62 PANDANGAN HIDUP YANG KELIRU Sumber: Sutta Pitaka, Digha Nikaya 1: Brahmajala Sutta
18 Pandangan yang Berpedoman pada Hal-hal Lampau
4 Pandangan Eternalis (Jiwa dan Dunia adalah Kekal) 4 Pandangan Semi-Eternalis (Jiwa dan Dunia Sebagian Kekal Sebagian Tidak) 4 Pandangan Ekstensionis (Mengenai Batasan Dunia) 4 Pandangan Berbelit-belit 2 Pandangan ‘Kebetulan’ (Jiwa dan Dunia Terjadi secara Kebetulan/Tanpa Sebab) 44 Pandangan yang Berpedoman pada Hal-hal Mendatang
16 Pandangan bahwa Sesudah Mati Jiwa Tetap Ada 8 Pandangan bahwa Sesudah Mati Jiwa Tanpa Kesadaran 8 Pandangan bahwa Sesudah Mati Jiwa Bukan Ada Kesadaran Pun Bukan Tanpa Kesadaran 7 Pandangan Annihilassi (Ucchedavada – Musnah Total Setelah Mati) 5 Pandangan Mengenai Nibbana
Materi ini disiapkan oleh: Budi Chou, untuk Sharing Dhamma 10 Agt 2012 di Vihara Dharma Bhakti, http://viharadharmabhakti.org
http://viharadharmabhakti.org
“Para bhikkhu, ada “hal-hal lain” (anna dhamma), yang sangat dalam, sangat sulit dimengerti, sangat sulit dipahami, sangat luhur dan mulia, tidak terjangkau pikiran, sangat halus, dan hanya dapat dimengerti atau dirasakan oleh Para Bijaksana. Hal-hal itu telah dimengerti, telah dilihat dengan jelas, dan telah ditinggalkan oleh Tathagata (Buddha). Berdasarkan pada sikap itulah dan karena sesuai dengan kebenaran maka orang-orang memuji Tathagata. Apakah yang dimaksudkan dengan “hal-hal lain” itu, Para Bhikkhu?” 18 Pandangan yang Berpedoman pada Hal-hal Lampau 4 Pandangan Eternalis (Jiwa dan Dunia adalah Kekal) Pandangan Pertama Ia dapat mengingat kembali alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu, hingga puluhan ribu kehidupannya yang lampau, Pandangan Kedua Ia dapat mengingat kembali alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10 kali masa “bumi ber-evolusi” (evolusi tentang terjadi dan hancurnya bumi, dan seterusnya), Pandangan Ketiga Ia dapat mengingat kembali alam-alam kehidupannya yang lampau pada 10, 20, 30, sampai 40 kali masa “bumi ber-evolusi”, dan mengetahui jelas kondisi dan situasi berbagai alam kehidupannya yang lampau, sehingga ia mengetahui bahwa jiwa adalah kekal, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah-pindah, mati dan terlahir kembali dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetap, kekal selamanya. Pandangan Keempat Ia mendasarkan pandangannya hanya pada pikiran dan logika, sejauh kemampuannya saja, dan menyatakan bahwa jiwa adalah kekal. 4 Pandangan Semi-Eternalis (Jiwa dan Dunia Sebagian Kekal Sebagian Tidak) Pandangan Kelima Pada suatu masa yang lampau, setelah berlangsungnya suatu masa yang lama sekali, “bumi ini belum ada” (bumi ini belum ber-evolusi untuk terbentuk). Ketika itu, terdapatlah makhluk-makhluk hidup di alam dewa Abhassara, di situ, mereka hidup ditunjang oleh kekuatan pikiran, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, dan mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Demikianlah, pada suatu waktu yang lampau, ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai ber-evolusi dalam pembentukan, dan ketika hal ini terjadi, alam Brahma kelihatan dan masih kosong. Ada makhluk dari alam dewa Abhassara yang “masa hidupnya” atau “pahala karma baiknya” untuk hidup di alam itu telah habis, ia meninggal dari alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma. Di sini, ia hidup ditunjang oleh kekuatan pikirannya, diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya dan melayang-layang di angkasa, hidup diliputi kemegahan, dan mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali. Page 2 of 8
