihat dari unsur struktur,
alur cerita bersifat tunggal, tokoh cerita tidak mengalami perubahan, pandangan hidup yang mendasar juga tidak mengalami perubahan dalam perjalanan hidup. Teknik pengisahan dalam cerpen dapat terselesaikan atau cerita itu utuh dalam menggambarkan watak tokohnya.Cerpen menampilkan masalah yang hams dimmuskan sebagai kebulatan ide (Radisi dalam
Tarigan,1986:176).Selanjutnya,Tarigan(1986:177)menyimpulkan bahwa ciri cerita pendek itu singkat, padu, dan intensif. Karya sastra yang berisi cerita dari cerita wayang telah lama hadir
dalam khazanah sastra Jawa. Karya itu sering disebut sastra pewayangan. Cerita itu sendiri bersumber dari epos Mahabarata dan Ramayana. Kedua epos itu mempakan adaptasi dari sastra dan fllsafat Hindu di India. Sastra pewayangan selama ini lebih dikenal sebagai drama tradisional dan disebut
sebagai seni pertunjukan. Dalam penelitian ini, karya sastra yang mengambil bahan cerita wayang dipandang sebagai karya sastra fiksi. Oleh sebab ituj aspek-aspek atau unsur stmktur dalam cerita wayang tidak semuanya dibicarakan, khususnya unsur-unsur yang mempakan ciri khas cerita wa yang sebagai seni pertunjukkan.
Di samping cerita wayang yang bersumber dari cerita India,Mahaba
rata dan Ramayana,terdapatjuga karya pewayangan yang bempa karangan bam atau carangan. Pada periode akhir abad XlX-tahun 1920,karya sastra yang mengambil kisah pewayangan,antara lain Kartawiyoga(1884),Petruk Dados Ratu (1906), dan Arimbi(1898)(Uhlenbeck, 1964:136).
Sejak lama sastra dongeng telah lahir dalam sastra Jawa.Jenis karya itu sering disebut sebagai carita 'cerita' atau carita anak 'cerita anak-^anak'.
Cerita an^-^anak atau dongeng berisi hal-hal yang tidak benar-benar terjadi
(Dananjaya, 1991:83). Namun,ada kalanya cerita anak-^anakatau dongeng
12
bersumber dari kisah nyata,tetapi gaya pengungkapannya tidak masdk akal (Subaiidinata, 1974:4). Selanjutnya, Hadisoebroto (tt, 90-91) membuat .klasifikasi dongeng atau cerita anak-anak dalam sastra Jawa terdiri atas mite,sage dan legende,dong&ng gegedug,dongeng binatang,dongeng lugu, dongeng perlambang, dan dongeng atau cerita suci. Berdasarkan gaya penceritaan, cerita anak-anak atau dongeng Jawa memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan karya jenis lainnya. Pada pembukaan cerita sering terdapat kalimat anuju ing sawijining dina 'pada suatu hari' atau dhek jaman biyen 'pada zaman dahulu'. Penutup cerita berupa keberhasilan tokoh cerita dalam mencapai cita-cita, keburukan dikalahkan oleh kebaikan, atau berupa kalimat klise yang berbunyi A dan B hidup rukun seperti sepasang ketam. Konvensi atau struktur cerita anakanak tersebut tidak terlepas dari tujuan dongeng sebagai sarana mengajarkan budi pekerti (Danusupraptra, 1969;24). Klasifikasi berdasarkan struktur cerita di atas akan
dimanfaatkan
secarafleksibel dalam analisis struktur dan klasifikasi atau penjenisan karya fiksi dalam sastra Jawa yang terbit pada periode akhir abad XlX-tahun 1920.
1.5 Metode dan Teknik
PenelitiansastraJawaperiodeakhirabadXIX-tahun 1920menggunakan metode dan teknik sesuai dengan tahapan penelitian, yang berkaitan dengan pengumpulan dan analisis data. Pertama, pengumpulan data dilakukan melalui pelacakan karya-kaiya yang terbit pada periode tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pencatatan.Setelah data penelitian terkumpul,diadakan analisis data dengan metode deskripfif-analitik. Melalui analisis secara deskriptif terse but dapat dilaksanakan identifikasi dan klasifikasi terhadap data penelitian.
Langkah selanjutnya adalah pembuatan risalah penelitian.bab demi bab. Langkah akhir dalam penelitian adalah penyusunan laporan penelitian secara utuh.
1.5 Data Penelitian
Sumberdatadalam penelitian sastra Jawa periode akhir abad XEX-tahun
1920 meliputi karya sastra Jawafiksi yang terbit dalam bentiikbuku. Karya-
13
karya daiam bentuk buku dalam periode di atas ditulis dengan huruf Jawa atau huruf Latin. Data penelitian itu juga meliputi karya-karya sastra yang digubah daiam bentuk tembang macapat, dan gancar 'prosa'. Data peneli tian ini meliputi karya sastra Jawa pada tahun 1875 sampai dengan 1920. Karya-karya yang merupakan data penelitian tersebut tercantum pada lampiran (daftar pustaka data) di bagian akhir laporan ini. Dalam penelitian ini, ditetapkan±7© karya sastra yang diambil sebagai sumber data. Besar kemungkinafinya masih terdapat beberapa karya yang terbit pada periode tersebut yang tidak dapat ditemukan lagi dalam rangka penelitian ini. Pada periode akhir abad ke-19, karya sastra yang berhasil ditemukan sebagai data tertua adalah eevita yang terbit pada tahun 1875 sehingga data penelitian ini ditetapkan berdasarkan batas waktu antara
tahun 1875-1920. Jenis karya sastra Javya sebagai sumber data penelitian tercantum dalam tabel II, dalam lampiran.
BAB II
SITUASIBUDAYA DAN SASTRA JAWA
2.1 Situasi Sastra Jawa Sebelum Abad XIX
Pada dasamya masyarakat Jawa menganut sistem biidaya terbuka terhadap pengaruh budaya luar atau budaya asing. Pengaruh budaya asing itu tidak dapat dilepaspisahkan dengan kehidupan sastra Jawa. Pengaruh budaya luar terhadap sastra Jawa itu telah berlangsung lama,dari satu fase ke fase berikutnya, yakni dari sastra Jawa kuna, sastra Jawa pertengahan, sampai dengan sastra Jawa modem, sejalan dengan waktu masuknya pengamh asing yang mewamainya. Pengaruh budaya luar itu sudah terjadi sejak munculnya teks sastra keagamaan berbentuk prosa dalam sastra parwa sampai dengan sastra Jawa yang bersifat kerakyatan pada masa sastra Jawa modem kini (Zoetmulder, 1974:ix).
Pengamh budaya luar terhadap sastra Jawa telah juga menentukan bentuk dan stmktur karya sastra Jawa yang muncul. Setiap muncul pe ngamh budaya asing yang bam selalu diikuti unsur-unsur sastra Jawa yang tampak berbeda dari karya sastra sebelumnya walaupun batas-batas mun culnya pengamh bam itu tidak tampak secara tepat dan seketika. Artinya,
pengamh budaya luar yang bam diterima itu memberikan corak tersendiri, corak khas, terhadap karya-karya sastra yang muncul semenjak masuknya pengamh budaya yang bam tersebut. Munculnya sastra Jawa sejak awal sampai akhir abad ke-18 disamakan rentang waktunya dengan masa sastra Jawa sejak lahimya kitab Ramayana Kakawin pada abad ke-9 sampai dengan sastra Jawa masa kepujanggaan Kiai Yasadipura pada pemerintahan Kasunanan Surakarta. Dalam kumn waktu yang panjang itu, sastra Jawa diwamai oleh beberapa pengamh 14
15
budaya luar atau budaya asing.Di antarapengaruh budaya luar itu,pengarah budaya asing yang cukup raenonjol dan turut mewamai budaya dansastra Jawa adalah budaya Hindu dari India dan budaya Islam dari Arab; Beberapa kenyataan sosial-budaya Jawd dalam kaitannya dengan sias-
tra Jawa yang perlu dibicafakan dalam penelitian mi adalah peran pengarah budaya asing dalam sastra Jawa.Dalam hal ini, menyangkiit situasi penciptaan sastra Jawa, dan bentuk serta Jenis karya sastra Jawa sejak awal (lahimya Ramayana Kakawin)sampai deng?in akhir abad ke^l 8. Pada masa awal munculnya sastra Jawa, dalam hal ini khusus sastra Jawa tertulis, pengarah sastra Hindu dari India yang diilhami oleh ajaran agama Hindu tampak dalam kaiya sastra Jawa kakawin dan kitab-kitab parwa. Bahkan, karya sastra Jawa pada-- zaman itu banyak memakai katakata bahasa Sanskerta yang dengan mudah dapat dirajukkan kepada bahasa yang dipakai dalam buku sumbernya di India (Darasuprapta, 1969:19); Dalam hubungan dengan hal di atas; orang-orang Hindu sengaja ingin mengembangkan ajaran agamanya rnelalui kitab-^kitab sastra. Pada waktu itu orang-orang Hindu banyak membawa buku-btiku keagamaannya, berbahasa Sanskerta, dalam kehidupan tnasyarakat Jawa; Akibatnya adalah
bahwa beberapa karya sastra Jawa ketika itu banyak memuat ajaran agama
Hindu.Di tan^ asalnya,kitab-kitab Hindu itu dipandang suci karena berisi ajaran religius. Dalam hal itu, Perbatjaraka (1957:x) menerangkan bahwa kitab Ramayana merapakan salah satu kitab suci bagi pemeluk agama Wisnu, sedangkan Vitdh Mahabarata merapakan kitab suci bagi pemeluk agama Siwa.
Pandangan bangsa India yang menilai suci terhadap kitab-kitab sastranyajuga berlaku pada masyarakat Jawa sbmasa kuatnya pengarah agama dan budaya Hindu. Bahkan, penamaan kitab-kitab sastra itu telah menuhjukkan penghormatan terhadap karya karya tersebut.Penamaan kitab sastra dengan memakai kata sang hyang seperti terdapat dalam kitab Sang Hyang Kamahanikan (Berg, 1974:46) menunjukkan rasa hormat masyarakat pembacanya terhadap kitab tersebut. Kitab itujuga dipandang sebagai buku agama bagi penganut agama Budha Mahayana pada masa pemerintahan
Empu Sindok di Jawa Timur tahun 929—947 Masehi. Penghormatan atau pandangan serapa juga bferlaku pada masyarakat Jawa terhadap teks sastra pewayangan sehingga terhadap beberapa lakon tidak dapat dipentaskan pada sembarang kesempatan. Hal yang demikian
16
memberikan gambaran bahwa teks sastra bukan merupakan bacaan semata, meiainkan hams dihayati dalam kaitannya dengan kehidupan yang bersifat ritual. Lakon lakon wayang tertentu, seperti lakon Murwakala Am Su-
damalor hanyadapat dipentaskan dalatn situasi ritual khusus dalam upacara ruwatan. Hingga sekarang,, masyarakat Jawa juga jarang yang bersedia menyelenggarakan pentas Baratayuda dalam semua situasi. Hal itu disebabkan .oleh adanya perang besar yang memilukan antara Kurawa dan
Pandawa yang dipandang dapat menimbulkan efek negatif sesuai dengan kepercayaan mereka.
Karya sastra Jawa pengamh Hindu tidak terlepas dari kehidupan dan peran penguasa pemerintahan pada wakltu itu. Kondisi yang demikian berlangsung sampai dengan akhir abad ke-18 Masehi,SastraJawa sebelum
abad ke-19 selalu hadir dari dalam lingkungan istana atas dasar lisensi raja. Kitab-kitab parwa pun, secara tidak langsung dapat diranut bahwa kitabkitab itu diniasudkan sebagai catatan peristiwa historis dari penguasa pada saat karya itu diciptakan oleh pujangga dalam pemerintahan tertentu, niisalnya kisah yang terdapat di dalam kitab Arjunawiwaha, Dalam hal ini. Berg (1938) mengat^an b^wa,peristiwa yang dialami oleh tokoh dalam Arjunawiwaha merypakan perjalanan atau kisah kehidupan Raja Airlangga. Selanjuthya, peran penults istana dalam usaha penciptaan sastra yang memuat momentum historis seraakin tampak. Dengan demikian, kitab-
kitab sastra sejarah dalam khazanah budaya dan sastra Jawa mehempati uriitan utama(Berg,1974:6).Karya-karya itu ditulis oleh pujangga-pujangga keraton. Kedudukan pujangga atau penulis sastra pada waktu itu tidak dapat dilepaskan dengan misi penguasa atau raja. Oleh sebab itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa penulis mplakukan "penghalusan" peristiwa dalam menggambarkan kejadian tertentu sebagai upaya mewujudkan sikap loyal terhadap:raja selaku penguasa, sekaligus pelindungnya. Setiap penulis karya sastra selalu berasal dari kalangan istana yang diberi tugas oleh raja untuk mendokumentasikan peristiwa tertentu yang dipandang cukup penting. Kebiasaan raja mengangkat seorang pujangga telah muneul sejak pemerintahan Singasari dan tetap berlanjut sampai dengan pemerintahan Kasunanan Surakarta. Kitab Pararaton Am Negara Kertagama ratxapdkaxi karya sastra yang mengambil latar sejarah yang cukup mencolok daripada bacaan sastra. Kitab Parararon memuat peristiwa atau kisah yang menyangkiit pendiri dinasti Singasari dan Majapahit, yakni
17
Ken Arok,sedangkan A'egara ATer^agama memuat pengalaman hidup tokoh Raja Kertanegara(Berg, 1974:15-18).
Menjelangberakhimyadinasti atau pemerintahan Majapahit,pengaruh agama Islam semakin meluas.Pengaruh agama Islam itu semakin kuat pada abadke-i5 sampaidenganabadke-16(Berg, 1974:123). Karya-karyasastra yang muncul pada waktu itu banyak diwamai oleh ajaran Islam.Di samping
itu, pada periode tersebut teijadi perubahan bentuk sastra Jawa dari karya kakawin menjadi sastra tembang, baik tembang macapat maupun tembang gede..Karya sastra berbentuk tembang pada zaman pengaruh agama Islam itu sebagian besar berupa sastra suluk. Sastra suluk adalah karya yang memuat ajaran yang berupa usaha seseorang dalam mencapai kesempurnaan hidup, manunggaling kawula-Gusti, berdasarkan ajaran mistik Islam. Sastra suluk sangat erat dengan filsafat Islam (Zaidan dkki, 1991:134). Beberapa karya sastra suluk dalam khazana sastra Jawa, antara lain, Suluk Swfajrjfl(berbentuk seloka), Suluk Wujil,Suluk MalangSumirang,keduanya berupa tembang macapat (Poerbatjaraka, 1952:94-100). Masuknya pengaruh Islam dalam budaya dan sastra Jawa disertai juga oleh munculnya cerita-cerita Jawa yang bersumber d^ negara Islam atau cerita-cerita dari Arab.Poerbatjaraka(1957:122) menjelaskan bahwa cerita dari Arab itu sebelum masuk ke Jawa telah berkembang di tanah Melayu. Dengan demikian dapat diduga bahwa cerita-cerita Arab itu telah mengalami modifikasi di tanah Melayu sebelum disadur ke dalam sastra Jawa. Karya sastra Arab yang disadur ke dalam sastra Jawa itu masih tampak berdekatan dengan naskah aslinya, misalnya, Koja Jajahan yang mengambil latar Kerajaan Mesir. Cerita Arab yang menjadi sumber itu mengalami modifikasi ke dalam sastra Jawa yang terkenal lalah cerita Amir Hamzah. Cerita.Amir Hamzah menjadi sumber atau acuan cerita Menak dalam sastra Jawa, yakni cerita yang meramu budaya Islam dan budaya Jawa,antara lain Serat Kanda (zaman Kartasura), Kitab Rengganis, dan Kitab Anbiya (Poerbatjaraka, 1952).
Telah dijelaskan di atas bahwa sejak awal sastra Jawa itu erat dengan latar kesejarahan atau berkaitan dengan kekuasaan. Pada era selanjutrtya, aspek historis dalam sastra Jawa semakin tampak kuat dengan hadimya bentuk karya-karya babad 'sastra sejarah'. Graaf (dalam Darusuprapta, 1980)menjelaskan bahwakaryajenis babad muncul pada pertengahan abad ke-17, saat itu Mataram diperintah oleh Sultan Agung. Dikemukakan oleh
18
Bprg(1974:176)bahwa ketika itu sastra babad ditnaksudkan sebagai media untuk memperbesar dan meningkatkan wibawa atau kekuasaan raja sebagai magi sastra. Karena sastra sejarah menduduki tempat utamadalam budaya dan sastf^ Jawa, sastra babad menunjukkan beberapa peran yang sangat penting dalam sistem politikdari^ur kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa. Sastra. banyak memakai Judul dari nama pemerintahan atau lokasi suaty tempat,seperti Babad Tcuiah Djawi,Babad Dentak, Babad Matarant,
Babad Kartasura, Babad Banten, Babad Banyumas, Babad Blambangan, dan Babad Mangkunegaran.
Pada masa Surakarta awal, saat kepujanggaan Kiai Yasadipura, sastra Jawa memiliki corak yang berbeda dari sastra Jawa sebelumnya.Pada masa
Surakarta awal itu muncul karya sastra baru. Karya-karya sastra Jawa yang muncul ketika itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu(1)karya sastra asli berbentuk tembang,dan(2)karya sastra saduran atau bangunan. Karya saduran atau bangunan itu bersumber dari karya sastra Jawa kuna atau kitabkitab parwa. Karya sastra Jawa kuna itu banyak digubah kembali dalam
bentuk tembang macapat(Poerbatjaraka, 1957:149).Di antara penulis yang menyadur cerita dari Jawa kuna yang cukup menonjol adalah Kiai Yasadi pura.
Karya sastra dalam bentuk tembang macapat sudah muncul sejak akhir Majapahit atau ketika awal pengaruh Islam di Jawa. Karya-karya sastra berbentuk tembang semakin subur pada awal pemerintahan Surakarta. Sebagian besar karya-karya ciptaan itu asli, bukan bangunan atau saduran,
ketika itu digubah dalam bentuk puisi tradisional atau tembang macapat. Karyasastra Jawa sebelum abad ke-19,sejak kepujanggaan Yasadipura hingga Ranggawarsita kebanyakan berupa karya manuskrip 'tulisan tangan' berhurufJawa. Karya sastra pada periode itu diciptakan oleh pegawai
istana atau pujangga keraton yang diangkat oleh raja. Sastra Jawa ciptaan para pujangga itu lebih cenderung sebagai sastra istana daripada Sebagai sastra masyarakat.
Sastra Jawa sebelum abad ke-19 tidak mengenal tradisi penerbitan sehingga perbanyakan teks sastra dilakukan dengan penyalinan atau nadhak 'menulis kembali'. Teks sastra Jawa cetak baru muncul pada sekitar awal abad ke-19,di samping berlangsung tradisi sastra tulisan tangan dari penulis
keraton terdapat pula kaiya perseoiangan, baik dari fcalangan guru maupun lainnya.Jika dilihat dari penulisaii dan pemasyarakatsastra Jawa sejak abad
19
ke-19,,tampak bahwa sastra Jawa sudah mulai berorientasi sebagai sastra rakyat sebagai bentuk pengarah Eropa atau Baiat; 2.2 Situasi Sastra Jawa Abad ke-19-Tahiiii 1920
Pada gilifannya masyarakat Jawa mendapat^ngaruh budaya Barat atau Eropa. Budaya Barat itu berpengarub pada bentuk dan isi karya sastra Jawa sehingga fcarya sastra itu terbeda'dengan karya sastra sebelumnya (Rass, 1985:1). Pengaruh^bUdaya daiatn'Sastra merupakan hal yang wajar. Teuuw (1983:61) menyatakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari fakta sejarah dan sosial budayanya.
Pada akhir abad ke-19 sastra Jawa rhemasuki babakan baru sebagai
akibat pengaruh budaya Barat. Seberiarriya'|iengaruh Barat itu telah masuk di Jawa sejak a^al abad ke-i9; Besamya pengafuh Barat di wilayah
Nusantara tidak terjadi pada waktu yang ^rsaftiaan. Secara keseluruhan, pengaruh Barat masUk ke wilayah Indbneisia pada akhir abad ke-19 ataii pada awal abad ke-20(Cokrowindto dkk., 1990:36). Berdasarkan adahya pengaruh Barat itu, sastra Jawa modern itu timbul sejatan dengan lalhimya kata modkm tersebut(Robson, 1978:13). Pehgertian modem itU bersangkutan dengan masUknya pengaruh &arat di Indone sia. Oleh sebab itu, sejalan dengan kondisi tersebut berbagai jenis atau genre sastra Barat berpengaruh ke dalath sastra Jawa.Pengaruh jenis sastra Barat ke dalam sastra Jawa itii bersamaan dengan berlangsungnya pen-
gajaran atau pendidikan Eropa terhadap masyarakat Jawa.Pada kurun ^ir abad ke-19, sebagai akibat lancamya hubungan antarbaflgsa dan pengaruh Barat semakin intensif, beberapa Unsur sastra Jawa ada yang rnengikuti unsur karya saStra Eropa itu (DarUsuprapta, 1990:71).
Pengaruh Barat itu masuk ke dalam sastra Jawa melalui pendidikan Barat. Berkaitmi dengan jalur tnasUkkan pehgaruh Barat ke dalam sastra
Jawa itu, para^hgarang sastra Jawa m^em pada awalnya dipelbpori oleh kalangan pendidik atau guru (Rass, 1985:16). Perigarang sastra Jawa pada waktu itu yaiig berasal dari kalangan pendidik, antara lain, Mas Kuswadiharja, Raden Mas Wiryasusastra, Mas Reksataiiaya, dan Mas Prawirasudi^a. Pada masa itu karya sastra tersebut dimaksudkan sebagai bacaan para siswa sekolah sesuai dengan pbla pengajaran Eropa. Era kebangkitan sastra Jawa modern pada akhir abad kerl9 tidak
20
Taal)di Surakarta pada tahun 1832.Lembaga bahasa Jawa itu berdid berkat inisiatif atau prakarsa G.F. Winter (Gokrowinoto, 1990:36). Walaupun merupakan lembaga bahasa Jawa,lembaga itu telah membawa perkembangan yang positif terhadap sasira Jawa.Instituut voor de Jovaansche Tiiia/itli
teldi m^^rkan penulis atau pengarang sastra Jawa yang menuju ke arah perkembangan sastra-Jawa berikutnya. Di antara pengarang itu adalah M.A.' Gandranegara, Raden Abdullah Ibnu Sabar, Suryawijaya, dan Ki Padmasusastra.Pengarang terakhiritu memiliki posisi tersendiri pada masa sastra Jawa sekitar tahun 1910, Penulis-penulis itu sering disebut sebagai perintis kehidupan sastra Jawa modern.
. Kehidupan sastra Jawa pada akhir abad ke-19 juga sangat ditentukan pleh peran serta penerbit sebagai sarana memasyarakatkan karya-karya sastra Jawa pada waktu itu. Sejak saat itu berbagai majalah yang terbit t^dak
saja nrietpuat Iserita, tetapi memuat pula berbagai mas^ah, antara lain pendidikan, pertanian, dan kebahasaan. Di sainping itu, surat kabar dan majalah yang terbit juga mulai nienaruh minat terhadap sastra sehingga sastra Jawa banyak mengisi penerbitan atau majalah dan surat kabar.
hJajalah dan sur^t kabar itu kebanyakan terbit di Surakarta dan Semarang,
Di antara majalah bierbahasa Jawa adalah Jurumartani, Bromartani, Retnadutnilah, dan Jawikonda. Sebagai kelanjuUin maraknya penerbitan majalah dan surat kabar
tersebut di atas, beberapa surat kabar, misalnya Islam Bergerak (1917), Budi Utorno(1920),dan Wama Dqrmo yang dirintis pleh Ki Padmasusastra (Hutomo, 1975:9-10). G.F. Winter sebagai pemrakarsa berdirinya Instituut yoor de Jayaqnsche Taal di Surakarta, juga stuigat berperan dalani penyediaan bahan
bacaan masyarakat. la selalu mepeliti dan mengawasi bacaan yang diter-
bitkan piph lembaga ibi. Peran G.F. Winter amat besar dalam melahirkan kaiya-k^a sastra Jawaprb^ berupa kai7a saduran atas kaJtya-karya sastra Jawa klasik dalam bentuk tembang macapai. Usaha itu dapat merangsang pengarang sastra Jawa dalam inencipta cerita baru yang rnulai terlepas dari kaidah-kaid^ sastra klasik. Misalnyk ketika itu muncul karya prosa yang berupakisah perjalanan karangan M.A- Gandranegara,denganjpdul Cariyos Bah Lampah-Lampdh ipun Raden MqsArya Purwa Lelana(Batavia, 1965). Di samping itu, pada dekade tersebut mulai terbit karya sastra prosa dalam bahasa Jawa ngoko, seperti Serat Raga Pasaja karangah seorang' guru bemama Raden Sastrakusuma.
• ■
21
Pada masa awal abad ke-20, karya sastra Jawa banyak yang berupa fiksi. Akan tetapi, fiksi itu masih terkesan mengutamakan pesan-pesan pendidikan. Karya lain yang. berbentuk kisah petjaianan diungkapkan seperti laporan yang bersifatjumalistik.Rass(1985i 10)menyatakan bahwa ketika itu cerita-cerita model baru yang berbentuk prosa yang dimaksudkan sebagai bacaan belum banyak menarik perhatian pembaca.
Di samping peran majalah dan surat kabar dalam pemasyarakatan sastra Jawa pada akhir abad ke-19, peran lembaga Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur sangat penting. Lembaga itu didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1908 sebagai perwujudan pelaksaan Politik Etis. Pada akhimya lembaga itu bemama Balai Pustaka. Tujuan didirikannya Commissie voorde InlandscheSchoolen Volkslec tuur oleh Pemerintah Belanda adalah untuk menyediakah bahan bacaan
yang baik dan memadai bagi para siswa bumi putra yang mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah formal. Usaha itu dimaksudkan untuk meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan masyarakat pribumii. Pada gilirannya, Pemerintah Belanda dapat memanfaatkan tenaga terdidik itu. Dalam kegiatannya, Ba/a/ tidak menerbitkan karya-karya sastra saja, tetapi juga menerbitkan bacaan yang berisi ilmu pengetahuan. Karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka mencakupi sastra Jawa, Sunda, Melayu, dan Iain-lain. Karya sastra saduran atau teqemahan misalnya karya-karyaberbahasa Belanda, banyak juga yang diterbitkan Balai Pustaka. Karyateijemahan atau saduran,mtaialainDongengSewuSetunggal Dalu, Tjarijos Aladin, Tjarijos Simbad, Robinson Krusu, Abunawas, dan Sam Pek Eng Toy.
dalam bahasa Jawa pada awal abad ke-20. Karya saduran dari sastra yang berasal dari daerah lain itu, misaltiya SerdtJayaprana(1918),yang bersumberdarisastratradisional Bali,berbentuk tembangmacdpat. SeratJayaprana berbahasa Bali itu disadur ke dalam bahasa Jawa, dalam bentuk prosa. Balai Pustaka menerbitkan karya sastra Jawa secara efektif sebagai upaya pemasyarakatan sastra. Penerbit Balai Pustaka menyalurkan bacaan
yang berwujud karya sastra melalui lembaga-lembaga pendidikan. Pada urnumnya, buku-buku bacaan itu disalurkan lewat perpustakaan-perpustakaan sekolah.
Beberapa penerbit non-Balai Pustaka menerbitkan karya sastra Jawa
22
pula, antara Xzm H.A. misalnya menerbitkan Serat Panutan.(1913)', Dongeng Waris Ian Lalis (1913); Panderof & Co-Semarangf misalnya menerbitkan Serat Dartnakanda dalam bentuk tembang macapatpadatahun 1887. Penerbit lain yang cukup produktif menerbitkan karya sastra Jawa adalah Penerbit Papirus-Betawi pada tahun 1910-1920. Karya yang diterbitkan, antara lain PamoringDhusun {\9\l), Cariyosipun Kara Kandreman (1916), Dongeng Empol-Empil(1912), dan Biyung Kuwalon (1913).
Pada awal abad ke-20Balai Pustakajuga menerbitkan karya sastra dari kalangan pengarang nongura, biasanya karya itu ditulis oleh pegawai pamong praja. Banyaknya karya sastra Jawa yang diterbitkan Balai Pustaka menunjukkan bahwa penerbit itu mempunyai peran yang sangat penting dalam memajukan sastra Jawa. Beberapa karya sastra Jawa yang diter bitkan, antara lain, Serat Panutan (Prawirasudiija), Kartimaya (Adisusastra), Isin Ngaku Bapa(Prawirasudirja), Rukm Arja(Samuel Martaatmaja), dan Damw Sa/iyara (Raden Ngabei Kartasiswaya), Sebagian besar masyarakat Jawa pada awal abad ke-20 masih beranggapan bahwa karya yang disebut susastra adalah karya berbentuk tembang.Anggspm itu dipengaruhi oleh tradisi yang masih bertahan bahwa sastra Jawa bersifat kolektif, untuk didendangkan dan bukan untuk dibaca perseorangan. Pad^ masa subumya sastra tradisional, pemasyarakatan karya-kai^a yang berbentuk tembang maeapat dengan cara didendangkan dan didengarkan. Karya-karya tersebut sangat menonjolkan pesan atau ajaran-ajaran moral.Oleh sebab itu,karyasastraJawa terbitan Balai Pustaka yang berupa prosa dan dikemas sebagai bacaan perseorangan dianggap bukan susastra. Sehubungan dengan itu, pada periodeitu teijadi pergeseran teknik penikmatan sastra Jawa. Dikemukakan oleh Rass (1985:11) bahwa karya-k^a yang terbit saat itu eenderung dinilai bukan karya sastra. Akan tetapi, jika dilihat dari peijalanan sastra Jawa pada waktu sebelumnya,
munculnya sejumlah karya berbentuk prosa itu membuktikan dan menandai timbulnya tradisi atau era baru dalam dunia sastra Jawa. Di antara penulis sastra Jawa pada abad ke-20, Ki Padmosusastro menduduki posisi yang
cukup penting. Ki Padmpsusairo dinilai sebagai "orang merdeka yang fflengurusi sastra Jawa"(Supardi dalam Hutomo, 1975:8). Karena masya rakat menganggap bahwa Raden Ngabei RanggawarSita sebagai pujangga terakhir, Ki Padmosusastro yang memiliki andil sangat besar terhadap
23
Namun, ia mempunyai riwayat kepengarangan tersendiri. Padmosusastro berminat terhadap bahasa dan sastra Jawa,setidaknya berkat persahabatannya dengan ahli-ahli bahasa Jawa bangsa Belanda. Sejak C.F. Winter mQm^tdk2xszAbexd\np.yzt.CommissieVoorde JavaansheTaal,Padmosusas tro teiah menjabat_sekretaris D.F. Van der Pant (Rass, 1985:9), seorang pemimpin lembaga tersebut. Berkenaan dengan keterkaitannya terh^ap bahasa dan sastra Jawa semasa menjadi sekretaris D.F. Van der Pant, Padmosusastro memiliki
kepandaian yang sangat mumpuni dalam pengetahuan bahasa dan sastra Jawa.Setelah itu,Padmosusastro sangat produktif menulis buku bahasa dan sastra Jawa. Karyanya yang berisi ilmu bahasa Jawa, misalnya Layang Parama Basa (1897) dan Serat Warna Basa (1900). Kedua karya itu dijadikan suniber acuan dalam penyusunan buku-buku tata bahasa (paramasastra)Jawa pada waktu-waktu s^lanjutnya. Selain itu,.Padmosusastro juga memiliki perhatian terhadap adat-istiadat yang ditulis di dalam Serat TatacaraX\9\\).
Karya sastra yang dihasilkan oleh Padmosusastro cukup terkenal, misalnya, Serat Durcaya Arja (1911), saduran dari cerita Raridha Guna Wacana karangan Surya Wijaya. Dim buah karyanya yang populer adalah Serat Kancil Tanpa Sekar(1909)dan Serat Rangsang Tuban (1912). Bersamaan dengan masa kepengarangan Padmosusastro, beberapa surat kabar dan majalah diterbitkan. Selain yang telah disebutkan di muka, beberapa majalah atau surat kabar yang terbit adalah Pustaka Warti, Mawa, Penggugah, Sedya Totno, Jawi Hisworo, Pustaka Jawi, dan Kejawen (Hutomo, 1975:9).
Karya fiksi yang berupa novel dalam sastra Jawa ineng-alami pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda dengan bentuk fiksi yang lain.
Novel dalam sastra Jawa mengalami pertumbuhan yang agak lambat. .Kondisi seperti itu wajar karena kehadiran sebuah novel ditentukan oleh
beberapa faktor. Faktor yang turut menentukan terbitnya novel, yakni hadimya penulis yang memiliki bakat dan kreativitas yang tinggi, kemampuan keuangan penerbit untuk inenerbitkan karya novel,dan minat masyarakat terhadap keuya tersebut. Namun,kenyataannya menunjukkan bahwa masyarakat Jawa pada saat itu belum mampu menciptakan kondisi seperti tersebut di atas. Kondisi itulah yang menyebabkan pertumbuhan novel dalam sastra Jawa tidak lancar sepertijenis sastra yang lain(Rass, 1985:10). Baru setelah Balai Pustaka menggalakkan penerbitan buku bacaan bagi
24
rakyat dan merangsang penulis, pertumbuhan novel Jawa semakin tampak. Pada masa awal kebangkitan sastra Jawa tersebut di atas, banyak karya sastra atau cerita yang diterbitkan dengan huruf Jawa di samping dengan huruf Latin. Karya sastra yang terbit dengan huruf Latin dimulai pada sekitar tahun 1917, periode Balai Pustaka. Karya sastra atau cerita yang ditulis dengan huruf Latin itu, antara lain, Serat Lelampahanipm Sida {\9\1), Lelakone Amir (\9\%), Margining Kautamen (1919) karya R.
Siswawinata, /f/sa/i Layaran Dateng Pulo Papuwah (1919) karangan Yitnasastra atau Harjawiraga, dan Serat Riyante (1920) karya B. Sulardi.
Kehadiran Serat Riyanta karangan B. Sulardi terbitan Balai Pustaka pada tahun 1920 itu dinilai sebagai saat munculnya era atau tradisi baru
dalam sastra Jawa. Naifas karya itu telah bergeser dari kebiasaan karya sebelumnya. Kalau cerita-cerita sebelumnya masih menonjolkan nilai pendidikan dan mementingkan ajaran moral,Serat Riyanto digubah dengan gaya yang wajar atau biasa. Penampilan tokoh dalam peristiwa disusun dalam alur yang baik serta masalah yang ditampilkan didasarkan atas kesatuan tema cerita yang utuh.Tema cerita yang merupakan masalah yang diambil dari realita kehidupan rhasyarakat. Serat Riyanto menampilkan masalah sOsial yang berupa penolakan generasi muda terhadap perjodohan
yang diatur oleh orang tua. Tema dan masalah tersebut merupakah tema dan masalah sosial yang tetap menarik sampai dengan sekitar tahun 1920-an. Situasi sosial budaya sastra Jawa pada akhir abad ke-19 sampai dengan
tahun 1920 dapat ditandai bahwa sastra Jawa selalu mengalami perkiembahgan munuju ke pemodeman. Munculnya Serat Riyanto(1920)rhehipakah bukti bahwa telah terjadi babakan baru dalam sejarah sastra Jawa.Novel itu hadir dengan ciri sebagai bacaan tanpa menonjolkan pesan didaktik dan
ajaran moralsecara berlebihah Serta dengan teknik pengisahan yang memikat. Deskripsi tentang situasi sosial budaya dan sastra Jawa, yang menyangkut situasi masyarakat, pengarang, penganih budaya luar, penerbit, dan pembaca,sejaklahimya sastra Jawa hingga 1920 memberikan gambaran bahwa pada kurun waktu kehidupan sastra JaWa erat sekali hubungannya dengan situasi sosial budaya masyarakat pendukihignya pada masa itu.
BAB III
JENIS SASTRA JAWA PERIODE AKHIR ABAD XIX-TAHUN 1920
Dalam,"Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia" (Robson, 1978:4) dikemukakan bahwa sastra jawa klasik adalah sastra Jawa yang
belum terpengaruh oleh Bark, yakni setelah Perkig Diponegoro di Jawa, 1830. Selanjutnya, Robson mengemukakan bahwa sastra klasik itu rnerupakan sastra yang berasal dari zamki pratnodein, yaitu zaman sebelum adanya pengaruh Eropa secara intfensif.Zeanan pramodem itu adalah zaman akhir abad ke^19(Robson, 1978:9).
Berdasarkan pendapat itu, sastra Jawa akhir abad ke-19 tdrgolong sastra Jawa pramodem ."Pada dekade itu lahir karya-karya yang mempunyai wama lain dari karya-karya sebelumnya. Karya-karya pramodem itu kebanyakan berbehtuk prosa, yakni berapa kisah peijalanan, btobiografi, cerita didaktik,dan dongeng.Tokbh pengarang pada masa itu yang terkenal adalah Ki Padmosusastro. Karyanya yang berjudiil Sera't Rangsang Tuban (SRT) mempakan karya akinya yang berupa fiksi. Meskipun ceritanya masih berkisar pada lingkuh^an kerajaan, karya itu dapat digblongkan sebagai karya novel (Rass, 1985:10) atau novel kebatinan (Quinn, 1982) Karyanya lain yang setariaf dengan Serat Rangsang Tuban, tetapi belum sempat diterbitkan adalah flM/ni dan j4ngm. Sehubungan dengan hal itu, Quinn (1984:6) mengemukakan bahwa
beberapa karya fiksi pada masa Padmasusastra dapat digolongkah sebagai protonovel. Anggapan itu menunjukkan bahwa pengarah Eropa terha:dap pbrkembangan sastra Jawa berlangsung semakin intensif. Rass (1985:8) juga mengemukakan bahwa pada periode tersebut teijadi kebangkitan 25
26
sastra Jawa modem. Namun, kebangkitan itu pada awalnya agak lambat karena masyarakat Jawa belum siap menerimanya dan belum membutuhkannya. Oleh karena itu, pada kumn waktu tersebut dan sesudahnya masih muncul karya-karya yang bersifat klasik. Misalnya, karya dalam bentuk puisi tembang, seperti Surya Ngalam karangan Surjawidjaja(Rass, 1985:8) dan Cariyos Kartimaya karangan Adisusastra (1917); serta karya saduran dari naskah lama,seperti Kartawiyoga karangan Reditanaja(1908) dan Bedhanipun Karaton Nagari Ngayogyakarta karangan Suradipura (Rass, 1985:11). Bam pada tahun 1920 muncul karya yang mempunyai nafas bam, bempa novel, dengan judul Serat Riyanta karangan Sulardi. Rass (1985:13) menyatakan bahwa novel itu mempakan karya pertama yang tidak dimsakkan oleh kecendemngan didaktik atau ajaran moral. Di
samping itu,novel tersebut berisi kisah dengan plot yang benar-benar bagus, yang dibangun di sekitar tcma yang jelas pula. Dalam hubungannya dengan penjenisan karyasastra,terdapat berbagai teori tentang genre. Genre adalah istilah dari Francis yang berarti'tipe' atau 'jenis sastra', atau sering diartikan 'beiutuk sastra'(Abrams, 1981:70). Plato dan Aristoteles mengelompokkan karya sastra menjadi tiga, yaitu(1)poetik atau lirik; (2) epik atau naratif; dan (3) drama (Wellek dan Warren,
1976:227). Sama dengan penggolongan itu, Badmn (1983:21-24) memerincinya terdiri atas:(1) apik yang meliputi(a) prosa (roman/novel, cerita
pendek, hikayat, dan dongeng);(2)link (lagu, himne, ode, satir, epigram, balada, romans, dan idile); serta(3)drama.
Teori modem membagi sastra imajinatif menjadi tiga pula, yaitu (1) fiksi (novel, cerita pendek, dan epik);(2)drama (prosa dan puisi); dan,(3) puisi (terpusat dan terkait dengan puisi liris zaman kuna) (Wellek dan Warren,1976:227). Sumardjo dan Saini(1991:18) niembagi sastra imajinatif menjadi dua, yaitu (1) puisi yang terdiri atas epik, lirik, dan dramatik; serta (2)prosa yang mencakupi (a)ifiksi(novel,cerita pendek,dan novelet), dan (b) drama (prosa dsm puisi). Selain sastra imajinatif, terdapat juga sastra
npninjajinatif yang terdiri atas esai, kritik, ptobipgrafi, sejarah,memoar, cacatan harian, dan surat menyurat(Sumardjo dan Saini, 1991:18). Khusus
prosa Suharianto (1982:39-45) membaginya menjadi empat, yaitu cerita pendek, novel sketsa, dan kisah.
,,
Berkenaan dengan teori modem itu, tampak bahwa pembagian genre sastra dalam peijalanannya mengalami perkembangan. Hal itu karena sas-
27
tra itu merupakan suatu fenomena konvensi yang didukung oleh perangkat konvensi. Salah satu perangkat konvensi sastra adalah genre sastra. Perubahan konvensi dapat terjadi akifoat tegangan dengan inovasi sehingga membawa dampak terhadap genre satra sebagai salah satu pendukung konvensi. Akibat dampak itu, posisi genre sastra dapat mengalami perubahan dan perkembangan. Genre sastra Jawa, dari masa ke masa, mengalami perubahan dan perkembangan pula. Berkenan dengan kekhasan sastra Jawa, perubahan dan perubahan itu tidak sama dengan perubahan dan perkembangan sastra Indonesia. Dalam kurun waktu akhir abab ke-19-tahun 1920, sastra Jawa
mengalami kebangkitan sehingga terjadi perubahan dan perkembangan dari waktu sebelumnya. Namun, kebangkitan itu pada mulanya berjalan agak lambat karena masyarakat belum siap menerimanya dan belum membutuhkannya.Pada masa itu,di samping bermunculan karya prosa, masih lahir pula karya puisi tembang-ymg hidup subur pada kurun waktu sebelumnya-karena masyarakat menghendakinya dan ketika itu terjadi masa transisi dari pemikiran tradisional menuju modem. Bahkani jauh sesudah itu, masih muncul karya puisi naratif (dalam bentuk tembang), misalnya, Sapu Hang Suhe karangan Hardjowirogo (1960) dan Nayake Le/a/ifl ka-rangan Tirtapradja (1949). Dengan demikian, pada kurun waktu abad ke-19-tahun 1920 terdapat dongeng, babad, novel, dan genre sastra yang lain berbentuk prosa dan puisi, yang bempakan ciri khas sastra Jawa saat itu. Oleh karena itu, bertolak dari teori-teori di atas,jenis sastra Jawa pada kuran waktu itu dapat digolongkan menjadi enam jenis, yakni(1)kisah perjalanan;(2)babad;(3)roman sejarah;(4)novel;(5)eerita anak-anak atau dongeng; dan (6) cerita pewayangan. Jenis itu sebagian besar berbentuk prosa dan sebagian kecil berbentuk puisi (tembang). 3.1 Kisah Perjalanan
Sejak akhir abad ke-19 (tahun 1875)-tahun 1920 terdapat sejumlah keirya kisah perjalanan, di antaranya (1) Poerwa Tjarita Bali(PTB) karya Sastrawidjaja (1875);(2) Tjariyos Nagari Walandi(TNW)karya Arkebah (1876, dalam Rass, 1985); (3) Tjarios ing Nagari Padang (TNP) karya Darmabrata (1876); (4) Kekesahan saking Tanah Djawi dateng Nagari Walandi(KSDDW) karya Soeijasoepjula (1916); dan (5) Kesah Lajarcm Dateng Poelo Papoewah (KLDPP) karya Jitnasastra (1919). Daii kelima karya itu, empat karya, yaitu PTB, IT^JP, KSDDW,.dan KLDPP, dapat
28
didata, sedangkan TNW tidak dapat ditemukan. Empat karya itu dikemas dalaiti bahasa Jawa ragam J:rama, dalam bentuk pfosa. Tiga karya di antaranya, yaitu TNP (1885), TNP (1876), dan KSDDW (1916)i bertulisan horufJawa,serta sebuah novel,yakni KLDPP(1919)bejtuliskan hurufLatin. PTE dan TNP Landa drukkerij di Batavia, dan KSDDW diterbitkah oleh Filiaal Arbrecht & Co di Weltevreden, dan KLDP, diterbitkan oleh Bale
Poestaka di Weltevreden. Dengan demikian, h^ya KLDPP yang dicetak dengan huruf latin.
Kisah perjalanan itu dituturkan secarajumalistik sehingga hal-hal yang digelarkan, misalnya nama tokoh, latar tempat, dan latar budaya bersifat objektif.
Di dalam kisah perjalanan itu, tokoh utama berfungsi sebagd narator mahatahu dan mempunyai peran utama,sedangkan tokoh bawahan hampir tidak berfungsi dan tidak berperan utama, sedangkan tokoh bawahan hampir tidak berfungsi dan tidak berperan (Riyadi dkk., 1988:7). Tokoh;tokoh utama karya-karya itu adalah A:M/a 'aku', 'saya', Dari empat karya tersebut di atas,tokoh kula yang diikuti nama dari terdapat dalam dua karya,
yaitu Raden Sasrawidjaja dalam PTE dan Raden Arja Darmabrata. dalam TNP.
Nama diri tokoh utama yang mengikuti dalam PTE hanya disebutkan sekali saja, pada permulaan eerita,dengan diikuti keterangan tempat asal dan pendidikannya. Kula Raden Sastrawidjaja. tiyang asal saking nagari Ngayogyakaria, dados santri wonten ing(Utusun Sepanjang, bawahkitha Malartg...(PTB, hal. I)
'Saya Raden Sastrawidjaja, orang yang berasal dari Negari Ngayogyakarta, menjadi santri di dusun Sepanjang, wilayah Malang...
Eerbeda dengan di atas, nama diri tokoh utania dalam TNP disebutkan berulang-ulang, seperti yang tercantum dalam halaman 1,4, dan 5. Contoh berikut ini dikutipkan dari halaman 1. Raden Arja Darmabrata sareng sampun dumugi wonten ing nagari Betawi tumunten pinanggih pawong mitranipun tiyang Jawi(TNP; hal, I). 'Raden Arja Darmabrata setelah tiba di negeri Betawi kemudian bertemu dengan sahabatnya, orang Jawa*.
Tokoh utama dalam empat karya tersebut di atas, hanya tokoh Raden
Sastrawidjaja dalam poetrwa f/artta Eali yang meneantnmkan identitas pendidikan pesantren. la cakap berbahasa Melayu, sedaya paturan kula tembung Melayu (hal.9) 'semua omongan saya dengan bahasa Melayu'.
29
Identitas lain, berupa gelar r^£/t, merupakan indikator bahwa tokoh tergolong yang terhomiat, daiam kelas sosial tingkat atas. Untuk mengetahui berbagai hal di tempatttempat yang.disingg^i, tokoh tersebutdi atas selalu bertanya,minta keterangan atau petunjuk,tninta izin pejabat atau warga setempat sehingga hampir seluruh keinginannya mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Dengan cara demikian, tokoh dapat menceritakan kembali segala yang dipantau melalui pertanyaan, pengamatan, dan ingatannya.selama mengadakan perjalanan, Berdasarkan tuturannya dapat diketahiii bahwa tokoh tergolong beipendidikan k^ena-ia ingin menjadi pegawai penaerintah yang harus memiliki syarat pendidikan tertentu. Padahal, salah satu syarat menjadi pegawm pemerintah hams ber-
pendidikan. la agak lama tinggal di Betawi untuk mencari dan menanti pekerjaan, tetapi tidak berhasil sehingga ia pergi ke Padang untuk mencari pengalaman dan menambah pengetahuan. Tokoh itu pun selalu bertanya, minta keterangan atau petunjuk untuk mencapai keinginan dan menghindari
kesalahan, spita tabah menghadapi segala permasalahan. TokohJcula dalain Kekesaimn sanglang Tanah Pjawi Dateng NegMvi
Walandi tidakjelas indentitasnya> Dari kis^an yangjdituturk^nya tampak bahwa tokoh itu tergolong terpelaj^. Misalnya,,ketika tinggal di Jakarta,
tokoh itii ingat tentang sejarah kpta tersebut, lain menuangkan ke dalam kisah peijalanannya. Enget dhateng tembmg Jakarta, kula lajeng boten saged mekak wedalifig gagman ingkangngengetidhatengjamaningkangsampimkapengker..., milainggih lajeng kula
pacak pisan kemawon sasumerep kula inggih lajeng kula pacak pisan kemawon sasuinerepkuladlidtengbabadipiirtkithdBetawij{KSt>Dy/,hz].'39)
'Ihgat teftt^g kota Jakarta, saya iselalii tidt^ dapat mebahan fimbulnya angaii-angan yang mengingatk^ pada zaman yang telah lain sekaligus seingat saya tentang sejarah kota Betawi.
rnaka kemudian saya sertakan
Keterpelajaran tokoh tampak pula dalain keterampilan menggunakan ba-
hasa.Bahasa yang digun^aniiya cukup baik difamu
30
K^akapan tokoh tersebut di atas ditopang pula oleh sikap honhatnya
terhadap tokoh Iain (hal. 21), kedisiplinan menaati peraturan (hal. 25X kepraktisan dan kehati-hatian tnenyajikan kisahnya (hali 224-225), serta kecakapannyameneijemahkan bahasa Belanda dan Perancis. Dengan kenyataan ita, dan kesempatannya mengaclakan peijaianan atau kunjungan ke Negeri Belanda yang memerlukan biaya tinggi dan kemudahan birokrasi, tamp^de bahwa tokoh tersebut tergoiong berkeias sosial tingkat atas. indentitasnya. Namun, dari bagiian permulaan kisahnya bahwa tokoh itu adaluh saudara seorang dokter yang bertugas di Fakfak. ' Cariyospmikakuldldmpaia rialika ing iahUn 1903, kata kula tuwisa^rek kiila nama Radeh Suhermim ingkang dados dholder Jawi ing kitha Fal^ak... (kLDP,hsil ■ 7). 'Cerita itu saya alami pada tahun 1903i ketika saya menengdk saudara bernama Raden Suherman yang menjadi dokter Jawa di kota Fakfak
Pada masa itu, Seotang ydng tham^U triemperoleh predikat doktOr tentu memerlukan latar belakang yang tinggi dari segi materi dan tingkat sosial. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa tokoh ktiifa daiam KLDPP berasal
ckd kelas sosial tingkat menehgah
tingkat atas.
