38
4 Kajian Antidiare Kandidat Probiotik Lactobacillus plantarum MB427 Asal Mandai pada Tikus yang Diinfeksi Escherichia coli Enteropatogenik ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan bakteri kandidat probiotik Lactobacillus plantarum MB427 asal mandai sebagai antidiare yang disebabkan oleh Escherichia coli enteropatogenik (EPEC) secara in vivo. Kultur L. plantarum MB427 (1 x 109 cfu) dan EPEC (1 x 1010 cfu) diberikan pada tikus Sprague-Dawley dengan menggunakan sonde satu kali per hari. Pemberian bakteri kandidat probiotik pada tikus sebelum dan setelah diinfeksi oleh EPEC untuk melihat pengaruhnya terhadap penurunan kejadian diare, jumlah bakteri asam laktat dan E. coli saluran pencernaan, serta respon imun yang ditimbulkan sebagai reaksi tikus terhadap infeksi. Bakteri kandidat probiotik L. plantarum MB427 yang diberikan pada tikus dapat menurunkan jumlah kejadian, tingkat keparahan dan durasi diare dibandingkan dengan kontrol yang hanya diinfeksi EPEC. Tikus yang menerima L. plantarum MB427 7 hari sebelum sampai 7 hari setelah diinfeksi EPEC menunjukkan jumlah kejadian dan tingkat keparahan diare lebih ringan dibandingkan kelompok yang menerima L. plantarum MB427 bersamaan dengan infeksi EPEC sampai 7 hari setelahnya. Kandidat probiotik L. plantarum MB427 mampu bertahan melewati saluran gastrointestinal tikus dan dapat mempertahankan jumlahnya dibandingkan dengan kontrol. L. plantarum MB427 juga memperlihatkan kemampuan beradhesi dan berkolonisasi pada saluran gastrointestinal tikus (sekum dan kolon). Tidak ditemukan indikasi adanya kemungkinan L. plantarum MB427 bersifat invasif. Kelompok yang menerima L. plantarum MB427 7 hari sebelum sampai 7 hari setelah diinfeksi EPEC menunjukkan nilai IgA dan IgG lebih tinggi daripada kelompok yang mendapat probiotik bersamaan dengan infeksi EPEC sampai 7 hari setelahnya. Berdasarkan data yang diperoleh, pemberian L. plantarum MB427 dapat dipertimbangkan dalam mencegah dan mengurangi durasi, kejadian serta tingkat keparahan diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC. Kata kunci: probiotik, antidiare, EPEC, mandai, Lactobacillus plantarum
PENDAHULUAN Penyakit-penyakit infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri enteropatogen masih menjadi masalah besar dalam dunia kesehatan khususnya pada anak-anak. Di Indonesia, proporsi kematian akibat diare secara umum adalah 3,5 per seratus kematian. Untuk kelompok bayi dan balita, diare menjadi penyebab kematian tertinggi dengan proporsi 31,2% untuk bayi dan 25,2% untuk kelompok balita (Balitbangkes 2007).
39
Beberapa penelitian menyarankan penggunaan probiotik untuk mengatasi infeksi saluran pencernaan. Keberadaan probiotik, yang didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang jika dikonsumsi dalam jumlah yang tepat akan memberikan manfaat bagi kesehatan inang (FAO/WHO 2002), dapat membantu mencegah infeksi saluran pencernaan dan menjaga keseimbangan mikrobiota usus. Kemampuan probiotik memproteksi usus diduga melalui beberapa mekanisme, seperti kemampuan untuk berkompetisi memperebutkan nutrisi, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri enterik dalam saluran pencernaan manusia. Probiotik juga mampu berkompetisi dalam memperebutkan sisi adhesi pada permukaan sel usus dengan bakteri-bakteri patogen penyebab infeksi saluran pencernaan sehingga dapat menghambat adhesi atau mengeksklusi bakteri patogen, ataupun menggantikan (displacement) sisi adhesi bakteri pathogen yang telah lebih dulu beradhesi di usus (Collado et al. 2007, Lee et al. 2003). Dalam pedoman evaluasi penentuan kriteria sebagai probiotik (FAO/WHO, 2002), pengujian probiotik secara in vitro seperti resistensi terhadap keasaman lambung, garam empedu, sifat antimikroba dan reduksi adhesi pathogen, perlu diikuti dengan evaluasi in vivo menggunakan hewan model untuk mengetahui sifat fungsional probiotik dalam mengatasi infeksi saluran pencernaan pada manusia, maupun untuk mengevaluasi nilai keamanan probiotik, sebelum dilakukan percobaan klinis pada manusia. Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu penyebab diare berair yang utama di Indonesia dengan prevalensi 55% dari sampel fekal balita penderita diare di beberapa wilayah di Jawa Barat (Budiarti, 1997). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik pada tikus yang diare karena infeksi EPEC telah berhasil mereduksi diare dan memodulasi imunitas tubuh. Pemberian probiotik L. plantarum 2C12 dan L. acidophilus 2B4 pada tikus yang diinduksi diare dengan pemberian EPEC telah menurunkan diare dan menurunkan E. coli pada mukosa dan isi sekum (Arief et al. 2010), serta meningkatkan kandungan IgA di usus halus (Wresdiyati et al. 2013). Pemberian yoghurt sinbiotik yang dibuat menggunakan L. acidophilus 2B4 sebagai salah satu starter, secara sangat nyata dapat menurunkan nilai leukosit, trombosit dan hematokrit tikus percobaan (Astawan et al. 2012). Empat isolat probiotik asal ASI dapat menurunkan jumlah E. coli pada sekum, meningkatkan jumlah total bakteri asam laktat tanpa adanya potensi invasi, menginduksi sekresi IgA (Nuraida et al. 2012a). Weissella paramesenteroides yang diberikan pada mencit yang diinduksi diare dengan EPEC menurunkan inflamasi yang ditandai dengan turunnya TNF-α pada feses dan menyeimbangkan mikroflora usus (Aslinar et al. 2014). Mandai merupakan makanan fermentasi tradisional dari dami (bagian buah yang tidak dikonsumsi) cempedak. Sepuluh isolat bakteri asam laktat yang telah diisolasi dari mandai, dikarakterisasi potensinya sebagai probiotik dan diidentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum (Emmawati et al. 2014). Lima isolat terpilih telah diuji sifat agregasi dan adhesi pada kultur sel HCT-116, diikuti dengan evaluasi kemampuannya untuk berkompetisi dan menghambat penempelan tiga bakteri patogen (Listeria monocytogenes, Salmonella enterica serovar Typhimurium dan EPEC) pada kultur sel HCT-116. Isolat L. plantarum MB427 menunjukkan
40