http://viharadharmabhakti.org
Karena terlalu lama ia hidup sendirian di situ, maka dalam dirinya muncul rasa ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, “Semoga ada makhluk lain yang datang dan hidup bersama saya di sini!”. Pada saat itu, ada makhluk lain yang disebabkan oleh masa hidupnya atau pahala karma baiknya untuk hidup di alamnya telah habis, mereka meninggal di alam Abhassara, dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia. Berdasarkan itu, maka makhluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpikir, “Saya brahma, maha brahma, maha agung, maha kuasa, maha tahu, sang penguasa, tuan dari semua, sang pembuat, sang pencipta, maha tinggi, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Semua makhluk ini adalah ciptaanku. Mengapa demikian? Baru saja saya berpikir, “semoga mereka datang”, dan berdasarkan pada keinginanku itu maka makhluk-makhluk ini muncul.” Makhluk-makhluk itu pun berpikir, bahwa dia brahma, maha brahma, maha agung, maha kuasa, maha tahu, sang penguasa, tuan dari semua, sang pembuat, sang pencipta, maha tinggi, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Kita semua adalah ciptaannya. Mengapa? Sebab, setahu kita, dialah yang lebih dahulu berada di sini, sedangkan kita muncul sesudahnya. Dalam hal ini, makhluk pertama yang berada di situ memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada makhluk-makhluk yang datang sesudahnya. Selanjutnya, ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi. Setelah berada di bumi, ia meninggalkan kehidupan berumah-tangga dan menjadi pertapa. Ia memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka teringat kembali bahwa dia brahma, maha brahma, maha agung, maha kuasa, maha tahu, sang penguasa, tuan dari semua, sang pembuat, sang pencipta, maha tinggi, penentu tempat bagi semua makhluk, asal mula kehidupan, bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Dialah yang menciptakan kami, dia tetap kekal dan keadaannya tidak berubah, dia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan datang ke sini adalah tidak kekal, dapat berubah, dan memiliki usia yang terbatas. Pandangan Keenam Ada dewa-dewa tertentu, yang dinamakan Khiddapadosika. Mereka menghabiskan masa hidupnya dengan “mencari kesenangan dan memuaskan indera”. Sebagai akibat oleh sifat mereka yang buruk itu, tatkala mereka tidak dapat mengendalikan diri lagi, mereka meninggal di alam tersebut. Demikianlah maka ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi ini. Setelah berada di bumi, mereka menjadi pertapa, dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka teringat kembali, bahwa dewa-dewa yang tidak ternoda oleh kesenangan adalah tetap kekal abadi selamanya. Tetapi, kita yang terjatuh dari alam tersebut, tidak dapat mengendalikan diri karena terpikat pada kesenangan, kita yang terlahir di sini adalah tidak kekal, dapat berubah dan memiliki usia yang terbatas. Pandangan Ketujuh Ada dewa-dewa tertentu yang dinamakan Manopadosika. Mereka selalu diliputi oleh “perasaan iri kepada yang lain”. Sebagai akibat pikiran yang buruk tersebut, mereka menjadi lemah dan tidak bijaksana, dan dewa-dewa tersebut meninggal di alam itu.