Dari sisi lain dalam kisahannya,tampuk bahwa tokoh tertarik paida hail-
hal yjuig bersifat kebudayaaii, seperti iiatah ke makam (hal. 4 dan 24), kesusastraan (hal.9 dan 16), perumahan (hal. 15 22,dan 40), serta Upaoara
perkawinan dan keihatian (hal. 49-56), yang menunjukkkan bahwa ia berpendidikan. Sementara Itu, berkenan dengap £dur, dikemukakan oleh Riyadi dkk.
(1988;28i) bahwa alur dalam kisah perjalanan merupakan rangkaian peristiwa yemg bergerak mengikuti pergeseran waktu dan tempat,,serta tidak dibangun oleh konflik atau pertemuan watak antartokoh seperti yang biasa terdapat dalamjenis fiksi yang lain; PacJa umumnya,alur kisah ppgalanan dapat dibagi atas(1)saat berangkat,(2):dala];n peijaianan,(3)saat berada di
tempattujuan,dan(4)saatkembali daai tempattujuan.Di antaraempatkisah peijaianan yang telah disebutkan dimuka,PTD,TNP,dan KLDPP mempunyai alur seperti di alas,sedangkan KSDDW hanya mempunyai alur(1)dan (2) karena peijaianan tokoh tidak dituturkan sampai ke negeri Belanda (tempat tujuan), hanya sampai di Marsayle, dan kembalinya tidak dituturkanpula.
31
Dalam PTB,kisah perjalanan dimulai dari Banyuwangi,dilanjutkan ke Jamburana, Bangil, Buleleng, kemudian kembali ke Banyuwangi. TNP menceritakan perjalanan dari Batavia,Bangkahulu,Padang,dan kembali ke Batavia. Perjalanan tokoh dalam KLDPP ditnulai dari Surakarta, lalu ke
Surabaya, Banyuwangi, Buleleng, Ampenan, Makasar, Ambon, Saparua, Banda, Gisser, Sekar, dan Fakfak, kemudian kembali ke Surabaya. Dalam KSDDW, kisah perjalanan tokoh dimulai dari Semarang, dilanjutkan ke Pekalongan, Batavia, Padang, Perim^ Zues; Port Said^ dan berakhir di
Marsayle. Kisah itu tidak sampai ke negeri Belanda, tempat tujuan, dan tidak diceritakan kembalinya.
Dalam kisah perjalanan pada umumnya terdapat pendeskripsian latar secara merenik, terutama latar tempat dan latar budaya. Latar tempat yang mencakupi tempat keberangkatan, tempat-tempat yang disinggahi, dan tempat tujuan biasanya dideskripsikan dengan teliti, misalnya yang nienyangkut status (kota) dan situasinya. Contohnya, kutipan berikut ini. ' Ing ngiriku kitha Jamburan kula tingali boten memper kitha, maksih kados padhusunan; ugipufiika santpun kasta ing Kan^eng Gubermen, ananging dereng sae, karitoripon maksih alitjcuiget, ... (PTB,.hal 2)
Di situ kota Jamburan saya lihat tidak layak sebagaikota,masih seperti desa s^a;kota itu juga telah dikuasai Kanjeng Qubemur, tetapi belum baik, kantomya masih sangat kecil,
Latar waktu dalam kisah perjalanan ada yang dideskripsikan secara lengkap (hari, tanggal bulan,tahun, pukul,dan kadang-kadang musim)dan ada yang tidak lengkap(kadang-kadang hanya pukul, pagi,siang,sore, atau malam). Contoh pemerian waktu secara lengkap, bahkan dengan sengkalan sebagai ciri budaya Jawa. Berikut kytipan ini dari Kesal Rajaran dateng Poelo Papoewah.
Nuju ing mangsa katiga, benteripun sumelet; ing dinten wau nuju tanggal kaping 10 wulan April ing tarn 1903 sinangkalan "guna sirna anrusing tunggal", ing wanci jamcelO siyang kula didhal saking griya dhateng setasiyun ing Balapan (Sala) ... (KLDP, hal. 1)
Bertepatan dengan musim kemarau, panasnya luar biasa; pada hari itu bertepatan de ngan tanggal 10 bulan April tahun 1903 dengan sengkalan "inanfaat lenyap merasuk jadi satu , pada pukul 10siang saya berangkat dari rumah ke stasitm Balapan(Solo) .
Contoh latar waktu yang tidak lengkap, hanyamenyebiitkan pukul,sebagai berikut.
32
Wangijamsanga baita kapal api mangkat layar. Lampahipun mangilen medalsekidulipunPuloEdrus-(TNP,h3i.5)
'Waktu pukul sembilan kapal api berangkat berlayar. Arab perjaianannya ke barat melalui sebelah selatan Ibilau Edrus'.
3.2 Babad
Dalam kurun waktu akhir abad ke-19-tahun 1920 dapat ditemukan tiga karya(yang bersumberkan) babad dengan tidak menggunakan judul yang berlabel babad. Dua karya di antaranya memakai label yang meru-
pakan ciri khas karya tradisionai, seperti Serat Biwada Raja (SBR) dan Serat Koelapratama (SKp). Ciri Iain menunjukkan kekhasan budaya Jawa yang biasa tercantum dalam karya sastra Jawa tradisionai adalah sengkalan, nama tahun Jawa, dan nama windu, seperti yang terdapat dalam kedua karya tersebut di atas. Karya lain yang tidak memiliki ciri khas itu adalah Tjarijosipoen Tijang Sepoeh iTTS). SB,SK,dan TTS diterbitkan oleh penerbit swasta. Serat Bidawa Raja
diterbitkan oleh Fogel & Fandereidhe pada tahun 1886 tanpa mencantumkan nama pengarangnya. Serat Kalapratama adalah karya Martahardjana (1912), diterbitkan oleh Papiroes di Betawi. Tjariojosipoen Tijang Sepoeh, karya Poedjaairdja(1910),diterbitkan oleh Landsrukkerijdi Batavia. Ketiga karya itu dituturkan dalam bahasa Jawa ragam krama dan dicetak dengan huruf Jawa. Serat Bidawa Ray'a digubah dalam bentuk puisi tembang, dan TJarijosipoen Tijang Sepoeh dan Serat Koelaptama digubah dalam bentuk prosa.
Serat Bidawa Raja, yang digubah dalam bentuk puisi tembang ditulis sebagai memori ulang tahun ke-25 penobatan Paku Buwana IX.Pesta ulang tahun itu diadakan pada tanggal 27 Jumadilakir,tahun Dal,dengan sengkalan gate tyas ngesthitulus yang menunjukkan angka tahun Jawa 1815.Karya itu berisikan cerita penyelenggaraan perayaan untuk memperingati ulang tahun
penobatan Paku BuwanaIX.Dalaiti karya itu dituturkan pula kehadiran para pejabat Belanda dari Semarang dan para kerabat raja, ucapan selamat dari Gubemur Jenderal dari Jakarta, dan pentas kesenian. Perayaan itu berlangsung secara meriah. Tjarijosipoen Tijang Sepoeh, yang berbentuk prosa, diterbitkan 24 tahun setelah SeratBidewa Raja. Tjarijosipoen Tijang Sepoeh mengisahkan Mangkunegara IV ingin sekali memperlajari ilmu laduni, ilmu gaib, untuk
33
mengetahui orang yang ditakdirkan menjadi kaya atau miskin. Setelah ia mencari informan dan diperolehnya kabar bahwa ada seorang.guru yang menguasai ilmu tersebut, Mangkunegara IV segera mengadakan penjagaan. Setelah yakin atas kemampuan guru itu, pada hari Anggara Kasih 'Selasa Kliwon', tanggal 15 Besar, pukul 02.00, ia mulai diwejang ilmu gaib oleh Kyai Guru itu. Sesudah itu, dengan mengendarai kereta, dengan didampingi Kyai Guru, ia mengadakan pemantauan untuk mengetahui si kaya dan si miskin. Dalam peijalanan, ia menjumpai seorang penjual ilalang dan seorang abdi yang bemama Sura yang kondisinya amat miskin. Untuk mengentaskan kemiskinan itu, ia ipencoba memberikan tambahan
pekeijaan yang dapat menambah penghasilan kepada Sura. Akan tetapi. Sura selalu melemparkan pekeijaan!itu kepada orang lain. Hal itu menimbulkan kejengkelan Mangkunegara FV sehingga Raden Tumenggung dititahkan untuk menghukum Sura. Serat Koelapratama, yang terbit diia tahun seSudah Tjarijosipoen
Tijang Sepoeh, berisikan cerita tentang pemberontakan Raden Sutawijaya atau Rangga Parianibangan terhadap PakuSuwana II di Kartasura.Pembe
rontakan itu teijadi karena raja dianggap rrtengingkarijanji. Dengan mengajak Raden Mas Sahid dan prajurit Cina, Rangga Panambangan meng adakan pemberontakan.Peristiwa itu meletus setelah Mas Sahid lolos dari
kerajaan pada hari R&hvi Kliwon, tanggal 3 Rdbingulawal tahun Jimdkif, windu Sengara, dengan sengkalan ngtasa retu tigoyakjagctd yang menuhjukkan angka tahun Jawa 1666(hal. 9). Dalam pemberontakan itu, istana sempat diduduki Cina. Berkat bahtuan Kumpeni, pemberontakan dapat dipadamkan, tetapi Rangga Penambangan dapat meloloskan diri. 3.3 Roman Sejarah
Roman sejarah yang dapat didata ada dua bagian,yaitu Karaton Powan (KP)karya Jasawidagda(1917)dan SeratDjajaprana(SDp)karya Nitisastra (]9\9). Karaton Powan diterbitkan oleh Tuwan Piserdanko dan SDp diterbitkanoleh Commissievoor de Volkslectuur. Kedaakaryaita digubah dalam bentuk prosa dan dikemas dengan bahasa Jawa ragam kra/na, berhuruf Jawa. Keduanya merupakan roman sejairah karena di dalamnya terdapat unsur yang b^kaitan dengan fakta sejarah, misalnya nama tokoh dan latar tempat. Namun,karena keduanya merupakan cerita rekaan,unsur fiktif lebih dominan daripada unsur historisnya.
34
Karaton Powan digubah,di antaranya, dengan mengambil latar Majapahit. Nartiun, secara eksplisit disebutkan bahwa tokoh yang bernama Raden Bangsal, putra Prabu Brawijaya, tidak terucapkan di dalam babad atau sejarah. Kacariyos,salah satunggaling putranipun Sang Prabu Brawijaya ing Majapahitapeparab Raden Bangsal. Punika botm kocap wonten ing serat Babad Tdnah Jawi (KP,hal.7).
'Diceritakan, salah seorang putra Sang Prabu Brawijaya di Majapahit bernama Raden Bangsal. Diaitu tidak terucapkan didalam buku Babad TanahJawa'.
Fakta nonsejarah itu lebih tampak lagi dengan munculnya tokoh-tokoh rekaan,seperti RabuPowan,Patih Jaladara,Patih Keborejeng,Bok Randha Dhadhapan, Yahuda,dan Yahudi.Dalam Karaton Pawon dikisahkan bahwa Raden Bangsal lari ke hutan karena tidak man dikawinkan oleh ayahnya.Di tengah hutan ia hidup sengsara. Badannya kums penuh dengan penyakit budhug'hiM' sehingga ia dipanggil dengan sehutan Jaka Budhug. Ketika keleilahan di pinggirjalan,ia ditolpng kemudian dipelihara oleh Bok Randha Dhadhapan. Ia berhasil menyingkir^kan batu besar, penghalang aJiran air, yang disayeinbarakan oleh Raja Powan. Sebagai hadiahnya, pemenang sayembara mendapatkan putri Raja Powan. Hadiah itu belum sempat dinikmati,Jaka Budhug dibunuh oleh PatihKeborejeng.-Namun, mayatnya
tidak dapatdikuburkan apabilatid^disertai putri raja.Oleh karena itu,putri Raja Powaii pun dibunuh, lalu mayatnya dikubur bersama mayat Jaka Budhug. Kabar kematian Jaka Budhug itu terdengar Brawijaya. Ia segera mengutus pasiikannya untuk menggempur Kerajaan Powan. Setelah Keraton Powan hancur, kuburan Jaka Budhug dibongkar. Dari dalam kubur
ditemukan mayat Jaka Budhug yang tidak lain adalah Raden Bangsal, yang telah lama dicari ayahnya.
Berbeda dengan KP dan SDp mengambil latar Buleleng di Bali. SDp
merupakan saduran dari karya sastra Bali yang berbentuk puisi.Dalam SDp dikisahkan bahwa di Kadipaten Buleleng teijadi bencana yang dahsyat.
Banyak korban berjatuhan. Di antara yang masih selamat ialah Jayaprana yang kehilangan orang tua dan kedua saudaranya. Ia diasuh dan diambil •anak angkat Adipati Buleleng. Setelah dewasa, Jayaprana tanpan dan pandai bettnabasan sehingga ia digandrungi para gadis. Atas nasihat Sang Adipati, ia kawin dengan Layonsari. Namun, setelah mengetahui.kecantikan putri itu.Sang Adipatijatuh einta,Sebagai upayamemisahkan Jayapc^a dengan istrinya, dititahkanlah Sawunggaling mengajak Jayaprana untuk
35
tnenumpas perampok di Teluk Srima. Setiba di tempat tujuan, Sawunggaling berterus-terang bahwa ia dititahkan untuk membunuh Jayaprana, tetapi tidak tega. Setelah Jayaprana merelakan nyawanya sebagai imbalan budi baik Sang Adipati, Sawunggaling tega membunuhnya. Kematian
Jayaprana itu kemudian terdengar oleh Layonsari yang menolak diperistri Sang Adipati. Sebagai ungkapan rasa cintanya kepada suami, Layonsari bunuh diri. 3.4 Novel
Sejak tahun 1915 hingga 1920 dapat didata lima belas karya yang dapat
digolongkan sebagai novel (atau pranovelj. Penggolongan itu tidak dilakukan secara ketat seperti kriteria dalam novel modem karena pada kurun waktu tersebut perkembangan novel Jawa amat lambat. Telah disebutkan di muka bahwa Serat Rangsang Tuban karangan
Padmasusastra yang terbit pada tiahun 1912 sudah dapat digolongkan sebagai novel (Rass, 1985:10) meskipun karya sastra ini masih berbau tradisional karena di dalamnya terdapat teks bentuk puisi tembang yang berisikan ajaran moral, di samping teks prosa. Baru delapan tahun kemu dian, terbit karya yang betul-betul dapat disebut sebagai novel, yaitu Serat Riyanto karangan Sulardi (1920). Sebelum Serat Rangsang Tuban (SRT) terbit, telah ada empat karya yang dapat digolongkan sebagai novel atau praUovel,Empat karya sastra itu adalah Serat Lelampahanipun Robinson Krusu(SLRK)sadUran Reksatenaja (1876), Basiran-Basirun (BB)karangan Soeijawidjaja (1880), Serar Lelampahanipun Sang Retna Sujati (SLSRS) saduran yang diterbitkUn
Winter (1891), dan Serat Kramaleja (SK) yang terbit pada tahun 1909. Keempat karya itu diterbitkan oleh penerbit swasta, dicetak dengan huruf Jawa, dan bermediakan bahasa Jawa ragam krama. SLRK prosa dengan bahasa yang lebih lugas daripada tigai karya yang lain dalam bentuk puisi tembang. Selain BB, ketiga karya yang lain (SLRK, SLSRS, dan SK) menggunakan label serat yang merapakan ciri judul karya tradisional. Serat Lelampahanipin Robinson Krusu adalah saduran dari karya sastraBarat.Nama-namatokoh dan latardalam karya itu masih menggunakan nama-nama Barat atau masih berbau asing. Misalnya, Krusu, Robinson, Prasman,Inggris, Eropah,Amerika, danAmburah. Robinson adalah tokoh utamanya,la mempakan anak laki bungsu Krusu yang masih hidupv Kedua
36
saadarahya yang laki-laki sudah meninggat. Setelah dewasa, Robinson diajak berlayar seseorang tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dalarh perjalanan, kapai yang ditumpanginya tenggelam^ Robinson menipakan satusatunya penumpang yang dapat diselamatkan. Namun, kapal penolong milik juragan Prasman itu pun mendapatkan musibah sehingga Robinson berpindah ke kapal lain dan terdampar di sebuah pulau terpencil. la lama tinggal di pulau itu hingga mendapatkan seorang teman yang diselamatkannya dari usaha pembunuhan. Orang itu diberinya nama Jumuwah karena selamat dari maut pada hari Jumat. Dengan temannya itu, ia dapat menyelaniatkan juragan kapal yang nyaris dibuang qleh para penjahat. Keduanya kemndian,rnenumpang kapal milik juragan itu menuju ke Inggris. E)ari Inggris mereka berpindah kapal yang menuju ke Amburah. Setiba di kampung halamannya, Robinson amat sedih karena ibunya telah meninggal. Ketika ayahnya ingin menyekolahkannya untuk belajar berdagang, Robin son memiliki menjadi tukang kayu sesuai dengan profesinya sewsdctu di pengasingan.
Karya saduran yang lain ialah Serat Lelampahanipun Sang Retna Sejati. Karya aslinya berasal dari Parsi karena nama-nama tokoh dan latar ceritanya sebagian masih tampak asing. Misalnya, nama tokoh, seperti Rukiyah, Sapingi, Abdulmajid dan nama tempat seperti Ngrokam, Barjan, Yunani, dan Bulgari. Tokoh utamanya ialah Retna Suyati, berasal dari Bulgari. Ia sebagai istri kedua Abdulmajid, raja dari Yunani. Sebelum
diperistri Abdulmajid, ia telah menjalin cinta dengan Pangeran Sapingi sehingga setiap ada kesempatan selalu berkencan dengan kekasihnya. Perbuatan serong itu akhimya diketahui oleh suaminya. Untuk mencegahnya, Sapingi dibunuh. Namun, Retna Suyati karena cinta kepada kekasihnya itu, ia minta diceraikan. BasiranSasirm adalah karyn yang menggelarkan dua alam pemildran
yang bertentangan, yaitu dalam pemikiran modem dan tradisional. Alam pemikiran kemajuan dan keberhasilan diwakili oleh Padmadrana,sedangkan alam pemikiran tradisional yang percaya terhadap takhayul diwakili oleh Sabardrana. Anak Padmadrana yang temama Basimn berhasil menjadi
Wedana karena rajin dan tekun belajar serta taat terhadap nasihat orang tua
dan guranya. Sebaliknya, Basiran, yang diramalkan Sabardrana, ayahnya, berdasarkan hari kelahirannya akan menjadi anak yang berhasil sehingga ia tidak disekolahkan, temyata, ia menjadi gelandangan di tengah hutan setelah menghabiskan harta orang tuanya untuk beijudi dan berpoya-poya.
37
Serat Kramuloyo adalah karya yang tidak mencantumkan hama pengarangnya. Karya itu beitokohkan Kramaleya.Tokoh itU berperan sebagai kiai yang disegani masyarakat dan sering dimintai: toiong untiik mengdbati. la pemah menolak menggugurkan kan<^ngan Nyi Sanggalangit yang takut sakit jika tnelahirkan anak. Namunj ketika Nyi Mumi, istri Kasanreja, meminta menggugurkan kandungan dari hasil hubungan gelapnya dengan Jaka Semut, anak angkatnya, Kramaleya mengabulkannya. Tidak lama setelah kejadian itu, rumah Kramaleya habis dimakan api bersamaan waktunya dengan acara bersih desa. Berdasarkan iiham yang diterimanya,
musibah yang dideritanya itu akibat perbuatannya yang telah menggugur kan kandungan Nyi Mumi.la niendapatkan ilham pula bahwa sebuah candi akan ditemukannya di hutan Cepak. Oleh karena itu, ia bersama muridmuridnya segera pergi ke hutan Cepak untuk membabatnya. Candi yang
dicari itu segera tampak, tetapi mereka tidak berani mendekatinya karena
dijaga dua ekor harimau yang mendekam di bawah pohon beringin. Salah seorang murid yang bemama Respati memberanik^ diri untuk mengusir binatang itu sehingga teijadilab perkelahian sengit.Harimaujantan akhimya
dapat dibunuh dan yang betina tampak pasrah. Sesudah itu, Krameileya dengan diikuti Tambangprana dan murid yang lain masuk ke candi, Di dalam candi itu terdapat sebuah sumiir,, Dari dalam sumur ditemukan sebungkah emas, lalu dijualnya. Hasil penjualan emas itu dipakai untuk
membangun perkampungan sehingga bekas hutan tersebut berubah menjadi desa. Di desa itu dibangun pula pesantren dan masjid. Mulai saat itu
kehidupan desa Cepak tampak bergema. Kramaleya lalu mengadakan dialog dengan para dalang tentang jenis-jenis wayang dan sebagainya. Selain empat novel tersebut di atas, novel yang dapat didata adalah Serat Rangsang Tuban (SRT) karya Padmasoesastra {\9\2), Cariyos Ti(CT) karya Poedjaardja (1912), Lelakone Amir (Lh) karya Sindpepranata(1913),Lelantpahanipun 5/da(LS)karya Sastradianrdja(1917), Isin Ngaku Bapa(INB)karya Prawirasodirja(1918),Margining Kautaimn (MK)karya Siswawinata (1919), Tuhuning Katresnan (TK) karya Kartadirdja atau Mangkoedimedja (1919), Serat Gita-Gati (SGG) karya Mangoendimedja (1919), Serat Bares Koeres (SBK) karya Sastraprajitna (1920),7?g Ian Tor(TT)karya Sasrasoetika(1920),dan Serat Riyanta(SR) karya Soelardi(1920). Karya^karya itu digubah dalam bentuk prosa dengan catatan be^wa di dalam SRT terdapat teks puisi tembang yang berisikan ajaran. LA, TT, dan SR diterbitkan oleh penerbit pemerintah, sedangkan
38
karya yang lain diterbitkan oleh penerbit swastia. Diantara kaiya-karya itu, SRT,CT,LA,LS,INB,danTKdicetakdengan hurufJawa,sertaMK,SGG, SBK, TT, dan SR dicetak dengan Latin. LA,INB,dan TT menggun^an bahasa Jawa ragam ngoko, sedangkan (delapan) karya yang Iain menggunakan bahasa Jawa ragam krama bagi naratomya dan bahasa Jawa ragam ngoko dan krama dalam dialog-diaiognya. Di antara karya-karya itu terdapatempatkarya yang menggunakan label serat, yaitu SRT,SGG,SBK, dan SR.
Telah disebutkan di muka bahwa SRT merupakan novel yang ceritanya berkiseu* pada lingkungan kerajaan. Cerita itu diwamai rasa dendam dan kebencian pelaku-pelakunya yang bersumber pada keserakahan. Untuk memperoleh teman hidup, Warsakusuma yang baru saja dinobatkan men-
jadi Adipati Tuban tega merebutWiresti,istri Warihkusuma,kakaknya,dan menitahkan patihnya untuk menghukum mati kakaknya itu. Di tengah hutan, patih tidak tega melaksanakan tugas dan akhimya ia menyarankan
Warihkusuma agar pergi jauh. Wiresti yang dirampas hak dan keperawanannya merasa dendam terhadap Warsakusuma. Lelaki itu ditikamnya sete-
lah melakiikan pemerkosaan.Hertambang,Adipati fian^biru,pun dendam terhadap Warihkusuma, menantunya,karena ia diahggap sebagai penyebab
kematian Wayi, putri tunggalnya, sesudah melahirkan bayi. Akibatnya adalah bahwa Warihkusuma diusir dari Banyubiru dan bayinya dihanyutkan ke sungai. Warihkusuma kembali ke Tuban, lalu naik tahta untuk metlgisi kekosongan jabatan adipati. Rasa dendainnya terhadap mendiang Warsakusuma yang berupa kebencian ditimpakan kepada Udakawimba, anak Wresti dengan Warihkusuma. Karena tidak tahan penderitaan,
Udidcawimba pergi tanpa pamit. Dalam pengasingannya, Udakawimba
membangun kadipaten di bukit Kenaka, wilay^ Sumbereja. Setelah kuat, Kadipaten Tuban diserbunya hingga Warihkusuma melarikan diri. Pengejaran terhadap Warihkusuma dildcukan, tetapi Udakawimba dapat ditakluldcan Ratu Wayi, yang telah hidup kembali dan secara kebetulan dapat bertemu dengan Warihkusuma, suaminya. Sejak itu tamatlah rasa dendam meridendam setelah diketahui bahwa Rara Sendang, istri Udakawimba, adalah anak Warihkusuma dengan Ratu Wayi. Akhimya, Udakawimba dinobatkan menjadi Adipati Tuban,dan Wmihkusuma mendampingi istrinya yang menjadi Adipati fianymbiru. Karya lain yang ceritanya Iserkisar pada lingkup kerajaan adalah
Margining Kautaman kisahnya adalah bahwa Kartapraja, yang diserahi
39
sebagai pelaksana adipati di Bojapraja selama Adipati Jayanagara mengemban tugas untuk menumpas pemberontakan; ia merasa sakit hati karena ditolak keinginannya untuk mengawini Dyah Sulistya, istri Jayanagara. Akibatnya adalah bahwa Dyah Sulistya difitnah berbuat setong dengan
abdinya sehingga dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi, algojo yang diserahi tugas batal melaksanakan pembantaian karena merasa iba. Dyah Sulistya ditinggalkan di tengah hutan bersama bayinya, Sungkawa; dan dipesan tidak boleh pulang sebelum dijemput. Kehidupan di tengah hutan dengan penuh penderitaan dijalaninya selama bertahun-tahun. Pencarian yang diltikukan prajurit Bojanagara pun gagal menemukannya. Setelah tujuh tahun, secara tidak sengaja Jayanagara dapat menemukan istrinya ketika ia
sedang berburu ke tengah hutan. Kabar ditemukannya Dyah Sulistya itu menyebabkan Kartapraja gelisah dan akhimya bunuh diri di dalam penjara karena malu.
Serat Riyanta merupakan karya yang menggelarkan tokoh dan latar yang menyinggung-nyinggung Kerajaan Surakarta. Misalnya,dalam karya itu dimunculkan tokoh-tokoh keturunan atau kerabat raja, seperti /?aden
Mas Riyanto, Raden Ayu Natasewaya, Reden Ajeng Srini, dan Raden Adipati Pramayoga, serta latar dalam lingkup kerajaan, seperti Tamansari dan alun-alun. Namun, cerita itu lebih mengesankan adanya pertentangan
antara budaya tradisional dan budaya modem,dalam halpemilihanjodoh. Di dalam Serat Riyanta tampak bahwa budaya lama atau tradisional masih kukuh sehingga mengakibatkan belum lancamya sistem keterbukaan. Misalnya, Raden Ayu Natasewaya tidak berteras-terang siapa gadis yang eikan dijodohkan dengan Riyanto. Riyanto tidak berani mengungkapkan rasa cintanya kepada Srini-baik di hadapan Srini maupun orang tuanya-dan demikian pula Srini tetap bungkam.Riyanto hanya mampu mengungkapkanr nya melalui lukisan. Lewat lukisan itulah rasa cinta Riyanto terhadap Srini diketahui oleh Marsam dan Raden Ayu Natasewaya, ibunya. Akhimya,
perkawinan antara Riyanto dan Srini dilangsungkan setelah melalui sistem ketertutupan yang masih kuat dan sistem keterbukaan yang alot. Klimaks cerita itu bukan mempakan kemenang^n salah satu pihak, melainkan merapakan pengakomodasian antara budaya lama dan budaya bam.Dengan demikian, tampak bahwa modemisasi budaya ketika itu baru dalam tahap permulaan dan masyarakat masih menghendaki perubahan itu secara
perlahan-lahan,secara alami. Kedua belah pihak(angkatan tua yang diwak^ ili Raden Ayu Natasewaya dan Adipati Pramayoga sebagai pemegang
40
tradisi lama serta Riyanto dan Srini.yang mewakili angkatan muda sebagai pembaru) masing-masing mempunyai kelonggaran sehingga tidak menim-
bulkan perbenturan yang mengakibatkan kegoncangan (sistem budaya). Cariyos Tilarsa adalah karya yang menggelarkan situasi pendidikan pesantreh. Dalam lingkup pesantren, kiai merupakan figur yang dihormati serta menjadi tumpuan segala pertanyaan dan nasihat, seperti yang terdapat di dalam SK dan SRT. Tokoh yang ditampilkan dalam TT adalah Tilaran
yang berasal dari Yasarata. la sudah yatim piatu, anak Wignyasugita dan cucu Kyai Sarayuda. Tilaran suka berguru kepada para kiai untuk mem-
peroleh ilmu tentang hakikat hidup. Para kiai yang pemah dikunjungi, antara lain, adalah Kyai Suraasmara di Krapyak, Kyai Sumasamadi di Majenang, dan Kyai Witana di Jombang. Ketika berkunjung ke Majenang. Tilarsa singgah menginap di rumah Sudarsa,di Kajoran.Pemilik rumah itu temyata masih ada hubungan saudara dengan Tilarsa. Kedua pemuda itu
kemudian selalu pergi bersama, meskipun mempunyai maksud yang berbeda. Tilarsa mengunjungi para kiai uiituk keperluan tersebut di atas atau
mencari kauripan hakikat hidup', sedangkan Sudarsa ingin memperoleh panguripan kebahagiaan hidup'.Dengan demikian,tampak bahwa pemuda itu merupakan simbol keakhiratan (Tilarsa)dan keduniaan (Sudarsa). Oleh
karena itu,setelah diundang Sang Bupati untuk dimintai sumbang-sarannya tentang pemerintahan, Sudarsa kemudian bersedia dikawinkan dengan Kustinah, putri Sang Bupati, sedangkan Tilarsa memilih menjadi abdi di kabupaten.
Karya yang menampilkan alam pemikiran modem dengan latar pendidikan sekolah,selain BB,adalah LS,INB,SGG,SBK,dan TT.Dalam
TS diceritakan bahwa Sida adalah anak lurah yang jujur dan hidup sederhana. Sebelum masuk ke sekolah (umum), Sida diberi pelajaran mengaji sehingga la menjadi anak yang baik. Ketika di sekolah (umum), ia selalu rnenjadi juara kelas. Setelah lulus sekolah guru, ia menjadi guru, lalu Sida
dikawinkan dengan Umi,putri Raden Sastra yang menjabat sebagai mantri guru. Sida dan Umi mulai membangun rumah tangga. Namun, lamakelamaan Sida terpengaruh tetangga dan mertuanya yang suka berjudi. Bahkan, Sida dan istrinya menjadi bandar judi. Oleh karena itu, Sida dipindahkan ke tempat tugas yang jauh. Di tempat yang bafu itu ia menyadari atas perbuatan buruknya sehingga menghentikan permainan judinya, meskipun dikudlkan tetangganya yang suka beijudi. Berkat baik
hatinya, Sida dan istrinya kemudian disegani tetiangganya. Akhimya, ka-
41
rena anaknya sakit-sakitan, permohonan pindah ke kampang halamannya dikabulkatv oleh pemerintah.
DdlmilsinNgaku Bapa,kesombongan meitiang dapat berakibatburuk. Dikisahkan bahwa Kyai Wangsawirya, yang miskin, mempunyai anak tunggal bemama Samun. Anak itu merupakari tumpuan harapan orarig tuanya sehingga disekolahkan hingga lulus, meskipun biayanya menghabiskan pekarangan. Setelah lulus, ia mendapatkan pekerjaan di kota sebagai mantri, dengan nama baru Mas Wiiyawafana. Kehidupan Wiryawacana semakin baik, tetapi sikap sombongnya berlebihan sehingga dibenci teman-teman sekantomya. Ia mengaku anak bangsawan dan tidak mengakui Wangsawirya sebagai bapaknya,Berulang kali istrinya mengingatkan agar Wiryawarana menerima ayahnya,tetapi selalu ditolah. Bahkan,karena bosan mendengar peringatan serupa, istrinya diusir, kemudian dicerai. Wanita itu lalu dinikahi oleh pria yang terhormat sehingga hidupnya
berbahagia. Sebaliknya, Wiryawarana semakin menderita dan akhimya meninggal karena sakit. Peribahasa "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian" sesuai
benar dengan nasib Sugita dan Sugati di daiam Serat Gita-Gati. Stigita dan Sugati itu masih merupakan saudara sepupu. Mas Bei Surapangripta, ayah Sugati, adalah kakak Bok Mas Gitapraceka, ibu Sugita. Sejak kecil Sugita dan Sugati mengalami penderitaan yang luar biasa. Sebelum lahir, Sugati sudah ditinggal pergi ayahnya (mantan mantri pajak yang dipecat akibat korupsi)karena tidak memiliki penghasilan tetap. Ketika Sugati berusia dua tahun, Gumbreng, istri kedua Surapangripta, pergi pula dengan membawa Sugati, anaknya, karena dimarahi Bok Gitapraceka, bekas majikannya sekaligus adik ipamya. Di tengahjalan, karena kehujanan,Sugati pingsan. Setelah mendapatkan pertolongan Kyai Kasaniman, Gumbreng dan anaknya melanjutkan perjalanan ke kota. Di kota, Gumbreng bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan Sugati diambil anak angkat seorang yang tergolong terhormat. Sugati disekolahkan di enderwijs hingga tamat. Sementara itu, sepeninggal Gumbreng, Bok Gitapraceka amat sedih dan menyesal,karena Gumbreng sudah seperti keluarga sendiri apalagi Bok Praceka amat menyayangi Sugati. Kesedihan Bok Gitapraceka bertambah karena hartanya dicuri orang sehingga ia menjadi miskin. Sugita tidak
tinggal diam. Ia meminta izin ibunya untuk mengadu nasib ke kota sambil belajar. Tiba di kota, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan kebe-
42
tulan majikannya berbaik hati menyekolahkannya. Setelah lulus, Sugita bekeija dengan jabatan terakhir sebagai mantri. Dia dikawinkan dengan seoran|,putri terpelajar yang tidak lain adalah Sugati. Mereka tampak
sangat |),^rl?ahagia karena cita-citanya menjadi or^g yang b&rguna sehingga berhasi] dan dapat bersatu kembali keduanya meskipun dalam suasana yang berbeda.
Serat Bares Koeres berisi tentang keberhasilan orang tua mendidik
anak-anaknyamelalui pendidikan sekolah.Kisahnya adalah bahwaMangunKetiga anaknya, setelah tamat sekolah, bekeija sebagai pegawai negeri, sedangkan dua anaknya yang masih remaja bemama Kayat dan Kayun, tinggal bersama orang tuanya.Meskipun masih remaja,Kayat sudah mampu teki tinggal di Kadiraja, Kalasan, mempunyai lima orang anak laki-laki.
memberikan penjelasan hal-hal yang rasional dan irasional berkat hasil
pendidikan sekolahnya.Dalam cerita itu,Kayat selalu berusaha meyakinkan orang lain agar tidak mempercayai "dang" mengikuti hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya, ada anak digondhol wewe 'digelandang makhluk halus', ramalan Jayabaya tentang haneumya tanah Jawa, dan Ratu Kidul
yang diperistri raja-raja Jawa. Novel ini memang lebih cenderung bertema sosial karena banyak menggelar masalah kehidupan. Cerita itu digubah mirip dengan kisah perjalanan.
Penggambaran suasana sekolah yang lebih realistis terdapat di dalam Tig Ian Tor. Diceritakan bahwa Tig dan Tor itu berasal dari Blora. Kedtia anak itu adalah murid sekolah dngka siji di Semarang. Setelah tamat dari
sekolah itu, mereka ingin melanjutkan ke sekolah guru di Yogyakarta. Bersama-sama dengan murid-murid dari berbagai kota, mereka mendaftar-
kan ke Yogyakarta. Setelah dites. Tig dapat diterima, sedangkan Toroegagal. Namun,Tor tidak patah semangat.la mendaftarkan lagi,dan dua tahuh
kemudian, ia diterima di sekolah guru di Ungaian. Tiga tahun tepat. Tig dapat menamatkan sekolahnya; kemudian, ia ditugaskan sebagai guru di kota.
Cinta memang tidak mengenal; perbedaan status kelas sosial dan
pefkawinan.Dalam SeratLampahampun Sang RetnaSuryatidapat diketahui
bahwa karena cinta maut terenggut. Berbeda haJnya dengan yang terdapat di dal^ Tukaning Kaireson. Novel ini merupakan cerita percintaan yang berkaitan dengan masalah sosial.Kisahnya adalah bahwa Wanareja,seorang lurah di Nangkrik, mempunyai seorang anak bemama Kasiyah. Sejak kecil
43
Kasiyah bertemu dengan Supa,anak pertania Ktiyamenggala,tst^gganya yarig hidup sederhaiia.Setelah dewasa,Kasiyah dilarang ayahnya berteman dengan Supa karena kehidupannya tidak seimbang. Oleh sebab itu, kedua anak itu menjadi sedih. Dengan sepucuk surat Kasiyah memberi tabu tentang kesedihannya kepada Supa. Oleh karena keduanya sudah saling mencintai, orang tua Supa mencoba melamamya, tetapi ditolak karena Ktaiyah akan dijodohkan dengan Tukija, anak Lurah Kajoran. Penolakan itu menyebabkan Supa tninta izin orarig tuanya untuk pergi. Supa tibadi Sambilegi,lalu tinggal di rumah Bahgsakarya,yang secarakebetulan masih fatnili ayahnya. Di tempat itu,Supa membukausahaPandebesi.Supa diambil menantu Bangsakarya,tetapi belum bersedia karena wajah Kasiyah masih membayanginya. Ketika Supa menengok kampung halamannya, rumah Tukija terbakar. Supa berhasii menyelamatkan Kasiyah, tetapi Tukija tidak tertolong nyawanya. Akhimya, Kasiyah diperistri Supa, dan adik Supa yang bemamaSutadikawinkan dengan Anjari,putri Bangsakarya. Karya lain yang lebih banyak menggeiarkan masalah sosial adalah
Lelakone Amir. Novel ini ditokohi oleh Amir. Setelah ibunya meninggal. Amir hidup bersama ayah dan ibu tirinya. Lama-kelamaan Amir diabaikan
sehingga hidupnya menjadi sengsara dan tidak dapat melahjutkan sekolah.
Untuk menyambung hidupnya. Amir bekerja di perusahaan roti. Pekerjaan itu ditinggalkannya setelah ia diterima sebagai abdi Tuan Cremer. Amir disayangi majikannya karena rajin daii penurut. Bahkan, kemudian Amir
disekolahkan lagi. Ia menjadi idbla di kelasnya berkat prestasinyai yarig gemilang. Setelah lulus, ia mendapatkan pekerjaan dengan jabatan terakhir sebagai masinis di Nganjuk. Kemudian, ia kawin dengan Raden Rara Subandiyah. 3.5 Cerita Anak-Anak
Berdasarkan analisis strukttir pada bab tiga banyak karya sastra Jawa tergolong dalamjenis cerita anak-anak atau dongeng.Pada umumnya cerita anak-anak memiliki ciri-ciri, antara lain, tokoh biasanya berasal dari ka-
langan anak, pengisahan bersifat sederhana, dan penyampaian pesan atau amanat dikemukakan secara langsung. Akan tetapi, seluruh ciri itu tidak
selalu terdapat dalam cerita anak-an^ atau dongeng. Sebagai contoh, sebuah cerita menampilkan tokoh dewasa,tetapi penceritaannya dilakukan secara sederhana.
Sebagai bacaan anak-anak, sastra anak-anak atau dongeng memuat
44
ciri-ciri yang berbeda dengan jenis cerita untuk kalangan dewasa. Cerita
anak-anak, yang dalam pembahasan ini tidak dibedakan dengan dongeng, memiliki sifat atau ciri spesifik, antara lain, cerita anak pada umumnya berisi paittangan, pengungkapannya bersifat langsung,dan memiliki fungsi terapan (Sarumpaet, 1976; 19-23).
Seperti telah disebut di dalam bab terdahulu, pada periode akbir abad ke-19sampai dengan tahun 1920,sastra Jawa diwamai oleh kehadiran cerita
yang ditulis dalam bentuktembang macapatdan prosa atau gancar.Demikian pula, cerita anak-anak atau dongeng Jawa saat itu banyak ditulis dalam bentuk tembang dan prosa.IGiususnya pada periode akhir abad ke-19,cerita anak-anak dalam sastra Jawa banyak hadir dalam bentuk puisi tradisional.
Dengan demikian, sejak abad ke-20, cerita anak-anak dalam bentuk puisi tradisional semakin berkurang jumlahnya. Cerita anak-anak berbentuk
tembang pada akhir abad ke-19, antara lain, adalah CASI(1975)karangan Martaatmaja, dan SD (1887) karangan Darmadiningrat. Tahun 1900-1920, cerita anak-anak dalam sastra Jawa banyak ditulis dalam bentuk prosa. Sel^a dekade itu, hanya terdapat sedikit cerita anakanak atau dongeng yang digubah dalam bentyk tembang, yaitu DKKM
(1910), CUKN (I9l4), dan SJJ (1916). Berdasarkan kenyataan tersebut, cerita anak-anak yang dicipta dalam bentuk prosa baru benar-benar hadir secara menonjol dalam dunia sastra Jawa padia tahun 1910-an.Pada-dekade
191(^1920 cerita anak-anak dalam sastra Jawa tampak: menonjol kehadirannya bersamaan dengan kemajuan dunia penerbitan yang dilafcukan oleh badan penerbit Ba/a/ Pustaka dan penerbit nonpemerintah. Cerita anak-ranak yang ditulis dalam bentuk prosa pada kurun waktu tahun 1910-1920, antara lain, adalah CIS (Pujaarja, 1910), SW (Wirawangsa, 1911), CIKIN (Pujaaija, 1911), CI(Sukardi, 1912), EE(Pujaaija, 1912), JSJS (Aijasuwita, 1912), DSM (Pujaarja, 1912), SN (Pujaaija, 1913),SNK(Pujaaija, 1913).DWL(Wiryadiaija, 1913),SDR(Ardiwinata, 1913),SUD(Soekarman,1913),1913),BKW(Sastraprawira,1913), APKS (Wiryaatmaja, 1916), SRA (Martaatmaja, 1918), DMW (Padmasusastra, 1918). Di antara penulis cerita anak-anak atau dongeng pada waktu itu terdapat beberapa yang cukup produktif, seperti Mas Pujaaija, Wiryaat maja,dan Soetardja.Dari ketiganya,Mas Pujaarja merupakan penulis cerita
anak-anak yang paling produktiif. Jika dilihat dari sebagian besar karyakaryanya, Pujaaija banyak menulis cerita anak-anak atau dongeng yang memiliki kecenderangan sebagai bacaan didaktik. Hal itu tampak dalam
45
penyampaian pesan atau amanat cerita yang terkesan agak berlebihan, seperti terdapat pada cerita SN(1913)dan SNk(1913). Dalam kedda karya itu, Pujaarja secara berlebihan menyampaikan wejangan bahwa sesedrang harus rajin bekerja serta meninggalkan cara: berpikir yang tidak realistis. Pada garis besamya, Pujaarja menentang adanya kepercayaan terhadap gwgon tw/ioM melalui kedua cerita tersebut.
Dalam periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920, sastra Jawa juga diwamai oleh kahadiran antologi cerita anak anak. Jadi, pada waktu itu terbit buku yang memuat beberapa cerita atau dongeng. Dalam periode tersebut, setidaknya terdapat lima buah antologi cerita anak-anak atau dongeng. Yang cukup menarik dan mengesankan ialah bahwa kelima
antologi cerita anak-anak itu terbit di luar penerbit Balai Pustaka. Dengan demikian, penerbit pemerintah, dalam hal ini Balai Pustaka, tidak pemah menerbitkan buku yang berupa antologi cerita anak-anak atau dongeng. Kelima antologi cerita anak-anak tersebut adalah CASI (Martaatmaja, 1875),,DMW(Wiryasusastra, 1913),LDWL(Mangunwijaya, 1917), SDR (Ardiwinata, 1913), WBSI(Mangkuatmaja, 1917). Antologi cetita anakanak tersebut masing-masing diterbitkan oleh Landskukerij, Papirus, Mercurius, dan Albreth & Co. Bahkan, cerita yang terdapat dalam antologi di atas terdiri atas beberapa jenis, seperti DMW (1913) yang memuat cerita lucu, cerita binatang, cerita pahlawan, dan Iain-lain.
Dalam periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920, cerita anak-anak atau dongeng Jawa banyak ditulis dengan humf Jawa. Bahkan,
hampir seluruh cerita anak-anak atau dongeng Jawa itu dicetak dengan huruf Jawa. Sepanjang periode tersebut, hanya terdapat dtla cetita anakanak atau dongeng yang dicetak dengan hurufLatin, Kedua cerita itu adalah SDR(Ardiwinata, 1913)dan S(1915). Cerita SDR diterbitkan oleh Mercwrius dan cerita S diterbitkan oleh Ruygrok & Co. Kedua cerita tersebut terbit di Betawi.
Cerita SDR (1913) merupakan cerita yang bercorak didaktik kareria pesan didaktik dalam cerita itu sangat menonjol. Cerita itu, antara lain,
mengajarkan keburukan memanjakan anak, pentingnya hidup hemat,jujur, ulet dalain bekega,dan Iain-lain.SDR terdiri atas sebelas bab,'yang masingmasing bab berisi sebuah cerita kecil. Di antara cerita-cerita itu adalah
Kasangs^an ing Sepuhipun", "Lelampahanipun Raden Jayeng",!"Me-
nawi Kepengin Ribet ing Manah Kedah Amayah","Menawi Badhe Sisah kedah Ageng Sambutan", dan "Cariyosipun Ki Angga".
46
Cerita anak-anak atau dongeng Jawa pada periode tersebut di atas sebagian besar dikisahkaxi dengan bahasa Jawa ragam krama. Baru setelah
tahun 1910,cerita anak-anak dikisahkan dengan bahasa Jawa ragam ngoko, terutama cerita-cerita yang diterbitkan oleh penerbit non-Bulai Pustaka.
Cerita-cerita yang diterbitkan oleh Balai Pustaka hampir seluruhnya tnenggunakan bahasa Jawa ragam krama'. Perbedaan bahasa kisahah antara
penerbit Balai Pustaka dan penerbit lain itu kemungkinan besar dipengaruhi oleh tujuan yang diemban oleh masing-masing penerbit. Sebagai penerbit
pemerintah yang berkewajiban menyediakan bacaan yang baik bagi kalangan pelajar, sangatlah wajar apabilaBa/a/ Pustaka menerbitkan buku-
buku atau cerita yang menggunakan bahasa Jawa dengan krama. Secara tidak langsung, pemakaian bahasa Jawa ragam krama dapat dijadikan sarana dalam pendidikan budi pekerti atau sopan santun kepada para pembaca, khususnya kalangan anak-anak. Di antara cerita anak-anak yang diterbitkan oleh penerbit non-Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Jawa ragam ngo/:o adalah S(Pogel& Co,1881),SD{Panderof& Co, 1887), Dy^(H.A.Benyamin, 1913),DMW(//.A.Benyamin;1913),SUD(/?Mygro^ Co,1913),dan RRsertaS(keduanya diterbitkan oleh Ruygrok&Co,tahun 1916 dan 1915). .
Selanjutnya, cerita anak-anak atau dongeng Jawa pada periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920 dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Berdasarkan data yang diperoleh, cerita anak-anak dalam
sastra Jawa pada periode tersebut dapat dikelompokkan atas (1) mite,(2)
legende,(3) cerita binatang atau fabel,(4)cerita pahlawan iAm gegedug, (5)cerita luGu atau cerita humor, dan (6)cerita didaktik.