kemampuan terbaik dalam melakukan adhesi, berkompetisi, mengeksklusi dan menggantikan sisi adhesi yang sebelumnya telah ditempati bakteri patogen. Di antara ketiga patogen, isolat L. plantarum MB427 menunjukkan kemampuan adhesi, kompetisi dan eksklusi terbaik terhadap EPEC (Emmawati et al., submitted). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi lebih lanjut kemampuan L. plantarum MB427 pada tikus yang diinfeksi oleh EPEC untuk melihat pengaruhnya terhadap penghambatan infeksi dan pencegahan diare, jumlah bakteri asam laktat dan E. coli usus, serta respon imun yang ditimbulkan sebagai reaksi tikus terhadap infeksi EPEC. METODE PENELITIAN Kultur Bakteri dan Hewan Coba Kultur bakteri Escherichia coli enteropatogenik K1.1 diperoleh dari Departemen Biologi FMIPA IPB, dipelihara dalam TSB yang disuplementasi dengan 100 µg/ml ampisilin. Isolat L. plantarum MB427 yang sebelumnya telah diisolasi dari mandai dipelihara dalam MRS broth. Tikus Norway (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley berumur 5 minggu diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner. Penentuan Dosis EPEC yang Dapat Menyebabkan Diare pada Tikus Sebelum dilakukan pengujian pengaruh probiotik terhadap infeksi EPEC, terlebih dahulu dilakukan penentuan dosis EPEC yang harus diberikan pada tikus yang dapat menyebabkan diare yang persisten. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 15 ekor tikus Sprague-Dawley usia 5-6 minggu dengan bobot awal 80100 g yang dibagi menjadi tiga kelompok, masing-masing terdiri atas 5 ekor tikus. Tikus ditempatkan dalam kandang dengan kondisi terkontrol (suhu 22 oC, kelembaban 55%) dan 12 jam siklus gelap/terang. Pemberian makanan dan minuman dilakukan secara ad libitum dengan komposisi seimbang secara konvensional (22% protein, 6.5% serat kasar, 10.5% total mineral, 1.4% kalsium, 0.7% fosfor, dan 12.7% vitamin) berdasarkan AOAC (1999). Sisa makanan dikumpulkan setiap hari dan ditimbang. Berat badan tikus ditimbang setiap dua hari. Feses dikumpulkan setiap hari dan diamati bentuk, warna dan konsistensinya secara visual. Sebelum diberi perlakuan, tikus diadaptasi dengan kondisi kandang selama 7 hari. Bakteri penyebab infeksi yang digunakan adalah EPEC K1.1. Dosis yang diberikan ditentukan dengan perlakuan 3 dosis, yaitu 1 x 108, 1 x 109 dan 1 x 1010 cfu. Setiap kelompok tikus diberi 0.5 ml suspensi EPEC dengan konsentrasi masingmasing 2 x 108, 2 x 109 dan 2 x 1010 cfu/ml. Penentuan kondisi diare pada feses tikus dilakukan setiap hari dengan mengacu pada Bristol Stool Chart (Heaton dan Lewis, 1997). Pada Bristol Stool Chart, feses tipe 5-7 mengindikasikan kejadian diare. Feses tipe 5 kriterianya adalah soft blobs with clear cut edges, yaitu feses lunak yang bentuknya masih jelas terlihat. Feses tipe 6 kriterianya adalah fluffy pieces with ragged edges, a mushy stool, yaitu feses berbentuk serpihan yang sangat lembek. Feses tipe 7 kriterianya adalah watery, no solid pieces, feses berupa cairan tanpa adanya padatan.
41
Pengaruh Pemberian L. plantarum MB427 terhadap Diare pada Tikus Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui respon individu tikus terhadap pemberian probiotik sebagai pencegah infeksi EPEC pada individu yang sebelumnya telah mengkonsumsi probiotik dan respon tikus terhadap pemberian probiotik untuk mengobati infeksi EPEC pada individu tikus. Masing-masing individu tikus dipelihara dalam kandang individu dan menerima makanan dan minuman secara ad libitum. Komposisi makanan seimbang secara konvensional (22% protein, 6.5% serat kasar, 10.5% total mineral, 1.4% kalsium, 0.7% fosfor, dan 12.7% vitamin) berdasarkan AOAC (1999). Tabel 4.1. Pengelompokan tikus dan jenis perlakuan yang diberikan Waktu Pemberian
Kelompok
Perlakuan
1
Kontrol negatif (KN), tidak menerima probiotik dan tidak diinfeksi EPEC
2
Kontrol EPEC (KE), tidak menerima probiotik, diinfeksi EPEC pada hari ke-0
Diinfeksi EPEC
3
Kontrol probiotik (KP), menerima probiotik pada hari 0 sd 7, tidak diinfeksi EPEC
L. plantarum MB427 1x109 cfu
L. plantarum MB427 1x109 cfu
4
Penerima probiotik prainfeksi (PA), menerima probiotik seminggu sebelum diinfeksi EPEC sampai seminggu setelahnya, diinfeksi EPEC pada hari ke-0
L. plantarum MB427 1x109 cfu Diinfeksi EPEC
L. plantarum MB427 1x109 cfu
5
Penerima probiotik pascainfeksi (PB), diinfeksi pada hari ke-0, menerima probiotik hingga hari ke-7
L. plantarum MB427 1x109 cfu Diinfeksi EPEC
L. plantarum MB427 1x109 cfu
H -7 sd H-1
L. plantarum MB427 1x109 cfu
H0
H1 sd H7
42
Pengujian dilakukan sesuai metode Gagnon et al. (2006), mempergunakan lima kelompok tikus (masing-masing sembilan ekor) dengan perlakuan sebagaimana Tabel 4.1. Perlakuan untuk kelima kelompok didesain sebagai berikut: Kelompok kontrol negatif yang tidak menerima probiotik dan tidak diinfeksi EPEC, kelompok kontrol EPEC yang diinfeksi EPEC pada hari ke-0, kelompok probiotik yang menerima probiotik selama seminggu, kelompok penerima probiotik prainfeksi yang menerima probiotik seminggu sebelum diinfeksi EPEC sampai seminggu setelahnya, kelompok penerima probiotik pascainfeksi yang menerima probiotik setelah diinfeksi EPEC selama seminggu. L. plantarum MB427 dan EPEC diberikan dengan menggunakan sonde (dicekok) satu kali per hari, sejumlah 0.5 ml yang mengandung 2.0 x 10 9 cfu isolat bakteri asam laktat atau 2.0 x 1010 cfu. Sisa makanan dikumpulkan setiap hari dan ditimbang. Berat badan tikus ditimbang setiap dua hari. Feses dikumpulkan dan diamati setiap hari. Pada hari ke-7 enam ekor tikus dibedah dan diambil sampel darah, organ limfa, hati, sekum dan isi sekum serta kolon dan feses. Tiga tikus tersisa dari masing-masing kelompok dibedah pada hari ke-14 dan diambil sampel darahnya serta organ seperti sebelumnya. Analisis IgA dilakukan pada hari ketujuh dan IgG pada hari keempat belas, dilakukan pada serum yang diambil langsung dari jantung tikus. Analisis IgA dan IgG dilakukan di Laboratorium Amerind Bioclinic (terakreditasi KAN) dengan metode turbidimetri. Analisis Total Bakteri Asam Laktat dan E. coli Feses, Isi Sekum dan Organ Tikus (Gagnon et al. 2006) Analisis mikroba dilakukan pada feses dan isi sekum tikus sesuai standar BAM (2001). Feses dari enam individu tikus per kelompok dikumpulkan setiap 2 hari dengan cara menekan abdomen tikus bagian bawah. Feses setiap dua ekor tikus disatukan. Sejumlah 100 mg feses dilarutkan dalam 1 ml BPW steril dan dilakukan seri pengenceran. Pemupukan dilakukan dengan media MRSA untuk total bakteri asam laktat dan EMBA untuk E. coli. Pada bagian dalam sekum dan kolon yang telah dicuci dengan PBS steril, dilakukan pengikisan pada luasan 1x1 cm2 sekum/kolon, dilanjutkan dengan seri pengenceran dalam BPW dan pemupukan pada media MRSA untuk total bakteri asam laktat dan EMBA untuk E. coli. Analisis translokasi bakteri (Zago et al. 2011) Analisis translokasi bakteri dilakukan pada kelompok yang memperoleh produk tetapi tidak diinfeksi. Pada hari ke-7 dan ke-14, tikus diterminasi secara euthanasia menggunakan dietil eter. Organ limfa dan hati diambil, dihomogenisasi dalam BPW steril, dilakukan pemupukan pada EMBA untuk E. coli dan MRSA untuk bakteri asam laktat. Translokasi bakteri dinyatakan dengan positif atau negatif sesuai ada atau tidak adanya pertumbuhan pada cawan. Translokasi bakteri diharapkan negatif karena umumnya bakteri tidak terdapat pada limfa dan hati.
