BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH (99H/717M-185H/801M) SKRIPSI
Siti Rihanah 106022000918
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang telah diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 Maret 2011
Siti Rihanah
ABSTRAK
Siti Rihanah Biografi Dan Pemikiran Rabi’ah Al-Adawiyah (99H/717M-185H/801M) Riwayat hidup sufi perempuan yang bernama Rabiah al-Adawiyah (99H/717M-185H/801M) telah tersusun pada puluhan buku-buku yang ada, tetapi riwayat tersebut tidak selalu menjelaskan secara terperinci tentang biografi sufi perempuan tersebut. Terlalu banyak pembahasan mengenai Rabi’ah condong ke arah konsep mahabbah yang dilakukannya dalam sejarah Islam. Pemikiranpemikiran Rabi’ah yang berkaitan dengan akhlak juga menarik untuk ditilik lebih dalam lagi. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan dan memaparkan tentang riwayat hidup Rabi’ah al-Adawiyah dan pemikiran-pemikirannya. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah siapakah sosok seorang Rabi’ah al-Adawiyah dan apa saja pemikiran-pemikirannya. Dalam bagian metode penelitian, penulis memakai metode studi kepustakaan (literatur). Mengumpulkan data menyusun atau mengklasifikasikannya menganalisa dan menginterpretasikannya. Selain itu penulis juga menggunakan pendekatan deskriptif dan analisis.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanyalah bagi Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya terutama nikmat sehat, iman dan Islam, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sekaligus mengakhiri studi program S-1 pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat serta pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman. Ketertarikan Penulis terhadap sosok pribadi Rabi’ah al-Adawiyah dilatar belakangi oleh keunikan dan keistimewaan dalam sejarah kehidupannya. Amal perbuatan serta pemikiran-pemikirannya masih memiliki relevansi dan manfaat untuk dikaji dan diterapkan hingga saat kini maupun nanti. Itulah salah satu hal yang mendorong penulis untuk menyusun skripsi mengenai biografi dan pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini juga menjadi tanggung jawab akademis dalam menyelesaikan program studi strata satu pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya, tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak baik langsung maupun tidak langsung yang telah berjasa dan membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Melalui kesempatan ini, penulis berkenan secara khusus menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
ii
1. Bapak Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Abad & Humaniora, Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui skripsi ini. 2. Bapak Drs H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam serta Ibu Sholikatus Sa’diyah M.Pd. Selaku Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam yang telah membantu dalam proses terlaksananya skripsi ini. 3. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. 4. Ibu Awalia Rahma, MA. dan Bapak Syamsudin Dasan, M.Ag. Sebagai dosen penguji dalam sidang munaqosyah yang telah banyak berjasa. 5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan sabar dan penuh keikhlasan mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Teman-teman seperjuangan jurusan Sejarah Peradaban Islam angkatan 2006 khususnya Citra Amalia, Neneng Komariah, M. Irkhamni, Yudarman Adi Putra, A.Syairozi, Ruliyadi, M. Andi Gilang, Fadhrul Rahman dan semuanya. Para sahabat KKN 2009, yang penulis tidak bisa menyebutkan namanya satu persatu. 7. Kakak-kakak penulis dan kesemuanya yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Dan terlebih khusus untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda tercinta H. Muhammad iii
Saman, MA. dan Ibunda Alm. Hj. Siti Maryani yang sungguh sangat berjasa tiada tara baik moril maupun materil dan memberikan dukungan kepada penulis untuk senantiasa menimba dan menuntut ilmu seluasluasnya. Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga kebaikan dan ketulusan mereka dibalas oleh Allah SWT dengan pahala berlipat ganda. Terakhir semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater dan pembaca umumnya. Amin ya rabbal alamin
Jakarta, 31 Maret 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………..……
i
KATA PENGANTAR………………………………………………..….
ii
DAFTAR ISI……………………………………………………...…........
v
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………..……………..…….
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………..
5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.....................................
6
D. Tinjauan Pustaka..........................................................
6
E. Metode Penelitian…………………………………....
8
F. Sistematika Penulisan…………………………………
9
BIOGRAFI RABI’AH AL-ADAWIYAH A. Riwayat Hidup 1. Latar Belakang Keluarga………….……………....
11
2. Latar Belakang Pendidikan Non Formal……..…..
15
3. Syair-Syairnya..……………………………...........
17
B. Awal Mula Kesufian Rabi’ah Al-Adawiyah 1. Kondisi Agama……………………………………
20
2. Dari Budak Menjadi Seorang Sufi………………..
21
3. Rabi’ah al-Adawiyah dan Sahabat-Sahabatnya……
28
C. Wafatnya Rabi’ah al-Adawiyah……………………….
30
v
BAB III
PROSES MENUJU MAHABBAH DALAM PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH A. Pengertian Mahabbah.…………………………………
34
B. Jalan Menuju Mahabbah………………………………
38
C. Mahabbah dan Jalan Menuju Tuhan…………………..
39
D. Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah 42
BAB IV
AKHLAK DALAM PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH A. Tobat………………………………………………….
46
B. Ridho………………………………………………….
47
C. Cinta…………………………………………………..
48
D. Hakikat Keimanan……………………………………
50
E. Rendah Diri dan Riya……..………….……...……….
50
KESIMPULAN...................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
54
BAB V
vi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah Orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadapan Tuhan. Intisari dari mistisisme termasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad “bersatu dengan Tuhan”. Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah.1 Adapun tokoh yang sangat berpengaruh dan mempunyai peranan penting dalam sejarah dunia tasawuf salah satunya adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Tampilnya Rabi’ah dalam sejarah tasawuf Islam memberikan corak lain dalam perkembangan tasawufnya, di mana sebelumnya asketisme Islam ditandai dengan rasa takut dan pengharapan yang dilontarkan oleh Hasan al-Bahsri, maka dia 1
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
56.
1
2
meningkatkan menjadi asketisme rasa cinta (al-hubb atau al-mahabbah). Cinta yang murni lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan, sebab yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.2 Di samping itu, Rabi’ah juga banyak berbicara banyak hal tentang nilainilai kesufian selain tentang cinta, misalnya pembicaraannya tentang arti kezuhudan, kedukaan, ketakutan, ketawadhuan, meluruskan amal perbuatan, riya, tidak menyibukkan diri dengan makhluk, tobat, ridho, dan lain-lain. Oleh karena itu, Rabi’ah merupakan titik peralihan dalam kezuhudan Islam menuju kemunculan tasawuf dan para sufi. Oleh karena itu ia sangat populer pada masanya sebagaimana yang dilukiskan oleh Ibn Khallikan (1211-1282)3: “Rabi’ah al-Adawiyah senantiasa ada dalam pandangan masa orang-orang semasanya. Cerita-cerita tentang kesalehan dan ibadahnya, sangatlah terkenal.”4 Membahas tentang tokoh sufi yang satu ini sangat berkaitan dengan karyakaryanya yang berupa syair-syair cinta pada Tuhan,dan pemikiran-pemikirannya. Sebagian pengkaji tasawuf dari kalangan orientalis seperti Nicholson menganggap bahwa urgensi Rabi’ah adalah kemampuannya memberikan warna baru dalam kezuhudan Islam yang sebelumnya identik dengan ketakutan. Begitu pula, Syekh Mustafa Abdul Razak dalam pembahasannya tentang Rabi’ah al-Adawiyah menyatakan bahwa ia merupakan orang pertama yang mengembangkan oleh diri (riyadhah) kesufian dengan lirik-lirik kecintaan terhadap Tuhan, baik melalui
2
M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 120. B. Lewis, The Encyclopaedia Of Islam (Leiden: E.J Brill, 1979), h. 832. 4 Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan perkembangannya (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h.106-107. 3
3
syair maupun tulisan biasa.5 Salah satu syairnya yang populer adalah “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula ingin masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di dalamnya, dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku.”6 Selain syair-syair cintanya, di kalangan para sufi, Rabi’ah juga dikenal dengan pemikirannya yang berkaitan dengan akhlak antara lain tobat, ridho, cinta, hakikat keimanan, rendah diri dan riya, dan masih banyak lagi. Dari semua buah pemikirannya itu mempunyai perkataan-perkataan yang mengandung nilai sangat banyak, yang di kemudian hari digunakan oleh para sufi setelahnya.7 Sementara Rabi’ah dengan konsep cintanya ada juga tokoh lainnya yang berperan dalam perkembangan tasawuf, yakni Zun al-Nun al-Misri dan al-Ghazali dengan ajaran Ma’rifah yang artinya adalah mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Dapat dipahami bahwa ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan oleh al-Kalabazi. Hal ini disebabkan karena ma’rifah lebih mengacu kepada pengetahuan, sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.8
5
Ibid., h.103. Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h.72. 7 Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 101. 8 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 221. 6
4
Kemudian yang kedua adalah Abu Yazid al-Bustami (w.874 M) dengan paham Fana, Baqa dan Ittihad. Fana artinya adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela. Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal, sedangkan menurut para sufi, baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam
diri
manusia.
Karena
lenyapnya
(fana)
sifat-sifat
basyariyah
(kemanusiaan), maka yang kekal adalah sifat Ilahiah. Berbicara fana dan baqa sangat erat hubungannya dengan al-Ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa adalah itu sendiri adalah ittihad. Inilah salah satu ajaran yang dikenalkan oleh Abu yazid al-Bustami.9 Yang ketiga adalah al-Hallaj dengan paham al-Hulul, yang secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini, pada hakikatnya hulul istilah lain dari ittihad. Sedangkan tujuan dari pada hulul adalah mencapai persatuan secara batin.10 Yang keempat adalah Ibn Araby dengan paham Wahdah al- Wujud, yakni adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdah dan al-wujud. Wahdah artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Pengertian wahdah al-wujud 9
Ibid., h. 232-235. Ibid., h. 239-243.
10
5
yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu suatu paham yang merupakan bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.11 Yang terakhir adalah Abdul Karim al-Jili dengan ajarannya Insan Kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian insan kamil berarti manusia yang sempurna. Insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lain sebagainya yang bersifat batin, dan bukan pada mansuia dari dimensi basyariahnya. Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia Insan Kamil.12 Berbagai macam tokoh-tokoh sufi dalam tasawuf dan beragamnya corak tentang pokok-pokok pemikiran tasawuf, membuat penulis ingin mengambil judul biografi dan pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar pembahasan yang akan dibahas tidak meluas dan melebar, maka penelitian ini dibatasi hanya pada masalah bagaimana Biografi dan Pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah. Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: 11 12
Ibid., h. 247-248. Ibid., h. 257-262.