Cerita didaktik dibicarakan teqiisah karena cukup banyak jumlahnya. Walaupun hampir semua cerita menampilkan pesan didaktik, cerita di daktik memiliki ciri yang berupa pesan-pesan moral yang sangat dominan
dalam cerita itu. Cerita didaktik dibicarakan secara terpisah dengan pertimbangan bahwa secara teoritis cerita itu dapat dikelompokkan ke dalam jenis cerita yang lain.
Cerita anak-anak atau dongeng yang tergolong mite, yaitu cerita tentang dewa-dewi atau tokoh suci adalah Serat Cariyosipun Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Istri(CUKN)yang tefbit pada tahun 1914. Cerita mite itu menampilkan tokoh ikan dan manusia yang merupakan jelmaan dari dewa dan titiisan dari dewi.
47
Diceritakan bahwa ikan Kutuk merupakan jelmaan Dewa Purusa, sedangkan tokoh Ken Sarui menjelma titisan Dewi Daruni. Kedua dewadewi itu turun ke dunia untuk membuktikan kesetiaan mereka, lUntuk
;menibuktikan ketulusan cinta Dewi Danjni,,Dewa Purusa menjelma menajadiikan dan dipelihara oleh Buyut Gandari.Seteiah itu; uptuk membukti kan ketulusan cinta Dewa Purusa, Dewi Daruiii menitis ke dalam diri Ken
Sarui, putri Raja Umbulr^j/a- Seteiah tiba saatnya, ikan Kutuk jelmaan E)ewa Purusa itu berubah mehjadi seorang kesatria. Akhimya, melalui perjalanan yang cukup panjang, kesatria itu menikah dengan K^n SaruiKedua dewa-dewi itu dapat hidup bersarna dengan bahagia, Cerita legende yang terbit pada peripde itu hanya satu buah,.yakni Cariyosipun Rara Kadreman (CRK) karangan Kusnadiarja, tahun 19}6. Cerita itu diterbitkan oleh penerbit Papirus di Betawi.Cerita itu berisi kisah
asal mula terjadinya Kedhung Kadreman di daerah Jawa Timur. Nama Kedhung diambil dari nama tokoh utama dalam cerita itu, yakni Rara Kadrernan, Perselisihan antara & Ageng Mangge dan Ki Ageng Mangli menyebabkan Ki Ageng Mangge itu dibunuh oleh Ki Ageng Mangli.Hal itu
disebabkan oleh Ki Ageng Mangli ditolak lamarannya oleh Ki Ageng
; Mangge.Ketika melihat ayahnya mati di dalam sungai, Rara Kadreman ikut bela pati'bunuh diri' dengan cara menceburkan diri ke dalam lubuk sungai
itu. Ketika itu Ki Ageng Mangli bermaksud nienolongnya, tetapi ia ikut terbenam di tempat itu. Berdasarkan peristiwa tragis yang menimpa ketiga tokoh itu, tempat tersebut dinamakan Kedhung Kadreman. Bahkan, nama-
nama tokoh itu kemudian dipakai sebagai nahta desa di wilayah Jawa Timur,seperti Mangge dan Mangli di Kecaraatan Sarharata,Panaraga,Jawa Timur. Keterangan itu disampaikan secara langsung oleh rtarator pada bagian akhiroecerita CRK tersebut.
Cerita anak-anak yang berapa fabel atau cerita binatang tidak banyak dihasilkan dalam periode itu. Dalam hal ini, hanya dua buah cerita yang
dapat digolongkan dalam fabel, yakni Dongeng Kancil Krida Martana (1910) karangan Natarata dan Dongeng Mancd Warni (1913). Cerita
DKKM ditulis dalam bentuk tembang yang terbit di Yogyakarta. Cerita DMW memuat beberapa cerita binatang, antara lain,(1)"Sungune Jdgo", (2)"Ratttning Manuk", dan (3)"Dongeng tila". Dongeng lucu atau cerita humor banyak diterbitkan pada periode eikhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920.Pada umumnya cerita kelompok itu
48
mehampilkan tokoh jenaka atau tokoh lucu. Kelucuan itu dapat disebabkan oleh tindakan tokoh yang tampak aneh.perilaku tokoh yang aneh atau ganjil akibat kekurangsempumaan kondisi fisik karena buta, toli, bengkok, dan
bodoh. Pada periode itu, beberapa cerita yang dapat dikategorikan sebagai cerita lUcu atau humor DWL (1913) dan CP (1912), keduanya digubah dalam bentuk prosa, berbahasa ragam ngoko dan krama.
Cerita atau dongeng lucu juga terdapat di dalam antologi dongeiig, seperti DMW (1913) dan LDWL (1917). Cerita humor dalam DMWQ (1913)berisi cerita dengan judul"Wong Bithet karo Wong Belang","Wong Bindeng","Tismak"'dan "Irigon-ingon Minggat". Di dalam LDWL(1917) terdapat dua puluh dua cerita lucu, di antaranya berjudul "Bocah Inalan Bucu".
Cerita atau dongeng "Bocah Inalan Bucu" tercantum pada bagian ke-6. Diceritakan bahwa sebuah kelauarga miskin memiliki dua anak, yakni si Capa dan si Qapi. Setelah orang tuanya meninggal,kedua anak itii hidup
terlunta-lunta. Si Capa menderita buta dan si Capi menderita bongkok. Akhimya, kedua anak itu hidup sebagai peminta-minta. Suatu ketika,
keduanya terperangkap di tengah hutan. Kedua anak yang cacad tersebut mendapatkan seekor kijang. Kemudian, daging kijang itu dibakamya. Si Capi memilih daging kijang yang lunak, sedahgkan si Capa diberinya daging yang keras-keras. Ketika menggigit daging kijang tersebut, mata si Capa terbuka dan dapat melihat.
Karena gembiranya dapat melihat,si Capa melemparkan daging kijang ke tubuh si Capi.Seketika itu pula,punggung si Capi menjadi normal, tidak bongkok lagi. Kemudian, kedua anak itu pulang melewati sungai Ketika melompat, si Capi terjatuh sehingga tubuhnya kembali menjadi bongkok.
Atas kejadian itu,si Capa tertawa terbahak-bahak. Karena kerasnya si Capa tertawa, matanya terpejam sehingga kembali menjadi buta. Pada periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920,cerita lugu, atau cerita biasa banyak muncul dalam sastra Jawa.Dalam cerita lugu tampil kisah tokoh secara tidak wajar atau terkesan aneh, tidak masuk akal (Hadisoebroto, t.t:90). Seolah-olah peristiwa dalam cerita itu tidak dapat dijangkau oleh nalar atau tidak masuk akal. Cerita yang tergolong ke dalam
cerita lugu adalah DSM(1912), APKS(1917),SUD(1913),RR(1916),dan S(1915). Semua cerita itu digubah ke dalam bentuk prosa.
49
Cerita anak-anak dalam periode tersebut di atas banyak menampilkan
kegigihan atau kepahlawanan seorang tokoh dalam membela negara dan menegakkan kebenaran. Cerita semacam itu tergolong ke dalam wiracarita atau cerita gegedug 'cerita kepahlawanan'.Salah satu cerita kepahlawanan dalam periode itu adalah Serat Walidarma (SW) karangan Wirawangsa, tahun 1911. Cerita SD(1911)mengisahkan tokoh Raden Walidarma dalam membela negara. Tokoh Raden Waliodarma telah menunjukkan sifat-sifat kepahlawanan sejak masa kecil. Bahkan, keperkasaan tokoh itu telah diketahui oleh Ki Supyantara, orang tuanya, sejak lahir. Berkat kegigihan dalam perjuangan, Raden Walidarma dapat menjadi raja di Batabang. Seperti telah disebutkan di muka bahwa cerita anak-anak yang sangat menonjolkain pesan moral dapat dikelompokkan ke dalam cerita didaktik atau cerita piwulang. Cerita didaktik Itu banyak muncul pada tahun 1900-1920, bertepatan dengan semakin intensifnya penerbitan sastra Jawa
melalui penerbit Balai Pustaka. Nilai-nilai pendidikan yang ditampilkan dalam cerita didaktik dalam periode itu, antara lain,(1) kebersamaan atau persaudaraan; (2) cara mendidik ahak, (3) pentingnya jiwa sosial atau kemasyarakatan,dan(4)ketekunan dalam memperjuangkan cita-cita. Nilainilai didaktik yang tampak menonjol dalam cerita itu merupakan dasar pengklasifikasian jenis cerita anak-anak yang menghasilkan golongan cerita didaktik. Cerita anak-anak yang menonjolkan atau memuat ajaran kebersamaan adalah SD(Darmadiningrat, 1887),SRA(Martaatmaja, 1918, dan SP (Prawirasudirja, 1913). Cerita yang mengetengahkan pentingnya pendidikan bagi anak adalah SDR (Ardiwinata, 1913), terbitan Mercwraw. Cerita itu mengisahkan keburukan pribadi seorang anak akibat dimanjakan oleh orang tuanya. Sejak kecil hingga dewasa, anak yang dimanjakan tersebut dapat hidup secara mandiri. Bahkan, pengalaman m^sa lalunya menyebabkan tokoh itu terlibat dalam banyak tindakan kejahatan. Berdasarkan judul ceiita itu, kebumkan pribadi anak yang selalu dimanjakan oleh orang tuanya sudah tampak. Pemanjaan ketika kecil akan membawa
kesengsaran anak itu pada saat dewasa. Hal itu terdapat dalam cerita yang berjudul "Kesangsaran ing Sepuhipun". Cerita anak-anak yang menegetengahkan nilai-nilai sosial adalah SJJ (Samsirmaharja, 1916) dan BRSD (Suwardi, 1916). Cerita SJJ karangan Samsirmahaija yang diterbitkan Albrecht & Co menampilkan kisah keteladan tokoh Jaka Johanis. Tokoh itu memilikijiwa sosial yang sangat tinggi.
50
Hal itu terlihat dari sikapnya yang selalu memberikan pertolongan kepada pihak-pihak yang sangat membutuhkan selama pengembaraannya. Dalam cerita BRSD (1916), jiwa dan pribadi sosial terdapat pada tokoh yang berstrat^
mewujudkan keinginannya. Seseorang tidak dibenarkan menggantungkan diri kepada pihak lain, tetapi harus mandiri. Selain itu, hendaknya setiap orang melepaskan diri dari kekuatan takhayul yang menjerumuskan ke dalam sikap yang tidak realistis. Hal itu disampaikan oleh narator sebagai siinpulan dalam dongeng atau cerita SNK dan SN,karangan Pujaarja,tahun 1913. Selain itu, nilai pendidikan yang menekankan pentingnya ketekunan dalam mencapai cita-cita terdapat juga dalam EE(1912). 3.6 Cerita Wayang ,
Cerita atau sastra pewayangan adalah cerita yang menampilkan tokoh klise yang diathbil dari cerita Mahabarata dan Ramayana. Pada periode itu akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920,cerita pewayangan yang terbit berupa ceiita carangan 'cerita gubahan bara', tetapi tetap bersumber pada kedua buku di atas. Cerita yang muncul pada periode itu adalah LK(1881), IB (1884),CI(1891),SKS(1895),D(1906), GG (1905), dan FDR (1914).
Di antara cerita pewayangan tersebut di atas, terdapat cerita sebagai bahan peatunjukkan wayang. Hal itu terlihat pada teknik penyusunannya yang sama dengan urutan cerita dalam pertunjukkan wayang. Cerita semacam itu adalah LK (Poenser, 1881). Cerita itu rhengisahkan tentang usaha penculikan Raden Kartawiyoga terhadap Dewi Erawati. Cerita itu berakhir pada pertemuan atau perkawinan Wasi Jaladara dengan Dewi Erawati,putri Raja Salya di Mandaraka.Cerita di atas terdiri atasenam belas bab yang disusun secaraurut sepertijtilannyapertunjukkan wayang.Keenam belas bab tersebutadalah "JejerNegari Mandaraka","Gapuran","Kedhaton"' "Pisowanan Jawi lajeng Perang Ampayak","Jejer Negari Ngastina","Jejer Negari Tirtakandasan" "Perang Gagal Kurawa-Danawa", "Kartawiyoga
51
Pepanggihan kaliyan Dewi Erawati", "Pamadi ing Wana terus Perang Kembang", "Semar Ambarang Jantur ing Prapatan Argasonya", "Prabu Saiya Manggihi Wast Jaladara", "Kadhaton Mandaraka Kalebetan Pandung", "Bedhahipun Negari Jaladara Dipunbegal Kuarawa", dan "Perang Sampek". Cerita Kartawiyoga ditulis oleh seorang dalang di Surakarta, bemama Ki Reditanaya,dalam bentuk prosa, berbahasa Jawa ragam krama
Cerita wayang yang berjudul 5erar Kumalasekti (SKs), karya Danuwinata (1895), terbit di Surakarta. Cerita itu digubah dalam bentuk
tembang dan ditulis dengan berhuruf Jawa. SKs memuat kisah pertemuan Prabu Suyudana dengan Sumbadra dan Srikandi. Kisah itu berakhir pada pertemuan kembali antara Raden Arjuna dengan kedua istrinya, Sumbadra dan Srikandi.SKs digubah dalam bentuk teks narataif. Oleh sebab itu, cerita SKs dimasukkan sebagai cerita bacaan, bukan sebagai cerita yang harus dipentaskan. Sebelum SK terbit, Danuwinata telah menerbitkan cerita yang berjudul Cekel Indralaya (CI), tahun 1891. Cerita itu memuat protes Raden Arjuna terhadap para dewa. Protes Raden Arjuna itu disebabkan oleh tindakan Batari Durga, istri Batara Guru, yang merestui atau menyetujui perbuatan Raden Buriswara menggoda Dewi Sumbadra, istri Raden Arjuna. Berbeda dengan cerita Cekel Indralaya Raden Arjuna protes terhadap para dewa di dalam Dorawaca disebabkan oleh perbuatan serong yang dilakukan oleh Batara Guru. Selanjutnya, pada tahun 1912 terbit cerita pewayangan yang beijudul Gara-Gara(GG), karangan Dirjasoebrata. Ce rita itu berisi adegan humor atau lucu yang ditampilkan oleh para penakawan, yakni Semar, Gareng, dan Petruk.
BAB IV
STRUKTUR SASTRA JAWA PERIODE AKHIR ABAD XIX — TAHUN 1920
Di muka telah disebutkan bahwa unsur cerita terdiri atas tema dan
masalah, fakta cerita yang mencakupi alur, tokoh, dan latar, serta sarana cerita yang mencakupi, antara lain, judul, sudut pandang, dan gaya. Berkenaan dengan analisis struktur karya sastra Jawa periode akhir abad ke-19-1920, unsur-unsur itu dijadikan pokok pembahasan. Namun, dalam hubungannya dengan jalinan antar unsur yang kehadirannya diwajibkan oleh prinsip strukturalisme,yakni prinsip yang meyakini adanya wholeness, transformation, dan self-regulation (Piaget dalam Hawkes, 1978:15-16),jalinan antarunsur itu tidak disajikan secara eksplisit, tetapi secara serempak dalam analisis setiap unsur. Maksudnya adalah bahwa analisis setiap unsur akan selalu mengikutsertakan unsur yang lain. Analisis tema tidak didasarkan pada teori tertentu, misalnya teori Shipley yang mengklasifikasikan menjadi lima, tetapi teori yang sesuai akan dimanfaatkan. Dengan demikian, dalam analisis tema akan muncul tema peijalanan, pendidikan, sosial, moral, dan sebagainya. 4.1 Struktur Kisah Perjalanan 4.1.1 Tema dan Masalah
Sesuai dengan judul ceritanya bahwa kisah perjalanan itu bertemakan perjalanan. Masalah yang terungkap dalam kaitannya dengan tema itu adalah hal-hal atau situasi yang ada atau teijadi di tempat-tempat yang disinggahi atau dilalui oleh tokoh utama atau narator. Misalnya,situasi yang
52
53
ada di tanah Bali dalam Poerwa Tjarita Bali narator diungkapkan sebagai berikut.
Kula ingkang sampung sumerep sawamining kitha ing tanah Bali saurutipin, awit saking kitha Jamburana dumugining kitha Buleleng, wonten ing margi-margi tumn wonten ing pondhokan hoten sah-sah anggen kula neniteni miwah taken-taken ing
kalakuanipun para priyantun ageng alit saha ing dhusun-dhusun. Sedaya sasumerep kula,kulaseratisupadosandadosaken lepasing engetan dhatengsawamining lare-lare kang magum ing sastra.
'Saya yang sudah tahu berbagai hal tentang kota di Bali seluruhnya,dari kota Jamburana hingga kota Buleleng, di jalan-jalan dan di penginapan tidak jemu-jemunya saya mengingat-ingat dan bertanya tentang adat-istiadat pembesar dan orang kebanyakan serta di desa-desa. Semua yang saya ketahui saya catat agar dapat dijadikan bahan pengetahuan bagi anak-anak yang belajar mengarang.'
Contoh lain,di dalam Tjariyos ing NegariPadang,terungkap bahwa narator
atau tokoh kula 'saya' pergi ke Padang itu karena pekeijaan yang dinantinantikannya di Betawi tidak kunjung datang. "... Inggih puniaka awratipun tiyang ngupados drajat ngantos dipunrencangi nasak wana, tumurun ingjurmg, minggah redi anyabrang lepeh benawi, ngambang seganten. Sakalangkung anggenipm kesakit-sakit miwah kangelan meksa dereng angsal darajat
"... Itulah beratnya orang mencari kedudukan disertai dengan menjelajah hutan, menuruni jurang, mendaki gunung, menyeberangi sungai, meng-arungi laut. Penderitaan itu memang sangat berat, tetapi kedudukan terpaksa belum teraih ...." 4.1.2 Alur
Alur dalam kisah peijaianan berbeda dengan alur dalamjenis fiksi yang lain. Alur dalam kisah peijaianan merupakan rangkaian peristiwa yang bergerak mengikuti pergeseran waktu dan tempat,serta tidak dibangun oleh konflik atau pertemuan watak antartokoh seperti yang biasa terdapat dalam jenis fiksi yang lain (Riyadi dkk., 1988:28). Biasanya alur dalam kisah perjalanan dapatdibagi atas(1)saat berangkat,(2)dalam perjalanan,(3)saat beradadi tempattujuan,dan(4)saatkembali dari tempat tujuan. Alur seperti itu terdapat dalam PTB, TNP, dan KLDPP; sedangkan KSDDW hanya mempunyai alur(1)dan(2)karena kisahnya tidak sampai di tempat tujuan. Dalam Poerwa Tjarita Bali, alur dimulai dari Banyuwangi,dilanjutkan ke Jamurana, Bangli, Buleleng, dan kembali ke Banyuwangi. Alur dalam TNP dimulai dari Betawi,dilanjutkan ke Bengkulu,Padang,dan kembali ke Betawi. Alur dalam KLDPP dimulai dari Surakarta, dilanjutkan ke Sura
baya,Banyuwangi^ Bulelelng,Ampenen,Makasar,Ambon,Saparua,Banda,
54
Gesser, Sekar, Fakfak, dan kembali ke Surakarta. Alur dalam KSDDW
dimulai dari Semarang,dilanjutkan ke Pekalongan,Batavia,Padang,Perim, Zues, Port Said, dan berakhir di Marsayle. Kisah dalam KSDDW itu
terputus di situ, tidak sampai di negeri Belanda, tempat tujuan, dan tidak diceritakah kembalinya.
Dari uraian di atas tampak bahwa alur dalam kisah peijalanan belum menunjukkan keterpaduan dengan unsur yang lain karena tidak dibangun oleh konflik sehingga tidak menimbulkan ketegangan yang memadai. Hal itu dapat terjadi karena genre tersebut lebih menekankan penyampaian informasi atas peristiwa dan tempat yang dialami atau diketahui oleh tokoh atau nataromya. 4.1.3 Tokoh dan Penokohan
Tokoh utama dalam kisah perjalanan (PTB, TNP, KSDDW, dan
KLDPP)seluruhnya berfungsi sebagai narator mahatahu dan mempunyai per^ utama, sedangkan tokoh bawahan hampir tidak berfungsi dan tidak
berper^. Oleh karena itu, yang dimunculkan dalam uraian ini hanyalah tokoh utama, yang lebih banyak menggunakan sebutan kula 'saya'; Tokoh utarna yang memunculkan nama diri terdapat dalam PTB dan TNP.
Dalam Poerwa Tjarita Bali (PTB) nama diri tokoh utama hanya muncul sekali, dan selanjumya menggunakan sebutan kula 'saya'. Contohnya berikut ini. Kula Raden Sasrawijaya, tiyang asal saking Ngayogyakarta, dados santri wonten pondhok ing dhusun Sepanjang, bawah kitha Malang....(PTB,him. 11) 'Saya Raden Sasrawijaya, berasal dari Yogyakarta, menjadi santri di pondok di desa Sepanjang, wilayah Malang....'
Dm kutipan itu dapat diketahui bahwa tokoh itu tergolong berpendidikan, yakni berpendidikan pesantren, dan status sosialnya tinggi dengan gelar raden yang berasal dari Yogyakarta. lajuga cakap berbahasa Melayu, seperti ditunjukkan dalam pemyataannya bahwa sedaya paturan kula tembung Mlajeng (PTB. him. 9) 'semua perkataan saya dengan menggunakan bahasa Melayu'.Kecakapan berbahasaMelayu itu dinyatakan pula sebelum menggubah tembang yang dicantumkan pada bagian akhir PTB, yakni wasitanipun ingkang ngarang mawi tembung Mlajeng(PTB, him. 102)'pesan pengarang dengan menggunakan bahasa Melayu'. Selain itu,seperti tampak padacontoh dimuka(lihat4.1.1),tokoh tergolong pelaku
55
yang bersifat hati-hati, teliti, cermat, dan berwawasan masa depan. Sifat kehati-hatiannya itu ditunjukkannya dengan tidak jemu-jemunya bertanya sehingga mengesankaa bahwa ia takut bersalah dan ingin selalu menaati peraturan. Ketaatannya itu pun tercermin lewat tuturannya bahwa ia selalu melapor atau unjuk muka kepada pejabat yang berkepentingan. Sesampunipun kula mentas, kula lajeng sowan dhateng kantor anekenaken serta pas lautingkcmg saking Banyuwangi.... sarta kula ngaturipriksadhateng Tuwan Kontrolir yen kula badhe lajeng dhateng Tabanan saurutipun.(PTB, him. 2-3) 'Sesudah saya mendarat, saya pergi ke kantor untuk melegalisasikan surat jalan laut saya dari Banyuwangi... dan memberi tabu kepada Tuan Kontrolir bahwa saya akan melanjutkan peijalanan ke Tabanan dan seterusnya.'
Lain halnya dengan tokoh Raden Sasrawijaya yang nama dirinya hanya muncul sekali dalam Poerwa Tjarita Bali, nama diri Raden Arya Darma Bratasempat muncul beberapa kali dalam Tjariyosipun ing Nagari Padang (lihat TNP him. 1,4, dan 5, misalnya). Namun, nama diri itu masih kalah dominan dengan munculnya sebutan kula dalam kisah perjalanan tersebut. Dilihat dari gelar yang disandang tokoh Darma Brata, yakni raden arya, tampak bahwa tokoh tersebut tergolong kerabat bangsawan sehingga
termasuk tokoh berkelas sosial tinggi. Tokoh itu juga tergolong berpendidikan karena kepergiannya ke Betawi adalah untuk mencari pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, padahal syarat untuk menjadi pegawai pemerintah di antaranya hams pemah mengenyam pendidikan. Ia lama tinggal di Betawi untuk menunggu datangnya pekeijaan itu. ... sampun sawatawis lami wonten ing nagari Betawi. Raden Arya Darma Brata meksa boten saged angsal padamelanipun ing nagari.(TNP, him. 4)
*... sudah agak lama tinggal di Betawi, Raden Arya Darma Brata terpaksa tidak memperoleh pekeijaan pemerintah.'
Oleh karena itu, ia ingin mencari pengalaman dan menambah pengetahuan ke Padang. Kebetulan ia mempunyai teman yang tinggal di kota itu. Dalam perjalanannya, tampak bahwa ia selalu berhati-hati, selalu bertanya, meminta keterangan atau petunjuk agar terhindar dari kesalahan. ... kula kedah nyuwun pirsa supadosipun kula sampung ngantos manggih kalepatan saking wiraosing kirang urmat utawi manggih kalepatan saking nerak anggeripun nagarai.(TNP, him.26)
'... saya hams bertanya agarjangan saampai saya kesalahan karena kurang rasa hurmat atau kesalahan karena melanggarperaturan pemerintah.'
56
Sifat dan sikap itu menunjukkan bahwa tokoh ini ingin menaati fsegala peraturan yang berlaku agar dapat mencapai tujuan. Sifat dan sikap itu pun masih dicspang dengan ketabahan hatinyauntukmenghadapi segalacobaan yang teijidi,seperti tereermin dalam kata-katanyayang diungkapkan kepada teniannya
Tokoh utama dalam Kekesahan Saking Tanah Djawi dhaterig Negari Walandi(KSDDN)dan Kesah Pelayaran dhateng Pulo Papuawah muncul dengan sebutan kula 'saya' dengan identitas yang tidak jelas karena memang tidak ada deskripsi(secara langsung)yang menunjukkannya.Namun, dari kisahan yang dituturkannya tampak bahwa tokoh kula 'saya' dalam KSDDW tergolong terpelajar. Bahasa kisahannya pun cukup indah; tanggapan tokoh lain terhadapnya cukup baik; dan reaksi tokoh utama tersebut terhadap situasi lingkungannya cukup bijaksana. Keterpelajaran tokoh utama itu tampak, misalnya, ketika singgah di Batavia. Ketika mengisahkan situasi kota itu, ia ingat akan sejarah kota Jakarta, lalu dituangkannya daliam kisah peijalanannya. Enget dhateng tembung Jakarta, kula lajeng boten saged mekak wedaling gagasan ihgkangngengetidhatengjaman ingkang sampun kapengker...;mila ihggih lajeng kula pacak pisan kemawon sasumerep kula dhateng babadipun kitha Betawi.(KSDDW, ,
hlm.39)
'Ingat akan kota Jakarta, saya tidak dapat menahan tiinbulnya gagasan yang mengingatkan pada zaman yang telah lampau maka kemudian saya settakan sekaligus seingat saya tentang sejar^ kota Betawi.'
Contoh Iain, yang menunjukkan bahwa ia cakap menggunakan bahasa, tampak dalam pemakaian kata-kata Kawi,seperti akasa, antariksa 'langit', diwangJcara, Hyang Pratanggapati, surya, rawi 'matahari' samudra, tasik, jalanidhi'laut',dan supraba 'sinar' yang dipakai sebagai variasi katalangit,
srengeng^seganten, dan sorot atau sunar. Contoh di bawah menggunakan kaiz. rawj^supraha, diwangkara, dan jalanidhi. Menawi enjing ... linggihan wonten ing panggungan ningali dhateng trontong-trOhtonging rawi,ngulataken dhateng asriningpambabaripun supraba....(KSDDW,hint. 89)
Parapenumpak... botenkathahingkangsamipurun-merlokakenhingalijumedhuling diwangkara saking pungkasaning Jalanidhi.(KSDUW,him,91) 'Jika pagi ... duduk-duduk di panggung melihat terbitnya matahari, menyaksikan keindahan teijadinya sinar....' 'Para penumpang ... tidak banyak yang man menyempatkah diri melihat terbitnya matahari dari batas laut.'
57
Tokoh ^wZa 'saya''dalam Kesah Lelayaran dhateng Pulo Papuwah (IQ^DPP)niasih bersaudara dengan Raden Suherman,seorang dokter, yang bertugas di Fakfak. Selama 20 bulan tokoh utama itu mengunjungi saudaranya di Fakfak. Kemudian,setelah beberapa lama,ia menulis pengalamannya itu dalam bentuk kisah peijalanan. Sampun dangu anggen kula sedya ngarang lelampahan kula nalika kula kekesahan
dhateng ,ing Pulo Nieuw Guinea (Fulo Papuwah), nanging tansah kandheg dening rumaps bilih karangan wau badhe boten wonten damelipun,amargisanes golonganing kawruh ingkang maedahi. Cariyospunika kula lampahi nalika ing taun 1903,kala kula tuwi sadherek kula nama Raden Suherman ingkang dados dhokter Jawi wonten ing kithaFalrfak....(KLDPP,hlm.4)
'Sudah lama saya ingin menulis tentang peijalanan saya ketika saya pergi ke Pulau
Nieuw Guinea(Pulau Papua),tetapi selalu terhentikarenamerasabahwa tulisan itu akan tidak berguna karenbabukan termasuk-pengetahuan yang bermanfaat.
Kisah ini saya alami pada tahun 1903, ketika saya mengunjungi saudara saya yang bemama Raden Suherman yang menjadi dokter Jawa di kota Fakfak
Dengan demikian, tampak bahwa tokoh kula 'saya' tersebut berasal dari kelas sosial atas (lihat saudaranya bergelar raden dan dokter) dfn berpendidikap. Di samping itu, ia cermat mencatat pengalamannya ketil^ terkunjung ke FakfaJc. Hal itu ditunjukkannya dalam kisahnya yangmenbaran situasi (latar sosial budaya) tempat-tempat tersebut. Ia pun tampak terpelajar dan berminat pada hal-hal yang bersifat kebudayaan. Contohnya, ia mampu membuat sengkalan dalam kisahnya itu. Nuju ing mangsa ketiga banteripun sumelet; ing dinten wau nuju tanggal hoping 10 wulan April ing taun 1903 sinangkalan guna sirna anrtusing tunggal, ing wandjam 10 siyang kula bidhal saking griya dhateng setasiyun ing Batapan(Sola) (KLDPP, him. 1)
Tada musim kemarau panasnya luar biasa; pada ban itu bertepatan dengan tanggal 10 April 1903 dengan sengkalan manfaat lenyap merasuk Jadi pada pukul 10 slang saya berangkat dari rumah ke stasiun Balapan (Sala) 4X4 Latar
Latar yang diketengahkan dalam kisah pewijalanan,antara lain, berupa latar waktu, latar tempat, dan lat^ sosial budaya. Latar waktu kadangkadang dideskripsikan secara merenik (hari, tanggal, pukul, bulan, dan tahun). Deskripsi waktu ada yang menggunakan bulan dan tahun Jawa (dalam TNP),bulan dM tahun Masehi(dalam PTB dan KLDPP),dan^da
58
y^ng menggunakan bulan^^^d^ Jawa dan M^ehi sekaligus (dalam KSDDW). Contoh yang menggunakan keduanya disajikan di bawah ini. Nalika sdmanten pinuju dinten Sabtu Wage, tanggal kaping 9 Rajeb, taun Alip, angkming warsa 1843, Mtawi kaping 14 Jmi 1913, wariei enjing jam 2, kula^ tuwin
sadherek kula sawatawis ingkang sami nedya nguntapakm lampah kula sampm dumugiingimbangingpelabuhanSemarang,amargi...jam8enjing ingdintenkasebut ing nginggil wau, kula katamtokaken sampuna ing baita.(KSDDW,him. 2) 'Waktu itu hari Sabtu Wage, tanggal 9 Rajah, tahun Alip, 1843, atau tanggal 14 Juni
1913, pukul7 pagi,saya dan sejumlaH saudara saya yang akan mengantarkan kepergian saya sudah tiba di tepi pelabuhan Semarang/sebab... pukul 8 pagi pada hari tersebut di atas, saya diharuskan sudah berada di kapal.'
Dalam Kekesahan Saking Tanah Djawi dhateng Negeri Walandi, s^lain dicantumkan penanda tahun(Masehi),di cantumkan pula sengkalan, yakni guna sima anrusing tunggal(1903)dan nama musim, yakni mangsa ketiga 'musim kemarau' (lihat contoh bagian akhir 4.1.3 di muka, atau KLDPP, him. 1).
Latar tempat biasanya dideskripsikan secara merenik pula. Tempat keberangkatan merupakan titik awal deskripsi tempat, kemudian diikuti dengan deskripsi tempat-tempat yang dilalui narator atau tokoh utama. Di bawah ini disajikan deskripsi salah satu teinpat yang dilewati tokoh utama diAdXmiPoerwaTjarUaBalL Ing riku kitha Jamburana kula tingali boten memper kitha, maksih kados padhusunan kemawon; ugi punika sanipun kaasta ing Kanjeng Gubermen, dnanging dereng sae, malah kantoripun maksih alit sanget, majeng mangaler, salering ntargi kang mujur mangetan. Wau kantor dipuntingali saking radinan kados gardhu kemawon,(PTD, him. 2)
'Di situ kota Jamburana(Jembrana)saya lihat tidak layak sebagai kota, masih seperti pedesaan saja; kota itu juga telah dikuasai Kanjeng Gubermen, tetapi belum baik, malahan kantomya masih kecil sekali, menghadap ke utara, sebelah utara jalan yang membujur ke timur. Kantor itu dilihat darijalan seperti g^du saja.'
Ada deskripsi latar yang sifatnya membandingkan. Deskripsi itu terdapat di dalam Kekesahan Saking Tanah Djawi dhateng Negeri Walendi (KSDDW), yakni memabandingkan keadaan kota Marsayle dengan Betawi.
Kula kraossangeting dalem manah,prabedanipun kithaing tanah Eropahmenawi katimbangaken kaliyan kithaing tanahJawi,Radinan ing kitha Betawi,tetunggulirig kitha boten ngemungaken satanah Jawi, nanging sa-Nuswantara Hindia Wetan, manawi kapandhmgkaliyanradinanpunikakawastanansanesemput'emputipun,inggik punika
59
ing bab saening pangupakaranipun, tata tuwin arjanipim ingkang sami lumampah,
atanapi endah saha ramening pasawangan.(KSDi>W, him. 20S) 'Saya merasa dalam hati, perbedaan kota di tanah Eropa apabila dibandingkan dengan kota di tanah Jawa.Jalan di kbta Betawi,sebuah kdta tidak hanya terbesar di tanah Jawa, tetapi di Nusantara Hindia Timur, apabila dibandingkan dengan jalan itu, boleh dikatakan bukan apa-apanya, yakni tentang bmknya pemeliharaan,teratur dan gembiranya pejalan, serta indah dan ramainya pemandangan/
Latar sosial budaya pada umumnya juga dideskripsikan secara mer-
enik. Contoh di bawah merupakan deskripsi pakaian dan cara berpakaian penduduk Betawi dalam Kekesahan Saking Tanah Djawi dhateng Negeri Walandi.
Para estri racakipun sami mangangge rasukan sembagi panjang, ingkang tamtu dhasaripun pethak, corekipun lorek utawi mawi sesekaran ageng-ageng, ules wamiwami sasenengipun piyambak'piyambak Mratahipun sami agelangan, atindhik ceplik, tuwin apaniten dhadha sungsun tiga ing pemah gathuking sampir rasukan. Caranipun tapihan utawi kembenan boten wonten, nanging samisarungan tanpa kembenan, gelungipun kondhe inggil ... jaleripu mratah sami rasukanjas tuwin celanan pethak kados cara Welandi, nanging wewah mawlasabuk sarung ingkang linempit tangkepkalih....{KSDiy^Mm.^)
Para wanita umumnya mengenakan kebaya panjang kembang-kembang, wama dasar putih, motif bergaris atau dengan kembang-kembang besar. Umumnya mereka bergelang, bertindik subang kecil, berpeniti dada susun tiga. Cara berkMri dan berkemb^ng tidak ada,tetapi merepa bersarung tanpa kemban,sanggulnya tinggi.... pria umumnya berbaju jas dan bercelanan putih seperti cara Belanda, tetapi dengan bersabuk sarung dilipat dua...'
4.1.5 Judul
Judul empat kisah peijalanan yang diteliti dapat dibedakan menjadi dua.Judul PTB dan TNP berkaitan dengan latar tempat,yakni tempat tujuan yang dikunjungi. Judul dalam PTE berkaiatan dengan Bali dan judul dalam TNP berkaitan dengan kota Padang.
Judul KSDDW dan KLDPP berkaiatan dengan tema, yakni kisah perjalanan. Dalam KSDDW digunakan kata kekesahan 'bepergian' dan dalam KLDPP digunakan kata kesah lelayaran 'pergi berlayar'. 4.1.6 Sudut Pandang Di muka (lihat 4.1.3) disebutkan bahwa tokoh utama dalam kisah
peijalanan berfungsi sebagai narator mahatahu dan banyak menggunakan sebutan kula 'saya'. Dengan demikian, sudut pandang dalam cerita itu
60
menggunakan teknik akuan atau teknik orang pertama dengan gaya aku. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama,kula saya tampak lebihakrab dengan pembaca.Pembaca terasa diajak untuk mengetahui dan mprasalcan hal-hal yangdialami naratordalamkisah itu.Contohnya,ungkapan rasa heran seperti tercermin pada kutipan di bawah ini. Menggah ingkang nddadosaken gumun kula bob panganggenipun tiyang estri nagari Padmgpanjang wau.Ingkang sepisan bah sengkangipunageng sanget.Agenging bumbungipun sadeling cetnepeng. Panjangipun tigangjempol. Raining sengkang sakecer kalapa ingkang ageng sarta namung lus-lusan kemawon.(TNP, him. 157) 'Yang mengherankan hati saya adalah cara berpakaian orang Padangpanjang tadi. Pertama,subangnya besar sekali.Permatanya sebesar bambu.Panjangnya tiga ibujari. Permukaan subang sebesar kelopak kelapa yang besar dan hanya dihaluskan.'
4.1.6 Gaya
Analisis gaya dibagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa dan gaya cerita. Kedua gaya itu, biasanya, dipakai penulis untuk membangun dan menghidupkan cerita. 4.1.6.1 Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat berarti pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, dan keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1984:57). Pemakaian gaya tertentu akan melahirkan gaya khusus seorang penulis (Hough, 1972:3). Oleh karena penulis menyampaikan pikirannya dengan kata-kata, analisis gaya bahasa ditekankan pada pemakaian kata-kata sebagai dasar kehadiran suatu karya sastra (BrOce, 1969:127).
Pemakaian gaya bahasa oleh penulis yang sering disebut pemanipulasian bahasa (Mas, 1990:3) bertujuan agar karya sastra itu dapat menimbulkan efekestetis.Beberapa penulis yang menghasilkan karya sastra dalam kurun waktu yang sama dapat menimbulkan suatu fenomena gaya bahasa tertentu pada kurun waktu itu. Persamaan dan perbedaan gaya bahasa yang dipakai dapat digunakan untuk menarik garis keumuman. Dalam kaitannya dengan sasaran,seluruh kisah perjalanan yang diteliti
menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Bahasa ragam krama itu dipakai dalam seluruh cerita, baik dalam adegan dialog maupun monolog. Bahasa
61
ragam krama yang dipakai itu sebagian besar bergaya lugas dan sebagian kecil hergaya indah.
Gayalugas,dalam arti bahwa ragam bahasa yang dipakai adalah ragam bahasa yang sederhana. Kesederhanaan itu kadang-kadang terasa bahwa deskripsi yang diketengahkan mendekati gaya kekanak-kanakan. Contohnya seperti yang terdapat dalam PTB dan KLDPP di bawah ini. Wonten ing kitha Manguwi kula sipeng 2dalu, raja gusti masih dereng kondur. Sareng ing dinten Setu tanggal kaping 12, wulan Pebruari, kula pamit dhateng pambekel ageng, sumedya anglajengaken lampah dhateng kitha Badhung. Kula lajeng kaparingan sangu arta I beku.(PTB,him. 28)
'Di kota Manguwi saya bermalam dua hari, raja masih belum pulang.Pada hari Sabtu, tanggal 12, bulan Februari, saya minta izin pembekel agung akan melanjutkan perjalanan ke kota Badung. Saya lalu diberi bekal uahg satu beku.'
Kasarasaning tiyang Papuwah punika kalebet prayogi, awis-awis tiyang ingkang nandhang sakit lebet kados ta: panas, weteng, masuk angin, sapanunggilanipun; bok menawi kalising sesakit wau inggih saking jalaran isining wetwengipun boten patos reged, ....(KLDPP, him. 49)
'Kesehatan orang Irian termasuk cukup baik,jarang orang yang menderita penyakit dalam, seperti panas, perut, masuk angin, dan sebagianya; mungkin terhindamya penyakit itu'karena isi perutnya tidak terlalu kotor,....'
Deskripsi lain yang mendekati gaya kekanak-kanakan adalah dengan menggunakan tiruan bunyi, misalnya dhawahing pirantos mawi anyuwanten ngantos watawis samenit(KSDDWj him. 104)'jatuhnya alat dengan suara wer hingga semenit.' Contoh lain, Lonceng mungel kaping tiga, theng, theng, theng, sepur lajeng pangkat, greg, greg (KLDPP, him. 2) 'Lonceng berbunyi tiga kali, teng, teng, teng, kereta api lalu berangkat, grep, grep.'; Byur, byur, swanten gumebyur matumpa-tumpa darnel cingakipun para penumpak (TNP, him. 69) 'Byur, byur, suara berdebur berkali-kali membuat kaget para penumpang.' Ragam bahasa yang bergaya indah,misalnya dengan menggunakan kata-kata Kawi. Contohnya, penggunaan kata diwangkara sebagai sinonim srengenge 'matahari' dan jalanidhi sebagai sinonim segara 'laut' dalam kutipan berikut ini. Para panumpaksasumerep kula boten kathah ingkang samipurun merlokaken ningali jwnedhuling diwangkara saking pungkasaning jalanidhi(KSDDW,him; 91) 'Para pienumpang setahu saya tidak banyak yang mau menyempatakan diri untuk melihat terbitnya matahari dari batas laut.'
62
Selain gaya lugas dan gaya indah itu dalam kisah peijaianan yang diteliti terdapat berbagai majasj di antaranya berupa similb, hiperbola, dan personifflc^i.Gayasimiletampak dominan,misalnyadengan mengguriakan ka!^kados'seperti' dansejenisnya,sedangkan gaya hiperboladan personifikasi tidak banyak digunakan.
Gaya simile yang tampak dominan itu untiik mendeskripsikan tokoh, tindakan,latar, situasi atau persistiwa, dan sebagainya. Berikut ini kutipan gaya simiele yang berkaitan dengan tokoh, latar, dan situasi. sadaya tiyang estri punika mawi pepaes kados penganten.(TNP, him. 40) semua wanita.itu berhias seperti pengantin.'
Ing lebetbanon wontengriya 2bunderpayon duksungsun-sungsun sarta griyaalit-alit kathtdt samikadosbagupondaroi (PTB, hlTCk 2) 'Di dalam pagarbata terdapatdua rumah bandar beratap ijuk bersusun-susun dan rumah
kecil-icecil banyak seperti rumah merpati.' Ebahing manah lajeng saged lerem malih kudos epahing toya ing tilas prenah panggenan mepetipun baita motor dhateng lambunging Wilts.(KSDDW,him. 22) 'Getaran hati kemudian dapat tenang lagi bagai,getaran air bekas merapatnya perahu motor padalambung Wilis.'
Gaya hiperbola yang tidak banyak dipakai, misalnya terdapat dalam KSDDW. Contoh berikut ini melukiskan keindahan langit di atas Guran Sahara pada waktu senja. Langitsakiblat kilen katingalsumeblak ulesjene, sumunarkados kancana sinangling. (KSDDW,him. 122)
'Langit di ufuk barat tampak terang berwama kuning, bercahaya bagaikan emas didulang.'
Gaya persohifikasi yang tidak banyak dipakai pula, misalnya terdapat dalam KSDDW.Contohnya,di bawah ini. Pun Wilis... sayakendho lampahipun, ngantosupami tiyang, kethimik-kethimik, labet sdking'gimging kimatosbokmanawi'kasandung.{KSDDW,him. 34).
4.1.6J Gaya Cerita
Gaya cerita merupakatfc teknik penceritaan yang digunakan penulis untufc mengieksptesifcaffijdenya. Ga^ya cerita dalam kumn waktu yang sama
dapatsaja mempunyaikemiripan,^dan sebaliknya,dapat mempunyai perbedaan sehii^gaimenimbulkan variasi tertentu.
63
Dalam kisah perjalanan yang ditditi tampak bahwa gaya cerita yang dipakai ada kesamaannya.Misalnya, pada awal cerita, seluruhnya mencantumkan penanda waktu keberangkatan yangcukup jelas. Contoh di bawah dikutipkan dari PTB, TNP, KSDDW,dan KLDPP. Nalika ing'dinten Senin Umggal 31, wulan Januari tarn 1871 ing wancijam 12 dalu, lampah kula saking Banyuwangi mangetan.(PTB, him. 1)
'Pada hari Senin, tanggal 31 Januari 1871, pukul 12 malam, peijalanan saya dari Banyuwangi ke arah timur.'
RadenArya Darma Brata mangkat saking nagari Betawi amarengi ing dinten SelasaPaing tanggal kaping 17, wulan Besar, taun Be,angka 1800, utawi tanggal kaping 27, wulan Pebruari, taun 1872, wandjam nem enjing mangkat saking griya.(TNP, him. 5)
'Raden Arya Darma Brata berangkat dari Betawi bertepatan dengan hari Selasa Pahing, tanggal 17,bulan Besar,tahun Be,1800,atau tanggal 27Februari 1872,pukulenam pagi berangkat dari rumah.'
Nalika samanten pinuju dinten Sahtu Wage, tanggal kaping 9 Rejeb, taun Alip, angkaning warsa 1843, utawi kaping 14 Juni 1913, wand enjing jam 7, kula tuwin sadherekA kula sampun dumugi ing imbanging palabuhan Semarang,amargi,..jam 8 enjing ing dinten kasebut ing nginggil wau, kula katamtokaken sampuna ing baita. (KSDDW,him. 2)
'Waktu itu hari Sabtu Wage,tanggal 9 Rajab, tahun Alip, 1834, atau tanggal 14 Juni 1913,pukul 7 pagi,saya dari sejumlah saudara saya yang akan mengantarkaji kepergian saya sudah tiba di tepi pelabuhan Semarang,sebab... pukul 8 pagi pada hari tersebut di atas, saya diharuskan sudah berada di kapal.'
Nuju ing mangsa katiga benteripun sumelet; ing dinten wau nuju tanggal kaping 10 wulan Apriling taun 1903sinangkalan guna sirna anrusing tunggal;ing wandjamcelO siyang kula bidhal saking griya dhateng setasiyun ing Balapan (Sola).(KLDPP,him. 1)
'Pada musim kemarau panasnya luar biasa; pada hari itu bertepatan dengan tanggal 10 April 1903 dengari sengkalan manfaat lenyap merasuk jadi satu; pada pukul 10 siang saya berangkat dari rumah ke stasiun Balapan (Sala).'
Selain gaya itu, telah disebutkan di muka (lihat 3.1) bahwa kisah peijalanan yang diteliti dituturkan secara jumalistik sehingga hal-hal yang diketengahkan bersifat objektif. Gaya itu merupakan ciri tertentu pada karya-karya tersebut yang membedakannya dengan ciri karya-karya (fiksi) yang lain. Gaya cerita yang jumalistik itu tampak pada contoh-contoh yang telah disajikan. Contoh lain yang menceritakan keadaan rumah di Padang dan keadaan pemakaian bahasa di Betawi dikutipkan di bawah ini.
64
Amming caranipun ing nagari Padhang punika griyaitipm sami panggmgan. Samangsa wonten tamu inggih lajeng kaajak minggah dhateng panggung. Dados kula wau inggih lajeng kabekta minggah dhateng panggung,Samilenggah satata, tumunten mbagekaken kawilujengan (TNP,him. 12)
'Hanya sajarumah dt Padang itu dibuat di atas panggung.Jika ada tamu lalu diajak n^k ke panggung. Jadi, sata tadi juga diajak naik ke panggung. Semua duduk lalu mengucapkan selamat datang.'
Betawi punika kenging kawastanan nyaleneh piyambak, dene tiyangipun ing ngriku bangsa Melayu sarta sapriki taksih ngangge basanipun piyambak, sanadyan pintenpinten atus taun pamanggenipuning tanahJawisarta turun-maturun inggih carub war . kaliyan tiyang siti ing ngriku.(KSDDW,him. 43) 'Betawi im bbleh dikatakan aneh penduduknya orang-orang Melayu dan hingga sfkarang masibmenggunakan bahasanya sendiri, meskipun sudah ratusan tahun tinggal di tanah Jawa serta turun-temuran berbaur dengan orang-orang asli di situ.