Page 3 of 8
http://viharadharmabhakti.org Demikianlah maka ada beberapa makhluk yang meninggal di alam tersebut dan terlahir kembali di bumi ini. Setelah berada di bumi, mereka meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa. Ia memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupannya yang lampau, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka teringat kembali, bahwa para dewa yang pikirannya tidak ternoda dan tidak diliputi perasaan iri hati kepada yang lain, maka tidak merasa cemburu kepada dewa yang lain. Dengan demikian, mereka tidak meninggal atau jatuh dari alam tersebut. Mereka tetap kekal abadi, tidak berubah sampai selamalamanya. Tetapi, kita yang memiliki pikiran ternoda, selalu diliputi perasaan iri hati kepada yang lain. Karena rasa iri hati dan cemburu tersebut, tubuh kita menjadi lemah, mati dan terlahir di sini sebagai makhluk yang tidak kekal, dapat berubah, dan memiliki usia yang terbatas. Pandangan Kedelapan Ia mendasarkan pandangannya hanya pada pikiran dan logika, sejauh kemampuannya saja, dan menyatakan, bahwa yang disebut mata, telinga, hidung, lidah dan badan jasmani adalah jiwa yang bersifat tidak kekal, tidak tetap, dan selalu berubah. Tetapi, yang dinamakan batin, pikiran atau kesadaran adalah jiwa yang bersifat kekal, tetap, dan tidak akan berubah. 4 Pandangan Ekstensionis (Mengenai Batasan Dunia) Ada beberapa pertapa dan brahmana, yang karena dengan semangat, tekad, kewaspadaan dan kesungguhan dalam bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan berada dalam keadaan: Pandangan Kesembilan “membayangkan dunia ini terbatas”, sehingga ia berpikir, bahwa dunia ini terbatas, jalan dapat dibuat mengelilingi. Pandangan Kesepuluh “membayangkan dunia ini tidak terbatas”, sehingga ia berpikir, bahwa pandangan dunia ini terbatas sehingga jalan dapat dibuat mengelilinginya adalah salah. Pandangan Kesebelas “membayangkan dunia ini ada yang terbatas dan ada yang tidak terbatas”, sehingga ia berpikir, pandangan yang menyatakan bahwa “dunia ini terbatas” dan “dunia ini tidak terbatas” adalah salah. Pandangan Keduabelas Ia mendasarkan pandangannya hanya pada pikiran dan logika, sejauh kemampuannya saja, bahwa “dunia ini bukan terbatas , dan bukan tidak terbatas”. 4 Pandangan Berbelit-belit Pandangan ke-13 dan ke-14 Ia tidak mengerti dengan baik, hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan “baik” atau “buruk”. Ia menyadari bahwa ia akan salah, dan kesalahan tersebut menyebabkan ia: menyesal terikat pada keadaan batin penyebab kelahiran kembali Page 4 of 8
http://viharadharmabhakti.org Karena rasa takut atau tidak suka pada kesalahan akibat menyalahkan pandangan, ia tidak akan menyatakan sesuatu itu baik atau buruk. Seandainya suatu pertanyaan diajukan kepadanya, ia akan menjawab dengan berbelit-belit dan membingungkan. Pandangan ke-15 Ia tidak mengerti dengan baik, hal sesungguhnya yang dimaksudkan dengan “baik” atau “buruk”. Ia menyadarinya, tetapi, ada pertapa dan brahmana yang pandai, cerdik, pengalaman dalam berdebat, pintar mencari kesalahan, pandai mengelak, yang mampu mematahkan pandangan orang lain dengan kebijaksanaannya. Seandainya saya menyatakan ini baik atau itu buruk, mereka datang padaku, meminta pendapatku, dan menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Karena mereka bersikap begitu, saya tidak sanggup memberikan jawaban. Dan, hal ini akan menyebabkan saya menyesal, dan rasa penyesalan ini akan menjadi suatu penghalang bagiku. Pandangan ke-16 Ada beberapa pertapa dan brahmana yang bodoh dan dungu. Seandainya ada pertanyaan yang diajukan kepadanya, ia akan menjawab berbelit-belit dan membingungkan. 2 Pandangan ‘Kebetulan’ (Jiwa dan Dunia Terjadi secara Kebetulan/Tanpa Sebab) Pandangan ke-17 Ada beberapa dewa di alam Asannasata, yang pada saat ada pikiran yang muncul dalam dirinya, mereka akan meninggal atau lenyap dari alam tersebut. Demikianlah, ada makhluk yang meninggal dari alam tersebut dan terlahir kembali di bumi ini. Setelah berada di bumi, ia meninggalakan kehidupan berumah-tangga dan menjadi pertapa. Ia memiliki kemampuan untuk mengingat kembali tatkala pikiran muncul dalam dirinya pada satu kehidupan lampunya. Ia menyatakan bahwa jiwa dan dunia ini terjadi secara kebetulan. Mengapa demikian? Karena dahulu saya tidak ada, tetapi sekarang ada! Pandangan ke-18 Ia mendasarkan pandangannya hanya pada pikiran dan logika, sejauh kemampuannya saja, dan menyatakan bahwa jiwa dan dunia terjadi tanpa adanya sebab.
