126
4 HASIL 4.1
Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
4.1.1 Produksi ikan pelagis kecil Produksi ikan pelagis kecil selama 5 tahun terakhir (Tahun 2001-2005) cenderung bervariasi, hal ini disebabkan karena pengoperasian alat tangkap ikan pelagis dilakukan secara trus menerus di perairan Maluku. Kurva hubungan antara produksi (catch), catch per unit effort (CPUE) dengan upaya penangkapan (effort) serta kondisi aktual selama kurun waktu 5 tahun untuk masing-masing jenis ikan pelagis kecil disajikan pada Gambar 18 sampai Gambar 23. Hasil analisis produksi lestari ikan menggunakan model Schaefer, yang menunjukkan upaya penangkapan optimal (f
MSY
) dan hasil tangkapan optimum (C
).
MSY
MSY = 5.839,47 6,000 2
R = 0,8993 2001 2006
5,000
0,50
2005 4,000
Produksi (ton)
0,60
2004
2003
0,40
3,000 0,30
2,000
2002
1,000
0,20
0,10
fopt = 24.165,00 0
0,00
0
20,000
40,000
Effort (trip)
Gambar 18 Grafik kurva lestari ikan selar.
60,000
86
MSY = 11.895,00
13.000
1,20 2005
12.000
2
11.000
R = 0,8665
1,00
10.000
Produksi (ton)
9.000
2004
0,80
8.000 2002
7.000
0,60
2003
6.000 5.000 4.000
0,40
2001
3.000
0,20
2.000
fopt = 24.387,50
1.000
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
Effort (trip)
Gambar 19 Grafik kurva lestari ikan layang.
10.000 0,70
2
R = 0,8899
2005
MSY = 8.176,74
9.000
2003
8.000
0,60
7.000
0,50
Produksi (ton)
2004 6.000 2002
0,40
5.000 0,30
4.000 2001 3.000
0,20
2.000 0,10
1.000
fopt = 28.595,00 0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
Effort (trip)
Gambar 20 Grafik kurva lestari ikan tembang.
50.000
60.000
85
6.000
MSY = 4.983,32
0,35
2
R = 0,8553 2005
2003
5.000
0,30
0,25
Produksi (ton)
4.000 2004
0,20
2002 3.000
0,15
2001 2.000
0,10 1.000
0,05
fopt = 31.570,00 0
0,00 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
Effort (trip)
Gambar 21 Grafik kurva lestari ikan teri. 2
R = 0,7979
MSY = 1.493,82 1.500
0,09
1.400
0,08
1.300 1.200
2006 2001
2005
1.100
0,07
Produksi (ton)
1.000
0,06
900
0,05
800 700
2003
2002
0,04
600 2004
500
0,03
400
0,02
300 200
0,01
fopt = 38.650,00
100
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Effort (trip)
Gambar 22 Grafik kurva lestari ikan komu.
70.000
80.000
86
2001 2004
2,200
2006 2
0,14
R = 0,8747 MSY = 1.818,05
2,000
0,12 1,800
2002
2005
Produksi (ton)
1,600
0,10 2003
1,400
0,08
1,200 1,000
0,06
800
0,04
600 400
0,02
fopt = 30.150,00
200
0,00
0 0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
Effort (trip)
Gambar 23 Grafik kurva lestari ikan kembung.
Berdasarkan Gambar 18 sampai Gambar 23, memperlihatkan bahwa ikan layang memiliki tingkat MSY tertinggi sebesar 11.895 ton per tahun dengan effort optimal sebesar 24.387 trip per tahun sedangkan ikan komu memiliki MSY yang paling rendah yaitu 1.493 ton per tahun dengan effort optimal 38.650 trip per tahun. Effort optimal ikan komu (Auxist thazard) memiliki nilai tertinggi yaitu 38.650 trip per tahun dan terendah pada ikan selar sebesar 24.165 trip per tahun.
4.1.2
Produksi ikan pelagis besar Produksi ikan pelagis besar selama 5 tahun terakhir (tahun 2001-2005)
cenderung bervariasi dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Kurva hubungan antara produksi (catch), catch per unit effort (CPUE) dengan upaya penangkapan (effort) serta kondisi aktual selama kurun waktu 5 tahun (20012005) untuk masing-masing jenis ikan pelagis besar disajikan pada Gambar 24 sampai Gambar 29. Hasil analisis menunjukkan bahwa ikan cakalang mempunyai nilai MSY tertinggi yaitu sebesar 49.133 ton per tahun dengan effort optimum 49.565 trip per tahun. Ikan layur mempunyai MSY terendah 250,00 ton per tahun dengan effort optimal 500.000 trip per tahun. Hasil analisis produksi lestari ikan
85
menggunakan model Schaefer, yang menunjukkan upaya penangkapan optimal (f
MSY
) dan hasil tangkapan optimum (C
MSY
). 2
R = 0,7663
MSY = 9.313,04
10,000
0,40
9,000 0,35
8,000
Produksi (ton)
0,30
2000
7,000 6,000
0,25
5,000
0,20
4,000
2003 0,15
2002 3,000
2001
0,10
2,000 2004
2005
fopt = 55.716,67
1,000
0,05 0,00
0 0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
Effort (trip)
Gambar 24 Grafik kurva lestari ikan tuna. 0,01
2
R = 0,6064
700 2007 600
0,01
2002
2005
500
0,00
Produksi (ton)
MSY = 406,13 400
0,00
2001
300
2006 2003 0,00
2004
200
0,00
100
fopt = 142.500,00 0,00
0 0
40.000
80.000
120.000
160.000
200.000
240.000
Effort (trip)
Gambar 25 Grafik kurva lestari ikan tenggiri.
280.000
320.000
86
2
180
R = 0,8186
MSY = 160,00
160 2001 0,0009
140
0,0008
Produksi (ton)
120 2004 100
0,0007
2005 2000
2003
2002
0,0006
80
0,0005
60
0,0004 0,0003
40 0,0002
20
fopt = 400.000,00
0,0001
0
0,0000
0
100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000
Effort (trip)
Gambar 26 Grafik kurva lestari ikan tenggiri papan.
0,40 2
R = 0,6336
8.000
MSY = 7.030,82
7.000
2005
0,35
2000
0,30
6.000
Produksi (ton)
0,25 5.000
0,20
4.000
0,15
3.000
2002
0,10
2.000
2001
2004
0,05
1.000 2003 fopt = 41.925,00
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
Effort (trip)
Gambar 27 Grafik kurva lestari ikan tongkol.
80.000
90.000
85
2,50 2
60.000
R = 0,8058
2001
MSY = 49.133,78
2,00
50.000
Produksi (ton)
40.000
1,50 2002
30.000
fopt = 49.565,00 1,00
2000
20.000
2004
2005
10.000
0,50
2003
0,00
0 0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
100.000
Effort (trip)
0,0012
Gambar 28 Grafik kurva lestari ikan cakalang. 2005 1998
250
2
MSY = 250,00
R = 0,9417
0,0010
2002
Produksi (ton)
200
0,0008
150
0,0006
2003 1999
100
0,0004 2001
50
2000 2004
0,0002
fopt = 500.000,00
0,0000
0 0
100.000 200,000 100,000 200.000 300,000 300.000 400,000 400.000 500,000 500.000 600,000 600.000 700,000 700.000 800,000 800.000 900,000 900.000 1,000,000 1.000.000 1,100,000 1.100.000
Effort (trip) Gambar 29 Grafik kurva lestari ikan layur.
86
4.1.3
Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan Berdasarkan nilai maximum sustainable yield (MSY) dan produksi aktual
tahun 2005 dari jenis ikan pelagis kecil dan besar maka tingkat pemanfaatan sumberdaya dapat diketahui. Kemudian dari nilai effort optimal dan effort aktual tahun 2005 untuk masing-masing jenis ikan pelagis, maka dapat dihitung tingkat pengupayaan yang terjadi. Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan masingmasing jenis ikan pelagis kecil dan besar disajikan pada Tabel 38 dan Tabel 39 berikut. Tabel 38 Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, dan tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil di perairan Maluku No
Jenis ikan
Produksi aktual (ton) 3451,2
Tingkat MSY (ton) 5.839
Tingkat pemanfaatan (%) 59,10
Effort aktual (trip) 8.711
Effort optimal (trip) 24.165
Tingkat pengupayaan (%) 37,01
6765,5
11.895
56,87
9.801
24.387
41,50
708
8.176
86,58
21.619
28.595
75,60
292
4.983
58,61
25.192
31.570
79,79
1
Ikan selar
2
Ikan layang
3 4
Ikan tembang Ikan teri
5
Ikan komu
355,7
1.493
23,81
20.895
38.650
54,06
6
Ikan kembung
831,3
1.818
45,72
16.718
30,150
55,45
Sumber: data olahan 2009 Tabel 39 Produksi aktual, tingkat MSY, tingkat pemanfaatan, effort aktual, effort optimal, serta tingkat pengupayaan ikan pelagis besar di perairan Maluku No
Jenis ikan
Produksi aktual (ton) 93.130
Tingkat MSY (ton) 9.313
Tingkat pemanfaatan (%) 51,10
Effort aktual (trip) 120.859
Effort optimal (trip) 55.716
Tingkat pengupayaan (%) 21,69
40,613
406,13
0,88
128.228
142.500
89,98
1
Ikan tuna
2
Ikan tenggiri
3
140
160,00
2,12
77.471
400.000
19,36
4
Ikan tenggiri papan Ikan tongkol
7.030
7.030
22,23
101.330
41.925
24,16
5
Ikan cakalang
49.133
49.133
13,03
70.445
49.565
14,21
6
Ikan layur
25.00
250,00
2,00
156,046
500.000
30,12
Sumber: data olahan 2009
85
Berdasarkan pada Tabel 38, tingkat pemanfataan ikan pelagis kecil terutama jenis ikan selar, tembang, teri, komu dan kembung di perairan Maluku masih dibawah produksi lestari (MSY). Tingkat pemanfaatan ikan tembang mencapai 86,58% merupakan yang tertinggi diikuti oleh ikan selar (59,10%), ikan teri (58,61%), ikan layang (56,87%), ikan kembung (45,72%) dan yang terakhir adalah ikan komu (23,81%). Sementara itu tingkat pengupayaan ikan pelagis kecil terlihat bahwa ikan teri dengan tingkat pengupayaannya melebihi jenis ikan lain (79,79%) diikuti oleh ikan tembang (75,60%), ikan kembung (55,45%), ikan komu (54,06%), ikan layang (41,50%), dan ikan selar (37,01%). Pada Tabel 39 terlihat bahwa jenis ikan tuna menempati urutan pertama dengan tingkat pemanfaatan sebesar 51,10%, kemudian ikan tongkol 22,23%, ikan cakalang 13,03%, ikan tenggiri papan 2,12%, ikan layur 2,00%, dan ikan tenggiri 0,88%. Ikan tenggiri (89,98%) merupakan jenis ikan pelagis besar dengan tingkat tingkat pengupayaan pada urutan pertama diikuti oleh ikan layur 30,12%, ikan tongkol (24,16%), ikan tuna (21,69%), ikan tenggiri papan (19,36%), dan ikan cakalang (14,21%).
4.2. Teknologi Penangkapan Tepat Guna 4.2.1. Penilaian dan standardisasi aspek biologi Analisis terhadap aspek biologi dilakukan untuk melihat apakah jenis alat tangkap yang digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Provinsi Maluku merusak sumberdaya atau tidak. Penilaian aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis dititik beratkan pada empat kriteria yaitu CPUE (catch per unit effort), jumlah trip, komposisi hasil tangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap. Hasil penilaian dari aspek biologi disajikan pada Tabel 40 yang memperlihatkan penilaian dan standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan pelagis. Berdasarkan pertimbangan aspek biologi, pengembangan alat tangkap huhate, jaring insang permukaan dan pancing tonda lebih diprioritaskan, diikuti pukat cincin, pukat pantai dan bagan.
86
Tabel 40 Standardisasi aspek biologi unit penangkapan ikan di perairan Maluku No 1 2 3 4 5 6
Alat Tangkap Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan
W1 0,873 0,955 0,715 0,946 0,057
Biologi W2 W3 30.81 3 225,24 3 14.76 5 58.909 2 393,72 2
0,083
720,34
2
W4 1 1 1 3 3
V(W1) 0.000 0.000 0.000 0.600 1.000
Hasil Standarisasi V(W2) V(W3) 0.500 0.000 0.000 0.000 0.000 0.500 0.750 0.500 1.000 1.000
V(W4) 0.000 1.000 1.000 0.000 1.000
Ratarata 35,288 4,41 31,201 3,90 22,978 2,87 5891,69 736,46 402,78 50,34
3
0.800
1.000
1.000
727,23
1.000
Total
90,90
Sumber: data penelitian 2009 Keterangan: W1 = CPUE (tahun) W2 = Jumlah trip (tahun) W3 = Komposisi hasil tangkapan (jumlah jenis) W4 = Ukuran ikan yang tertangkap (skor) UP = Urutan prioritas V(W1) = CPUE yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W2) = Jumlah trip yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W3) = Komposisi hasil tangkapan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(W4) = Ukuran ikan yang tertangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai
Penilaian secara keseluruhan dari hasil analisis skoring parameter biologi, alat tangkap huhate urutan pertama dengan nilai sebesar 736,46, jaring insang permukaan prioritas dengan nilai 90,90, dan pancing tonda diurutan ketiga dengan nilai 50,34.