6
1. Siapakah sosok Rabi’ah al-Adawiyah? 2. Bagaimana konsep mahabbah dalam tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah? 3. Bagaimana akhlak dalam pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dari penulisan ini antara lain untuk mengetahui siapa sosok Rabi’ah al-Adawiyah, syair-syairnya, dan pemikiran-pemikirannya, selain itu penulisan ini juga bertujuan untuk memperkaya khazanah tasawuf dan mengenal tokoh sufi wanita yang sangat berperan dalam memperkenalkan dan mengembangkan konsep mahabbah dalam dunia tasawuf. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan khalayak umum terhadap ilmu pengetahuan seputar tasawuf dan tokoh sejarah Islam yakni Rabi’ah al-Adawiyah.
D. Tinjauan Pustaka Telah banyak karya tulis baik dalam bentuk buku, kitab, maupun disertasi yang membahas tentang Rabi’ah al-Adawiyah, di antaranya adalah: 1. Abdul Halim, menulis sebuah tesis dengan judul, “Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah.” Abdul menulis tentang kedua biodata sufi tersebut, cinta ilahi menurut pandangan al-Ghazali, pengalaman dan ungkapan cinta Rabi’ah yang dimulai dari tobat, zuhud, rida, muraqabah, muhabbah. Dan yang terakhir Abdul membuat analisis perbandingan dari dua pendapat sufi tersebut.
7
2. Buku yang berjudul “Rabi’ah: Pergulatan Spiritual perempuan” karya Margaret Smith ini adalah sebuah disertasi terbitan Cambridge University Press, London, 1928. Buku ini menjelaskan tentang Rabi’ah mulai dari kehidupan dan masa-masa tahun pertamanya, kezuhudan, karamah-karamah dan doa-doa Rabi’ah, masa tua hingga wafatnya Rabi’ah, dan pilihannya untuk tidak menikah. Ringkasnya buku ini banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya. 3. Kitab Robi’ah al-Adawiyah: Wa al-Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam karangan Thaha Abdul Baqi Surur tahun 1968 membahas di antaranya kelahiran dan pertumbuhan Rabi’ah, pengaruh Rabiah terhadap spiritualisme Islam, maqammaqam (stasion) spiritual Rabi’ah, kedudukan Rabi’ah dalam tasawuf Islam, kezuhudan Rabi’ah dan horizon spiritual, metode spiritualnya Rabi’ah. 4. Kitab Rabi’ah al-Adawiyah: Imamah al-‘Asyiqin wa al-Mahzunin karangan Abdul Mun’im al-Hafani terbitan Dar al-Rasyad tahun 1991 menyajikan tentang mi’raj spiritualnya Rabi’ah, keadaan-keadaan dan stasion-stasion (maqam)-nya, analisis terhadap tingkah laku para laki-laki dan wanita yang ada di sekitar Rabi’ah dan hubungan mereka dengan Rabi’ah. Meski banyak sarjana dan mahasiswa yang melakukan penelitian tentang sejarah hidup Rabi’ah, namun sejauh ini belum ada studi yang membahas tentang biografi dan pemikiran-pemikirannya secara luas. Karena itu penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang riwayat hidup dan pemikiran-pemikiran Rabi’ah alAdawiyah.
8
E. Metode Penelitian Dalam tujuan studi ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode sejarah dan menggunakan penelitian deskriptif analisis, yaitu mencoba memaparkan kehidupan seorang sufi wanita Rabi’ah al-Adawiyah dan pemikiranpemikirannya. Oleh karena itu dalam penelitiannya penulis menggunakan langkah-langkah dalam penelitian sejarah, seperti: 1. Heuristik atau teknik pengumpulan data. Maka dalam pengumpulan data-data untuk bahan penulisan ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan merujuk kepada sumber-sumber yang berhubungan dengan tema dalam skripsi ini, seperti buku-buku, kitab, tesis dan disertasi. Dalam hal ini, penulis mengunjungi beberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Utama UIN Syrif Hidayatullah, di sini penulis menemukan beberapa buku dan sebuah tesis karya Abdul Halim yang mana tesis ini merupakan sebuah sumber primer. Selain tesis, di perpustakaan ini penulis juga mendapatkan sumber primer lain yg berupa dua kitab karangan Thaha Abdul Baqi Surur
dan Abdul Mun’im al-Hafani.
Selanjutnya penulis mendatangi Perpustakaan Umum Daerah Jakarta Selatan, di sini penulis menemukan buku yang merupakan sebuah sumber sekunder dalam penulisan ini. Dan yang terakhir Perpustakaan Iman Jama’, di sini penulis mendapatkan beberapa buku yang sangat bermanfaat salah satunya buku Margaret Smith terbitan Cambridge University Press. Buku ini adalah suatu disertasi karya Margaret Smith sendiri.
9
2. Kritik sumber yaitu tahap dimana peneliti melakukan kritik sumber setelah semua sumber-sumber yang diperlukan dalam penelitian sudah terkumpul. Tujuannya adalah untuk menguji keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri melalui kritik intern. 3. Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah, yaitu mencoba menguraikan sejarah hidup Rabi’ah dan pemikiranpemikirannya, karena data-data yang sudah dilakukan kritik sumber biasanya masih berbeda-beda dalam isinya. Oleh karena itu dalam teknik interpretasi ini diharapkan penulis mampu mengurai perjalanan hidup Rabi’ah beserta buah pemikirannya yang sangat bermakna. 4. Tahap terakhir dalam suatu penelitian adalah historiografi yaitu tahap penulisan atau pelaporan tentang hasil penelitian.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab yang perincinnya sebagai berikut: Bab I :
Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II :
Biografi Rabi’ah al-Adawiyah yang terdiri dari: riwayat hidup, latar
belakang keluarga, latar belakang pendidikan non formal, syair-syairnya. Awal mula kesufian Rabi’ah al-Adawiyah yang isinya mencakup: kondisi agama, dari
10
budak menjadi seorang sufi, Rabi’ah dan sahabat-sahabatnya, serta yang terakhir adalah wafatnya Rabi’ah al-Adawiyah. Bab III:
Menjelaskan tentang proses menuju mahabbah dalam pemikiran
Rabi’ah al-Adawiyah yang isinya terdiri dari: pengertian mahabbah, jalan menuju mahabbah, mahabbah dan jalan menuju Tuhan, serta konsep mahabbah dalam tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah. Bab IV:
Menjelaskan tentang akhlak dalam pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah
yang berkaitan dengan: tobat, ridho, cinta, hakikat keimanan, rendah diri dan riya. Bab V :
Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dari
uraian yang telah dijelaskan.
11
BAB II BIOGRAFI RABI’AH AL-ADAWIYAH
A. Riwayat Hidup 1. Latar Belakang Keluarga Ismail, ayah dari Rabi’ah adalah orang yang menghabiskan masa siangnya dengan bekerja, dan beribadah di waktu malamnya. Pendapatannya terlalu sedikit, sehingga tidak mencukupi untuk keperluan istrinya yang tengah mengandung, dan ketiga anak perempuannya. Akan tetapi ia tetap merasa cukup dengan rezeki yang sedikit itu, ia senantiasa bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya serta beristighfar, ia juga tidak pernah memandang berat kepada dunia dan tidak tamak untuk mencarinya. Pernah suatu ketika Ismail berdoa agar ia dikaruniai seorang anak lakilaki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi ditambah dengan calon anak yang tengah dikandung sang istri, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
11
12
Pada suatu malam yang gelap gulita, tibalah waktu bagi sang istri untuk melahirkan anak ke-empatnya.1 Diceritakan oleh Fariduddin Al-Attar bahwa pada masa kelahiran Rabi’ah tidak terdapat satu pun barang berharga di rumah Ismail, bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar anaknya yang baru lahir, apalagi minyak untuk penerang. Di dalam rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kain untuk menyelimuti sang bayi. Istrinya meminta agar Ismail pergi ke tetangga untuk minta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi ayah Rabi’ah telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu pun kepada manusia lain, sehingga ia pura-pura menyentuh pintu rumah tetangganya, lalu kembali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur sehingga tidak membukakan pintu. Pada tengah malam setelah Rabi’ah dilahirkan, ayahnya bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang berkata padanya: “Jangan engkau merasa sedih, karena anak perempuan yang baru dilahirkan tadi kelak akan menjadi seorang perempuan yang utama, yang nantinya tujuh puluh ribu dari ummatku membutuhkan syafa’atnya.” Dalam mimpi tersebut Nabi juga memberi perintah agar besok menemui Isa Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah seperti yang diperintahkan dalam mimpinya. Isi surat tersebut “Hai Amir, engkau biasanya membaca shalawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali setiap malam Jum’at. Tetapi dalam Jum’at terakhir ini engkau lupa membacanya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar empat ratus dinar kepada yang membawa surat ini, sebagai kafarat atas 1
Syed Ahmad Semait, 100 Tokoh Wanita Terbilang (Singapore: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1993), h. 476-477.
