51 Sementara itu, Kabupaten Supiori dan Kabupaten Teluk Wondama tercatat sebagai daerah dengan rata-rata angka kesempatan kerja terendah selama periode 2008-2010. Kabupaten Supiori hanya memiliki rata-rata 6.403 orang, sedangkan Kabupaten Teluk Wondama memiliki rata-rata 11.101 orang.
5. PENGARUH BELANJA PEMERINTAH, INFRASTRUKTUR, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB Penelitian ini menggunakan analisis regresi data panel untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependennya. Dalam menggunakan analisis regresi data panel, ada beberapa prosedur yang harus dilakukan untuk dapat menentukan persamaan model yang tepat. Penentuan Model Persamaan Regresi Untuk mengestimasi parameter model regresi dengan data panel, terdapat 3 model yang biasa digunakan, yaitu: Common Effects Model atau Pooled, Fixed Effects Model, dan Random Effects Model. Setelah dilakukan penghitungan data dengan bantuan software Eviews 6.0, didapatkan nilai dari masing-masing model sebagai berikut: 5.1.
Tabel 6.
Nilai Variabel Independen dari Masing-masing Model Persamaan VARIABEL
Coefficient Std. error p-value Coefficient G Std. error Belanja Pemda p-value Coefficient I Std. error Infrastruktur p-value Coefficient L Std. error Tenaga Kerja p-value R square p-value (F-statistics) Constanta
Common Effects -8,298807 1,075814 0,0000 1,443890 0,177043 0,0000 0,092727 0,055073 0,0946 0,574507 0,096129 0,0000 0,640109 0,000000
Fixed Effects 3,220843 0,746253 0,0000 0,110092 0,062999 0,0841 0,256128 0,049438 0,0000 0,295785 0,065230 0,0000 0,998318 0,000000
Random Effects 1,831794 0,695988 0,0095 0,183637 0,059912 0,0026 0,200098 0,042072 0,0000 0,371886 0,059028 0,0000 0,408023 0,000000
Sumber: data olahan
Ketiga model persamaan data panel menunjukkan bahwa semua variabel independen (Belanja Pemerintah, Infrastruktur, dan Tenaga Kerja) memiliki pengaruh yang positif terhadap variabel dependen (PDRB). Selain itu, nilai pvalue secara keseluruhan (F-statistics) menunjukkan nilai kurang dari α. Hal ini
52 berarti bahwa setiap variabel independen keseluruhan, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Guna menentukan model regresi mana yang paling sesuai dengan karakter data yang digunakan, dilakukan sejumlah pengujian. Alat uji pertama adalah Uji Statistik F atau Likehood Ratio Test untuk menentukan mana yang lebih baik antara model Common Effects dengan model Fixed Effects. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7.
Hasil Uji Statistik F atau Likelihood Ratio Test
Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 421,162630 724,407891
d.f. Prob. (44,87) 0,0000 44 0,0000
Sumber: data olahan
Melihat nilai p-value sebesar 0,0000 untuk Cross-section F, yang berarti kurang dari α = 0,05 (Keputusan: tolak Ho) sehingga dapat disimpulkan dengan tingkat keyakinan 95 persen bahwa Model Fixed Effects lebih baik daripada Model Common Effects. Selanjutnya, untuk mengetahui mana yang lebih baik antara model Fixed Effects dengan model Random Effects dilakukan pengujian dengan Hausman Test. Hasilnya tersaji dalam tabel berikut: Tabel 8.