4.2 Struktur Babad
4.2.1 Tema dan Masalah
Genre babad yang terdapat di dalam sastra Jawa periode akhir abad XlX-1920 ada tiga naskah, yaitu Serat Kulapratama(SKP),Serat Biwadaraja (SB), dw Serat Wedamadiyo (Swd). Sastra babad adalah termasuk sastra sejarah. Dengan demikian,isi yang terkandung di dalamnya memuat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa silam. Tema dalam cerita babad dapat dikatakan tema sosial karena isi yang terkandung didalamnya mengetengahkanbeberapaperistiwa yang berkaitan
dengan peristiwa sejarah. Serat Wedamadea (SWd) menceritakan pelaksanaan upacara dan pesta ulang tahun ke-33 Pakubuwana X.Pelaksanaannya secara meriah dan dihadiri oleh para pejabat,seperti Gubemur Jenderal Beland^ para kerabat Mangkunegaraan Surakarta, dan Pakualam beserta kerabat dari Yogyakarta.
Tema sosial yang terdapat dalam Serat Kulaprama (SKp) menyoroti masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia. Raja Kartasura -telah berani mengingkari janjinya. Sebagai Seorang raja, sikap memegang
janji adalah suatu hal yang haras dipegangteguh. Oleh karena itu,timbullah pemberontakan untukmenuntutkeadilan dan kebenaran. Usaha pemberontfllfari itu temyata didukung oleh sebagian besar rakyat, prajurit, dan punggawa kerajaan.
65
dengan Hubungan antarmanusia juga terdapat di dalam Semt Biwadaraja (SB). NaSkah cerita itu mengisahkari hubiihgan baik antara raja Surakarta, Pakubuwana IX dengan Gubemur Jenderal Belanda. Hubungan baik itu tercermin dalam sikap mereka yang saling menukar hadiah dan kenangkenangan. 4.2.2 Alur
Dari segi waktu dapat dikatakan beralur lurus dan disampaikan secara
naratif. Cerita disampa^an secara laonologis dari suatu peristiwa ke peristiwa berikutnya.
Dalam Seraj Kulaparma (SKp), kelurusan alur itu tampak pada keurutan,cerita yang teratur dan saling berkaitan antara salah satu cerita dan cerita berikutnya. Misalnya, cerita dimulai dari sikap Raja Kartasura yang
mengingkan janjinya. Peristiwa itu menyebabkan timbulnya rasa tidak senang di k^angan istana dan masyarakat karena sikap semacam itu tidak sesuai dengan konverisi yang sedang. berlaku. Akibatnya adalah bahwa
muncullahi pemberontakan yang dipimpin oleh keluarga kerajaan sendiri. Kemudian timbalnya pemberontakan itu mengharuskan raja untuk meminta bantuan pada Kumpeni Belanda; dan akhirhya pemberontakan dapat diatasi.
Dalam,
Wedamadea (SWd), alur yang terdapat di dalamnya
tampak sangat sederhana karena ceritajtu hanya mengisahkan pelaksanaan
upacara atau pesta ulang tahun PakubuwanaX.Dalam keramaian pesta itu,
tiba-tiba tepadi peristiwa yang mengejutkan, yakni Kangjeng Ratu Timur meninggal dunia.
Alur luras yang teijadi dalam SeratBiwadaraja(SB)hanya menggambarkan peristiwa secara sekilas. Peristiwa itu juga untuk memperingati peiiobatan PakubuwanaIX yang kedua puluh lima.Penobatan itu didatangi juga oleh Gubemur Jenderal Belanda. 4.2.3 Tokoh dan Penokohan
Ditinjau dari segi status sosial tokoh,tokoh-tokoh dalam sastra babad sebagianbesarberstatus sosial tinggiataukelasatas, misalnya iaja,adipati, sang pangeran, dan tumenggung.
66
D^am Serat Wedamadia(SWd)dan Serat Biwadaraja (SB), tokoh-
tokoh yang ditampilkannya itu semuanya berkelas sdsial tinggt. Misalnya, Pakubuwana DC,Pakubuwana X,Gubemur Jenderal Belandaj Mangkune-
gara; dan Pakualama, Mereka dapat dikatakan berkelas sosial tinggi karena termasuk golongan bangsawan atau raja. Di samping itu, juga terdapat tokoh-tokoh berkelas sosial menengah. Tokoh-tokoh yang termasuk kelas sosial menengah terdapat dalam Serat Kulapratama (SKp). Tokoh-tokoh itu adalah Irawongsa, Kyai Ajar Dhomas, Eyang Sinuhun Lawa, Kuda Amongraga.
Dalam cerita babad, tokoh-tokoh yang ditampilkannya adalah tokoh
yang ada dalam cerita sejarah, bahkan nama-nama tokoh itu masih dipakai secara turun-temurun sampai sekarang. Nama-nama tokdh itu adalah Pakubuwana, Mangkunegara, dan Pakudama. Dalam sastra babad, namahama tokoh fiksi sulit untuk diidentifikasi kaireria nama-riama tokoh itu
sudah diyakini benar keberadaanrtya.
.
-
Ditinjau dari segi jenisnya, tokoh-tokoh dalam babad dapat dikategorikan menjadi tokoh utamadan tokoh bawahan.Tokoh utania dalamSB dan
SWdadal^PakubuwanaDCdanPakubuwanaX; sedtrngkan tokoh bawahannya adalah Gubemur Jenderal Belanda, Mangkunegara, dan Pakualaman. Dalam SKp, tokoh utamanya adal^ Raden Mas Said atau Mangku negara I. Beliaulah yang memelopori munculnya pemberbntakan terhadap Pakubuwana II atau Raja Kartasura. Tokoh pembantu dalam cerita itu
adalah Raden Sutawijaya atau Rangga Panambanganj Pakubuwana II, Kumpeni Belanda, dan para prajurit;
Dilihat dari segi teknik penampilan tokoh, pehcitraan tokoh dalam babad menggunakan teknik analitik dan dramatik atau pencitraan tokoh secara langsung dan tidak langsung.
Teknik penokohan analitik terdapat dalam kutipan berikut. Kaia semanten Raden Mas Suryakusuma kqdxilaa serving panggalildpm dhateng
ingkang sinuhun,... anggenipun keras ambalefa amqrgi mboten kiyat ningali kahanan ingkang mboten adil.... (hal. 9) 'Pada waktu itu Raden Mas SuryakusumaJjenci terhadap Sang Raja,...ia memberontak sebab tidak tahan melihat keadaan yang tidak adil'.
Teknik penokohan dramatik terlihat seperti kutipan berikut., Bandara, sarehning sampun ietela ingkang sinuhun anyidranijangji, boten tetep pangandikanipun, sumanggasamingramankemawon :.;. {hii. 7)'.
67
'Tuan,karena sudah jelas bahwa Sang Raja ingkarjanjii tidak tetap bidaranya,rtiarilah kita bersama-sama mfeniberontak saja, 4.2.4Latar
Latar dalam cerita babad meliputi,latar waktu, latar tempat, dan latar sosial budaya. Latar waktu dan latar tempat tampak sangat beragam d^ mengacu pada waktu dan tempat yang konkret dan nyata. Keberagaman latar di dalam babad itu, misalnya, mengacu pada nama tempat yang benarbenar ada di dalam alam nyata, misalnya,nama Kota Surakarta,Yogyakarta, Wanagiri, dan' Nglaroh. Latar waktu juga mengacu pada waktu-waktu tertentu, misalnya, hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Robingulawal, tmun Jimakir, dan Windu Sancaya, Untuk lebih jelasnya, berikut kutipannya. •••> jengkar saking nagari Kartftsura, marengi dinten Rebo Kliwon, tanggal kapng 3, wulanRabingulawal,tahimJimakir, WinduSengara,sinengkalanNgrasaRatungyoyak jdgad(]666)bidalsakingnagriwncitengahdalu(hsi.9). 'Berangkat dari negara Kartasura hari Rabu Kliwon, tanggal 3 Rabingulawal, tahun Jimakir, Windu Sengara, dengan sengkalan Ngrasa Retu ngoyak jagad, angka tahun 1666. Berangkat dari negara pada waktu tengah maiam'.
Negara K^asura,bari R^buJCliwonj.tanggalS, bulan Rabingulawal, tahun Jimakir, dan wipdu Sepgara adalah naipa-nama yang mengacu.pada
latar waktp dan latar tenipat yang kpnkiet, Latar waktu laipnya yang
terdapat di dalam babad adalah waktu tengah malam; hariAht^Legi, waktu ayam jantan berkpkok, waktu mptahaii, akm terbenam, tengah malam, sesudah isya, dan fajar menyingsing. , , , . Di dalam bab^d juga terdapatlatar waktu secra abstrak seperti sawijining dina 'suatu hari', kala jemawten 'ketika itu:', dan pirang-pirang dina 'beberapa hari', seperti kutipan berikut. . Kala semanten Raden Mas Suryakusuma kabekta seriking patiggalihipun dhateng ingkang sinuhun (bal. 9).
'Ketika itu Raden Mas Sury^usuma terbawa rasa benci terhadap Sang Raja'.
Latar waktu dengan penanda ungkapan seperti di atas merupakan latar waktu tradisional. Hal itu merupakan hal yang wajar karena spstra babad sebagian besar ditulis dengan konvensitradisional.
Latar lain yang berkaitan dengan latar waktii adalah latar tempat.Latar tempat yang terdapat dalam SKp,SW,dan SB mengacu pada latar kerajaan.
6a
Kerajaan ICartasura. Di samping lat^ tempat kerajaan,juga terdapat namanama kota,desa,tempat-tempat lain seperti Betawi, Nglaroh, Nguter,Sala, Surakarta, Gunung Lawu, Gunung Mengadeg, hutan, Tanah Sokawati, TanahPajang, desaGedawan, dan desa Tunis. Nama-nama kota dan desa itu adalah tempat-tempat yang pemah disinggahi oleh tokoh utama
(R.M.Sahid)di kala menyiisun siasat dMam peperangan melawan Sinuhun Kartasufa.
Latar lain yaaig terdapat dalam cerita babad adaiah latar sosial budaya yang sebagian sudah tercermin dalam ungkapan di atas. Misalnya, dalam ketiga cerita babad tercermin adanya latar sosial kelas atas,yakniPakubuwana rx, Pakubuwana X, Sunan Kartasura, Pakualam, Mangkunegara, dan
Gubernur Jenderal Belanda. Di samping itu, terdapatjuga latar sosial kelas menengah seperti yang diwakili oleh Kyai Ngabehi Rangga Panambangan, Irawongsa, Kyai Ajar Dhomas,Eyang Sinuhun Lawa, Nyai Tumenggung, dan Kuda Amongraga. Nama-nama tokoh yang mewakili latar sosial kelas menengah bany^ didominasi oleh para prajurit kerajaan. 4.2.5 Judul
Dua dari tiga judul cerita babad yang diteliti, ditetapkan bahwa judul selalu berkaitan dengan tema Cerita. Judul itu adalah SB dan SKp. Judul Serat Biwddaraja (SB) mengisyarafkan padti tema cerita. Kata biwada berarti 'perighormatan' dan raja berarti 'raja'. Jadi, biwadaraja berarti penghormatan terhadap raja. Makna dm kedua kata itu sejalan dengan tema atau isi cerita yang terkandung dalam SB, yaitu penghormatan dari para kerabat dan sahabat Sunan Pakubuwana DC pada dirinya ketika hari ulang tahun penobatannya yang kedua puluh lima. Judul Serat Kulapratama (SKp)juga berkaitan dengan tema cerita, yaitu makna dari kata-kata itu sesuai dengan tema cerita. Kata ku/a berarti 'darah', 'turunan', dan kata pratama berarti 'yang pertama' dan 'yang terbaik'. Jady kulapratama berarti keturunan yang pertama. Makna kata itu sesuai dengan keberadaan tokoh R.M.Sahid bahwa iajuga masih termasuk keturunan pertama dari Raja Mataram. Dengan demikian, ia menuntut untuk menjadi raja seperti halnyaSinuhun PakubuwanaI.Usahaitu didukung oleh sebagian prajurit dan punggawa kerajaan. Judul Serat Wedamadiya(SW)berkaitan dengan amanat atau maksud karyaatu ditulis, yaitu agar buku itu dijadikan bahan bacaan. Kata weda
69
beraiti 'pengetahuan' dan kata naadiya berarti 'sedang'. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Wedamadiya mi ditulis untiik dijadikan bacaan yang berisi pengetahuan yang baik untuk diketahui. Hal itu sesuai
dengan isi yang terkandung di dalam serta tersebut, yaitu pelaksanaan upacra atau pesta ulang tahun ke-33 Pakubuwana X. Perayaan itu dilaksanakan secara meriah.
4.2.6. Sudut Pandang
Cerita babad yang terdapat di dalam sastra Jawa periode akhir abad XIX-1920 semuanya menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dalam menyampaikan ceiitanya, pengarang dengan bebas di dalam memberikan
penilaian terhadap tokoh-tokohnya. Dengan kata lain, penutur berperan atau beifungsisebagaidalangsehingga dengan leluasa penutur memainkan peranannya dalam cerita-cerita tersebut, Dengan kiat-kiatnya, penutur mengekspresikan kemampuan dan pengalamannya sehingga melahirkan
suatu penilaian terhadap pemikiran dan perasaan tokoh. Misalnya, penutur menjelaskan ketidakadilan raja lewiat penuturan tokoh lain seperti kutipan berikut.
..
Bandara, sarehning sampun tetela ingkang sinuhun anyidranijangji, boten tetep pangandikanipun, sumangga sami ngraman Kemawpn,...(hal. 7).
'Tuan, karena sudah jelas bahwa Sang Raja ingkar janji, tidak dapat dipiercaya bicaranya, marilah kita bersama-sama memberontak saja, 4.2.7 Gaya Bahasa
Dilihat dari ragam bahasa yang dipakai, cerita babad disampaikan dalam dua ragam, yaitu ragam krama dan ngoko. Ragam bahasa ngoko terdapat dalam Serat Biwadaraja (SB) dan Serat Wedamadia (SWd); sedangkan ragam bahasa krama terdapat dalam SKp. Dialog antartokoh menggunakan ragam ngoko dm krama sesuai dengan status masing-masing tokoh. Contoh ragam krama terdapat dalam Serat Kulapratama (SKp), sebagai berikut;
Kola semanten Raden Mas Suryakusuma kabekta seriking panggalihipun dhateng ingkang sinuhun.... anggehipun kersa ambalela,.... Jengkar saking nagari Kartasura marengi dinten Rebo Kaliwon, tanggal kaping 3, wulan Rabingulawal....(hal. 9) 'Ketika itu, Raden Mas Suryakusuma bend terhadap sang Raja...,ia bermaksud untuk memberontak,.... Berangkat dari Kartasura bertepatan hari Rabu Kliwon, tanggal 3, bulan Rabingulawal....'
70
4.2.8 Gaya Ceritav
Cerita Wedantadia dan Serat Biwadarja disampailcan Hal^m htnXak tembang macapaf; sedangkan Serat Kulapratama ditulis dalam bentuk prosa. Ketigacerita itu disampaikan secaraobjektifdan realistik. Hal itu sejalan dengan tujuan penulisan sastra babaidi yaitu untuk merekam suatu peristiwa yang teqadi pada masa silam. 4.3. Struktur Roman Sejarah 4.3.1 Tema dan masalah
Gerita yatog berupa reman sejarah pada kurun waktu akhir abad
ker19-tahun 1920sejumlah dua buah.Tema dalam romah s6jarah berkaitan dengan masalah moral atau hubungaiii antarmanusia. Secara spesifik, terria itu berkaitan dengan penghargahn sb^eorang terhadap orang lain (dalam KP)dan pentingnya sikap kesetiaan dakm Hubungan su^i-istri. Masalah dalam Karaton Pawdn ItU tercermin dalam hubungan tokoh
Raden Bangsal atau Jaka' Budhug dengan Raja Majap^it. Semula Raja Majapahit seakan-atkan meriemehkah kemampuan Jaka Budhug dalam mengobati sakit putrinya. Keraguan itu disebabkan oleh kondisi fisik Raden
Bangsal atau Jaka Budhug yang mehderita penyakit kulit. Keraguan Raja Majapahit itu dapat dihapuskan setelah Jaka Budhug mampu menyembuhkan putrinya. Cerita itu mengangkat tema moral yang dapat dimmuskan bahwa menghargai manusia itti tidak perlu meihandang kondisi orang tersebut dan meremehkan orang lain mempakan ketidakbenaran.
Masalah dalam Serat Djajaprana {SD) dieksplisitkan melalui sikap Layonsari selaku istri yang memiliki kesetiaan terhadap suaminya. Oleh sebab im, keserakahan Bupati Buleleng untuk merampas Layonsari, yang telah menjadi istri Jayapraha merupakan tindak kejahatan. Upaya Bupati Buleleng untuk memilikiLayonsari itu direncanakan secara selubung. Akan tetapi, tindakan itu terbongkar juga. Sebagai istri y^g memiliki kesetiaan yang tinggi, Layonsari tetap menolak untuk menjadi istri Bupati Buleleng
itu. Layonsari tetap setia kepada Jayaprana walaupun Jayaprana tel^ meninggal Imrena Jayaprana dibunuh oleh utusan Bupati Buleleng.la tidak
menaruh rasa curiga terhadap perintah Sang Bupati. Akhimya, Layonsari bunuh diri demi cintanya kepada Jayaprana.
71
4.3.2 Alur jalur
lurus atau progesif; Namun, peristiwa diceritakan dengan melonc^t-loncat
karena setiap bercerita satu bab atau masalah ditulis dalam bab tersendiri.
Cerita Karaton Pdwon terdiri atas sepuluh bab yang isinya sebagai berikut. Sebelum bab demi bab dimulai,diberi suatu pembukaan atau pengantar oleh pengarangnya. Bab I bercerita tentang keberadaan Raden Bangsal yang
meninggalkan istana pergi ke tengah hutan. Akhimya,ia hidup menderita di dalam hutan. Bab 11 menceritakan keadaan Kraton Powan yang subur makmur. Rakyat hidup dehgan teiitram, aman,dan damai karena raja yang sangat arif dan bijaksana. Setelah raja meninggal, diganti oleh putranya. Raja kedua itu pun sangat baik dan bijaksana. Raja mempunyai dua orang patih, yakni Patih Jaladara dan Patih Keborejeng yang tuli.Pada saat tentara Majapahit datang untuk menarik pajak dilawannya dengan sekuat tenaga sehingga mereka lari kocar-kaeir. Mulai saat itulah Powan disebut kraton.
Deskripsi tentang keindahan kraton diceritakan dengan panjang lebar. Bahkan, peijalanan-peijalahan raja pun diceritakan dengan mendetail. Demikian juga diceritakan petamanan yang sangat indah membuat mereka
(rakyat dan rajanya) rnenjadi senang. Pada suatu saat tumbiihlah pohon pisaiig yang berbunga cindhe. Peristiwa itu merupak^ lambang. Oleh
karena itu, Raja selalu ingin mengetahiii apa yang ^an terjadi. Bab in menceritakan keadaan petamanan yang kekurangan air se hingga pohon pisang yang berbunga cindhe itu menjadilayu.Raja menyuruh rakyat untuk membuat sungai menujii ke petamanan. Namun,pembenahan
sungai terhalang oleh batu yang sangat besar. Raja telah mengadakan sayembara, yakni barang siapa y^g dapat memindah batu itu akan diambil
menantu,dinikahkan dengan putrinya.Semua orang tidak ada yang sanggup. Bab IV menceritakan keadaan Jaka Bangsal yMg berada di dalam hutan.Ia hidup sengsara karena penyakit yang dideritanya.Pada suatu pagi,
ia ke luar dari hutan dan melihat brang-orang pergi ke arah barat, Orangorang itu setelah ditanya ihenjawab akan pergi ke kota. Ia menjadi heran
karena mendengar sebutan kota itu. Oleh karena sjakit, ia tidak dapat melanju&an perjalanan.Dalam keadaan lemas,ia tertidur dan ditolong oleh seorangjanda yang beniamal^ok Randha Dhaddhapan. Karena tubuhnya penuh budhug, ia disebut Jaka Budhug. Jaka Budhug disuruh mengikuti sayembara.Ia bisa liienang,Mu akan dinikahkan dengan anak Raja Powan.
72
Karena Patih Keborejeng tuli,Jaka Budhug haras dibunuh oleh Keborej^ng. Mayat Jaka Budhug itu tidak dapat dikubur karena selau lebih panjang daripadaliang kubumya.la bersedia dikubur as^ bersaina putri Sang Raja. Akhimya,Sang Putri dibunuh dan dikubur bers^a Jaka Budhug. Terdengarlah d^ Majapahit bahwa ada seorang yang dibunuh. Sang
Raja Majapahit menduga bahwa yang dibunuh itu adalah Raden Bangsal yang selarna ini dicarinya.Sang Raja mengirimkan prajurit ke Powan untuk rnenyerangnya. Kraton Powan tjdak bisa nienahan serangan Majapahit sehingga hancur. Kuburan itu dibongk^ dan temyata mayat itu adalah Raden Bangsal yang dicari oleh pih^ Majapahit selama ini. SeratDjajaprana menggunakan teknikpengduran progresifatau teknik
alur maju. Peristiwa disusun dari awal sampai akhir secara kronologis. Ddam cerita ini,konflik yang dialami oleh tokoh utama,Jayaprana,berasal
dari sikap Bupati Buleleng yang bermaksud memperistri Layonsari, istri Jayaprana Kemudian, Bupati itu berasaha untuk melenyapkan Jayaprana sebagai pembuka j^an untuk mencapai maksudnya. Usaha itu berhasil Hiialfsanakan berkat bantuan seorang pegawai kabupaten yang memang
telah menarah kebencian terhadap Jayaprana. Jayaprana pun dibunuh oleh
Sawunggaling atas perintah Sang Bupati. Akan tetapi,Layonsari rela bunuh diridan menolak untuk melayani Bupati itu.Dalamhalini,SeratDjajaprana
menampilkan konflik fisik, yakni berapa pembunuhan Jayaprana atas kehendakBupatiBulelengyang sebelumnyasangatsayangkepada Jayaprana. Cerita itii diakhiri dengan teknik alur tertutup, yakni cerita berakhir pada
penyelesaian. Namun,cerita itu diselesaikan secara tragis yang disebabkan Cerita itu disebut tragis sebab banyak tokbh meninggal secara memilukan, seperti kematian Layonsari dan Jayapraiia. 4.2.3 Tokoh dan Penokohan
Tokoh yang terdapat di dalani Kraton Powan adalah Raden Bangsal atau Jaka Budhug, Raja Powan, Patih Jaladara, Bok Randha Dhadhapan, Raja Brawijaya, dan sebagainya.
Raden Bangsal adalah putra raja Majapahit. la termasuk anak yang pandai dan tampan.la menolak ketika disurah menik^ oleh orang tuanya. Bahkan,ia meninggaUcan istana dan pergi ke tengah hutan.la segera masuk ke hutan agar tidak dapat dikejar oleh tentara kerajaan. Informasi bahwa Raden Bangsal itu masih keturanan Raja Majapahit adalah sebagai berikut.
73
Kacariyos salah satunggaling putranipun Sang Prabu Brawijaya ing Majapahit apeparab Raden Bangsal. Punika boten kocap wofiten ing serat bdbad Tanah Jawi.
Kinten-kihtenpatutan sdktng garwadmpeyan. Turnraping seratpunika,Raden Bangsal wau dados bakuning lelampahan .... (him. 7).
Tercerita salah seorang putra Sang Prabu Brawijaya di Majapahit bemama Raden
Bangsal. Hal ini tidak tercerita di serat babad Tanah Jawi. Kira-kira hasil perkawinan dengan gundiknya: dalam cerita ini Raden Bangsal merijadi pokok cerita....'
Tokoh yang lain adalah Raja Powaii, tetapi namanya tidak disebutkan secara eksplisit. la adalah raja yang bijaksana, adil, dan jujur. Raja dibantu oleh dua orang patih,ialah Patih Keborejeng di Ngrejeng dan Patih Jaladara
dnggal di sebelah timur Powan. Desknpsi tentang kebaikan dan kehidupan Raja Powan itu sebagai berikut.
Ratu ing Powan miyos sakedhap dhateng pdtamanan kebon Agung, kanthi ingkang garwa sarta putra satunggal taksih kenya. Titiyangipun samianggarubyuk tindakipun,
women ing patamanan lajeng sami suka parisuka, saweneh women ingkang sami ambubujeng kewan alit-alit ing pagrumbulan, saweneh sami sasadeyan saweneh namung garubyug-garubyug ngantos redi alit ing satengahing patamanan wau kados
awoh manusa, makaten punika ngantos dumugi saseraping surya. Ratu Powan lajeng kondur angadhaton, sadaya tiyang sami andherekaken dumugiPowan (hlm^ 13).
'Ratu Powan ke luar sebentar ke taman Kebon Agung bersama ariak dan istrinya. Orangnya beijalan dengan berderap, ada di taman lalu bersuka ria, ada lagi yang membuni hewan kecil-kecil di semak, ada lagi yahg beijualan, ada lagi yang hanya ramai-ramai seperti guiiung kecil yang di tengah tamannya seperti berbuah manusia.
Hal seperti itu sampai petang hari. Ratu Powan lalu pulang ke istana,semua orang mengantarkan sampai Powan'.
Randha Dhadhapan sebagai tokoh yang memiliki keandilan terhadap tokoh utama. Bok Randha Dhadhapan itu merupakan citra tokoh yang suka menolong sesama makhluk. la menolong Jaka Budhug tanpa pamrih. Anaknya yang bemarna Yahuda dan Yahudi sebenamya kurang setuju de ngan perbuatan ibunya itu. Akhimya, keduanya menyadari pula bahwa orang hidup itu hendaknya saling menolong sesama. Pribadi Bok Randha
Dhadhapan yang memiliki jiwa sosial yang tinggi itu dapat diketahui dari kutipan sebagai berikut.
Kacariyos women randhasampun sepuh, mantuksakingpeken sumerep tiyang ngalemprek women pinggir margi sangandhaping plasa, badanipun bibrah memper kere, nanging katawis ing semua trahing ngawirya. Bok Randha wau amaspadakaken. wasana kaget mireng panglmduripun jaka wau. Bok Randha kamiwelasen lajeng andhodhok anenggani, sedyanipun atutulimg ingkang sangsara(him. 24).
74
*Tcrcerita adajandasudah tua, pulang dari pasaTt mclihatorang tidak berdayadi pinggir jalan di bawah pohon Plasa, badannya seperti pengemis, tetapi terlihat di wajahnya bahwa dia ketumnan bangsawan. Bok Randha tadi itii^niperhatikan, akhimya terkejut
mcndengar igauan peijaka tadi. Bok Randha belas kasihan lalu jongkok menunggui, tujuannya akan menolong orang yang sengsara*.
Serat Djajaprana menampilkan tokoh Jayaprana, Bupati Buldeng, Layonsari, Sawunggaling, Bandesa, wanita tua, dan beberapa pejabat kabupaten.Tokoh protagonis dalam cerita ini adalah Jayaprana,sedangkan tokoh antagonis adalah Bupati Buleleng.
Pada mulanya Jayaprana merupakan rakyat jelata yang diambil anak angkat oleh Bupati Buleleng. Dalam hal ini, teijadi perubahan status sosial pada diri tokoh Jayaprana. Akan tetapi, secara garis besar atau dominan, Serat Djajaprana menampilkan tokoh dari strata sosial kelas priyayi, yakni
pegawai Kabupaten Buleleng. Namun,beberapa tokoh sebelumnyaberasal dari masyarakat biasa,seperti Jayaprana dan Layonsari. Kedua tokoh cerita itu berasal dari desa dan orang biasa.
Penokohan dalam Serat Djajaprana cenderung bersifat tradisional. Ciri ketradisionalan itu terlihat pada cara pengarang yang menyampaikan
watak, kondisi fisik, dan perilaku tokoh secara panjang lebar pada awal cerita. Dalam hal ini, pengarang menceritakan keadaan Jayaprana secara
panjang lebar dan berkesan menjemukan.Hal itu dapat dilihat pada halaman ke-2, yang berupa teknik analitik terhadap kondisi Jayaprana, sebagai berikut.
Jayaprana puniku dedeg piyadege pidegsa, radi bagus amberanyak, pakuUtane semu jene, twnrap ipun Kdlianget inggih sampun pnilih. Ing salebetipun ngabdi Jayaprana tansah dinaup namarentah ing nagari, taberi ing darnel, merdi kasusastran Bali, mila inggih memper mawon dipuntresnani ingkang Bupati, kaanggep ngawulanipun, ngalangkungi abdi sadaya {h\m. 2).
'Jayaprana itu sosok tubuhnya tinggi dan besamya seimbang, agak tampan dan mendongak,kulitnya agak kuningi kalau di Kalianget sudah menjadi pilihan. Di dalam
pengabdiannya Jayaprana selalu dijadik^ mitra kerja pemerintah di negara, rajin bekeija, memelihara kesusastraan Bali, oleh karena itu dia dicintai Bupati, dianggap saudaranya, melebihi semua abdi'.
Berdasarkan teknik yang digunakan pengarang dalam penokohan, Serat Djajaprana tergolong cerita yang memakai teknik penokohan analitik atau
perwat^an secara langsung. Bahkan, keserakahan Sang Bupati Buleleng pun lebih banyak diungkapkan dengan cara langsung(hal ini ada kaitannya dengan teknik penceritaan sebagai gaya orang ketiga tidak sertaan).
75
4^4X2atar
se^rti Lepen Sa^r, Gunung Lawu,' Karisidenan Surakaita, Kc^ajaan
Majapahit, Distrik Ngrambe, dan Kabupaten Ngawi. Adanya latar tempat yang bersifat realistis itu seperti deskripsi sebagai berikut. Ing urutipm lepen Sawur, wates karisidenan surakarta kaliyan Madiun, celak kaliyan sukunipun redi Lawu wontendhusun anamaPowdn.Karen ing kadhistrikan Ngrambe, Kabupaten Ngawi(him. 3).
'Di sepanjang sungai Sawur,perbatasan karesidenan Surakarta dengan Madiuui dekat dengan kaki gunung Lawu ada desa bemama Powan. Di bawah distrik Ngrambe, kabupaten Ngawi'.
Centos kacariyos ing karaton Powan ingkang jumeneng nata taksih nem-neman, sinuyudan saha kinajrihan'dening kawulariipun....(him. 10)
'Tercerita di kraton Powan yang menjadi raja masih muda,dihormati dan ditakuti oleh r^yatnya....'
Latar waktu yang terdapat di dalam Karaton Powan adalah tnerujuk pada zaman Kerajaan Majapahit ketika pemerintahan Raja Brawijaya. Bukti bahwa cierita di dalam Karaton Powan berlatar masa pemerintahan Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut. Prabu Brawijaya ing Majapahitsakalangkungmisuwurasmanipun.Panjenenganipun kineringan sasamining ratu, para kawulanipun sami ajrih asih. Kacariyos salah
satunggaling. putranipufi Sang Prabu Brawijaya ing Majapahit apeparab Raden Bangsal. Punika mboten kocap wonten ing serat Bphad Tanah Jawi. Kiriten-kinten
patutansaking garwaampeyan 0HTH. S,i). . 'Prabu Brawijaya di Majaipahit Semakin terkenal naiiianya. Beliau disegani para raja, rakyatnya takut dan hormat. Tercerita salah satu putra Sang Prabu Brawijaya di Majapahit bemama Raden Bangsal. Beliau tidak tercerita di Serat Babad Tanah Jawi. Kira-kira putra dari gundiknya.'
Seperti telah dijelaskan pada bagi^ awal, S^rat Djajaprana msmpakan saduran dari karya puisi d£ui sastra Bali. Sehubungan dengan hal itu, latar atau tempat tetjadinya cerita terdiri atas daerah di Pulau Bali.Adapun latar tempat yang meniuijukkan sebuah tempat di Bali itu seperti Buleleng, Kalianget,Pulau Srima,Banjar,dan Iain-lain. Jadi,cerita teijadi di kawasan dan para pegawainya. Secara eksplisit, latar waktu tidak disebutkap dalam
cerita itu. Akan tetapi, karena Serat Djajaprana berupa cerita 4^enda, peristiwa itu sendm telah beriangsung lama; d^ cerita Serat Djajaprana
yang terfcit tahun 1919 itu merupakan karya yang menganjbil idess^ cerita lisan yang ada dalam masyarakat di Buleleng.
76
Kalau dilihat dari peristiwa dalam cerita itu, Serat Djajaprana menampilk^latarsuasana yang menghanik^dan atau memilukan,Ketragisan itu dapat diketahui pada,akhir cerita yang menjelaskan semua tokoh mengalaiG^kematian,dibunuh atau membunuh diri.Suasana tragis itu semakin
mendalam setelah peristiwa kematian Layonsari(akibat bunuh diri karena menolak kehendak Sang Bupati). Cerita itu diakhiri dengan deskripsi Kadari keserakahannya. Kematian Jayaprana seakan-akan sebagai awal muncultiya kegelapan di Kabupaten Buleleng. 4.2.5 Judul
Setelah melalui pembacaan atau pemahaman Serat Djajaprana, judul ini bertalian erat dengan tokoh utama dalam cerita tersebut. Judul sebagai nama tokoh dalam cerita setempat karena cerita Jayaprana itu sudah ada sebelum buku Serat Djajaprana itu ditulis oleh M. Nitisastra. Roman sejarah pada periode itu memakai judul yang memiliki kaitap dengan tokoh dan latar cerita. Cerita yang memiliki judul merujuk pada tokoh, dalam hal ini sebagai tokoh utama, adalah Jayaprana, yang merupakan teijemahan dari sastra Bali. Qleh sebab itu,judul yang berupa Serat Jayaprana 'Cerita Jayaprana' itu membayangkan cerita tentang kehidupan Jayaprana,Ceritajenis kedua,yakni cerita yang memilikijudul yang mengacu pada latar Karaton Powatt. Judul yang tertulis Karaton Powan itu menerangkan bahwa peristiwa yang terdapat dalam cerita itu terjadi di lingkungan Kerajaan Powan. 4.2.6 Sudut Pandang
Karaton Powan dikisahkan dengan sudut pandang orang ketiga. Pe-
ngarang mendeskripsikan tokoh secara langsung.Tentang latar tempatjuga dideskripsikan secara langsung. Pengarang juga menggunaJcan teknik penceritaan serta t^u. Pengarang juga menggunakan teknik penceritaan serba tahu. Pengarang di dalam mengekspresikan karyanya diterangkan secara berlebihan. Misalnya, periggambaran kekuasaan dan kewibawaan Kerajaan Majapahit. Titiyang alit waradin sand ayem-ayem dening boten kikiangan sandhang tedha. Ingkang dadospamanahipun amung amrih kuncaranipun tanahJawisaha misuwuripun asmdnipm Scmg I^abU(Jh\m:5),
77
'Orang kecil tentram semua karena tidak kekurangan makan dan pakaian.Yang menjadi pikirannya hanya terkenalnya Pulau Jawa dan termasyhumya nama Sang Prabu'.
Serat Djajaprana ditampilkan oleh pengarang dengan teknik pandang orang ketiga tidak sertaan serba tahu. Pengarang hanya berdiri di luar bangun cerita sebagai pencerita saja. Oleh karena itu, pengarang dapat mengisahkan perilaku tokoh-tokohnya sesuai yang dikehendakinya.Penga rang terkesan sebagai pencerita kedua sebab cerita tentang Jayaprana tersebut telah dikenal sebagai cerita lisan di Bali. 4.2.7 Gaya
Analisis gaya dibagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa dan gaya cerita. Kedua gaya itu, biasanya, dipakai penulis untuk membangun dan menghidupkan cerita.
Karaton Powan ini digubah dalam bentuk prosa. Pengarang menggunakan bahasa Jawa kratna sebagai pengantar, sedangkan dialog antartokoh menggunakan bahasa ragam krama dan ngoko sesuai dengan status tokoh yang berbicara. Raden Bangsal sampun dewasa. Karsanipun ingkang rama badhe kakramakaken. Hanging Raden Bangsal wangkot mboten purun anglampahi. Ingkang makaten punika nuwuhaken didcanipun Sang Prabu. Serenging pangandika ngantos kawiyos tembungipun panundhung dhateng ingkang putra(him. 7). 'Raden bangsal sudah dewasa. Kehendak ayahnya, dia akan dinikahkan, tetapi Raden Bangsal tidak mau. Hal ini membuat kemarahan Sang Prabu. Karena kemarahannya, Sang Prabu mengusir putranya'.
Di sini terdapat gaya personifikasi, contohnya sebagai berikut. Mendhungipun kupeng angeaki langit, semunipun kados badhe ngukup dhateng Sang Raja Putra.
'Awan itu memenuhi langit, kelihatannya akan mengambil putra raja itu'.
Cerita beijudul Serat Djajaprana memakai bahasa Jawa ragam krama. Dilihat dari bentuk karya, cerita ini berupa cerita prosa, berjumlah 64 halaman. Cerita inijuga banyak memakai ungkapan atau gaya bahasa Jawa yang bercorak klise. Gaya bahasa klise atau tradisional itu dipakai dalam menggambarkan kondisi fisik atau watak pelaku cerita secara berlebihan. Roman sejarah yang lain, yakni Karaton Powan,juga berbentuk cerita
prosa. Jalan ceritanya dibagi dalam beberapa bab. Jika diperhatikan gaya penceritaannya, cerita ini menggunakan gaya penceritaan realistik. Hal itu
78
juga berkaitan denan latar tempat yang bersifat nyata yakni peristiwa itu menyangkut kehidupan pembesar Kerajaan Majapahit. Demikian pula, cerita Serat Djajaprana bersifat tragis karena pelaku cerita dalam kisah tersebut mengalami nasib yang memilukan. Ketragisan itu, antara lain,
ditimbulkan oleh suasana yang mengiringi kematian Jayaprana dan Layonsari. Jayaprana meninggal akibat kecurangan Bupati Buleleng, sedangkan Layons^ meninggal akibat bunuh diri sebagai wujud kesetiaannya terhadap Jayaprana. Akhimya, Bupati Buleleng sendiri menderita sakit jiwa dan pemerintahannya menjadi kacau. Suasana kematian Layonsari itu dilukiskan secara memilukan, yakni disebutkan ahwa langit dan alam seakan ikut bersedih mengiringi kematian wanita itu. 4.4 Struktur Novel 4.4.1 Tema dan Masalah
Secara garis besar,tema novel atau protonovel Jawa periode 1875-1920 dapat dikelompokkan menjadi tema sosial, moral, pendidikan, dan percintaan. Tema-tema itu ada yang berhubungan dengan perampasan hak, perjuangan, perekonomian, kemasyarakatan, dan sebagainya. di samping itu, seluruh novel tersebut mengandung unsur pendidikan karena pada periode itu unsur nasihat selalu ada dalam karya sastra (lihat Damono, 1993:17). Novel atau protonovel yang bertemakan sosial adalah Serat Lelampahanipun Robinson Krusu (SLRK), Serat Kramaleya (SK), Serat Rangsang Tuban(SRT),Lelakone Amir(LA),dan Isin Ngaku Bapa(INB); yang bertemakan moral adalah Tjariyos Tilarso(TT)dan Margining Kautaman (MK); yang bertemakan pendidikan adalah Basiran-Basirun (BB), Lelampahanipun Sida (LS), Serat Gita-Gati (SGG), Serat Bares Kures
(SBK), dan Tig Lan Tor(TLX); serta yang bertemakan percintaan adalah Serat Lelampahanipun Sang Retna Suyati (SLRS), Tuhuning Katresnan (TK), dan Serat Riyanta (SR).
Dalam Serat Rangsang Tuban, misalnya, tampak bahwa masalah pe rampasan hak mewamai novel tersebut. Masalah itu merupakan akibat rasa dendam dan sikap egois para pelakunya. Rasa dan sikap yang demikian menyebabkan timbulnya kebencian dan ketidakadilan. Namun, ungkapan sapa gawe nganggo 'siapa berbuat menanggung akibat' atau siapa menanam mengetam dapat teijadi pada pelaku-pelakunya.Pelaku-pelaku yang bersifat dendam dan egios itu seluruhnya menanggung akibatnya. Mi salnya, Warsakusuma akhimya tewas atas perbuatannya karena merebut
79
istri Warihkusuma; Warihkusuma meiarikan diri setelah digempur Udakawimba yang pemah disia-siakannya; dan Udakawimba bertekuk lutut kepada Ratu Wayi karena menyengsarakan Warihkusuma. Penderitaan itu umunmya dapat menyadarkan para petaku tersebut sehingga menimbulkan ketabahan.
Penderitaan dan ketabahan pemah dialami pula oleh Robinson dalam Serat Lelampahipun Robinson Krusu dan Amir di dalam Lelakone Amir. Robinson, setelah terhindar dari musibah terbakar dan tenggelamnya kapal yang ditumpanginya,ia hidup sebatang kara disebuah pulau kecil.Meskipun menderita, Robinson dapat menyelamatkah orang yang akan dibunuh. Atas kebaikan hatinya, ia dapat kembali ke kampung halamannya. Penderitaan Amir di dalam Lelakone Amir adalah akibat disia-siakan
oleh ayah dan ibu tirinya. Oleh karena itu, ia pergi tanpa pamit. Ia diterima sebagai pekerja di perusahaan roti. Kemudian, ia ikut Tuan Cremer. Ia
dipeketjakan di perbengkelan, kemudian di toko. Berkat kecakapannya, ia diterima sebagai masinis di Nganjuk. Ia kemudian menikah dengan Raden Rara Subandiyah sehingga hidupnya berbahagia. Berbeda dengan kehidupan rumah tangga Amir dan istrinya yang berbahagia,tetapi kehidupan ramah tangga Kasanreja dalam SeratKramaleya penuh dengan kepalsuan. Ketika Kasanreja pergi ke Ponorogo, istri mudanya yang cantik itu berkencan dengan Jaka Samud,santrinya. Perbuatan serong itu secara tidak langsung direstui oleh Kyai Kramaleya yang memberikan obat antihamil. Namun, tidak lama kemudian terjadilah musibah yang menimpa Kramaleya. Rumah Kramaleya ludes dimakan api bersamaan dengan upacara bersih desa. Berdasarkan ilham yang diterimanya, musibah itu akibat perbuatannya. Selain itu, ia menerima ilham agar mencari candi di tenah hutan Cepak. Dengan bantuan masyarakat dan santrinya, candi itu ditemukan setelah hutan Cepak dibabat. Dari dalam sumur di tengah candi itu ditemukan bongkahan-bongkahan emas.Emas itu
kemudian dijualnya untuk membangun pesantren sehingga terciptalah perkampungan yang agamis di bekas hutan tersebut.
Situasi ramah tangga yang tidak berbahagia itu terdapat pula di dalam Isin Ngaku Bapa. Samun, anak Wangsawirya yang amat miskin, bersifat congkak setelah menjabat sebagai mantri. Akibat tidak mau mengakui orang tuanya, istrinya minta diceraikan. Akhimya, karena sakit, Samun meninggal dunia, sedangkan istrinya hidup berbahagia dengan suami yang bara.
80
Situasi rumah tangga yang menimbulkan kesetiaan istri terhadap suami terdapat di dalam Margeneng Kautamen. Berkat cinta dan setianya kepada Jayanagara, suaminya, Dyah Sulistya dalam keadaan mengandung rela dipenjarakan karena fitnah Kartapraja, patih suaminya, yang ingin mengawininya. Bahkan, kemudian Dyah Sulistya dan bayi yang baru saja dilahirkannya hidup di tengah hutan setelah algojo sumhan Kartapraja membebaskannya. Di tengah hutan itulah Dyah Sulistya memberikan ajaran moral terhadap anaknya, misalnya tentang kepedulian terhadap lingkungan (tumbuh-tumbuhan,binatang, dan benda-benda yang lain), berbakti kepada Tuhan, serta tabah menghadapi seala cobaan. Ketika wanita itu dipenja rakan, Jayanagara, suaminya, sedang mengemban tugas raja untuk meng hadapi musuh. Sepulang berperang, Jayanagara amat sedih atas hilangnya sang istri. la beserta prajurit dan kawulanya mencoba mengadakan pencarian, tetapi sia-sia. Setelah hampir putus asa, istri dan anaknya dapat ditemukan di tengah hutan dalam keadaan yang menyedihkan. Kebahagiaan pun terciptalah setelah Dyah Sulistya dan anaknya diboyong ke kadipaten. Ajaran moral terdapatjuga di dalam Tig Ian Tor. Tilarsa adalah seorang santri yang baik dari Yasarata. Setelah berguru ke Krapyak, ia bersama Sudarsa pergi ke Majenang dan Jombang. Sekembali ke Yasarata, mereka dipanggil sang Bupati. Mereka diminta sumbang sarannya tentang apa yang harus dilakukan sang Bupati. Sesudah itu, Sudarsa dinikahkan dengan putri sang bupati, sedangkan Tilarsa memilih sebagai abdi. Dengan demikian, tampak bahwa keinginan sudarsa adalah panguripan 'penghidupan' atau keduniaan, sedangkan keinginan Tilarsa adalah kauripan 'kehidupan' atau hakikat hidup, keakhiratan. Sudarsa adalah simbol cinta dunia dan Tilarsa adalah simbol cinta akhirat.
Apabila dalam SK dan TT disinggimg-singgung tentang (pendidikan) pesantren, dalam BB, LS, SGG, SBK, dan TLT diketengahkan tentang pentingnya menuntut ilmu di sekolah (umum). Basirun di dalam Basiran Basirun berhasil menempuh hidupnya karena ia tekun belajar. Keberhasilan Basirun itu tidak terlepas dari perhatian orang tuanya yang selalu menasihatinya. Sebaliknya, Basiran yang dibiarkan dan dimanjakan orang tu anya,akhimya ia menjadi gelandangan di tengah hutan karena ia lebih suka bermain judi dan bermabuk-mabukan. Berkat ketekunannya, Sida dalam Lampalianipun Sida lulus pula dalam ujian. Mula-mula ia gagal. Namun,ketika menjadi guru bantu,ia ber-
81
hasil memperoieh tanda lulus pada ujian berilcutnya. Setelah itu, ia diangkat menjadi guru.
Sugita juga berhasil menjadi pegawai negeri setelah dengan susah payah dapat menyelesaikan pendidikannya. Ia dapat bersekolah atas biaya majikannya.Setelah bekeija,ia menyunting Sugati yangjuga berpendidikan. Perkawinan itu juga merupakan bersatunya kembali Sugita dan Sugati karena keduanya merupakan saudara sepupu yang sudah lama berpisah dan tidak saling mengenal. Kepandaian Kayat menjawab segala persoalan dan pertanyaan yang
dihadapinya adalah berkat pengalamannya selama belajar. Segala persoalan tentang kehidupan, dan kadang-kadang hal-hal yang irasional, dapat dipecahkannya dengan mudah dan realistik. Kepandaian Kayat itu pun berkat perhatian orang tuanya yang selalu memperhatikan pendidikannya. Seperti di dalam Lampahanipun Sida, Tig dan Tor di dalam Tig Ian Tor dapat lulus ujian berkat ketekunanannya. Tig memang lebih dahulu lulus ujian guru karena kecerdasannya. Setelah lulus,ia diangkat menjadi guru di sebuah kota. Tor pun berhasil meraih tanda lulus dua tahun kemudian. Keberhasilan Tor itu dilandasi oleh kesungguhannya dalam berusaha meskipun kecerdasannya jauh di bawah Tig. Sesudah lulus. Tor diangkat menjadi guru pula. Dalam Margining Kautaman, masalah cinta dapat menimbulkan kesetiaan yang luar biasa. Masalah cinta terdapat pula dalam SLRS,TK,dan SR. Dalam SLRS, masalah cinta tidak dapat ditawar-tawar. Retna Suyati yang sudah menjalin cinta dengan Supingi meskipun ia sudah diperistri Raja Abdulmajid, tidak dapat melupakannya. Bahkan, keduanya masih selalu berhubungan padahal sudah dilarang oleh Raja. Akibatnya, Supingi ditangkap, kemudian dibunuh. Ketika mendengar kekasihnya dihukum mati, Retna Suyati minta diceraikan. Raja pun kemudian tidak lagi dihormati rakyatnya. Supa dalam Tuhuning Katresnan tidak dapat pula melupakan Kasiyah, kekasihnya, yang sudah diperistri Tukya. Setelah lama mengembara,Supa pulang ke desanya. Ketika itu rumah Tukija terbakar. Supa dapat menyelamatkan Keisiyah, sedangkan Tukija meninggal saat dibawa keluar dari amukan api. Akhimya,Supa menikahi Kasiyah meskipun wanita itu sudah jatuh miskin. Dalam Serat Riyanta, masalah cinta tampak dengan Srini, tetapi tidak berani mengemukakannya.Sebaliknya,Srinijugamencintainya,tetapijuga
82
tidak berani melahirkannya. Srini sebetulnya juga merupakan pilihan ibu Riyanta untuk anaknya. Setelah rahasia cinta Riyanta terhadap Srini terbongkar lewat lukisannya, kedua muda-mudi itu dinikahkanlah. 4.4.2 Alur
Dari segi waktu, novel atau protonovel yang diteliti sebagian besar beralur lurus. Novel yang beralur lurus adalah Serat Lelampahanipun Robinson Krusu; Serat Lelampahannipun Sang Retna Suyati; Serat Kramaloyo; Serat Rangsang Tuban; Tig Ian Tor; Lelakone Amir; Cariyos Lampahanipun Sida; Isi Ngaku Bapa;Serat Bares Kures; dan Tig Ian Tor; sedangkan novel yang lain, yakni Basiran Basirun; Margining Kautamen; Tuhuning Katresnan;Serat Gita Gati;dan SeratRiyanta beralur sorot balik. Dalam Basiran Basirun, alur sorot balik terdapat pada episode kesembilan. Pada episode itu Basiran, di hadapan Raden Ngabei Wignyasastra (Basirun) dan polisi, menjelaskan asal-usulnya. Dengan penjelasan itu, terbukalah rahasia Basiran bahwa ia adalah saudara sepupu Wignyasastra. Alur sorot balik dalam Margining Kautamen dimulai pada episode kedua. Pada episode itu Dyah Sulistya bercerita tentang peristiwa yang menimpa dirinya. Ia dipaksa menikah dengan Patih. Akan tetapi, ia menolak. Oleh karena itu, ia dijebloskan ke dalam penjara bahkan dijatuhi hukuman mati.