44 Pandangan yang Berpedoman pada Hal-hal Mendatang 16 Pandangan bahwa Sesudah Mati Jiwa Tetap Ada Pandangan ke-19 s/d ke-34 Mereka menyatakan bahwa sesudah kematian, jiwa tetap ada, tidak berubah, sadar, dan: (1)berbentuk (rupa), (2)tidak berbentuk (arupa), (3)berbentuk atau tidak berbentuk (rupa-arupa), (4)bukan berbentuk dan bukan tak berbentuk (n’evarupi narupi), (5)terbatas (antara atta hoti), (6)tidak terbatas (anantava), (7)terbatas atau tidak terbatas (antava caanantavaca), (8)bukan terbatas dan bukan tak terbatas (n’evantava nanantava), (9)memiliki semacam bentuk kesadaran (nanattasanni), (10)memiliki bermacam-macam bentuk kesadaran (ekattasanni atta hoti), (11)memiliki kesadaran terbatas (paritta sanni), (12)memiliki kesadaran tak terbatas (appamana sanni), (13)selalu bahagia (ekanta sukhi), (14)selalu menderita (ekanta dukkhi), (15)bahagia atau menderita (sukha dukkhi), (16)bukan bahagia dan bukan menderita (adukkham asukkhi).
Page 5 of 8
http://viharadharmabhakti.org 8 Pandangan bahwa Sesudah Mati Jiwa Tanpa Kesadaran Pandangan ke-35 s/d ke-42 Mereka menyatakan bahwa sesudah kematian, jiwa tidak berubah, tidak memiliki kesadaran, dan: (1)berbentuk, (2)tidak berbentuk, (3)berbentuk atau tidak berbentuk, (4)bukan berbentuk dan bukan tak berbentuk, (5)terbatas, (6)tidak terbatas, (7)terbatas atau tidak terbatas, (8)bukan terbatas dan bukan tak terbatas. 8 Pandangan bahwa Sesudah Mati Jiwa Bukan Ada Kesadaran Pun Bukan Tanpa Kesadaran Pandangan ke-43 s/d ke-50 Mereka menyatakan bahwa sesudah kematian, jiwa tidak berubah, bukan memiliki kesadaran dan bukan tanpa kesadaran, dan: (1)berbentuk, (2)tidak berbentuk, (3)berbentuk atau tidak berbentuk, (4)bukan berbentuk dan bukan tak berbentuk, (5)terbatas, (6)tidak terbatas, (7)terbatas atau tidak terbatas, (8)bukan terbatas dan bukan tak terbatas. 7 Pandangan Annihilassi (Ucchedavada – Musnah Total Setelah Mati) Pandangan ke-51 Ia menyatakan, “Saudara, karena jiwa memiliki bentuk (rupa-jasmani), yang terdiri dari empat zat (catummahabhutarupa), dan merupakan keturunan dari ayah dan ibu; bila meninggal dunia, tubuh menjadi hancur, musnah dan lenyap, dan tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Dengan demikian jiwa itu lenyap.” Demikianlah pandangan yang menyatakan bahwa ketika makhluk meninggal, ia musnah dan lenyap. Pandangan ke-52 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, jiwa itu tidak musnah sekaligus, karena ada jiwa lain yang lebih luhur, berbentuk, termasuk alat kesenangan indera (kamavacaro), hidup dengan makanan material (kavalinkaraharabhakkho). Jiwa seperti itu tidak Anda ketahui, tetapi saya dapat melihatnya. Setelah jiwa itu tidak ada lagi, barulah jiwa musnah secara total. Pandangan ke-53 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, jiwa itu tidak musnah sekaligus, karena ada jiwa lain yang lebih luhur, berbentuk, dibentuk oleh pikiran (manomaya), semua bagiannya sempurna, inderanya pun lengkap. Jiwa seperti itu tidak Anda ketahui, tetapi saya dapat melihatnya. Setelah jiwa itu tidak ada lagi, barulah jiwa musnah secara total. Pandangan ke-54 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, jiwa itu tidak musnah sekaligus, karena ada jiwa lain yang lebih luhur, yang melampaui pengertian adanya bentuk (rupasanna), yang telah melenyapkan rasa tidak senang (pathigasanna), tidak memperhatikan penyerapan-penyerapan lain (nanattasanna), menyadari ruang tanpa batas, mencapai dimensi ruang tanpa batas (akasanancayatana). Jiwa seperti itu tidak Anda ketahui, tetapi saya dapat melihatnya. Setelah jiwa itu tidak ada lagi, barulah jiwa musnah secara total. Pandangan ke-55 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, jiwa itu tidak musnah sekaligus, karena ada jiwa lain yang lebih luhur, yang melampaui alam Akasanancayatana, menyadari kesadaran tanpa Page 6 of 8