Hasil Hausman Test
Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 38,136352 3 0,0000
Sumber: data olahan
Melihat nilai p-value sebesar 0,0000 untuk Cross-section Random, yang berarti kurang dari α = 0,05 (Keputusan: tolak Ho) sehingga dapat disimpulkan dengan tingkat keyakinan 95 persen bahwa Model Fixed Effects lebih baik daripada Model Random Effects. Berdasarkan hasil Likehood Ratio Test dan Hausman Test di atas dapat disimpulkan bahwa Model Fixed Effects adalah model yang lebih baik daripada Model Common Effects maupun Model Random Effects. Hasil uji tersebut sesuai dengan teori. Menurut Gujarati (2004), keunggulan dari Model Fixed Effects adalah dapat mengakomodasi heteregonitas unit-unit observasi yang digunakan. Heteregonitas unit-unit observasi dapat dilihat pada cross section effect. Nilainilai tersebut mempengaruhi heteronitas konstanta intercept unit cross section yang digunakan. Kajian ini melibatkan 45 kabupaten/kota hasil pemekaran dari seluruh Indonesia yang tentu saja memiliki variasi (heterogenintas) yang tinggi. Oleh karena itu, heteregonitas unit observasi yang digunakan dalam kajian ini harus dapat diakomodasi untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih mendekati kenyataan. 5.2. Uji Asumsi Klasik Prosedur penghitungan analisis regresi data panel di atas menghasilkan
53 kesimpulan bahwa persamaan dengan model Fixed Effects adalah persamaan yang paling tepat digunakan dalam kajian ini. Setelah diketahui persamaan regresi yang paling tepat, perlu dilakukan berbagai uji asumsi klasik untuk menilai apakah persamaan yang dihasilkan memenuhi asumsi BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Hasil dari uji asumsi klasik dari model persamaan Fixed Effects adalah sebagai berikut: a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan uji Jarque-Bera dengan bantuan software Eviews 6.0 untuk melihat apakah data terdistribusi normal atau tidak. 16
Series: Standardized Residuals Sample 2008 2010 Observations 135
14 12 10 8 6 4 2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
0.000000 0.000988 0.134408 -0.103979 0.043899 0.226833 3.415883
Jarque-Bera Probability
2.130592 0.344626
0 -0.10
-0.05
-0.00
0.05
0.10
Sumber: data olahan
Gambar 14.
Hasil Uji Normalitas
Kriteria pengujian adalah bila nilai chi squaretabel > nilai JBhitung, maka Ho yang menyatakan residual berdistribusi normal diterima. Sebaliknya, bila nilai chi squaretabel < nilai JBhitung, maka Ho yang menyatakan residual berdistribusi normal ditolak. Nilai chi square dengan 3 variabel bebas pada tingkat kepercayaan 0,05 = 7,81472. Dikatakan berdistribusi normal jika nilai chi square > Jarque-Bera. Selain itu, dapat dikatakan berdistribusi normal jika pvalue > α. Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai Jarque-Bera adalah 2,130592. Sedangkan p-value sebesar 0,344626. Karena 7,81472 > 2,130592 dan 0,344626 > α maka dapat disimpulkan bahwa residual dalam persamaan Model Fixed Effects terdistribusi normal (Ho diterima). b. Uji Multikolinearitas Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji, apakah pada model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independent variable). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi tinggi di antara variabelvariabel bebas. Caranya dengan menghitung koefisien korelasi antar variabel bebasnya. Tabel 9.
Hasil Uji Multikolineritas
54
G I L
G 1,000000 -0,095745 0,4132525
I -0,095745 1,000000 0,467226
L 0,413252 0,467226 1,000000
Sumber: data olahan
Kriteria pengujian adalah bila koefisien antar variabel lebih kurang dari 1 maka Ho yang menyatakan tidak terdapat multikolinieritas diterima. Dari tabel di atas terlihat bahwa koefisien antar variabel terlihat sangat rendah (terletak di antara rentang -0,5 sampai 0,5). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinearitas antar variabel dalam persamaan model Fixed Effects di atas (Ho diterima). c. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linier terdapat korelasi antara serangkaian data observasi cross section atau time series-nya. Salah satu cara untuk mendeteksi gejala autokorelasi digunakan uji Durbin Watson. Caranya dengan membandingkan nilai Durbin Watson (d-hitung) dengan nilai d-tabel. Nilai Durbin Watson (d-hitung) dari persamaan model Fixed Effects di atas sebesar 1,896233. Dari tabel Durbin Watson diketahui bahwa nilai d-tabel untuk persamaan dengan 3 variabel bebas dan dengan n=145 adalah: dL = 1,6378 dan dU = 1,7645 dL 1,6378
dU
d
1,7645 1,896233
4-dU 2,2355
4-dL 2,3622