43
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan dosis EPEC yang Dapat Menyebabkan Diare pada Tikus Respon diare pada tikus yang diberi perlakuan dosis 108 cfu baru terlihat pada hari kedua, dimana 3 dari lima ekor tikus mengalami diare. Diare pada kelima tikus dalam kelompok baru terjadi pada hari keempat. Pada hari kelima, terdapat tikus yang sudah sembuh dari diare. Pada kelompok yang diberi perlakuan EPEC 10 9 cfu, dua dari lima ekor tikus mengalami diare pada hari pertama. Diare pada kelima individu tikus dalam kelompok baru terjadi pada hari ketiga. Pada hari keempat, terdapat individu tikus yang mengalami kesembuhan. Pada kelompok yang mendapat perlakuan EPEC 1010 cfu, pada hari kedua, kelima tikus dalam kelompok sudah mengalami diare sampai hari kelima. Umumnya tikus mengalami diare tipe 5 (feses lunak yang bentuknya masih jelas terlihat) dan tipe 6 (feses berbentuk serpihan yang sangat lembek) dari Skala Bristol. Pada tikus yang mendapat dosis EPEC lebih tinggi, jumlah kejadian diare dengan feses tipe 6 lebih banyak, mengindikasikan diare yang lebih parah. Tabel 4.2. Pengaruh dosis EPEC dalam menginduksi diare pada tikus Dosis EPEC Jumlah tikus diare per total tikus pada hari ke(cfu/ml) 1 2 3 4 5 8 log 0/5 3/5a 4/5ab 5/5ab 4/5a 9 log 2/5a 3/5ab 5/5ab 4/5ab 3/5a ab ab ab ab 10 log 3/5 5/5 5/5 5/5 5/5ab Keterangan: a Diare tipe 5 pada Bristol Stool Chart b Diare tipe 6 pada Bristol Stool Chart Nuraida et al. (2012b) melakukan pengujian diare pada tikus dengan dosis EPEC 108 cfu dengan hasil empat tikus mengalami diare pada hari pertama, akan tetapi pada hari ketiga, semua tikus telah sembuh dari diare dengan sendirinya. Diare karena EPEC diketahui merupakan diare yang relatif moderat, tidak melibatkan toksin dan tidak terjadi invasi ke dalam sel inang sehingga memudahkan proses pemulihan (Vallance dan Finlay 2000). Dari respon diare tikus terhadap tiga dosis EPEC, maka dosis EPEC yang dipergunakan untuk perlakuan infeksi pada tikus dalam penelitian antidiare adalah 1010 cfu/ml sebagai dosis tunggal. Arief et al. (2011) menggunakan dosis 10 6 cfu/ml untuk pengujian EPEC pada tikus dengan pemberian selama tujuh hari berturut-turut, sedangkan Nuraida et al. (2012) menggunakan dosis 108 cfu/ml sebagai dosis tunggal pengujian EPEC pada tikus. Penelitian Yoda et al. (2014) yang menginfeksi dosis tunggal 107 cfu EPEC mencit menunjukkan bahwa diare hingga feses lunak teramati pada 30% dan 40% mencit pada hari pertama, sedangkan pada hari kedua feses lunak
44
teramati pada 60% mencit dan tidak ada yang mengalami diare. Adanya feses lunak tetap teramati hingga hari ketujuh. Hasil ini mengindikasikan bahwa dosis tunggal yang rendah hanya akan menghasilkan diare ringan pada hewan laboratorium, sehingga untuk menghasilkan diare yang persisten perlu diberikan dosis tinggi. Studi pada manusia menunjukkan bahwa dosis EPEC 106 cfu/ml sudah cukup untuk menimbulkan diare. Infeksi EPEC banyak dihubungkan dengan kejadian luar biasa yang menyerang bayi dan balita, khususnya di negara berkembang, menghasilkan tingkat kematian yang tinggi. Prevalensi EPEC lebih tinggi pada bayi dan balita yang sistem imunnya relatif masih lemah. Patogenesis EPEC banyak duji menggunakan hewan coba, akan tetapi sulit menghasilkan diare pada hewan coba dengan dosis tunggal jika tidak menggunakan dosis tinggi. Hewan coba dalam penelitian ini bukan merupakan jenis tikus gnotobiotik, melainkan hewan laboratorium biasa yang sejak lahir sudah terpapar mikroba baik melalui lingkungan maupun makanan. Diduga, faktor pemaparan lingkungan mempengaruhi tingginya dosis yang harus diberikan pada tikus agar menimbulkan diare yang persisten. Efisiensi konsumsi ransum dan kenaikan bobot badan Kelompok yang menerima infeksi EPEC tanpa disertai pemberian probiotik mengkonsumsi ransum dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang juga diinfeksi EPEC tetapi sebelumnya telah menerima probiotik (Tabel 4.3). Pertambahan bobot badan per hari dan efisiensi ransum tidak menunjukkan perbedaan nyata pada semua kelompok. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Gagnon et al. (2006) dan Arief et al. (2010) menunjukkan bahwa tikus yang tidak diinfeksi mengkonsumsi ransum lebih banyak. Pada penelitian Arief et al. (2010) tidak hanya tikus yang mendapat probiotik, tetapi juga kelompok kontrol mengalami pertambahan bobot tubuh lebih tinggi dan efisiensi ransum lebih tinggi.
Tabel 4.3. Konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan tikus per hari Kelompok
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) Kontrol Negatif (KN) 19.46 ± 2.46ab Kontrol EPEC (KE) 18.05 ± 1.75b Kontrol Probiotik (KP) 18.70 ± 3.91ab Probiotik Prainfeksi (PA) 19.92 ± 1.41a Probiotik pascainfeksi (PB) 18.29 ± 1.81ab Nilai rata-rata dalam kolom yang sama dengan berbeda nyata pada P<0.05
Pertambahan Efisiensi bobot badan Ransum (g/ekor/hari) (%) a 6.39 ± 0.94 32.84 6.22 ± 2.24a 34.46 a 6.50 ± 0.71 34.75 a 7.00 ± 0.71 35.14 a 6.71 ± 2.59 36.68 superskrip berbeda menunjukkan
45
Kenaikan bobot badan tikus selama satu minggu perlakuan terekam pada Tabel 4.4. Berat badan kelima kelompok tikus tetap meningkat sampai hari ketujuh dengan laju kenaikan antar semua kelompok tikus tidak berbeda nyata. Diare karena infeksi EPEC tidak berpengaruh pada bobot badan dan konsumsi ransum tikus. Diduga tidak adanya pengaruh diare pada bobot badan karena diare akibat EPEC hanya merupakan diare ringan (tipe 5-6 pada skala Bristol) sehingga tidak sampai mempengaruhi jumlah ransum yang dikonsumsi tikus. Gagnon et al. (2006) melaporkan penurunan bobot badan terjadi pada kelompok yang diinfeksi sampai hari keempat dan mengalami kenaikan kembali sampai hari ke-7. Dalam penelitian Arief et al. (2010) yang memberi durasi perlakuan lebih lama, bobot badan tikus dari kelompok yang mendapat infeksi, mulai menurun setelah tikus diinfeksi selama minggu kedua.
