6 ASSESMENT NILAI EKONOMI KKL 6.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang 6.1.1 Nilai manfaat ikan karang Manfaat langsung dari ekosistem terumbu karang adalah manfaat dari jenis-jenis komoditas yang langsung diperoleh masyarakat dengan cara mengambil dari alam,
yang berupa kegiatan penangkapan ikan karang dan
umumnya menggunakan peralatan sederhana. Kegiatan menangkap ikan bagi sebagian besar masyarakat Kabupaten Raja Ampat selain dilakukan di kawasan terumbu karang, juga dilakukan di luar kawasan terumbu karang (DKP-KRA 2006). Berdasarkan data volume produksi rata-rata per tahun, maka nilai pasar komoditas
ikan
karang
di
Kabupaten
Raja
Ampat
adalah
sebesar
Rp. 213.550.342.568.120,00 per tahun. Produksi rata-rata ikan karang di Kabupaten Raja Ampat adalah sebesar 628.200 ton per tahun, sedangkan harga rata-rata ikan karang sebesar Rp. 25.377,00 per kilogram. Ikan karang ini diperoleh dari kawasan terumbu karang dengan luas 133.958 Ha, dengan hasil valuasi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 13. Table 13 Nilai manfaat langsung terumbu karang dari penangkapan ikan karang di Kabupaten Raja Ampat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Uraian Volume produksi rata-rata (ton per minggu) Frekuensi hari kerja/tahun (hari per tahun) Volume produksi rata-rata/tahun (ton per tahun) Volume produksi/Ha (ton) Harga rata-rata ikan (Rupiah per kilogram) Luas terumbu karang (Ha) Produksi ikan (ton per tahun) Total nilai kapitalisasi (Rupiah) Biaya operasional/tahun (Rupiah)
10
Nilai ekonomi total (Rupiah)
Nilai Kapitalisasi 3,49 180,00 628.200,00 62.820,00 25.377,00 133.958,00 8.415.241.560,00 13.553.585.068.120,00 3.242.500.000,00 213.550.342.568.120,00
6.1.2 Nilai manfaat budidaya mutiara Salah satu kegiatan yang dilakukan di perairan Kabupaten Raja Ampat adalah melakukan kegiatan budidaya mutiara. Mengingat potensi dan kualitas air laut di kawasan ini sangat mendukung untuk melakukan budidaya mutiara. Hingga saat ini terdapat 5 perusahaan yang melakukan budidaya mutiara di
126 perairan Kabupaten Raja Ampat (DKP-KRA 2006). Dari valuasi diperoleh hasil bahwa
rata-rata
pendapatan
bersih
masing-masing
perusahaan
sebesar
Rp. 44.382.373.200,00 per tahun, sedangkan biaya rata-rata yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 103.558.870.800,00 per tahun. Sehingga secara total diketahui nilai keseluruhan sebesar Rp. 221.911.866.000,00 per tahun (Tabel 14). Table 14 Nilai manfaat tidak langsung sumberdaya terumbu karang untuk budidaya mutiara di Kabupaten Raja Ampat No. 1 2 3 4
Uraian Total pendapatan/tahun (Rupiah) Total biaya produksi/tahun (Rupiah) Pendapatan bersih/tahun (Rupiah) Jumlah pelaku (perusahaan) Nilai ekonomi total (Rupiah)
Nilai Kapitalisasi 147.941.244.000,00 103.558.870.800,00 44.382.373.200,00 5,00 221.911.866.000,00
6.1.3 Nilai manfaat budidaya teripang Dari kegiatan budidaya teripang di kawasan perairan Kabupaten Raja Ampat diketahui nilai manfaat yang diperoleh sebesar Rp. 240.592.505,20 per tahun. Rata-rata produksi per tahun sebesar 1,56 ton, sedangkan harga per kilogram sebesar Rp. 154.167,00 (Tabel 15). Table 15 Nilai manfaat tidak langsung sumberdaya terumbu karang untuk budidaya teripang di Kabupaten Raja Ampat No 1 2 3
Uraian Rata-rata harga satuan (Rupiah/kilogram) Produksi/bulan (ton) Produksi/tahun (ton) Nilai ekonomi total
Nilai Kapitalisasi 154.167,00 0,13 1,56 240.592.505,20
6.1.4 Nilai manfaat budidaya rumput laut Jenis rumput laut yang dibudidayakan di Kabupaten Raja Ampat adalah jenis Euchema cottoni, yang banyak terdapat di Distrik Misool, Samate dan Waigeo Utara (DKP-KRA 2006). Setelah dikuantifikasi kedalam nilai moneter, nilai ekonomi total dari budidaya rumput laut di Kabupaten Raja Ampat sebesar Rp. 24.902.400,00 dan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 16.