Karena nilai d-hitung (1,896233) terletak antara dU dengan (4-dU) maka berarti persamaan model Fixed Effects di atas tidak terdapat masalah autokorelasi. d. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas digunakan untuk mengetahui apakah terjadi penyimpangan model karena gangguan varian yang berbeda antar data observasi satu dengan data obsevasi lainnya. Heteroskedastisitas muncul apabila error atau residual model yang diamati tidak memiliki varian yang konstan dari satu observasi ke obsevasi lainnya. Caranya adalah dengan melakukan regresi antara harga mutlak residual (error) dengan variabelvariabel bebas. Dari hasil penghitungan tersebut diketahui bahwa nilai p-value sebesar 0,443530 > α. Dengan demikian, tidak terdapat pelanggaran asumsi homoskedastisitas dari persamaan model Fixed Effects di atas (Ho diterima). Hasil uji asumsi klasik di atas memperlihatkan bahwa persamaan regresi Fixed Effect yang digunakan dalam analisis ini semuanya memenuhi asumsi uji klasik atau dapat dikatakan BLUE. 5.3. Interpretasi Model
55 Dari persamaan regresi model Fix Effects yang ditunjukkan dalam Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa model persamaan yang tepat untuk melihat pengaruh belanja pemerintah, infrastruktur, dan tenaga kerja terhadap PDRB kabupaten/kota hasil pemekaran dapat dijabarkan dalam persamaan sebagai berikut: lnY = 3,220843 + ln 0,110092 G + ln 0,256128 l + ln 0,295785 L Tabel 6 juga menginformasikan nilai R-squared (R2) sebesar 0,998460. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Belanja Pemerintah, Infrastrukur, dan Tenaga Kerja mampu menjelaskan peningkatan PDRB di kabupaten/kota hasil pemekaran sebesar 99,846%. Sedangkan p-value (Prob) dari F-Statistics sebesar 0,00000 (lebih kecil dari α = 0,05 yang berarti Ho ditolak) menunjukkan bahwa variabel Belanja Pemerintah, Infrastruktur, dan Tenaga Kerja secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel PDRB di kabupaten/kota hasil pemekaran. 5.3.1. Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap PDRB Dari persamaan model di atas, dapat diinterpretasikan bahwa variabel Belanja Pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap PDRB Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran dengan koefisien sebesar 0,110092. Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan Belanja Pemerintah sebesar 1% akan meningkatkan PDRB sebesar 0,110092% (dengan asumsi ceteris paribus). Memperhatikan pvalue dari t-Statistics sebesar 0,0841 yang lebih besar dari α = 0,05 (keputusan: Ho diterima) menunjukkan bahwa secara parsial variabel Belanja Pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap PDRB. Hal ini terkait dengan masih tingginya porsi Belanja Operasional dibanding Belanja Modal dalam realisasi Total Belanja pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran sehingga tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Temuan ini sesuai dengan Teori Rostow dan Musgrave yang mengemukakan bahwa pemerintah dalam tahap awal seharusnya memiliki porsi Belanja Modal yang besar. Hubungan antara Belanja Pemerintah dengan PDRB bersifat linerar positif. Hal ini dapat dilihat dari slope garis regresi dalam diagram scatter antara kedua variabel (Gambar 5.2). Dari diagram scatter itu juga terlihat bahwa pola sebaran data menunjukkan hubungan yang linear positif antara Belanja Pemerintah dengan PDRB.
56 10
9
Y
8
7
6
5
4 5.5
6.0
6.5
7.0
7.5
8.0
X1
Sumber: data olahan Ket: Y = PDRB, X1 = Belanja Pemerintah
Gambar 15. Diagram Scatter Belanja Pemerintah dengan PDRB Hubungan yang positif antara variabel Belanja Pemerintah dengan PDRB sesuai dengan Hukum Wagner yang menyebutkan bahwa semakin besar pertumbuhan ekonomi maka secara relatif pengeluaran pemerintah akan semakin meningkat . Hasil ini juga sesuai dengan penelitian Mubaroq, et al. (2013) dan Candra (2012) Kedua penelitian tersebut menemukan bahwa investasi (belanja) pemerintah memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks penelitian ini, belanja pemerintah daerah dapat dijadikan sebagai instrumen untuk melihat akumulasi modal yang dimiliki pemerintah daerah. Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), belanja pemerintah dibagi atas 3 alokasi utama, yakni: Belanja Operasional, Belanja Modal, dan Belanja Tak Terduga. Nilai pemupukan modal pemerintah daerah dapat dilihat dari pos Belanja Modal. Dalam APBD, Belanja Modal diterjemahkan sebagai belanja yang dilakukan dalam rangka pemupukan modal dalam aset fisik, seperti tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, serta dalam bentuk fisik lainnya. Selain Belanja Modal, dalam belanja pemerintah juga terdapat pos alokasi yang disebut: Belanja Bantuan Sosial (Bansos). Meskipun dalam struktur APBD, Belanja Bansos masuk dalam Belanja Operasional, namun pada dasarnya Belanja Bansos juga turut membantu pemupukan modal di daerah. Belanja Bansos, misalnya, digunakan untuk dana pendamping pada pembiayaan program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri atau P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) yang bentuknya banyak berupa bantuan permodalan secara bergulir untuk masyarakat pelaku usaha kecil. 5.3.2. Pengaruh Infrastruktur terhadap PDRB Kondisi yang sama juga terjadi pada variabel Infrastruktur. Variabel yang diproksi dengan rasio panjang jalan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran terhadap luas wilayah ini memiliki memiliki