13
kelalaianmu.”2 Ayah Rabi’ah terbangun dan menangis, ia lalu bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menulis surat serta mengirimkannya kepada Amir melalui pembawa surat pimpinan itu. Ketika Amir telah selesai membaca surat itu, ia berkata: “Berikan dua ribu dinar kepada orang tersbut sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepadanya dan katakana padanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan jenggotku.3 Rabi’ah lahir sekitar tahun 99H/717M4 dengan nama lengkap Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-Qaisiyah di suatu perkampungan dekat kota Basrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185H/801M.5 Mengenai kelahirannya ada juga yang menyebut tahun 714. Hal ini dikarenakan sangat gelapnya kehidupan orang tuanya pada saat ia dilahirkan.6 Di tengah-tengah kota Basrah yang penuh dengan kekayaan, Rabi’ah tumbuh di sebuah rumah yang terpencil dengan keluarga yang menderita kelaparan dan kemiskinan. Walaupun keadaan yang secara lahiriah serba kekurangan akan tetapi Rabi’ah kaya akan iman dan takwa. Rabi’ah telah banyak mengambil pelajaran agama, qana’ah dan wara’ dari sang ayah. Rohaninya pun
2
Asep Usman Ismail, dkk., Tasawuf (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005), h.132-133. Margaret Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan. Penerjemah Jamilah Baraja (Surabaya: Risalah Gusti,1997), h. 8. 4 Margaret Smith, “Rabi’a al-‘Adawiyya al-Kasiyya” dalam The Encyclopaedia Of Islam New Edition, ed. CE Bosworth vol. viii (Leiden: E.J. Brill, 1995), h. 354-356. 5 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solohin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007), h. 119. 6 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 112-113. 3
14
mulai berkembang, sehingga ia sangat gemar membaca Al-Quran. Dia telah membaca dan menghafalnya dengan penuh khusyuk serta memahami maknanya dengan penuh yakin dan iman yang mendalam.7 Diceritakan bahwa Rabi’ah telah hafal Al-Quran pada usia sepuluh tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal Al-Quran dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang shaleh yang penuh zuhud. Ayahnya menghendaki agar anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang dapat menjadi
penghalang
bagi
pertumbuhan
jiwanya,
dan
dapat
menyekat
kesempurnaan bathiniyahnya. Maka Rabi’ah sering dibawa ayahnya ke sebuah musholla di pinggiran kota Bashrah. Di tempat inilah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khalik.8 Sejak kecil, Rabi’ah sudah terbiasa menggantungkan semua harapannya kepada dirinya sendiri. Ia sangat memahami kondisi ekonomi orang tuanya, sehingga dia tidak pernah merasa menuntut banyak terhadap orang tuanya. Ia selalu menerima apapun yang diberikan padanya. Pada masa kanak-kanak Rabiah telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan hal ini tidak menjadikannya asing dengan kemiskinan dan penderitaan, ia tidak merasa canggung bekerja dari pagi hingga sore untuk menyambung hidupnya.9 Kini Rabi’ah hidup bersama dengan tiga saudara perempuannya. Ia meneruskan pekerjaan ayahnya dengan menyebrangi orang di sungai Dijlah
7
Semait, 100 Tokoh, h. 477. Ismail, Tasawuf, h. 133. 9 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 113. 8
15
dengan sampannya. Hal ini ia lakukan secara terus-menerus hingga pada akhirnya ia dikenal dengan nama Rabi’ah al-Adawiyah.10 2. Latar Belakang Pendidikan Non Formal Rabi’ah al-Adawiyah dari Basrah adalah seorang sufi wanita yang pertama kali memperkenalkan konsep mahabbah dalam bidang tasawuf. Seorang penyair ‘Attar menulis, “Posisi Rabi’ah sangat unik, sebab dalam kaitannya dengan Tuhan dan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu ketuhanan tidak ada bandingannya. Dia sangat dimuliakan oleh semua pelaku sufi besar pada masanya, dan otoritas kesufiannya tidak diragukan lagi di kalangan sahabat-sahabatnya.” Dialah salah satu di antara sufi yang tidak mengikuti tokoh-tokoh sufi terkemuka lainnya, dan menerima otoritas mereka di dalam masalah religius, jadi tidak seperti umumnya para sufi yang lain, bahkan nampaknya dia tidak pernah belajar di bawah bimbingan Shaykh atau pembimbing spiritual manapun, namun Rabi’ah mencari sendiri berdasarkan pengalaman langsung kepada Tuhan.11 Ia tidak pula meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tangannya sendiri, melainkan ajarannya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis setelah beberapa lama setelah wafatnya.12 Abdul Qadir Jailani (w.1166M), membagi para pencari Tuhan kepada dua kelompok. Pertama, mereka yang mencari seorang guru untuk memberi pengajaran kepada mereka jalan yang menuju kepada Tuhan, untuk menjadi perantara antara
10
Semait, 100 Tokoh, h. 478. Margaret Smith, Mistisisme Islam Dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhannya. Penerjemah Amroeni Dradjat (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 277. 12 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 115. 11
16
mereka dan Tuhan, dan kelompok ini tidak akan menerima bukti kebenaran apapun di mana mereka tidak mengikuti jejak langkah Nabi sebelumnya. Kedua, mereka yang dalam pencariannya menapaki jalan, dengan tidak mengikuti berbagai jalan yang dilalui makhluk Tuhan lainnya, karena Tuhan telah membersihkan hati mereka dari segala sesuatu selain memusatkan hati mereka semata-mata kepada Tuhan. Dari pembagian kelompok ini, Abdul Wahid memasukkan Rabi’ah al-Adawiyah ke dalam kelompok yang kedua.13 Rabi’ah tidak pernah mengecap manisnya sekolah ataupun pergi ke rumah guru untuk belajar menjadi seorang sufi, tetapi kemasyhurannya telah sampai menjangkau Eropa. Para sarjana Barat seperti Margaret Smith, Masignon, dan Nicholson sangat kagum akan sejarah hidup wanita shaleh ini. Buah renungan Rabi’ah kaya akan ilmu yang mendalam sehingga para sarjana sangat menaruh minat untuk meneliti buah pikirannya. Maha suci Allah yang telah membalas keimanan dan ketakwaan seorang hambanya yang bernama Ismail. Ismail adalah seseorang yang miskin harta tapi kaya akan rasa cinta dan syukur kepada Tuhannya. Ia tidak bisa memberikan anak perempuannya sebuah pendidikan yang layak karena keterbatasan ekonomi. Tapi hal ini tidak membuat ia pasrah, justru semua ilmu yang ia miliki ia amalkan bersama dengan anaknya, dengan cara sering mengajak Rabi’ah pergi ke musholla. Ia tanamkan segala hal-hal baik dan terpuji dalam diri Rabi’ah hingga Rabi’ah memiliki hati yang suci dan bersih. Warisan inilah yang menjadi bekal Rabi’ah hingga Rabi’ah bisa dikenal sebagai tokoh sufi. Al-Mahabbah (cinta
13
Smith, Mistisisme Islam, h. 277-278.
17
murni kepada Tuhan) merupakan puncak tasawuf Rabi’ah. Sungguh banyak syairsyair sufistik gubahannya yang berisi ungakapan cinta kepada Allah. Bahkan gubahan syairnya itu, kemudian dalam kehidupan sufi lainnya, seperti Ibnu alFarij, al-Hallaj, Jalaluddin al-Rumi, dll, digunakan kembali dalam hidup sufistik mereka.14 3. Syair-Syairnya Rabi’ah tidak meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tangannya sendiri, melainkan ajarannya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis beberapa lama setelah wafatnya.15 Sepanjang perjalanan hidupnya, Rabi’ah telah banyak melahirkan karya-karya yang berupa syair yang sangat melegenda. Di antara syairnya yang terkenal adalah: “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingatMu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.” Dalam syairnya yang lain, Rabi’ah mengatakan: “Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Engkau patut untuk dicintai, cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu, Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku. Janganlah Kau puji aku lantaran itu, bagi-Mulah segala puji dan puji.”16 Ada juga syairnya yang menyatakan: “Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau.”17 14
Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf, Tarekat Dan Para Sufi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 143. 15 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 115. 16 Nata, Akhlak Tasawuf, h. 216. 17 Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 74.
18
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerapkali menyampaikan: “Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu.” Cinta Rabi’ah kepada Tuhan begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya: “Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”18 Terkadang kecintaan Rabi’ah terhadap Allah mampu menjadikannya tak merasakan kehadiran dirinya sendiri, karena kehadirannya bersama Allah sebagaimana yang diungkapkannya dalam pernyataannya berikut ini: “Aku menjadikan-Mu sebagai perkataan dalam hatiku, ragaku sematamata hanya untuk zat yang menghendaki dudukku, ragaku adalah untuk zat yang duduk dengan riang gembira. Dan kekasih hatiku, bergembira dalam benakku.” Rabi’ah mempunyai bait-bait syair lainnya yang menunjukkan kedalaman arti cinta terhadap Tuhan, yaitu: “Aku mencintai-Mu melalui dua kecintaan: cinta hawa (hasrat) dan cinta karena Engkau adalah zat yang berhak mendapatkan itu. Zat yang aku cintai dengan kecintaan hawa akan membuatku mengingat-Nyadan melupakan selain-Nya. Sedangkan cinta karena engkau adalah zat yang berhak untuk dicintai. Maka bukakanlah tirai, sehingga aku bisa melihatMu. Tak ada puji terhadapku atas semua itu. Namun puji syukur hanya kepada-Mu atas semua itu.”19 Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata: 18 19
Anwar dan Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 122. Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 104.
19
“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia. Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”20 Rasa rindu Rabi’ah pada kekasihnya, selalu terungkap dalam bentuk syairsyair sehingga banyak syair yang tercipta yang sarat dengan makna. Di antaranya: Ya Allah jika kelak di hari kiamat Engkau memasukkanku di neraka, aku akan ungkapkan rahasia sehingga neraka akan lari dari sisiku selama 1000 tahun. Ya Allah kepada musuh-musuh-Mu berikan apa saja yang mereka inginkan di dunia ini, berikan kepada wali-Mu apa saja di akhirat nanti. Akan tetapi..bagiku..cukuplah Engkau semata. Ya Allah apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di dunia berikanlah kepada musuhmusuh-Mu. Dan apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu.21 Rabi’ah pernah berkata pada sahabatnya: Saudaraku-saudaraku, khalwat merupakan ketenangan dan kebahagiaan. Kekasih selalu di hadapanku tak mungkin aku mendapat pengganti-Nya. Cinta-Nya pada makhluk cobaan bagiku. Dialah tujuan hidupku, oh, hati yang ikhlas oh, tumpuan harapan Berilah jalan untuk meredam keresahanku. Oh Tuhan sumber kebahagiaan dan hidupku pada-Mu saja kuserahkan hidupdan keinginan. Kupusatkan seluruh jiwa ragaku demi mencari ridha-Mu. Apakah harapanku akan terwujud?22 Kalimat di atas memberi isyarat bahwa Rabi’ah sebenarnya khawatir atas perhatian kekasih yang dicintainya terhadap makhluk yang lain. Cinta Tuhan kepada semua makhluk dianggapnya sebagai ujian. Hal itu menandakan bahwa di dalam diri Rabi’ah terdapat perasaan cemburu pada yang lainnya.23
20
Anwar dan Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 122-123. Ismail, Tasawuf, h.139. 22 Ibid., h. 141. 23 Mufidul Khair, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi (Yogyakarta: Sketsa, 2010), h. 173. 21
20
B. Awal Mula Kesufian Rabi’ah Al-Adawiyah 1. Kondisi Agama Sekitar abad hijrah kedua muncul, Irak telah menjadi sebuah pusat kota yang mewah, dan Basrah juga telah menjadi kota yang penuh kemajuan. Di sana terdapat rumah yang disediakan untuk hiburan dan permainan nafsu. Gedunggedung dan istana-istana telah dipenuhi dengan wanita-wanita lacur, bahkan penyelewengan hidup telah meratai semua lapangan kehidupan dan masyarakat umumnya. Di samping semua ini, terdapat beberapa golongan dari para mu’minin yang bertakwa, dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, mencari jalan mereka untuk mengasingkan diri dan menetap jauh-jauh dari manusia. Di dalam pondok-pondok yang bersebaran di merata kota Basrah itu, tanpa dipandang oleh siapapun. Di sanalah, di dalam sebuah pondok yang kecil, terpisah jauh dari pondok-pondok lainnya, ada seorang fakir yang tidak mempunyai apa-apa menetap di sana. Pekerjaannya menyeberangkan orang atau penumpang di dalam sebuah sampan antara dua tebing Dijlah. Orang ini sangat bertakwa, tersingkir dari sifat duniawi, dan rohaninya penuh dengan keimanan, ia tidak pernah lelah beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai al-Abid, yakni orang yang banyak beribadah.24 Al-Abid yang dimaksud di sini adalah Ismail yang merupakan seorang ayah dari Rabi’ah. Kota Basrah yang menjadi kota segala bangsa dan aliran, telah menjadi ajang pertentangan antara satu aliran dengan aliran yang yang lain. Di kota ini
24
Semait, 100 Tokoh, h. 476.