127 Table 16 Nilai manfaat tidak langsung sumberdaya terumbu karang untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Raja Ampat No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Produksi rata-rata/panen (ton) Kegiatan budidaya/tahun Jumlah pelaku (perusahaan) Produksi/tahun (ton) Rata-rata harga satuan (kilogram) Total hasil penjualan/tahun Biaya produksi diperkirakan 40% dari total nilai jual Nilai ekonomi total (Rupiah)
Nilai Kapitalisasi 41,04 4,00 79,00 12,97 3.200,00 41.504.000,00 16.601.600,00 24.902.400,00
6.2 Nilai Ekonomi Sumberdaya Mangrove Nilai ekonomi sumberdaya mangrove dapat dilihat dari nilai ekonomi total yang dapat dihitung berdasarkan akumulasi seluruh manfaat yang diperoleh, dikurangi dari seluruh biaya yang timbul (Adrianto 2004). Pendekatan penilaian dilakukan dengan analisis harga pasar, dari seluruh manfaat dan biaya, yang secara langsung dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh manfaat mangrove. Dari hasil valuasi sumberdaya mangrove, diketahui total nilai ekonomi mangrove adalah sebesar Rp.15.758.343.201.691,00 per tahun, yang diperoleh dari sebaran mangrove di wilayah pesisir Pulau Waigeo Barat, Waigeo Selatan, Batanta, pantai timur Pulau Salawati, pantai selatan Pulau Kofiau, Pulau Babi, pantai timur dan barat Pulau Misool yang luasnya mencapai 14.430 Ha (DKPKRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007), dengan nilai manfaat ekosistem mangrove secara detail dapat dilihat pada Tabel 17. Table 17 Kuantifikasi nilai manfaat ekosistem mangrove No. 1 2 3 4
Jenis Manfaat Manfaat Manfaat Manfaat Manfaat Total
langsung tidak langsung pilihan keberadaan
Nilai Manfaat/Tahun (Rupiah) 616.888.624.000,00 14.906.889.774.120,00 230.519.250.000,00 4.045.553.571,00 15.758.343.201.691,00
Persentase (%) 3,91 94,60 1,46 0,03 100,00
Dari Table 17, diketahui bahwa manfaat terbesar dari keberadaan mangrove di Kabupaten Raja Ampat adalah manfaat tidak langsung, yaitu sebesar Rp.14.906.889.774.120,00 atau sebesar 94,60% dari total nilai ekonomi
128 mangrove.