Tabel 4.4. Kenaikan bobot badan tikus selama satu minggu setelah infeksi Kelompok Kontrol Negatif (KN) Kontrol EPEC (KE) Kontrol Probiotik (KP) Probiotik Prainfeksi (PA) Probiotik pascainfeksi (PB)
0 6.4 5.6 6.5 6.1 6.2
Hari setelah infeksi (g) 2 4 6.5 6.2 6.1 6.4 6.5 6.4 6.7 7.3 6.5 6.9
7 6.5 6.5 6.7 7.6 7.2
Kejadian Diare pada Lima Kelompok Tikus Setelah Infeksi Pada hari ke-0, tiga kelompok tikus memperoleh infeksi EPEC sejumlah 10 10 cfu untuk menginduksi diare. Kejadian diare diamati secara visual terhadap feses yang keluar mulai hari ke-1 dari masing-masing tikus dalam setiap kelompok (Tabel 4.5). Pengamatan terhadap feses dilakukan mulai hari ke-1 setelah infeksi EPEC karena infeksi bakteri patogen membutuhkan waktu untuk dapat terlihat dampaknya pada individu yang terinfeksi. EPEC yang dikonsumsi harus melewati saluran pencernaan tikus sampai di kolon, melakukan penempelan pada mucus, menginduksi keluarnya elektrolit sehingga terjadi diare (Valance dan Finlay 2000). Tiga kelompok tikus yang diberi EPEC (kontrol EPEC, probiotik prainfeksi dan probiotik pasca infeksi) mengalami diare mulai hari ke-1. Diare yang dialami oleh dua pertiga tikus dalam tiga kelompok yang diberi EPEC ini tergolong dalam diare tipe 5 dan 6 dalam skala Bristol. Pada kelompok kontrol EPEC, 6 dari 9 tikus mengalami diare pada hari ke-1. Jumlah tikus yang mengalami diare bertambah pada hari ke-2 dan ke-3. Penurunan jumlah kejadian diare pada tikus mulai terjadi pada hari ke-4 sampai ke-6. Tikus anggota kelompok kontrol EPEC umumnya mengalami diare tipe 5 pada Skala Bristol. Pada hari ke-1 sampai hari ke-3, terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol. Durasi diare untuk kelompok EPEC adalah 6 hari.
46
Tabel 4.5. Kejadian diare pada tikus dalam tujuh hari setelah infeksi EPEC Kelompok
Jumlah tikus diare per total tikus pada hari setelah infeksi
H-1 1/9a 6/9ab 0/9 5/9ab 6/9ab
H-2 0/9 7/9ab 0/9 4/9a 5/9ab
Kontrol negatif (KN) Kontrol EPEC (KE) Kontrol Probiotik (KP) Probiotik prainfeksi (PA) Probiotik pascainfeksi (PB) Keterangan: a Diare tipe 5 pada Bristol Stool Chart b Diare tipe 6 pada Bristol Stool Chart
H-3 0/9 8/9ab 0/9 3/9a 5/9a
H-4 0/9 5/9a 0/9 2/9a 4/9a
H-5 0/9 3/9a 0/9 1/9a 2/9a
H-6 0/9 1/9a 0/9 0/9 0/9
H-7 0/9 0/9 0/9 0/9 0/9
Pada hari pertama, dari seluruh tikus kelompok kontrol negatif terdapat 1 ekor tikus yang mengalami diare tipe 5 pada skala Bristol dan hanya berlangsung 1 hari. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kontaminasi dari sumber lain seperti dari makanan. Tidak seekor pun tikus dari kelompok probiotik mengalami diare. Kelompok tikus yang memperoleh probiotik prainfeksi dan pascainfeksi mengalami kejadian diare sejak hari pertama dengan jumlah 5 dan 6 ekor, secara berurutan. Jumlah kejadian diare serta tingkat keparahan serupa dengan kelompok kontrol EPEC. Pemberian probiotik pra- dan pascainfeksi tidak dapat mencegah individu tikus dari kejadian diare karena infeksi EPEC. Kelompok prainfeksi EPEC telah menerima probiotik 7 hari sebelum infeksi EPEC. Selama 7 hari pemberian, probiotik melewati saluran, melakukan adhesi dan kolonisasi di usus. Kemampuan adhesi L. plantarum MB427 adalah sebesar 70% pada sel HCT-116. EPEC yang diinfeksikan juga melakukan adhesi pada sel epitel usus tikus. Kemampuan L. plantarum MB427 menghambat adhesi EPEC pada sel HCT-116 adalah sebesar 26%. Oleh karena itu adhesi EPEC masih dapat terjadi dan menyebabkan diare pada tikus meskipun sebelumnya tikus telah diberi kandidat probiotik. Pada kelompok pascainfeksi, kompetisi antara EPEC dan L. plantarum MB427 terjadi. Kemampuan L. plantarum MB427 berkompetisi dengan EPEC adalah sebesar 39% pada sel HCT-116. Pada kelompok pascainfeksi, diare juga masih dapat terjadi. Pada hari kedua, berbeda dengan kelompok kontrol EPEC, jumlah kejadian diare pada kelompok yang mendapat probiotik prainfeksi dan pasca infeksi menurun sampai hari kelima. Durasi diare kedua kelompok sama yaitu 5 hari, lebih singkat dibandingkan durasi diare kelompok kontrol EPEC, 6 hari. Perbedaan durasi diare mengindikasikan bahwa pemberian probiotik dapat menurunkan durasi diare karena infeksi EPEC. Pada hari kedua dan seterusnya, pemberian L. plantarum MB427 pada kelompok pra- dan pascainfeksi diteruskan. Kemampuan penggantian L. plantarum MB427 pada sel HCT-116 sebesar 34% dapat menyebabkan adhesi EPEC pada sel usus tikus berkurang. Penurunan adhesi EPEC karena efek penggantian oleh L.