21
terdapat pengikut Khawarij dan pengikut Syi’ah. Jika terjadi pemberontakan atau kerusuhan-kerusuhan antara penduduk kota Basrah, maka sudah dapat dibayangkan penguasa Bani Umayyah tidak akan berpangku tangan membiarkan berkobarnya pertentangan atau pertumpahan darah di antara pengikut-pengikut macam aliran itu. Peristiwa yang menyedihkan ini banyak terjadi pada abad kedua Hijriah. Seolah-olah Allah hendak menghukum manusia yang selalu ingin berbuat onar, dan menimbulkan perpecahan. Sejak itu kota Basrah mengalami berbagai bencana alam, seperti kekeringan akibat kemarau panjang. Kota yang pada mulanya makmur dan berkembang, sekarang menjadi kota yang dilanda kemiskinan dan bencana alam. Tentu saja yang paling menderita dalam suasana yang serba sulit ini adalah kaum miskin. Rabi’ah dan saudara-saudaranya tidak luput dari penderitaan ini. Hingga pada akhirnya Rabi’ah dan ketiga saudaranya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mulai berkelana ke berbagai daerah untuk mencari hidup. Dalam pengembaraan ini, dikisahkan bahwa Rabi’ah terpisah dari ketiga saudaranya dan tinggalah Rabi’ah seorang diri. Dalam keadaan seperti ini Rabi’ah jatuh ke tangan perampok yang kemudian dijual sebagai hamba sahaya dengan harga enam dirham.25 2. Dari Budak Menjadi Seorang Sufi Setelah dijual oleh perampok seharga enam dirham, Rabi’ah menjalani hari-harinya sebagai budak atau hamba sahaya pada suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali Al-Atik, yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan
25
Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 15-16.
22
nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. AlAtik berasal dari suku Qais, dari sinilah ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau AlAdawiyah.26 Tuan yang membeli Rabi’ah memberlakukannya dengan kejam dan bengis, tanpa pandang bulu, bahkan kepada wanita yatim piatu seperti Rabi’ah. Orang yang pernah jatuh ke tangannya jarang berhasil melepaskan dirinya, ibarat tikus telah berada di bawah cengkraman cakar-cakar kucing yang tajam. Namun Rabi’ah menghadapi semua cobaan itu dengan segala kekuatan imannya. Kekejaman majikannya tidak menjadikan Rabi’ah putus asa, akan tetapi semakin memperkokoh imannya. Ia mengisi hari-harinya dengan berbagai macam kesibukan. Jika pada siang hari ia harus bekerja membanting tulang melakukan berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya, maka pada malam hari ia mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah. Ia selalu berdoa kepada Allah dan memohon ampunan serta ridho-Nya. Tidak jarang, dalam doanya ia seolah-olah berbicara langsung dengan Allah sambil air matanya bercucuran. Dalam doanya kepada Allah, Rabi’ah selalu mencurahkan isi hatinya yang sedang bergejolak: “Oh Tuhanku, aku seorang anak yatim yang teraniaya. Aku terbelenggu dalam perbudakan. Namun aku akan sabar dan rela menanggung penderitaan yang sedang menimpaku. Namun demikian, aku tidak kuasa menahan penderitaan yang lebih hebat yang sedang mengganggu perasaan hatiku karena aku masih bertanya-tanya dan masih belum mendapatkan jawabannya: ‘Apakah Engkau ridho akan aku?’ Sejak saat itu Rabi’ah terus 26
Widad El Sakkakini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al- Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi. Penerjemah Nabil Fethi Safwat dan Zoya Herawati (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h. 122.
23
berusaha meningkatkan keimanannya, sehingga ia tidak memperdulikan segala penderitaan yang sedang ia hadapi. Ia bagaikan seorang wanita yang sedang mengarungi alam rohani yang amat luas untuk mencari ampunan dan ridho Allah.27 Suatu hari, seorang asing datang kepadanya dan melihat Rabi’ah sedang tidak memakai cadar. Lalu laki-laki itu mendekatinya. Rabi’ah meronta-ronta dan menarik dirinya hingga ia terpeleset dan jatuh. Mukanya tersungkur di pasir panas sambil berkata, “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, aku hanya ingin ridho-Mu dan aku sangat ingin mengetahui apakah Engkau ridho terhadapku atau tidak.” Setelah itu ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang terdekat dengan Allah di dalam surga.”28 Musibah yang tiada henti semakin mendekatkannya pada Ilahi. Pada suatu malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan. Dari celah-celah kamar ia mengintip apa yang dilakukan Rabi’ah. Ia tertegun melihat Rabi’ah sedang bersujud seraya berdo’a, “Ya Tuhanku, Engkau tahu bahwa hatiku selalu mendambakan-Mu dan benar-benar tunduk pada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi pada kerajaan-Mu, jika itu terserah pada-Mu, aku tak akan berhenti menyembah-Mu barang sesaat pun. Namun Engkau telah membuatku tunduk
27 28
Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 16-17. Smith, Rabi’ah, h. 8-9.
24
kepada seorang makhluk, oleh karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.” Dengan mata kepalanya sendiri tuannya menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah, sedangkan cahayanya menyinari seluruh rumah. Setelah melihat peristiwa tersebut, ia merasa takut dan beranjak ke kamar tidurnya, lalu duduk merenung hingga fajar tiba. Esok paginya ia memanggil Rabi’ah dengan suara lembut dan membebaskannya serta mempersilahkan andai Rabi’ah masih mau tetap tinggal bersamanya. Rabi’ah memilih untuk meninggalkan rumah tuannya. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjidmasjid dan tempat-tempat pengajian agama. Tidak ada sesuatu pun yang dapat memalingkan hidupnya dari mengingat Allah. Dalam masa selanjutnya ia telah berhasil mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang kerohanian, dan ia selalu melantunkan doa: “Ya Allah aku berlindung dari hal-hal yang memalingkan aku dari Engkau dan pada setiap hambatan yang akan menghalangi Engkau dari aku.”29 Dalam hidupnya ia selalu giat beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.30 Dalam perjalanan selanjutnya Rabi’ah telah memilih hidup zuhud. Selama hidupnya ia tidak pernah menikah, semua lamaran yang ingin meminangnya ditolak, termasuk lamaran seorang Amir Abbasiyah dari Basrah tahun 145 H, 29 30
Ismail, Tasawuf, h. 134. Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 114.
25
yang meninggal pada 172 H yakni Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi. Ia mengajukan mahar perkawinan sebesar seratus ribu dinar dan menulis surat kepada Rabi’ah bahwa ia memiliki gaji sebanyak sepuluh ribu dinar tiap bulan dan akan diberikan semuanya kepada Rabi’ah.31 Cara menolak lamaran amir tersebut dikatakan: “Seandainya engkau memberi warisan seluruh harta warisanmu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu.”32 Selain Amir Abbasiyah dari Basrah, dikisahkan juga tentang seorang gubernur yang menulis surat kepada rakyat Basrah agar mencarikannya seorang istri. Seluruh rakyat setuju pada Rabi’ah, dan ketika ia mengajukan lamaran dijawab oleh Rabi’ah, “Penolakan terhadap dunia ini adalah perdamaian, sedangkan nafsu terhadapnya akan membawa kesengsaraan. Kendalikanlah nafsumu dan jangan biarkan orang lain mengendalikan dirimu. Bagimu, pikirkanlah hari kematianmu, sedangkan bagiku, Allah dapat memberiku semua apa yang telah engkau tawarkan itu dan bahkan berlipat ganda. Aku tidak suka dijauhkan dari Allah walaupun hanya sesaat. Karenanya, selamat tinggal.”33 Menurut kisah lain ada juga ulama besar yang datang kepada Rabi’ah untuk melamarnya. Di antara mereka adalah Abdul Wahid bin Zaid, yang terkenal dengan kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang ahli ilmu agama, seorang khatib, dan penganjur hidup menyepi bagi siapa saja yang mencari jalan kepada Tuhan. Rabi’ah menolak lamarannya tersebut dengan mengatakan, “Hai orang yang sangat bernafsu, carilah wanita lain yang juga sangat bernafsu sebagaimana
31
Smith, Rabi’ah, h. 13-14. Ismail, Tasawuf, h. 135. 33 Smith, Rabi’ah, h. 14. 32
26
dirimu. Apakah kau melihat ada tanda birahi dalam diriku?”34 Ada juga sumber lain yang menyebutkan Hasan al-Basri (642M-728M)35, Malik bin Dinar (w.748M)36,
dan
Tsabit
al-Banani
mendatangi
rumah
Rabi’ah
untuk
meminangnya. Setelah mereka masuk dan duduk bersama layaknya dalam sebuah majlis, Hasan mulai membuka pembicaraan dan berkata, “Wahai Rabi’ah, nikah itu merupakan sunnah Rasulullah, untuk itu silahkan engkau memilih salah seorang di antara kami sebagai calon suamimu.” “Ya baiklah. Namun, aku berhak mengajukan syarat. Selama ini aku mempunyai beberapa permasalahan, barangsiapa di antara kalian yang mampu memecahkan masalah itu, dialah yang berhak untuk menikahi diriku,” jawab Rabi’ah. Rabi’ah kemudian mengajukan masalahnya yang pertama kepada Hasan untuk menyelesaikannya. “Menurut Tuan, kelak di hari Kiamat aku termasuk golongan mana? Apakah aku termasuk golongan yang akan masuk surga atau neraka?” “Maaf, mengenai masalah ini aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan. Lalu Rabi’ah bertanya lagi, “Menurut Tuan, aku ini termasuk manusia yang celaka atau manusia yang bahagia, ketika Allah menciptakan diriku dalam kandungan ibuku?” “Maaf, itupun aku tidak tahu pasti.” Jawab Hasan. Pertanyaan berikutnya, “Menurut Tuan, aku termasuk golongan yang mana ketika seseorang diseru nanti, apakah golongan yang diseru “Janganlah kamu gentar dan bersedih”, ataukah golongan yang akan diseru, “Tidak akan ada rasa gembira bagimu.”