http://viharadharmabhakti.org batas, mencapai dimensi kesadaran tanpa batas (vinnanancayatana). Jiwa seperti itu tidak Anda ketahui, tetapi saya dapat melihatnya. Setelah jiwa itu tidak ada lagi, barulah jiwa musnah secara total. Pandangan ke-56 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, jiwa itu tidak musnah sekaligus, karena ada jiwa lain yang lebih luhur, yang melampaui alam Vinnanancayatana, menyadari kekosongan, mencapai dimensi kekosongan (akincannasayatana). Jiwa seperti itu tidak Anda ketahui, tetapi saya dapat melihatnya. Setelah jiwa itu tidak ada lagi, barulah jiwa musnah secara total. Pandangan ke-57 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, jiwa itu tidak musnah sekaligus, karena ada jiwa lain yang lebih luhur, yang melampaui alam Akincannasayatana, mencapai dimensi bukan pencerapan dan bukan tanpa pencerapan (n’evasanna nasannayatana). Jiwa seperti itu tidak Anda ketahui, tetapi saya dapat melihatnya. Setelah jiwa itu tidak ada lagi, barulah jiwa musnah secara total. 5 Pandangan Mengenai Nibbana Ada beberapa pertapa dan brahmana, yang menganut ajaran bahwa “Kehidupan mutlak Nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang” (ditthadhammanibbanavada). Ajaran tersebut diuraikan dalam lima pandangan. Apakah asal mula dan dasarnya maka mereka berpandangan demikian? Pandangan ke-58 Ia menyatakan, “Tatkala jiwa diliputi oleh kenikmatan, kepuasan lima indera, maka jiwa telah mencapai nibbana dalam kehidupan sekarang.” Pandangan ke-59 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, itu belum sepenuhnya benar. Mengapa begitu? Karena, kepuasan indera itu tidak kekal, masih diliputi penderitaan oleh sebab bersifat berubahubah. Karena ketidak-kekalannya dan berubah-ubah, maka dukacita, sedih, kesakitan, derita dan kebosanan muncul. Tatkala jiwa bebas dari kesenangan indera dan hal-hal buruk (akusala dhamma), mencapai dan tetap berada dalam jhana pertama (keadaan tatkala pikiran terpusat dalam meditasi), keadaan menggiurkan, disertai perhatian dan penyelidikan (savittaka savicara), maka jiwa mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang. Pandangan ke-60 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, itu belum sepenuhnya benar. Mengapa begitu? Karena, selama kita masih diliputi oleh proses berpikir atau perhatian dan menyelidik, berarti itu masih kasar. Tatkala jiwa terbebas dari perhatian dan menyelidik, mencapai dan berada dalam jhana kedua, keadaan pikiran terpusat dan seimbang, penuh kegiuran dan kegembiraan (cetaso ekodibhava, vupasamo, piti, sukha), maka jiwa mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang. Pandangan ke-61 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, itu belum sepenuhnya benar. Mengapa begitu? Karena, selama kita masih diliputi oleh kegiuran dan kegembiraan, berarti itu masih kasar. Tatkala jiwa terbebas dari keinginan dan kegiuran; pikiran terpusat dan seimbang, penuh perhatian, berpengertian jelas (sato ca sampajano), dan tubuh mengalami kebahagiaan, yang dikatakan Para Bijaksana sebagai keseimbangan yang disertai perhatian dan pengertian jelas, mencapai dan berada dalam jhana ketiga, maka jiwa mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang. Page 7 of 8