47
plantarum MB427 mempercepat penyembuhan diare pada tikus yang mendapat pemberian L. plantarum MB427. Jumlah tikus yang mengalami diare pada kelompok yang menerima probiotik prainfeksi, pada hari yang sama, lebih sedikit daripada jumlah tikus yang mengalami diare pada kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi EPEC. Diare yang dialami oleh tikus pada kedua kelompok adalah diare tipe 5 pada skala Bristol. Pada hari pertama terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol pada kedua kelompok sedangkan pada hari kedua dan ketiga, terdapat tikus dari kelompok yang memperoleh probiotik pascainfeksi EPEC mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol. Diare tipe 5 merupakan diare yang lebih ringan dibandingkan diare tipe 6 dalam skala Bristol. Berdasarkan tipe diare, kelompok yang menerima probiotik prainfeksi EPEC mengalami diare yang lebih ringan dibandingkan kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi EPEC. Dilihat dari jumlah hari yang terdapat kejadian diare (durasi diare), tipe diare yang dialami pada skala Bristol, dan jumlah tikus yang mengalami diare, kelompok kontrol EPEC mengalami diare yang paling parah, terlihat dari durasi diare 6 hari, jumlah tikus diare paling banyak (sampai 8 ekor tikus), selama 3 hari pertama terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 skala Bristol. Kelompok yang menerima probiotik prainfeksi mengalami diare selama 5 hari, jumlah tikus yang mengalami diare paling banyak adalah 5 ekor tikus, dan hanya pada hari pertama terdapat diare tipe 6 pada skala Bristol. Kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi mengalami diare selama 5 hari, jumlah tikus yang mengalami diare terbanyak dalam satu hari adalah 6 ekor dan terdapat tikus yang mengalami diare tipe 6 pada skala Bristol pada hari kesatu sampai ketiga. Dari beberapa kriteria di atas, kelompok yang menerima probiotik mengalami diare yang lebih singkat durasinya dan lebih ringan tipe diarenya sesuai skala Bristol dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima probiotik (kelompok kontrol EPEC). Kelompok yang menerima probiotik prainfeksi mengalami kejadian diare lebih sedikit, lebih singkat durasinya dan lebih ringan tipe diarenya sesuai skala Bristol dibandingkan dengan kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi. Hasil serupa juga dilaporkan Aslinar et al. (2014), diare yang lebih singkat juga terjadi pada tikus yang diberi konsumsi probiotik W. paramesenteroides yang diinfeksi EPEC dibandingkan dengan kelompok yang diinfeksi EPEC tetapi tidak menerima probiotik. Durasi diare juga dipengaruhi oleh dosis probiotik yang diberikan. Pemberian probiotik Bifidobacterium thermoacidophilum pada tikus sebelum diinfeksi E. coli dapat menurunkan tingkat keparahan diare dibandingkan dengan kelompok yang menerima probiotik setelah diinfeksi E. coli (Gagnon et al. 2006). Pengaruh pemberian probiotik dan infeksi EPEC terhadap jumlah bakteri asam laktat pada feses dan isi sekum tikus Pemberian probiotik pada tikus meningkatkan jumlah bakteri asam laktat pada feses dibandingkan kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol EPEC yang tidak menerima probiotik (Gambar 4.1). Pada ketiga kelompok yang menerima
48
probiotik, jumlah bakteri asam laktat pada feses lebih tinggi daripada kelompok yang tidak menerima probiotik. Jumlah bakteri asam laktat relatif stabil selama satu minggu perlakuan pada tiga kelompok yang menerima probiotik. Pada kelompok yang diinfeksi EPEC dan tidak menerima probiotik (kontrol EPEC), jumlah bakteri asam laktat pada feses, lebih rendah pada hari pertama setelah infeksi EPEC. Pada hari ketiga, jumlah bakteri asam laktat pada kelompok kontrol EPEC meningkat dan cenderung stabil selama satu minggu perlakuan. Pada kelompok yang menerima probiotik prainfeksi, jumlah bakteri asam laktat pada fesesnya tidak lebih tinggi daripada kelompok yang lain yang juga menerima probiotik. Hasil penelitian Gagnon et al. (2006) menunjukkan, kelompok yang telah diberi probiotik sebelumnya, pada hari pertama setelah infeksi, jumlah bakteri asam laktat dalam feses lebih tinggi daripada kelompok yang menerima probiotik setelah infeksi E. coli. Akan tetapi pada hari berikutnya jumlah bakteri asam laktat pada feses mengalami penurunan. Efektivitas pemberian probiotik tidak hanya terlihat dari jumlahnya di feses tetapi juga pada dampaknya terhadap diare yang dialami tikus. Tingginya jumlah bakteri asam laktat pada kelompok yang menerima probiotik berdampak pada diare yang lebih singkat durasinya, jumlah kejadian lebih sedikit, keparahan diare lebih ringan (Tabel 4.5) dibandingkan dengan kelompok yang mengalami infeksi EPEC tetapi tidak menerima probiotik.
10.00 9.50
Log cfu/g
9.00 8.50 8.00 7.50
Kontrol EPEC Kontrol Negatif Kontrol Probiotik Probiotik prainfeksi Probiotik pascainfeksi
7.00 6.50 6.00 1
3
5
7
14
Hari setelah infeksi
Gambar 4.1. Perkembangan jumlah BAL pada tikus setelah diinfeksi EPEC
49
Probiotik yang diberikan pada 3 kelompok tikus adalah sejumlah 109 cfu. Jumlah ini serupa dengan yang dipergunakan oleh Zhang et al. (2014). Jumlah itu terkonfirmasi dengan jumlah bakteri asam laktat pada ketiga kelompok yang menerima probiotik selama satu minggu pemberian yaitu antara 9.0-9.5 cfu/g, mengindikasikan kemampuan L. plantarum MB427 melewati rintangan pada saluran pencernaan. 9.00
8.80
Log BAL (cfu/g)
8.60 8.40 8.20 8.00 7.80 7.60 7.40
EK
KN
KP
PA
PB
Gambar 4.2. Jumlah bakteri asam laktat pada isi sekum tikus 7 hari setelah infeksi KN = kontrol negatif, KE = Kontrol EPEC, KP = kontrol probiotik, PA = probiotik prainfeksi, PB = probiotik pascainfeksi)
Adanya jumlah bakteri asam laktat yang tinggi pada feses kelompok yang menerima probiotik menunjukkan kemampuan strain L. plantarum MB427 bertahan melewati saluran pencernaan tikus. Hal ini juga mengkonfirmasi studi pada Emmawati et al. (2014a) yang menunjukkan bahwa strain L. plantarum MB427 termasuk di antara isolat asal mandai yang saat dipapar pada pH 2.0 dan garam empedu 0.5%, dapat mempertahankan jumlahnya kurang dari 1 log dibandingkan dengan jumlah awal. Jumlah bakteri asam laktat pada kelompok yang menerima probiotik menurun pada hari ke-14, satu minggu setelah pemberian mengindikasikan L. plantarum MB427 tidak dapat mempertahankan adhesi dan kolonisasi pada sel epitel usus setelah pemberian probiotik dihentikan. Studi pemberian probiotik umumnya menunjukkan bahwa secara umum probiotik tidak mengkolonisasi saluran pencernaan manusia secara permanen. Jika pemberian dihentikan, keberadaan probiotik tidak akan terdeteksi lebih lanjut di feses setelah 1-2 minggu. Tikus yang diberi L. plantarum dari keju Hurood (Zhang et al. 2014) mempengaruhi komposisi
50
