6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu
komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya masyarakat, dan kuatnya arus komersialisasi. Hal ini didasarkan pada perubahan orientasi nilai-nilai budaya, etika moralitas, dan rasionalitas yang dimiliki baik di Bajo Mola maupun di Mantigola. Kemunculan beberapa aktor kapitalis local Bajo di Mola merupakan suatu indikator bagaimana masyarakat Bajo tengah mengalami perubahan orientasi hidup yang semula hidup berpindah-pindah dengan pola hidup subsistensinya. Dahulu individualisme bagi orang Bajo bukan untuk cara orang Bajo untuk memperkaya diri atau mengumpulkan kekayaan. Dahulu juga orang Bajo bukan masyarakat yang berada. Orang-orang Bajo menggambarkan kesederhaan dan kemiskinan sebagai ciri khas keberadaan mereka. Saat ini, roda pergerakan ekonomi bergerak sedemikian cepatnya, Sistem penghidupan masyarakat yang semula dibangun dengan sistem kolektivitas cenderung berganti menjadi sistem ekonomi kapitalis yang bergantung pada pasar dan sifatnya komersial. Namun, falsafah hidup orang Bajo yang terkait dengan nilai-nilai daparanakan, dan falsafah sama dan bagai, serta bentuk keyakinan rupanya memberikan warna khas dalam sistem ekonomi kapitalis Bajo, khususnya Bajo Mola. Pengaruh An Tje sebagai sang pembawa nilai-nilai baru, yakni nilai kapitalisme
melalui
pertukaran
ekonomi
rupanya
berhasil memunculkan
golongan perintis kapitalis lokal pada masyarakat Mola. Perubahan ini juga didukung oleh peran orang-orang Mandati yang adalah seorang kapitalis, membawa iklim yang kondusif untuk mengembangkan usaha. Posisi orang-orang Bajo di dalam mekanisme pertukaran yang terjadi cenderung setara antara orang Bajo dan orang Mandati, karena orang Bajo dianggap sebagai konsumen potensial sekaligus sebagai produsen utama kegiatan perdagangannya. Dan tidak bisa dipungkiri juga bahwa rutinitas pelayaran di Wanci sangat tinggi sejak dahulu. Di Bajo Mantigola penggunaan tenaga kerja, khususnya nelayan sudah tidak harga mati bahwa harus orang Bajo. Karena tekanan permintaan pasar
258
yang tinggi, maka mau tidak mau hubungan kerja juga harus melibatkan nelayannelayan darat. Sistem perekrutan nelayan Bajo sendiri
tetap dilandasi oleh
ketentuan “daparanakan” sebagai basis hubungan produksi, dan masih berlakunya hubungan “patron client” antara nelayan dengan pengumpul. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa di Mola terjadi mekanisme “pertarungan” antara etika sosial kolektif dengan individual materialisme, dalam bentuk konflik rasionalitas. Yakni rasionalitas subyektif, yang menekankan pada iklusifitas kelompok Bajo, dan rasionalitas instrumental dalam bentuk rasionalitas ekonomi praktis. Bentuk konstelasi pertarungan nilai ini pada akhirnya menyebabkan kapitalisme yang terbentuk pada actor-aktor pengusaha Etika social kolektif
Mola.
pada actor kapitalis Mola cenderung semakin melemah,
akibat gempuran kekuatan “uang”, sebagai contoh munculnya persaingan yang tinggi antara sesama pengumpul ikan hidup, meskipun mereka sama-sama orang Bajo (sama). Bagi aktor yang dominan pada basis etika social kolektif maka rasionalitas yang dibangun antara lain rasionalitas moral social, dan rasional ekonomi, dimana keuntungan untuk kesejahteraan social. Sebaliknya bagi actor yang dominan membangun etika sosial individual materialisme, rasionalitas yang dibangun cenderung pada rasionalitas formal, dan rasionalitas ekonomi dimana bisnis untuk keuntungan individu semata. Sebaliknya, bagi Bajo Mantigola, perubahan sosial terjadi begitu lambat. Tekanan –tekanan yang dialami oleh masyarakat Bajo Mantigola oleh orangorang Kaledupa dalam bentuk perlakuan yang diskriminatif, secara kontekstual terjadi karena, posisi masyarakat Bajo di Pulau Kaledupa, berada pada lapisan terbawah dari sistem sosial. Dengan kondisi seperti ini tidak membawa pada iklim yang kondusif dalam berusaha. Kondisi seperti ini menimbulkan etos tersendiri, dan menciptakan mentalitas Bajo yang cenderung penakut, dan kurang berani mengambil resiko. Goncangan-goncangan sosial dan ekonomi semakin menjadi-jadi karena lahan nafkah semakin sempit akibat zonasi taman nasional Wakatobi. Beberapa produk-produk yang menjadi sumber keuntungan terbesar adalah komoditas yang terlarang untuk diperdagangkan. Di tengah berbagai ironi yang mendera pada akhirnya menciptakan bentuk etika social moralitas tertentu, dan akumulasi capital tersendiri dan strategi bisnis tersendiri, yang ditujukkan untuk “bertahan” untuk mencari nafkah untuk hidup.