34
Khoir, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi, h. 126. Lewis, The Encyclopaedia of Islam, h. 247. 36 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 799. 35
27
“Maaf, hal itupun aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan. Selanjutnya, ”Menurut Tuan, kuburanku nanti termasuk taman surga atau galian neraka?” “Maaf, itu juga aku tidak tahu,” jawab Hasan. Kemudian, “Menurut Tuan, wajahku kelak di hari Kiamat termasuk wajah yang putih berseri ataukah wajah yang hitam kelam dan bermuram durja.” “Maaf, itu juga aku tidak tahu,” jawab Hasan. Lalu Rabi’ah menyampaikan pertanyaannya yang terakhir, “Menurut tuan, aku termasuk golongan manakah kelak di hari Kiamat, ketika masing-masing manusia dipanggil, “Fulan bin fulan bahagia” ataukah dipanggil “fulan bin fulan celaka” “Maaf, aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan sambil menahan malu. Akhirnya sejumlah ulama yang hadir itu pun menangis, dan keluar dari rumah Rabi’ah dengan penuh penyesalan.37 Semua permasalahn tersebut hanya Allah yang mampu menjawab dan tidak ada seorang pun yang mampu menjawabnya. Terkadang Rabi’ah menjawab lamaran dengan diplomatis, “Jika aku tetap dalam keadaan prihatin, bagaimana mungkin aku dapat hidup berumah tangga?” Rabi’ah sadar, bahwa dengan menerima tangan pria lain dalam ikatan pernikahan, hanya akan membuat dia tidak adil terhadap suami dan anak-anaknya, ia tidak mampu memberikan perhatian kepada mereka, karena seluruh hatinya hanya untuk Allah semata. Rabi’ah tidak menikah bukan semata-mata zuhud terhadap pernikahan itu sendiri, akan tetapi karena memang ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.38
37
Syekh Usman Al-Khaubari, Kisah Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah: Mutiara Kearifan Hidup Para Hamba Allah. Penerjemah A. Bahruddin Sholohin (Yogyakarta: DIVA Press, 2008), h. 24-26. 38 Ismail, Tasawuf, h. 135.
28
Adapun pemikiran Rabi’ah tentang sebuah pernikahan yakni, “Akad nikah adalah hak Pemilik alam semesta. Sedangkan bagi diriku, hal itu tidak ada karena aku telah berhenti maujud (ada) dan lepas dari diri. Aku maujud (berada) dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah harus diminta dari-Nya, bukan dariku.”39 Dalam fase selanjutnya, hidup Rabi’ah hanya diisi dengan zikir, tilawah dan wirid. Duduknya hanya menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon kebaikan dan fatwanya, hidupnya penuh dengan ibadah kepada Allah hingga akhir hayat.40 3. Rabi’ah al-Adawiyah dan Sahabat-Sahabatnya Kehidupan Rabi’ah dirasakan sangat bermanfaat bagi sahabat-sahabatnya. Hal ini dikarenakan kepedulian Rabi’ah terhadap mereka. Perhatiannya yang besar ini dibuktikan dalam sebuah kisah ketika seorang laki-laki datang dan memohon agar sudilah kiranya Rabi’ah untuk mendoakan dirinya. Permohonan itu dibalas dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turuti perintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”41 Suatu hari ketika Sufyan as-Sauri (w.778/161 H) mengunjungi Rabi’ah, ia melihat melihat seorang pedagang di pintu dengan wajah merengut. Ia bertanya apa yang diinginkan. Laki-laki tersebut menjawab: “Aku membawa sekantong penuh uang emas dan dinar untuk kuberikan sebagai hadiah kepada Rabi’ah dan membantu kebutuhannya. Tetapi aku takut ia menolaknya. Dapatkah anda 39
Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 114-115. Ismail, Tasawuf, h. 136. 41 Smith, Rabi’ah, h. 20. 40
29
meyakinkan Rabi’ah untuk menerimanya?” lalu keduanya masuk, dan si pedagang itu memberi Rabi’ah uang. Rabi’ah segera menatap kea rah atas sambil berkata, “Dia tahu bahwa aku malu untuk meminta apa pun dari dunia ini, bagaimana aku dapat menerimanya sekarang dari seseorang yang tidak ikut memiliki benda ini?” Pedagang lain datang dengan ribuan uang dirham perak, dan menawarkan sebuah rumah untuk Rabi’ah. Tampaknya pada waktu itu Rabi’ah bisa menerima desakan laki-laki itu, ia pun pergi ke rumah tersebut. Tidak berapa lama di sana, ia merenungkan dalam tenang dekorasi dan warnanya, seolah-olah ia sepenuhnya perempuan lain. Tetapi, ia segera beranjak dan memohon maaf atas kekhilafannya, dan Rabi’ah pun mengembalikan rumah itu kepada pemiliknya sambil berkata, “Aku takut hatiku menjadi terikat pada rumah Anda, dan itu akan mempengaruhi pengabdianku terhadap Hari Pengadilan. Seluruh keinginanku sepenuhnya hanya untuk memuja Allah.”42 Sahabat-sahabatnya mencoba untuk tidak pernah melewatkan hari-hari tanpa ucapan-ucapannya, mereka selalu gembira mempelajari dan menerima petunjuknya, tetapi ia menolak bantuan mereka. Suatu hari Malik bin Dinar (w. 748/130 H) mengunjunginya, menjumpainya sedang duduk di tikar lusuh di lantai, di dalam rumah yang berlantaikan tanah. Dengan terharu ia berkata, “Wahai Rabi’ah, aku memiliki temn-teman yang kaya. Jika engkau mengizinkanku meminta sesuatu dari mereka!”
42
Sakkakini, Pergulatan Hidup, h. 124.
30
Rabi’ah menjawab, “Itu hal yang tidak benar wahai Malik. Allah memberiku sebagaimana memberi mereka. Apakah Yang mampu memberi yang kaya, lupa memberi yang miskin? Jika itu memang cara-Nya, maka kita pun harus mensyukuri bagian kita.”43
C. Wafatnya Rabi'ah al-Adawiyah Pada saat menderita sakit, Rabi’ah mendapat kunjungan tiga orang sahabatnya, yaitu Hasan al-Basri, Malik bin Dinar dan Syaqiq al-Balkhi (w.810/194H)44. Mereka membahas tentang ketulusan dan kejujuran. Salah seorang penulis mengatakan, bahwa kain kafan milik Rabi’ah selalu berada di sampingnya, di tempat di mana ia selalu melakukan ibadah-ibadahnya.45 Rabi’ah mencapai usia delapan puluh tahun. Bukan hanya semata-mata tahun yang panjang tapi waktu yang penuh dengan berkat hidup yang menyebar ke sekitarnya atau seperti yang dikatakan Masignon, suatu kehidupan yang menyebarkan wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya dan cinta yang tak pernah padam. Mengenai akhir hidup Rabi’ah, Muhammad bin ‘Amr berkata, ”Aku datang melihat Rabi’ah, ia seorang wanita yang sudah tua berusia delapan puluh tahun, seolah-olah kelihatan seperti tempat air yang hampir jatuh dari gantungannya. Di rumahnya kulihat tempat gantungan baju dari kayu dari Persia, tingginya kira-kira dua hasta. Selain itu terdapat pula sebuah kendi dari tanah liat, dan sebuah tikar dari bulu. Ketika ajalnya hampir tiba, ia memanggil Abdah binti 43
Ibid., h. 125. Nasution, Ensiklopedi, h. 892. 45 Smith, Rabi’ah, h.49. 44
31
Abi Shawwal yang telah menemaninya dengan baik, sehingga ia merupakan sahabat dan pembantunya yang paling baik dan setia. Kepada Abdah ia berpesan, “Janganlah kematianku sampai menyusahkan orang lain, bungkuslah mayatku dengan jubahku.”46 Maka pada saat ia meninggal, ditutupinya tubuh yang telah rentan itu dengan sebuah kain selendang dari wol yang selalu dipakainya. Abdah mengisahkan bagaimana ia bertemu dengan Rabi’ah dalam suatu mimpi, kira-kira setahun setelah kematiannya. Dan ia mengenakan jubah sutera berwarna hijau dengan hiasan bordir benang emas dan kain selendang sutera brokat yang tidak pernah dilihat oleh Abdah sebelumnya di dunia, lalu Abdah menegurnya, “Wahai Rabi’ah, engkau kemanakan kain kafan dan selendang yang engkau kenakan pada saat kematianmu?” Rabi’ah menjawab, “Semua itu diambil dariku dan diganti dengan apa yang engkau lihat dan pakaian yang aku kenakan sebagai kain kafan telah dilipat, disegel dan dibawa oleh malaikat, sehingga pakaianku akan lengkap sudah pada saat Hari Kebangkitan nanti.” Abdah berkata padanya, “Apakah engkau melakukan hal-hal sebagaimana hari-harimu di dunia?” Lalu ia menjawab, “Apakah itu dapat dibandingkan dengan rahmat Allah kepada orang-orang suciNya?”47 Rabi’ah memang tidak ingin menyusahkan orang lain. Beberapa orang shaleh ingin mendampingi di saat-saat terakhirnya, tetapi Rabi’ah menolak didampingi pada saat-saat seperti itu. “Bangun dan keluarlah!” Lapangkanlah jalan untuk utusan Allah (malaikat) yang akan datang menjemputku. Mereka 46 47
Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 80. Smith, Rabi’ah, h. 50-51.
32
bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu terdengar suara Rabi’ah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya, maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” AlQuran surat al-Fajr ayat 27-30. Jiwa yang datang telah berpulang ke rahmatullah untuk menikmati kehidupan abadi. Sesuai dengan pesan Rabi’ah, pembantu dan sahabatnya yang setia, Abdah mengapaninya dengan jubah dan selendang dari bulu yang selalu dipakainya. Rabi’ah telah tiada, namun ia telah meninggalkan kenang-kenangan yang penuh dengan nilai yang luhur. Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Illahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah itu seperti Sufyan asSauri (w. 778/161H)48, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabi’ah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang yang menuju jalan Allah.49 Rabi’ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan dimakamkan di kota kelahirannya yakni di Basrah. Banyak ulama mengatakan bahwa kelahiran Rabi’ah di dunia, dan lalu meninggalkannya ke alam lain, ia tidak pernah menginginkan sesuatu yang lain kecuali ta’zim hanya kepada Allah, dan ia tidak pernah menginginkan apa pun atau berdoa kepada Allah, “Berilah aku ini atau
48 49
Nasution, Ensiklopedi, h. 865. Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 80-82.