4.2.2 Penilaian dan standardisasi aspek teknis Analisis unit penangkapan pada aspek teknis sangat berkaitan dengan pengoperasian alat tangkap ikan, apakah termasuk efektif atau tidak untuk dioperasikan. Penilaian pada aspek teknis dilakukan untuk melihat tingkat efektifitas alat tangkap untuk digunakan. Kriteria pada aspek teknis meliputi pengoperasian alat tangkap, daya jangkau operasi, pengaruh lingkungan fisik, selektivitas alat dan penggunaan teknologi. Hasil penilaian dan standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan pelagis kecil disajikan pada Tabel 41. Penilaian dan hasil standardisasi aspek teknis menunjukkan bahwa alat tangkap pancing tonda (2,21) menduduki urutan pertama, diikuti jaring insang permukaan (2,16) diurutan kedua, dan huhate (1,94) pada posisi ketiga.
UP 4 5 6 1 3 2
85
Tabel 41 Standardisasi aspek teknis unit penangkapan ikan di perairan Maluku No 1 2 3 4 5 6
Alat Tangkap Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan
Teknis
Hasil Standarisasi
Total V(X4)
V(X5)
Ratarata
UP
X1
X2
X3
X4
X5
V(X1)
V(X2)
V(X3)
1
5
3
1
3
1.000
0.500
0.000 0.000
0.750
15,25
1
1
5
1
1
0.000
0.000
0.000 1.000
0.000
10
3 3 3
3 5 5
3 1 1
1 3 3
3 5 5
0.000 0.600 1.000
0.000 0.750 1.000
0.500 1.000 0.500 0.000 1.000 1.000
0.000 0.600 1.000
14,5 1,45 19,45 1,94 22 2,21
5 3 1
3
5
1
5
3
0.800
1.000
1.000 1.000
0.800
21,6
2
1,52
4
1
6
2,16
Sumber: data penelitian 2009
X1 = Pengoperasian alat tangkap (skor) X2 = Daya jangkau operasi penangkapan (skor) X3 = Pengaruh lingkungan fisik (skor) X4 = Selektivitas (skor) X5 = Penggunaan teknologi (skor) UP = Urutan prioritas V(X1) = Metode pengoperasian alat yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X2) = Daya jangkau unit penangkapan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X3) = Pengaruh lingkungan fisik terhadap alat tangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X4) = Selektivitas yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(X5) = Penggunaan teknologi yang distandardisasi dengan fungsi nilai
4.2.3 Penilaian dan standardisasi aspek sosial Analisis aspek sosial terhadap ke-enam unit penangkapan ikan pelagis yang melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku meliputi kriteria penilaian respon terhadap penerimaan alat tangkap baru (Y1), tingkat pendidikan (Y2), ada tidaknya konflik antar nelayan (Y3), pengalaman kerja sebagai nelayan (Y4), jumlah tenaga kerja (Y5). Nilai pada kriteria penyerapan tenaga kerja berdasarkan jumlah tenaga kerja pada setiap unit penangkapan yang melakukan operasi penangkapan. Nilai-nilai yang diperoleh dari nelayan dari masing-masing alat tangkap dihitung berdasarkan jawaban yang dipilih dengan cara memberikan skor pada saat wawancara (Tabel 42). Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek sosial, alat tangkap huhate (2,7) dan pukat cincin (2,4) mempunyai keunggulan sebagai prioritas utama dan kedua. Keunggulan kedua alat tangkap tersebut sebagai prioritas utama
86
dari beberapa kriteria yaitu huhate pada seluruh kategori penilaian berdasarkan wawancara, sedangkan alat tangkap pukat cincin mengalami kelemahan pada penilaian tingkat pendidikan (Y2), dan konflik antar nelayan (Y3) serta pancing tonda menduduki urutan ketiga (2,38). Setelah dilakukan standardisasi secara keseluruhan terhadap ke-enam jenis alat tangkap ikan pelagis yang melakukan operasi penangkapan di perairan Maluku, maka keunggulan yang diperoleh dari unit penangkapan ikan ditinjau dari aspek sosial adalah alat tangkap huhate (2,7), pukat cincin (2,4), dan pancing tonda (2,38) dan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 42 Tabel 42 Standardisasi aspek sosial unit penangkapan ikan di perairan Maluku No 1 2 3 4 5 6
Alat Tangkap Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan
Sosial Y1
5 5
Y2
3 1
Total
Ratarata
UP
1.000
24
2,4
2
0.500 1.000
0.444
17,61 1,76
5
Hasil Standarisasi
Y3
Y4
Y5
V(Y1)
V(Y2) V(Y3)
V(Y4)
1
5
5
1.000 1.000
1.000 1.000
3
1
5
0.667 0.000
V(Y5)
5 5 5
1 5 5
3 5 5
3 5 5
1 5 1
0.333 0.000 1.000 0.000 0.000 0.333
0.000 0.000 0.000 1.000 0.500 1.000
0.111 0.000 1.000
13,44 27 23,83
1,34 2,7 2,38
6 1 3
5
5
5
5
1
0.667 0.000
0.500 0.000
0.000
22,16
2,21
4
Sumber: data penelitian 2009
Keterangan: Y1 = Respon penerimaan alat tangkap baru (skor) Y2 = Tingkat pendidikan (skor) Y3 = Ada tidaknya konflik antar nelayan (skor) Y4 = Pengalaman kerja sebagai nelayan (skor) Y5 = Jumlah tenaga kerja per unit alat (skor) UP = Urutan prioritas V(Y1) = Respon penerimaan alat tangkap baru distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y2) = Tingkat pendidikan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y3) = Ada tidaknya konflik antar nelayan yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y4) = Pengalaman kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Y5) = Jumlah tenaga kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai
85
4.2.4 Penilaian dan standardisasi aspek ekonomi Keunggulan unit penangkapan ikan dari aspek ekonomi menggunakan kriteria penilaian yaitu penerimaan kotor per trip operasi (Z1), penerimaan kotor per jam operasi (Z2), penerimaan kotor per unit alat tangkap per bulan (Z3), penerimaan kotor per tahun (Z4) dan penerimaan kotor per tenaga kerja (Z5). Hasil penilaian untuk alat tangkap unggulan dari aspek ekonomi menempatkan alat tangkap pancing tonda sebagai unit penangkapan ikan prioritas utama. Alat tangkap pancing tonda unggul pada 5 kriteria penilaian yaitu pada kriteria (Z1), (Z2), (Z3), (Z4), dan (Z5) (Tabel 43). Alat tangkap huhate menduduki urutan kedua (2,77) dan jaring insang menduduki urutan ketiga (2,46) berdasarkan penilaian dan standarisasi aspek ekonomi. Tabel 43 Standardisasi aspek ekonomi unit penangkapan ikan di perairan Maluku No
Alat Tangkap
1
3
Pukat cincin Pukat pantai Bagan
4 5
2
6
Ekonomi
Hasil Standarisasi
Total
Rata -rata
UP
2,45
4
0,5
6
Z1 5
Z2 3
Z3 5
Z4 5
Z5 V(Z1) V(Z2) 3 1.000 0.556
V(Z3) 0.778
V(Z4) 0.750
V(Z5) 0.444
24,528
1
1
1
1
1
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
5,0
1
3
1
3
3
0.556
0.333
0.222
0.250
0.444
12,805
1,28
5
Huhate
5
5
5
5
5
0.667
0.556
0.665
0.500
0.333
27,721
2,77
2
Pancing tonda Jaring insang permukaan
5
5
5
5
5
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
29,0
2,9
1
1
5
5
5
5
0.667
0.778
0.778
0.750
0.667
24,64
2,46
3
Sumber: data penelitian 2009
Keterangan: Z1 = Penerimaan kotor/trip operasi (Rp) Z2 = Penerimaan kotor/jam operasi (Rp) Z3 = Penerimaan kotor/alat tangkap/bulan (Rp) Z4 = Penerimaan kotor/tahun (Rp) Z5 = Penerimaan kotor/tenaga kerja (Rp) V(Z1) = Penerimaan kotor per trip yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z2) = Penerimaan kotor per jam yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z3) = Penerimaan kotor per alat tangkap yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z4) = Penerimaan kotor per tahun yang distandardisasi dengan fungsi nilai V(Z5) = Penerimaan kotor per tenaga kerja yang distandardisasi dengan fungsi nilai
86
Berdasarkan rangkuman keunggulan berdasarkan aspek biologi (W1), teknis (X2), sosial (Y3), dan ekonomi (Z4) unit penangkapan merupakan cakupan keseluruhan aspek yang menjadi faktor penilaian. Tujuan determinasi unit penangkapan ikan adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keunggulan secara menyeluruh dari aspek-aspek tersebut sehingga cocok untuk dikembangkan di suatu daerah. Hasil analisis skoring yang dilakukan terhadap 6 unit usaha armada penangkapan ikan yang dioperasikan di perairan Maluku disajikan pada Tabel 44. Hasil standardisasi menunjukkan bahwa alat tangkap huhate sebagai unit penangkapan prioritas utama dan diikuti oleh pancing tonda, jaring insang permukaan, serta pukat cincin. Tabel 44 Rangkuman standardisasi penilaian aspek biologi, aspek teknis, aspek sosial, aspek ekonomi unit penangkapan ikan di perairan Maluku Unit penangkapan
Aspek biologi 4,41 3,90 2,87 736,46 50,34 90,90
Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan Sumber: data olahan 2009
4.3
Kriteria penilaian Aspek Aspek teknis sosial 1,52 2,4 1 1,76 1,45 1,34 1,94 2,7 2,21 2,38 2,16 2,21
Aspek ekonomi 2,45 0,5 1,28 2,77 2,9 2,46
Total
Rata-rata
UP
10,78 7,16 6,94 743,87 57,83 16,73
2,69 1,79 1,73 185,96 14,45 4,18
4 6 5 1 2 3
Aspek berkelanjutan Keberhasilan suatu operasi penangkapan sangat membutuhkan suatu acuan
yang jelas sehingga dalam pelaksanaannya harus didukung dari berbagai macam aspek yang saling berpengaruh terhadapnya. Aspek keberlanjutan merupakan suatu aspek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan karena berbagai macam faktor didalamnya yang harus dilaksanakan seperti: menerapkan teori yang ramah lingkungan, jumlah hasil tangkapan tidak melebihi yang diperbolehkan, penggunaan bahan bakar minyak rendah, menguntungkan, investasi rendah, serta memenuhi ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Hasil seleksi aspek berkelanjutan yang dilakukan terhadap semua jenis unit penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Maluku dapat disajikan pada Tabel 45
85
Tabel 45 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang berkelanjutan No
Unit Kriteria Unit Penangkapan Ikan yang Berkelanjutan penangkapan A B C D E F ikan 1 Pukat cincin 2 3 4 3 3 3 2 Pukat pantai 1 2 1 3 3 1 3 Bagan 2 3 2 2 3 3 4 Huhate 4 4 4 3 3 4 5 Pancing 4 4 4 3 4 4 tonda 6 Jaring insang 4 3 3 3 2 3 permukaan 7 Pukat udang 2 2 2 2 2 2 8 Payang 3 2 3 2 2 3 9 Pukat tarik 2 2 2 2 2 2 10 Rawai 4 2 2 2 2 2 11 Perangkap 3 4 2 4 4 2 Sumber: data olahan 2009
Total skor
Ratarata
18 11 15 22 23
3 1,83 2,5 3,66 3,83
18
3
12 15 12 14 18
2 2,5 2 2,33 3
Keterangan: A = menerapkan teknologi ramah lingkungan, B= Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, C= menguntungkan, D= investasi rendah, E= penggunaan BBM rendah, F= memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
Analisis aspek berkelanjutan dilakukan dengan cara mengolah data yang diperoleh dari jawaban responden sesuai dengan kriteria dan sub kriteria yang terdapat pada acuan analisis aspek berkelanjutan. Masing-masing alat tangkap diberi skor berdasarkan jawaban responden, kemudian skor tersebut dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya. Kemudian dari keseluruhan nilai rata-rata tersebut diambil nilai rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai rata-rata tertinggi dan nilai rata-rata terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk memperoleh nilai cutting off sebagai nilai terendah yang diambil untuk menentukan hasil seleksi unit penangkapan ikan. Nilai rata-rata tertinggi adalah
3,83 (pancing tonda) dan nilai rata-rata
terendah adalah 1,83 (pukat pantai) sehingga diperoleh nilai cutting off sebesar 2,83 yang berarti nilai rata-rata terendah yang meperhatikan aspek berkelanjutan adalah 2,83. Berdasarkan Tabel 45, unit penangkapan ikan yang memperhatikan aspek berkelanjutan di perairan Maluku adalah pancing tonda, huhate, jaring insang
permukaan,
perangkap,
bagan,
rawai,
sedangkan
yang
tidak
memperhatikan aspek berkelanjutan adalah pukat pukat cincin, pukat udang, pukat pantai, dan pukat tarik.
