6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap disebabkan oleh pengkaplingan laut dan pada kasus purse seine disebabkan oleh adanya klaim jalur penangkapan; (2) mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine disebabkan implementasi perizinan oleh KKP, kasus lampara dasar dan kasus gillnet disebabkan pelanggaran jalur penangkapan, kasus penggunaan bom disebabkan oleh pelanggaran Undang-Undang (3) alokasi internal terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, bagan apung, seser modern dan cantrang disebabkan adanya perbedaan kualitas dan kapasitas teknologi penangkapan. Ditinjau dari sumber konflik terdiri dari (1) perbedaan nilai terjadi karena di satu sisi merupakan pengembangan teknologi seperti penggunaan lampu pada purse seine, penggunaan papan layang pada lampara dasar, bagan apung dan seser modern
namun
menurut
nelayan
lain
akibat
pengembangan
teknologi
menyebabkan over fishing; (2) masalah hubungan terjadi karena tidak adanya komunikasi terhadap masuknya purse seine di wilayah perairan Kalsel dan kurangnya komunikasi terhadap pembagian wilayah tangkap yang disetujui oleh DKP Kabupaten; (3) faktor struktural terjadi karena implikasi kebijakan pemerintah terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, gillnet dan penggunaan bom (4) perbedaan kepentingan terjadi karena adanya penggunaan alat tangkap yang berorientasi ekspor pada kasus pengambilan teripang dan cantrang sementara nelayan local tidak menggunakan alat tangkap tersebut. Lembaga yang berperan pada saat melakukan penyelesaian konflik, terdiri dari lembaga pemerintah sebagai administrator, regulator dan fasilitator; lembaga non pemerintah sebagai inisiator, pelaksana dan kontrol sosial; dan lembaga tradisonal sebagai wadah silaturahmi dan elemen perekat masyarakat. Pada tingkat desa telah dibentuk Pokmaswas yang merupakan pelaksana di tingkat lapangan dengan keanggotaan sukarela yang terdiri dari masyarakat pesisir dan
214
LSM. Kelembagaan Pokmaswas ini bersinergi dengan kelembagaan lokal dan kelembagaan lainya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi antar kelompok masyarakat. Dibentuknya Pokmaswas sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Hai ini memberikan peluang tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat lokal. Sejauh ini kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan konflik telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang yang salah satunya adalah membentuk kelompok kerja (POKJA) penanganan konflik nelayan di setiap
daerah dan
tingkat Pusat, Provinsi sampai dengan Kabupaten dan menyusun pedoman umum penanganan konflik nelayan antar daerah melalui mekanisme Alternative Dispute resolution/ADR. Inti dari ADR adalah membangun konsensus atau kompromi sesuai dengnan pendekatan musyawarah dan mufakat yang bersumber dari masyarakat. Peran kelembagaan tersebut akan dikembangkan dan mendapat legitimasi, sehingga kesepakatan dapat diperoleh melalui forum yang dapat dipertanggung jawabkan, bersifat mengikat dan memiliki kekuatan hukum Dalam model pengelolaan konflik, faktor penyebab konflik (kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor, dan budaya) secara seri berpengaruh terhadap resolusi konflik (melalui fasilitasi & negosiasi) dalam forum ADR, yang selanjutnya menentukan outcome (partisipasi dan keberlanjutan perikanan tangkap). Faktor penyebab konflik berperan dalam menumbuhkan atau meredam konflik; (1) kompetisi merupakan faktor tertinggi sebagai factor penyebab konflik, perbedaan tingkat teknologi penangkapan sangat berpeluang pada persaingan antara unit penangkapan; (2) oposisi merupakan factor penyebab konflik, perbedaan strata dari penggunaan teknologi penangkapan (Teknologi tinggi, menengah dan tradisional) dan adanya perhatian pemerintah terhadap salah satu kelompok nelayan seperti pembagian wilayah penangkapan dan pemberian izin terhadap penggunaan purse seine dan pengambilan teripang memunculkan pihak oposisi yang merasa dirugikan terhadap adanya kebijakan tersebut; (3) Ekonomi merupakan factor penyebab konflik, persepsi terhadap
kesenjangan ekonomi
telah mengakar di wilayah pesisir Kalsel karena perbedaan teknologi yang digunakan; (4) aktor merupakan factor penyebab konflik, persepsi yang terbentuk
215
mengarah kepada perbedaan komunitas aktor yang berbeda pandangan terhadap nilai yang diterapkan yaitu untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya sementara aktor lain berpikiran untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan; (5) budaya merupakan factor peredam konlik, hal ini dapat dijadikan landasan dalam pengembangan peran kelembagaan karena perbedaan budaya dalam masyarakat di pesisir Kalsel sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat pantai. Secara parsial teknik ADR (Alternative Dispute Resolution) yaitu fasilitasi memberikan kontribusi terbesar dalam melakukan proses penyelesaian konflik Secara langsung dan tidak langsung pengelolaan terhadap faktor penyebab konflik dan teknik resolusi yang baik berpengaruh kepada pengelolaan perikanan tangkap bertanggung jawab. Dalam hal ini agar tercipta keberlanjutan perikanan tangkap diperlukan umpan balik melalui dukungan partisipasi masyarakat dalam melakukan upaya-upaya untuk merubah; (1) perilaku dalam melakukan kompetisi penangkapan ikan melalui cara illegal fishing, pelanggaran terhadap undangundang