Nilai ekonomi total (NET) ekosistem mangrove, merupakan nilai
ekonomi yang terkandung dalam setiap sumberdaya yang ada di kawasan ekosistem mangrove, baik nilai guna maupun nilai fungsional (Adrianto 2004; Fauzi dan Anna 2005). Secara umum, mangrove memiliki dua nilai manfaat, yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung dari sumberdaya mangrove juga terdiri dari manfaat langsung yang dapat diekstraksi seperti untuk kayu bakar, bahan bangunan, ikan, udang, kepiting, dan sumberdaya lainnya yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat disekitarnya. Manfaat langsung non ekstraktif yaitu, manfaat yang tidak bisa dinikmati secara langsung, namun dengan keberadaannya dapat memberikan nilai kepuasan bagi setiap orang. Manfaat langsung non ekstraktif ini hanya digunakan untuk kegiatan wisata di kawasan mangrove (Adrianto 2004). Oleh karena mangrove merupakan suatu ekosistem unik yang hidup di wilayah peralihan antara daratan dan laut, maka ekosistem ini memiliki fungsi penting, yaitu: fungsi pelindung, penahan abrasi pantai, sebagai perangkap sedimen dan menyerap bahan pencemar perairan. Fungsi ekologis ekosistem mangrove adalah sebagai habitat dan tempat berlangsungnya proses daur hidup (spawning area, nursery area, feeding area) biota-biota tertentu, seperti udang, ikan, kepiting dan kerang-kerangan. Fungsi ekonomisnya dapat digunakan sebagai bahan bangunan, kayu bakar, arang, obat-obatan dan bahan makanan (Pramudji dan Purnomo 2003; Adrianto 2004). 6.2. 1 Manfaat langsung ekosistem mangrove Ekosistem mangrove secara tradisional telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan oleh masyarakat yang tinggal di daerah sekitarnya. Selain untuk mencari ikan, udang dan kepiting, masyarakat juga mengambil kayunya untuk keperluan sehari-hari atau sebagai sumber mata pencaharian (DKP-KRA 2006). Akan tetapi, sampai saat ini, kawasan mangrove di Kabupaten Raja Ampat, belum digunakan sebagai tempat budidaya udang bagi masyarakat di sekitarnya, karena masyarakat masih lebih banyak memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara alami di kawasan ekosistem mangrove (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007). Nilai manfaat dari ekosistem mangrove dalam penelitian ini diperoleh dari manfaat penangkapan ikan, penangkapan udang,
129 penangkapan kepiting dan eksploitasi kayu untuk bahan bakar (Adrianto 2004; Dohar dan Anggraeni 2006). Nilai dari masing-masing manfaat tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat No 1 2 3 4
Jenis Manfaat Penangkapan ikan Penangkapan udang Penangkapan kepiting Kayu bakar Nilai ekonomi total
Nilai Manfaat (Rupiah/Tahun) 609.671.124.000,00 1.120.000.000,00 4.886.375.000,00 1.211.125.000,00 616.888.624.000,00
Persentase (%) 98,830 0,182 0,792 0,196 100,000
Nilai manfaat di atas merupakan nilai manfaat yang dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat sekitarnya, yang dihitung dengan menggunakan pendekatan harga pasar. Semakin besar jumlah produksi dari masing-masing sumberdaya di kawasan mangrove, maka nilai manfaat ekonominya akan semakin tinggi pula. Begitu juga dengan jumlah masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya tersebut, semakin banyak jumlah masyarakat yang mengeksploitasi sumberdaya di sekitar ekosistem mangrove, maka nilai manfaat ekonomi yang diberikan ekosistem mangrove terhadap masyarakat juga semakin tinggi (Adrianto 2004; Fauzi dan Anna 2005; Dohar dan Anggraeni 2006). (1) Penangkapan ikan Peranan ekosistem mangrove bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari seberapa besar atau seberapa banyak sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. Akan tetapi jika kualitas ekosistem mangrove mulai menurun, menyebabkan eksistensi dari sumberdaya tersebut semakin berkurang. Sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Bengen 2003; Pramudji dan Purnomo 2003). Oleh karena itu peranan ekosistem mangrove bagi biota didalamnya sangat penting, yaitu sebagai tempat asuhan, tempat naungan dan tempat mencari makan bagi berbagai jenis ikan dan udang. Nelayan-nelayan lokal menggunakan peralatan tangkap yang sangat sederhana, sehingga produktivitas nelayan setempat masih tergolong rendah. Hasil