33
tolong lakukan ini untukku!” dan sedikit pula ia meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.50 Warisan yang telah ditinggalkan dan dapat menjadi panutan dan tuntunan kita yang masih ada di dunia adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Rabi’ah yakni kemampuan ilmunya sangat memadai, termasuk ilmu batin yang menjadikan dirinya sebagai sufi yang memiliki beberapa karamah. Karena itu, ia termasuk Wali Allah. Perasaan cinta Ilahi yang didapatkan oleh Rabi’ah dalam perjalanan tasawufnya, tidak ada sahabat al-Suffah yang pernah mengalaminya, maka ini juga termasuk ciri khas perkembangan tasawuf yang dialami oleh Tabi’in di akhir abad I dan II H.51 Sejarah perjalanan hidup Rabi’ah yang diwarnai dengan lika-liku kehidupan sekitarnya tidaklah mudah membuat Rabi’ah menjadi seorang yang pantang menyerah. Kesungguhan dan keikhlasan dalam beribadah yang disertai iman dan takwa yang kuat itu akhirnya mampu mengantarkan Rabi’ah untuk bertemu dengan Tuhan. Suatu usaha yang membuahkan hasil, karena penulis sulit membayangkan betapa pedihnya saat ia harus menjalani hari-harinya dengan keterbatasan ekonomi, sebagai budak, menjadi yatim piatu saat masih kanakkanak dan terpisah dengan saudaranya saat remaja. Tapi siapa sangka bahwa akhirnya Rabi’ah akan menjadi seorang yang dikenal di negerinya bahkan dalam sejarah Islam. Sebagian umurnya ia habiskan bersama dengan murid, teman dan sahabatnya. Setelah wafatnya Rabi’ah, sungguh mereka semua sangat kehilangan 50
Smith, Rabi’ah, h. 51. Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II: Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi Klasik dan Penemuan Kebahagiaan Batin Bagi Sufi Kontemporer (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 126-127. 51
34
suatu sosok yang patut diteladani akhlaknya. Para murid dan sahabatnya tentu pasti akan selalu mengingat dan mengenang Rabi’ah baik dari segi kepribadian, ajaran, pemikiran dan syair-syairnya.
35
BAB III PROSES MENUJU MAHABBAH DALAM PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH
A. Pengertian Mahabbah Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd (benci). Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja terhadap pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat juga berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hal ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan.1 Menurut bahasa, kata mahabbah berkisar pada lima perkara:
1
Nata, Akhlak Tasawuf, h. 207-208.
35
36
1. Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang. 2. Tinggi dan tampak jelas, seperti kata hababul-ma’i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras. 3. Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba’ir, yang berarti onta yang sedang menderung dan tidak mau bangkit lagi. 4. Inti dan relung, seperti kata habbatul-qalbi, yang berarti relung hati. 5. Menjaga dan menahan, seperti kata hibbul-ma’i lil-wi’a’, yang berarti air yang terjaga di dalam bejana.2 Mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain adalah yang berikut: 1. Memeluk kepatuhan Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya 2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi 3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yaitu Tuhan.3 Menurut al-Sarraj mahabbah mempunyai tiga tingkat: 1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut namanama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan. 2. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan 2
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin Pendekatan Menuju Allah Penjabaran Konkrit “Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1998), h. 353. 3 Nata, Akhlak Tasawuf, h. 209.
37
demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan diri dari dialog itu. Cinta tingat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. 3. cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.4 Ketiga tingkat mahabbah tersbut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah. Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.5 Sedangkan cinta dalam bahasa Arab disebut al-Hubb dalam dunia sufi termanifesfasi dengan istilah al-Mahabbah. Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Dengan demikian, orang yang telah mencapai tingkat 4 5
Nasution, Falsafat Dan Mistisisme, h. 70-71. Nata, Akhlak Tasawuf, h.210-211.
38
mahabbah seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih sayang dan cinta kepada Allah, sehingga kadang-kadang tampak tidak ada lagi perasaan cinta yang dapat disalurkan kepada yang lain, seperti yang tampak pada Rabi’ah al-Adawiyah. Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci, dan tanpa syarat kepada Allah swt. Pencapaiannya ini mengubah murid dari “orang yang menginginkan Allah” menjadi murad, “orang diinginkan Allah. Tak ada yang lebih besar dari ini. Kemabukan spiritual oleh anggur mahabbah (cinta) berasal dari hanya memikirkan sang kekasih. Kebenaran mahabbah adalah bahwa setiap atom dalam diri sang pecinta (muhib) memberi kesaksian atas kadar cintanya kepada Allah swt. Mahabbah merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan keadaan rohani (hal), sama seperti tobat adalah dasar bagi kemuliaan kedudukan, (maqam). Mahabbah termasuk dalam kategori kedudukan (maqam) karena memang mahabbah salah satu diantara jalan yang harus dilalui oleh seorang salik (sang penempuh jalan spiritual). Sedangkan mahabbah juga sebagai keadaan ruhani (hal) karena sebagian sufi menjadikan mahabbah sebagai suatu keadaan ruhani yang dialami oleh salik, juga karena mahabbah pada dasarnya adalah anugrah dari Allah. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugrah-anugrah (mawahib). Dalam kamus tasawuf mahabbah adalah cenderung hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. Perbedaan antara maqam dan hal adalah bahwa maqam itu
39
diperoleh atas usaha manusia, dan bersifat tetap. Sedangkan hal diperoleh sebagai anugrah dari Allah swt, dan bersifat sementara, datang dan pergi.6
B. Jalan Menuju Mahabbah Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasion-stasion yang disebut dalam istilah Arab maqamat atau stages dan stations dalam istilah Inggris. Buku-buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasion-stasion ini. Abu Bakr Muhmmad al-Kalabadi misalnya memberikan dalam buku al-Ta’aruf li Mazhab Ahl al-Tasawuf yaitu tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, takwa, tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menyebut dalam alLuma’ yakni tobat, wara’, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan hati. Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din yakni tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat, kerelaan. Menurut Abu al-Qasim Abd al-Karim alQusyairi, maqamat itu adalah sebagai berikut: tobat, wara, zuhud, tawakal, sabar dan kerelaan.7 Keberagaman tingkatan maqam yang terdapat dalam dunia tasawuf menjadikan ahli-ahli sejarah tidak dapat menentukan secara pasti maqam apa saja yang telah dilalui oleh para sufi pada zaman silam. Seperti halnya pada Rabi’ah, menurut Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitab Rabi’ah al-Adawiyah: Wa al-
6
Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Madarij as-Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in (Beirut: Daarul Kitab, 1972), h.196. 7 Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 62-63.
40
Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam menyebutkan bahwasanya maqam yang telah dilalui oleh Rabi’ah adalah, tobat, zuhud, ridho, muraqabah, mahabbah.8 Sedangkan menurut pendapat Mufidul Khoir dalam bukunya yang berjudul kisah-kisah pencerahan sufi, yakni tobat, zuhud, sabar, syukur, wara dan ridha. Begitu juga dengan M.Alfatih Suryadilaga dalam bukunya, Miftahus Sufi menuturkan tentang maqam yang dilalui oleh Rabi’ah dimulai dari tingkat ikhlas, ridho, mahabbah hingga mencapai ma’rifah. Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Asep Usmar Ismail, dkk dalam buku Tasawuf pada tahun 2005. Ia menjelaskan, jika para sufi umumnya menetapkan tobat sebagai tingkat pertama yang harus dilalui, maka tidak demikian dengan Rabi’ah. Tahap pertama yang dilalui Rabi’ah adalah kehidupan zuhud, demikian menurut Atiyah Khamis. Dengan usaha yang tiada henti-henti Rabi’ah meningkatkan martabatnya dari tingkat ibadah ke tingkat zuhud hingga ke tingkat ridha. Dari tingkat ridha, Rabi’ah menuju ke tingkat ihsan, ia menyembah Allah dengan seluruh hatinya, seolah-olah berada di hadapan Allah, memandang kepada-Nya dan Allah melihatnya. Setelah melewati tingkatan-tingkatan tersebut, maka sampailah Rabi’ah pada tingkat mahabbah atau biasa disebut dengan istilah hubb al-Ilahi.9
C. Mahabbah dan Jalan Menuju Tuhan Cinta atau mahabbah merupakan puncak ajaran Rabi’ah, suatu konsep baru di kalangan para sufi pada masa itu. Ajaran khauf dan raja’ yang dibawa 8
Thaha Abdul Baqi Surur, Robi’ah al-Adawiyah: Wa al-Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1968), h. 69-74. 9 Ismail, Tasawuf, h. 136-138.
41
oleh Hasan al-Bashri (w.110 H) telah ditingkatkan oleh Rabi’ah ke suatu tingkat cinta. Dengan demikian, pada kedua ajaran ini tampak perbedaan dalam dasar pengabdiannya. Jika Hasan al-Bashri berbakti kepada Tuhan karena didorong oleh rasa takut pada azab neraka dan harapan akan surga, maka Rabi’ah jauh dari kedua hal tersebut. Ia berbakti kepada Tuhan karena memang ia cinta kepada Tuhannya dan memang karena Tuhan layak untuk dicintai. Jadi, bagi Rabi’ah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktivitasnya, bukan lagi karena takut siksa neraka atau nikmat surga, hal ini terungkap dalam syair’a. Tiada lain semuanya karena berlandaskan cinta dan yang dicintai.10 Karena kecintaan inilah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah berhasrat untuk mau menikah dan meminta uluran tangan dari sesamanya. Di dalam jiwanya tidak ada ruang kosong yang tersisa untuk diisi dengan rasa cinta kepada makhluk maupun rasa benci terhadapnya.11 Untuk mencapai tingkatan yang tinggi, sampai pada tingkat mahabbah dan makrifat, Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau tahap-tahap sebagaimana para sufi lainnya. Martabat yang telah dicapainya, tidak hanya dengan meniru atau mengumpulkan ilmu saja, akan tetapi dengan penggemblengan jiwa dan watak.12 Beragamnya cara seorang calon sufi untuk menuju Tuhan dan kurangnya sumbersumber otentik mengenai riwayat hidup Rabi’ah ditambah Rabi’ah yang tidak
10
Abdul Halim. “Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah alAdawiyah.” (Tesis S2, Kerja Sama Program Pascasarjana IAIN “Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995), h. 72. 11 Ibid., h. 74. 12 Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hub Al-Illahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah Dan Makrifah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.47.
42
menulis sendiri perihal dirinya, menyebabkan banyak penulis yang menyetujui apa yang ditulis oleh para peneliti dan ahli sejarah yang membuat kisah tentang dirinya, dan simbol-simbol yang mengatakan bahwa ia lemah.13 Banyaknya perbedaan pendapat tentang tahap-tahap jalan menuju Tuhan dan tingkatan-tingkatan apa saja yang telah dilalui oleh Rabi’ah, tapi satu yang pasti adalah Rabi’ah telah sampai kepada apa yang ia cita-citakan yakni ia dapat melihat dan berjumpa dengan Tuhan atau dalam istilah ajaran tasawuf disebut makrifat. Al-Ghazali dalam ihya’ memandang bahwa makrifat datang sebelum mahabbah, tetapi al-Kalabadi dalam al-Ta’aruf menjelaskan bahwa makrifat sesudah mahabbah. Ada pula yang berpendapat bahwa makrifat dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan makrifat menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang rapat antara seorang sufi dengan Tuhan. Mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta dan makrifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan hati sanubari. Dari literatur yang diberikan tentang makrifat, makrifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.14 Makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi yang sanggup menerimanya. Makrifat juga bukan hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan.15
13
Sakkakini, Pergulatan Hidup, h. 121. Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 75. 15 Ibid., h. 77. 14
43
D. Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah Mahabbah menurut Rabi’ah adalah perasaan kemanusiaan yang amat mulia, amat agung, dan amat luhur. Cinta yang mengatasi hawa nafsu yang rendah, cinta yang dilandasi oleh rasa iman yang tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju Allah.16 Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”17 Dalam beberapa karya Rabi’ah yang berupa puisi, Al-Ghazali mempunyai pendapat tentang makna cinta yang dimaksud oleh Rabi’ah. Adapun dari karya syair Rabi’ah yang berbunyi: (“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.”) Dan syairnya (“Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Engkau patut untuk dicintai, cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu, Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku. Janganlah Kau puji aku lantaran itu, bagi-Mulah segala puji dan puji.”), Al-Ghazali mengomentarinya 16 17
Ibid., h. 138. Anwar dan Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 120.