Supa bercerita kepada Mertaleksana, tamunya. Dalam hal ini cerita menandai alur sorot balik dalam Tuhuning Katresnan. Alur itu terdapat paa episode ketiga yang menceritakan hubungan Supa dengan Kasiyah, tetapi lamarannya ditolak oleh orang tuanya,Wanareja,ayah Kasiah. Oleh karena itu, Supa pergi meninggalkan desanya. Keadaan Nyai Demang Gitapraceka yang menyedihkan setelah ditinggalkan Gumbreng, pembantunya sekaligus kakak ipamya, pada epi sode ketiga(SGG,him.25), merupakan alur sorot balik di dalam Serat Gita Gati. Episode itu diawali dengan ungkapan mangsuli cariyos'mengulang cerita' sebagai penanda terjadinya alur sorot balik dalam novel tersebut. Ungkapan yang mirip dengan di atas, yakni mangsuli cariyos ing ngajeng 'mengulang cerita di muka', pada episode ketujuh (SR, him. 18), merupakan penanda teijadinya alur sorot balik di dalam Serat Riyanta.Pada episode itu diceritakan bahwa Srini terlepas dari gandengan orang tuanya
ketika teijadi kebakaran sebuah bangunan dalam pertunjukan di alun-alun.
83
Dalam suasana kebingungan itu Srini sempat tertolong Riyanta, akhimya Srini dapat bertemu dengan ayahnya yang sedang dalam peijalanan pulang. Disamping hal itu,tampak pula bah waselain Margining Kautamen dan Serat Bares Kures merupakan novel-novel yang diteiiti beraiur erat, yang juga dikatakan cerita yang beraiur longgar.
Margining Kautamen beraiur longgar karena adanya cabang cerita di dalam novel itu. Dengan demikian, cerita itu beraiur ganda. Alur ganda itu dimulai pada episode kesembilan. Pada episode itu tampil cerita yang berisikan nasihat dengan gaya dialog antara dua kelelawar, Cuwit,dan Ciit, serta antara siput dan kunang(MK,him. 80-85). Kemudian, pada episode kesebelas terdapat cabang cerita yang cukup panjang tentang keberhasilan seorang putri adipati membebaskan ayahnya dari penjara akibat difitnah adipati yang lain karena iri hati(MK, him. 96-113). Serat Bares Kures dituturkan dengan gaya kisah perjalanan. Gaya tutur
seperti itu memungkinkan tersisipkannya cerita-cerita kecil di dalamnya; di samping itu, cerita utamanya alumya menjadi longgar. Cerita-cerita sisipan itu, antara lain, berupa penjelasan Kayun tentang ramalan, sistem perhitungan Jawa, dan ilham secara panjang lebar. Jika dilihat dari akhir cerita, seluruh novel yang diteiiti itu beraiur tertutup. Artinya adalah bahwa novel-novel itu berakhir dengan kesimpulan, misalnya Serat Lampahanipun Robinson Krusu berakhir dengan kembalinya Robinson ke kampung halamannya setelah lama hidup/dalam pengasingan. Di dalam Basiran Basirun pun berakhir dengan bertemunya kembali Basiran dengan Basirun dalam situasi kehidupan yang berbeda; Di dalam Tig Ian Tor berakhir dengan tercapainya cita-cita Tig dan Tor dalam studi; serta Serat Riyanto berakhir dengan bersatunya Riyanta dengan Srini dalam pelaminan. 4.4.3 Tokoh dan Penokohan
Ada dua novel, yakni Serat Lampahanipun Robinson Krusu dan Serat Lampahinpun Sang Retna Suyati, di antara seluruh novel yang diteiiti merupakan saduran dari cerita asing.Sebagian besartokohnya menggunakan nama asing. Misalnya, Robinson dan Krasu di dalam Serat Lampahanipun Robinson Krusu serta Abdulmajid, Supingi, Siti Ngalim, dan Ali Jenab dalam Serat Lampahanipun Sang Retna Suyati. Namun,dalam novel yang lain terdapat pula tokoh yang bemama asing. Contohnya, Tuan Cremer, Tuan Van Ham,Sinyo Amold, dan Diece dalam Lelakone Amir.
84
Dari seluruh novel yang diteliti tampak bahwa sebagian besarjudulnya menyertakan nama tokoh. Hal itu menunjukkan bahwa nama(tokoh)mempunyai peranan penting dalam cerita tersebut. Dengan mencantumkan
(nama) tokoh dalam judul setidaknya pembaca digiring untuk memperhatikannya, siapa, mengapa, dan bagaimana tokoh itu. Dengan demikian,(nama)tokoh diharapkan menjadi pusat perhatian. Novel-novel yang mencantumkan nama tokoh dalam judulnya adalah Serat Lampahanipun Robinson Krusu; Basiran Basirun; Serat Lampahanipun Sang Retna Suyati; Serat Kramaleyo; Tig Ian Tor; Lelakone Amir;
Cariyos Lelampahnipun Sida; Serat Gita Gati; dan Serat Riyanto. Sisanya lima judul, yakni Isin Ngaku Bapa; Margining Kautamen; Tuhuning Katresnan; dan Serat Bares Kures mengaitkan judul dengan temanya, serta Serat Rangsang Tubun mengaitkan latar tempat dengan judulnya. Nama tokoh yang dicantumkan dalam judul novel-novel tersebut di atas adalah Robinson dalam SLRK,Basiran dan Basirun dalam BB,Retna
Suyati dalam SLRS, Tilarsa dalam TT,Amir dalam LA,Kramaleya dalam SK,Sida dalam LS,Sugita dan Sugati dalam SGG,Tig dan Tor dalam TLT, dan Riyanta dalam SR. Nama-nama itu pada umumnya merupakan pelaku utama dan sekaligus sebagai tokoh protagonis. Nama-nama tokoh dalam novel-novel tersebut tidak mustahil meru
pakan nama-nama pelaku objektif. Hal itu dimungkinkan karena situasi pada masa itu menghendakinya, yaitu bahwa bacaan yang berkesan di hati pembaca adalah bacaan yang menggambarkan situasi objektif, seperti halnya kisah peijalanan, biografi, dan otobiografi. Oleh karena itu, novelnovel pada masa itu sebagian masih menggunakan judul yang mengesankan, yaitu suatu kisah atau riwayat dengan kata lelakone atau lelampahanipun 'perjalanan hidup', misalnya Lelakone Amir dan Lelampanipun Sida.
Nama-nama tokoh yang dicantumkan di dalam judul novel-novel tersebut di atas mempunyai citra yang bervariasi. Dalam Serat Lelam-
pahipun Robinson Krusu misalnya, Robinson adalah anak bungsu Krusu yang masih hidup. la amat disayangi orang tuanya. Namun, pada usia 17 tahun, ia pergi bertualang, ikut berlayar tanpa izin orang tuanya. Dalam perjalanannya, ia mendapatkan musibah. Kapal yang ditumpanginya diserang badai hingga terbakar dan tenggelam. Oleh karena itu, ia terdampar seorang diri di sebuah pulau dan hidup menderita di tempat itu.lamenyesal
85
dan merasa berdosa kepada orang tuanya. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut. "O,Allah, dene wong kangpadha soleh mengkono ngantipadha kena ing bilai, apa maneh aku kang duraka marang bapa biyung." Sanalika Robinson nelangsa ngantos luhipun medal.(SLRK, him. 16)
"Oh, Allah, sedangkan orang-orang saleh saja menemui ajalnya, apalagi aku yang durhaka kepada ayah dan ibu." Seketika itu Robinson menyesal hingga keluar air matanya.'
Setelah berhasil menyelamatkan Jumuah (yang kemudian menjadi sahabatnya)danjuragan kapal dari tindak pembunuhan,ia dapat kembali ke kampung halamannya berkat bantuan juragan kapal itu. Kisah petualangan dilakukan pula oleh Basiran, tokoh antagonis, di dalam Basiran Basirun. Petualangan Basiran disebabkan oleh nasib buruknya. Sejak kecil ia selalu dimanjakan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, ia menjadi pemalas, penjudi,dan pemabuk.Setelah kekayaan orang tuanya, Sacardrana, ludes dihabiskannya, ia menjadi gelandangan di tenah hutan. Nengna ingkang nelasak wana dri, gantya kang cinaryos, amangsuli Basiran kalane, manjingjurang manggen sor waringin, neng tepiing beji, nedha gadhung walur.(BB, him. 27)
'Didiamkan dulu yang menjelajah hutan, berganti yang diceritakan, mengulangi Ba siran ketika turun tebing bertempatdi bawah beringin,di tepi kolam,makan gadung dan talas.'
Di tengah hutan itu pula, ia ditangkap polisi yang sedang mengadakan perendaan. Ia diserahkan kepada Wedana Wignyasastra. Setelah diinterogasi, ia dibawa pulang Wedana itu. Wedana Wignyasastra tidak lain adalah Basirun,si tokoh utama.Tokoh
itu berhasil menjadi wedana karena didikan Padmadrana,orang tuanya yang mempunyai wawasan masa depan yang luas. Ia disekolahkan dan dididik agar rajin belajar, giat bekerja, sopan terhadap sesama, dan hormat kepada orang tua dan guru. Didikan orang tuanya itu disambut baik dengan semangat yang tinggi. Nadyan ndikakna nglebeti, latu kang langkung gengira, tuwin toya ingkang gedhe, kawula datan nglenggana, nadyan prapteng antaka, datan gumingsir sarambut, Padmadrana duk miyarsa.(BB, him. 67)
'Meskipun disumh masuk, api yang amat besar, dan air bah, saya takkan mengelak, meskipun menemui ajal, takkan mundur sedikit pun, Padmadrana ketika mendengar.'
86
la berhasil menjadi wedana,jabatan yang cukup terhormat. Keberhasilan berkat menuntut ilmu dicapai pula oleh Tilarsa, tokoh
utama di dalam Tig Ian Tor. Tokoh itu hidup seorang diri karena orang tuanya dan saudara-saudaranya sudah meninggal dunia.la rajin mengaji dan berguru ilmu kesempumaan kepada para kiai di berbagai pondok,misalnya di Krapyak, Majenang, dan Jombang. Ketika pergi ke Majenang, Tilarsa menginap di rumah Sudarsa di Kajoran. Sudarsa itu temyata masih ada hubungan darah dengan Tilarsa. Mereka kemudian pergi bersama-sama ke Majenang dan Jombang. Setelah tamat mengaji, Tilarsa dipanggil sang Bupati untuk dimintai wawasannya. Selesai bertukar pikiran, sang Bupati menghendaki agar Tilarsa tinggal di kabupaten. Tilarsa man menerimanya asalkan berstatus sebagai abdi karena ia tidak menghendaki kemewahan.
Sebaliknya,Sudarsa dikawinkan dengan Raden Ajeng Kustinah, putri sang Bupati sehingga tercapailah cita-citanya untuk hidup berbahagia di dunia. Keberhasilan dalam kehidupan dicapai pula oleh Amir,tokoh utama di
dalam Lelakone Amir. Setelah mengalami penderitaan yang cukup lama karena diabaikan ayah dan ibu tirinya, sedikit demi sedikit kehidupannya tampak membaik. Mula-mula ia ikut keluarga Cina untuk membantu di perusahaan roti. Kemudian,ia dipungutTuan Cremer,dipekeijakan di bengkel, lalu ia bekerja di toko. Berkat keterampilannya dan sikapnya yang baik, ia disekolahkan lagi.Ia selalu menjadi bintang di kelasnya karena kecerdasannya. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut. Kaccriyos Amir ball marang daleme Tuwnn Cremer Ian sabanjure ngenger ing kono, krasan banget rumangsa mulya mukti wibawa, sandhang pangane kacukupan ing samurwate. Tuwan, nyonyah, sinyo, Ian wong-wong saomah kabeh padha asih tresna marang Amir,....
Saka karsane tuwan sakaliyan nyonyah, Amirsekolah maneh. Mungguh kasregepane Ian katemenane apa dene mbangun turute Ian bektine ora prabeda kaya biyen. Mulane antara sasi Amir iya banjur dadi kekembanging murid sapangkat.(LA, hlin. 21)
'Diceritakan bahwa Amir kembali ke rumah Tuan Cremer dan selanjutnya mengabdi di sim, kerasan sekali, merasa bahagia sejahtera, sandang dan makan tercukupi. Tuan, nyonyah, sinyo, dan orang-orang serumah merasa sayang kepada Amir,.... Dari kehendak tuan beserta nyonyah.Amir disekolahkan lagi. Mengenai kerajinan dan kesungguhannya serta kesetiaan dan rasa hormatnya tidak berbeda seperti dulu. Oleh karena itu, beberapa bulan kemudian. Amir lalu menjadi buah bibir seangkatannya.'
Oleh karena itu,setelah tamat,ia mendapatkan pekerjaan sebagai masinis di Nganjuk. Kemudian, ia menikah dengan Raden Rara Subandiyah, putri Raden Bei Patih.
87
Sugita dan Suati di dalam Serat Gita Garfjuga mencapai keberhasilan setelah mengalami berbagai penderitaan. Sebelum lahir, Sugati sudah
ditinggal pergi ayahnya, Kak^ Bok Praceka. Oleh karena itu, ketika ia masih berasia dua tahun, Sugati harus ikut Gumbreng, ibunya sekaligus pembantu Bok Praceka, pergi tanpa tujuan. Setiba di kota, ibunya mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Sugati dipungut seseorang, lalu disekolahkan hingga tamat onderwijs.
Sugita mula-mula hidup dalam kecukupan. Namun, setelah harta ibunya habis dijarah perampok, ia menjadi hidup miskin. Oleh karena itu, dengan seizin ibunya, ia pergi untuk mengadu nasib ke kota. Ia diterima sebagai pembantu mmah tangga.Berkatsikapnya yang baik,ia disekolahkan majikannya. Setelah lulus, ia mendapatkan pekerjaan dengan jabatan terakhir sebagai mantri. Kemudian, ia mendapatkan jodoh seorang putri yang terpelajar, yakni Sugati,saudara sepupunya. Kehidupan mereka pun tampak berbahagia. Keberhasilan dalam studi yang diikuti dengan diraihnya pekerjaan memang selalu menjadi idaman para tokoh yang berpikiran modem dalam cerita pada masa itu. Tokoh Basimn di dalam Basiran Basirun; Amir dalam Lelakone Amir, dan Sugita di dalam Serat Gita Gati, adalah contoh konkretnya. Dalam Tig Ian Tor, tokoh Tig dan Tor mempakan contoh yang lain. Setelah tamat sekolah angka siji di Semarang, Tig dan tor ingin melanjutkan ke sekolah gum di Yogyakarta. Tig memang tergolong anak yangcerdas dan percayadiri.Oleh karena itu, waktu liburiatidak menyisihkan waktunya untuk belajar. Sebaliknya, Tor menggunakan waktu libur itu untuk belajar secara tekun. Oleh sebab itu, ia ditegur oleh Tig. "Dhik, mempeng temen olehmu sinau?Apa kowe tali dhawuhe Bandara Mantri Guru kae, oraperlu mempeng-mempeng,awit kabisanmu Ian kabisanku wus nyukupi kanggo eksamen, waton tatag Ian ora sembrana; apa maneh ditunggoni Pak Bekja, mesthi klebu."
Wangsulane Tor,"Yen laline ya ora Mas, nanging apa alane wong sinau?"(TLT,him. 10)
"Dik, tekun sekali belajarmu? Apakah kamu lupa pesan Tuan Mantri guru itu, tidak perlu tekun-tekun,sebab kemampuanmu dan kemampuanku sudah cukup untuk meng-
hadapi ujian,asalkan optimis dan tidak sambalewa;apa lagi ditunggui nasib mujur,pasti diterima." Jawab Tor,"Lupanya tidak Mas, tetapi apakah jeleknya orang belajar?"
Tor memang tidak sepandai Tig sehingga ketika mengerjakan ujian hatinya bimbang dan kurang optimis.
88
Tor wangune kurang tatag, maneh-maneh leren kaya dene lagimikir.(TLT,him.27) Tor agaknya kurang optimis, lagi-lagi berhenti seperti sedang berpikir.'
Oleh karena itu, ia gagal untuk masuk ke sekolah guru di Yogyakarta dan
baru dua tahun kemudian,ia diterima di sekolah guru di Ungaran. Berbeda halnya dengan Tig. Ia diterima di sekolah guru idamannya. Tiga tahun kemudian,setelah lulus,ia diangkat menjadi guru di sebuah kpta. Demikian pula Tor, dua tahun kemudian, setelah lulus, diangkat menjadi guru. Tokoh dan penokohan dalam novel yang judulnya berkaitan dengan tema tampak bervariasi pula. Samun adalah tokoh utama dalam Isin Ngaku Bapa. Ia adalah anak tunggal Wangsawirya yang masih berdarah ningrat. Oleh karena itu, ia sangat dimanjakan orang tuanya dan diharapkan kelak menjadi orang yang terpandang yang menjadi tumpuan orang tua dan saudara-saudaranya. Rehne bocah era anak tmggale, banget ingela-ela. Saben dina tansah kinudangkudang, ing tembe dadia wong kuwaha, kena dingengeri bapa biyung Ian pangauban sedulur kang nandhang papa.(INB, him. 8) 'Berhubung anak tidak punya saudara, ia sangat dimanjakan. Setiap hari selalu ditimang-timang, agar kelak jadi orang yang mampu sehingga dapat ditumpangi orang tuanya dan mengayomi saudaranya yang terlantar.'
Kemanjaan itulah yang menyebabkan Samun bersikap sombong. Bahkan, setelah mendapatkan pekerjaan,ia melupakan orang tuanya dan tidak mengakuinya lagi. Saran dan bujukan istrinya untuk menyadarkannya selalu siasia. Oleh sebab itu, istrinya minta cerai. Setelah berpisah dengan istrinya, Samun sakit, lalu meninggal dunia. Meskipun Samun sudah meninggal dan menantunya sudah bersuamikan dengan laki-laki lain, Wangsawirya tetap tinggal dengan mereka dalam suasana yang berbahagia. Kecintaan dan kesetiaan seorang istri terhadap suami tidak dapat digoyahkan oleh apa pun meskipun dengan ancaman hukuman mati. Hal itu tampak di dalam Margining Kautamen dengan tokoh utamanya Dyah Sulistya. Nama tokoh itu memang sudah menyimbolkan sikap yang baik. Ketika Adipati Jayanegara,suaminya,sedang mengemban tugas raja untuk menghadapi musuh, istrinya yang sedang mengandung itu dipaksa oleh Patih Kartapraja untuk meladeninya. Paksaan itu ditolaknya mentah-mentah. Oleh sebab itu, ia dijebloskan ke dalam penjara. Bahkan, setelah melahirkan bayi di dalam penjara, ia dijatuhi hukuman mati karena fitnah Kartapraja. Di tengah hutan, ketika maut hampir tiba, putri itu dapat menyadarkan dua algojo yang sedang mengemban tugas. Dengan demikian,ia
89
dibebaskan dengw syarat,ia harus tinggal di tempat itu.Di tengah hutan itu, ia bersama bayinyalama hidup menderita.Sambil berusaha menahan hidup, ia mengasuh dan mendidik anaknya hingga beranjak besar. Dengan berbekal pada ilham yang diterimanya ketika dipenjarakan,ia berusaha dengan tabah menghadapi segala persoalan yang timbul. "Kowe aja Hang pangarep-arepmu, sanadyan pira-pira kasangsaran kang kudu koklakoni, nanging Gusti Allah ora pisah karo kowe Ian bakal rumeksa ing awakmu. Bener kowe tinarka laku ala, nanging resiking atimu bakal gumebyar padhang nelahi kaya srengenge."(MK, him. 16)
"Kamujangan hilang harapan meskipun berat penderitaan yang harus kaukeijakan, tetapi Gusti Allah tidak lepas dengan kamu dan akan menjaga dirimu. Betul kamu dituduh berbuatjahat,tetapi kebersihan hatimu akan bersinar terang menyilaukan bagai matahari.'"
Dari kutipan itu dapat diketahui bahwa Dyah Sulistya yang dalam keputusasaan itu pada suatu saat bertemu kembali dengan suaminya dan kemudian, ia diboyong ke kadipaten,sedangkan Kartapraja bunuh diri di dalam penjara ketika mendengar Dyah Sulistya pulang. Cinta memang sulit dipudarkan, seperti yang teijadi pada diri Supa dengan Kasiyah. Kedua insan itu sudah menjalin cinta, tetapi Wanareja, ayah Kasiyah, melarangnya. Bahkan, Kasiyah kemudian dikawinkan den gan Tukija,anak lurah di Kajoran. Oleh sebab itu,Supapergi,meninggalkan desanya untuk menghindari rasa malunya. Agak lama ia tinggal di Sambilegi sambil membuka usaha pandai besi. Ketika pulang untuk menjenguk orang tuanya, rumah Wanareja terbakar. Supa berusaha menyelamatkan penghuinya. Wanareja dan Kasiyah dapat diselamatkan, tetapi Tukija tidak tertolong nyawanya. Sesuai dengan sumpah setianya, Supa tidak lama setelah peristiwa kebakaran itu, Kasiyah dinikahi Supa. Rumah tangga mereka pun tampak berahagia. ... kula sampun aprasetya, boten imah-imah ing salaminipun menawi boten kaliyan Kasiyah(TK, him. 28),
'... saya sudah bersumpah setia,tidak akan berumah tangga selamanyajika tidak dengan Kasiyah'.
Masalah keberhasilan pendidikan juga merupakan tbpik di dalam Serat Bares Kures, seperti halnya di dalam Basiran Basirun dan Tig Ian Tor. Diceritakan bahwa kelima anak Mangunteki di dalam Serat Bares Kures disekolahkan. Tiga orang anaknya sudah bekerja sebagai pegawai negeri, sedangkan dua orang, Kayat dan Kayun, belum bekerja karena memang
90
masih remaja. Kayat, tokoh utama dalam cerita itu, tergolong anak yang cerdas dan arif.la berhasil meyakinkan tokoh lain tentang hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya,ia menjelaskan tentang hilangnya All, tetangganya, yang dikabarkan digelandang 'makhluk halus'.Hal itu dapat diketahui dari kutipan sebagai berikut. Kayun, "Kang, aku kok ora ngerti, bocah digondhol wewe iku sabenere kepriye?" Kaydt, "Kowe weruh dhewe, sore mau si AH digebugi embokne, banjur purik ndhelik. Barengdigolekisuwe ora ketemu,lumrahe diaranidigondholing wewe,tumuli digoleki maneh nganggo tabuhan kaya mau kae." Kayun, "Yen mengkono, angger olehe nggoleki tlaten mestki ketemu; dadi tabuhan iku ora am perlune." Kayat, "lya, bener...."(SBK,him. 7)
'Kayun,"Kak, aku kok tidak tahu, bocah digelandang makhluk halus itu sebetulnya bagaimana?"
Kayat,"Kamu tahu sendiri, sore tadi si Ali dipukuli ibunya, lalu pergi bersembunyi. Setelah dicari lama tidak ditemukan, biasanya dikatakan digelandang makhluk halus, lalu dicari lagi dehgan bunyi-bunyian seperti tadi itu." Kayun,"Kalau begitu, asalkan telaten mencarinyapasti ditemukan;jadi bunyi-bunyian itu tidak ada gunanya." Kayat,"Ya, betul...."
Dengan penjelasan yang masuk akal, Kayat berhasil menjawab banyak pertanyaan yang diajukan Kayun, Amad,Kaki Setra,dan tokoh lainnya sehingga mereka dapat menerimanya dengan hati yang lega. Latar tempat, yakni Tuban, yang menjadi bagian judul dari Serat Rangsang Tuban, tampak menjadi sumber pertikaian para tokohnya sehingga menampakkan eitra tokoh-tokoh itu. Dalam novel itu, Warihkusuma adalah tokoh utamanya. Ia dijatuhi hukuman mati setelah Endang Wresthi, istrinya, direbut Warsakusuma diserahkan kepada Patih Toyamarta. Akan tetapi, tugas itu tidak dilaksanakan karena Ki Patih tahu betul bahwa Warihkusuma tidak bersalah. Namun,untuk menghindari bocomya rahasia itu, Warihkusuma diminta untuk pergi meninggalkan Tuban. Warihkusuma itu sampai di Kadipaten Banyubiru. Berkat ketampanan dan kepandaiannya, ia diambil menantu oleh Prabu Hertambang, Raja Banyubiru. Ia dikawinkan dengan putri tunggalnya yang bemama Kara Wayi. Menantunya itulah yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya. Putra namung santunggal, putri dinama-nama pkantuk kakung putraning ratu bimthara, bagus tanpacacat, dhasarwicaksana, alus bebudenipun.Ing galih kades ageage seleh kepraben dhumateng sang Pangeran.(SRT, him. 105)
91
'Anak hanya seorang putri yang disayang. la memperoleh seorang pria anak raja besar, tampan tanpacacat,apalagi bijaksana,halus budi pekertinya. Di dalam hati ingin segera menyerahkan tahtanya kepada sang Pangeran.'
Akan tetapi, Warihkusuma, menantunya itu, tidak latna tinggal di Banyubiru karena diusir oleh mertuanya. Hal itu disebabkan oleh kematian Rara Wayi ketika meiahirkan bayinya. Suasana pun berubah menjadi kesedihan yang luar biasa. Kemudian, Warihkusuma berpetualang lagi dan akhimya pulang ke Tuban. Setiba di Tuban, ia disambut dengan gembira. la kemu dian dinobatkan menjadi adipati berhubung kedudukan itu kosong sejak Warsakusuma tewas di tangan Endang Wresthi. Namun, setelah bertahta, ia beitindak sewenang-wenang terhadap Udakawimba, kemenakannya, yakni putra Warsakusuma dengan Endang Wresthi. Oleh sebab itu, Udakawimba pergi tanpa berpamitan. Ia tiba di Sumbereja, lalu berguru kepada Ki Wulusan, pengasuh pesantren di tempat itu. Ia kemudian membangun istana di situ dan menikahi Rara Sendhang,putri angkat Ki Wulusan yang diperolehnya dari dalam peti yang hanyut di sungai. Setelah merasa kuat, Udakawimba bersama pasukannya menyerbu ke Tuban. Kadipaten Tuban Jatuh dan Warihkusuma melarikan diri. Ketika Udakawimba dan pasukannya mengadakan pengejaran,datanglah Ratu Wayi dan prajuritnya membantu Warihkusuma. Pasukan Sumbereja kalah dan Udakawimba ditangkap. Pada waktu disidangkan, tersingkaplah rahasia Rara Sendhang, istri Udakawimba. Ia adalah anak Ratu Wayi dengan Warihkusuma. Akhimya, Udakawimba dibebaskan, dan di kemudian hari ia diserahi tugas untuk menjadi adipati di Tuban menggantikan Warihkusuma; sedangkan Warihkusuma mendampingi istrinya yang menjadi adipati di Banyubiru. 4.4.4 Latar
Latar waktu, latar tempat, dan latar sosial budaya dalam cerita-cerita yang diteliti tampak beragam, seperti halnya tokoh dan penokohan yang telah dibicarakan di muka.Latar itu ada yang menunjuk tanggal, bulan, dan tahun suatu kejadian; latar tempat dengan menyebut nama kota Nganjuk, Jombang, Semarang, dan Boyolali; serta latar sosial budaya yang menampilkan status sosial, tingkat pendidikan, dan pemakaian bahasa. Latar waktu yang menunjukkan hari, tanggal, bulan, dan tahun, misalnya, terdapat dalam LA. Contohnya berikut ini. Ncdika dina Setu Paing, tanggal 7Maret 1883, wayahjam 7esuk, anggone meteng Bok Jayareja wustumekaing titi mangsane,lairjaangbayilanang,slamet, ora ana sakara-
92
kara. Jabang bayi dijenengake amir. lya iku sing dakcritakake ing ngarep mau.(LA, him. 6)
•Pada hari Sabtu Paing, tanggal 7 Maret 1883, waktu pukul 7 pagi, kandungan Bok Jayareja sudah tiba waktunya, melahirkan jaang bayi laki-laki, selamat, tidak ada kesglitan. Jabang bayi diberi nama Amir. Ya,itulah yang kuceritakan di muka tadi.'
Kemudian, di dalam Tig Ian Tor terdapat latar waktu yang menunjukkan usia Tig pada tahun tertentu, seperti contoh di bawah ini. Ana sawijining bocah aran Tig, umur-umurane 14 taun; nalika taim 1907 metu saka
pamulangan angka I ing Semarang.... Tame ngarep. yaiku 1908.... Tig kepeksa metu kelas Vawitbakalnglebonieksamen calon muridpamulangan guru ing Ngayogyakarta .... (TLX, him. 28)
Ada seorang anak Jawa bemama Tig, usianya kira-kira 14 tahun; pada tahun 1907
keluar dari sekolah angka siji di Semarang.... Tahun depan, yaitu 1908,... Tig terpaksa keluar dari kelas V sebab akan masuk ujian calon murid sekolah guru di Yogyakarta....'
Latar waktu dalam cerita-cerita yang lain lebih banyak menggunakan
kode-kode tradisional, seperti ing sawijining dina atau ing satunggaling dinten 'pada suatu hari', kala rumiyin 'zaman dahulu',esuke 'paginya',dan antawis setaun kira-kira setahun'. Contoh dengan menggunakan ungkapan ing sawijining dina dan anuju satunggaling dinten disajikan di bawah ini. Ing sawijining dina Nyai Wangsawirya kaya ana sing ngusik atine.....(INB, him. 18) 'Pada suatu hari Nyai Wangsawirya seperti ada yang mengusik hatinya ' Anujasatunggalingdinten pm Sidagadhah sedya badhe ngaosdhateng bapakipun.... 'Pada suatu hari si Sida mempunyai niat akan mengaji kepada ayahnya....'
Kemudian, latar waktu dengan menggunakan ungkapan kala rumiyin, misalnya terdapat di dalam Serat Bares Kures dan Serat Riyanto, serta ungkapan nalika semana terdapat dalam Serat Lampuhanipun Sang Retna Suyati. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut ini. Kalarumiyin ing negariSurakarta wontensatmggalingpriyantm luhurnamaPangeran Natasewaya,.... (SR, him. 4)
'Zaman dahulu di Negeri Surakarta ada seorang priyayi terhormat bemama Pangeran Natasewaya,....'
Yata nalika semana,SangAprabuAbdulmajid,ingkangsukapirenengtyas,....(SLRS him. 5)
Alkisah ketika itu, Sang Prabu Abdulmajid, yang suka cita hatinya,....'
Di samping latar waktu dengan menggunakan ungkapan-ungkapan tersebut di atas, ada pula latar waktu yang ditunjukkan oleh situasi kejadian
93
cerita. Misalnya, dalam Basiran Basirun; Isin Ngaku Bapa; Serat Bares Kures;Serat Gita Gati;dan Tig tan Tor, tampak bahwa menunjukkan alam penjajahan ketika warga pribumi sudah diperbolehkan masuk sekolah. Selain itu, di dalam Serat Kramaloyo; Tjarios Tilarso;dan Serat Rangsang
Tuban,tampak cerminan waktu pada saattumbuhnya pendidikan pesantren. Latar lain yang bertalian erat dengan latar waktu adalah latar tempat, seperti tampak pada kutipan-kutipan di atas. Latar tempat yang ditampilkan dalam Serat Lelampuhinipun Robinson Krusu dan Serat Lelampahinipun Sang Retna Suyati menunjukkan latar negeri asing. Misalnya, di dalam Serat Lelampuhinipun Robinson Krusu terdapat latar Inggris, Amburah, Amerika, dan Eropa, serta di dalam Serat Lelampuhanipun Sang Retna Suyati terdapat latar Yunani, Ngrokam, Barjan, dan Bulgari. Latar asing lain, yakni Kustraat dan Holand disebutkan di dalam Lelakone Amir, di samping latar yang menunjuk kota Malang, Tulungagung, Surabaya, Nganjuk, dan Yogyakarta yang menunjukkan latar di Pulau Jawa. Selain latar yang telah disebutkan itu, di dalam novel yang lain juga ditampilkan latar di Pulau Jawa, misalnya Serat Kramaloyo menyebutkan latar Ponorogo; Tjariyos Tilarso menunjukkan Jombang dan Majenang; Serat Bares Kures menampilkan Kalasan dan Bantul; Tig Ian Tor memperlihatkan Semarang dan Yogyakarta; serta Serat Riyanto menunjukkan Surakarta dan Boyolali.
Di samping latar tempat peristiwa tersebut, masih ditampilkan latar yang lain, seperti Tuban di dalam Serang Rangsang Tuban lebih menonjolkan sebagai simbol yang berarti 'air terjun'. Hal itu disebabkan oleh di dalam cerita itu digunakan nama tempat dan nama tokoh yang artinya mengandung unsur air, misalnya, Banyubiru berarti 'air biru' dan Sumberejo berarti 'sumber air' yang melimpah; serta Warsakusuma berarti 'hujan bunga'; Warihkusuma berarti 'air bunga'; dan Toyamarta berarti 'air penghidupan'. Contoh latar tempat yang menampilkan kota di Jawa dapat diketahui dari kutipan berikut ini. Kala rumiyin ing dhusu Kadiraja reh ing Kabupaten Kalasan, nagari Ngayogyakarta Adiningrat wonten satunggating tiyang sampun setengah tuwuh nama Kyai Mangun(SBK, him. 5)
*Dahulu di dusun Kadiraja wilayah Kabupaten Kalasan, negeri Yogyakarta Adiningrat ada seorang setengah tua bemama Kyai Mangunteki.'
Selain latar kota,ditemukan pula latar desa, hutan,gunung,sungai,dan sebagainya yang terdapat di dalam Basiran Basirun; Serat Kramaloyo;
94
Serat Rangsang Tuban; Cariyos Lelampahcinipun Sida; Isin Ngaku Bapa; Margining Kautamen;Serat Gita Gati;SeratBares Kures;dan Tig Ian Tor. Latar lain, yakni latar sekolah disebutkan di daiam Basiran Basirun; Isin
Ngaku Bapa;Serat Gata Gati; Cariyos Lelampahanipun Sida; Tig Ian Tor; dan Seraj Bares Kures; serta latar pesantren disebutkan di dalam Serat Kramaloyo; Tjariyos Tilarso; dan Serang Rangsang Tuban. Berikut ini
kutipan teks Cariyos Lelampahanipun Sida yang menunjukkan desa dan latar sekolah.
Ing dhusun Kedhung wonten tiyang tani nama Raja. Griyanipun dumunung ing sacelakipun lepen ingkang nrajang setengah-tengahing dhusun wau. Senadyan ing dhusun,nanging patraping anggenipun gegriya ragi kathah emperipun kalivan tiyang kitha.(LS, him. 5)
'Di dusun Kedung ada orang tani bemama Reja.Rumahnya berada di dekat sungai yang membelah tengah dusun tadi. Meskipun di dusun,tetapi keadaan rumah tangganya agak banyak miripnya dengan orang kota.'
Dumuginipm mangsa ingkang sampun katemtokaken, Sida nglebeti eksamen murid
calon guru dhateng Prabalingga, sarengan kaliyan lare-lare ingkang sampun tamat pasionaonipun ing pamulangan angka 1.(LS, him. 25)
Sampai tiba saat yartg telah ditentukan, Sida masuk ujian murid calon guru ke Probolinggo, bersama-sama dengan teman-temannya yang sudah tamat belajar di sekolah angka 1.'
Latar lain adalah latar sosial budaya yang sebagian sudah tercermin dalam contoh-contoh di atas. Misalnya, di dalam Serat Lelampahanipun Sang Retna Suyati tampak adanya latar sosial kelas atas yang diwakili oleh Raja Abdulmajid dan Pangeran Supingi, serta di dalam LS tampak adanya latar sosial kelas bawah yang diwakili oleh Reja dan latar sosial kelas
menengah yang diwakili oleh Raden Sastra.Di samping itu, dalam beberapa novel, misalnya dalam Basiran Basirun; Lelakone Amir; Cariyos Lelam pahanipun Sida;Serat Bares Kures;Serat Gita Gati; Tig Ian Tor; dan Serat Riyanto, tampak latar sosial budaya yang menunjukkan masa transisi dari alam tradisional ke alam modem. Di dalam Basiran Basirun; Lelakone Amir; Cariyos Lelampahanipun Sida; Serat Bares Kures; dan Tig Ian Tor; masa transisi itu ditandai oleh timbulnya semangat kaum muda untuk bersekolah yang didukung oleh orang tuanya. Dalam Basiran Basirun,
misalnya,tampak bahwa Padmadrana yang tinggal di desa sudah berpikiran modem.Untuk membekali Basiran,anaknya,pada masa yang akan datang, ia mendidik dengan baik dan menyekolahkannya, serta mengabaikan halhal yang bersifat takhayul. Hasilnya cukup menggembirakan.
95
Setelah tamat sekolah, Basiran mendapatkan pekeijaan dan akhimya menjabat sebagai wedana. Sebaliknya, Sabardrana, kakak Padmadrana, menyerahkan Basiran, anaknya, kepada nasib. la percaya bahwa nasib anaknya kelak akan cerah karena mewarisi orang tuanya. Oleh karena itu, Basiran tidak disekolahkan dan tidak dididik dengan baik,tetapi dimanjakan. Akibatnya, anak itu menjadi pengangguran yang suka beijudi, bermabukmabukan,dan berpoya-poya. Setelah menghabiskan harta orang tuanya, ia pergi menggelandang.Oleh sebab itulah,sikap Padmadrana dan Sabardrana yang bertolak belakang itu agar dijadikan suriteladan. Paedah kinarya tepa, tuladhaning ati budi,panemunira ingjanma,kang ala lawan kang becik, patrapira mring siwi, sinedyan estri Ianjalu, kang pinerdi Ian ora, lawan yayah renaneki, angiloa Sabardrana Padmadrana.(BB, him. 25)
'Faedah dipakai contoh, teiadan hati yang baik, pendapatnya orang-orang, yang jelek dengan yang baik, sikapnya pada anak,idaman putri dan putra, yang dididik dan yang tidak, oleh ayah dan ibunya, bercerminlah (kepada) Sabardrana (dan)Padmadrana.'
Dalam Basiran Basirun tampak pula latar sosial yang menunjukkan kelompok masyarakat kelas bawah yang diwakili oleh Sabardrana dan Padmadrana yang tinggal di desa serta Basiran yang menjadi gelandangan. Kemudian, kelompok masyarakat kelas menengah (atau dapat dikategorikan kelompok masyarakat kelas atas) diwakili oleh Raden Bei Kawireja yang menjabat sebagai gum dan Wedana Wignyasastra, yakni Basimn setelah menjabat sebagai wedana. Penggambaran masa transisi dalam Serat Riyanto berbeda dengan dalam beberapa novel di atas. Dalam Serat Riyanto tampak bahwa kaum tua yang masih berpegang pada tradisi diwakili oleh Raden Ayu Natasewaya dan Adipati Pamrayoga, serta kaum muda yang modem diwakili oleh Ri-
yanta dan Srini. Raden Ayu Natasewaya dan Adipati Pamrayoga bersikap agar anaknya menjadi orang yang penumt, memathui perintah atas keinginan orang tua. Misalnya, Raden Ayu Natasewaya menghendaki agar Riyanta, anaknya, bersedia dinikahkan dengan gadis pilihan orang tuanya, tetapi Riyanta menolaknya.Penolakan itu dilakukan dengan cara meninggalkan mmah tanpa pamit karena belum siap menikah. Di samping itu, tampak bahwa Riyanta ingin menikah dengan putri pilihannya sendiri. Secara kebetulan ia pemah menemukan Srini yang terlepas dari gandengan orang tuanya ketika terjadi kebakaran di alun-alun. Ia jatuh hati kepada gadis itu dan Srini menamh hati pula. Akan tetapi, kedua muda-mudi itu tidak berani mengungkapkannya secara terns terang karena situasi saat itu yang belum
96
memungkinkan akibat tradisi lama yang masih kukuh.Riyanta hanya dapat mengungkapkannya lewat lukisan wajah Srini yang dibuatnya, yang secara kebetulan diketahui Marsam.
"Lhd, kula niki rak mung matur ta, Mas; soka dhemen gambare, mesthi iya dhemen wonge....
Apa Marsam, digalin ora weruh kedhep liring?" ... "Dhuh, sedulurku wong wasis, aku wis rwnangsa kalah kambi kowe, Sam Gambar bae aja nganti kaweruhan ngakeh,...." '"Lha, saya ini kan hanya bicara ta, Mas; kalau senang gambamya, tentu juga senang orangnya ....
Apa Marsam dianggap tidak tanggap isyarat?" ...,"Aduh,adikku yang pintar, aku sudah merasa kalah dengan kamu,Sarn,.... Gambar hendaklah jangan sampai diketahui banyak orang,...."
Srini pun dengan sabar menanti datangnya pemyataan cinta dari Riyanta karena tidak etis apabila wanita yang menyatakan lebih dahulu. Pemyataan yang dinanti-nantikan itu akhimya tiba setelah ibunya memberi tahu bahwa Srini akan dikawinkan dengan Riyanta. "..., sing dakrembug iki dhawuhe Gusti; kowe sida dipundhut oleh Ndara Riyanta." Sanalika tumrecep ing panggalihipun Raden Ajeng kados kadhawahan wahyu....(SR, him. 61)
yang kubicarakan ini perintah Gusti; kamu jadi diperistri oleh Ndara Riyanta." Seketika terasa sejuk hati Raden Ajeng bagai kejatuhan wahyu,....'
Oleh karena masih kuatnya budaya lama-yang juga ditandai oleh
pertunjukan wayang dan kerawitan dalam acara syukuran (SR, him. 40)budaya keterbukaan memang belum dapat berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, yang teijadi dalam cerita tersebut adalah berlangsungnya kompromi antara budaya lama dan budaya baru.Hal itu tampak setelah diketahui bahwa keinginan budaya modem yang diwakili dan diperankan oleh Ri yanta dan Srini juga merapakan keinginan budaya lama yang diwakili dan diperankan oleh orang tua mereka. Di samping penggambaran masa transisi budaya lama ke bara, dalam Serat Riyanta tampak cerminan latar sosial yang menunjukkan kelompok masyarakat kelas sosial tinggi yang diwakili oleh Raden Ayu Natasewaya dan Adipati Pamrayoga beserta keluarga masing-masing, serta kelompok masyarakat kelas sosial rendah yang diwakili oleh abdi dan kusir yang tidak disebutkan namanya karena perannya yang tidak penting.
97
4.4.5 Judul
Dari lima belas judul cerita yang diteliti, sepuluh judul menyertakan nama tokoh dalam judulnya, yaitu Robinson dalam SLRK, Retna Suyati dalam SLRS, Basiran dan Basirun dalam BB, Kramaleya dalam SK, Tilarsa dalam ST,Amir dalam LA,Sida dalam LS,Sugita dan Sugati dalam SGG,Tig dan Tor dalam TLT,dan Riyanta dalam SR.Padaumumnya,nama tokoh yang tercantum dalam judul ceria itu merupakan pemeran utamanya. Serat Rangsang Tuban merupakan cerita yang menyertakan latar tempat Tuban dalam judulnya. Latar tempat itu berfungsi sebagai unsur yang menjadi sumber pertikaian tokoh-tokohnya sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Empat cerita lainnya, yakni Isin Ngaku Bapa; Margining Kautamen; Tuhuning Katresnan; dan Serat Bares Kures merupakan cerita yang jud ulnya berkaitan dengan tema. Judul-judul itu tampak jelas menunjukkan tema umum atau tema mayor cerita-cerita tersebut sehingga dapat berfungsi sebagai pembayang cerita. Oleh karena itu, judul-judul tersebut dapat dikatakan pula sebagai pembayang cerita. Pengaruh lama dalam pemberian judul masih tampak jelas. Pengaruh lama itu berupa penggunaan istilah serat pada beberapa karya, yakni Serat Lelampahanipun Robinson Krusu; Serat Lelampahanipun Sang Retna Suyati; Serat Kramaloyo; Serat Rangsang Tuban; Serat Gata Gati; Serat Bares Kures; dan Serat Riyanto. 4.4.6 Sudut Pandang
Selain MK yang menggunakan sudut pandang campuran,cerita-cerita yang lain menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Dalam ce rita-cerita itu, penutur bebas memainkan ceritanya dengan menampilkan (nama-nama) tokohnya yang beraneka ragam dan memberikan penilaian terhadap tokoh-tokohnya dari berbagai sudut pandang. Dengan kata lain, penutur berperan atau berfungsi sebagai dalang sehingga dengan leluasa memainkan peranannya dalam cerita-cerita tersebut. Dengan kiat-kiatnya penutur mengekspresikan kemampuan dan pengalamannya sehingga melahirkan suatu penilaian terhadap pemikiran dan perasaan tokoh, misalnya. Contohnya terdapat dalam Serat Lelampahanipun Robinson Krusu berikut.
98
Nalaripun nuli mungup-mumgup, awicanten salebeting manah, "0, Allah, dene wong kang padha soleh mengkono nganti padha kena ing bilai, apa maneh aku kang duraka marang bapa biyung," Sanalika Robinson nelangsa ngantos luhipun medal.(SLRK, him. -25)
'Pikirannya lalu menyembui, berkata dalam hati,"Ya, Allah, sedangkan orang-orang yang saleh saja menemui ajalnya,apa lagi aku yang durhaka kepada ayah ibu." Seketika Robinson menyesal hingga keluar air matanya.'
Kemampuan dan kebebasan penutur tampak pula ketika ia mampu mengekspresikan pengalamannya untuk menampilkan seni budaya (yang dianggapnya) adi luhung 'indah tinggi', seperti yang terdapat dalam Serat Riyanto berikut. Raden Ayu gumujeng awitrumaossarasgerahipun sareng pinanggih ingkang putra Dalunipun lajeng ringgitan.(SR, him. 40)
'Raden Ayu tertawa sebab merasa sembuh sakitnya setelah bertemu dengan putranya, .... Malamnya lalu mengadakan pergelaran wayang.'
Margining Kantomen adalah satu-satunya novel yang rnenggunakan sudut pandang campuran.Pemakaian sudut pandang cam-puran itu berkaitan dengan bentuk narasi cerita ini yang merupakan cerita berbingkai karena di dalamnya terdapat cabang cerita yang memiliki unsur cerita yang lengkap. Dalam cerita pokok terdapat tokoh utama yang bemama Dyah sulistya. Kemudian dalam cabang cerita, yakni pada episode kesembilan dan kesebelas, tokoh utama itu berfungsi sebagai penutur. Pada episode kesembilan (MK, him. 80-85), tokoh utama bertutur tentang kelelawar dengan gaya dialog antara Cu\vit dan Ciit serta dialog antara keyong 'siput' dan konang 'kunang'. Kemudian, pada episode kesebelas (MK, him. 86-113) tokoh utama bercerita tentang keberhasilan Sularsih, putri adipati yang membebaskan ayahnya dari dalam penjara karena difitnah oleh Adipati yang lain. Hal itu teijadi karena Adipati iri hati. 4.4.7 Gaya Bahasa Dilihat dari ragam bahasa yang dipakai secara dominan, lima belas novel yang diteliti dapat dikelompokkan menjadi dua. Kelompok pertama yang terdiri atas tiga novel, yakni Lelakone Amir;Isin Ngaku Bapa;dan Tig Ian Tor, menggunakan ragam ngoko. Kelompok kedua yang terdiri atas dua belas novel; yakni Basiran Basirun; Serat Lelompahanipun Robinson Krusu;Serat Lelompahanipun Sang Retna Suyati; Serat Kramaloyo; Serat Rangsang Ruban; Tjariyosipun Tilarso; Cariyos Lelampahanipun Sida;
99
Margining Kautamen; Serat Gati Gati; Serat Bares Kures; Tuhuning Katresnan; dan Serat Riyanto, menggunakan TZ.gdxn krama. Namun,dalam
adegan dialog,misalnya,kedua kelompok itu kadang-kadang menggunakan kedua ragam tersebut. Misalnya, dalam Tig Ian tor, yang secara dominan menggunakan ragam ngoko dan menggunakan ragam krama, seperti kutipan di bawah ini.