86
4.4
Aspek ramah lingkungan Hasil seleksi terhadap aspek ramah lingkungan dari setiap unit penangkapan
ikan pelagis kecil dan besar yang mengadakan operasi di perairan Maluku disajikan pada Tabel 46 Tabel 46 Hasil seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ramah lingkungan No
Unit Kriteria Unit Penangkapan Ikan yang Ramah Lingkungan penangkapan A B C D E F G H I ikan 1 Pukat cincin 1 2 3 3 3 3 3 2 3 2 Pukat pantai 1 1 2 2 2 2 2 2 1 3 Bagan 2 3 3 3 3 3 3 2 3 4 Huhate 4 3 3 3 4 3 3 3 3 5 Pancing 4 3 4 4 4 3 3 3 3 tonda 6 Jaring insang 4 3 3 4 3 3 3 3 3 permukaan 7 Pukat udang 1 2 2 2 1 2 2 2 2 8 Payang 2 2 3 3 3 3 3 3 2 9 Pukat tarik 1 1 2 2 2 2 2 2 2 10 Rawai 3 3 2 3 3 3 3 2 3 11 Perangkap 3 2 2 2 2 3 2 2 3 Sumber: Olahan data lapangan (2009)
Total skor
Ratarata
23 16 25 29 32
2,55 1,78 2,78 3,22 3,55
29
3,22
16 24 16 25 21
1,78 2,67 1,78 2,78 2,33
Keterangan: A= selektivitas tinggi, B= tidak destruktif terhadap habitat, C= hasil tangkapan berkualitas tinggi, D= tidak membahayakan nelayan, E= produknya tidak membahayakan konsumen, F= by-catch dan discard minim, G= tidak menangkap species yang hampir punah, H= dampak minimum terhadap biodiversity, I= dapat diterima secara sosial.
Analisis aspek ramah lingkungan dilakukan dengan cara mengolah data yang diperoleh dari jawaban responden sesuai dengan kriteria dan sub kriteria yang terdapat pada acuan analisis aspek ramah lingkungan. Masing-masing alat tangkap diberi skor berdasarkan jawaban responden, kemudian skor tersebut dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya. Kemudian dari keseluruhan nilai ratarata tersebut diambil nilai rata-rata tertinggi dan terendah. Nilai rata-rata tertinggi dan nilai rata-rata terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk memperoleh nilai cutting off sebagai nilai terendah yang diambil untuk menentukan hasil seleksi unit penangkapan ikan. Nilai rata-rata tertinggi adalah
3,55 (pancing tonda) dan nilai rata-rata
terendah adalah 1,78 (pukat pantai, pukat udang, pukat tarik) sehingga diperoleh nilai cutting off sebesar 2,66 yang berarti nilai rata-rata terendah yang meperhatikan aspek berkelanjutan adalah 2,66. Berdasarkan Tabel 46, unit
85
penangkapan ikan yang memperhatikan aspek ramah lingkungan di perairan Maluku adalah pancing tonda, jaring insang permukaan, huhate, rawai, payang dan perangkap, sedangkan yang tidak memperhatikan aspek berkelanjutan adalah pukat pukat cincin, pukat udang, pukat pantai, dan pukat tarik.
4.5 Opsi pengembangan unit penangkapan ikan pilihan Unit penangkapan ikan yang dipilih sebagai opsi pengembangan di perairan Maluku adalah unit penangkapan ikan yang memenuhi lebih baik dan lengkap dari aspek aspek pengembangan, baik aspek biologi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Analisis opsi pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu nilai unit penangkapan ikan dari hasil analisis masing-masing aspek, kemudian nilai tersebut dijumlahkan. Selanjutnya nilai tertinggi dan terendah dijumlahkan, kemudian dibagi 2 (dua) untuk menentukan nilai cutting off. Nilai tertinggi adalah 8,38 (pancing tonda) dan nilai terendah adalah 4,61 (pukat pantai). Nilai cutting off sebesar 6,49 yang artinya nilai terendah yang diambil menjadi opsi pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku adalah 6,49. Berdasarkan Tabel 47, unit penangkapan ikan yang menjadi opsi pengembangan di Maluku adalah
pancing tonda, huhate, jaring insang
permukaan, sedangkan unit penangkapan yang bukan menjadi opsi pengembangan adalah pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, perangkap, pukat cincin. Tabel 47 Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang layak dikembangkan di Maluku No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Unit penangkapan ikan Pukat cincin Pukat pantai Bagan Huhate Pancing tonda Jaring insang permukaan Pukat udang Payang Pukat tarik Rawai Perangkap
Biologi
Aspek Seleksi Berkelanjutan
Keterangan
1 1 1 1 1 1
2 1,83 2,66 3,66 3,83 3
Ramah lingkungan 2,33 1,78 2,78 3,22 3,55 3,22
1 1 1 1 1
2 2,5 2 2,33 2,66
1,78 2,67 1,78 2,67 2,33
Sumber: Olahan data lapangan (2009)
5,33 4,61 6,44 7,88 8,38 7,22 4,78 6,17 4,78 6 5,99
86
4.6
Alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku Tujuan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku adalah mengoptimalkan
produksi sumberdaya hayati perikanan mencapai potensi lestari, serta dalam pengembangannya tidak terlepas dari ketersediaan potensi sumberdaya, tenaga kerja dan faktor penunjang seperti infrastruktur, institusi dan sebagainya. LGP digunakan untuk menentukan jumlah alokasi unit penangkapan, devisiasi tujuan pengelolaan perikanan tangkap dan pemakaian sumberdaya. Pencapaian tujuan pembangunan perikanan tangkap yang sifatnya kontradiktif membutuhkan suatu pendekatan yang tepat untuk menyerasikan tujuan yang telah ditentukan, sehingga memudahkan pengambil kebijakan untuk mengatasi permasalahan mengenai pengalokasian sumberdaya. Pendekatan optimalisasi alokasi alat penangkapan ikan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik linear goal programming (LGP), yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahaan eksploitasi sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi LGP yang diperoleh akan meperlihatkan jumlah alokasi alat tangkap, deviasi tujuan pengelolaan perikanan tangkap dan pemakaian sumberdaya. Target tersebut didasarkan pada tujuan pembangunan perikanan Daerah Maluku, yang mencakup beberapa alat tangkap yang dioperasikan nelayan di Maluku antara lain pukat cincin (purse seine), pukat pantai (beach seine), bagan (liftnet), huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), serta jaring insang permukaan (drift gillnet). Pengalokasian sumberdaya perikanan tangkap dapat dilakukan berdasarkan manajemen kapasitas yaitu untuk menyelaraskan kapasitas produktif sumberdaya dengan kemampuan armada demi keberlanjutannya. Untuk itu digunakan target hasil tangkapan maksimum (MSY) sebagai basis, dengan demikian diperlukan hasil estimasi kapasitas alat tangkap saat ini dan kapasitas yang seharusnya dialokasikan serta hasil tangkapannya. LGP terdiri dari persamaan fungsi tujuan, fungsi kendala dan variabel keputusan. Persamaan fungsi tujuan mengekspresikan variabel deviasional dari kendala tujuan yang harus diminimumkan. Variabel deviasional pada fungsi tujuan bermanfaat unuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian diatas sasaran dan variabel deviasional yang berfungsi untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian
85
di bawah sasaran. Variabel deviasional tersebut akan merubah kendala menjadi sarana untuk mencapai sasaran yang dikehendaki. Penerapan LGP pada hakekatnya akan memberikan informasi penting dalam pengalokasian sumberdaya perikanan tangkap secara optimal, yaitu: 1) berapa alokasi optimal alat tangkap yang digunakan, 2) berapa besar ketercapaian tujuan yang dikehendaki sesuai target yang ditetapkan, dan 3) berapa besar sumberdaya yang dimanfaatkan dalam mencapai tujuan. Berdasarkan target kebijakan pengembangan dan variabel keputusan, maka sasaran yang ingin dicapai dalam optimalisasi alokasi armada penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku adalah: (1)
Mengoptimumkan ketersediaan sumberdaya ikan (SDI) Sumberdaya ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Maluku adalah
selar, layang, tembang, teri, komu, dan kembung, sedangkan sumberdaya ikan pelagis besar adalah tuna, tenggiri, tenggiri papan, tongkol, cakalang, dan layur. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan SDI tersebut didasarkan atas nilai TAC (total allowable catch) dan kemampuan masing-masing alat tangkap untuk menangkap ikan pelagis kecil. Adapun perhitungan nilai TAC, kemampuan menangkap alat untuk menyusun persamaan kendala tujuan dapat dilihat pada Lampiran 1. 1)
Ikan pelagis kecil
(i)
Ikan selar (Selaroides spp) Potensi lestari (MSY) ikan selar 5839,47 ton/tahun dengan TAC sebesar
4671,58 ton/tahun/unit. Ikan selar ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan selar adalah sebesar 10753,3 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1472,6 ton/tahun/unit, serta bagan 3138,2 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan selar adalah : 10753,3 X1 + 1472,6 X2 + 3138,2 X3 + DB1 - DA1 <= 4671,58 (ii)
Ikan layang (Decapterus russelli) Potensi lestari (MSY) ikan layang 11895 ton/tahun dengan TAC sebesar
9516 ton/tahun/unit. Ikan layang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap
86
ikan layang adalah sebesar 21.104,8 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 2782,6 ton/tahun/unit, serta bagan 4673,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan layang adalah : 21.104,8 X1 + 2782,6 X2 + 4673,3 X3 + DB2 - DA2 <= 9516 (iii) Ikan tembang (Sardinella fimbriata) Potensi lestari (MSY) ikan tembang 8176,74 ton/tahun dengan TAC sebesar 6541,40 ton/tahun/unit. Ikan tembang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan tembang adalah sebesar 3347,6 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 15443,5 ton/tahun/unit, serta bagan 14817,4 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tembang adalah : 3347,6 X1 + 15443,5 X2 + 14817,4 X3 +DB3 - DA3< = 6541,40 (iv)
Ikan teri (Stolephorus indicus) Potensi lestari (MSY) ikan teri 4983,32 ton/tahun dengan TAC sebesar
3986,65 ton/tahun/unit. Ikan teri ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan alat tangkap pukat cincin untuk menangkap ikan teri adalah sebesar 1353,5 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 8722 ton/tahun/unit, serta bagan 9569 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan teri adalah : 1353,5 X1 + 8722 X2 + 9569 X4 +DB4 - DA4 <= 4983,32 (v)
Ikan komu (Auxiss thazard) Potensi lestari (MSY) ikan komu 1493,82 ton/tahun dengan TAC sebesar
1195,5 ton/tahun/unit. Ikan komu ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan komu adalah sebesar 1070,1 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1359,4 ton/tahun/unit, serta bagan 1110,2 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan komu adalah : 1070,1 X1 + 1359,4 X2 + 1110,2 X3 + DB5 - DA5 <= 1195,5 (vi)
Ikan kembung (Rastreliger kanagurta) Potensi lestari (MSY) ikan kembung 1818,05 ton/tahun/unit dengan TAC
sebesar 1454,44 ton/tahun/unit. Ikan kembung ditangkap dengan menggunakan
85
alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan. Kemampuan pukat cincin untuk menangkap ikan kembung adalah sebesar 4525,1 ton/tahun/unit, pukat pantai sebesar 1955,4 ton/tahun/unit, serta bagan 1593,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan kembung adalah : 4525,1 X1 + 1955,4 X2 + 1593,3 X3 +DB6 - DA6 <= 1818,05 2)
Ikan pelagis besar
(i)
Ikan tuna (Thunnus sp) Potensi lestari (MSY) ikan tuna 9313,04 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar
7450,72 ton/tahun/unit. Ikan tuna ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tuna adalah sebesar 4715,4 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 4453 ton/tahun/unit, serta jaring insang 3345,3 ton/tahun/unit. Adapun perhitungan nilai TAC, kemampuan menangkap alat untuk menyusun persamaan kendala tujuan dapat dilihat pada Lampiran 2. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tuna adalah : 4715,4 X1 + 4453 X2 + 3345,3 X3 + DB7 – DA7 <= 7450,72 (ii)
Ikan tenggiri (Scomberomorus commersoni) Potensi lestari (MSY) ikan tenggiri 406,13 ton/tahun/unit dengan TAC
sebesar 324,90 ton/tahun/unit. Ikan tenggiri ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan alat tangkap huhate untuk menangkap ikan tenggiri adalah sebesar 18,8 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 893,2 ton/tahun/unit, serta jaring insang 637,4 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tenggiri adalah : 18,8 X1 + 893,2 X2 + 637,4 X3 + DB8 – DA8 <= 324,90 (iii) Ikan tenggiri papan (Scomberomorus gutatus) Potensi lestari (MSY) ikan tenggiri papan 160 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 128 ton/tahun/unit. Ikan tenggiri papan ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tenggiri papan adalah sebesar 17,5 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar
86
557,1
ton/tahun/unit.