mikroflora, meningkatkan jumlah laktobasilli secara signifikan sampai 2 minggu pemberian dan menurun satu minggu setelah periode pemberian menjadi tidak berbeda dengan kontrol sedangkan jumlah enterobakternya tidak berbeda nyata. Setelah tujuh hari setelah infeksi, jumlah bakteri asam laktat dalam isi sekum tikus yang menerima probiotik lebih tinggi dibandingkan kontrol negatif. Jumlah bakteri asam laktat dalam isi sekum kelompok tikus yang menerima probiotik tetapi tidak diinfeksi EPEC lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok prainfeksi dan pascainfeksi. Adanya EPEC yang juga mempunyai kemampuan adhesi pada sel epitel berkompetisi dengan probiotik, menurunkan adhesi probiotik dibandingkan dengan jika tidak berkompetisi dengan EPEC. Pengaruh pemberian probiotik dan infeksi EPEC terhadap jumlah E. coli pada feses tikus Infeksi EPEC pada hari ke-0 meningkatkan jumlah E. coli feses pada kelompok yang diinfeksi dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima infeksi EPEC (Gambar 4.3). Pada kelompok yang menerima infeksi, jumlah E. coli feses yang tinggi pada hari pertama menurun hingga hari ketujuh. Penurunan jumlah E. coli feses terjadi lebih cepat setelah hari ketiga pada kelompok yang diinfeksi dan menerima probiotik baik sebelum maupun sesudah infeksi. 9.50
Log E. coli (cfu/g)
9.00 8.50 Kontrol EPEC
8.00
Kontrol Negatif
7.50
Kontrol Probiotik
7.00
Probiotik prainfeksi Probiotik pascainfeksi
6.50 6.00
1
3
5
7
Hari setelah infeksi
Gambar 4.3.Perkembangan jumlah E.coli pada feses tikus selama tujuh hari setelah infeksi Kelompok yang menerima probiotik prainfeksi EPEC, menunjukkan penurunan jumlah E. coli pada feses lebih banyak setelah hari ketiga sampai ketujuh dibandingkan kelompok yang menerima probiotik pasca infeksi. Hal ini
51
mengkonfirmasi bahwa pada kelompok yang menerima probiotik prainfeksi, jumlah kejadian diare lebih sedikit dan berkurang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang menerima probiotik pascainfeksi. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh penelitian Gagnon et al. (2006), bahwa jumlah E. coli pada feses lebih sedikit pada kelompok yang telah mendapat probiotik sebelumnya dibandingkan kelompok yang menerima probiotik bersamaan dengan infeksi. Pada kelompok kontrol infeksi EPEC, jumlah E. coli feses meningkat sampai hari ketiga dan menurun jumlahnya sampai hari ketujuh. Ini menjelaskan kejadian diare pada tikus kontrol EPEC, di mana kejadian diare meningkat sampai hari ketiga dan menurun hingga hari ketujuh (Tabel 4.5). Kelompok yang menerima probiotik prainfeksi dan pascainfeksi EPEC, jumlah E. coli yang tinggi pada hari pertama, menurun sampai hari ketujuh. Penurunan jumlah E. coli berhubungan dengan penurunan jumlah kejadian diare kelompok probiotik prainfeksi dan pasca infeksi EPEC setelah hari kesatu dan sembuh setelah hari kelima. 8.20 8.00 7.80
log cfu/g
7.60 7.40 7.20 7.00
6.80 6.60 6.40
Kontrol EPEC
Kontrol Negatif
Kontrol Probiotik
Probiotik Probiotik prainfeksi pascainfeksi
Gambar 4.4. Jumlah E. coli pada isi sekum tikus 7 hari setelah infeksi
Jumlah E.coli isi sekum pada hari ketujuh setelah infeksi lebih tinggi pada kelompok kontrol EPEC dibandingkan dengan kelompok yang menerima probiotik (Gambar 4.4) mengkonfirmasi kemampuan probiotik L. plantarum MB427 mereduksi jumlah E. coli pada saluran pencernaan dan mengurangi infeksi.
52
Pengaruh pemberian probiotik dan infeksi EPEC terhadap jumlah bakteri asam laktat dan E. coli pada sekum dan kolon tikus Total bakteri asam laktat dan E. coli juga ditentukan pada sekum dan kolon pada tikus yang dibedah pada hari ketujuh. Jumlah E. coli lebih tinggi pada kelompok yang menerima infeksi EPEC saja (kontrol EPEC) dibandingkan dengan kelompok yang menerima probiotik ataupun kelompok kontrol negatif. Jumlah E. coli pada kelompok yang menerima probiotik lebih sedikit di kolon, karena selama tujuh hari telah terjadi penurunan jumlah E. coli karena terbuang melalui feses (Gambar 4.4). 9.00 8.00
log cfu/cm2
7.00 6.00
Kontrol EPEC
5.00
Kontrol Negatif
4.00
Kontrol Probiotik
3.00
Probiotik prainfeksi
2.00
Probiotik pascainfeksi
1.00 0.00 sekum
kolon
Gambar 4.5. Jumlah E. coli pada sekum dan kolon tikus 7 hari setelah infeksi
Jumlah E. coli yang tinggi di sekum dan kolon pada kelompok kontrol EPEC dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif menunjukkan kemampuan EPEC beradhesi dan berkolonisasi dalam usus dan sekum tikus, sehingga sampai satu minggu setelah infeksi, masih dapat mempertahankan jumlahnya di isi di sekum dan kolon. Pada kelompok yang menerima probiotik, jumlah E. coli di sekum dan kolon, setelah periode pemberian selama seminggu, sama dengan kontrol yang tidak menerima EPEC. Pada kelompok pascainfeksi L. plantarum MB427 dapat berkompetisi dan menggantikan EPEC sehingga jumlah E. coli yang beradhesi pada sekum dan kolon menurun. Pada kelompok prainfeksi, L. plantarum MB427 menghambat adhesi EPEC yang menginfeksi tikus. Pemberian probiotik yang diteruskan saampai tujuh hari setelah infeksi EPEC memberi kesempatan probiotik menggantikan EPEC yang beradhesi pada sekum dan kolon. Dari jumlah kejadian diare pada tikus juga terlihat bahwa seluruh tikus yang diare telah mengalami kesembuhan pada hari ketujuh.
53
Total bakteri asam laktat di sekum dan kolon, lebih tinggi pada kelompok yang menerima probiotik dibandingkan dengan yang tidak menerima probiotik (kontrol negatif maupun kontrol EPEC). Jumlah bakteri asam laktat pada isi sekum berada pada kisaran 7.9-8.7 log cfu/g (Gambar 4.5). Jumlah bakteri asam laktat lebih tinggi pada kelompok yang menerima probiotik dibandingkan dengan yang tidak menerima probiotik mengindikasikan kemampuan L. plantarum MB427 beradhesi dan berkolonisasi di sekum dan kolon selama periode pemberian sehingga L. plantarum MB427 yang diberikan tidak semuanya terbuang pada melalui feses.
9.00
Log jumlah bakteri (cfu/cm2)
8.80
8.60 Kontrol EPEC
8.40
Kontrol Negatif
8.20
Kontrol Probiotik 8.00
Probiotik prainfeksi
7.80
Probiotik pascainfeksi
7.60 7.40 sekum
kolon
Gambar 4.6. Jumlah bakteri asam laktat pada sekum dan kolon tikus 7 hari setelah infeksi
Translokasi Bakteri asam laktat pada hati dan limfa Setelah pembedahan di hari ketujuh, tidak ditemukan indikasi adanya translokasi bakteri asam laktat pada hati dan limfa. Hal ini menunjukkan tidak adanya potensi strain yang bersifat invasif. Pengujian translokasi juga merupakan bagian dari pemenuhan kriteria aman probiotik untuk dikonsumsi manusia. Translokasi probiotik umumnya dilakukan dengan mengevaluasi keberadaan probiotik di hati dan limfa. Normalnya, probiotik yang dikonsumsi melalui oral, hanya ditemukan di dalam saluran pencernaan yaitu usus, dan tidak ditemukan pada hati dan limfa. Adanya probiotik pada hati dan limfa menjadi indikasi adanya potensi invasi dari strain probiotik yang diujikan. Hasil serupa ditunjukkan oleh tiga strain L. plantarum asal keju yang diisolasi oleh Zago et al. (2011) yang menyatakan bahwa tidak teramati adanya translokasi pada hati dan limfa setelah pemberian oral selama
54
tujuh hari. Tidak adanya translokasi L. plantarum PH04 yang diisolasi dari feses bayi pada mencit hiperkolesterol juga dilaporkan oleh Nguyen et al. (2007). Translokasi mikroorganisme dimungkinkan terjadi jika terdapat gangguan terhadap sistem barrier usus. Barrier usus harus dapat mencegah translokasi mikroflora usus masuk ke sistem sirkulasi dan bertranslokasi ke organ lain (Nguyen et al. 2007). Gangguan terhadap sistem barrier usus dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri patogen enterik, seperti strain tertentu dari L. monocytogenes yang dapat melakukan invasi melewati barrier usus (de Waard et al. 2002).