TignulimaranimenyangpanggonanebocahPekalongan,nakokakeapatenandheweke Bocah Pekalongan ana siji sing takon,"Nama sampeyan sinten?"Tig Ngandhakake ditolak.
jenenge. Bocah kang taken maunuli kandha, "Gajegipun wau inggih pancen dipuntolak.''(TLT, him. 30)
Tig lalu mendekati tempat anak Pekalongan, menanyakan apa benar ia ditolak. Anak Pekalongan ada seorang yang bertanya,"Nama kamu siapa?" Tig menjelaskan namanya.Anak yang bertanya tadi lalu berkata,"Agaknya tadi memang benar ditolak.'"
Sebaliknya, dalam Serat Bares Kures yang secara dominan menggunakan ragam krama, terdapat penggunaan ragam
Hal itu dapat diketahui
dari kutipan berikut. Jayawicara, "Lho, kok kowe le, padha slamet hae?"
tare kekalih, "Sakingpangestunipun Kakang, nuwun inggih wUujeng." Jayawicara, "Bapak, embok rakya padha sugeng, ta?" Lare kekalih,''Nuwun inggih, sami sugeng."(SBK, him. 23) 'Jayawicara,"Lo,kok kamu dik, kalian selamat?"
Kedua anak,"Atas restu Kakak, ya selamat." Jayawicara,"Bapak, Ibu kan baik-baikjuga?" Kedua anak,"Ya benar, semua baik-baik.'"
Selain kedua ragam di atas, ada tiga novel, yakni Basiran Basirun;
Serat Lelampahanipun Sang Retna Suyati; dan Serat Kramaloyo, yang digubah dalam bentuk tembang sehin.;^ga bahasanya tampak lebih khas daripada karya-karya yang lain yang berbentuk prosa. Kekhasan bahasa itu
disebabkan oleh ketentuan matra {guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra) yang mengikatnya. Hal itu dapat diketahui dari kutipan tembang Gambuh berikut ini.
Keparenga pukulun, ulun maturjalentrehing wuwus, boten sebab sing wangkatpitutur jati, nging keni winastan mberung, ring saru kadya rageng ngong.(SK, him. 36)
Izinkanlah aku,aku omong kejelasan tutur, tidak sebab menghindar nasihat baik, tapi dapat dikata menyimpang, ke jorok bagai jasatku.'
Berbeda halnya dengan bahasa yang digunakan dalam prosa. Bahasa dalam prosa, biasanya, tampak lugas sehingga mudah dipahami. Hal itu
100
dapat diketahui dari kutipan berikut ini, yakni di dalam Isin Ngaku Bapa menggunakan ragam ngoko dan Margining Kautamen menggunakan ragam krama.
Mas Wiryawaranaing batin mbenerakepanemunesing wadon,Ananging,dhasar wong candhala, atine kapuket iblis. Krungu ujar becik mangkono iku ora dadi panarimane. (INB, him. 67)
'Mas Wiryawarana dalam hati memlienarkan pendapat istrinya. Tetapi, berhubung orangjahat, hatinya dirasuki iblis. Mendengar kata-kata yang baik seperti itu tidak mau menerimanya.'
Kacariyos, ingkang wonten ing kunjara, sareng mireng pawartos manawi sang Putri taksihsugeng,atambuh-tambuh raosing namah,bingung boten kanten-kantenan.(MK, him. 129)
'Dikisahkan, yang berada di dalam penjara, setelah mendengar manawi sang Putri masih hidup, amat gelisah rasa hatinya, bingung tidak terkirakan.'
Di samping gaya bahasa yang khas dan yang lugas di atas, dalam karyakarya tersebut terdapat berbagai majas, di antaranya adaiah simile, ironi, dan hiperbola. Gaya simile tampak lebih dominan daripada kedua gaya itu.
Gaya simile, biasanya, ditandai dengan pemakaian kata kaya, kados, kadi, kadya 'bagai', 'seperti'. Gontoh di bawah menggambarkan sikap sayang Wangsawirya terhadap Samun,anaknya,dalam Isin Ngaku bapa,serta citra Endhang Wresthi dalam SRT. .Saking gedhening tresnaku ing anak,rasaning ati kaya raga arep koncatan suksma, ngalumpruk tanpa daya."(INB, him. 10) "... Oleh karena amat sayangnya pada anak, rasa hati bagai jasat yang akan kehilangan nyawa, lesu tanpa daya."
Kocaking netra pindha lintang karahinan. Dhasar sesinomipun boreh kados mentas wungu saking sare.(SRT, him. 91) 'Lirikan matanya bagai bintang kepagian. Apa lagi anak rambutnya menguari bagai orang yang baru bangun dari tidur.'
Gaya ironi dalam karya-karya yang diteliti,umumnya,bempaungkapan tokoh kepada tokoh lain yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Misalnya, dalam Serat Riyanto terdapat pemyataan Srini yang disampaikan kepada Nestri bahwa ia tidak mencintai Riyanta, padahal yang teijadi adaiah sebaliknya.
"Nes, yen kowe isih dhemen karo aku, aja kokpindho dolan menyangpesanggrahan karo maneh aja sok nyedhak Raden Mas Riyanta,... dikira aku seneng...."(SR, him. 41)
101
Nes,jika kamu masih suka kepada saya,jangan kauulang bermain ke pesanggrahan dan lagi jangan sering mendekati Raden Mas Riyanta,... dikira aku cinia...."'
Kemudian, dalam Margining Kautamen terdapat gaya ironi yang berupa pemyataan Kartapraja terhadap Dyah Sulistya. Oleh karena keinginannya untuk menikahi Dyah Sulistya ditolak, Kartapraja menyurati Adipati Jayanagara, suami Dyah Sulistya, yang berisi fitnah bahwa wanita itu berbuat serong dengan abdi kesayangannya. Enjingipun Kartapraja ngaturi serat katur sang Adipati; suraosipun ngawon-awon sang putri, dipunwadulaken lampah sedheng kaliyan satunggaling abdi kinasih; mila sapunika sang Putri kinunjara; manawi kepareng badhe lajeng kapatrapan ukum (MK,him. 13)
Paginya Kartapraja mengirimkan surat kepada sang Adipati;isinya menjelek-jelekkan sang Putri, dilaporkan berbuat serong dengan seorang abdi kesayangannya; maka sekarang sang Putri dipenjarakan;jika diizinkan akan segera dijatuhi hukuman mati.'
Gaya hiperbola biasanya berupa ungkapan atau pemyataan yang dibesar-besarkan. Gaya itu antara lain terdapat dalam Serat Rangsang Tuban. Gaya itu dipakai ketika Ratu Wayi menghadapi musuh. Baya dheweke ora kulak warta, adolprungon, yen putrane Sang Prabu Hertambang ing Banyubiru, ajejuluk Dewi Wayi, punjul ing apapak, mrojol ing akerep, mancala putra-mancala putri, bisa manjing ajur-ajer,"(SRT, him. 104)
"'Apakah ia tidak mencari kabar, mendengar berita, bahwa putri Sang Prabu Hertam bang di Banyubiru, bemama Dewi Wayi, lebih unggul daripada yang lain, lolos dari segala rintangan, dapat menjelma sebagai pria atau wanita, mampu merasuk ke dalam mara-bahaya."'
4.4.8 Gaya Cerita
Telah disebutkan di muka(lihat 4.4.1)bahwa semua karya yang diteliti mengandung unsur pendidikan. Namun, karya-karya yang tampak benarbenar bergaya didaktik adalah SLRK,BB,SK,TT,INB,dan SGG. Dalam karya-karya itu tampak bahwa penutur dengan kemahirannya memberikan nasihat-nasihat lewat tokoh-tokohnya, tindakan-tindakan tokoh, dan se-
bagainya. Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa dalam situasi yang kritis, Nyai Demang Gitapraceka menasihati sugita, anaknya, agar tabah dalarn menghadapi cobaan, yakni kejujuran dan giat belajar. BokMas Demang wicanten malih, "Dhuh,anakku, ngger, Sugita, aja uwas atimu, sing sentosa, Ian ngandela marang Gusti Allah. Yen kowe narima Ian temen ing atimu amasthi bakal ana kaelokaning Pangeran,sebab Gusti Allah iku sipat murah Ian asih. Sing sapa rahayu Ian temen-temen ing ati, wedi, ngandel ing GustiAllah amesthi bakal anemu kamurahan. Ora liwat wekasku marang kowe, ngger, yen aku wis ora ana. kowe
102
meluasapa-sapaaja lalinjaluka wulangmaeoinulissastratelungprakara,Jawa,Arab, utawa kawruh liya-liyane, amargajaman saiki kang dadi pancadaning kamulyan iku mung kapinteran "(SGG,him. 27) 'Bok Mas Demang berkata lagi,"Aduh, Anakku, Nak,Sugita,jangan khawatir, yang tabah, dan bertawakallah kepada Tuhan Allah. Jika kamu pasrah dan jujur di hatimu
pasti akan ada keajaiban Tuhan,sebab Tuhan Allah itu bersifat pemurah dan pengasih. Barang siapa berbaik dan bersungguh-sungguh dalam hati, takwa,iman kepada Tuhan Allah pasti akan mendapatkan kemurah m.Tidak lain pesanku kepadamu,Nak,jika aku sudah tiada, kamu bila ikut siapa punjangan lupa meminta pelajaran membaca, menu-
lis tiga macam tulisan, Jawa, Arab,Belanda,atau ilmu lainnya,karena zaman sekarang yang menjadi titian kemuliaan itu hanya kepandaian ...."'
Di samping itu, seperti dinyatakan di muka (lihat 4.4.3) bahwa karya-
karya yang mengesankan adalah karya-karya yang menggambarkan situasi objektif. Oleh karena itu, sebagian karya yang diteliti bergaya realistik. Karya-karya yang bergaya realistik itu adalah Lelakone Amir; Cariyos Lelampahanipun Sida; Tig Ian Tor;dan SeratBares Kures, Kutipan berikut ini tampak suasa dialog yang menggambarkan realitas. Kyai Mangunteki, "Bokne, mrenea!" Nyai Mangunteki, "Inggih."
Kyai Mangunteki, "Kuwe, lo, jure anak-anakmu sesuk arep tilik kakange menyang Sanden, kanthi arep ndeleng segara."
Nyai Mangunteki, "Lah, bok inggih kajengipun, tiyang saplok kakangipun wonten ngrika dereng nate tuwi."(SBK, him. 6) 'Kyai Mangunteki,"Bu,kemarilah!" Nyai Mangunteki,"Ya."
Kyai Mangunteki,"Itu, lo, katanya anak-anakmu besok akan menengok kakaknya ke Sanden, sambil akan melihat laut."
Nyai Mangunteki,"Lah,biarlah,kan selamakakaknya beradadi sana belum pernah me nengok."'
Di antara karya-karya tersebut ada yang bergaya romantik. Karya-
karya itu adalah Serat Lelampahanipun Sang Retna Suyati;Serat Rangsang Tuban; Margining Kautamen; dan Serat Riyanto, Dalam karya-karya itu tampak penggambaran kejiwaan yang penuh daya khayal dan perasaan batin tentang dunia. Kutipan berikut ini menunjukkan suasana sedih ketika Dyah Sulistya akan ditinggal pergi suaminya untuk berperang. Sang Putri mbredel waspanipun ketang tresnanipun dhateng ing raka, wusana matur, "0, kados pundi pplah kula yen Kang Mas manggih tiwas wonten madyaning peperangan."
Sang Adipati ngandika, "Aja kakehan kang kokpikir, Yayi...."(MK,him. 9)
103
*Sang Putri berjatuhan air matanya karena cintanya kepada suami, akhimya berkala, "Oh, bagaimana sedih saya jika Kanda gugur di medan perang." Sang Adipati menjawab,"Jangan banyak yang kaupikirkan, Dinda
Gaya lain adalah bahwa selain Serat Bares Kures, karya-karya itu terbagi atas beberapa episode. Episode dalam karya yang berbentuk puisi tembang ditandai dengan pergantian pupuh. Setiap episode biasanya diawali dengan ungkapan kacarita, kacariyos 'diceritakan','dikisahkan' atau ya ta 'alkisah'. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut. Kacarita Tig Ian Torduwe sedulur riak-sanak, kaprenah kakang, kang isih sekolah ing pamulangan angka II ing kutha Blora, arane Win.(TLT, him. 5)
^Diceritakan Tig dan Tor mempunyai saudara sepupu, berstatus kakak, yang masih belajar di sekolah angka II di kota Blora, nam^ya Win.' Kacariyos ingkang nandhang brangta puteg, peteg raosing galih, dhahar boten eca, sare boten sekeca, tansah ngenget-enget ingkang rayi.(MK,him. 51-52) 'Dikisahkan yang dimabuk cinta sedang pusing,pedih hatinya, makan tidak enak,tidur tidak nyenyak, selalu teringat istrinya.'
Ya ta nalika semana,Sang Aprabu Abdulmajid,ingkang suka pireneng tyas,....(SLRS, him. 5)
'Alkisah ketika itu. Sang Prabu Abdulmajid, yang suka cita hatinya,....'
Serat Bares Kures itu selain tidak terbagi atas episode-episode,juga dituturkan mirip dengan kisah perjalanan (lihat 4.4.2). Kemudian,khusus di
dalam Margining Kautamen terdapat gaya cerita yang menampilkan suratmenyurat. Surat itu dibuat Dyah Sulistya dalam penjara untuk Adipati Jayanagara, suaminya, yang dititipkan kepada Surtinah(MK,him. 23-26) dan surat dari Jayanagara kepada Kartakusuma, mertuanya (MK, him. 52-53). 4.5 Cerita Anak-anak
Analisis struktur cerita anak-anak yang terbit pada periode akhir abad
ke-19 s.d. tahun 1920 meliputi tema dan masalah, alur dan teknik pengaluran,tokoh dan penokohan,latar cerita,sudut pandang,judul,dan gaya cerita.
Dalam analisis gaya cerita, dibicarakan tentang gaya bahasa dan gaya penceritaan. Dapat pula disebutkan bahwa pada periode itu cerita anak-anak yang terbit lebih kurang tiga puluh tiga judul, yang terbit di Betawi, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan kota lainnya.
104
4.5.1 Tema daa Masalah
Seperti halnya telah dimaklumi selama ini bahwa cerita anak-anak cenderung dimaksudkan sebagai bacaan untuk menyalurkan nilai pendidikan. Cerita yang terbit pada periode itu pun, secara dominan, mengetengahkan tema pendidikan. Oleh sebab itu, cerita anak-anak (berupa mite, legende, sage, dan sebagainya) yang ada memiliki tema yang berhubungan dengan masalah moral atau etika, ketekunaii dalam merealisasikan cita-cita, tema
yang berkaitan dengan masalah untuk menumbuhkan semangat cihta tanah air, dan tema yang berkaitan dengan masalah sosial, seperti pentingnya seseorang memiliki jiwa kepedulian, kerukunan hidup antarindividu, dan sebagainya. Tema yang berkaitan dengan masalah kebaikan itu selalu mengatasi kejahatan, yakni usaha yang selalu menepati janji, dan keserakahan merupakan tindakan penyimpangan dari konvensi moral yang dianut oleh masyarakat, terdapat di dalam cerita Biyung Kuwalon; Cariyos Rara Kadreman; Rara Larasati;Senggutru;Dongeng Waris Ian Lalis, dan lain-lainnya.Pada umumnya cerita-cerita itu menampilkan tokoh jahat yang sering menindas dan memperlakukan pihak lain secara tidak manusiawi atau sewenangwenang.
Dalam cerita Biyung Kuwalon, tema moral itu dieksplisitkan dalam bentuk tindakan seorang ibu tiri terhadap anak tirinya. Tokoh cerita ibu tiri itu telah memperlakukan anak tirinya yang bemama Kasih dengan kesewenangan, sedangkan terhadap anak kandung sendiri sangat memanjakannya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tema moral itu berkaitan dengan jnasalah tanggungjawab orang tua terhadap anak.Akhimya, perlakukan ibu tiri yang secara tidak manusiawi itu merupakan tindakan yang keliru, dan harus mendapat peringatan atau hukuman secara tidak langsung dari Tuhan. Kesengsaraan yang dialami oleh Tiwar(anak kandung dari ibu tiri yang selalu dimanja)merapakanbukti bahwatindakan sewenang-
wenang seorang ibu terhadap anaknya sebagai penyimpangan moral. Sebaliknya, penderitaan yang dialami oleh Kasih akibat perlakuan ibu tirinya tersebut telah mempakan sarana atau bea yang membawa kebahagiaannya. Cerita anak yang mengedepankan tema moral yang berkaitan dengan sikap seseorang dalam memegang janji yang telah diucapkan terdapat dalam Cariyos Rara Kadreman. Karena teijadi pengingkaran terhadap kesanggupan atau janji yang telah disepakati, semua tokoh di dalam cerita itu mengdami nasib yang memilukan. Sebelumnya, Ki Aeng Mangli me-
105
nyanggupi syarat yang ditetapkan oleh Ki Ageng Manggo sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh Ki Ageng mangli dalam melamar Rara Kadreman. Akan tetapi, melihat tanda-tanda bahwa Ki Ageng Mangli akan mampu memenuhi pesyaratan itu, Ki Ageng Manggo berupaya untuk menggagalkan usaha calon menantunya itu. Tindakan yang dilakukan oleh Ki Ageng Manggo itu disebabkan oleh ketidaksetujuannya atas lamaran Ki Mangli. Akan tetapi,ketidaksetujuan itu tidak disampaikan secara langsung. Berkat kecurangan Ki Ageng Manggo dalam menggagalkan usaha Ki Mangli untuk memenuhi permintaan ayah Rara Kadreman itu; antara Ki Manggo dan Ki Mangli terlibat pertempuran. Ki Ageng Manggo terbunuh oleh Ki Ageng Mangli karena kesalahannya dalam mengingkarijanji yang telah ditetapkannya sendiri. Selanjutnya, Rara Kadroman pun mati bunuh diri sewaktu menyaksikan ayahnya meninggal dalam pertempuran melawan calon suaminya itu. Peristiwa tragis itu dapat dihindari jika Ki Ageng Manggo tidak berusaha untuk mengingkari janji yang sebelumnya telah disepakati antara dirinya dengan Ki Ageng Mangli. Masalah moral yang berkaitan dengan tindakan penindasan atau perampasan terhadap milik orang lain terdapat dalam cerita Serat Panutan; Senggutru; Dongeng Waris Ian Lalis; Rara Larasati; dan Cariyos Kartimaya. Secara garis besar, keempat cerita itu mengangkat tema yang dapat dirumuskan bahwa penindasan atau keserakahan yang diperankan oleh .seseorang itu merupakan tindakan di luar norma moral yang berlaku.Hal itu dapat disimpulkan dari semua bentuk keserakahan atau penindasan yang selalu berakibat kesengsaraan pada pelaku cerita yang ada. Dalam cerita Serat Panutan, penindasan yang dilakukan oleh Bauwijaya atas keluarga Singadrana yang miskin itu telah menyebabkan pelaku penindasan itu jatuh dalam kemiskinan. Sebaliknya, keluarga Singadrana beserta anaknya berhasil mencapai kehidupan yang baik. Keadaan seperti itu juga terjadi di dalam cerita Senggutru. Tokoh raksasa yang memiliki kekuatan besar itu telah membuat penderitaan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Akhimya,raksasa yang perkasa itu terbunuh hanya oleh seorang gadis kecil bemama Senggutru. dalam cerita Rara Rarasati, keserakahan seorang raja, bemama Raja Tejakusuma, memaksa untuk mengambil wanita yang telah menjadi istri orang lain itu harusditebus dengan nyawanya.Raja Tejakusuma berusaha.untuk merampas Rara Larasati dari suaminya secara terselubung. Usaha merampas istri orang lain itu tidak berhasil. Bahkan, keserakahan tersebut harus diganti dengan kesengsaraan.
106
Cerita yang mengangkat masalah pendidikan tentang kesadaran hidup hemat terdapat di dalam Serat Panutan dan Serat Pawulang. Dalam kedua cerita yang disebutkan terakhir, pelaku yang berkesadaran memiliki sikap hidup hemat diwakili oleh sosok anak yang berasal dari lingkungan keluarga miskin dain yang tertindas. Misalnya, pelaku yang bersikap hidup hemat dalam Serat Panutan adalah seorang anak yang berasal dari keluarga
miskin, yakni anak darijanda singadrana yang hidup sebagai buruh penumbuk padi di rumah seorang pedagang beras di desanya. Sementara itu, anaknya, Dapa,tidak enggan pula bekeija kasar yang layak dilakukan oieh anak-anak di lingkungan desa.Berkat kehematannya dalam membelanjakan penghasilan dan kegemarannya menabung,Singadrana dan Dapa semakin membaik ekonomi rumah tangganya. Akhimya, Dapa menjadi orang ter-
pandang di desanya karena merupakan orang yang sangat berhasil dalam mengupayakan peningkatan ekonominya. Masalah kemandirian hidup dalam kaitannya dengan nilai seseorang berdasarkan karya nyatanya diketengahkan secara menonjol dalam karya
Pujaarja, yakni Serat Nitikarsa dan Serat Nitileksana. Dalam cerita yang pertama itu, Pujaarja masih belum tampak lugas dalam usahanya mengembangkan pemikiran modem yang meletakkan orientasi hidup seseorang terdapat dalam kemampuannyabekerja. Akan tetapi,dalam cerita keduanya Serat Nitileksana, ia telah menolak masalah yang bersifat mistis melalui tokoh Ki Nitileksana. Penolakan itu juga dilandasi oleh pemikiran yang
realistis, yakni setelah melakukan pengamatan dan pembuktian secara gigih dan cermat.
Masalah dalam cerita Dongeng Waris Ian Lalis(1913) tidak berbeda
jauh dengan masalah yang terdapat dalam cerita Rara Rarasati. Akan tetapi, antara keduanya terdapat perbedaan latar belakang kondisi tokph cerita yang memungkinkan seseorang bertindak untuk menyengsarakan pihak lain. Dalam cerita Dongeng Waris Ian Lalis, keserakahan Waris terhadap Lalis lebih disebabkan oleh kondisi tokoh Lalis yang erat dengan amanat
cerita itu sendiri. Jadi, kalau Waris sering memperdaya Lalis, hal itu dimaksudkan untuk menonjolkan masalah pendidikan dan kecerdasan yang
perlu diperhatikan oleh seseorang. Lalis terpedaya oleh Waris karena kebodohan pikirannya.
Tema yang bempa pentingnya pendidikan bagianak-anak yang berkaitan
dengan masal^ pendidikan secara luas sangat dominan dalam cerita anak
107
periode itu. Masalah pendidikan dalam cerita anak itu dapat diklasifikasikan
dalam kategori yang rinci, yakni(a)pendidikan yang menitikberatkan pada pentingnya usaha atau bekeija keras;(b) pendidikan yang mementingkan masalah kenikunan; dan (c) pendidikan yang berkaitan dengan kesadaran hidup hemat.
Di antara masalah pendidikan itu, yang paling banyak adalah cerita yang mengedepankan aspek pendidikan yang berkaitan dengan penyampaian amanat terhadap pembaca berupa keharusan seseorang memiliki sikap gigih dalam memberikan makna terhadap kehidupannya. Dalam kaitan itu,juga dipentingkan adanya maksud penulisan beberapa cerita anak yang menonjolkan masalah orientasi nilai hidup yang didasarkan pada
karya nyata masing-masing individu. Di antara cerita anak yang mengetengahkan tema pendidikan yang berkaitan dengan kewajiban belajar dan berjuang secara gigih dalam meningkatkan kualitas hidup itu terdapat dalam Serat Panutan, Serat Darmakanda, Serat Nitikarsa, dan Serat Nitileksana secara mendetil.
Tema yang berupa penolakan pemikiran mistis dalam Serat Nitikarsa
itu dieksplisitkan melalui kehadiran tokoh cerita bemamaMangun.Kehadiran tokoh itu dimaksudkan sebagai pembuka jalan untuk mengubah pandangan masyarakat ketika itu yang masih dekat dengan masalah yang bersifat adat atau takhayul. Berkat karya nyatanya,pemerintah mengangkat Mangun menjadi tenaga pembantu polisi. Bahkan, selanjutnya, Mangun ditetapkan sebagai tenaga polisi bergelar Mangun Raharja. Nama itu ditetapkan sesuai dengan jasanya dalam menciptakan kt'raharja-an wilayah yang dibimbingnya. Mangun selalu mengarahkan warga untuk bekerja sesuai dengan keterampilan yang dimilikmya sebagai bekal mencari nafkah. Tema yang berupa penolakan terhadap masalah-masalah yang bersifat mistis dalam Serat Niti Karsa dan tersirat dari semangat Mangun dalam memajukan kehidupan warganya. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut.
Wong kang dibawahake Mangun pada wedi sarta mituhu banjur mareni legedah kang kaya mangkono. Mangkono maneh Mangun banget angudisupaya desa utawa pakampungan kang dibawahakepada dadiya kerta raharja,aja ana laku kadurjanan(hal. 39).
'Orang-orang yang dibawahkan oleh Mangun merasa takut dan patuh, tidak lagi melakukan tradisi legenda seperti yang sudah-sudah. Dan, Mangun semakin gigih dalam mengusahakan ketenteraman desa dan kampung yang diperintahkannya agar tidak terjadi tindakan kejahatan lagi'.
108
Penolakan terhadap masalah yang bersifat mistik itu semakin tegas di dalam Serat Nitileksana. Ketika Kaji Abdul Samad menanyakan keberaHaan benda-benda yang dipercayakannya dapat mendatangkan keberun-
tungan, Ki Nitileksana menyatakan dengan tegas bahwa benda-benda yang dinilai yang memiliki kekuatan gaib itu tidak peraah ada. Bahkan, Ki Niti leksana menganjurkan kepada orang itu agar bekerja untuk mencari nafkah bukan percaya terhadap benda-benr'a gaib yang sebenamya tidak ada. Ki Nitileksana mengajarkan untuk menekuni suatu pekeijaan agar seseorang
dapat hidup berkecukupan secara mated, seperti kutipan berikut. ... boten wonten sarat setan belong malih, kajawi amung ngqntepi manah satunggal mungkul amekeli padamelan (hal. 5). ... tidak ada lagi syarat setan belong lagi, kecuaii hanya bersungguh-sungguh dan memegang satu keyakinan rajin dan tekun bekeija'.
Semua murid Ki Nitileksana itu semakin baik kehidupannya setelah melak-
sanakan anjuran untuk menekuni pekerjaan masing-masing dan mereka sama sekali tidak boleh mencari benda gaib yang tidak dapat menolong
seseorang untuk mengatasi masalah. Dalam deskripsi tema dalam cerita ahak-anak, perlu juga disebutkan bahwa beberapa cerita menempatkan pentingnya peranan orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Pada umumnya, masalah
pendidikan budi pekerti anak tersebut terdapat dalam cerita yang berbentuk antologi (kumpulan) dari beberapa cerita, seperti yang terdapat di dalam SDR,DMW,dan sebagainya.
Cerita anak-anak pada periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920, beberapa di antaranyajuga mengangkat permasalahan rumah tangga. Pada umumnya,cerita-cerita itu memuat tema kesetiaan seorang istri akan membawa kebahagiaan rumah tangga. Tema tersebut berkaitan dengan masalah keruwetan rumah tangga akibat kehadiran pihak ketiga yang
mengganggu hubungan suami-istri. Paling tidak terdapat tiga cerita yang memuat masalah kesetiaan suami-istri. Ketiga cerita itu dikemas dalam
kisah yang bertalian dengan usaha perampasan seseorang terhadap hak orang lain. Di samping itu, dalam satu cerita masalah kesetiaan itu dikemas dalam kaitan dengan penolakan terhadap pandangan yang bersifat materialistik bagi seorang istri yang dinilai sebagai kelemahannya di dalam pandangan suami. Ketiga cerita yang memuat tema dan masalah semacam itu adalah Cariyos Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri, Dongeng akal Penaos Kalih Sen dan Rara Rarasati. Untuk kelengkapan deskripsi tentang
109
pentingnya seorang istriitu harus memiliki kesetiaan yang tulus pada suami dijabarkan pengekplisitan masalah itu dari Dongeng akal Pangaos Kalih Sen. Dalam cerita ini, kesetiaan itu ditampilkan bersamaan dengan penolakan sikap materialistis yang ada di pihak istri.
Sebagai saudagar yang kaya, Karyaarta memiliki beberapa orang istri. Para istri itu sangat memperhatikan kepentingan suaminya yang dinilainya telah memberikan banyak kesenangan hidup terutama kesenangan materi. Akan tetapi, ketika Karyaarta itu pergi berdagang mengalami nasib buruk. Saudagar kaya itu pulang dalam keadaan mengenaskan seperti seorang gelandangan yang berpakaian compang-camping.di samping itu, Karyaarta sangat menderita secara fisik. Dalam kondisi seperti itu, semua istrinya
bersikap kurang baik terhadap Karyaarta kecuali istri yang pertama yang bemama Bok Wagiyem. Bok Wagiyem dengan tulus merawat suaminya dan tetap memperlakukannya secara baik. Berdasarkan sikap para istrinya itu, Karyaarta berkesimpulan bahwa semua istrinya itu tidak memiliki kesetiaan, kecuali istrinya yang bemama Wagiyem. Akhimya, Karyaarta bemiat menceraikan istrinya selain Wagiyem. Karyaarta dapat hidup rukun dan saling mengasihi bersama Bok Wagiyem yang secara tulus menyayangi suaminya itu.
Pada periode itu,juga terdapat satu cerita yang bertema cinta tanah air,
yakni cerita Serat Jaka Johanis (1913). Masalah kewajiban sehubungan dengan pendidikan cinta tanah air itu diturunkan dari pribadi seorang guru kepada muridnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masalah sikap cinta tanah air perlu diwariskan kepadagenerasi penerus.Dalam cerita ini seorang guru yang bemama Kyai Wasita memberikan wejangan, sedangkan murid yang menerima amanat itu adalah Jaka Setya dan Jaka Sedya.
Disebutkan bahwa sebelum kedua murid itu bermaksud mengabdikan dirinya kepada pemerintah (waktu itu pemerintah kerajaan) telah diberi
nasihat khusus tentang syarat seseorang menjadi abdi negara oleh Kyai Wasita. Kyai Wasita mengajarkan pentingnya seorang abdi negara mengetahui tingkatan-tingkatan pengabdian, yakni tingkatan nistha, madya, dan utama. Selanjutnya, Kyai Wasita menganjurkan agar kedua muridnya itu dapat memerankan dirinya menjadi abdi negara yang utama 'utama' atau setidaknya adi negara tingkatan madya 'menengah'. Ciri-ciri tindakan abdi negara yang nistha hanya untuk diketahui saja dan bukan untuk diperankan
oleh seseorang. Wejangan tentang pentingnya sikap cinta tanah air yang
no
terekspiisitkan itu melalui tindakan nyata Jaka Setya dan Jaka Sedya, ya itu menandakan bahwa misi generasi tua mewariskan nilai cinta tanah air itu
berhasil cukup baik. Hal itu terbukti bahwa kedua murid itu dapat memerankan dirinya selaku pejabat negara yang mampu membawa ketenteraman rakyatnya.
Di samping tema-tema itu, beberapa cerita anak pada periode itu memiliki tema yang berupa pentingr.ya jiwa tepaslira terhadap orang lain yang tertuang dalam sikap peduli terhadap penderitaan orang lain. Tema tersebut erat dengan tuntutan sehubungan dengan peran seseorang selaku makhluk sosial, yakni sikap tolong-menolong sesama manusia. Tema yang berkaitan dengan masalah sosial itu terdapat dalam cerita Bok Randha Setiya Darma, Serat Walikarma, dan Serat Panutan. Dalam cerita yang berjudul Serat Panutan masalah sosial yang berupa tindakan mempedulikan sesama manusia itu merupakan tema minor. Pentingnya sikap hidup saling menolong itu sebagai tema yang sangat menonjol di dalam cerita Bok Randha Setiya Darma.Secara tidak langsung, cerita itu menampilkan amanat berupa kewajiban seseorang untuk berlaku manusiawi yang berkaitan dengan tindakan menolong orang lain tanpa mempertimbangkan hubungan darah antara penolong dan yang tertolong. Tokoh utama di dalam cerita itu, yakni Bok Randa Setya Darma, memiliki
jiwa welasan 'belas kasihan' yang sangat tinggi. la mengesampingkan kepentingan diri dan keluarganya demi dapat mengentaskan penderitaan orang lain yang membutuhkan bantuannya.Kehidupan ekonomi Bok Randha Setya Darma yang serba kekurangan tidak menjadikannya penghalang bagi dirinya untuk melakukan tindakan sosial dalam membantu penderitaan sesama manusia. Suatu saat ia hams merelakan makanan yang menjadi
jatahnya untuk diberikan kepada peminta-minta yang mendatangi mmahnya. Bahkan, jiwa peduli terhadap sesama manusia. Bahkan, jiwa peduli ter hadap sesama manusia itu tercermin pada keikhlasan Bok Randha Setya Darma merawat orang sakit yang ditemukannya sewaktu dalam perjalanan. Jiwa sosialjanda miskin itu diuji secara langsung dengan kehadiran seorang gelandangan yang meletakkan bayi di depan mmahnya. Sebagai seorang yang tinggi sosialnya, dengan tulus dan ikhlas, Setya Darma merawat bayi itu dengan baik. Dalam hal ini, semua yang dilakukan oleh Bok Randha Setya Darma itu sebenamya mempakan suatu ujian keikhlasan dalam membantu penderitaan orang lain. Oleh karena itu, Bok Randha Setya Darma yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk menolong pen-
Ill
deritaan orang lain,Tuhan melimpahkan rahmat-Nya,yakni berapakekayaan yang datangnya tanpa terduga-duga oleh janda miskin itu. Sikap peduli terhadap penderitaan pada pihak lain itu tidak hanya terbatas dalam hubungan sesama manusia,tetapi harasjuga dilimpahkan kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan. Kepedulian terhadap sesama makhluk itu tergambar dalam perilaku Raden Walidarma sewaktu memberikan pertolongan kepada binatangbinatang yang mengalami penderitaan sewaktu Walidarma mengembara dalam rangka mengamalkan ilmu yang telah diturankan oleh gurunya. Bahkan, orang tua Raden Walidarma berpesan kepada anaknya itu agar selalu memberikan pertolongan kepada sesama insan yang membutuhkan bantuan selama dalam pengembaraan. Hal itu disampaikan oleh Ki Supyantara (ayah Walidarma) sebelum anaknya berangkat untuk mengabdikan ilmu yang telah didapatnya dari gurunya. Berdasarkan masalah, tema, dan juga amanat dalam beberapa cerita anak-anak itu dapat disimpulkan bahwa cerita anak yang terbit pada periode akhirabad ke-2()-tahun 1920diarahkan untuk memberikan arahan pendidikan kepada pembaca,khususnya pembaca anak-anak. Selahjutnya,cerita anakanak tersebutdimanfaatkan untuk menjadikan pembacanya menjadi manusia yang memiliki pribadi seimbang, baik selaku insan individu, insan sosial, insan berketuhanan, dan selaku insan warga negara. 4.5.2 Alur Cerita
Alur adalah jalinan yang berapa keterkaitan peristiwa yang dibangun oleh hubungan kausalitas. Secara garis besar,sebuah cerita dapat dibedakan atas bagian awal, tengah, dan akhir cerita. Alur dalam cerita anak tidaklah seramit alur dalam genre sastra yang lain, seperti jenis novel atau roman sejarah. Hal itu juga dipengarahi oleh sifat dari cerita anak-anak yang lebih mementingkan aspek pendidikan bagi pembacanyajika dibandingkan dengan kekompleskan penceritaannya. Di samping itu, cerita anak sering menggunakan penyampaian amanat secara langsung sehingga melahirkan alur yang cukup sederhana. Kesederhanaan pengaluran itu juga disebabkan oleh pertimbangan kemudahan pembaca dalam menangkap nilai didaktik dalam sebuah cerita anak yang juga berkaitan dengan tingkat penalaran pembacanya.
112
Cerita anak-anak pada periode akhir abad ke-20-tahun 1920 didominasi oleh cerita yang memakai pengaluran progresif atau alur lurus. Cerita disusun unit sesuai dengan tataran urutan waktu peristiwa yang dipaparkan dalamcerita yang bersangkutan.Ceritaitu dimulaidenganpaparan kehidupan tokoh, munculnyapermasalahan yang timbul dari suatu hal,dan masalah itu
dapat diselesaikan. Konflik antartokoh selalu muncul pada bagian tengah cerita yang selalu pula dapat diselesa>kan oleh tokoh utama yang mewakili kebaikan. Berkaitan dengan pertimbangan untuk memberikan bimbingan
kepada anak dalam menangkap amanat pendidikan, cerita anak-anak yang ada semuanya diselesaikan dengan alur tertutup. Bahkan, bentuk penyelesaian cerita itu berupa simpulan atas penilaian yang menyangkut tindakan baik-buruk yang telah dilakukan oleh tokoh protagonis dan antargonis. Bahkan, penulis cerita sering memberikan ulasan tentang sesuatu yang benar dan salah disertai himbauan kepada anak-anak untuk meneladani perilaku tokoh utama yang mewakili figur yang berbuat kebaikan. Kondisi itu akan uraikan secara ringkas dalam penjelasan atau anaiisis selanjutnya. Cerita anak-anak sering diawali dengan deskripsi yang menyangkut
kehidupan tokoh utama, seperti kelahiran, kedamaian kehidupan keluarganya, penderitaan tokoh akibat kemiskinan orang tua bagi cerita yang menampilkan tokoh anak-anak. Kegelisahan di dalam sebuah keluarga itu karena kedua suami-istri itu telah lama menikah belum mendapatkan
seorang anak dan sebagainya. Cerita yang menampilkan kegelisahan pasangan suami-istri itu sebenamya merupakan konflik batin yang disampaikan secara halus sehingga menimbulkan kesan seakan-akan keluarga itu tidak melihat adanya kekurangan. Peristiwa itu selalu dihubungkan dengan kemunculan tokoh yang merupakan figur untuk menjunjung kebenaran tokoh utama. Akhimya, pasangan suami-istri itu dikaruniai seorang anak
yang akan membela kebenaran atau akan menjadi tokoh yang membawa kedamaian bagi masyarakatnya. Cerita semacam itu, antara lain, adalah Cariyosipun Jaka Setya dan Jaka Sedaya (1913) dan Serat Walidarma (1883). Pada umumnya pasangan suami-istri yang merindukan kehadiran anak itu ialah keluarga yang kaya,seperti saudagar atau pedagang besar.Hal itu tampak dalam kehidupan keluarga Ki Supyantara di dalam Serat Wali darma dan keluarga Saudagar Branaarda di dalam Carisyosipun Jaka Setya dan Jaka Sedaya. Karena kerinduannya terhadap anak,Saudagar Branaarda malahan mendapatkan anak kembar. Kemudian orang tua itu memberikan pendidikan yang baik. la diserahkan kepada seorang guru yang menguasai
113
berbagai ilmu dengan harapan kelak ia menjadi seorang anak yang memiliki perilaku yang baik.
Cerita yang dimulai dengan lukisan penderitaan tokoh utama atau orang tua yang miskin, penindasan, dan sejenisnya adalah cerita yang berjudul Serat Vitikarsa, Biyung Kuwalon, Bok Candha Setiya Darma, dan Serat Panutan. Dua cerita, yakni Bok Candha Setiya Darma dan Serat Panutan diawali dengan lukisan penderitaan keluarga yang disebabkan oleh kemiskinanannya. Kedua cerita itu menampilkan kemiskinan keluarga
seorang janda yang hidup bersama anak-anaknya. Dalam Boh Candha Setiya Darma, diterangkan mengenai penderitaan Bok Setiya Darma yang ditinggala mati suaminya haras menghidupi anak-anaknya. Demikian pula di dalam Serat Panutan disebutkan kesedihan Singadrana yang miskin untuk tetap dapat memberikan makanan terhadap anaknya yang masih kecil. Di samping itu, konflik di dalam Serat Panutan ini datang dari pihak lain yang melakukan perampasan terhadap harta miliki janda Singadrana yang telah hidup miskin itu. Konflik dalam cerita anak muncul di bagian tengah cerita yang memiliki hubungan untuk menunjukkan tipe tokoh yang baik dan yang jahat sebagai acuan dalam memberikan simpulan pada akhir cerita. Sebagian besar,cerita anak-anak itu menempatkan konflik fisik. Hal itu juga berkaitan untuk mencitrakan pelaku yang mewakili tokoh, baik orang jahat maupun orang baik secara lebih terbuka kepada pembacanya. Keadaan itu akan disinggung kembali dalam analisis tokoh cerita anak-anak selanjutnya. Kalau tidak menampilkan konflik fisik (peperangan, pembunuhan, dan sebagainya), cerita anak itu menempatkan konflik batin (perlakuan seseorang di luar kewajaran,dan Iain-lain)secara sangat intensif atau mendalam. Hal itu juga tidak lepas dari tujuan pengarang dalam menempatkan tokoh hitam-putih di dalam cerita.
Cerita anak-anak yang menampilkan konflik fisik, antara lain, adalah Sri Gandana(1883), Cariyos Pandung, Senggutru, Rara Rarasati, Cariyos Rara Kadiman, dan Dongeng Waris Ian Lalis. Sebenarnya, cerita Biyung Kuwalon juga menampilkan adanya konflik fisik, tetapi tidak dideskripsikan secara transparan, hanya disebutkan saja oleh pengarang cerita. Pada umumnya konflik itu berapa peperangan antara tokoh yang membela kebenaran dan figur yang menentang kebenaran itu sendiri. Akhir dari konflik itu biasanya berapa kematian tokoh yangjahat atau kesadaran tokoh
114
jahat atas kesalahannya dan pengampunan oleh tokoh yang berwatak baik. Bahkan,dalam dua cerita yang bequdul Sri Gandana dan Senggutru, tokoh yang berlaku jahat itu berupa raksaa yang melawan kemapanan pada pihak manusia. Perbedaan antara kedua cerita itu adaiah terietak pada penyelesaian yang menyangkut keberadaan tokoh yang berwatak baik-jahat itu. Dalam Sri Gandana, tokoh raksasa Kalacingkara menyadari kekeliruannya dan diampunioleh Raden Walidarma.Sementaraitu,raksasa Buto Ijo dalam Senggutru terbunuh oleh Senggutru, gadis kecil anak seorang janda di sebuah desa.
Pada periode itu terdapat sebuah cerita yang diselesaikan secara tragik, yakni semua tokoh yang mewakili kebaikan dan kecurangan meninggal, yang terdapat dalam cerita Cariyos Rara Kadreman. Hal itu menyimpang dari semua penyelesaian cerita anak-anak yang selalu diakhiri dengan kemenangan tokoh utama yang merupakan tokoh baik. Konflik fisik itu
berawal dari usaha Ki Ageng Mangge mengingkari janji yang telah disampaikan kepada Ki Ageng Mangli sehubungan dengan persyaratan dalam melamar Rara Kadreman. Akibat kecurangan Ki Mangge tersebut, Ki Ageng Mangli menilai Ki Mangge mengingkarijanjinya. Keduanya terlihat dalam pertempuran. Keduanya sama-sama meninggal. Bahkan, Rara Kad reman sendiri bunuh diri setelah menyaksikan ayahnya dibunuh oleh Ki Ageng Mangli.
Konflik fisik yang berupa penganiayaan terdapat di dalam Biyung Kuwalon. Sebagaimana cerita anak-anak yang menampilkan tokoh ibu tiri, Biyung Kuwalon pun menampilkan kekejaman sebagai ibu tiri terhadap anak tirinya. Ibu tiri itu memperlakukan Kasih (anak tirinya) secara tidak manusiawi.Sebaliknya,ia selalu memanjakan anak kandungnya.Meskipun demikian,justru anak tirinya itu yang menemukan kebahagiaan dan anak kandungnya itu memperoleh penderitaan. Cerita itu diakhiri dengan kehidupan yang rukun antara anggota keluarga tersebut setelah ibu tiri itu menyadari kesalahannya sehubungan dengan caranya memperlakukan anak tirinya yang tidak baik. Anak tiri itu pun bersedia memberikan maafkepada ibu dan adik tirinya dan mereka menerimanya untuk tinggal bersama dengan dirinya. Cerita anak yang menempatkan konflik batin sehubungan dengan kepentingan seseorang selaku individu, seperti masalah ekonomi, keharmonisan keluarga, dan Iain-lain adaiah cerita yang berjudul Bok Randha
115
Setiya Darma, Serat Vitileksana, Serat Panutan, dan Dongeng Akal Pangaos Kalih Sen. Seperti telah disebutkan di atas bah wa cerita anak-anak pada periode itu memakai pengaluran tertutup dan progresif. Akan tetapi, bebrapa eerita yang ada memakai teknik back tracking 'menoleh ke belakang sebentar'. Cerita-cerita yang mengetengahkan adanya teknik menoleh balik itu adalah Serat Darmakanda, Serat Nitikarsa, Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya, dan Bok Randha Setiya Darma.. Cerita.SeratDarmakanda menempatkan backtracking padapenjelasan tokoh utama (protagonis) bemama Kusnun ketika menjelaskan tentang asal-usulnya sewaktu ditanyai oleh Raja Bahdani. Kusnun menceritakan hal-hal yang menyangkut masa keeilnya, peijalanan pengembaraannya, sampai dengan keberhasilannya dalam menyembuhkan penyakit putri Raja Bahdani. Sementara itu, Cariyosipun Jaka Setya dan Jaka Sedayayaga menampilkan teknik tersebut yang berwujud penjelasan Kyai Wasita tentang masa kecil Jaka Setya dan Jaka Sedya, kepatuhan dalam belajar, masalahmasalah yang dihadapi kedua murid itu seaktu mengembara untuk mengamalkan ilmunya, dan seterusnya. Penjelasan Kyai Wasita itu disampaikan kepada para pejabat kerajaan setelah Jaka Setya dan Jaka Sedya menjadi seorang raja dan seorang patih di Kerajaan Puspuradya. Cerita berjudul Serat Nitikarsa mendekati teknik sorot balik atau .flashback. Akan tetapi,flashback itxi baru dimulai di bagian tengah cerita sehingga tetap dikategorikan sebagai cerita yang memakai teknik menoleh balik. Di tengah kisahan, pengarang secara eksplisit menyebutkan keberhasilan Mangun dalam melacak pelaku pencurian barang-barang legedan dalam peti jenazah ayahnya. Baru kemudian, cerita berlanjut dengan mengisahkan perjalanan Mangun dalam menangkap pelaku pencurian barangbarang tersebut satu-persatu secara mendetil. Adanya teknik menoleh ke belakang pada cerita ini dapat diketahui dalam kutipan berikut. Mangun mangkat saka ngomah menyang kuburane bapakne, ditilik temen urug-urugan anyar, tumuli terus menyang omahejuru kuncinemenake ilangebarang.... Mangun tumuli lunga,sajrone
lumaku malusur nalar-nalare Ian kira-kirane. Bareng anggone nggoleki wis sawatara dina, barang mau katemu kabeh, wonge kang nyolong wus kacekel, tumuli diaturake marang parentah (hal.9).
'Mangun berangkat dari rumah menuju kuburan ayahnya, dilihatnya kuburan itu timbunan baru, lalu ke rumah juru kunci makam itu mengabarkan hilangnya barang. ... Mangun segera pergi, sambil beijalan mengingat-ingat dan menduga-duga. Setelah beberapa hari, barang tersebut diketemukan semuanya, orang yang mencuri barang itu ditangkap dan seg era diserahkan kepada pemerintah'.
116
Setelah penjelasan itu, barulah dikisahkan unitan-urutan dan tindakan
Mangun untuk melacak barang-barang yang hilang tersebut sampai dengan ditetapkankan Mangun sebagai tenaga polisi.