Persamaan
kendala
tujuan
untuk
mengoptimalkan
ketersediaan sumberdaya ikan tenggiri papan adalah : 17,5 X1 + 557,1 X2 + DB9 – DA9 <= 128 (iv) Ikan tongkol (Euthynnus affinis) Potensi lestari (MSY) ikan tongkol 7030,82 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar 5624,65 ton/tahun/unit. Ikan tongkol ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda. Kemampuan alat huhate untuk menangkap ikan tongkol adalah sebesar 5850,3 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 3710,2 ton/tahun/unit, dan jaring
insang sebesar 2212,8 ton/tahun/unit. Persamaan
kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan tongkol adalah : 5850,3 X1 + 3710,2 X2 + 2212,8 X3 + DB10 – DA10 <= 5624,65 (v)
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Potensi lestari (MSY) ikan cakalang 49133,78 ton/tahun/unit dengan TAC
sebesar 39307,02 ton/tahun/unit. Ikan cakalang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan
alat
tangkap huhate untuk menangkap ikan cakalang adalah sebesar 100983,7 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 8534,7 ton/tahun/unit, dan jaring permukaan
sebesar 7183,7 ton/tahun/unit.
insang
Persamaan kendala tujuan untuk
mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan cakalang adalah : 100983,7 X1 + 8534,7 X2 + 7183,7 X3 + DB11 – DA11 <= 39307,02 (vi)
Ikan layur (Istiophorus oriental) Potensi lestari (MSY) ikan layur 250 ton/tahun/unit dengan TAC sebesar
200 ton/tahun/unit. Ikan layur ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda, dan jaring insang. Kemampuan pancing tonda untuk menangkap ikan layur adalah sebesar 210,1 ton/tahun/unit, pancing tonda sebesar 124,3 ton/tahun/unit. Persamaan kendala tujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan sumberdaya ikan layur adalah : 210,1 X2 + 124,3 X3 + DB12 – DA12 <= 200 3)
Memaksimumkan alat tangkap Meminimumkan alat penangkapan ikan dimaksudkan untuk menentukan
alokasi optimal dari enam alat penangkapan ikan antara lain: pukat cincin (purse
85
seine), pukat pantai (beach seine), bagan (liftnet), huhate (pole and line), pancing tonda (troll line), serta jaring insang permukaan (drift gillnet) yang saat ini beroperasi di perairan Maluku. Berdasarkan data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku tercatat jumlah armada perikanan tangkap untuk kelima alat tersebut sampai tahun 2007 adalah 42902 unit. Namun, dengan pertimbangan keberlanjutan usaha perikanan dan sumberdaya ikan, maka pengalokasian alat penangkapan ikan adalah pukat cincin 272, pukat pantai 435, bagan 1659, huhate 404, pancing tonda 27.471, serta jaring insang permukaan 12.661 unit. Dengan demikian maka model persamaan adalah: DB13 + 272 X1 + 435 X2 + 1659 X3 + 404 X4 + 27471 X5 + 12661X6 +DB13- DA13>= 42902 dimana: X1 X2 X3 X4 X5 X6
= alat tangkap pukat cincin = alat tangkap pukat pantai (unit) = alat tangkap bagan (unit) = alat tangkap huhate (unit) = alat tangkap pancing tonda (unit) = alat tangkap jaring insang permukaan (unit) Berdasarkan hasil analisis dengan program Lindo, target sasaran untuk
mengoptimalkan upaya pengembangan alat penangkapan dapat tercapai. Hal ini di tunjukkan oleh nilai DB13= 0. 4)
Memaksimumkan penyerapan tenaga kerja Mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja merupakan target untuk dicapai
melalui pengalokasian optimum alat tangkap di perairan Maluku. Optimalisasi alokasi armada seyogianya dapat menyerap tenaga kerja nelayan pada jumlah tertentu yang tetap menghasilkan efisiensi teknis penangkapan yang lebih tinggi. Sasaran mengoptimalkan jumlah tenaga kerja merupakan bagian dari kebutuhan penangkapan yang berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan. Berdasarkan wawancara dengan nelayan dan pengamatan di lokasi penelitian, rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan untuk masing-masing alat tangkap pukat cincin 25 orang, pukat pantai 14 orang, bagan 4 orang, huhate 28 orang, pancing tonda 2 orang, dan jaring insang permukaan 3 orang. Total sumberdaya manusia nelayan di Maluku berdasarkan data Statistik Perikanan dan Kelautan Maluku tahun 2006 tercatat 114.130 orang. Diasumsikan nelayan pelagis yang
86
beroperasi di perairan Maluku sekitar 80%, maka jumlah nelayan penuh 91.304 orang. Hal ini tentunya berhubungan dengan erat dengan alokasi upaya penangkapan serta target produksi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan sehingga diharapkan penyerapan tenaga kerja ditetapkan sesuai dengan alokasi rata-rata nelayan pada setiap alat tangkap. Dengan demikian model persamaan penyerapan tenaga kerja adalah sebagai berikut: 25X1+ 14X2+ 4X3 + 28X4 + 2X5 + 3X6 + DB14+DA14<= 91304 dimana: X1 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pukat cincin (orang/unit) X2 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pukat pantai (orang/unit) X3 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan bagan (orang/unit) X4 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan huhate (orang/unit) X5 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan pancing tonda (orang/unit) X6 = rata-rata penyerapan tenaga kerja nelayan jaring insang permukaan (orang/unit) Hasil analisis dengan program LINDO menunjukkan bahwa target sasaran mengoptimalkan penyerapan tenaga kerja dapat tercapai yang ditunjukkan oleh nilai DB14 = 0. 5)
Memaksimumkan penerimaan asli daerah (PAD) Memaksimumkan PAD adalah merupakan target untuk dicapai melalui
pengalokasian alat penangkapan ikan pelagis. Kontribusi setiap alat tangkap dianggap sebagai PAD dari kegiatan perikanan pelagis di perairan Maluku. PAD yang diperoleh dari pungutan hasil perikanan dari setiap alat tangkap dapat ditetapkan 2,25% nilai total penjualan sesuai dengan peraturan yang berlaku di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan yang kami temui bahwa setiap kilogram ikan pelagis kecil dijual dengan harga Rp 5000, maka kontribusi pukat cincin sebesar Rp 17.042.005, pukat pantai Rp 2.185.428, bagan Rp 2.010.420, huhate Rp 22.000.000, pancing tonda Rp 8.750.000, jaring insang permukaan Rp 3.000.000. Pungutan yang diperoleh melalui hasil perikanan pelagis
di perairan Maluku pada saat kondisi hasil
tangkapan maksimum lestari (MSY) yang diestimasi sebesar Rp 1.237.226.693, sehingga model persamaannya dapat dirumuskan sebagai, 17.042.005X1+2.185.428X2+2.010.420X3+22.000.000X4+8.750.000X5+3. 000.000X6 + DB15 + DA15<=1.237.226.693
85
dimana: X1 X2 X3 X4 X5 X6
= rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi = rata-rata kontribusi
PAD oleh pukat cincin (Rp/unit) PAD oleh pukat pantai (Rp/unit) PAD oleh bagan (Rp/unit) PAD oleh huhate (Rp/unit) PAD oleh pancing tonda (Rp/unit) PAD oleh jaring insang permukaan (Rp/unit)
Hasil analisis dengan program LINDO, memperlihatkan bahwa target sasaran mengoptimalkan PAD dari pungutan hasil perikanan ikan pelagis dapat tercapai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai DB 15 = 0. 6)
Meminimumkan penggunaan BBM Berdasarkan hasil analisis data lapangan, jenis BBM untuk kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan di perairan Maluku terdiri dari bersin, solar, dan minyak tanah. Total alokasi BBM untuk kegiatan perikanan sekitar 5000 liter/trip dan penggunaan ini merupakan patokan maksimum sehingga tidak berimplikasi terhadap pembengkakan biaya BBM yang menyebabkan armada tidak bisa beroperasi. Kenaikan harga dan pengurangan subsidi BBM berdampak pada pola operasi penangkapan, karena BBM merupakan komponen terbesar biaya operasi yang harus ditanggung oleh nelayan. Kebijakan kenaikan harga BBM dan pengurangan subsidi tentunya merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha penangkapan. Penggunaan BBM rata-rata dari armada penangkapan yang mengadakan operasi menunjukkan bahwa pukat cincin sekitar 200 liter/trip, pukat pantai 10 liter/trip, bagan 20 liter/trip, huhate 3000 liter/trip, pancing tonda 100.5 liter/trip, serta jaring insang permukaan 75 liter/trip. Alat tangkap pukat pantai, bagan, adalah merupakan alat tangkap yang menggunakan bahan bakar pada lampu sebagai sumber cahaya untuk mengumpulkan ikan. Dengan demikian, model persamaan matematis mengoptimalkan penggunaan BBM dalam pengembangan alat penangkapan ikan di perairan Maluku adalah: 200X1 + 10X2 + 20X3 + 3000X4 + 100.5X5 + 75X6 + DB16-DA16<= 5000 dimana: X1 = penggunaan BBM oleh kapal pukat cincin (liter/trip) X4 = penggunaan BBM oleh kapal huhate (liter/trip)
86
X5 = penggunaan BBM oleh kapal pancing tonda (liter/trip) X6 = penggunaan BBM oleh kapal jaring insang permukaan (liter/trip) Tabel 48 memperlihatkan tentang alokasi optimal unit-unit penangkapan ikan pelagis yang diharapkan dapat direkomendasikan penambahan atau pengurangan alat tangkap yang dioperasikan di perairan Maluku. Tabel 48 Alokasi alat tangkap dan solusi optimal perikanan pelagis di perairan Maluku No
Jenis Armada Aktual (unit)
1 2 3 4 5 6
Pukat cincin (X1) Pukat pantai (X2) Bagan (X3) Huhate (X4) Pancing tonda (X5) Jaring insang (X6)
272 435 1659 404 27471 12661
Solusi optimal Basis (unit) 257 260 1419 1457 40940 30000
Hasil Optimalisasi Penambahan /pengurangan -15 -175 -240 +1053 +13469 +17339
Keterangan
Upaya yang di tempuh untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku adalah dengan penambahan unit tangkap dan perluasan daerah penangkapan
Sumber: data penelitian 2009 Hasil analisis LGP terhadap unit penangkapan ikan pelagis terlihat bahwa pengembangan berdasarkan solusi optimal untuk pukat cincin, pukat pantai, bagan, huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan masing-masing 257 unit, 260 unit, 1419 unit, 1457 unit, 40940 unit, dan 30000 unit. Kenaikan jumlah alat tangkap untuk dikembangkan, antara lain: huhate (1053 unit), pancing tonda (13469 unit), dan jaring insang (17339 unit). Pengurangan terjadi pada jumlah alat tangkap pukat cincin (15 unit), pukat pantai (175 unit), serta bagan (240 unit). Pengurangan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil (pukat cincin, bagan, dan pukat pantai) disebabkan karena alat tangkap ini dianggap tidak ramah lingkungan sehingga kalau hal ini tidak ditindak-lanjuti akan mempengaruhi stok sumberdaya yang ada di perairan Maluku. Kenaikan jumlah alat tangkap ikan pelagis besar sangat berpengaruh pada sumberdaya sehingga pengelolaan dilakukan akan tetap berkelanjutan. Upaya yang ditempuh dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah dengan penambahan jumlah armada penangkapan, perbaikan alat tangkap dengan penggunaan teknologi tepat guna, serta perluasan daerah penangkapan dengan memperhatikan aturan yang berlaku sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan pendapatan asli daerah. Kebijakan yang ditempuh berdasarkan solusi optimal basis pengembangan perikanan pelagis di
85
perairan Maluku dalam pencapaian sasaran pengembangan yang dilakukan secara bertahap.