130 produksi yang diperoleh hanya dijual di pasaran lokal, seperti daerah Makasar, Surabaya dan Jakarta. Untuk komoditas ikan lainnya, seperti kerapu hidup sebagian besar dipasarkan ke Hongkong (DKP-KRA 2006). Setelah dilakukan valuasi ekonomi diketahui nilai manfaat ekonomi dari penangkapan ikan sebesar Rp. 609.671.124.000,00 per tahun. (2) Kepiting Kepiting merupakan salah satu biota yang hidup dan berkembang biak di ekosistem mangrove. Oleh sebagian masyarakat di Kabupaten Raja Ampat, ekosistem mangrove ini dimanfaatkan untuk menangkap kepiting bakau (Scylla serrata). Aktivitas masyarakat ini dilakukan pada malam hari dengan menggunakan penerang berupa lampu (senter), ditambah dengan alat tangkap kepiting seperti tombak atau berupa perangkap aktif lainnya. Rata-rata lama waktu mencari dan menangkap kepiting adalah 2-4 jam per trip (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007). Valuasi untuk kepiting ini didekati dengan menggunakan model hubungan regresi antara luasan ekosistem mangrove dengan produksi kepiting yang dihasilkan. Dengan model regresi ini, kemudian diketahui besarnya manfaat ekosistem mangrove sebagai penyedia pakan alami bagi kepiting (Adrianto 2004; Dohar dan Anggraeni 2006). Setelah dilakukan perhitungan nilai manfaat ekonomi, khususnya untuk kepiting di ekosistem mangrove, diketahui nilainya sebesar Rp. 4.886.375.000,00 per tahun. Nilai ini tergolong cukup besar bila dibandingkan dengan nilai manfaat dari udang maupun nilai kayu bakar. Pemanfaatan kepiting bakau oleh masyarakat sesungguhnya masih tergolong konvensional dan sangat tradisional, dimana masyarakat hanya melakukan pemanfaatan (penangkapan) dengan tujuan konsumsi rumah tangga dan itupun dilakukan pada waktu luang, dimana mereka tidak sedang melalut. Meskipun kadangkala mereka memasarkan ketika jumlah tangkapan dianggap cukup untuk dikonsumsi dan kelebihannya dapat dijual ke pasar terdekat (DKP-KRA 2006). (3) Udang Selain kepiting, dalam ekosistem mangrove juga terdapat udang yang memiliki nilai manfaat ekonomi yang cukup tinggi. Ekosistem mangrove yang
131 merupakan ekosistem pesisir atau lebih spesifik lagi adalah ekosistem estuaria, secara ekologis merupakan daerah asuhan (nursery ground), daerah tempat mencari makan (feeding ground) dan bagi sebagian organisme laut (termasuk udang) merupakan daerah pemijahan (spawning ground). Fungsi bio-ekologis tersebut memberi ruang bagi organisme laut untuk hidup sesuai dengan siklus hidup masing-masing. Seperti halnya kepiting, ekosistem mangrove adalah merupakan daerah perbesaran untuk udang dan juga menjadi daerah asuhan dan mencari makan (Pramudji dan Purnomo 2003). Udang dapat hidup baik hingga ukuran tertentu di ekosistem mangrove, yaitu pada fase asuhan dan pembesaran.
Seperti pada fase larva (asuhan),
ekosistem mangrove akan dipadati larva-larva udang berukuran kecil yang kemudian menjadi benur (benih udang), untuk budidaya tambak (udang dewasa). Jumlahnya mencapai ratusan ribu dan bahkan jutaan dengan ukuran yang sangat kecil. Pada fase menuju dewasa sekelompok udang-udang tertentu, seperti udang putih akan tetap tinggal dan menetap di ekosistem mangrove, sehingga memungkinkan tertangkap oleh nelayan (Pramudji dan Purnomo 2003). Pada umumnya nelayan yang melakukan operasi penangkapan udang di kawasan mangrove adalah nelayan paruh waktu, dimana mereka melakukan operasi tersebut setelah melaut. Umumnya mereka melakukannya pada malam hari dengan menggunakan alat penerang (lampu) dan perangkap. Tujuan penangkapan tersebut adalah untuk konsumsi rumah tangga dan hanya dijual dalam skala kecil, itupun jika jumlah tangkapan melebihi tingkat konsumsi mereka (DKP-KRA 2006). Nilai manfaat ekonomi untuk udang di ekosistem mangrove sebesar Rp. 1.120.000.000,00 per tahun, yang umumnya dipasarkan di pasar sekitar Raja Ampat. Hingga saat ini, produksi udang dari Raja Ampat belum ada yang dipasarkan hingga ke luar daerah seperti halnya ikan dan kepiting. Sama dengan kepiting, perhitungan manfaat ekonomi langsung dari mangrove untuk kehidupan udang ini juga didekati dengan menggunakan model hubungan regresi antara luasan ekosistem mangrove dengan produksi udang yang dihasilkan. Model regresi ini untuk mengetahui besarnya manfaat ekosistem mangrove sebagai penyedia pakan alami bagi udang (Adrianto 2004; Dohar dan Anggraeni 2006).