259
Agama juga menjadi faktor penting yang berperan di dalam munculnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Bagi orang-orang Mola, kepercayaan animisme memang perlahan-lahan telah runtuh atau disebut Weber demagifikasi, akibat perkembangan arus ekonomi uang, dan proses urbanisasi pemukiman di Mola. Analisis orientasi nilai budaya juga menunjukkan bagaimana pemaknaan memberikan warna terhadap kapitalisme masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan, bahwa nelayan Bajo Mola telah bertransformasi menjadi manusia yang optimistic dan progresif. Dimana bagi orang-orang Bajo Mola orientasi hidup tidak lagi berdasarkan masa lalu, tetapi lebih kepada orientasi masa depan, Kemudian orang-orang Bajo Mola menganggap bahwa manusia berhasrat untuk menguasai alam untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dan karya yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo Mola ditujukkan untuk akumulasi capital. Sebaliknya nelayan Mantigola cenderung fatalis. Akibat beragam bentuk tekanan pada ruang-ruang nafkah, baik oleh orang-orang Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang diciptakan oleh orang-orang Bajo sendiri, khususnya orang Mola, serta tekanan karena semakin sempitnya lahan nafkah akibat zonasi taman nasional sehingga penghidupan relative tidak stabil, dan ketahanan nafkah relative rendah, menimbulkan orientasi nilai masyarakat yang cenderung fatalis. Pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa gambaran mengenai perbedaan orientasi perkembangan kapitalisme lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam perkembangan kapitalismenya, dan Mantigola cenderung lebih lambat menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo melalui beragam tahap yang berbeda dalam menuju bentuk ekonomi kapitalisme yang digambarkan melalui enam dimensi kapitalisme lokal yang telah digambarkan secara rinci dalam tulisan ini antara lain : (1) profit maksimisasi ; (2) pola ekspansi ekonomi ; (3) individualisme-profit propertu ; (4) Hubungan sosial produksi. Pemaknaan menunjukkan cirri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi baik di Mola maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan dalam berekonomi ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap kapitalisme yang terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk gambaran rasionalitasnya. Ciri lokal, dan kaitannya dengan konteks sosial (sphere of life) juga tidak bisa ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga membuktikan bahwa
260
teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi pribumi tidak sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan kapitalisasi yang secara teori semestinya mentransformasikan pedesaan menuju ekonomi modern ternyata memberikan suatu gambaran perkembangan yang berbeda, yakni di satu sisi progresif, dan di satu sisi mengalami kemandekan ekonomi pribumi. Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo . 6.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka model ekonomi lokal khas suku
Bajo dapat digunakan sebagai model pemberdayaan masyarakat suku Bajo. Warna lokal yang khas sesungguhnya menjadi modal dalam keberlanjutan usaha orang-orang Bajo. Misalnya mekanisme profit maksimisasi, ekspansi usaha, dan akumulasi kapital yang sangat diwarnai dengan nilai-nilai khas lokal sehingga membentuk transfer keuntungan tidak dinikmati oleh satu pihak selayaknya kapitalis penuh, namun keuntungan dipertahankan untuk membantu sesama orang-orang Bajo, khususnya yang terkait dengan nilai-nilai daparanakan. Melihat adanya gejala khas dari orang-orang Bajo ketika berinteraksi dengan etnis tertentu, misalnya orang Bajo Mola yang berinteraksi dengan orang-orang wanci memunculkan gejala munculnya para kapitalis-kapitalis di masyarakat Bajo, sementara orang Bajo Mantigola yang berinteraksi dengan orang-orang Kaledupa memunculkan gejala persistensi terhadap bentuk-bentuk perubahan social maupun ekonomi, sehingga memunculkan gejala kemiskinan yang khas. Maka diperlukan suatu riset lanjutan yang menganalisis gejala khas lainnya pada masyarakat Bajo, khususnya Bajo La Manggau yang berinteraksi dengan masyarakat Tomia. Pada akhirnya hasil riset yang lebih komprehensif
261
akan menghasilkan suatu teori baru mengenai gambaran perubahan social yang terjadi pada masysrakat Bajo di sutau kawasan Taman Nasional Wakatobi. Kemudian, dengan melihat kondisi terbelenggunya proses perkembangan ekonomi masyarakat Bajo Mantigola, khususnya akibat semakin sempitnya lahan nafkah, maka diperlukan upaya-upaya untuk mencari solusi mengenai alternatif nafkah guna mencapai keadilan ekologis untuk orang-orang Bajo, khususnya orang Bajo Mantigola.
262