4. 7 Modifikasi Prototipe Alat Tangkap di Perairan Maluku Desain armada penangkapan harus sesuai dengan fungsinya seperti ukuran kapal, alat tangkap, mesin yang digunakan diharapkan akan berpengaruh terhadap pengelolaan potensi sumberdaya perikanan. Di Maluku, pengoperasian ketiga alat tangkap antara lain: huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pengembangan perikanan di daerah ini. Namun, masih terdapat berberapa kelemahan dari alat-alat tangkap ini dan perlu dikaji serta diusulkan
prototipe sehingga akan diperoleh bentuk yang akan
dikembangkan dimasa datang, yang adalah sebagai berikut:
4.7.1 Alat tangkap huhate (pole and line) 4.7.1.1 Joran pancing huhate Konstruksi dari joran pancing huhate yang digunakan nelayan di Maluku umumnya sudah cukup sempurna ditinjau dari segi teknis. Dari segi teknis, suatu kelemahan pada alat huhate terdapat pada joran pancing, yang mana sampai sekarang nelayan masih menggunakan batang bambu. Pengembangan alat tangkap ini dapat dilakukan dengan mempergunakan modifikasi joran pancing yang lebih kokoh (kuat), lentur, ringan dan tahan lama. Karakteristik joran pancing saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan disajikan pada Tabel 49 Tabel 49 Spesifikasi joran pancing saat ini dan arahan penyempurnaannya yang akan dikembangkan Spesifikasi 1. Joran
Kelemahan 1 Joran pancing masih menggunakan bambu 2Tidak tahan benturan keras 3 Mudah lapuk
terhadap
4 Jenis bambu tersebut sukar diperoleh di alam 5 Bambu yang digunakan cukup berat
Arahan penyempurnaan Menggunakan bahan fiber glass dengan tulang dari bahan stainless steel
Kondisi yang diharapkan 1 Lebih ringan
2 Tidak menguras tenaga pemancing 3 Lebih kuat 4 Tahan terhadap benturan keras 5 Umur pakai panjang 6 Tidak mudah lapuk 7 Tidak mudah patah
Sumber: data penelitian 2009
86
Dasaar pertimbaangan untukk membuat modifikasi m prototipe p jooran baru, karena k dalam opeerasi penanggkapan cak kalang dengan mengguunakan kapaal huhate saaat ini bahwa terrlihat bahwaa ukuran jooran (3 metter) dianggaap terlalu panjang p sehingga mengakibaatkan pemaancing menngalami kesulitan pad da saat panncing, ikan hasil tangkapann seringkalii melewati bagian decck kapal seehingga meenyebabkan ikan hasil tangkkapan jatuhh kelaut. Suattu kelemahhan dari modifikasi prototipe alat huh hate ini adalah a memerluk kan biaya yaang lebih beesar. Meskippun demikiaan, dengan umur u pakai yang panjang dan d meningkkatnya efisiensi penanngkapan meerupakan faaktor yang dapat mengkomp mpensasikan kelemahann tersebut sehingga s dapat dipertimbangan untuk u dikembanggkan di masa m yang akan dataang. Modiffikasi yangg diusulkann ini diharapkann dapat meembantu neelayan khussusnya nelaayan yang mengoperaasikan yang alat tangkkap huhate dengan tetaap memperrhatikan asppek-aspek lingkungan l dapat berppengaruh terhadap t peengelolaan sumberdayya perikanaan dan kelaautan. Gambar desain d tanggkai pancinng yang seekarang diggunakan olleh nelayann dan modifikasi baru, dapaat dilihat paada Gambar 30 dan Gam mbar 31
G Gambar 30 Joran panciing huhate saat s ini.
Gambar 31 Modifikasi joran panncing yang aakan dikem mbangkan paada kapal huuhate.
85
Perbandingan hasil tangkapan yang diperoleh antara joran pancing yang terbuat bambu dengan joran pancing modifikasi dari fiberglass dapat disajikan pada Tabel 50 Tabel 50 Perbandingan karakteristik joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass
1 2
Joran pancing bambu
Joran pancing fiberglass
Berat ikan hasil tangkapan yang diangkat dengan joran ini dapat mencapai 9,2 kg Waktu yang dibutuhkan dalam 30 menit untuk 1 orang pemancing dalam mengangkat ikan hasil tangkapan mencapai 25 ekor
Berat ikan hasil tangkapan yang diangkat dengan joran fiberglass mencapai >10,5 kg Jumlah hasil tangkapan dapat mencapai 35 ekor
Sumber: data penelitian 2009 4.7.1.2 Kapal huhate Di Maluku, kapal huhate (pole and liner) dapat digolongkan dalam dua jenis, yakni rurehe dan motor ikan. Rurehe adalah kapal huhate berukuran kecil yang menggunakan sistem motor tempel (outboard engine system) dimana ruang para pemancing terdapat di bagian buritan kapal, sedangkan motor ikan adalah kapal huhate berukuran lebih besar dari rurehe yang menggunakan motor dalam (inboard engine system) dan ruang para pemancing berada di bagian haluan kapal. Pengembangan perikanan huhate di Maluku ditinjau dari sisi peningkatan upaya penangkapan kaitannya dengan potensi sumberdaya ikan, khususnya dengan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang, masih memiliki peluang yang cukup besar. Umumnya pembangunan kapal huhate (pole and line) di Maluku masih dilakukan di galangan kapal rakyat tanpa menggunakan acuan yang jelas sebagai indikator untuk membuat sebuah kapal yang layak, padahal dengan menggunakan desain dan perhitungan-perhitungan yang matang maka sebuah kapal akan layak untuk dibuat. Sekarang ini proses pembuatan kapal ikan yang digunakan untuk tujuan penangkapan, masyarakat masih menggunakan teknik-teknik tersendiri sesuai keahlian yang mereka miliki sehingga kadang-kadang mereka salah dalam perhitungan dan menyebabkan kapal akan mengalami gangguan pada saat operasi di laut. Proses pembuatannya dilakukan tanpa perencanaan desain dan konstruksi, tetapi pada pola kapal huhate yang dibangun terlebih dahulu harus berdasarkan
86
spesifikasinya yang diinginkan pembeli. Hasil dari proses pembangunan kapal tersebut memang dapat digunakan untuk melakukan operasi penangkapan, tetapi pemenuhan standar kelayakan pengoperasian kapal belum diketahui. Kapal yang dibuat oleh desainer kapal yang ada di daerah Maluku secara keseluruhan hampir mempunyai ukuran yang hampir sama. Kelemahannya yaitu terletak pada ukuran panjang dan lebar kapal terlalu kecil sehingga stabilitas tidak berfungsi dengan baik. Beberapa daerah di Maluku yang melakukan pembangunan kapal huhate antara lain: Desa Tulehu, Waai, Negeri Lima, Hila. Operasi penangkapan ikan dari unit-unit perikanan huhate yang dilakukan di perairan Maluku adalah dengan sistem sistem one-day-fishing. Artinya bahwa pada saat menjelang pagi nelayan setelah memperoleh ikan umpan, kemudian mereka menuju ke daerah penangkapan yang dianggap sebagai tempat operasi penangkapan, setelah mendapatkan hasil tangkapan dan pada saat itu juga nelayan kembali ke fishing base. Hasil tangkapan yang diperoleh kadang-kadang langsung dijual kepasar ataupun disimpan di cold storage. Umumnya rata-rata waktu operasi penangkapan mulai dari pelayaran dari pangkalan pendaratan, pencarian kelompok ikan, pemancingan kelompok ikan hingga kembali ke pangkalan pendaratan dari unit-unit huhate di Maluku adalah 10 jam. Karakteristik kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang akan dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 51 Tabel 51 Spesifikasi kapal huhate saat ini dan modifikasi baru yang dikembangkan Spesifikasi 1. Ukuran panjang 14,83, Lebar 3,24, tinggi 2,50 m 2 Flyng deck 2,00 m
akan
Arahan penyempurnaan
Kondisi yang diperoleh
Modifikasi kapal yang lebih panjang dan lebar
1 Ukuran panjang 15,26, lebar 3,64, tinggi 2,62 m 2 Flyng deck 1,40 m
3 Palka ikan 1,00m3 (2 buah),1,2m3(2buah), 1,5m3 (2buah), palka umpan hidup 1.50 m 3 (2 buah)
3 Volume palka ikan 1,2m3(2bh); Volume 1,5m3(2bh); Volume 1,7 m3 (2 bh), palka es 2,3m3(2bh), palka umpan hidup1,75 m3 (3 bh), palka air tawar Volume 500 liter (2 buah)
4 Jumlah pancing 30 buah dengan bahan dari bambu
4 Jumlah Joran pancing dengan bahan fiber glass (30 bh) dengan panjang 2,75 m 5 Peralatan navigasi kompas, life jacket, hand GPS, SSB, peta laut.
5 Peralatan navigasi belum lengkap (kompas, SSB, peta laut) 6 Menggunakan bahan kayu yang di laminating dengan fiberglass 7 Mesin listrik 2 kWh
Sumber: data penelitian 2009
6 Menggunakan bahan fiberglass 7 Mesin listrik Merk Yanmar 5 kWh
85
Keterangan: 1 Baak penampungan hasil tan ngkapan 2 Baak umpan 3 Ru uang kemudi 4 Ru uang ABK 5 WC 6 Teempat pemantauaan gerombolan ikan
2,50 m
Gambar 32 Deesain kapal huh hate (pandangan n samping) saat ini di perairan Maluku M
1
1
2
1
3 1
4 4
5
2
Gambar 33 Desain kapal hu uhate (pandang gan atas) saat inii di perairan Maaluku
86
Keterangan: 1 Bak penam mpungan hasil tangkapan 2 Bak umpaan 3 Ruang kem mudi 4 Ruang AB BK 5 Tempat peemantauan 6 Ruang tem mpat penyimpanan n peralatan tangkap 7 WC p 8 Tempat pemancingan 9 Ruang m mesin
9
Gambar 34 Kapal K huhate (pandangan dari ssamping) yang akan a dikembangkan di Maluku u
7
6
4
2
1
1
2
1
8
3
Gambar 35 Kapal K huhate (pandangan atas) yang akan dikeembangkan di perairan p Maluku u
126
Gambar 32 dan Gambar 33 memperlihatkan desain kapal huhate saat ini di perairan Maluku. Desain kapal huhate saat ini dimodifikasi sehingga didapatkan suatu bentuk desain kapal yang lebih efektif dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Maluku. Modifikasi kapal huhate (Gambar 34 dan Gambar 35) dilakukan hanya dengan merubah ukuran panjang, lebar, tinggi serta memodifikasi palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka. Dibandingkan dengan desain kapal huhate yang dimiliki nelayan di Maluku, hanya satu keunggulan dari modifikasi prototipe kapal huhate yang diusulkan dengan sistem motor dalam ini adalah dapat memproduksikan skipjack loin. Kesesuaian ukuran kapal ataupun model kapal dengan ukuran alat, jenis ikan target, kebutuhan bahan bakar akan mempengaruhi kondisi kapal pada saat beroperasi yang berdampak pada keselamatan pelayaran secara umum. Hal ini didukung oleh pendapat Unus et al (2005) yang mengatakan bahwa suatu operasi penangkapan dapat optimal apabila dapat memperhatikan faktor keselamatan, pelayaran di laut, karena operasi penangkapan ikan merupakan aktifitas yang beresiko tinggi, selanjutnya dikatakan juga bahwa unsur kecelakaan sering terjadi laut pada kapal-kapal ukuran < 12 meter dan presentase kecelakaannya 54%, jenis kecelakaan tenggelam sebesar 40,66%. 4.7.1.3 Modifikasi palka kapal huhate yang diusulkan pengembangannya Terdapat kelemahan pada sebagian besar pole and liner yang ada di Maluku antara lain: pada kapal dengan inboard engine, desain palka hanya menghasilkan produk untuk pasaran lokal dan belum dimodifikasi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu bentuk produk ekspor. Hanya ada satu hal yang diusulkan untuk penyempurnaan konstruksi modifikasi palka dirubah agar dapat berfungsi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu bentuk produk eksport yang belakangan ini permintaan akan produk tersebut sangat tinggi. Gambar 36 menunjukkan bentuk desain palka kapal huhate saat ini serta
Gambar
37
menunjukkan
pengembangannya di perairan Maluku
modifikasi
palka
yang
diusulkan
86
Gambar 36 Desain palka p kapall huhate saatt ini Peru ubahan benntuk palka dengan d carra penambaahan bahan styrofoam pada dinding palka p dengaan tujuan dapat mem mperlambat proses peembusukan yang terjadi paada hasil taangkapan. Hal H ini seppendapat deengan IPPT TP DKI Jaakarta (1998) meenyatakan bahwa b unttuk memperrtahankan kualitas k ikan pasca tanngkap adalah den ngan mengggunakan buusa (styrofooam) pada peti p atau palka. Spesifikasi desain pallka kapal huhate h saat ini dan araahan penyeempurnaannnya dapat dilihat d pada Tabeel 52 Tabel 522 Spesifikaasi desainn palka kapal k huhaate saat in ni dan arrahan penyem mpurnaannyaa Spesiffikasi
Kelemah han
1 Desain palka hanya terbuat dari lapisan fiberglass
Tidak m memproduksi loin
dapat skipjack