132 (4) Kayu bakar Selain manfaat langsung seperti ikan, udang dan kepiting, ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat, juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber bahan kayu bakar dan bahan bangunan. Masyarakat dapat menggunakan kayu dari berbagai jenis tumbuhan mangrove untuk keperluan tersebut. Pada umumnya pengambilan kayu bakar tesebut dilakukan di waktuwaktu luang dan ketika air sedang surut atau pada waktu sore hari. Jumlah kayu yang dimanfaatkan sangat bervairasi dan hanya sebatas untuk keperluan rumah tangga mereka, dan tidak untuk tujuan dijual. Namun kegiatan konversi menjadi kayu bakar akan sangat besar jumlahnya pada saat ada pesta pernikahan atau pesta lainnya di perkampungan, dimana masyarakat secara bergotong royong mengambil kayu bakar di ekosistem mangrove (DKP-KRA 2006; Dohar dan Anggraeni 2006). Setelah dilakukan valuasi, khusus untuk penggunaan mangrove sebagai kayu bakar, diketahui nilai manfaat yang diberikan sebesar Rp. 1.211.125.000,00 per tahun, atau sebesar 0,196% dari total manfaat langsung ekosistem mangrove. Nilai ini tergolong kecil karena pemanfaat ekosistem mangrove oleh masyarakat sebagai kayu bakar masih relatif kecil. Kecilnya nilai manfaat ekonomi ini dipengaruhi oleh rendahnya animo masyarakat untuk memanfaatkan kayu mangrove sebagai bahan kayu bakar atau bangunan. Meskipun ekosistem mangrove cukup luas yaitu 14.130 Ha, keberadannya tidak dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan kayu bakar (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006; Dohar dan Anggraeni 2006). Dari Tabel 18 sebagaimana di atas menunjukkan bahwa nilai manfaat terbesar yang diperoleh masyarakat dari eksoistem mangrove, adalah nilai penangkapan ikan yaitu sebesar Rp. 609.671.124.000,00 per tahun atau sebesar 98.8% per tahun. Manfaat yang paling kecil yaitu untuk produksi udang sebesar Rp.1.120.000.000,00 per tahun atau sebesar 0,182% per tahun. Hal ini berkaitan erat dengan mata pencaharian masyarakat Raja Ampat yang sebagian besar atau sebesar 80% penduduknya berprofesi sebagai nelayan, termasuk menangkap ikan di sekitar eksosistem mangrove.
133 6.2.2 Manfaat tidak langsung ekosistem mangrove Pohon mangrove mempunyai fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, maupun nasional. Selain memiliki manfaat secara langsung yang dapat dinikmati oleh masyarakat, ekosistem mangrove juga memiliki manfaat yang secara tidak langsung dapat dinikmati oleh masyarakat. Dalam penelitian ini dihitung nilai manfaat ekonomi yang tidak langsung, yang bisa dinikmati dan memberikan manfaat tidak langsung bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Nilai manfaat tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai manfaat mangrove sebagai daerah nursery, perlindungan pantai, dan penahan abrasi (Pramudji dan Purnomo 2003). Dari hasil valuasi diketahui total nilai manfaat ekonomi untuk manfaat tidak langsung adalah sebesar Rp. 14.906.889.774.120,00 per tahun. Rincian masingmasing nilai manfaat tidak langsung tersebut terlihat pada Table 19. Table 19 Nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat No 1 2 3
Jenis Manfaat Daerah nursery Perlindungan pantai Penahan abrasi Nilai ekonomi total
Nilai Manfaat 4.162.824.120 ,00 322.726.950.000,00 14.580.000.000.000,00 14.906.889.774.120,00
(1) Daerah nursery Salah satu manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove yang dihitung dalam penelitian ini adalah manfaat sebagai daerah asuhan ikan (nursery ground). Daerah nursery ini berfungsi bagi ikan-ikan untuk berkembang biak atau yang disebut juga sebagai daerah asuhan ikan. Hal ini karena begitu amannya kawasan mangrove bagi benih-benih berbagai jenis ikan dan udang di sekitarnya. Ekosistem mangrove memang merupakan tempat asuh (nursery ground), tempat bertelur, tempat memijah, serta tempat mencari makan bagi berbagai jenis ikan. Tidak kurang dari 80% jenis ikan laut membutuhkan ekosistem mangrove (Pramudji dan Purnomo 2003). Dari hasil valuasi diketahui bahwa nilai yang diberikan oleh ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat sebagai daerah nursery adalah sebesar
