BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Melalui penelitian mengenai peran ASEAN dalam menangani konflik di Laut China Selatan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Sengketa di Laut China Selatan merupakan sengketa perebutan wilayah dan persaingan klaim atas pulau-pulau. Dengan adanya campur tangan militer maka sengketa ini kemudian meningkat menjadi konflik. Perebutan kepemilikan atas pulau-pulau di Laut China Selatan sudah terjadi sejak tahun 1816 oleh Vietnam. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya klaim ini menyebar ke negara-negara lain. Negara-negara yang teribat dalam sengketa di Laut China Selatan adalah sebagian besar anggota ASEAN yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei dan China beserta Taiwan. Setelah dilakukannya penelitian ini dapat diketahui bahwa sengketa perebutan wilayah di Laut China Selatan merupakan sengketa yang cukup panjang sejarahnya. Namun setelah lebih dari satu abad sengketa antar negara-negara ini belum juga berakhir. Sampai tahun 2012, konflik atas pendudukan wilayah di pulau-pulau Laut China Selatan masih sering terjadi. 2) ASEAN sebagai organisasi regional berusaha untuk mewujudkan perdamaian dan menjaga keamanan di sekitar wilayah Laut China Selatan. Dalam upayanya mewujudkan perdamaian kawasan, ASEAN yang
90
91
menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan kekerasan namun dengan menggunakan cara preventif atau pencegahan. Hal ini dapat dilihat dari salah satu pendekatan yang digunakan oleh ARF yaitu preventive diplomacy. Langkah ASEAN dalam menangani konflik dengan cara damai telah terwujud dengan dilakukannya beberapa pertemuan, dialog dan forum yang membahas tentang bagaimana para pihak yang terkait dapat menyampaikan pendapat dan kepentingan mereka satu sama lain. Selain itu, ASEAN juga menentang penggunaan kekerasan dan militer diantara pihak-pihak untuk menyelesaikan sengketa. Menurut paham liberalisme, sengketa dan konflik antar negara dapat diselesaikan dengan cara-cara damai seperti pengalihan ketegangan akibat konflik kepada peningkatan kerjasama antar pihak terkait. Dengan berdasar dari pemahaman tersebut ASEAN berusaha mendorong kerjasama diantara pihak-pihak terkait untuk bersama-sama berperan aktif dalam menjaga keamanan dan pelestarian laut. 3) ASEAN turut campur tangan dalam segala proses penyelesaian sengketa. Hal ini dilatarbelakangi oleh kekuatan China yang semakin besar di dunia internasional sehingga apabila negara-negara ASEAN secara bilateral melakukan negosiasi dengan China maka negosiasi tersebut cenderung akan dimenangkan oleh China. Secara lebih spesifik, peran ASEAN adalah untuk menyediakan mediasi bagi negara-negara yang bersengketa. Mediasi
92
tersebut dapat dilakukan di dalam forum yang khusus ditujukan untuk mengurusi kepentingan keamanan regional Asia Tenggara yaitu ARF. 4) Dalam menghadapi konflik Laut China Selatan, ASEAN baru sampai tahan confidence building measures dimana ASEAN mendorong setiap negara yang berkonflik untuk menumbuhkan rasa percaya diantara mereka. Hal ini dipercaya dapat mencegah terjadinya konflik di kemudian hari. Namun yang terjadi, konflik masih tetap terjadi dan justru semakin meruncing pada tahun 2012 kemarin China mengeluarkan paspor yang mencantumkan Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayahnya. Hal ini menimbulkan protes dari Vietnam dan Filipina.