2 Tidak mennggunakan Styrofoam pada dinding pallka 3 Desain palka hanya untuk kebutuhan pasar lokall
Kualitas hasil tangkapan K t t tidak baik
Arahan naan penyempurn
Kondisi yang diperoleh
M Modifikasi palkaa kapal deengan penam mbahan styyro foam pada diinding palka
1Penambahan styrrofoam padda palka kapal hhuhate
2 Mo odifikasi palka dengan d kettebalan styrofoaam 515 cm 3Biay ya pembuatan mo odifikasi palka cukup c bessar tetapi dapat diimbangi dengann hasil tanngkapan yang dip peroleh 4 Meemperlambat prroses pem mbusukan padaa hasil tan ngkapan 5 Meenghasilkan prooduk skippjack loin
Sumber: data d penelitiian 2009
Moddifikasi pallka ini hannya diubahh dengan menambah m styrofoam pada dinding palka p tanpa merubah bentuk palka yang adda. Modifikkasi palka yang dibuat ini mempunyaai beberapa kelebihan k b dibandinngkan denggan kondisi palka bila kapal huhate saat ini antara lain:: 1) mempeerlambat prooses pembusukan padaa hasil
85
tangkapann, 2) mutu hasil h tangkap apan merupaakan suatu bentuk b prodduk skipjackk loin yang siap untuk di ekkspor yang akhir-akhirr ini permin ntaannya seemakin tinggi, 3) nyai ketebaalan styroffoam 5-15 cm, 4) biaya modifikasi palka inni mempun pembuatan n modifikassi palka inii cukup bessar tapi dap pat diimban ngi dengan hasil tangkapann ikan pellagis besarr yang di peroleh dari d kapal huhate. Upaya U memperolleh perubahhan perbanddingan desaain palka kaapal huhatee saat ini deengan modifikasi yang dibuuat untuk dikembangk d kan di perairan Malukku adalah seeperti terlihat paada Tabel 533 Tabel 53 Perbandinga P an desain paalka saat inii dengan moodifikasi paalka kapal huhate h di d perairan Maluku M Desain palka saat in ni
Modifikasi M palka
1
Dapat menampungg 450 ekor/palkka
M Menampung 6775 ekor/palka
2
Daya tahan hasil tangkapan di d dalam palkaa mencapai 7 jam Konddisi es dalam m palka menccair lebih cepat
Daya tahan haasil tangkapann dapat mencapai D 122 jam K Kondisi es dalaam palka lambbat mencair
3
Sumber: data d penelittian 2009 Stryro foa am pada palka dengan keteb balan 5-15 cm
Dindinng palka dari fiberglass f
Gamb bar 37 Modiifikasi palkaa yang akann dikembanggkan pada kapal k huhatee. 4.7.2 Alat tangkap pancing p ton nda (troll liine) 4.7.2.1 Allat pancing tonda Padaa alat tangkkap pancing tonda (trolll line) yangg digunakan n oleh nelayyan di Maluku, pada p umum mnya ditem mukan bebeerapa kelem mahan padaa konstrukssinya, yakni: 1) ukuran u senaar yang diguunakan nom mor 800 term masuk kateggori ukuran senar
86
yang kecil untuk menangkap ikan tuna. Diameter senar yang kecil efektif untuk memperdayai ikan agar tidak melihat dan terusik oleh senar yang digunakan, akan tetapi hanya mampu menangkap ikan tuna dengan berat 50 – 60 kg, tapi itu pun memerlukan waktu yang lama untuk memperoleh ikan yang telah terkait. Sementara terhadap ikan tuna yang beratnya di atas 60 kg, sering terjadi putusnya senar tersebut, 2) tidak digunakannya bahan pelindung senar pada bagian dekat mata pancing dapat menyebabkan putusnya senar karena tidak tahan terhadap gesekan gigi ikan sewaktu penarikan ikan yang sudah terkait pada mata pancing, 3) tidak menggunakan swivel sehingga menyebabkan kusutnya senar, serta 4) kail yang digunakan masih berbentuk/tipe “J” (J-shaped) yang mana sering terbukanya mata pancing pada saat penarikan ikan tuna yang telah terkait pada mata pancing menyebabkan lolosnya ikan, sehingga gagal tangkap. Kelemahan-kelemahan pada konstruksi alat pancing tonda dapat di atasi bila menggunakan ukuran senar yang lebih besar misalnya nomor 1000 sampai 1500 dengan tipe kail circle-shapped No.1, yang dilengkapi dengan swivel, bahan pelindung pada bagian senar dekat mata pancing.
Tabel spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda serta
kondisi yang diharapkan dapat disajikan pada Tabel 54 Tabel 54 Spesifikasi modifikasi alat tangkap pancing tonda. Spesifikasi lama 1. Ukuran senar terlalu kecil (N0 800)
Arahan penyempurnaan Modifikasi prototipe alat pancing tonda untuk dikembangkan di perairan Maluku
Kondisi yang diharapkan 1 Ukuran senar besar (No 1000-1500)
2 Type kail “J” shapped
2 Type kail cyrcle shapped No 1
3 Tidak menggunakan bahan pelindung dekat senar
3 Menggunakan bahan pelindung dekat senar
4 Tidak menggunakan swivel
4 Menggunakan swivel dekat mata pancing 5 Ikan yang terkait sukar untuk terlepas
5 Ikan yang terkait pada mata pancing mudah terlepas 6 Menggunakan satu mata pancing
6 Dapat dioperasikan lebih dari 1 unit pancing
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 54 menunjukkan perbandingan spesifikasi alat tangkap pancing tonda saat ini dengan kondisi yang diharapkan. Pada kondisi ini diharapkan modifikasi yang diusulkan dapat membantu nelayan dalam meningkatkan pendapatan. Gambar desain alat tangkap pancing tonda yang dioperasikan oleh nelayan saat ini serta gambar modifikasi prototipe alat pancing tonda yang diusulkan
85
untuk dikkembangkan di perairaan Maluku dapat disaj ajikan pada Gambar 388 dan Gambar 39
Monofilaamen Horsehaair/ Maize
Rubber
Plastic/Bone
p tondda yang diooperasikan nelayan n saaat ini di perrairan Gambar 38 Desain pancing Maluku.
u Gambaar 39 Moddifikasi prottotipe alat pancing toonda yang diusulkan untuk dikem mbangkan menangkap m ikan tuna di d perairan Maluku. M Hasiil perbandinngan keungggulan panccing tonda saat ini deengan modifikasi yang diussulkan
seesuia hasil tangkapann yang dipperoleh padda saat opperasi
penangkappan dilakukkan di perairran Malukuu dapat disajjikan pada Tabel 55 beerikut ini. p tonnda saat inii dan modifikasi Tabel 55 Perbandinggan keungggulan alat pancing yang diusuulkan untuk dikembangkan Panccing tonda saat s ini
Modiifikasi yang g diusulkan
1
Hasil tangkkapan relatiif sedikit ((11 Relatiff lebih ekor/triip) ekor/trip)
2
Berat ikan hasil tangkaapan 0,8 kg--35 Berat ik kan dapat mencapai m > 455 kg kg
Sumbeer: data pennelitian 2009 9
b banyak
(166
86
4.7.2.2 Kapal pancing tonda Salah satu jenis usaha perikanan tangkap yang memiliki prospek sangat baik untuk dapat dikembangkan di Provinsi Maluku pada saat ini adalah pancing tonda (troll line). Pengembangan perikanan pancing tonda di Maluku dilihat dari sisi peningkatan upaya penangkapan kaitannya dengan potensi sumberdaya ikan, khususnya dengan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang dan tuna besar yang tersedia, memiliki peluang yang cukup besar. Kapal tonda adalah kapal penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan ekonomis penting seperti cakalang, tuna besar dan tenggiri yang memiliki kecepatan renang yang tinggi. Metode penangkapan pancing tonda adalah mengejar kelompok ikan-ikan , maka diperlukan kecepatan kapal yang tinggi dan ruang dek yang luas. Berdasarkan Gambar 40 dan Gambar 41 terlihat bahwa kapal tonda yang dimiliki nelayan di Maluku dengan daerah penangkapan yang luas dan jauh dari tempat pendaratan memiliki beberapa kelemahan lain seperti: 1) ukuran kapal yang relatif kecil (p x l x d = 7 sampai 8 x 0,80 x 1,05 m) dengan daya tampung hasil tangkapan sebesar 0,5 ton, 2) kapal tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi maupun peralatan keselamatan kerja di laut, 3) mesin yang digunakan berbahan bakar bensin, 4) kapal tidak dilengkapi dengan tempat penyimpanan hasil tangkapan (cool box) yang memadai sehingga penanganan hasil tangkapan tidak efisien akibat ukuran kapal terlalu kecil, 5) sering terjadi kecelakaan di laut, serta 6) kapal tidak laik laut pada saat laut berombak/bergelombang. Keunggulan kapal pancing tonda yang dioperasikan di perairan Maluku saat ini belum dapat mengatasi kelemahan
yang ada sehingga perlu
pengembangan lanjutan tentang modifikasi kapal dengan keunggulan yang sangat membantu nelayan sehingga dapat meningkatkan produktifitas. Ukuran kapal yang lebih besar disamping lebih laik laut dan daya tampung hasil tangkapan yang lebih besar, juga dapat meningkatkan kenyamanan kerja. Sedangkan perlengkapan kompas dan life-jacket dapat digunakan untuk menghindari tersesatnya nelayan di laut khususnya pada waktu cuaca berkabut atau pada jarak dimana tidak lagi terlihat pulau sebagai objek baringan, serta jika terjadi kecelakaan di laut, nelayan dapat menggunakannya sebagai tindakan penyelamatan pertama.
126
Keteraangan: 1 Tem mpat mesin 2 Tem mpat duduk nelayan n 3 Tem mpat cool box
1,05 m
Desain kapal paancing tonda (paandangan sampiing) saat ini di Maluku. M Gambar 40 D
3
2
1,05 m
1,05 m
Desain kapal paancing (pandang gan atas) tonda saat s ini di Maluuku. Gambar 41 D
1
126
Berdasarkan pada kelemahan, maka diusulkan modifikasi prototipe kapal tonda untuk dikembangkan di perairan Maluku dengan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 56 Tabel 56 Spesifikasi dan kondisi positif yang diharapkan kapal pancing tonda di perairan Maluku Spesifikasi lama
Kelemahan
Spesifikasi baru
Kondisi positif yang diperoleh
1 Ukuran kapal kecil
Pekerjaan pelaksanaan Operasi penangkapan tidak efektif
1 Ukuran kapal diperbesar
Pelaksanaan operasi penangkapan dapat berjalan dengan lancar
2 Daya tampung 0,5 ton
Hasil tangkapan maksimal
2 Daya tampung 0,8 ton
Hasil tangkapan dapat lebih banyak ditampung
tidak
3 Tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi atau peralatan keselamatan kerja di laut
Dapat menyebabkan hilangnya nelayan di laut
3 Dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti life jacket dan kompas
Dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut
4 Menggunakan bahan bakar bensin
Biaya operasional besar
4 Menggunakan bahan bakar minyak tanah
Dapat menekan biaya operasional sehingga dapat menguntungkan nelayan
5 Tidak dilengkapi dengan peralatan penanganan hasil tangkapan yang efektif
Hasil tangkapan hanya untuk konsumsi lokal
5 Dilengkapi dengan modifikasi cool box yang baru
Produk tangkapan eksport
6 Jumlah ABK 2 orang
Operasi penangkapan tidak efektif
6 Jumlah ABK > 2 orang
Dapat menambah lapangan pekerjaan
7 Mesin 25 PK
Kecepatan kapal lebih lambat karena disesuaikan dengan ukuran kapal
7 Mesin 40 PK
Kecepatan kapal lebih besar sehingga olah gerak kapal lebih baik
hasil dapat di
Sumber: data penelitian 2009 Sasaran yang dicapai pada kajian prototipe pancing tonda (troll line) adalah: 1) tersedianya konsep tentang teknologi penangkapan ikan pada perikanan pancing tonda (troll line) serta informasi lainnya yang berguna bagi nelayan maupun investor yang ingin menanamkan modal pada jenis usaha perikanan ini, 2) terjadinya peningkatan
produktifitas, 3) tercapainya peluang pemanfaatan
optimal sebesar jumlah tangkapan yang diperbolehkan khususnya terhadap sumberdaya ikan madidihang dan cakalang yang merupakan spesies target utama, melalui peningkatan jumlah unit penangkapan pancing tonda, 4) bertambahnya lapangan kerja baru sehingga dapat mengurangi pengangguran, 5) tercapainya kualitas produksi yang tinggi sehingga memperbesar peluang ekspor, 6) meningkatnya pendapatan nelayan. Deskripsi bentuk dimensi utama modifikasi kapal pancing tonda sistem outboard engine yang akan dikembangkan di perairan Maluku disajikan pada Gambar 42
126
Keteraangan: 1 Tem mpat mesin 2 Tem mpat duduk nelayan n 3 temp pat cool box 4 Tem mpat penyimpanan peraalatan tangkap 5 Tem mpat jangkar haluan n
Tinggi 0,72 0 m Panjang 8,,50 m
1
Lebar 1,85 m
2
3
4
5
8,50 m
Gambar 42 Bentuk B dan dim mensi utama modifikasi prototip pe kapal tonda sistem s outboard d engine yang diusulkan d untuk dikembangkan n.