http://viharadharmabhakti.org
Pandangan ke-62 Ia menyatakan, “Saudara, jiwa seperti itu memang ada. Tetapi, itu belum sepenuhnya benar. Mengapa begitu? Karena, selama kita masih diliputi oleh rasa kebahagiaan, berarti itu masih kasar. Tatkala jiwa terbebas dari rasa bahagia dan derita (sukhassa ca pahana dukkhassa ca pahana), setelah melenyapkan kesenangan dan kesedihan (somanassa domanassa), mencapai dan berada dalam jhana keempat, disertai pikiran terpusat dan seimbang, tanpa adanya kebahagiaan dan penderitaan, maka jiwa mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang. Tathagata Melampaui Semua Spekulasi “Para Bhikkhu, inilah ajaran-ajaran yang berpedoman pada “hal-hal yang telah lampau” dan berkenaan dengan “masa yang akan datang” dari para pertapa dan brahmana tersebut, dalam 62 pandangan. Demikianlah, mereka berpandangan mengenai keadaan yang lampau dan yang akan datang seperti itu. Mereka menganut salah satu atau beberapa dari pandangan-pandangan tersebut, dan menyatakan bahwa selain pandangan mereka, tidak ada lagi pandangan lainnya.” “Para Bhikkhu, dalam hal ini, Tathagata mengetahui sampai sejauh mana spekulasi, tujuan, akibat dan hasil dari pandangan tersebut pada waktu yang akan datang bagi mereka yang mempercayainya. Karena, Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh dari jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut, dan dengan kekuatan batin, Tathagata telah merealisasikan jalan pembebasan dari pandangan-pandangan tersebut. Beliau telah mengetahui hakekat sesungguhnya, bagaimana muncul dan lenyapnya semua perasaan, rasa nikmatnya, bahayanya, yang tidak dapat dijadikan pegangan atau pun tumpuan. Tathagata telah terbebas dari pandanganpandangan seperti itu.” “Pandangan-pandangan mereka itu hanya didasarkan pada perasaan sendiri yang disebabkan kekhawatiran dan ragu-ragu akan akibatnya, karena para pertapa dan brahmana tersebut tidak mengetahui, tidak melihat, dan masih diliputi oleh berbagai keinginan (tanha). Pandangan-pandangan mereka itu hanya didasarkan pada kontak indera saja. Tatkala mereka mengalami perasaan tertentu tanpa adanya kontak, maka keadaan demikian itu tidak ada.” “Mereka semua menerima perasaan-perasaan tersebut melalui kontak yang berlangsung terus menerus dengan (saraf) penerima (dari indera-indera). Berdasarkan pada perasaan-perasaan (vedana) muncul keinginan (tanha), karena adanya keinginan muncul kemelekatan (upadana), karena adanya kemelekatan muncul proses menjadi (bhava), karena adanya proses menjadi muncul kelahiran (jati), karena adanya kelahiran terjadi kematian (marana), kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesusahan dan putus asa (soka parideva dukkha domanassa upayasa). Tatkala seorang bhikkhu mengerti hal itu sebagaimana hakekatnya, asal mula dan akhirnya, kenikmatan, bahaya dan cara membebaskan diri dari pemuasan enam inderanya, maka ia dapat mengetahui segala yang termulia dan tertinggi dari semuanya itu.”
Page 8 of 8