134 Rp. 4.162.824.120,00 per tahun. Dibandingkan dengan nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove, nilai sebagai daerah nursery ini tergolong kecil dibanding dengan nilai manfaat lainnya. (2) Perlindungan pantai Manfaat lain dari keberadaan ekosistem mangrove adalah untuk perlindungan pantai dari kerusakan akibat gelombang dan angin. Sebagai ekosistem yang kompleks, mangrove terdiri atas flora dan fauna daerah pantai. Hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air pasang dan surut, berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang dan angin topan (Pamudji dan Purnomo 2003). Ekosistem mangrove tumbuh subur dan luas di daerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar. Ekosistem mangrove mempunyai toleransi besar terhadap kadar garam dan dapat berkembang di daratan bersalinitas tinggi di mana tanaman biasa tidak dapat tumbuh. Dari hasil valuasi diketahui nilai manfaat ekonomi mangrove sebagai pelindung pantai ini sebesar Rp. 322.726.950.000,00 per tahun. (3) Penahan abrasi Nilai manfaat ekonomi tidak langsung yang terbesar dari ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat adalah sebagai penahan abrasi, yaitu sebesar Rp.14.580.000.000.000,00 per tahun. Besaran nilai ini setara dengan biaya pembangunan penahan abrasi pantai (break waters) yang diasumsikan terbangun dari beton, yang bisa tahan hingga puluhan tahun. Pendekatan ini lebih pada pendekatan fungsi, sehingga manfaat yang ditimbulkan belum dihitung, misalnya seberapa besar masyarakat akan memberi harga terhadap fungsi-fungsi tersebut, tetapi lebih kepada berapa besar biaya yang digunakan dan berapa lama daya tahan bangunan tersebut. Dengan adanya ekosistem mangrove, pemerintah tidak perlu lagi membuat pemecah gelombang yang biayanya lebih tinggi dan memerlukan waktu yang lama untuk mengatasi masalah abrasi. Nilai manfaat tersebut diestimasi sesuai dengan kurs rupiah yang berlaku pada saat survei, dimana biaya bahan bangunan fisik pembuatan break waters adalah nilai sekarang (present values). Nilai
135 tersebut diperoleh melalui hasil survei pada beberapa responden yang mewakili, dengan metode pengambilan contoh untuk mendekati nilai sesungguhnya dari fungsi-fungsi fisik ekosistem mangrove. 6.2.3 Manfaat mangrove untuk wisata Potensi wisata bahari di sekitar ekosistem mangrove cukup besar. Namun karena potensi tersebut belum dikelola dengan optimal, ditambah lagi dengan belum adanya promosi yang sungguh-sungguh, maka kawasan mangrove belum menjadi tujuan utama untuk rekreasi bagi wisatawan. Hingga saat ini, kawasan wisata yang paling diburu di Kabupaten Raja Ampat adalah kawasan wisata terumbu karang (DKP-KRA 2006; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat 2006 dan 2007). Kawasan mangrove dapat memberikan nilai manfaat secara tidak langsung bagi masyarakat, yaitu bisa menjadi alternatif tujuan wisata sebagai lokasi wisata alam. Pohon, bunga dan buah mangrove yang memiliki keindahan dan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya, merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Umumnya wisatawan yang datang ke kawasan wisata mangrove sangat peka terhadap permasalahan lingkungan. Jadi semakin baik kondisi ekosistem mangrove, maka semakin banyak wisatawan yang datang berkunjung. Sehingga nilai manfaat ekosistem mangrove untuk wisata juga semakin tinggi. Wisatawan berani mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk bisa menikmati keindahan alam dan biodiversity yang ada di ekosistem mangrove. Dari hasil valuasi terhadap ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat, diketahui nilai manfaat sebagai kawasan wisata sebesar Rp. 238.962.759.554,87
per tahun. Valuasi
dilakukan melalui sejumlah uang yang dikeluarkan oleh wisatawan yang datang berekreasi ke kawasan tersebut.