Cerita anak-anak pada periode itu seringkali berupacerita yang panjangpanjang. Akan tetapi, juga ditemukan cerita yang sangat pendek seperti terdapat dalam antologi, misalnya cerita beijudul Dongeng Manca Warni, Serat Sabda Rahayu dan Cariyos Sae Sawilas Iji. Cerita pendek-pendek tersebut umumnya tanpa memakai dialog antara sesama pelaku. Sementara itu, cerita yang panjang-panjang juga tidak dibagi dalam bab-bab terpisah seperti sastra novel dalam periode itu pula. Pembagian antara satuan-satuan kisahan hanya dinyatakan secara klise seperti pergantian adegan dalam
cerita wayang. Hal itu dapat diketahui dalam cerita berjudul Serat Darmakanda (1883). Dalam cerita itu, setiap pergantian bagian cerita ditandai dengan permulaan kisahan yang dinyatakan dengan ungkapan permulaan seperti penggunaan kata-kata atau frasa Sigeg ganti kang winuwus(hal.77), Sinigeg ganti kang winami(hal. 108), Ya ta ganti kang winama malih (hal. 132), dan Gantya kang winuwus (hal. 146). Ungkapan di awal bagian kisahan itu masing-masing berarti Berhenti dan ganti yang dikisahkan, Diputus dan berganti yang diceritakan, lalah ganti yang diceritakan, dan Ganti yang diceritakan. Jika diperhatikan pada penyelesaian cerita anak-anak itu, semua cerita
memakai penyelesaian final atau alur tertutup. Beberapa cerita diakhiri
dengan menyampaikan keberhasilan tokoh dalam mencapai keinginan yang telah dipeijuangkan, dan bertemunya kembali keluarga yang telah lama berpisah, baik direncanakan maupun tanpa rencana, meninggalnya tokoh jahat itu akibat kesalahannya, penyesalan seorang terhadap kesalahan yang dilakukan,terentaskannya seseorang dari penderitaan akibat kondisi ekono-
mi mmah tangganya, dan sebagainya. Seringkali, penyelesaian itu sebagai kesimpulan atas terjadinya satu atau lebih dari hal yang disebutkan di atas. Hal itu terjadi dalam cerita Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sadya. Cerita itu menampilkan penyelesaian dengan menempatkan pertemuan antara anak dan orang tua setelah lama berpisah, yakni pertemuan Jaka Setya dan Jaka Sedya dengan Saudagar Branaarda. Namun,pada akhir cerita itu Juga disebutkan tentang keberhasilan tokoh dalam mempeijuangkan nasibnya sebagai bentuk pengamalan ilmu pada diri Jaka Setya dan Jaka Sedya. Penyelesaian cerita yang memuat keberhasilan tokoh yang membela kebenaran dalam mengalahkan lawannya adalah Senggutru dan Kara Kara-
117
satL dalam cerita Senggutru, tokoh jahat itu berupa raksasa yang dapat dibunuh oleh Senggutru yang masih gadis kecil.Dalam halini,sesungguhnya telah terdapat penyelesaian konflik yang kesewenangan telah dikalahkan, tetapi masih ditutup dengan deskripsi yang menyatakan bahwa Senggutru diambil istri oleh seorang pangeran dari Kerajaan Jenggala. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan bahwa konflik itu tidak berkaitan secara langsung antara kehadiran tokoh jahat dan peristiwa Senggutru yang diambil istri seorang pangeran dari Jenggala.
Dalam cerita yang sangat menonjolkan pesan moral tentang pentingnya hidup berdampingan itu sering ditutup dengan kejatuhan tokoh yang bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain atau munculnya kesadaran tokoh
jahat itu atas kesalahan yang telah dilakukannya. Cerita yang memiiki tipe semacam itu, misalnya, cerita Biyung Kuwalon dan Serat Panutan. Kedua
cerita itujuga menempatkan tindakan tokoh baik yang mengampunitindakan tokoh jahat di bagian akhir cerita. Dalam hal ini, Kasih bersedia mengam puni ibu tirinya yang sebelumnya memperlakukan dirinya secara tidak semestinya, sedangkan Bauwijaya dimaafkan kesalahannya oleh Dapa (setelah tua bemama Kertareja). Bahkan, Bauwijaya dan Biyung Kuwalon itu dapat hidup rukun bersama orang yang telah ditindas sebelumnya. Teknik penyelesaian alur secara final atau tertutup itu tentunya dimaksudkan untuk memudahkan pembacanya dalam menilai tindak2in
baik-buruk dari masing-masing pelaku cerita.Teknik serupa itujuga menunjukkan kesederhanaan pengisahan cerita anak-anak dalam rangka penyampaian amanat secara sederhana pula. 4.5.3 Tokoh dan Penokohan
Secara garis besar, berdasarkan fungsinya, tokoh atau pelaku cerita dalam cerita fiksi diklasifikasikan atas tokoh protagonis, antagonis, dan tokoh utama bawahan. Berdasarkan tipe tokoh, dapat dibedakan tokoh berwatak datar (flat caracter) dan tokoh bertipe watak bulat (round caracter). Kalau diperhatikan dari segi teknik penokohan, pelaku cerita itu ada yang dicitrakan secara analitik dan dramatik atau campuran antara keduanya. Deskripsi tokoh dalam cerita anak-anak periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920 dibicarakan tentang jenis tokoh (manusianonmanusia), usia tokoh, status sosial tokoh,jenis watak tokoh, dan teknik
penokohan itu sendiri. Analisis penokohan itu lebih dititikberatkan pada
118
tokoh protagonis-antagonis dalam sebuah cerita atau dalam masing^masing cerita anak. Tokoh lain, misalnya tokoh yang terlibat dalam sebuah cerita
tidak secara langsung, hanya disinggung dalam kaitannya dengan kelengkapan deskripsi tentang tokoh protagonis dan antagonis saja. Pelaku atau tokoh dalam cerita anak pada periode itu dapat diklasifikasikan atas tokoh cerita berupa manusia dan pelaku nonmanusia. Selanjutnya,tokoh cerita nonmanusia dapat dibedakan lagi menjadi binatang, malaikat, dewa, raksasa. Pelaku cerita yang berwujud binatang itu adakalanya berupa burung, kera, ikan, ayam, dan sebagainya. Akan tetapi, sebagian besar cerita anak-anak pada periode itu memakai tokoh berupa manusia, baik berupa anak-anak, remaja, adapun orang dewasa. Bahkan, dalam sebuah cerita biasa dihadirkan tokoh manusia dan nonmanusia(bina tang atau dewa) secara bersama-sama. Kehadiran tokoh nonmanusia itu
menempati sebagai tokoh bawahan atau tokoh antagonis. Cerita yang menampilkan tokoh nonmanusia yang berupa raksasa adalah S, SG, dan BKw. Dalam kedua cerita itu, yakni S dan SO, tokoh raksasa bemama Buta Ijo dan Kalacingkara itu sebagai tokoh antagonis, sedangkan tokoh protagonis, yakni Senggutru dan Sri Gandana. Dalam BKw, tokoh raksasa tersebut, justru, sebagai tokoh bawahan yang membantu tokoh utama dalam mengatasi masalah yang dihadapinya, penderitaan akibat perlakuan dari ibu tirinya.
Cerita anak yang memiliki tokoh dewa atau penjelmaan dewa adalah Cariyos Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri. Cerita itu berisi kisah dua
makhluk dewa-dewa yang menjelma di dunia dalam rangka mencari pasangan yang dicintainya satu dengan yang lainnya. Dalam cerita yang berisi kisah yang ada hubungannya dengan agama Islam, tokoh nonmanusia itu berupa malaikat,seperti terdapat di dalam cerita Serat Darmakanda. Secara tidak langsung, adanya tokoh malaikat (atau penjelmaan malaikat) itu ter
dapat di dalam Bok Kandha Setiya Darma. Tokoh penjelmaan malaikat itu bermaksud untuk menguji Setya Darma dalam hal keikhlasannya menolong sesama. la meletakkan seorang bayi di depan rumah Setya Darma dengan tujuan menguji ketebalan jiwa sosial Setya Darma. Di samping tokoh nonmanusia yang berupa raksasa, dewa,dan malai kat, beberapa cerita anak menampilkan pelaku berupa binatang, yakni
dalam cerita fabel yang beijudul Dongeng Mancawarni. Dongeng ini mempakan antologi cerita anak-anak dan beberapa cerita berupa cerita
119
fabel. Adapun binatang yang menjadi peiaku cerita itu, antara lain, ayam jantan, kambing, lembu, kerbau^ dan burung seperti terdapat daiam cerita yang bequdul Sungune Jago(hal. 5-6)dan Ratuning Manung (hal. 11-12). Satu cerita yang perlu dicatat adalah cerita yang menampilkan peiaku yang mengalami metamorfose dart binatang menjadi manusia, yakni cerita yang berjudul Serat Walidarma. Dalam pengembaraannya, Raden Walidarma membebaskan kera, anai-anai, ikan^ dan sebagainya dari ancaman kematian. Binatang-binatang itu lalu berdoa untuk dapat menjadi manusia dan membalas kebaikan Walidarma seperti yang telah diterima itu. Doa mereka terkabul dan mereka mengabdi kepada Walidarma. Akhimya, mereka itu menjadi pembantu Raden Walidarma dalam memerintah suatu negara. I>apat dikatakan bahwa beberapa cerita anak menampilkan peiaku anak-anak, atau dimulai dari anak-remaja dan dewasa. Hal itu terdapat dalam cerita Serat Walidarma dan Carisipun Jaka Setiya tan Jaka Sedaya. Bahkan, cerita itu diawali dengan keterangan pengarang tentang kegelisahan pasangan suami-istri karena tidak mendapatkan anak. Kemudian, dilanjutkan lahimya seorang anak yang menjadi peiaku utama dalam cerita itu. Cerita semacam itu, biasanya, menampilkan seorang anak yang tekun, suka menolong, patuh pada orang tua, dan perilaku kebaikan lainnya. Keadaan itu terdapat dalam pribadi seorang anak bemama Walidarma dan Jaka Setya serta Jaka Sedya. Cerita anak-anak pada periode itu menampilkan tokoh berwatak hitamputih atau tokoh yang mewakili pribadi pembela dan penentang kebenaran dan kebaikan. Tokoh cerita seperti itu berupa tokoh berwatak datar dari cenderung stereotip atau klise. Pemakaian tokoh hitam-putih semacam itu penting sebagai pola untuk memudahkan pembaca, khususnya anak-anak, untuk menilai peiaku yang baik dan peiaku yang buruk. Pada umumnya tokoh yang berisi anak-anak mewakili pribadi yang baik. Dengan demikian, tokoh hitam selalu berusia dewasa.Tokoh anak yang mewakili pribadi baik berasal dari anak-anak,antara lain, terdapat dalam SW,JSJS,BKw,dan SP. Dalam setiap cerita itu, seorang anak dan selaku tokoh utama mewakili seorang anak yang suka menolong, patuh pada orang tua dan gum, tahan dalam situasi penderita,dan rajin serta tekun bekerja. Tokoh ini diperankan Walidarma,Jaka Setya, dan Jaka Sedya, Kasih,dan Dapa. Selain itu, tokoh yang menentang kemapanan atau kebaikan itu biasanya bempa raksasa di dalam Sri Gandana dan Senggutru,jin di dalam SeratDarmakanda, pencuri di dalam Serat Panutan dan termasuk tokoh berwatak hitam.
120
Penokohan dalam cerita anak-anak itu bersifat analitik atau langsung. Bahkan, penokohan itu cenderung bersifat tipografik. Artinya, pribadi tokoh sesuai dengan makna kata yang menjadi namanya itu. Kata yang bermakna baik sebagai identifikasi tokoh berwatak baik pula,atau nama itu berkaitan pula dengan nasib yang menyertai kehidupan tokoh cerita. Tokoh yang berwatak baik, biasa memakai nama kusuma, retno, kusnun, sabar, setya, wans, hegja, dan sebagainya. Kata-kata itu memiliki makna keba-
ikan, sedangkan tokoh yang jahat, biasa memakai nama lalis, cidra, kejur, cilaka, dan bodho, serta kata bermakna buruk yang lain. Selanjutnya, katakata yang bermakna pandai atau jeli dipakai untuk tokoh yang berprofesi sebagai guru, pendeta, seperti kata sidik, waskita, sasmita, dan sebagainya. Berkenaan dengan hal itu, seorang guru atau pendeta dinamai Ki Sidiksasmita di dalam Serat Darmakanda, yakni Ki Sidikwicara, Ki Branaresi, Ki Perlambang, Ki Sumapala, dan Kyai Wasita, dan Iain-lain. Pemakaian
tokoh tipografik atau stereotip dalam cerita anak terdapat, antara lain, di dalam Serat Vitikarsa, Serat Nitileksana, Biyung Kuwalon, dan Dongeng Waris Ian Lalis.
Hampir semua cerita anak ditampilkan pribadinya melalui teknik analitik atau langsung. Untuk menyebut beberapa di antaranya adalah cerita SeratPiwulang,Serat Darmakanda,Senggutru, Cariyos UlamKutukNgrabeni Tiyang Estri, Dongeng Akal Pongaos Kalih Sen, Pemoring Dhusun, Bok Randha Setiya Darma,Dongeng Waris Ian Lalis, dan SeratNitileksana. Dalam Sri Gandana, pelaku utama(protagonis)bemama Sri Gaiidana. la dijelaskan memiliki sikap atau watak sebagai figur yang sabar, suka menolong, pandai, dan sebagainya. Bahkan, Sri Gandana diterangkan oleh penulis sebagai seorang anak berwatak pendeta. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut. Dene ingkangjumeneng narpati, wonten ing negara Garbasumandajujulukipun sang katong, Sri Gandana sang prabu, ambek wiku aguna sakti, sabar lila ing donya,jejeg adilipun adilipun, asidik paningalira, puranira salaka putih kinardi, katri punggawa negara (hal. 34).
'Adapun yang menjadi raja, di Negara Garbasumandha, bemama sang raja, Sri Gandana,sang ratu, berwatak pendeta pemberani, dan sakti, sabar dan ikhlas di dunia, memegang keadilan, tajam pemikirannya, kerajaan atau istananya terbuat dari salaka putih, dan ketiga pembantunya'.
Teknik analitik dalam Dongeng Waris Ian Lalis dipakai untuk mengkontraskan watak tokoh yang pandai dan tokoh yang berwatak bodoh,yakni
121
Wans dan Lalis. Ciri-ciri tokoh yang ditampilkan di awal cerita itu dimaksudkan untuk memberikan kesan bahwa kedua tokoh itu memiliki
perlawanan sifat, baik fisik maupun psikis. Hal itu dapat diketahui dalam kutipan berikut. Si Waris awake era pati rosa. Hanging sugih reka.... Si Lalis rosa, dedege dhuwur tur
birawa, cacade watake cugetan, ora antepan, cepaknepsune, ora ke ora kena kapethik ing tembung (hal. 7). 'Si Waris badannya tidak begitu kuat,tetapi banyak akalnya....Si Lalis kuat, badannya tinggi dan besar, cacadnya berwatak mudah marah, tidak tekun, mudah tersinggung, tidak boleh tersinggung hatinya dengan kata-kata.'
Berdasarkan status tokoh,cerita anak-anak tersebut dapat menampilkan tokoh berstatus rendah yang berasal dari kehidupan desa (status rendah berprofesi selaku petani atau buruh tani), dan tokoh yang berasal dari lingkungan kehidupan kota (berstatus tinggi selaku bangsawan). Di samping itu,juga terdapat beberapa cerita yang memakai tokoh berstatus sosial menengah seperti seorang pedagang atau saiidagar, misalnya Serat Wali-
darma Cariyosipun Jaka Setiya dan Jaka Sedaya. Akan tetapi, tokoh yahg berstatus sosial menengah (pedagang)dalam kedua cerita itu bukan selaku tokoh utama, melainkan orangtua atas pelaku utama.Hal itu berbeda dengan cerita Dongeng akal Pangaos Kalih Sen. Cerita itu menampilkan pelaku utama seorang saudagar bemama Karyaarta;
Status dan latar kehidupan tokoh itu secara langsung telah diketahui
pada nama masing-masing pelaku cerita.Padaumumnya tokoh yang berasal dari desa dan sebagai petani memakai nama Wagiyem,Menik,Tulus,Gemi, Secapriya, Mangun, Sumpet, Langen, Kasih, Tiwar, Dapa, Tentrem, Pangajab, Singadrana, Dapa, dan sebagainya. Adapun tokoh yang berstatus sosial tinggi itu, seperti keluarga bangsawan memakai nama kata yang berarti bunga atau kata bahasa Sanskerta. Ha;l itu dapat diketahui dalam pemakaian namaPusparadya,Puspudriya,Puspanirigsih,Setyatama,Sedyatama,Kamatama di dalam cerita Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya dan Tejakusuma di dalam Rara Rarasati, dan Iain-lain. Dapat pula disebutkan beihwa tokoh berlatar kehidupan desa yang mewakili orang-orang miskin dilihat dari sosial ekonomi; dan tokoh yang berasal dari kehidupan kota mewakili keluarga yang berkehidupan sosial ekonomi tingkat menengah ke atas. Adapun tokoh dari kehidupan desa yang mampu meraih status sosial ekonomi yang baik(kaya atau menjadi pejabat negara) berasal dari keluarga desa yang mapan secara ekonominya, misal-
122
nya dari keluarga pedagang atau saudagar. Dilihat dari nama tokoh yang mengalami perubahan status itu, biasanya berbeda dengan nama dari tokoh cerita padaumumnya.Mereka biasanya memakai nama dengan ciri kata sri, jaka(imtuk laki-laki)dan rara atau ken(untuk wanita). Secara jelas, namanama yang memakai kata-kata tersebut tidak berasal dari keluarga petani yang miskin, tetapi nama itu dipakai oleh orang yang cukup terpandang di lingkungan sekitamya. Keadaan semacam itu terdapat dalam identifikasi tokoh Sri Gandana (SO), Jaka Setya dan Jaka Sedya (JSJS), Ken Sarui (CUKN), dan Rara Rarasati dan Rara Kadreman(RR dan CRK).
Tokoh dalam cerita anak-anak bersifat hitam putih dan bertipe datar. Tokoh jahat dan tokoh baik dapat diketahui secara kontras dalam setiap cerita. Hampir semua tokoh yang berwatak datar karena tidak terjadi perubahan yang mendasar pada pribadi tokoh-tokoh itu. Sebenamya beberapa pengarang telah memulai untuk menampilkan tokoh cerita yang ber watak agak kompleks, tetapi belum dapat disebut sebagai tokoh yang berwatak bulat. Tokoh yang mewakili figurjahat itu menyadari kekeliruannya serta kembali kepada kebaikan, seperti Biyung Kuwalon, Bauwijaya, dan Kalacingkara, belum dapat dikategorikan selaku tokoh bulat secara penuh. Tokoh datar yang mewakili perilaku kebaikan dan kedudukannya sebagai protagonis adalah Raden Walidarma(dalam SW), Kusnun (dalam SD), Dapa (dalam SP), Kasih (dalam BKW), Mangun (dalam SNK), Ki Nitileksana(dalam SN),Janda Setya Darma(dalam BRSD),Jaka Setya dan Jaka Sedya(dalam JSJS), Jayasantosa(dalam SPw),Tulus(dalam PD),Sri Gandana (dalam SG), dan Karyaarta (dalam APKS). Selanjutnya, tokoh jahat yang mewakili tokoh antagonis adalah Buta Ijo (dalam S),Biyung Kuwalon(dalam BKw),Kalacingkara(dalam SG),Guna dan Cidra(dalam
CP), Tejakusuma (dalam RR), dan sebagainya. Berdasarkan analisis tokoh dan penokohan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh cerita dalam cerita anak-anak periode itu masih bersifat tradisional, yakni hitam-putih atau tipografik. Selain itu, cerita anak-anak itu memakai tokoh yang berwatak datar, baik sebagai protagonis maupun an tagonis. Pada umumnya, tokoh jahat dan baik akan tetap jahat dan baik
sampai dengan akhir cerita. Hal itu ada kaitannya dengan maksud penplisan cerita anak untuk memberikan pelajaran yang mudah dipahami oleh pembacanya. Dengan penampilan tokoh yang berwatak datar itu, pembaca
123
dengan gampang dalam menilai masing-masing tpkoh sebagai orang atau sosok yang baik atau buruk. 4.5.4 Latar Cerita
Latar merupakan tempat atau gambaran tertentu sehiibungan dengan terjadi peristiwa dalam sebuah cerita. Oleh sebab itu, sebuah peristiwa berlangsung dalam waktu atau rentang waktu dan tempat tertentu pula. Analisis latar dalam cerita anak-anak ini difokuskan pada latar tempat dan latar waktu, sedangkan latar iainnya akan dibicarakan selintas karena telah disinggung dalam analisis tokoh di atas. Cerita anak-anak pada periode akhir abad ke-19-tahun 1920dikisahkan
dengan latar tempat dan waktu yang bersifat fiktif dan realistik. Hal itu ada kaitannya dengan penampilan tokoh yang melibatkan manusia dan non-
manusia. Latar tempat yang bersifat realistik (tempat nyata) dapat dibedakan lagi anat (a) latar Jawa dan (b) latar non-Jawa. Latar tempat fiktif (hanya ada dalam cerita), ada kalanya mengacu pada tempat yang masih terlalu umum atau abstrak, seperti hanya menyebut negari ageng 'negara besar' dan ing desa kono 'di desa itu'.
Sebagian besar cerita anak berlatar tempatsecara fiktifjuga berupa latar kehidupan desa atau kerajaan. Cerita yang menggunakan latar kerajaan secara fiktif, antara lain, adalah Cariyosiun Jaka Setya dan Jaka Sedya, Bok Randha Setiya Darma, Dongeng Akal Pongaos Kalih Sen, Rara Rarasati, dan Sri Gandana. Cerita Cariyosipun Jaka Setya dan Jaka Sedya menampilkan atau menyebut nama Kerajaan Sokarengga (asal tokoh utama) dan menyebut nama Kerajaan Pusparadya (tempat tokoh utama menjadi raja).Latar kerajaan fiktifde^amBok Randha Setiya Darmo adalah Kerajaan Purwakanda dan Wasanakandha. Nama kerajaan itu sering dipakai dalam cerita dongeng dan merupakan latar atau nama kerajaan yang klise. Adanya latar tempat klise itu dapat diketahui dari kutipan berikut. Kacariyos kala rumiyin ing nagara Purwakandha wonten satunggiling randhanipun tiyang sugih, gegriya ing dhusun, anama Bok Setya Darma(hal. 3). 'Dicedtakan zaman dahulu di Negara Purwakanda terdapat seorangjanda bekas suaminya dahulu orang kaya, tinggal di desa, bemama Bok Setya Darma'.
Sementara itu, Negara Wasanakanda merupakan tempat anak-anak Bok Randa Setya Darmo memegang pemerintahan. Dalam cerita Dongeng Akal Pangaos Kalih Sen, latar fiktif sebagai tempat Saudagar Wongsokarya
124
berdagang adalah Kerajaan Nungsakencana,dan di dalam Sri Ganda nama kerajaan itu adalah Kerajaan Garbasumanda. Latar yang merujuk pada tempat non-Jawa terdapat dalam dua buah
cerita yang terbit pada periode akhir abad ke-19—tahun 1920, yakni cerita SeratDarmakanda dan SeraiRiikunArja(SRA).Kedua cerita itu melukiskan
peristiwa yang berlangsung di negara Arab. Hal itu juga berkaitan dengan nama-nama tokoh yang memakai bahasa Arab, seperti Kusnun, Ibrahim, Ahmad, Amir, Nabi Suleman, dan sebagainya. Nama kerajaan yang disebut-sebut dalam cerita SeratDarmakanda di atas adalah Kerajaan Bahdani
dan Kerajaan Darusalam. Adapun cerita Serat Rukun Arja memakai latar tempat negara Kasgar, yakni sebuah negara di lingkungan negara-negara Arab. Adanya keterangan tentang negara Kasgar dijazirah Arab itu sebagai berikut.
Nalika tindake wis oleh rong dina, tumuli tekan ing kikising Negara Kasgar, menarane
negara wus katon,Sang Prabu karo sang Rayi pada kendel ana ing sapinggiring dalan eyub.... KacaHta dukjaman kuna ing tanah Arab ana ratu kang puputra kakung siji, yaiku Pangeran Mahmud (hal. 29-30).
'Ketika perjalanannya telah dua hari, tiba di tepi Negara Kasgar, menara kerajaan itu sudah tampak,Sang Raja dan adiknya istirahat di tepijalan yang rindang.... diceritakan padazaman kuna di Negara Arab terdapat seorang raja yang hanya memiliki anak lelaki satu, yakni Pangeran Mahmud'.
Perbedaan kedua cerita itu terdapat di dalam pemakaian nama sehu-
bungan dengan latar tersebut. Cerita Serat Rukun Arja menampilkan latar Arab dengan tokoh yang memakai nama-nama Arab,dan Serat Darmakanda berlatar arab dengan tokoh yang memakai nama Arab dan Jawa. Dalam cerita ini, tokoh yang memiliki nama Arab,itu adalah nama-nama Kusnun, Mukjijat, Tarekat, makripat, sedangkan nama Jawa adalah nama-nama Setyadarma, Cilaka, Sabar, Bodo, Wasis, Begja, dan sebagainya. Pada periode itu cerita anak yang memakai latar tempat yang mengacu
pada nama tempat secara konkrit atau realistik di Jawa tidak banyak jumlahnya. Bahkan, dapat dinyatakan hanya ditemukan satu cerita yang me nampilkan latar realistik, yakni CariyosPandung.cerita itu mengambil latar
peristiwa berupa desa-desa di lingkungan daerah Surakarta. Disebutkan dalam cerita itu nama-nama tempat seperti Klaten, Bekonang, Sukohaija,
d^n Sala. Nama tempat-tempat tersebut sebagai kawasan bagi Guna dan cidra melakukan aktivitas pencurian. Bahkan,disebutkan bahwa Guna dan Cidra melakukan pencurian di Desa Karangasem (wilayah sala bagian
125
Barat), Desa Besole (wilayah Klaten), dan Desa Bekonang di wilayah Sukoharja. Seperti telah disebutkan dalam analisis tokoh di atas bahwa cerita anak-
anak itu banyak menampilkan tokoh yang berasal dari lingkungan desa banyak pula menampilkan latar desa, dan mengisahkan situasi kehidupan orang-orang desa.Selain cerita yang disebutkan di atas(cerita SRA,SD dan cerita berlatar kejaraan yang bersifat fiktif), semua cerita anak-anak yang ada berlatar pedesaan. Di antara cerita yang mengetengahkan kehidupan tokoh dari lingkungan desa tersebut adalah Serat Nitikarsa, Serat Nitileksana, Serat Panutan, Serat Piwulang, Senggutru, Cariyos Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri, Dongeng akal Pangaos Kalih sen, Pamoring Dhusun, Dongeng Waris Ian Lalis; Cariyos Rara Kadreman, Biyung Kuwalon, dan Serat Upadarya. Latar desa dalam cerita-cerita itu juga ada yang berupa pegunungan, yakni tempat kehidupan semua tokoh dalam Cariyos Rara Kudreman. Cerita itu menampilkan peristiwa tragik atas para tokoh yang terjadi di Desa Mangge, sebuah desa yang berada di lereng gunung.
Dalam beberapa cerita,juga dipakai nama suatu tempat atau desa yang merujuk pada nama desa yang umum dipakai dalam cerita lisan, seperti adanya nama Desa Dadapan dan Desa Kawedusan. Dua nama tempat itu sering dipakai dalam kaitannya dengan cerita yang menampilkan tokoh seorangjanda atau seorang ibu tiri dalam cerita lisan Jawa. Oleh sebab itu, latar desa itu dapat dikatakan klise,seperti terdapat di dalam cerita Pamoring Dhusun sebagai berikut. Wonten tiyang tani utun sanget, sregep ing darnel, nama wongsakarya, gegriya ing Dhusun Kawedusan,celak kitha. Tiyang tani ing dhusun ngriku ingkang sami nyanggi damel, seanggepipun mamung kalih tengah asta (hal. 3).
'Ada seorang petani, sangat rajin dalam bekeija, bemama wongsakarya, tinggal di Dusun Kawedusan, dekat dengan kota. Petani di desa itu yang memiliki sawah dan pekarangan, kewajibannya hanya membayar dua setengah rupiah'.
Adanya latar desa di dalam cerita Serat Panuntun sebagai desa tempat tinggal para tokoh cerita bemama Desa Sidamulya. Tokoh dalam cerita itu pun memjuk kepada nama orang-orang desa, seperti nama Dapa,Tomblok, Tentrem, dan sebutan Bok 'Ibu' atas tokoh Singadrana, Suramenggala, dan Iain-lain.
Berdasarkan waktu berlangsungnya peristiwa, cerita anak-anak pada periode itu dapat diklasifikasikan atas(a)cerita berlatar kala bersifat umum
126
dan (b)cerita anak berlatar kala secara khusus. sebagian besar cerita anak itu memakai latar waktu umum yang cendemng bersifat klise atau tradisional yang menyebut waktu peristiwa sebagaijaman kuna'zaman kuna', ing sawijining dim 'pada suatu hari', dan sebagainya di permulaan kisahan. Di antara cerita yang memakai latar waktu bersifat klise dan sangat umum itu terdapat di dalam Cerita Pamoring Dhusun, Cariyos Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri, Serat Rukun Arja, Biyung Kuwalon, Cariyos Rara Kadrermn Senggutru, dan Dongeng Akal Pangaos Kalih Sen. Latar waktu yang merujuk pada deskripsi saat secara umum dalam cerita Cariyos Rara Kadreman, Dongeng Akal Pangaos Kalih Sen, dan serat Rukun Arja itu secara berturut-turut dapat diketahui dalam kutipan-kutipan di bawah ini. Kacariyos ingjaman kina women tiyang anama Ki Ageng Mangge, kaliyan Ki Ageng Mangli. Ki Ageng Mangge punika dedununging sawetaning redi, Ki Ageng mangli sakilening redi(CKR hal. 4).
'Diceritakan ing zaman kuna ada seseorang bemama Ki Ageng Mangge,dan Ki Ageng Mangli. Ki Ageng Mangge itu tinggal di sebelah timur gunung,dan Ki Ageng mangli tinggal di sebelah barat gunung'.
Dalam cerita APKS,keterangan waktu yang bersifat umum itu adalah sebagai berikut. Kacariyos ing jaman kinay ing nagari Sedayu, women satunggaling sodagar wasta Karyaarta, karelah nama Ki ageng utawi Ki Gedhe, misuwur ing sugihipun(APKS hal. 1).
'Diceritakain pada zaman kuna, di negara Sedayu, ada seorang saudagar bemama Karyaarta,disebut dengan Ki Ageng atau Ki Cede,sangat terkenal karena sangat kaya*.
Keterangan waktu dalam cerita berlatar kehidupan negari Arab, yakni dalam SRA,yang menerangkan bahwa cerita itu terjadi pada zaman dahulu atau zaman kuna dapat diketahui dari kutipan berikut. Kacarita ingjaman kuna,ana sawijining ratu gedhejejuluk Prabu Ibrahim. Kaluhurane sang Prabu ngungkuli para ratu ing jaman samana, saking luhuring kaprabone, Sang Nata kinaringan ing para ratu samanca nagara(SRA hal. 5). 'Diceritakan pada zaman kuna, ada seorang raja besar, bemama Raja Ibrahim. Kewibawaannya melebihi para raja kala itu,karena keluhurannya.Sang Raja dihormati oleh para raja dari negara sekitarnya'.
Di samping cerita yang menggunakan latar waktu bersifat umum, beberapa cerita anak juga memakai keterangan kala secara khusus atau spesifik, yakni Dongeng Waris Ian Lalis, Serat Darmakanda, Bok Randha Setiya Darma, Cariyos Pandung, Serat Panutan, Serat Upa Darya, dan Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya. Dalam cerita tersebut, keterangan
127
kala disebutkan dalam bentuk suatu hari, saat malam, saat ayam berkokok pertama, pagi-pagi buta, dan Iain-lain. Selain itu, beberapa di antara cerita
itu memakai penanda waktu yang lebih defmitif, misalnya menyebut hari dan pasaran dalana perhitungan Jawa(dalam SD),dan merujuk pada pukul tertentu pada cerita JSJS.
Latar sosial yang terdapat dalam cerita anak-anak dalam periode itu telah disinggung dalam analisis tokoh cerita. Oleh karena itu, dalam analisis ini, situasi sosial yang terdapat dalam cerita anak-anak ini tidak dijelaskan secara panjang lebar. Sebagai kelengkapan deskripsi tentang latar sosial tokoh, dapat dikemukakan bahwa cerita itu lebih banyak menampilkan pelaku yang berasal dari keluarga miskin yang tinggal di desa sebelum pendidikan secara formal berlangsung. Hal itu jua dapat diketahui dengan adanya beberapa keluarga yang berstatus sosial ekonomi menengah ke atas dari keluarga di pedesaan yang memanfaatkan jasa pendidikan perseorangan yang biasa disebut sebaai gura atau kyai dalam masyarakat tradisional. Selebihnya, cerita anak yang menampilkan tokoh dari lingkungan keluarga kerajaan mewakili tingkatan bangsawan atau masyarakat dari strata sosial kelas tinggi, baik dilihat dari sosial ekonomi maupun jalur keturunan masing-masing tokoh. 4.5.5 Sudut Pandang Dalam analisis sudut pandang ini tidak banyak yang dapat dikemukakan karena hampir semua cerita dikisahkan dengan teknik pencerita orang ketiga. Cerita anak-anak dalam periode akhir abad ke-19-tahun 1920 dikisahkan memakai teknik pandang orang ketiga serba tahu, bukan sertaan. pencerita tidak terlibat secara langsung dalam cerita itu, tetapi hanya berkedudukan selaku penyaji kisahan saja. Dapat disebutkan, di antara cerita anak yang menggunakan teknik pandang orang ketiga mahatahu tidak sertaan itu adalah Serat Upa Darya, Dongeng akal Pangaos Akal, Cariyos Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri, Senggutru, Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya, Bok Randha Setiya Darma, Rara Rarasati; Sri Gandana,Serat Nitileksana, Cariyos Pandung, dan Serat Panutan. Pemakaian teknik orang ketiga itu memang biasanya terdapat di dalam cerita anak-anak atau do ngeng.Dalam kaitan itu, pencerita dapat secara bebas mengomentari tokoh, peristiwa, atau masalah yang berkaitan dengan cerita tersebut. Adanya teknik orang ketiga dan pencerita bebas sebagai komentator itu terdapat
128
dalam Serat Panutan atau dalam Cariyos Pandung. Untuk lengkapnya berikut ini kutipan gaya pencerita sebagai pihak yang bebas mengomentari terhadap cerita atau tokoh sebagai berikut.
Satilampun donya Guna,pun Cidra sangetsusah ing manah,awitkatilarmitra ingkang tunggil karya, pramila pun Cidra anggadahi engetan lajeng lumebet nyambut darnel dateng pabrik(CP, hal. 58)
Sepeninggal Guna, Cidra sangat bersedih hatinya, karena ditinggal teman yang sepekerjaan, maka Cidra memiliki tekad untuk masuk bekerja di sebuah pabrik'.
Dalam periode itu masih terdapat beberapa cerita yang menggunakan teknik pandang orang ketiga yang terkesan sebagai seorang dalang. Bentuk penyajian kisah itu mirip dengan seorang dalang dalam cerita wayang, misalriya, dalam deskripsi keadaan suatu tempat. Pencerita menyatakan keadaan suatu negara seperti yang teijadi pada jejeran dalam adegan wayang sebagai berikut
Nagari Garbapatirtan kinawi,praja geng kuncara,ingjana,panjang punjungjajahane, pasir wukur tuhu, sarta mirah kang sandang bukti, barang tinanem medal, eca manahipun, kawula alit sedaya, tata kerta nirjalma dursila, eca kang nambut karya (SG, hal. 33)
Diceritakan Negara Garbapatirtan, negara besar dan termasyhur, sangat luas negara jajahannya, terdiri dari pegunungan dan pantai yang luas, murah pangan semua yang ditanam berbuah, rakyat kecii senang hatinya, tentram tidak ada tindak kejahatan, semua senang dalam pekeqaannya masing-masing'.
Salah satu cerita yang tidak setipe dengan cerita yang telah disebut di atas adalah cerita Serat Nitikarsa. Cerita ini memakai sudut pandang campuran, yakni sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama. Pada bagian awal cerita itu disampaikan dengan teknik orang ketiga. Pengarang berdiri sebagai pencerita dan berada di luar bangun cerita. Sejak pertengahan cerita,kisahan dituangkan melalui tokoh utama,yakni Mangun. Akan tetapi, pada bagian akhir cerita kembali memakai cara pandang orang ketiga. Pemakaian cara pandang orang ketiga tersebut sangat wajar kalau dikaitkan dengan ciri dalam cerita anak yang selalu menyertakan sebuah simpulan. 4.5.6 Judul Cerita
Dalam sebuah cerita, pemakaian judul tidak terlepas dari unsur cerita yang lain, seperti adanya kaitan erat antara judul dengan latar, tokoh, tema
atau dan masalah dan alur. Dengan demikian,judul dalam sebuah ceritajuga
129
memberikan sumbangan untuk tnemudahkan pencarian makna dari cerita tersebut.
Judui dalam cerita anak-anak periode akhir abad ke-19-tahun 1920
sebagian besar berkaitan dengan tokoh dalam masing-masing cerita, termasuk judul yang berhubungan dengan nama tokoh, watak tokoh, tindakan
tokoh, dan sebagainya. Di samping itu, beberapa cerita yang terbit dalam kurun waktu itu juga memilikijudul yang berkaitan dengan tema,latar, dan aspek lain dalam setiap cerita.
Sebelum mendeskripsi kaitan antara judul dengan unsur struktur terlebih dahulu dijelaskan masalah judul cerita anak-anak dari segi pemakaian bahasa.Cerita anak-anak pada periode itu dapat diklasifikasikan menjadi(a) cerita yangjudulnya memakai identitas kata serat,(b)cerita yang judulnya memakai kata dongeng,(c)cerita yangjudulnya memakai kata cariyos atau cariyosipun, dan (d)cerita yang tidak memakai identitas judul dengan kata serat, dongeng, dan cariyos atau cariyosipun di atas. Cerita kelompok pertama, antara lain, Cariyosipun Jaka Setya Ian Sedya, Serat Panutan,
SeratPiwulang,Serat Nitikarsa,Serat Nitileksana,Serat Upa Darya. Cerita kelompok kedua, antara lain, Dongeng Wais Ian Lalis, Dongeng Manca Wami, dan Dongeng Akal Pangaos Kalih Sen. Carita kelompok ketiga, antara lain, Cariyos Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri. Cerita kelompok keempat, antara lain Bok Randha Setiya Darma, Sri Gandana, Senggutru, dan Rara Rarasati. Namun, kategori cerita yang berdasarkan judulnya itu tidak ada hubungannya dengan kronologi atas penerbitan cerita anak-anak tersebut. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa identitas cerita anak dari
segijudul itu tidak ditentukan oleh perbedaan waktu seperti terdapat dalam genre novel pada kurun yang sama.
Kembali pada judul cerita anak-anak dalam kaitannya dengan unsur struktur yang lain. Pada saat itu cerita anak banyak memakai judul yang mengacu pada tokoh utama atau tokoh protagonis. Judul yang berkaitan
dengan tokoh itu secara rinci, dibedakan atas judul berkaitan dengan nama, watak, dan tindakan atau pekerjaan tokoh. Akan tetapi, antara ketiga kate gori itu sering saling berkaitan sehingga dalam analisis ini dituangkan secara berbarengan.
Cerita anak yang mengandung judul yang berkaitan dengan nama dan watak tokoh,antara lain, adalah Bok Randha Setiya Darma dan Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya. Cerita Bok Randha Setiya Darma itu me-
130
nampilkan tokoh utama Bok Setya Daima (judulnya sendiri Bok Randha Setya Darma berarti 'Janda yang Senang Berderma'. Walau miskin, Bok Setya Darma memiliki jiwa welasan atau suka menolong orang lain yang menderita. Bahkan,janda miskin itu sering mengorbankan kepentingan diri dan anak-anaknya demi dapat memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang dalam kondisi menderita.Watak suka berderma dalam diri Bok Setya Darma itu terdapat dalam kutipan berikut. Ananging wonten pepethingnipun, sanadyan Bok Randha wau mlarat weadene manahipun suci, welasan, sarta sae sanget(hal. 3)
'Akan tetapi, ada satu keistimewaannya, walaupun janda itu sangat miskin, tetapi hatinya sangat baik, memiliki sifat kasih sayang yang tinggi terhadap orang lain, serta sangat baik'.
Dalam c&ntaiBiymg Kuwalon, terdapat hubungan antara judul dengan watak atau pribadi dengan tokoh Ibu Tiri, secara tidak langsung. Artinya, hubungan itu hubungan kesan secara tidak eksplisit. Dalam cerita atau dongeng-dongeng Jawa, tokoh Ibu Tiri selalu dicitra sebagai pelaku yang kejam terhadap anak tirinya serta memanjakan terhadap anak kandungnya. Hal semacam itu juga terjadi di dalam cerita Biyung Kuwalon (1913). Tindakan tokoh itu merupakan kejahatan dan haras ditebus dengan penderitaan dan kesengsaraan oleh diri dan anak kandungnya. Cerita Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya menampilkan tokoh
protagonis Jaka Setya dan Jaka Sedya. Kedua tokoh itu memiliki pribadi atau watak sesuai dengan namanya yang tertera dalam judul cerita itu. Jaka Setya berarti pemuda yang setia. Hal ini merupakan figur remaja yang setia, baik terhadap nasihat guranya maupun dalam usaha merealisasikan citacitanya. Ketekunanannya menuntut ilmu dan keberhasilannya menjadi seorang raja merupakan bukti atas jiwa kesetiaannya yang amat konsisten. Demikianjuga,Jaka Sedya merupakan figur yang memiliki keinginan hidup yang sangat kuat {sedya berarti kehendak, sinedya berarti dikehendaki). Akhimya, Jaka Sedya dapat memperoleh sesuatu yang diinginkan setelah lolos dari ujian yang tidak ringan dalam waktu yang lama. Cerita yang memilikijudul yang berkaitan dengan tindakan tokoh tidak banyak terbit dalam kuran waktu itu. Dalam hal ini, hanya terdapat satu cerita yang mempunyai judul menggambarkan tindakan yang dilakukan oleh tokoh cerita, yakni cerita yang berjudul Cariyos Pandung. Cariyos Pandung berarti Cerita Pencuri. Oleh sebab itu, cerita ini berkisah tentang kegiatan Guna dan Cidra dalam melakukan pencurian di beberapa tempat secara berarutan.
131
Judul cerita yang mengaoEpada tokoh utanaa^ antata^laiai Walidarma, Sri Gandana, Senggutm, KaraRarasati, Cariyos Kddrerhan, Dongeng Waris lanLalis, dan 5erar M'fifeksa/wK Tokoh utam^dalain masingmasing cerita itu adalah Walidarma(dalam SW)^ Sri Gandana(dalam SO), Senggutm (dalam S), Rara Rarasati (dalam RR), Rara Kadreman (dalam CRK),Waris dan Lalis(dalam DWL),dan Nitileksana(dalanrSN). Judul sebuah cerita yangmerajuk pada tema cerita terdapatdalam Serat Sabda Rahayii, Cariyos Sae Sawelas Iji, SeratRukun Arja, Serat Pawiiiang, dan Serat Panutan. Dalam deskripsi ini, yang diterangkan terbatas pada cerita Serat Panuntun yang disebutterakhir itu.Serat Panwta/tberarti Baku Teladatu Hubungan dengan maksud judul tersebut adaJate isi buku atau
cerita itu dapat dijadikan teladan:atau pelajaran bagi pembaeanya. Aspek teladan atau pelajaran itu menjadi tema dalam cerita Serar PanwntMn itu.
Cerita itu memuat kisah seorang anak yang tekun dan rajin menabung sehingga menjadi seorang yang kaya. Padabali,, seorang itu ,berasal dari keluargaseorangjandayangmiskitt.Disamping itu,ceritainimemuattema yang berkaitan dengan nilai didaktik seperti pentingnya seseorang yang seseorang untuk mengasihi oranglain serta pentingnya seorang memaafkan
kesalahan orang lain. Semua nilai didaktik itu telab diperankan^ oleh Dapa, tokoh utama dalam cerita itu.Oleh sebab itu,D^asering disebufesebut oleh para tetangganya sebagai anak yang layak untuk diteladank Bal&an, cara-
cara ibunya dalam mendidik Dapa menjadi acuan bagi keluarga lain di desanya.
Cerita anak yang memiliki judul bericaitan dengan latar cerita dalam
kurun waktu tersebut adalah Paraoring DhusuiE: Secara semantih, judul cerita tersebut (PomMring Ditsw/ij telab menyiratkan adanya latar cerita yang berapa dusun atau desa. Cerita itucmemuat kisah tentang usaha orang desa dalam memberikan teladan imtukmemajukan kehidup« masyarakat di desa melalui tokoh yangbemama Tulus. Secara lebihikhusus,cerita itu memuat kehidupan seorang anak desa yang memilifci jiwa tekun dalam bekeija sehingga mend^atkanisesuatu yangdiingmkannyai Berdasaritan analisis judul di atas, dapat,disimpulkaii bahwa cerita anak-anakpadaperiode akhir abiad ke-19sampaidengan tahun 1920,secara berturat-turat, didominasi oleh cerita yang m^punyai,judul bertalian dengan tokoh, tema, dan latar. Namun,sebenamya masib adajudul cerita
132
anak-anak yang memiliki atau membayangkan masalah lain dalam cerita yang bersangkutan,sepertictnx&AkalPengaos Kalih Sen(disingkat APKS). Judul itu mengacu kepada peimintaan seorang istri terhadap suami yang akan pergi berdagang. Ketika akan berangkat Karyaarta menanyai semua
istri tentang oleh-oleh apa yang dipesankan kepadanya.Ketika itu,Wagiyem (istri tertua) berpesan agar dibawakan oleh-oleh berupa akal seharga dua sen. Temyata, pesanan itu tidak dapat dipenuhi oleh suaminya. Setelah sampai di rumah,diketahui bahwa yang dimaksudkan itu bukan benda yang wajar, melainkan bahasa perlambang. 4.5.7 Gaya Cerita
Seperti analisis gaya yang terdapat di dalam cerita novel, babad,roman
sejarah,dan Iain-lain, analisis gaya dalam cerita anak-anak ini meliputi gaya bahasa dan gaya cerita. Hal itu juga telah disinggung selintas dalam analisis bab ketiga di depan. Gaya bahasa itu berkaitan dengan pemakaian bahasa dan pemanfaatan bahasa dalam membangun makna sebuah cerita. Adapun gaya cerita atau gaya penceritaan lebih ditekankan pada bentuk pengungkapan atau penyajian sebuah cerita. 4.5.7.1 Gaya Bahasa
Berdasarkan bahasa yang digunakan, cerita anak-anak pada periode tersebut,cerita anak itu dapat dikelompokkan atas(a)cerita berbahasa Jawa ngoko dan (b)cerita berbahasa Jawa krama. Sebagai perbandingan secara kuantitatif, cerita anak berbahasa Jawa krama itu lebih banyak jika dibandingkan dengan cerita anak yang berbahasa Jawa ngoko. Cerita anak yang berbahasa Jawa ngoko itu, antara lain, Pamoring Dhusun, Biyung Kuwalon, Serat Nitikarsa, Cariyos Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri, Rara Rarasati, Serai Rukun Arja, dan Serat Darmakanda. Di antara cerita-yang berbeihasa Jawa ngoko itu, cerita yang berjudul Cariyos Ulam Katuk Ngrabeni Tiyong Estri memiliki perbedaan tersendiri jika dibandingkan dengan bahasa dalam cerita yang lain. Sebagai cerita yang berbentuk puisi atau tembang tradisional, cerita ini memiliki perbe daan dengan cerita berbentuk tembang lainnya dalam pemakaian bahasa. Cerita itu banyak menggunakan bahasa atau kata arkais, seperti yang terdapat di dalam bahasa Sansekerta. Sekadar menunjukkan bukti bahwa
133
bahasa yang digunakan di dalam cerita itu bukan bahasa Jawa sehari-hari, berikut ini kutipan satu bait dari tembang tersebut. Tyas mirong murweng gambuh, yayah roga tanpa sada tuhu, tangeh luar saking maskating penyakit, malah kongsi sarwa kusut, kasatmata dadining don (hal. 5). Hati sedih putus asa, badan sakit cidak ada kekuatan, sulit rasanya sembuh dari penyakit, malahan tampak semakin kurus, itu terlihat oleh mata'.
Selain cerita Serat Darmakanda dan Cariyosipiin Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri, semua cerita anak yang ada cendemng memakai bahasa Jawa sehari-hari sehingga tidak sulit untuk dipahami.Selanjutnya,sejumiah cerita anakberbahasaJawa^rama itu,antara lain,dapatdisebutkan Senggutru, Rara Rarasati, Dongeng akal Pangaos Kulih Sen, Sri Gandana, Cariyos Pandung, Srat Piwulang, dan Bok Randha Setiya Darnuz,
Dalam cerita anak-anak periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920, ungkapan atau peribahasa banyak digunakan, baik dalam cerita yang berbahasa ngoko maupun cerita yang berbahasa krama, Bahkan, ada beberapa cerita yang menampilkan bentuk ungkapan atau gaya bahasa klise atau tradisional, seperti cerita yang terdapat di dalam Cariyos Rara Kadreman,
Sri Gandana, dan Serat Darmakanda, Ungkapan atau pemakaian bahasa
klise dalam cerita Cariyos Rara Kadreman dapat diketahui dalam kutipan berikut.
Ya ta KiAgeng Mangli sareng mireng pangandikanipun KiAgeng Manggejaja bang mawinga-winga, kumedut, padoning lathi, netra andik angatirah, sanvi ngandika pendek, ingkang putra pareng punapa boten (hal. 17).