57 pengaruh yang positif terhadap PDRB Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran dengan koefisien sebesar 0,256128. Hal ini bisa diartikan bahwa setiap kenaikan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah sebesar 1% akan meningkatkan PDRB sebesar 0,256128% (dengan asumsi ceteris paribus). Memperhatikan p-value dari t-Statistics sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari α = 0,05 (keputusan: Ho ditolak) menunjukkan bahwa secara parsial variabel Infrastruktur berpengaruh signifikan terhadap PDRB. Hasil ini sesuai dengan kajian-kajian yang dilakukan World Bank tentang pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil kajian ini juga sesuai dengan Teori Solow tentang pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana telah disinggung di bagian sebelumnya bahwa menurut Solow pertumbuhan ekonomi berasal dari salah satu atau lebih dari tiga faktor berikut, yakni: pertumbuhan kapital (akumulasi modal), tenaga kerja, dan teknologi. Faktor kapital dapat terdiri dari investasi dan tabungan. Oleh karena itu dalam pandangan Solow, investasi fisik—seperti: infrastruktur jalan—termasuk dalam faktor kapital. Dalam pemahaman ini, kualitas dan kuantitas infrastruktur yang tersedia akan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena dengan ketersediaan infrastruktur yang baik akan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan efisiensi. Kondisi tersebut diharapkan akan menstimulasi tumbuhnya investasi. Investasi akan meningkatkan produktifitas, dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dalam konteks pembangunan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota hasil pemekaran. Kondisi ketersediaan infrastruktur sebagian besar daerah baru hasil pemekaran relatif tertinggal jika dibanding dengan daerah induknya. Oleh karena itu, untuk mengejar pertumbuhan ekonomi agar tidak tertinggal jauh dari daerah induknya, salah satu upaya strategis yang perlu dilakukan pemerintah kabupaten/kota hasil pemekaran adalah memacu penyediaan infrastruktur, terutama jalan. 10
9
Y
8
7
6
5
4 -6
-4
-2
0
2
X2
Sumber: data olahan Ket: Y = PDRB, X2 = Infrastruktur
Gambar 16.
Diagram Scatter Infrastruktur dengan PDRB
Adanya hubungan yang linear positif antara variabel infrastruktur dengan
58 PDRB terlihat dalam pola sebaran data di diagram scatter pada Gambar 5.3. Dari diagram tersebut juga terlihat adanya pencilan dan kondisi sebaran data yang lebih melebar. Meskipun demikian, sesuai hasil uji normalitas, posisi sebaran data masih dalam batas normal. Hal ini menunjukkan adanya variasi yang besar dari kondisi infrastruktur (rasio panjang jalan) di masing-masing kabupaten/kota hasil pemekaran yang diteliti. Posisi titik di sumbu X yang lebih banyak bernilai negatif menunjukkan bahwa rasio jalan sebagian besar kabupaten/kota hasil pemekaran kurang dari 1. 5.3.3. Pengaruh Tenaga Kerja terhadap PDRB Berdasarkan persamaan regresi data panel di atas, variabel Tenaga Kerja yang menggunakan indikator angka kesempatan kerja memiliki pengaruh yang positif terhadap PDRB Kabupaten/Kota Hasil Pemekaran dengan koefisien sebesar 0,295785. Nilai koefisien variabel tenaga kerja ini merupakan nilai yang terbesar dibanding koefisien yang dihasilkan oleh variabel lainnya. Dengan nilai koefisien tersebut dapat diartikan bahwa setiap kenaikan jumlah kesempatan kerja sebesar 1% akan meningkatkan PDRB sebesar 0,295785% (dengan asumsi ceteris paribus). Memperhatikan p-value dari t-Statistics sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari α = 0,05 (keputusan: Ho ditolak) menunjukkan bahwa secara parsial variabel Tenaga Kerja berpengaruh signifikan terhadap PDRB. Hubungan positif antara variabel Tenaga Kerja dengan PDRB juga dapat dilihat pada diagram scatter pada Gambar 5.4. Di situ terlihat bahwa pola sebaran data relatif solid dan menunjukkan adanya hubungan yang linear positif di antara kedua variabel. 10
9
Y
8
7
6
5
4 8
9
10
11
12
13
14
X3
Sumber: data olahan Ket: Y = PDRB, X3 = Tenaga Kerja
Gambar 17.
Diagram Scatter Tenaga Kerja dengan PDRB
Hasil ini sesuai dengan Teori Solow menjelaskan bahwa tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Semakin besar jumlah tenaga kerja, maka akan semakin besar pula pertumbuhan ekonomi. Hasil ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan
59 Mubaroq et.al (2013) dan Candra (2012).