Respon imun humoral terhadap pemberian probiotik dan infeksi E. coli Pengujian respon imun dilakukan dengan pengujian level antibodi IgA dan IgG di serum. IgA merupakan antibodi yang penting dalam imunitas usus sedangkan IgG merupakan antibodi yang penting di serum. Keduanya merupakan bagian dari respon imun adaptif yang diproduksi secara spesifik berdasarkan pengenalan terhadap antigen. Strain L. plantarum MB427 dapat meningkatkan respon IgA pada tikus yang memperoleh probiotik setelah seminggu pemberian probiotik dibandingkan dengan tikus yang tidak memperoleh probiotik (Gambar 4.7). Peningkatan IgG tikus yang memperoleh probiotik lebih tinggi daripada tikus yang tidak memperoleh probiotik. Tidak terlihat perbedaan respon IgA tikus yang diinfeksi EPEC saja (kontrol EPEC) dengan kontrol negatif. a
4.5 a
b
IgG (mg/dL)
3 b
2 1.5 1
ab
250
ab
3.5
2.5
a ab
4
IgA (mg/dL)
300
200
b c
150 100
50
0.5 0
0 KN
KE
KP
PA
PB
KN
KE
KP
PA
PB
Gambar 4.7.Respon antibodi (IgA dan IgG) terhadap pemberian probiotik dan infeksi EPEC pada tikus, setelah hari ketujuh (IgA) dan setelah hari keempat belas (IgG) (KN = kontrol negatif, KE = Kontrol EPEC, KP = kontrol probiotik, PA = probiotik prainfeksi, PB = probiotik pascainfeksi). Bar dengan subscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)
55
Hasil penelitian ini mengindikasikan kemampuan kandidat probiotik L. plantarum MB427 menstimulasi respon imun spesifik pada tikus. Stimulasi respon imun didahului oleh adanya adhesi L. plantarum MB427 pada permukaan sel epitel usus. Permukaan sel epitel dapat mengenali adanya penempelan mikroorganisme dan menstimulasi diproduksinya senyawa-senyawa kimia (kemokin dan sitokin) yang memediasi respon imun awal sampai diproduksinya antibodi IgG dan IgA yang merupakan respon imun spesifik yang muncul lebih lambat (Wells et al. 2011). Waktu penentuan level IgA dan IgG serum ditentukan satu minggu dan dua minggu setelah infeksi EPEC sebab dibutuhkan waktu sejak awal penempelan microorganism pada sel epitel sampai diproduksi IgA oleh Peyer Patches dan produksi IgG di serum. L. plantarum MB427 yang dipergunakan dalam penelitian ini menunjukkan nilai adhesi cukup tinggi yaitu 74%. Nilai IgA dan IgG tidak berbeda nyata antara kelompok yang menerima probiotik baik diinfeksi EPEC maupun tidak. Demikian pula tidak terdapat perbedaan nyata antara kelompok yang menerima probiotik sebelum ataupun yang menerima probiotik bersamaan dengan infeksi EPEC. Gagnon et al. (2006) juga melaporkan peningkatan IgA dan IgG juga teramati pada tikus yang mendapat perlakuan probiotik strain Bifidobacteria. Nilai IgA lebih tinggi pada tikus yang memperoleh probiotik prainfeksi dibandingkan dengan yang memperoleh probiotik pascainfeksi sedangkan nilai IgG untuk kedua kelompok tidak berbeda nyata. Hasil serupa ditunjukkan oleh Zago et al. (2011) yang mengamati adanya peningkatan jumlah sel yang menghasilkan IgA setelah tujuh hari periode pemberian probiotik strain L. plantarum. Kelompok yang menerima probiotik sebelum infeksi EPEC dapat dihubungkan dengan kemampuannya menghambat penempelan EPEC, sebesar 26%. Kesempatan beradhesi lebih dahulu pada sel epitel usus memberikan keuntungan sebab sisi adhesi yang ada dapat dimanfaatkan terlebih dahulu oleh L. plantarum MB427 sehingga ketika terjadi infeksi EPEC kemampuan menempelnya sudah berkurang 26%. Kelompok yang menerima probiotik bersamaan dengan infeksi EPEC dihubungkan dengan kemampuan kompetitif eksklusinya dengan EPEC yaitu 39%. Setelah infeksi terjadi, L. plantarum MB427 masih diberikan pada kedua kelompok sehingga EPEC yang telah menempel pada sel epitel dapat dikurangi dengan kemampuan penggantian yang dimiliki L. plantarum MB427 sebesar 34%. Modulasi respon imun juga banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Zago et al. (2011) melaporkan bahwa pada tikus yang diberi probiotik tidak ditemukan tandatanda inflamasi di usus, terjadi peningkatan aktivitas fagosit dan peningkatan jumlah sel yang memproduksi IgA, mengindikasikan bahwa telah terjadi stimulasi terhadap respon imun inang.A ktivitas fagosit merupakan reaksi imunitas nonspesifik yang muncul sebagai respon awal adanya patogen. Sekresi IgA di usus umumnya bertujuan untuk mengeksklusi patogen sebagai bagian dari sistem pertahanan spesifik inang. Kemampuan L. plantarum MB427 meningkatkan level IgA dan IgG pada kelompok tikus yang memperoleh probiotik prainfeksi EPEC dapat menjelaskan hasil pengamatan kejadian diare pada Tabel 4.3. Kejadian diare pada kelompok yang memperoleh probiotik prainfeksi EPEC berlangsung dalam durasi lebih singkat,
56
tingkat keparahan lebih rendah dan jumlah tikus yang mengalami diare lebih sedikit. Jumlah bakteri asam laktat ketiga kelompok yang memperoleh probiotik tidak menunjukkan perbedaan (Gambar 4.2), akan tetapi jumlah E. coli pada feses tikus kelompok yang memperoleh probiotik prainfeksi menurun lebih cepat setelah hari ketiga pascainfeksi (Gambar 4.3). Hasil ini mengindikasikan kemampuan L. plantarum MB427 dalam mencegah dan mengurangi durasi serta keparahan diare yang disebabkan oleh EPEC. Kelompok yang diinfeksi EPEC tidak menunjukkan peningkatan IgA dan IgG dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Diduga respon imun tikus dalam pengendalian infeksi EPEC dimediasi oleh mekanisme imun lain, yaitu respon imun nonspesifik, yang tidak melibatkan antibodi. Dapat juga dilihat bahwa stimulasi antibodi IgA dan IgG lebih merupakan stimulasi oleh adanya probiotik L. plantarum MB427. Mekanisme lebih dalam tentang stimulasi yang melibatkan antibodi IgA dan IgG dalam penelitian ini tidak dibahas lebih mendetil.