86
4.7.2.3 Moodifikasi coool box kap pal pancingg tonda Kebberadaan coool box paada kapal pancing to onda yang dioperasikaan di perairan Maluku M selaama ini mem mpunyai beeberapa kellemahan yaang perlu diiatasi. Hal ini kaalau tidak dicarikan sollusinya makka akan berrdampak paada kualitas hasil tangkapann yang merrupakan prroduk ekspoort dengan n nilai jual yang tingggi di pasaran domestik d m maupun internasional.. Cool bo ox pada kaapal penanngkap merupakann salah saatu faktor yang y sangaat berpengaaruh terhaddap keberhaasilan operasi penangkapann, hal ini tentunya kalau k tidak k diperhatikkan maka akan berdampakk pada kebeerhasilan ussaha perikannan tangkap p. Bebeerapa kapall penangkap apan untuk ukuran 10--30 GT muulai menem mukan keuntungaan penggunnaan cool box. b Dari hasil h survey y dan tanya jawab deengan pemilik kapal k serta pelaku ussaha penangkapan dipperoleh kessimpulan bahwa b dengan meenggunakann cool box dapat d meninngkatkan peendapatan seecara siginiffikan. Hal dikareenakan merreka dapat mengubah pola operaasional dari one day fiishing menjadi leebih panjang hingga 4 sampai satuu minggu operasional sehingga s deengan jangka waaktu operasiional lebih lama l maka volume pro oduksi juga lebih meninngkat dengan mutu m yang masih m bisa diterima d paasar dan konsumen (D DKP Proboliinggo 2008). t di perairan Malu uku dapat diatasi d Desaain cool boxx pada kapaal pancing tonda dengan membuat m moodifikasi barru yang lebbih efektif dengan d tanppa menggunnakan biaya yang g cukup bessar sehinggaa diharapkaan dapat meenguntungk kan bagi nellayan. Kondisi cool box panncing tondaa saat ini merupakan m suatu s hambaatan yang cukup c berarti sehhingga perluu dicari soluusi sehingga penangannan hasil tanngkapan di kapal ini lebih baik. b Kondisi desain konstruksi k c cool box kaapal pancin ng tonda saaat ini dapat disaj ajikan pada Gambar G 43
Gambar 43 Desain co ool box kapaal pancing tonda t di Maaluku.
85
Kelemahan cool box pada kapal pancing tonda di perairan Maluku adalah terletak pada bahan pembuat cool box, ukuran species target, serta kualitas cool box tersebut. Desain cool box dengan kualitas yang kurang baik, tidak sebanding dengan ukuran kapal, daya tampung sedikit, harga relatif murah, tidak sebanding dengan ikan target, serta kualitas hasil tangkapan tidak baik adalah ciri-ciri dari cool box di Maluku. Akibat kemajuan teknologi secara langsung berdampak pada jangkauan wilayah penangkapan (fishing area) yang semakin jauh dan lama waktu tempuh (trip), untuk itu dibutuhkan fasilitas palka ikan sebagai sarana penyimpanan ikan diatas kapal yang dapat menunjang sehingga mampu mempertahankan mutu dan kesegaran ikan hasil tangkapan. Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan pada kapal pancing tonda dapat disajikan pada Tabel 57 Tabel 57 Perbandingan desain cool box saat ini dan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan di perairan Maluku Desain cool box saat ini
Modifikasi yang diusulkan
1 2 3
Harga cool box Rp 650.000 Nilai jual ikan Rp 25.000 Daya tampung sedikit (4-8 ekor)
4
Kualitas cool box kurang baik
Harga cool box Rp 2.250.000 Nilai jual ikan Rp 60.000 Daya tampung lebih banyak (8-12 ekor) Kualitasnya cukup baik
Sumber: data penelitian 2009 Sebagai komoditas yang mudah cepat membusuk, ikan memerlukan penanganan yang cepat dan cermat dalam mempertahankan mutunya sejak diangkat dari dalam air. Penyebab utama pembusukan adalah kegiatan bakteri yang menyebabkan kegiatan pembusukan yang terdapat dalam tubuh ikan itu sendiri, lingkungan tempat hidupnya di air, dan yang berasal dari sumber yang kontak dengan ikan antara lain tangan manusia, wadah, peralatan, air pencuci,dan lain-lain. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan pembusukan. Pembusukan lebih cepat pada suhu tinggi dan sebaliknya pembusukan dapat dihambat pada suhu yang rendah. Pendinginan adalah merupakan perlakuan yang paling umum dalam mempertahankan mutu ikan hasil tangkapan terutama pada saat penanganan. Untuk mempertahankan ikan yang telah didinginkan agar suhu tetap rendah diperlukan suatu wadah yang tanpa penahan (insulator) menyebabkan panas dari
86
luar merembet dengan cepat untuk mencairkan es yang berakibat suhu ikan naik dan akhirnya memacu proses pembusukan. Oleh karena itu salah satu alternatif untuk mengatasi penanganan ikan hasil tangkapan di atas kapal agar mutu ikan dipertahankan adalah dengan peti berinsulansi atau disebut dengan cool box. Gambar modifikasi kerangka cool box dapat disajikan pada Gambar 44
Gambar 44 Kerangka cool box. Keterangan: -
Panjang Lebar Tinggi Tebal dinding
: 120 cm : 70 cm : 65 cm : 6 cm
- Bahan insulasi - Lapisan cool
: styrofoam : fiberglass
Cool box yang ideal konstruksi adalah mampu menghemat penggunaan es karena daya insulasinya besar, kuat, tahan lama, pelapis bahan cool box dari bahan yang halus permukaannya, tahan karat, kedap air, dan mudah dibersihkan. Konstruksi cool box berinsulasi terdiri dari 3 bagian pokok, antara lain: 1) rangka peti, yang terdiri dari tulang rangka dari balok kayu dengan dinding peti dari papan atau kayu lapis sebagai penunjang kekuatan dasar sebuah peti, 2) lapisan insulator, terbuat dari styrofoam yang tidak menyerap uap air yang berfungsi untuk menahan penyerapan panas, 3) lapisan penutup, dinding peti terbuat dari fiberglass atau bahan lain. Bahan dan alat yang digunakan dalam pembuatan cool box yaitu: 1) Bahan (kerangka cool box), 2) insulator (styrofoam), 3) lapisan fiberglass (resin, katalis, serat glass), 4) peralatan (perkakas tukang kayu, peralatan pengecatan, gerinda). Teknik pembuatan cool box fiberglass dilakukan dengan tahapan-tahapan: 1) Pembuatan desain, 2) kerangka cool box, 3) lapisan insulator, 4) lapisan fiberglass
85
Pembuatan modifikasi cool box dibuat persegi dengan penutup dibagian atas. Cool box dibuat sedemikian rupa agar dapat dipasang dan dibongkar pada kedudukannya didalam kapal. Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda dapat disajikan pada Tabel 58 Tabel 58 Pembuatan modifikasi cool box pada kapal pancing tonda Spesifikasi cool box -Panjang (120 cm) -Lebar
(70 cm)
-Tinggi
(65 cm)
-Tebal dinding (6 cm) -Bahan Insulasi (styrofoam) -Lapisan coolbox (fiberglass)
Kerangka cool box
Pemasangan insulasi
- Kayu kaso ukuran 4x6x400 cm - Kayu dihaluskan dan digabungkan pada setiap ruas sehingga berebntuk kerangka cool box - Rangka cool box diperkuat/ditutup bagian dalam dengan papan tipis atau kayu lapis (tripleks) yang berfungsi sebagai dinding - Pertemuan kayu yang masih ada ditutup dengan dempul duco - Dempul yang telah kering dihaluskan dengan kertas amplas - Dasar cool box dibuat lubang air yang terbuat dari pipa paralon (PVC) dengan diameter 1 inchi
- Insulasi dipasang antara kedua dinding tripleks atau kayu papan - Insulasi polyurethane terdiri dari 2 jenis yaitu polyurethane A (berwarna coklat) dan polyurethane B (berwarna hitam). Kedua cairan ini kemudian dicampurkan (1:1) - Untuk mendapatkan lapisan fiberglass yang tebal, maka pekerjaan penempelan matte bisa diulang/ditambah lalu dilakukan penguasan kembali dengan larutan yang sama - Tutup cool box dilakukan dengan cara yang sama seperti dalam pembuatan dinding cool box - Setelah kering, seluruh permukaan cool box yang dilapisi fiberglass dihaluskan dengan menggunakan gerinda dan amplas. Untuk permukaan yang lubang, didempul dan selanjutnya dilapisi kembali dengan larutan yang ditambah sedikit talk agar diperoleh permukaan cool box yang halus dan rata.