5.2. Saran Proses penyelesaian sengketa Laut China Selatan pada dasarnya telah berjalan baik sesuai dengan prinsip perdamaian dan kerjasama yang dianut oleh ASEAN. Namun, usaha-usaha yang dilakukan oleh baik oleh ASEAN sebagai organisasi dengan negara-negara yang terkait konflik dinilai belum efektif. Ini terbukti dari masih terjadinya persaingan klaim diantara pihak-pihak dan konflik yang masih berlangsung hingga saat ini. Ketidakseimbangan kekuasaan di kawasan menjadi akar dari lambatnya proses persetujuan bersama. Keseimbangan kekuasaan tersebut seharusnya diwujudkan lewat posisi ASEAN di kawasan. ASEAN harus menempatkan posisinya sebagai balance of power di Asia Tenggara. Hal ini dilakukan untuk menekan kekuatan dan pengaruh China di kawasan. Dengan menekan posisi China di Asia Tenggara maka ASEAN menjadi
93
kekuatan yang cukup besar di kawasan. Sehingga segala resolusi dan tindakan ASEAN dalam penyelesaian konflik dapat dituruti dan ditaati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Karena apabila ASEAN tidak bertindak sebagai balance of power, China akan cenderung lebih tidak menaati resolusi yang dibuat oleh ASEAN. Pertemuan yang dilakukan oleh China dan ASEAN lebih ditingkatkan intensitasnya. Hal ini disarankan oleh karena permasalahan ini telah berlangsung cukup lama dan perlu adanya penyelesaian konkret baik dari ASEAN maupun China. Pertemuan yang membahas mengenai isu konflik laut china selatan ratarata dilakukan 1-3 kali dalam setahun. Sebagian besar dari pertemuan itu bukan merupakan pertemuan khusus untuk membahas isu ini. Pembahasan di dalam petemuan menjadi tidak berfokus mengenai penyelesaian konflik laut china selatan sehingga meskipun sering mengadakan pertemuan antar pihak yang berkonflik tetapi hasil yang dihasilkan tidak terlalu signifikan bagi perkembangan konflik. Oleh karena itu pertemuan antar pihak sebaiknya dilakukan lebih intensif dan lebih berfokus pada dialog dan pembahasan konflik sehingga diharapkan dapat menjadi pertemuan yang efektif bagi penyelesaian konflik. Dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan sebaiknya ASEAN lebih agresif dari hanya sekedar membangun kepercayaan bersama (confidence building measures). Harus ada tindakan lebih lanjut seperti mewujudkan preventive diplomacy dengan merumuskan code of conduct. Lalu apabila tahapan tersebut sudah terlewati, maka ASEAN dapat merumuskan resolusi konflik. Namun, hal ini dibutuhkan kerjasama yang solid dari negara-negara anggota ASEAN sendiri
94
untuk mendukung apa yang telah diusahakan oleh ASEAN. Apabila tidak ada kerjasama yang solid dari negara anggota ASEAN maka usaha ASEAN akan menemui kendala seperti yang terjadi pada ASEAN Ministerial Meeting di Kamboja pada tahun 2012 lalu. Kamboja adalah ketua ASEAN pada tahun 2012 maka kegiatan AMM diselenggarakan di ibu kota Kamboja yaitu Pnom Penh. Kamboja memiliki hubungan yang sangat baik dengan China yang dapat dilihat dari adanya spanduk besar yang berisikan mengenai penyambutan China di Kamboja. Oleh karena persahabatan China dan Kamboja, Kamboja cenderung mendukung China dengan tidak membahas mengenai konflik Laut China Selatan saat AMM Juli 2012 kemarin. Dengan tidak dibahasnya isu konflik Laut China Selatan, perumusan code of conduct menjadi terhambat. Bahkan juga tidak menghasilkan joint communique (pernyataan bersama) dalam isu Laut China Selatan. Selain itu, ASEAN dalam membuat perjanjian dan resolusi konflik Laut China Selatan harus berfokus pada solusi konkret yang selain dapat mencegah terjadinya penyebaran dan peningkatan konflik juga dapat menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara pihak-pihak. ASEAN selama ini hanya berhenti pada tahap confidence building measures dan bukan pada conflict resolution. Selama ini yang menjadi akar permasalahan antar pihak adalah ketidakjelasan pembagian kepemilikan dari wilayah-wilayah di Laut China Selatan. Untuk mengatasi masalah ini, ASEAN dapat bekerjasama baik dengan PBB maupun dengan badan hidrografi internasional untuk kembali melakukan pertemuan untuk membahas hukum laut dan hukum perbatasan yang tegas agar dapat
95
meminimalkan terjadinya klaim tumpang tindih di wilayah perairan terutama di Laut China Selatan di masa mendatang. Resolusi konflik yang dapat dicapai oleh ASEAN adalah dengan membagi wilayah Laut China Selatan secara adil dan menurut hukum laut yang berlaku dan memaksa semua pihak untuk menyetujui hasil keputusan ASEAN. Oleh karena menurut prinsip ASEAN, ASEAN tidak dapat memaksa pihaknya maka ASEAN membutuhkan bantuan kekuatan dari organisasi dan negara yang lebih besar seperti PBB dan Amerika Serikat.