44
dengan menyatakan, bahwa mungkin yang dimaksud dengan cinta rindu adalah cinta Allah karena kebaikan dan karunia-Nya kepadanya. Dan cinta karena Dia layak dicinta yaitu karena keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap baginya. Atau boleh juga cinta rindu dimaksudkan karena hanya Dialah yang selalu dikenang bukan yang lainnya. Dan cinta karena Dialah yang layak dicinta yaitu karena Allah membuka tabir, sehingga Dia nyata baginya.18 Suatu proses yang tidak mudah bagi seorang Rabi’ah adalah ketika ia ingin berjumpa dengan Tuhannya. Dalam bab ini dijelaskan tentang langkahlangkah yang ditempuh oleh Rabi’ah hingga pada akhirnya ia sampai menuju kepada Yang di cintai-Nya. Karena tidak ada urutan yang pasti mengenai proses jalan menuju mahabbah membuat Penulis banyak memaparkan beberapa pendapat tentang hal ini. Tapi satu yang pasti bahwa Rabi’ah mengawali tahap ini bermula dari maqam tobat sebagaimana para calon sufi lainnya. Dalam bab ini Penulis juga memasukkan sub bab yang isinya sebuah konsep mahabbah dalam tasawuf Rabi’ah. Rabi’ah mencintai Tuhannya dengan dua cinta, yakni cinta karena dirinya dan cinta karena Tuhan. Cinta karena dirinya adalah keadaannya senantiasa selalu mengingat Tuhannya, dan cinta karena Tuhannya adalah karena Tuhannya telah membuka tabir-Nya sehingga ia bisa melihat keindahan Tuhan.
18
Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 124.
45
BAB IV AKHLAK DALAM PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang sudah dijadikan bahasa Indonesia; yang diartikan juga sebagai tingkah laku, perangai atau kesopanan. Kata akhlaq juga merupakan jama’ taksir dari kata khuluq, yang sering juga diartikan dengan sifat bawaan atau tabiat, adat-kebiasaan dan agama. Sedangkan definisinya, dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar ilmu akhlak, antara lain: 1. Al-Qurtubi menyatakan, “Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlaq, karena perbuatan tersebut bersumber dari kejadiannya.” 2. Muhammad bin ‘Ilan al-Sadiqi berpendapat, “Akhlaq adalah suatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong (seseorang) yang dapat mendorong (seseorang) berbuat baik dengan gampang.” 3. Ibnu Maskawaih mengatakan, “Akhlaq adalah kondisi jiwa yang selalu mendorong (manusia) berbuat sesuatu, tanpa ia memikirkan (terlalu lama).” 4. Abu Bakar Jabir al-Jaziri berkata, “Abu Bakar Jabir al-Jaziri berkata, “Akhlaq adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela.” 5. Imam al-Ghazali mengatakan, “Akhlaq adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang
45
46
dilakukan; tanpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan terpuji menurut ketentuan rasio dan norma agama, dinamakan akhlaq baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan buruk, maka dinamakan akhlaq buruk.” Dalam diri setiap manusia, terdapat potensi dasar yang dapat mewujudkan akhlak baik dan buruk, tetapi sebaliknya pada dirinya juga dilengkapi dengan rasio (pertimbangan pemikiran) dan agama yang dapat menuntun perbuatannya, sehingga potensi keburukan dalam dirinya dapat ditekan, lalu potensi kebaikannya dapat dikembangkan. Karena itu, sejak lahir manusia harus diberi pendidikan, bimbingan
dan
kebiasaan
baik
untuk
merangsang
pertumbuhan
dan
perkembangannya. Bahkan agama dan ilmu pendidikan memberikan konsep dan teori tentang perlunya ada proses pendidikan yang berlangsung, tatkala kedua orang tuanya baru mencari jodoh. Konsep manusia yang ideal dalam Islam, adalah manusia yang kuat iman dan takwanya. Ketika manusia memilih kekuatan takwa, ia pun dapat memilih kekuatan ibadah dan kekuatan akhlak. Orang yang memiliki kekuatan iman, disebut Mu’min, orang yang memiliki kekuatan ibadah disebut Muslim, dan orang yang memiliki kekuatan akhlak disebut Muhsin. Bila ketiga macam sifat ini menjadi kekuatan dalam diri setiap manusia, maka ia akan selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Dan inilah yang menjadi tujuan hidup setiap manusia, sehingga selalu ia meminta doa, sebagaimana yang disebut dalam al-Qur’an surah alBaqarah ayat 251.1
1
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, h. 1-3.
47
Berikut adalah macam-macam pemikiran Rabi’ah tentang akhlak:
A. Tobat Tobat merupakan salah satu tema yang termassuk bagian dari akhlak mulia. Tobat merupakan awal berangkatnya peserta tasawuf menuju kepada tingkatan maqam berikutnya. Karena itu, membangun tobat harus dengan kuat, yaitu harus didasari dengan takwa yang kuat pula. Tobat yang paling tinggi tingkatannya adalah tobatnya para Nabi, dan tingkatan tobat tersebut yang paling diinginkan oleh para sufi yang melakukan perjalanan spiritual dalam tasawuf.2 Dalam ajaran tasawuf, tobat menduduki maqam yang pertama, karena dosa itu dinding antara manusia dan Tuhannya.3 Rabi’ah menganggap bahwa tobat seseorang yang berdosa adalah berdasarkan pada kehendak Allah. Atau dengan kata lain, terhadap anugerah atau karunia Allah dan bukan terhadap kehendak manusia. Sebab jika Allah menghendaki, seorang pendosa akan bertaubat. Seorang laki-laki berkata pada Rabi’ah: “Aku senang sekali melakukan dosa dan kemaksiatan. Apakah Allah akan menerima tobatku?.” Maka berkatalah Rabi’ah: “Tidak! Bahkan jika Allah menerima tobatmu, maka engkau akan bertobat.”4 Jadi menurut Rabi’ah tobat adalah suatu karunia dari Allah. Tobat yang benar adalah yang diusahakan dengan sungguh-sungguh dan tulus5
2
Ibid., h. 211. Khoir, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi, h. 158. 4 Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 102. 5 Khoir, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi, h. 160. 3
48
Pemikiran Rabi’ah tentang tobat, mungkin mengacu pada ayat al-Quran: “Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Taubat:27). Sedangkan Jalaluddin Rumi ketika berbicara tentang tobat, ia mengatakan, “Aku telah bertobat dan kembali kepada Allah dengan tulus dan tak akan kulanggar (sumpah penyesalan) sampai jiwa meninggalkan jasadku. Siapakah selain orang dungu yang melangkah ke arah kutukan setelah begitu banyak menderita (lantaran dosa-dosanya)?6
B. Ridho Maqam ridho dalam tasawuf, didasarkan atas surah al-Bayyinah ayat 8 yang intinya adalah Allah merelakan surga kepada orang yang baik, khusus karena iradat-Nya dan kerelaan hamba menerima apa saja yang diberikan Allah padanya, disertai dengan pahala dari sikap relanya menerima ketentuan-Nya.7 Salah satu perkataannya tentang ridho adalah sebagaimana yang dikemukakan al-Kalabadzi dalam kitabnya yang berjudul Ta’aruf bahwa Sufyan Tsauri berkata di dekat Rabi’ah: “Ya Allah! Ridhoilah (relakanlah) aku.” Maka berkatalah Rabi’ah kepadanya: “Apakah engkau tidak merasa malu meminta ridho dari zat yang engkau sendiri tidak ridha terhadapnya.” Ini menunjukkan bahwa kerelaan adalah bersifat timbal balik antara hamba dengan Tuhan, sesuai dengan
6
Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),
7
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, h. 216.
h. 24.
49
firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Q.S. al-Maidah: 119).8 Berbeda dengan pandangan Dzun Nun al-Mishri yang mempunyai pendapat tentang ridho, yakni ridho berarti lebih memilih kehendak Tuhan ketimbang kehendaknya sendiri, dan menerima tanpa mengeluh akibat-akibat dari keputusan-Nya dan memandang bahwa apapun yang Dia lakukan adalah baik. Ini juga berarti tenggelam dalam cinta kepada-Nya meskipun merintih dalam kubangan penderitaan. Ali Zaynal Abidin mendeskripsikan ridho sebagai ketetapan hati seorang salik untuk tidak mencari atau mengejar segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak dan kemauan Allah. Menurut Abu Utsman, ridho menunjukkan kesenangan terhadap semua keputusan Allah dan pemberian-Nya, entah itu datang dari Rahmat-Nya ataupun dari Murka-Nya atau dari Keagungan-Nya, tanpa membeda-bedakannya. Inilah apa yang diacu dalam ucapan Rasulullah SAW, “Aku mohon kepada-Mu keridhoan terhadap keputusan-Mu atas sesuatu.” Ridho terhadap apa pun yang ditetapkan Allah berarti seseorang bertekad untuk memasrahkan diri kepadanya, tenang saat keputusan itu menimpanya.9
C. Cinta Pada suatu hari ada yang bertanya kepada Rabi’ah, “Bagaimana pendapatmu tentang cinta?” Rabi’ah menjawab, “Sulit menjelaskan apa hakikat cinta itu. Ia hanya memperlihatkan kerinduan gambaran perasaan. Hanya orang 8 9
Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 102-103. Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, h. 174.