6.2.4 Nilai keberadaan mangrove Ekosistem mangrove mempunyai peran penting dan bermanfaat bagi kehidupan manusia dan tidak semua masyarakat menyadarinya. Sebagai ilustrasi bahwa, dampak eksploitasi mangrove yang tidak terkendali baru dirasakan dikemudian hari setelah kerusakan semakin parah. Selain memiliki manfaat
136 langsung (direct use) dan manfaat tidak langsung (indirect use), ekosistem mangrove juga memiliki nilai manfaat pilihan. Misalnya kawasan ekosistem mangrove, bisa dialihfungsikan dari fungsi sebagai ekosistem mangrove menjadi kawasan pertambakan (Adrianto 2004; Fauzi dan Anna 2005; Dohar dan Anggraeni 2006). Berbagai kebutuhan ekonomi seringkali mendorong masyarakat untuk memanfaatkan ekosistem mangrove secara berlebihan, tanpa berfikir terhadap dampak yang mungkin ditimbulkannya. Salah satu faktor yang mendorong masyarakat memanfaatkan ekosistem mangrove secara berlebihan adalah rendahnya pengetahuan akan berbagai fungsi, manfaat serta pengelolaan ekosistem mangrove. Adapun nilai ekonomi keberadaan mangrove di Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Table 20. Table 20 Nilai keberadaan ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat No. 1 2 3
Uraian Rata-rata WTP (Rupiah) Luas ekosistem mangrove (Ha) Nilai keberadaan (Rupiah)
Nilai Kapitalisasi 280.357,00 14,43 4.045.553.571,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata masyarakat hanya mampu menghargai eksoistem mangrove dengan segala fungsinya sebesar Rp. 280.357,00 per tahun. Tinggi rendahnya nilai yang diberikan masyarakat sangat ditentukan oleh kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal terhadap manfaat ekosistem mangrove. Umumnya masyarakat menganggap bahwa kawasan mangrove merupakan kawasan terbuka untuk siapa saja yang ingin memanfaatkannya. Hal ini terlihat dari survei yang menunjukkan kecilnya nilai yang diberikan masyarakat terhadap kawasan mangrove tersebut. Besar kecilnya nilai yang diberikan oleh masyarakat, salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat yang dijadikan sample. Makin tinggi pendidikan masyarakat, maka kecenderungan memberikan nilai yang tinggi akan semakin besar, dan sebaliknya. Karena hal ini berkaitan dengan tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan suatu sumberdaya. Pada Gambar 21 terlihat kualifikasi responden yang dijadikan sample dalam penelitian ini, sebagian besar adalah berpendidikan SMP.
Persentase (%)
137
60 50 40 30 20 10 0 Tidak tamat SD
SD
SMP
SMA
Sarjana
Tingkat Pendidikan
Gambar 21 Tingkat pendidikan responden untuk manfaat keberadaan ekosistem mangrove di Kabupaten Raja Ampat Manfaat eksistensi atau manfaat keberadaan dari sumberdaya mangrove ini diestimasi dengan menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Berdasarkan valuasi nilai keberadaan sumberdaya mangrove, diperoleh hasil bahwa nilai keberadaan ekosistem mangrove sebesar Rp. 4.045.553.571,00 per tahun. Rendahnya nilai ini menunjukkan preference masyarakat dalam memberi nilai terhadap keberadaan sumberdaya mangrove tersebut (Adrianto 2004; Fauzi dan Anna 2005; Dohar dan Anggraeni 2006).