'Adapun Ki Ageng Mangli setelah mendengar kata-kata Ki Ageng M2a\ggQjaja bang mawinga-winga,kumedutpadoning lathi, netra andik angatirah,sambil bicara singkat, "Anakmu kau berikan atau tidak?'".
Ungkapan jaja bang mawinga-winga, kumedut padoning lathi, dan netra
andik angatirah yang berarti *dada merah gumuruh, kedua bibir bergerak bingas,dan mata merah membara' merupakan ungkapan yang biasa dipakai oleh para dalang dalam menggambarkan seorang tokoh yang sedang marah. Dalam cerita ini ungkapan itu digunakan dalam menerangkan kondisi Ki Ageng Mangli yang marah terhadap Ki Mangge karena merasa ditipu. Bahasa di dalam cerita Serat Kadreman sangat berbedajika dibanding dengan bahasa di dalam cerita yang lain karena cerita itu menampilkan tokoh keturunan Cina, banyak dipakai dialog dalam bahasa Indonesia
seperti yang sering dipakai oleh kalangan keturunan Cina. Hal itu tampak dalam dialog antara Kusnun dengan tukang masa yang masih berdarah Cina.
134
Hal itu dapat diketahui dalam kutipan berikut. Kusnun tanya gupuh, "Koh, saya tanya yang betul, sini negeri mana, nauri kang dentakoni, Ya di sini bernama Bahdani kota, ya sobatku, di mana ya rumahmu, Nauri
Ki Jaka, saya Darusalam negri, cuman singgah di sini, lantes berlayar (hal. 48-49). lya Kusnun mangsa borong awakingsun, lir ulun munggeng rampadan, sirayektikang darbeni (hal. 58).
'lya, Kusnun,terserah, badanku ibarat makanan di hadapan tukang masak,kamu yang memilikinya.
Gaya klise berupa panyandra biasa dipakai dalam melukiskan kecantikan seorang putri. Dalam cerita Serat Kadreman pun, kecantikan Putri Raja Bahdani itu dikemukakan dengan teknik gaya panyandra. Putri itu kecantikannya sungguh menakjubkan sehingga diibaratkan sebagai lirpratima kencana 'seperti boneka emas'. Lengkapnya teknik gaya panyandra itu sebagai berikut. Darbe atma sayuga paestri, wayaJiira duk rumaja, putra, langkung endali suwarane, cahyanira sifiuwun, meyak-meyok akarya brangti, lir pratima kencana (hal. 4). 'Memiliki seorang anak putri, usianya sedang remaja,sangat indah suaranya, wajahnya
sangat bercahaya, gerakannya indah mengundang nafsu, seperti boneka emas (lir pratima kencana)'.
Ungkapan berupa panyandra semacam itu juga terdapat di dalam cerita Sri Gandana. Hal itu juga dipakai dalam melukiskan kecantikan seorang
putri. Dalam melukiskan kondisi fisik seorang putri yang cantik, pengarang yang mengatakannya sebagai berikut. Cinandra kusumaning putri, kalihira putri pramudita, sayekti sami semune, dedag pidegsa lurus, kuningira anemu giring, bayu wilir ler-leran, pambayunnya gumuh, menter-menter muyuh denta, kang salira kenceng amenjalin, asta gendewa denta(hal. 10).
'Dikatakan sang putri,keduanya wanita cantik,benar-benar sama kecantikannya,tinggi sedangsemampai,kuning langsat kulitnya,urat tubuhnya tampak samar-samar,payuda• ranya berisi, penuh sepeti muyuh denta, badannya padat berisi, tangannya ibarat busur yang terentang.
'Kusnun segera bertanya,"Koh,saya tanya yang betul, sini negeri mana, yang ditanya menjawab,Ya sini bernama kota Bahdani, ya sahabatku,dari negeri Darusalam,hanya singgah di sini, lalu berlayar lagi'.
Pemakaian bahasa Indonesiajuga terdapat dalam dialog antara Jaka Kusnun dengan Patih Negara Bahdani, sebagai berikut. Tuwan raja kasih perintah pada encik, dikasih panganten pangran dipati, lantas Cik dipanggil Sultan, dianterken empat bendera prajurit, topi Sultan bilang, kalau Cik tak bisa bikin
(hal. 63)
135
Tuan Raja memberi perintah padaku akan diberi pakaian pengantin,lalu saya dipanggil Sultan, diantarkan oleh empat prajurit, tetapi Sultan mengatakian,jika saya tidak dapat membuat
Cerita Sri Gandana juga banyak memakai gaya bahasa yang lazim disebutpurwakanthi atau asonansi dan aliterasi. Gaya aliterasi dan asonansi itu dipakai dalam mendeskripsikan sifat atau tindakan pelaku cerita, seperti kutipan berikut. Yawis betterprampanganmu,tatatetehtatastUis,ingsun tarima karyanira,... Tatatiti itgati-ati, tatag teteg titih, teteh mring uama (hal. 34,34) 'Ya sudah benar pikiranmu, tata teteh tatas titis, kuterima pekerjaanmu,... Tata titi ngati-ati, tatag teteg titih, tetah terhadap yang utama'.
Cerita itu juga memakai gaya bahasa yang berupa ungkapan tradisional, yakni semacam gaya bahasa pemmpamaan atau panyandra, dan sebagainya. Sebagai contoh,gaya panyandra itu terdapat dalam menggambarkan keterampilan atau kepandaian Kusnun dalam bekerja yang merupakan pengakuan dari Putri Raja Bahdani. Gaya klise yang berbentuk panyandra itu sebagai berikut. Cerita Sri Gandana juga memakai perbandingan antara kecantikan manusia(seorang wanita)dan Dewi Supraba, yakni dewi tercantik di dunia kedewaan.Selain itu, perbandingan tersebutjuga dipakai dalam melukiskan tingkah laku prajurit dalam sebuah peperangan seperti yang telah lazim dipakai dalam menggambarkan suasana prajurit yang sedang bertempur, yang disebut sebagai banteng kekaton 'banteng yang terluka'. Seorang pra jurit dalam peperangan sangat bemafsu untuk membunuh setiap lawan,ibaratnya banteng telah terluka semakin marah dan membabi buta dalam menghadapi segala yang dilihat.
Berdasarkan analisis gaya bahasa itu dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa yang bersifat klise lebih banyak dipakai dalam cerita anak yang berbentuk tembang.Cerita prosajarang memakai ungkapan-ungkapan klise yang terkesan berlebihan seperti itu. 4.5.8.2 Gaya Cerita
Seperti telah disinggung dalam bab ketiga, cerita anak pada periode akhir abad ke-19-tahun 1920 banyak yang berbentuk prosa. Cerita anak yang berupa prosa itu, antara lain, berjudul Pamoring Dhusun, Kara Rarasati, Sanggutru, Biyung Kuwalon, Cariyos Rara Kadreman, Serai Rukuh Arja, Dongeng akal Pangaos Kalih Sen, Serat Nitikarsa, Serat Nitileksana,
136
Dongeng Waris Ian Lalis, Cariyos Pandung, Serat Upa Darma, Serat Piwulang, Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya, Bok Randha Setiya Darma, dan Serat Panutan. Dalam cerita prosa yang panjang sering memakai penceritaan yang bersifat longgar dan pemaparannya bertele-tele. Deskripsi-deskripsi dalam cerita yang panjang terasa sangat mendetil dan sangat luas.
Deskripsi yang panjang dan mendetil itu mengingatkan pada gaya penceritaan dalam cerita wayang. Penceritaan yang terkesan sangat berlebihan itu dapat diketahui dalam cerita Sri Gandana.
Di samping itu, beberapa cerita dikemukakan dengan menggunakan teknik menerangkan. Melalui seorang tokoh atau melalui pencerita,seakanakan, masalah atau sesuatu hal itu dituturkan untuk orang lain. Gaya penceritaan yang merupakan teknik menerangkan itu, misalnya, terdapat dalam Serat Nitikarsa, yakni dalam keterangan Mangun itu menjelaskan tentang pelacakan terhadap barang legedan dalam kubuan orang tuanya. Gaya menerangkan itu seperti tampak dalam kutipan berikut. Mangun matur, makaten ingkang kula emut-emut, tiyang ingkang nglayat nalika geblakipun bapak, utawi ingkang nyumerepi barang nalika kalebetaken dateng tabela, makaten malih panggrayang kula, wami tiga 1. Tiyang ingkang sampun kalinggal awon kalakuwanipun. 2. 3.
Tiyang ingkang kemlaratan. Tiyang ingkang dereng katingal saenipun. (hal. 3).
'Mangun mengatakan, begin! yang saya ingat-ingat, orang yang melayat ketika meninggalnya ayah,atau yang melihat barang-barang itu ketika dimasukkan dalam peti jenazah, demikian pula dugaan saya ada tiga macam. 1. Orang yang telah terlihat kejelekan perbuatannya. 2. Orang yang melarat. 3. Orang yang belum tampak kebaikan perbuatannya'.
Gaya penceritaan yang bercorak menerangkan itu juga terdapat dalam cerita yang menampilkan pelaku usia anak-anak, seperti cerita Biyung Kuwalon dan Serat Rukun Arja.
Berkaitan dengan gaya pengungkapan itu, beberapa cerita anak itu bergaya tragis, realistik, dan nonrealistik. Cerita yang diungkapkan secara tragis itu berkaitan dengan peristiwa yang mengenaskan yang dialami oleh tokoh cerita itu. Cerita bergaya tragis itu, misalnya, beijudul Cariyos Rara Kadreman dan Dongeng Waris Ian Lalis. Kedua cerita itu menampilkan peristiwa kematian tokoh secara mengenaskan atau tragis. Dalam Cariyos Rara Kadreman, semua tokoh yang hadir dalam cerita itu mati secara
137
menyedihkan, yakni terbenam di dalam lubuk sungai. Oleh sebab itu, nama Kadreraan itu menjadi nama sebuah sungai. Sungai itu merupakan tempat tokoh Rara Kadreman bunuh diri dengan jalan menceburkan diri ke dalam sungai itu. Dalam Dongeng Waris Ian Lalis, Lalis mati dengan cara diceburkan ke dalam sungai karena kebodohannya. Cerita bergaya realistis itu biasanya berkaitan dengan hadimya pelaku anak-anak yang memiliki orientasi ke arah kemajuan hidupnya. Pada umumnya, peristiwa terjadi pada cerita yang menampilkan tokoh dari keluarga yang miskin. Di antara cerita bercorak realistik itu adalah Serat
Nitikarsa, Serat Nitileksana, Serat Piwulang, dan Pamoring Dhusun. Kerealitasan itu juga ditentukan oleh usaha tokoh dalam mengatasi keku-rangan di dalam kehidupannya dengan cara menempuh tindakan yang wajar, misalnya melalui bekerja secara tekun, giat menuntut ilmu, dan Iain-lain. Sebaliknya, cerita bercorak nonrealistik itu berkaitan dengan tokoh nonmanusia dan masalah yang diungkapkan yang bersifat tidak realistik juga. Cerita nonrealistik itu umumnya, menampilkan tokoh nonmanusia berupa raksasa, dewa, binatang, dan sebagainya. Kejadian dalam cerita tersebut biasanya bersifat mistik atau supranatural yang tidak dapat dijangkau oleh nalar secara wajar. Cerita bergaya nonrealistik dan memuat masalah mistik, misalnya, adalah Bok Randha Setiya Darma, Serat Walidarma, Biyung Kuwalon, Cariyosipun Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri, dan Rara Rarasati. Dalam cerita-cerita itu tertuang adanya peristiwa yang membawa keberuntungan atau kesengsaraan tokoh cerita akibat dari faktor yang mistik pula. Adanya benda sakti, gugon tuhon, tokoh burung, jin, malaikat, dan dewa mampu menolong manusia itu sendiri merupakan cermin ketid£ikrealitisan itu.
Berdasar hal itu, dapat disimpulkan adanya hubungan yang erat antara pemilihan tokoh dan gaya penceritaan dalam setiap cerita. Demikian pula, panjang-pendeknya cerita juga mempengaruhi corak pemakaian bahasa, terutama dalam pemanfaatan gaya bahasa.Cerita yang pendek tidak mungkin menampilkan deskripsi atau narasi yang berkaitan dengan kondisi tokoh secara panjang lebar.
4.6 Struktur Cerita Wayang 4.6.1 Tema dan Masalah
Jenis cerita wayang yang terdapat di dalam karya sastra Jawa tahun
1875-1920 ada satu judul, yaitu Lakon Kartawiyoga (LK). Mengingat
138
bahwa cerita wayang itu berfungsi sebagai hiburan dan ajaran moral, wayang berisi pertentangan antara kejahatan dan kebenaran.Pada akhimya, cerita tersebut ditutup dengan keterangan bahwa kejahatan itu akan kalah oleh kebaikan dan kebenaran. Dengan demikian,tema yang terdapat dalam cerita wayang biasanya berisi pendidikan.
Secara sekilas dapat dikatakan bahwa tema yang terdapat dalam Lakon Kartawiyoga adalah tema percintaan atau perkawinan. Hal itu dapat dilihat darijalan ceritanya. Namun,secara implisit dapat dikatakan bahwa cerita itu mengandung unsur pendidikan, yaitu di dalam mencari Jodoh hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan benar sesuai denan ketentuan yang berlaku.
Tema cinta itu melibatkan beberapa tokoh, di antaranya, Kumpati dan Kartawiyoga di satu pihak, Jaladara dan Irawati di lain pihak. Setiap pihak saling bermusuhan karena mereka memperebutkan putri dalam sayembara. Selain itu, tema cinta dalam cerita wayang LK itu berkaitan dengan pertentangan antara kehendak orang tua dan anak dalam pasangan suami istri. Hal itu dapat diketahui dalam penolakan atau dikalahkannya tunangan Kurupati atas Erawati. Di lain pihak dapat juga dikatakan bahwa cinta itu merupakan hak individu yang tidak dapat dipaksakan. Sikap itu terdapat pada diri Erawati yang tidak dapat menerima cinta sepihak dari Kartowiyoga.. 4.6.2 Alur
Pada dasamya alur cerita wayang tersusun secara konvensional berpola urutan runtut dan berakhir dengan kemenangan tokoh yang benar. Ditinjau dari segi kualitas,cerita wayang LK beralur longgar.Setiap babak dari cerita itu seakan berdiri sendiri. Rangkaian antarbab itu ditentukan oleh satu tema pokok.Selanjutnya,ditinjau dari segi kuantitas, hal itu terlihat pada episode Bratasena mencari Arjuna, adiknya.Pada waktu itu juga diceritakan bahwa Arjuna juga sedang pergi mencari Bratajaya, adik Jaladara. Di samping itu, juga terdapat episode prajurit Kurawa mencari Jaladara. Pada saat yang bersamaan, mereka saling bertemu dan terjadi perang besar. Konflik antara tokoh yang baik dan tokohyang jahat itu selalu muncul. Konflik itu terjadi karena mereka saling memperebutkan Erawati. Konflik pertama dimulai setelah terjadi penculikan atas diri Erawati oleh Kar tawiyoga. Karena penculikan itu, raja membuat sayembara, siapa yang
139
dapat menyelamatkan Erawati dari penculikan akan dinikahkan dengan putrinya. Akhimya, kemenangan itu berada di tangan Wasi Jaladara. Berdasarkan teknik penyelesaian cerita, alur cerita wayang termasuk alur tertutup, yaitu perkawinan Jaladara dengan Erawati. 4.6.3 Tokoh dan Penokohan
Tokoh dalam wayang biasanya terbagi atas tokoh balk dan buruk atau
tokoh protagonis dan antagonis. Yang termasuk tokoh protagonis adalah WasiJaladara,Erawati,Bratasena,Arjuna,dan Salya.Mereka dapatdikatakan
tokoh protagonis karena selalu berbuat baik dan berpihak pada kebenaran; sedangkan yang termasuk tokoh antagonis adalah Kartowiyoga,para raksasa, Kurupati, Sakuni, dan seluruh Kurawa. Mereka dikatakan tokoh antagonis karena selalu berbuat salah dan berada di pihak yang salah. Kesalahan
Kartawiyoga adalah mencuri Erawati dari istana Mandaraka dibawa ke kerajaannya untuk dinikahi secara paksa; sedangkan kesalahan Kurupati adalah merampok dan menganiaya Jaladara ketika sedang berjalan menuju Mandaraka.
Ditinjau dari status sosial, sebagian besar nama-nama tokoh dalam cerita Lakon Kartawiyoga termasuk dalam kelas sosial atas. Dikatakan berstatus sosial tinggi karena tokoh-tokohnya adalah bangsawan kerajaan. Misalnya Raden Kartawiyoga, Prabu Kurupati, Prabu Salya, Raden Bra tasena, Jaladara, dan sebagainya. Di samping itu, nama-nama tokoh yang berstatus sosial bawah juga ada. Misalnya, Semar dan anak-anaknya, Emban, Togog, dan Bilung. Mereka itu termasuk abdi kerajaan. Berdasarkan teknik penampilan tokoh,penokohan dalam cerita wayang Lakon Kartawiyoga memakai teknik penokohan analitik dan dramatik.
Teknik analitik itu dapat diketahui dengan cara pengungkapan watak tokoh secara langsung.Pengungkapan ini biasanya menggunakan teknik panyandra; sedangkan teknik penokohan dramatik dapat diketahui pada dialog antartokoh. Di bawah ini ilustrasi dialog antara Salya dan Sakuni ketika sedang bertemu.
Prabu Salya: "Durung suwe tekanira ana ing ngarsaningsun sira parah padha raharja?"
Patih Sakuni:"Kawula nuwun,timbalanipun Kangjeng Kakang Prabu ingkang adawuh, .... (hal. 28).
Trabu Salya,"Belum lama datang di hadapanku, engkau selamat?"' Patih Sakuni,"Ya, sesuai dengan kehendak Kakak Prabu," ....
140
4.6.4 Latar
Sebagaimanalazimnyacerita wayang,latartempat yang tampakdominan adalah latar tempat kerajaan. Misalnya, Kerajaan Astina, Mandaraka,
Kundarageni, Amarta, Madura,dan sebagainya. Di samping latar kerajaan, juga terdapat latar tempat lain, misalnya, padepokan, hutan, dan laut.
Nama-nama latar tempat yang terdapat dalam cerita wayang termasuk latar fiksi atau rekaan.Di bawah ini ilustrasi kerajaan Astina di bawah Prabu Kurupati sebagai berikut. Anenggih gantya ingkang kocapa, sinuhun ing Ngastina, ajejuluk Prabu Kurupati. Jayapitana, Gandarisuta, Suyudana.... (hal. 58).
'lalah ganti yang diceritakan, raja di Astina bergelar Prabu Kurupati, Jayapitana, Gandarisuta, Suyudana
Latar waktu yang terdapat dalam cerita wayang adalah latar waktu yang bersifat umum, misalnya, malam, siang, sore, dan wand lingsir dalu 'saat menjelang malam'. Waktu malam adalah waktu terjadinya pencurian terhadap Dewi Erawati seperti kutipan berikut. ... sareng wand lingsir dalu, suruping wulan, satriya ing Tirtakandhasan amasang amayan sirep (hal. 90).
'... ketika waktu menjelang malam, terbenamnya bulan, satria di tirtakandhasan memasang aji sirep.'
Latar lain adalah latar sosial budaya yang sebagian besar telah tercermin pada contoh-contoh di atas. Dalam Lakon Kartawiyoga, latar sosial kelas atas tampak dominan. Latar kelas atas pada cerita itu diwakili oleh beberapa tokoh bangsawan tinggi dan raja seperti Prabu Salya (para man daraka), Kurupati (raja Astina), Bratasena (Ksatria dari Amarta), dan Arjuna (Ksatria dari Madukara). Selanjutnya, latar sosial kelas bawah
diwakili oleh punakawan 'pembantu' seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Bilung, dan Emban. 4.6.5 Judul
Judul dalam cerita wayang tampak mengacu pada nama tokoh, yaitu Kartawiyoga. Nama Kartawiyoga itu diangkat sebagai judul, karena ceritanya mengacu pada perilaku dan sepak terjang tokoh Kartawiyoga itu ketika menculik Erawati sampai pada kematiannya di tangan Wasi Jaladara.
Tindakan penculikan itulah yang mengakibatkan terjadinya konflik pisik antartokoh dalam cerita tersebut.
141
Tradisi pemberian judul wayang dengan mengambil istilah lakon tampakjelas sehingga cerita wayang itu berjudul Lakon Kartawiyoga. Judul cerita yang diawali dengan kata lakon merupakan ciri khas dari cerita wayang.
4.6.6 Sudut Pandang
Cerita wayang Lakon Kartawiyoga itu menggunakan sudut pandang orang ketiga mahatahu.Penutur berada di luar cerita, tetapi mampu memahami segala sesuatu yang terjadi pada diri tokoh cerita. Dengan demikian, penutur sangat bebas dan leluasa memainkan ceritanya denan menampilkan tokoh-tokohnya yang beraneka ragam dan bebas pula memberikan penilaian terhadap tokoh-tokohnya dari berbagai sudut pandang. penutur dengan bebas memainkan peranannya dalam cerita-ceritanya. 4.6.7 Gaya Bahasa
Cerita Lakon Kramawiyoga menggunakan ragam krama atau krama inggil. Dialog antartokoh menggunakan ragam krama dan ragam ngoko sesuai dengan status sosial masing-masing tokoh. Di samping itu, cerita ini juga terdapat ragam bahasa bagongan atau kedhaton, yakni percakapan di kerajaan.Ragam bahasa bagongan biasa dipakai oleh raja terhadap bawahannya. Hal itu dapat diketahui pada percakapan antara Raja Kurupati dan Patih sakuni sebagai berikut. Kurupati ngandika mring patih: "Pantan, pakenira padha raharja satekanira manira utus marang nagari ing Mandaraka
Patih Sakuni: "Kawula nuwun inggih, angsal pangestu narendra, raharja ing lampah kawula".
'Kurupati bersabda kepada patih,"Paman,engkau semua selamat atas kedatanganmu saya suruh ke negara Mandaraka'.
Patih Sakuni,"Ya, atas restu raja, saya selamat dalam perjalanan'.
Kata-kata seperti pakenira dan manira sebagai pengganti nama orang kedua dan pertama merupakan contoh sebagian dari bahasa bagongan atau bahasa kedhaton 'bahasa yang digunakan oleh para ratu'. Bahasa semacam itu sering dipakai dalam cerita wayang seperti LK. 4.6.8 Gaya Cerita
Gaya cerita dalam Lakon Kramawiyoga mi memiliki gaya yang khas. Kekhasannya dapat diketahui pada cara penyampaiannya di tiap-tiap awal
142
episode atau-bagianceritai Dalam wayang setiap episode biasa diberi nama jejer. jejer Nagari Mandaraka,jejer Nagari Kshndijejer Nagari Tirtakandhasanv dan sebagainya. Pada awal jejer, daiang selaiu memberi komentar dengan istilah anenggih gantya kang kocapa, anenggih gantya kang den ucapaken sepeiti kutipan berikut. Anenggih gantya kang denucapaken, ing kenyapuri pramesari Mandraka, akekasih kusumaning ayuRatu Seeawati dhasarendah wamane karengga ing busana,... (hal. 44)
'Yaitu berganti yang diceritakan, di istana keputren prameswari Mandraka, bergelar Sang Ayu Ratu Secawati, dasar indah waraanya dihias dengan pakaian '
Selanjutnya^ pada akhir episode selalu diberi komentar oieh penurutnya dengan kata /^z/i ing kana ta wau^ sinigeg ... seperti kutipan berikut. Sinigeg, Lah ing kana ta wau Prabu Satya sampun kondur ing kedhaton, satriya Madukara tankalilan tebih, kendel ngayening gapura,... (hal. 43) 'Diputus, nah;deraikianlah tadi Prabu Salya sudah kembali ke istana, satria Madukara tidafcdiizmkanjauh, berhenti didepan gapura,...'
in
dB ;JB
BAB V
PENUTUP
Sejak awal, kehidupan sastra Jawa tidak pemah dapat dilepaspisahkari dengan munculnya pengarah budaya asing yang turut mewamai budaya' Jawa. Budaya asing yang ikut mengondisikan sastra Jawa adalah budaya Hindu, budaya Islam, dan budaya Barat. Oleh sebab itu, secara berturut-' turut, sastra Jawa telah menerima pengaruh budaya Hindu, pengaruh budaya Islam, dan pengaruh budaya Barat atau Eropa. Pengaruh budaya asing terhadap sastra Jawa terbukti banyak karya sastra yang memuat ajaran agama Hindu dan karya sastra yang berisi ajaran Islam. Pengarah budaya Barat lebih bersiat lahiriah terhadap penciptaan sastra. Sejak pengarah Barat masuk secara intensif dalam kebudayaan Jawa pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, sastra Jawa menunjukkan adanya tradisi penciptaan bara. Terjadinya perabahan tradisi dalam sastra Jawa sejak pengarah Barat tidak dapat dilepaskan dari peranan lembaga pemerintah yang bertugas mengurasi masalah bahasa dan sastra Jawa, seperti Instituut voor de Javaanshe Taal di Surakarta tahun 1832 dan Commissie voor de Volkslectuur, yang akhimya berabah nama menjadi Balai Pustaka.
Sejak berdirinya lembaga bahasa di Surakarta itu, lahir karya-karya berbentuk prosa yang berapa kisah perjalanan. Pada awal abad ke-20, sejalan dengan keberadaan Balai Pustaka, tradisi penulisan sastra Jawa dengan bahasa ngoko mulai berkembang. Akan tetapi, secara kuantitas, jumlah karya sastra Jawa yang menggunakan bahasa Jawa krama lebih banyak dibandingkan cerita yang berbahasa Jawa ngoko. Penerbit Balai Pustaka sangat berperan dalam menerbitkan cerita-cerita yang memuat 143
144
nilai-nilai didaktik. Keadaan semacam itu tidak mustahil karena pada awal abad ke-20 pengarang sastra Jawa banyak berasal dari kalangan pendidik atau guru. Karya-karya mereka dimaksudkan sebagai bacaan di sekolahsekolah yang berdiri pada saat itu. Karya sastra Jawa pada akhir abd ke-19 sampai dengan tahun 1920 didominasi oleh cerita-cerita yang mengetengahkan tema yang berkaitan dengan masalah percintaan. Selanjutnya, karya-karya yang menggarap tema itu berkaitan dengan masalah moral, pendidikan, sosial menempati posisi setelah cerita-cerita bertema percintaan. Pada waktu itu tema yang berkaitan dengan masalah ketuhanan tidak banyak menarik minat bagi penulis Jawa.Sedikitnyaceritadalam sastra Jawayang memuattemaketuhanan, kemungkinan besar,disebabkan oleh kebijakan pemerintah waktu itu bahwa karya sastra atau buku yang dapat diterbitkan tidak boleh menyinggung masalah agama, ras, dan Iain-lain. Jika dilihat dari alur, karya sastra Jawa masih didominasi oleh cerita yang memakai alur maju atau progresif. Bahkan,seluruh karya sastra pada waktu itu diceritakan dengan teknik pengaluran maju atau lurus. Dari seluruh karya sastra yang ada hanya beberapa karya sastra yang memakai sorot balik atau back tracking 'menoleh ke belakang'. Karya sastra Jawa banyak menampilkan konflik yang dialami oleh tokoh dalam kaitannya dengan tokoh lain. Pada kenyataannya, karya sastra Jawa itu banyak memunculkan konflik ekstemal (external conflicx). Konflik ekstemal, konflik antartokoh,itu banyak dilatarbelakangi oleh masalah yang berkaitan dengan percintaan, peijuangan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, dan Iain-lain. Konflik-konflik tersebut sering muncul dalam bentuk konflik fisik, yang berupa perselisihan, pertempuran, dan pembunuhan, dalam usaha tokoh memperebutkan wanita,dan Iain-lain. Dalam karya sastra kisah perjalanan, konflik tidak digarap secara memadai. Ketidakhadiran konflik yang cukup berarti dalam cerita-cerita kisah perjalanan ditentukan oleh teknik penyajiannya yang mendekati cerita laporan. Oleh sebab itu, karya kisah perjalanan tidak pemah menghadirkan tokoh bawahan atau antagonis yang koheren dengan kepentingan tokoh utama. Sebagian besar karya sastra Jawa menampilkan tokoh frktif atau nonhistoris. Kehadiran tokoh historis hanya terdapat dalam karya-karya jenis roman sejarah dan sastra babad, seperti Serat Biwadaraja(SB) pada tahun 1886, Serat Kulaprama (1912), dan Karaton Powan (1917). Dalam
145
cerita anak-anak atau dongeng, tokoh cerita sering berasal dari kalangan anak-anak. Cerita anak-anak banyak menampilkan tokoh sejak usia anakanak sampai dengan usia dewasa. Hal itu terdapat dalam cerita anak-anak yang termasuk cerita didaktik yang lebih menekankan pada pesan tentang pentingnyakeuletan dan kegigihan seseorang untuk mencapai keberhasilan
yang dicita-citakannya. Dalam beberapa cerita anak-anak,tokoh ceritajuga berasal dari tokoh nonmanusia, seperti yang terdapat di dalam cerita mite dan fabel. Tokoh dalam kedua jenis cerita itu berasal dari makhluk nonin-
sani, yakni berupa tokoh dewa atau binatang. Cerita pewayangan me nampilkan tokoh klise, yakni tokoh yang telah lama dikenal secara umum.
Cerita dalam sastra Jawa masih dominan menampilkan latar yang bersifat tradisional, terutama latar waktu. Keterangan waktu yang bercorak tradisional atau klise tampak pada deskripsi waktu yang memakai keterangan ing jaman mbiyen pada zaman dahulu', ing sawijining dina 'pada suatu hari', kacarita ing jaman kuna 'tercerita pada zaman dahulu', dan sebagainya. Pemakaian latar tempat lebih banyak bersifat latar nonrealistis. Latar realistis berkaitan dengan nama tempat secara nyata. Latar realistis
hanya terdapat dalam sebagian kecil karya sastra,terutama karya sastra yang termasuk jenis sastra babad, roman sejarah, dan kisah perjalanan. Karya sastra Jawa pada periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920 banyak memakaijudul yang mengacu kepada tokoh,baik nama tokoh,
sifat tokoh maupun tindakan tokoh. Judul yang berkaitan dengan tokoh semuanya menyangkut nama tokoh, biasanya tokoh utama atau tokoh utama
dan tokoh bawahan. Di samping itu, judul-judul karya sastra Jawa mengisyaratkan atau mengacu kepada tema dan masalah yang dituangkan dalam cerita yang bersangkutan,latar, dan alur cerita. Judul yang mengacu kepada latar, dalam hal ini latar tempat, terdapat dalam cerita romah sejarah. Adapun karya sastra yang memakai judul yang mengacu pada alur terdapat di dalam cerita kisah perjalanan.
Pada waktu itu karya sastra Jawa masih didominasi oleh cerita yang memakai pengisahan orang ketiga. Dengan demikian,karya-karya yang ada masih memakai gaya pengisahan yang bercorak tradisional seperti banyak terdapat dalam cerita dongeng. Sepanjang waktu itu, hanya terdapat lebih kurang lima buah cerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama dan sudut pandang campuran.Pengaruh penceritaan dalam cerita anak-anak
dalam karya sastra selain cerita anak-anak terlihat dalam teknik penyele-
146
saian cerita. Selurah karya sastra memakai teknik penyelesaian cerita tertutup. Pencerita sering memuat kesimpulan pada akhir cerita. Simpulan
pada akhir cerita yang keberadaannya tidak selalu merupakan bagian integral dengan tokoh dan alur cerita itu, pada umumnya berupa keberhasilan tokoh dalam menuntut ilmu sehingga menjadi orang berpangkat dan
terhormat,perkawinan tokoh yang berbahagia itu kejahatan dikalahkan oleh kebaikan. Di samping itu, bertemunya'cembali anggota keluarga yang telah lama berpisah, dan Iain-lain. Karya sastra Jawa pada waktu itu memakai bahasa penceritaan ragam bahasa Jawa krama dan ragam ngoko. Ragam ngoko telah dipakai pada karya sastra pada akhir abad ke-19.Sejak awal abad ke-20 munculnya karya sastra Jawa yang menggunakan bahasa ngoko semakin menunjukkan
frekuensi peningkatan. Ragam bahasa krama lebih banyak dipakai dalam karya sastra yang diterbitkan oleh penerbit pemerintah, Balai Pustaka, daripada penerbit lainnya. Sejak awal abad ke-20i penulisan atau karya sastra berbentuk prosa semakin berkembang. Kehadiran karya-karya prosa itu telah mulai muncul pada awal abad ke-19, lebih kurang tahun 1832. Karya sastra Jawa prosa semakin banyak diterbitkan semenjak tahun-tahun awal abad ke-20. Oleh sebab itu, sepanjang periode tersebut, sastra Jawa
dapat digolongkan menjadi(1)karya sastra a^ir abad ke-19 yang didominasi oleh cerita dalam bentuk tembang macapat dan (2) karya sastra yang
lahir pada awal abad ke-20, tahun 1900-1920, yang didominasi oleh karyakarya prosa.
Karya sastra yang terbit pada waktu itu dapat diklasifikasikan atas cerita anak-anak atau dongeng anak-anak, novel, roman sejarah, babad, kisah perjalanan, dan cerita pewayangan. Cerita anak-anak dari segi kuantitas menduduki urutan pertama dibandingkan jenis karya sastra yang lain. Pada akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920,juga muncul beberapa cerita anak-anak yang berupa antologi seperti Dongeng Manca Warni (1913), Cariyos Sae Sawelas Iji (1875), Serat Sabda Rahayu (1913), dan Layang Dongeng Worya Locita (1917). Cerita anak-anak itu sangat me-
nekankan pesan-pesan moral atau pendidikan. Karya-karya sastra saduran juga turut memperkaya khazanah sastra Jawa pada waktu itu. Karya sastra novel cukup banyak jumlahnya dibandingkan dengan roman sejarah,babad,dan kisah perjalanan. dalam periode tersebut, muncul karya-karya novel, baik asli maupun karya novel saduran dari cerita asing.
147
Beberapa karya novel, nonsaduran,iriasih berupa panovel. Di antara novel saduran itu adalah Serat Lelampahanipun Sang Retna Suyati (1891) dan
Serat Lelampahanipun Robinson Krusu (1876). Karya novel yang terbit pada masa itu, antara lain, Tuhuning Katresnan (1919), Isin Ngaku Bapa (1918), Nargining Kautamen (1919), dan Serat Riyanta (1920). Sepanjang periode itu, roman sejarah hanya terbit dua kali, yaitu Karaton Powan (1917) dan Serat Djajaprana (1919). Kehadiran cerita anak-anak atau dongeng itu menduduki; urutan per-
tama merupakan kondisi yang wajarjika dikaitkan dengan kalangan pengarang sastra Jawa pada waktu itu. Sebagian besar penulis sastra Jawa berasal dari kalangan pendidik. Oleh karena itu, karyanya yang berupa cerita anakanak itu dimaksudkan sebagai mediauntuk menyampaikan pesan pendidikan
kepada anak didik. Di samping itu, kehadiran cerita anak-anak yang cukup produktif itu juga dipengaruhi oleh kebijakan penerbit pemerintah dalam menyediakan bacaan untuk kepentingan pendidikan yang disalurkan melalui perpustakaan di sekolah-sekolah. Berdasarkan data penelitian, dapat dikemukakan bahwa cerita wayang
dalam sastra Jawa periode akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1920 banyak diterbitkan di Surakarta, Semarang,dan Betawi. Bahkan. beberapa cerita wayang yang ada itu penerbitannya diusahakan oleh peminat asing, seperti Kresna Gugah (1887) yang diterbitkan oleh Th. Maijer. Cerita tersebut ditulis dengan huruf Jawa, baik yang berbahasa Jawa krama maupun ngoko.
Karya sastra pada periode itu banyak digubah dalam bentuk puisi tradisional atau tembang dan prosa. Karya y&g ditulis dalam puisi atau prosa itu meliputi semua jenis karya, seperti kisah peijalanan, romah sejarah, babad, novel, cerita anak-anak, dan cerita pewayangan. Hadimya karya sastra yang berupa puisi tradisional atau tembang itu menandakan bahwa para penulis sastra Jawa belum dapat meninggalkan tradisi lama walaupun ketika itu sudah menerima pengamh Barat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penulis sastra Jawa belum dapat menyerap pengaruh Barat secara penuh karena masyarakat belum sepenuhnya siap menerima pembaraan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.A. 1981. A Glossary of Literary Term. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya. Badrun, Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu Sastra. Surabaya: Usaha Nasional. Baried, Siti Baroroh dkk. 1985. Unsur Kepahlawanan dalam Sastra Jawa Klasik. Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara. Cokorwinoto, Sardanto dkk. 1990. Pengaruh Cerita Panji pada Alur Roman JawaModem.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Culler, Jonathan. 1981. The Persuit of Sign: Semiotic, Leterature, Decontruction. London and Heyley: Rautledge and Kagan.
Damono,Sapardi Djoko. 1993. NovelJawa Tahun l920-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakaga: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Ba hasa.
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Iain-lain. Jakarta: Grafiti.
Darusuprapta. 1969. "Ngungak Kawontenaning Basa saha Kasusastran Djawi". FKSS IKIP Malang. 1980. "Jenis Sastra Nusantara: Sastra Sejarah Khusus Babad". Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. 1990. "Periodesasi Sastra Jawa"Dalam Widyaparwa, Nomor 35. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. 148
149
Guillen, Claudie. 1971. Literature as System: Essays to Ward the Theory of Uteracy History. Princeton Univesity Press.
Guinn, George. 1982. "Padmasusastra's Rangsang Tuban: A Javanese Kebatinan Novel". Dalam Archipel, Nomor 24. 1984. The Novel in Javanese. Volume I. University of Sydney.
Hadisoebroto, T. t.t. Sari Kasusastraan Jawa. Surakarta: Widya Duta.
Hoght, Graham. 1972. Styll and Stylistic. London: Rautledge and Kegan Paul.
Hudson, Willeam Henry. 1965. An Introduction to the Study ofLiterature. Sydney: George G Harap & Co.
Hutagalung, M.S. 1967. Tanggapan Dunia Asrul Sani. Jakarta: Gunung Agung.
Hutomo, Suripan Sadi. 1975. Telaah Kesusastraan Jawa Modem. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. . 1972. "Periodisasi Kasusastran Jawa Gagrak Anyar".Jayabaya. Nomor 22. Surabaya.
Juynboll, H. 1911. Suplemen of den Catalogus van de Javaanshe en Maduraashe. Leiden.
Kementerian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. 1946. Kasoesastran Djawi. Jakarta.
Kenney, Willem. 1966. How to Analyse Fiction. Monarch Press. Keraf, Gorys. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: KumiaEsa.
Padmapuspita, Asia. 1980. "Delapan Puluh Tahun Sejarah Sastra Jawa'". Yogyakarta: FKSS IKIP Negeri. . 1991. "Jenis Sastra Jawa dan Ciri Pengenalnya". Semarang: Kongres Bahasa Jawa I.
Pigeaud, t.H. 1967. Literature of Java. Volume I. The Hague: Martinus Nighoff.
Pradopo,Sri Widati dkk. 1985.Struktur Cerita PendekJawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Perbatjaraka, R. Ng. 1952. Kepustakaan Djawi. Jakarta: Djambatan. Rass, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Muthakhir. Jakarta: Grafiti Press.
150
Riffaterre, M. 1978. Semiotics ofPoetry. Bloomington: Indiana University Press.
Riyadi.Slametdkk. 1988."KisahPeijaIanaiidalamSastraJawa".Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Robson, S.O. "Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia". Dalam Bahasa dan Sastra. Nomor 6 th. IV. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. . 1978. Filologi dan Sastra-sastra Klasik Indonesia. Jakarta; Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sayuti,Suminto A. 1986."Dasar-Dasar Analisis Fiksi". Yogyakarta: FPBS IKIP Negeri.
Shipley,YosephT(Ed). \962.Dictionary ofWorld Literature. New Jersey: Littlefield Adams and Co.
Soewignya, R. Poerwa dan R. Wirawangsa. 1920. Javaansche Bibliographie. Batavia: Drukkery Ruygrok and Co.
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. Washington: Holt and Winston Inc.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. ^ . 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Suharianto, S. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta. Sumardjo, Jakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Penerhit Alumni.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Grame dia. Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Uhlenbeck, e.M. 1964. A Critical Survey of Studies on the Longnages of Java. Gravenhagen: Martinus Nighoff. . 1978. Studies in Javanese Morphology. The Hague: Martinus Nighoff. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1976. Theory of Literature. Harmonidsworth: Pinguin Books.
151
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta; Gramedia.
Zaidan, Abdul Rozak dkk. 1991. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Zoest, Aart Van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiofik. Jakarta: Intermasa.
Zoetmulder,P.J. 1974. Kalangwan:Sastra Jawa Kuna. Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
DAFTAR PU3TAKA DATA
Andersen,H.C. 1916.Serat CariyosipunJakaJohanis. Batavia: Albrecht& Co.
Adisusastra, Mas. 1917. Cariyosipun Kartimaya. Weltevreden: Indonesische Drukkerij. Anonim. 1884. Irawan Bagna. Surakarta. Anonim. 1895. Serat Kumalasekti. Surakarta.
Anonim. 1914. Petruk Dados Ratu. Betawi.
Anonim. 1915. Senggutru. Betow/.- Ruygrok & Co.
Anonim. 1914. Serat Cariyosipun Ulam Kutuk Ngrabeni Tiyang Estri. Betawi: G. Kolff & Co.
Ardiwinata, D. 1913. Serat Sabda Rahayu. Batavia: Mercurius.
Arjasusastra, R.M. t.t. Doraweca. Suraktirta.
Arjasuwita, Mas. 1912. Cariyosipun Jaka Setya Ian Jaka Sedya. Semarang: H.A. Benyamin. Aijawisastra, Mas. 1917. Pamoring Dhusun. Weltevreden: Papirus. Danuwinata, R.M. Ismangun. 1891. Cekel Indralaya. Probalingga. Darmadiningrat, R.T. 1887. Serat Darmakanda. Semarang: Penerbit Fanderof & Co.
Dirjasubrata, R. Suradi. 1912. Gara-Gara. Betawi. Jitnasastra. 1919. Kesah Layaran dateng Poelo Papoewah. Batavia: Bale Poestaka.
152
153
Kartadirja, R.M. Tuhuning Katresnan. Yogyakarta; Commissie voor de Volkslectuur.
Kusnadiarja, Mas. 1916. Serat Cariyosipun Kara Kadreman. Betawi: Papirus. Mangunwidjaja, Mas Ngabei. 1916. Serat Trilaksita. Batavia. . 1917. Layang Dongeng Wurya Locita. Weltervreden: Albrecht & Co.
Martaatmaja, Mas Bei. 1886. Serat Biwadaraja. Penerbit Pogel & Co. . 1875. Cariyos Sae Sawelas Iji. Batavia: Lands Drukkerij. Martaatmaja, Raden Samuel. 1918. Serat Rukun Arja. Batavia: Albrecht & Co.
Nitisastra, Mas. 1919. Serat Djajaprana. Weltevreden: Papirus. Padmasusastra, Ki. 1906. Serat Wedamadia. Surakarta: Albrecht Rusche & Co.
. 1912. Serat Rangsang Tuban. Surakarta: Budi Utama.
Prawirasudiija. 1913. Serat Panutan. Semarang: H.A. Benyamin. 1917. Serat Piwulang. Weltevreden: Indonesiche Drukkerij. 1918. Isin Ngaku Bapa. Batavia: Visser & Co.
Poedjaardja, Mas. 1912. Dongeng Empol Empil. Batavia: Drukkerij Pa pirus.
—^
. 1912. Cariyos Tilarso. Betawi: Kanjeng Gupermen. . 1910. Dongeng Cariyosipun Tiyang Sepuh. Batavia: Lands Drukkerij.
. 1912. Dongeng Cariyosipun Tiyang Sepuh. Betawi: Pirmah Pa pirus. . 1913. Serat Nitikarsa. Betawi: Commissie voor de Volkslectuur.
. 1913. Serat Nitileksana. Betawi: Commissie voor de Volkslec tuur.
. 1911. Cariyos ingkang Kasawaban ing Nama. Semarang: H.A. Benyamin.
Reditanaya, Ki. 1908. Lakon Kartawiyoga. Surakarta. Reksatanaya, Mas Ngabei. 1876. Serat Lelampahanipun Robinson Krusu. Betawi: Ogelfi & Co. Reksatanaya, Mas. 1881. Serat Carita Becik. Batavia: Pogel & Co.
154
Reksatanaya, R.Ng. 1909.Serat Kramaleyo. Surakanta: Albreht Rusehe & Co.
Sasrasoetikna, M. 1920. Tig Ian Tor. Batavia: Bale Poestaka.
Sastraprawira. 1913. Biyung Kuwalon. Betawi: Pirmah Papirus. Sardjoena, alias R. Wirawangsa. 1911. Serat Walidarma. Betawi. Kanjeng Goepermen.
Sastradiardja, Mas. 1917. Tjariyos LdampahanipunSida. Batavia: Papirus. Sastraprayitna,Soesila. 1920.SeratBares Koeres.Surabaya:E.Fuhri & Co. Sindoepramnata, Mas. 1913. Lelakone Amir. Betawi: Commissie voor de Volkslectuur.
Siswawinata, R. 1919. Margining Kautamen. Weltevreden: Papirus. Siswiryasusastra, Raden. \9\2>. Serat Dongeng Mancawami. Betawi: Pir mah Papirus. Soekarman, M. alias Mangunpoestaka. 1913. Serat Upa Darya. Betawi: Ruygrok & Co. Soekardi, R. alias Prawirawinarsa. 1912. Cariyos Pandung. Semarang: H.A. Benyamin. Soerjawidjaja, R. Pandji. 1880. Basiran Basirun. Batavia: Penerbit Lands Drukkerij.
. 1883. Serat Sri Gandana. Penerbit Lands Drukkerij. Sulardi, R.M. 1920. Serat Riyanto. Djakarta: Bale Pustaka.
Surjasuparta, Raden Mas. 1916. Kekesahan saking Tanah Djawi dhateng Nagari Walandi. Batavia: Filial Albrecht & Co. Suwita, Mas. 1916. Bok Randha Setya Darma. Weltevreden: Albrecht & Co.
Winter, C.F. 1891. Serat Lelampahnipun sang Retna Suyati. Surakarta: Percetakan Y.A. Sekol.
Wiriadiarja. 1913. Dongeng Waris Ian Lalis. Betawi: Pirmah Papirus. Wiryaatmaja. 1916. Rara Rarasati. Batavia: Albrecht & Co. . 1917. Dongeng Akal Pengaos Kalih Sen. Weltvreden: Tuwan Pisserenta.
Yasawidagda. 1917. Karaton Powan. Batavia: Tuwan Pisperenko.
155
LAMPIRAN I
TABELIJENIS KARYA SASTRA DATA Jenis Karya Sastra Data No. KP
N
RS
B
CAA
CP
1.
PTE
SKp
KP
BB
APKS
2.
TNP
SB
SDp
CT
BKw
IB
3.
KSDDW
TVS
INB
BRSD
PDR
4.
KLDDP
5.
TNW
6.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8.
-
-
-
9.
-
-
-
10.
-
-
-
11.
-
-
-
7.
12. 13. 14.
15.
18. 19.
LA
CASl
D
MK
CB
GG
SBK
CIKIN
SKs
SDp
CK
C1
SLRK
CP
KG
SLSRS
CRK
SR
CUKN
IK
DKKM
-
-
SRT
DMW
-
-
-
SGG
DSM
-
-
-
LS
DWL
-
-
TT
EE
-
-
SK
JSJS
-
_
_
TK
LDWL
_
_
_
-
-
16. 17.
-
_
_
_
-
-
-
-
21.
-
-
-
-
22.
-
_
-
23.
-
24.
-
20.
25.
-
_
-
-
-
_
_
-
-
RR S
SDR
SG SN
_
27.
-
_
-
-
-
-
SUD
30. 31.
_
-
_
_
SNk
-
29.
-
_
-
-
-
-
_
SDM
26.
-
-
_
SD
-
_
-
-
_
-
-
-
-
-
28.
LK
SP
_
_
SPw
-
-
-
-
SW
-
-
-
-
TTS
-
-
-
_
WBSI
_
-
-
_
-
32.
-
-
-
-
SRA
-
33.
-
-
-
-
SUD
-
Jum.
5
3
3
17
33
8
68
Keterangan: KP
kisah peijalanan
B
babad
RS
roman sejarah
N
novel
CAA
ceiita anak-anak
CP
cerita pewayangan
PERPUSTAKAAN PUSAT PEM3INAAN 0AM
PENGEMBANGAN
BAHASA
OAPARTEME'n P£ no 101 KAN DAN
KE8U0AYAAN
<- i
uliUTAN
■AA5'-