50
yang merasakannya yang dapat mengetahuinya. Bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan sesuatu yang engkau sendiri bagai telah hilang dari hadapan-Nya, walaupun wujudmu masih ada oleh karena hatimu yang gembira telah membuat lidahmu bungkam.” Rabi’ah mempunyai sebuah syair yang memperlihatkan betapa dalam cintanya kepada Ilahi. Kekasihku tak ada yang menandingi-Nya. Hatiku hanya tercurah padaNya. Kekasihku tidak tampak padaku, namun dalam hatiku tak pernah sirna. Ia juga pernah bersyair, O kegembiraan, tujuan dan harapanku, Engkau semangat hatiku. Engkau telah memberikan kebahagiaan padaku. Kerinduan pada-Mu, merupakan bekalku, Kalau bukan karena mencari-Mu, tak kujelajahi negeri-negeri yang luas ini. Betapa banyaknya limpahan nikmat kurnia-Mu. Cinta pada-Mu tujuan hidupku. Rabi’ah merupakan orang pertama yang mampu membuat pembagian cinta cinta karena dorongan hati belaka, dan cinta yang didorong karena hendak membesarkan dan mengagungkan. Rabi’ah mencintai Allah karena ia merasakan dan menyadari betapa besarnya nikmat dan kekuasaan-Nya, sehingga cintanya menguasai seluruh relung hatinya. Ia mencintai Allah karena hendak mengagungkan dan memuliakan-Nya.10 Rabi’ahlah yang telah menyebar luaskan kata ‘cinta’ yang akhirnya digunakan oleh para sufi setelahnya. Dia bahkan tidak hanya sebatas pemicu tersebarnya kata ‘cinta’ saja, namun ia juga orang pertama yang melakukan analisis terhadap arti kata tersebut, menjelaskan kandungan arti
10
Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 65-66.
51
keikhlasan yang ada dalam kata itu, serta gentian yang akan diperoleh dari Allah dari pelaksanaan kecintaan tersebut.11
D. Hakikat Keimanan Diceritakan, bahwa suatu hari Sufyan Tsauri berkata kepada Rabi’ah: “Pada tiap-tiap akidah terdapat sebuah syarat, dan pada tiap-tiap keimanan terdapat sebuah hakikat. Oleh karena itu, apa hakikat keimananmu?.” Maka Rabi’ah berkata: “Aku menyembah-Nya bukan karena takut akan api neraka dan juga bukan karena suka akan surga-Nya sehingga aku bagaikan seorang pedagang yang takut kerugian. Aku menyembah-Nya tak lain karena kecintaan dan kerinduanku terhadap-Nya. Dan diceritakan pula, bahwa ia berkata dalam munajatnya: “Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, maka bakarlah aku dengan api neraka Jahanam. Dan jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga, maka halangilah aku untuk mencapainya. Namun jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku terhadap-Mu, maka jangan Engkau halangi aku untuk melihat keindahan-Mu yang abadi.”12
E. Rendah Diri dan Riya Mengenai rendah diri, Rabi’ah mempunyai pemikiran sebagai berikut: “Aku tak pernah menganggap sedikit pun amal perbuatan yang muncul dari diriku.” Jahid meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Bayan wa Tabyin, 11 12
Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 106. Ibid., h. 103-104.
52
bahwa ia berkata kepada Rabi’ah: “Apakah engkau sama sekali tidak pernah beranggapan, bahwa engkau akan mendapatkan balasan dari amal perbuatanmu itu?.” Maka Rabi’ah berkata: “Aku takut sekali jika setiap sesuatu dikembalikan kepadaku.” Begitu pula perkataannya tentang riya’ (pamer): “Sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.” Rabi’ah tidak suka memperlihatkan amal perbuatannya di hadapan manusia.13 Ia selalu menganjurkan keikhlasan dalam setiap perbuatan baik dan melarang perbuatan yang sifatnya riya. Menurutnya, bahwa orang yang salah adalah orang yang selalu menyembunyikan kesalahannya, maka seharusnya berbuat baik juga harus disembunyikan.14 Akhlak dalam pemikiran Rabi’ah termasuk kategori akhlak yang baik, di antaranya meliputi: tobat, ridho, cinta, hakikat keimanan, rendah diri dan riya. Ia selalu mengajarkan akhlak yang baik kepada setiap teman atau sahabat yang bertanya kepadanya. Setiap perkataan Rabi’ah pasti akan selalu diingat, dan dilaksanakan dalam kehidupan sahabat-sahabatnya. Perkataan maupun pemikiran Rabi’ah akan menjadi suatu kenangan yang tak ternilai harganya di mata teman dan sahabatnya.
13 14
Ibid., h. 101-102. Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, h. 126.
53
BAB V KESIMPULAN
Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah adalah satu di antara sufi besar dalam sejarah Islam. Dia adalah sosok wanita yang istimewa karena namanya senantiasa tertulis bersama dengan jajaran nama-nama sufi lainnya dalam setiap karya biografi para wali. Bukan hanya istimewa di mata penulis, dia juga seorang wanita tangguh. Ia mampu melewati hari-harinya yang penuh dengan keterbatasan ekonomi keluarga dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh sedikit pun. Meskipun ia seorang yang serba kekurangan dari segi materi, namun tidak mudah bagi Rabi’ah untuk menerima dan meminta bantuan kepada makhluk. Ia yakin dan percaya bahwa Allah yang akan mencukupi segala kebutuhan sehari-harinya. Dan satu hal yang membuat penulis kagum akan jati diri Rabi’ah adalah yakni ia mampu menjaga hatinya hanya untuk mencintai Allah sampai akhir hayatnya, walaupun banyak laki-laki yang hendak meminangnya namun semua itu ia tolak lantaran ia tidak mampu untuk membagi cintanya. Selain itu Rabi’ah juga sanggup menjaga statusnya sebagai seorang gadis atau perawan hingga ajal menjemput tanpa ikatan sebuah pernikahan. Tentu saja dalam hal mampu menjaga hawa nafsunya ini membuat kepribadian Rabi’ah patut dan layak untuk dicontoh oleh semua orang terutama bagi kaum hawa. Penulis merasa ingin sekali bahwa nantinya akan ada dan lebih banyak lagi penulisan tentang penulisan sejarah Rabi’ah al-Adawiyah. Penulis menghimbau kepada masyarakat umum, khususnya calon dan ahli sejarah, calon
53
54
sarjana dan ilmuan lainnya untuk memperbanyak dalam mengkaji serta mempelajari jauh lebih dalam tentang biodata Rabi’ah al-Adawiyah karena akan banyak manfaat yang dapat diambil. Selain memperkuat iman dan takwa kita kepada Allah, penulisan sejarah biografi Rabi’ah juga dapat menambah rasa cinta kepada Yang Maha Kuasa. Perlu diketahui bahwasanya Rabi’ah tidak cukup untuk dipelajari dari sisi tasawufnya saja, tetapi juga dari sejarah Islam. Karena ternyata Rabi’ah adalah pencipta konsep mahabbah yang kemudian dikembangkan juga dalam pemikirannya tentang akhlak.
55
DAFTAR PUSTAKA
Al-Barsany, Noer Iskandar. Tasawuf, Tarekat Dan Para Sufi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Al-Hafani, Abdul Mun’im. Rabi’ah al-Adawiyah: Imamah al-‘Asyiqin Wa alMahzunin. Kairo: Dar al-Rasyad, 1991. Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Madarijus Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in. Beirut: Daarul Kitab, 1972. -------. Madarijus Salikin Pendekatan Menuju Allah Penjabaran Konkrit “Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in. Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998. Al-Khaubari, Syekh Utsman. Kisah Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah: Mutiara kearifan hidup para hamba Allah. Penerjemah Bahruddin Sholohin. Yogyakarta: DIVA Press, 2008. Al-Taftazani, Abu Wafa Al-Ghanimi. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan perkembangannya. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008. Amin, Samsul Munir. Kisah Sejuta Kaum Sufi. Jakarta: Amzah, 2008. Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2009. Anwar, Rosihon dan Solihin, Mukhtar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007. As-Sulami, Abu Abdurrahman. Sufi-Sufi Wanita: Tradisi Yang Tercadari. Penerjemah Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 2004. Barmawi, Ahmad. 118 Tokoh Muslim Genius Dunia. Jakarta: Restu Agung, 2006. 55
56
Daudy, Ahmad. Ilmu Tasawuf. Jakarta: bulan bintang, 1998. Gulen, Fathullah. Kunci-Kunci Rahasia Sufi. Penerjemah Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Halim, Abdul. “Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah al-Adawiyah.” Tesis S2, Kerja Sama Program Pascasarjana IAIN “Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995. Isa, Ahmad. Tokoh-Tokoh Sufi: Tauladan Kehidupan Yang Shaleh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000. Ismail, Asep Usman, dkk. Tasawuf, Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005. Jamal, Ahmad Muhammad. Jejak Sukses 30 Wanita Beriman. Penerjemah Zaid Husein Al-Hamid. Kuwait: Maktabah al-Masriq, 1984. Khamis, Muhammad Atiyyah. Penyair Wanita Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah. Penerjemah Aliudin Mahjuddin. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Khoir, Mufidul. Kisah-kisah Pencerahan Sufi. Yogyakarta: Sketsa, 2010. Lewis, B, dkk. The Encyiclopaedia Of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1979. Mahjuddin. Akhlak Tasawuf I: Mukjizat Nabi, Karomah Wali dan Ma’rifah Sufi. Jakarta: Kalam Mulia, 2009. -------. Akhlak Tasawuf II: Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi Klasik dan Penemuan Kebahagiaan Batin Bagi Sufi Kontemporer. Jakarta: Kalam Mulia, 2010. Mansur, Laily. Ajaran dan Tauladan Para Sufi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
57
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. -------. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992. Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Qandil, Abdul Mun’im. Rabi’ah Al-Adawiyah Dan Mabuk Cintanya Kepada Sang Khalik. Jakarta: Citra Media, 2009. Sakkakini, Widdad El. Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi. Penerjemah Nabil Fethi Safwat dan Zoya Herawati. Surabaya: Risalah Gusti, 1999. Semait, Syed Ahmad. 100 Tokoh Wanita Terbilang. Singapore: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1993. Siregar, Rivay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Smith, Margaret. Rabi’a the Mystic, A.D. 717-801, and Her Fellow-Saints in Islam. Amsterdam: Philo Press, 1928. -------, “Rabi’a al-‘Adawiyya al-Kaysiyya” dalam The Encyclopaedia Of Islam new edition, ed. CE Bosworth vol.viii. Leiden: E.J. Brill, 1995. -------. Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan. Penerjemah Jamilah Baraja. (sebuah disertasi) Surabaya: Risalah Gusti, 1997. -------. Mistisisme Islam Dan Kristen: Sejarah Awal dan Pertumbuhannya. Penerjemah Amroeni Dradjat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Solohin, M. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
58
Surur, Thaha Abdul Baqi. Robi’ah al-Adawiyah: Wa al-Hayah al-Ruhiyah fi alIslam. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1968. Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hub Al-Illahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah Dan Makrifah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Suryadilaga, M Alfatih. Miftahus Sufi. Yogyakarta: Teras, 2008. Tebba, Sudirman. Tasawuf Positif. Bogor: Kencana, 2003. Usmani, Ahmad Rofi’. Tokoh-Tokoh Muslim Pengukir Zaman. Bandung: Pustaka, 1998.