KESIMPULAN Dosis EPEC yang dapat menimbulkan diare pada semua tikus dalam kelompok dengan durasi 5 hari adalah 1010 cfu, sedangkan dosis 108 dan 109 cfu menyebabkan diare yang lebih ringan. Bakteri kandidat probiotik L. plantarum MB427 yang diberikan pada tikus dapat menurunkan jumlah kejadian, tingkat keparahan dan durasi diare dibandingkan dengan kontrol yang hanya diinfeksi EPEC. Tikus yang menerima L. plantarum MB427 prainfeksi EPEC menunjukkan jumlah kejadian dan tingkat keparahan diare lebih ringan dibandingkan kelompok yang menerima L. plantarum MB427 pascainfeksi EPEC. Kandidat probiotik L. plantarum MB427 mampu bertahan melewati saluran gastrointestinal tikus dan dapat mempertahankan jumlahnya dibandingkan dengan kontrol. L. plantarum MB427 juga memperlihatkan kemampuan beradhesi dan berkolonisasi pada saluran gastrointestinal tikus (sekum dan kolon). Tidak ditemukan indikasi adanya kemungkinan L. plantarum MB427 bersifat invasif. Kelompok yang menerima L. plantarum MB427 prainfeksi EPEC menunjukkan nilai IgA dan IgG lebih tinggi daripada kelompok pascainfeksi EPEC.L. plantarum MB427 dapat dipertimbangkan pemanfaatannya dalam mencegah dan mengurangi diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan dana untuk penelitian ini melalui skim Penelitian Disertasi Doktor tahun 2014.
57
DAFTAR PUSTAKA Arief I.I., Jenie, B.S.L., Astawan, M., Witarto, A.B. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. Media Peternakan Desember 137-143 Aslinar, Y.D Jurnalis, E.Purwati RN, Y Sayoeti. Probiotic Weisella paramesenteroides on enteropathogenic E. coli-induced diarrheaPaediatr Indones, 54, Astawan, A., T.Wresdiyati, Suliantari, Y.Nababan. 2012. Yoghurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Lokal DapatMencegah Diare dan Mengubah Status Hematologi Tikus.Jurnal Veteriner 13: 145-153 Astawan, M, T. Wresdiyati, I. I. Arief, E. Suhestia.2011. Gambaran Hematologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang DiinfeksiEscherichia coli Enteropatogenik dan Diberikan Probiotik.Media Peternakan, April, hlm. 7-13 Balitbangkes. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Collado, M.C., J. Meriluoto, S. Salminen. 2007. Role of commercial probiotic strains against human pathogen adhesion to intestinal mucus. Lett. Appl. Microbiol. 45: 454-460 Culligan, E.P., Hill, C., dan Sleator, R.D. 2009. Probiotics and gastrointestinal disease: Successes, problems, and future prospects. Gut Pathogens1: 19. De Waard, R., J. Garssen, G.C.A.M. Bokken, J.G. Vos. 2002. Antagonistic activity of Lactobacillus casei strain Shirota against gastrointestinal Listeria monocytogenes infection in rats. Int J Food Microbiol 73:93-100 Emmawati, A., S.L.S. Jenie, L. Nuraida. D. Syah. 2014a. Karakterisasi isolat bakteri asam laktat dari mandai – makanan fermentasi tradisional dari dami cempedak (Artocarpus champeden) yang berpotensi sebagai probiotik. Agritech 34(4) (telah diterima untuk publikasi) Emmawati, A., S.L.S. Jenie, L. Nuraida. D. Syah. 2014b. Aggregation and adhesion abilities to enterocyte-like HCT-116 cells of probiotic candidates Lactobacillus plantarum strains isolated from “mandai”, Indonesian fermented food against enteropathogens. (dalam proses publikasi) [FAO/WHO]. 2002. Guidelines for the Evaluation of Probiotics in Food. Report of a Joint FAO/WHO Working Group on Drafting Guidelines for the Evaluation of Probiotics in Food. Ontario, Canada
58
Gagnon, M., E.E. Kheadr, N.Dabour, D. Richard, I.Fliss. 2006. Effect of Bifidobacterium thermacidofilum probiotic feeding on enterohemorrhagic Escherichia coli O157:H7 infection in BALB/c mice. Int J Food Microbiol, 111:26-33 Heaton KW, Lewis SJ. 1997. Stool form scale as a useful guide to intestinal transit time. Scand. J. Gastroenterol.32 (9): 920–4 Hirano J, Yoshida T, Sugiyama T, Koide N, Mor i I, Yokochi T. 2003. The effect of Lactobacillus rhamnosus on enterohemorrhagic Escherichia coli infection of human intestinal cells in vitro. Microbiol Immunol, 47: 405–409 Lee, Y., K. Puong, A. C. Ouwehand, S. Salminen. 2003. Displacement of bacterial pathogens from mucus and Caco-2 cell surface by lactobacilli. 52: 925-930 Lee. H.J., H.Yoon, Y.Ji, H.Kim, H.Park, J.Lee. 2011. Functional properties of Lactobacillus strains isolated from kimchi. Int J Food Microbiol 145:155-161 Maturin, L. dan Peeler, J. T. 2001. Bacteriological Analytical Manual, Chapter 3: Aerobic plate count. US.Food and Drug Administration. Nuraida L., Susanti, Palupi, N.S., Hana, Bastomi R.R., Piriscilia D., Nurjanah S. 2012a. Evaluation of probiotics properties of lactic acid bacteria isolated from brast milk and their potency as starter culture for yoghurt fermentation. Int J Food Nutrition and Public Health. 5, 1/2/3 Nuraida L, Hana, AW Hartanti, E Prangdimurti, 2012b, Potensi Lactobacillus yang diisolasi dari air susu ibu untuk mencegah diare. J Teknol dan Ind Pangan 23: 158-164 Nguyen TD, Kang JH, Lee MS. 2007. Characterization of Lactobacillus plantarum PH04, a potential probiotic bacterium with cholesterol-lowering effects.Int J Food Microbiol. 113(3):358-61 Vallance B.A dan B. B. Finlay. 2000. Exploitation of host cells by nteropathogenic Escherichia coli. PNAS 97: 8799 – 880 Wang, B., J.Li, Q.Li, H.Zhang, N.Li. 2009. Isolation of adhesive strains and evaluation of the colonization and immune response by Lactobacillus plantarum L2 in the rat gastrointestinal tract. Int J Food Microbiol. 132: 59-66 Wells JM. 2011. Immunomodulatory mechanisms of lactobacilli. Microbial Cell Factories 10: S17
59
Wresdiyati, T., Y. Setiorini, S. R. Laila, I.I Arief, M. Astawan. 2013. Probiotik lokal meningkatkan kandungan IgA usus halus tikus yang diinfeksi Enteropathogenic E. Coli (EPEC): Studi imunohistokimia.Jurnal Kedokteran Hewan Yoda K, He F, Kawase M, Miyazawa K,Hiramatsu M. 2014. Oral administration ofLactobacillus gasseriTMC0356 stimulates peritoneal macrophagesand attenuates general symptoms caused byenteropathogenicEscherichia coliinfection. Journal of Microbiology Immunology and Infection47: 81-86 Zago,
M., M.E. Fornasari, D.Carminati, P.Burns, V.Suarez, G.Vinderola, J.Reinheimer, G.Giraffa. 2011. Characterization and probiotic potential of Lactobacillus plantarum strains isolated from cheeses. Food Microbiol 28: 1033-1040