dan
pemanfaataan
sumberdaya
dengan
teknologi
yang
dapat
menyebabkan over fishing (2) perilaku yang menyebabkan munculnya pihak oposisi karena perbedaan nilai dan pandangan terhadap implikasi kebijakan pemerintah (3) perilaku ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya yang menyebabkan kesenjangan ekonomi kepentingan
yang
hanya
meraih
(4) perilaku aktor yang memiliki keuntungan
sebesar-besarnya
terhadap
sumberdaya perikanan. 6.2 Saran 1) Implikasi teoritis Teori-teori konflik dioperasinalkan dalam satu rangkaian yang tidak berdiri sendiri, yang terkait antara faktor-faktor penyebab konflik (input) – resolusi konflik (proses) – output – outcome, oleh karena itu implikasi kebijakan tidak melihat konflik secara parsial tapi dalam suatu gugus komprehensif antar berbagai faktor dalam suatu rangkaian yang mempengaruhi 2) Implikasi kebijakan untuk pengembangan peran kelembagaan melalui Pokmaswas, agar dapat berfungsi lebih baik diharapkan keanggotaannya memiliki kemampuan pengetahuan dan kualifikasi mengenai perangkat
216
hukum positif dan hukum tradisional, kualifikasi terhadap pengelolaan sumber daya perikanan, memahami sejarah budaya lokal dan regulatory framework. 3) Impilikasi kebijakan terhadap antisipasi faktor penyebab konflik (kesenjangan teknologi) dapat dilakukan yaitu perlu dikurangi dominasi atau pemberian izin terhadap nelayan yang berteknologi tinggi, terdapat beberapa pilihan diantaranya dengan menyamakan tingkat teknologi para nelayan yang beroperasi di satu wilayah penangkapan. Penyamaan tingkat teknologi itu sendiri dapat dilakukan dengan meningkatkan teknologi, namun cara ini tidak mudah dilakukan, karena
lemahnya permodalan, selain itu perubahan
teknologi yang sudah biasa digunaan selama ini kepada jenis alat tangkap baru jelas memerlukan perubahan dalam berbagai hal seperti pola kerja serta hubungan sosial.
Disisi lain perlu diperhatikan terhadap peningkatan
teknologi, karena sebenarnya dengan teknologi yang mereka pakai sudah cukup untuk membangun kehidupan yang layak. Pilihan lainya adalah menurunkan tingkat teknologi seperti tidak menggunakan lampu berkekuatan tinggi atau membatasi pengembangan teknologi untuk
mempertahankan
kelestarian sumberdaya perikananpun untuk jangka waktu yang panjang dengan maksud sumberdaya tidak dikuras secara besar-besaran dalam waktu singkat, atau melakukan pengaturan zona atau wilayah tangkap. Pengaturan ini dilakukan dengan memperhatikan jarak atau jalur penangkapan yang jauh dari wilayah penangkapan nelayan Kalsel. 4) Impilikasi kebijakan terhadap antisipasi faktor penyebab (oposisi) pada wilayah perikanan tradisional yang dilakukan secara turun temurun namun ditentang oleh beberapa pihak oposisi yang menganggap laut adalah milik bersama, ditambah lagi dengan penggunaan teknologi yang lebih besar seperti seser modern dan bagan apung. Nelayan tradisional menjadi terpinggirkan. Dalam kenyataan ini perlu adanya fomalitas atau diakui secara formal hak pemanfaatan tradisional. Tanpa pengakuan secara resmi atas hak pemanfaatan tradisional akan mengalami marginalisasi dan tergusur dari wilayah tangkap mereka secara turun temurun. 5) Impilikasi kebijakan terhadap antisipasi faktor penyebab (kompetisi) yaitu implementasi kebijakan pemerintah terhadap jalur-jalur penangkapan bersifat
217
makro. SK. Mentan Pertanian RI No. 392/Kpts/IK. 120/4/99 dan UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, dimana pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan sumber daya di dalamnya hanya 8 mil ke arah laut lepas, sehingga memberi peluang yang besar untuk nelayan andon dari luar daerah bebas melakukan penangkapan pada jalur > 8 mil, perlu dilakukan revisi, yaitu dapat mendelegasikan penentuan JJP perikanan tangkap di perairan Kalsel berdasarkan kedalaman karena bentuk pantai yang landai agar memiliki dasar hukum. 6) Implikasi penelitian yaitu, model pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat digunakan untuk pedoman implementasi kebijakan, namun model pengelolaan konflik perikanan tidak dapat digeneralisasi untuk semua provinsi, sehingga perlu dirancang variabel dan diketahui dengan pasti indikator yang berpengaruh, mengingat situasi dan kondisi aktor, sumber daya dan lingkungan yang berbeda. 7) Implikasi penelitian lanjutan yaitu: (1) mengingat kebijakan yang bersifat makro, maka perlu dilakukan penelitian kebijakan pengelolaan konflik pada setiap provinsi sehingga dapat dilakukan revisi dan melakukan legitimasi perda yang dapat diakomodasi sesuai dengan kondisi geografis (2) mengingat sulitnya melalukan analisis kualitatif terhadap pengukuran indikator pemahaman terhadap keadilan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan perlu penelusuran lebih jauh terhadap teori dan empiris masyarakat pesisir dalam melakukan kuantifikasi.