Sumber: data penelitian 2009 Setelah modifikasi cool box dibuat maka, proses selanjutnya adalah cara penggunaannya yang adalah sebagai berikut: 1) bersihkan cool box sebelum dan sesudah dipakai, 2) lapisi dasar cool box dengan es balok yang telah dihaluskan dengan ketebalan 5-6 cm, 3) susun ikan secara berlapis-lapis dengan es, 4) lapisan paling atas es dengan ketebalan 5 cm, 5) tutup cool box dengan rapat dan jangan sering dibuka, kecuali pada saat penambahan es. Manfaat penggunaan
desain cool box yang dibuat sangat penting bagi
pengembangan pengelolaan sumberdaya perikanan, antara lain: 1) menghemat penggunaan es dan daya awet ikan akan lama, 2) meningkatkan harga jual ikan karena mutunya lebih terjamin, 3) waktu penangkapan lebih lama, 4) menekan tingkat kerusakan ikan hasil tangkapan, 5) memperluas jangkauan pemasaran
86
termasuk untuk kepperluan ekssport dan, 6) dapat meningkattkan pendaapatan nelayan. Untuk U mem mbuat cool box dengann ukuran paanjang (1200 cm), lebaar (70 cm), tingggi (65 cm), tebal dindinng (6 cm), jenis j insulaasi (styrofoaam), tebal laapisan styrofoam (3 cm) dipeerlukan bahhan-bahan adalah a dapatt dilihat padda Tabel 59 Tabel 59 Bahan B pembbuatan cooll box pada kapal k pancin ng tonda Kerangka K kaayu
I Insulasi
1 Kayu kasso ukuran 4x66x40 cm (4 batang)) 2 Rep ukuraan 4x3x400 cm m (2 batang) 3 Tripleks ukuran u 80x1200x60mm (5 lembarr) 4 Paku timaah ukuran 6, 7, 7 10 cm (2 kg) 5 Paku biassa ukuran 4 daan 7 cm (3 kg)) 6 Amplas No N 1 dan 2 (100 lembar) 7 Kuas No 4 dan 5 (10 buuah) 8 Ember plaastic (5 buah)
1 Styrofoaam ukuran 200x1000x5 cm (4 lembar) 2 Plastik ukuran u 0,8 mll (25 meter)
Lap pisan fibergl glass 1 Matte 405 (30 kgg) N 2 Ressin 157 BQTN (25 kg) 3 Kattalis (2 kg) 4 Pigmen biru (25 kg) 5 Talk (2 kg)
Sumber: data d penelitiian 2009 Prosses pembuattan cool boox ini dilakuukan secaraa sederhanaa sehingga dapat diproduksi dalam jum mlah yang cukup c banyyak,adapun proses pem mbuatan coool box dapat disaj ajikan pada Gambar G 45,, 46, 47, dann 48
Gambaar 45 Penuttup dinding cool box Gambar 46 Pemasangaan styrofoam m
Gaambar 47 Peelapisan fibeerglass bagiian dalam
126
Gambbar 48 Cool box yang suudah siap dipergunakan d n
4.7.2.4 Teknologi penangkap p an ikan tuna dengaan menggu unakan meetode laayang-layaang manfaatan sumberdaya s a ikan tuna harus Teknnologi yangg digunakann dalam pem disesuaikaan dengan tingkah t lakuu ikan sasarran yang menjadi m tujuaan penangkkapan. Kawasan perairan dapat d dikataakan sebaggai daerah penangkapan ikan appabila terjadi inteeraksi antarra sumberdaaya ikan yanng menjadi tujuan penaangkapan deengan teknologi penangkappan ikan daalam hal inni jenis alatt tangkap yang y digunnakan. Sumberdaaya ikan daalam aktivittasnya sanggatlah dinaamis dan keeadaan ini yang menyebabbkan penyebaran sumbberdaya ikaan tidak merata m di laaut. Dinam misnya pergerakann ikan dissebabkan oleh o prosess adaptasi ikan terhaadap perubbahan habitatnya,, hal ini terjadi kkarena lingkungaan perairann yang merupakan m sumberday ya ikan berddasarkan ko ondisi fisiologinya sanggat bergantuung pada koondisi lingkungaannya. Akibbatnya jika akan menngembangkaan suatu kaawasan perrairan perlu menngetahui karakteristik k k perairan dan poten nsi sumberddaya ikan yang menjadi tujuan t penaangkapan. Disamping D faktor sum mberdaya ikkan dan koondisi lingkungaan perairan,, jenis teknnologi penaangkapan ikan i yang akan digunnakan adalah fakktor yang saangat meneentukan dalaam keberhaasilan operrasi penangkkapan ikan. ggunaan teeknologi peenangkapan ikan akan n berhasil jika j disesuuaikan Peng dengan jeenis ikan yang y tertanggkap dan ddi lokasi mana m alat tangkap t terrsebut digunakann. Sebagai contoh adaalah pengooperasian allat tangkapp pancing tonda t dengan mengunakan m layang-lay yang untuk menangkap ap jenis ikaan pelagis besar, b khususnyaa jenis ikann tuna. Keb berhasilan operasi o pen nangkapan ikan i dengann alat tangkap pancing p tondda sangat ditentukan d o oleh pengettahuan akann lapisan reenang
86
ikan, dimana lapisan renang ikan ini sangat dipengaruhi oleh struktur suhu ke arah vertikal. Pengetahuan tentang lapisan renang ikan juga akan menentukan seberapa dalam alat tangkap pancing tonda diturunkan kedalam perairan untuk menangkap jenis ikan yang menjadi target penangkapan. Pembentukan daerah penangkapan ikan juga didasarkan pada jenis alat tangkap atau teknologi penangkapan ikan yang digunakan, hal ini dikarenakan setiap jenis alat tangkap mempunyai tujuan penangkapan ikan yang berbeda. Operasi penangkapan diharapkan posisi umpan selalu berada di permukaan air dengan dibantu pelampung kecil sehingga yang dihubungkan dengan tali layangan. Angin sangat berpengaruh pada operasi penangkapan karena akan memberikan efek gerakan pada umpan akibat pengaruh layang-layang. Kajian prototipe dari teknologi penangkapan ikan tuna dengan layanglayang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas usaha pada perikanan pancing tonda. Aspek-aspek yang dikaji mencakup efisiensi dan efektifitas operasi penangkapan ikan, termasuk biaya operasional, suasana kerja yang baik yang dapat mengurangi kecelakaan di laut. Penggunaan teknologi baru ini sangat membantu nelayan dalam mengadakan operasi penangkapan ikan. Prinsip kerja metode layang-layang ini sangat sederhana yaitu dengan menaikkan layang-layang yang dilengkapi dengan tali yang dihubungkan dengan umpan yang telah disediakan dan diturunkan ke permukaan air. Tali dari layang-layang tersebut dihubungkan dengan salah seorang nelayan yang ada di perahu. Layang-layang yang ada di udara akan bergerak sesuai dengan keadaan angin yang bergerak ke arahnya. Kecepatan kapal pada saat operasi penangkapan diharapkan 1 mil/jam. Konstruksi layang-layang tersebut terbuat dari bambu dengan tinggi 1,00 meter dan lebar 0,75 cm, dengan bahan plastik serta diameter bambu sebagai rangkanya 1 cm. Sistem teknologi penggunaan metode layang-layang dalam penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap pancing tonda menggunakan 1 umpan maupun 2 umpan untuk pengoperasian alat tangkap pancing tonda adalah sama (Gambar 49 dan Gambar 50)
126
Gambar 49 Teknologi T penaangkapan ikan tu una dengan pen nggunaan metod de layang-layan ng sistem 1 pancing
Gambar 50 Teknologi T penaangkapan ikan tu una dengan pen nggunaan metod de layang-layan ng sistem 2 pancing
K Keterangan: T Tinggi rangka layan ng-layang :1 m L Lebar: 0,75 m B Bahan: plastik dan rotan r D Diameter rangka: 1 cm
126
Perb bandingan jumlah j hassil tangkapaan yang diiperoleh paada saat opperasi penangkappan dilakukkan terhadap p teknik pennangkapan saat ini den ngan pengguunaan metode lay yang-layangg dalam pennangkapan ikan tuna dengan d alat tangkap panncing tonda di perairan Malluku disajikkan pada Tab abel 60 ng tonda saaat ini dan teknik Tabel 60 Perbandinggan teknik pengoperassian pancin penggunaann layang-layyang Penngoperasiann pancing toonda saat inni 1 2 3 4
Hassil tangkapan relatif r sedikit (9 ekor/trip) Tidak efektif Biayya eksploitasii Rp 650.000 Biayya alat tangkaap Rp 750.0000
Teeknik layang g-layang Hasil tanggkapan 14 ekkor/trip Lebih efeektif Biaya ekssploitasi Rp 3000.000 Biaya alatt tangkap Rp 255.000 2
Sumber: data d penelitiian 2009 Peng ggunaan meetode layangg-layang paada penangkkapan ikan tuna dengaan alat tangkap pancing tonda t merrupakan bentuk teknnologi barru yang perlu dikembanggkan di perrairan Maluuku menginngat selamaa ini nelayaan pancing tonda t masih meenggunakann cara yangg lama yaittu dengan menggunak m kan kapal/perahu dengan keecepatan 3 sampai 5 mil/jam m mem motong arahh ruaya ikaan tuna sehingga penangkappan dapat dilakukan. d K Kelemahan d penggu dari unaan metod de layang-laayang dalam pen nangkapan ikan i tuna addalah angin. Hal ini disebabkan kaarena tanpa angin maka layaang-layang tidak dapat dioperassikan sehinngga hasil tangkapan yang diperoleh tidak akann berhasil. Kelebihan dari peng ggunaan meetode ini adalah a praktis, dapat dijanggkau oleh nelayan n baiik dari seggi investasi maupun teknik pengoperaasiannya.Penggunaan metode m yangg lama mem mbutuhkan biaya b eksplloitasi yang besaar bila dibanndingkan deengan pengggunaan meto ode layang--layang (Gaambar 51)
mbar 51 Pennangkapan ikan tuna dengan alat tangkap t pan ncing tonda Gam di peerairan Malu uku
85
4.7.3 Alat tangkap pukat cincin (purse seine) 4.7.3.1 Kapal pukat cincin Jumlah dan perkembangan pukat cincin di provinsi Maluku selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan rata-rata sebesar 8,92 %. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan ialah dengan mengunakan alat-alat penangkapan yang dalam pengoperasiannya dapat menangkap ikan dalam jumlah yang besar. Alat tangkap yang memiliki karakteristik demikian adalah pukat cincin (purse seine). Pukat cincin (purse seine) ini merupakan jaring yang dioperasikan dengan jalan melingkari gerombolan ikan yang bergerombol yang menjadi tujuan penangkapan. Pemanfaatan sumberdaya perikanan melalui kegiatan penangkapan ikan dengan pukat cincin (purse seine) ditujukan untuk menangkap ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Dengan demikian pengembangan jenis alat tangkap ini, selain dengan mempertimbangkan penerapan teknologi penangkapan ikan berupa desain dan konstruksi unit penangkapan, daerah penangkapan, dan kesiapan sumberdaya manusia (nelayan), harus pula sesuai dengan ketersediaan potensi sumberdaya ikan yang ada. Nelayan-nelayan di Kota Ambon yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan operasi penangkapan dengan pukat cincin (purse seine) yang tujuan utama penangkapannya adalah ikan pelagis kecil. Armada-armada pukat cincin ini beroperasi di perairan Teluk Ambon Bagian Luar dan Pesisir Selatan Pulau Ambon ini bukan seluruhnya adalah milik nelayan-nelayan dari desa-desa yang ada di Kota Ambon, tetapi sebagian besar adalah milik pengusaha atau nelayan yang memiliki modal besar yang menitipkan unit penangkapannya untuk dikelola oleh nelayan-nelayan ini. Armada-armada penangkapan yang ada sekarang ini berkemampuan jelajah yang relatif rendah yakni hanya dapat melakukan kegiatan operasi penangkapan dalam rentang waktu sehari atau setiap trip penangkapannya hanya dapat dilakukan maksimal dalam waktu satu hari (one day fishing). Pukat cincin yang digunakan oleh nelayan di perairan Maluku berdasarkan konstruksinya terdiri dari pukat cincin tipe Jepang satu kapal. Desain pukat cincin di Maluku dengan panjang antara 250 sampai 350 meter dan lebar jaring 50
86
sampai 75 meter digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, sedangkan kapal yang digunakannya dianggap belum cocok dengan ukuran jaring yang digunakan sehingga perlu diperbaharui modifikasi, ukuran, alat bantu penangkapan, serta peralatan navigasi pada kapal tersebut. Hal ini disebabkan karena kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan Maluku mempunyai ukuran panjang dengan lebar yang seimbang dengan ukuran jaring yang dipakai sehingga pada saat operasi penangkapan perlu ada penyeimbangan di sebelah sisi kiri atau kanan kapal untuk mengimbangi ABK yang menarik jaring. Pada saat ini kapal pukat cincin juga sangat diminati oleh nelayan di daerah ini karena disamping menguntungkan juga membutuhkan tenaga kerja yang banyak sehingga perlu penanganan yang serius sehingga sumberdaya yang ada dapat dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya dapat ditunjukkan pada Tabel 61 Tabel 61 Spesifikasi kapal pukat cincin dan arahan penyempurnaannya Spesifikasi lama
Kelemahan
Spesifikasi baru
Kondisi positif yang diharapkan
1 Ukuran kapal kecil (P = 18,25 m, L = 2,75 m, T = 1,95m)
Pekerjaan pelaksanaan 1 Ukuran kapal diperbesar (P = Operasi penangkapan 20,07 m, L = 3,01 m, T = tidak efektif 2,02m)
Pelaksanaan operasi penangkapan dapat berjalan dengan lancar
2Tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi atau peralatan keselamatan kerja di laut 3 Tidak dilengkapi dengan peralatan penanganan hasil tangkapan yang efektif 4 Mesin 40 PK (3 buah)
Dapat menyebabkan hilangnya nelayan di laut
3 Dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti life jacket dan kompas
Dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut
dengan Hasil tangkapan hanya 4Dilengkapi modifikasi palka yang baru untuk konsumsi lokal
Produk hasil tangkapan dapat di eksport
Kecepatan kapal lebih lambat karena tidak sesuai dengan ukuran kapal
Kecepatan kapal lebih besar sehingga oleh gerak kapal lebih baik
4 Mesin 40 PK (4 buah)
Sumber: data penelitian 2009 Pembuatan kapal pukat cincin (purse seiner) di Maluku dirancang dan dibuat sendiri oleh nelayan setempat pada galangan kapal rakyat. Hal ini perlu sejalan dengan pendapat Ayodhyoa (1972) bahwa pemilihan kasko dan dimensi kapal harus disesuaikan dengan kegunaan kapal tersebut serta harus memperhitungkan proposional dimensi utama. Desain kapal pukat cincin saat ini di perairan Maluku dapat dilihat dan modifikasi kapal pukat cincin yang diusulkan untuk dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 52, Gambar 53, dan Gambar 54
126 6
Keterangan: K 1 Tempat operasii penangkapan 2 Ruangan tempaat penyimpangan alat tangkap 3 Palka 4 Ruangan penyimpanan BBM 5 Tempat mesin 6 WC 7 Tempat pemanttauan gerombolan ikaan 8 Ruangan tempaat jangkar haluan
7
1 8 T: 1,95 m P: 18,25 m
5
4
2
3
8
L: 2,75 m
P P: 18,25 m
Gambar 52 2 Desain kapal pukat p cincin saaat ini di Malukuu
86
8 6
7
2
T: 2,20
P: 20,7 7 m
G Gambar 53 Mod difikasi prototippe kapal pukat cincin c (pandang gan dari samping g) yang diusulk kan untuk dikem mbangkan Keterrangan: L:3,1 m
4
3
1
2
1
1
2
1
5
1 Tem mpat penampungann hasil tangkapan 2 Tem mpat peralatan alat tangkap 3 Tem mpat penyimpanan bahan bakar 4 Tem mpat mesin 5 Tem mpat winch 6 WC C 7 Tem mpat kegiatan operrasi penangkapan 8 Tem mpat pemantauan ggerombolan ikan
Gambar 54 4 Modifikasi prototipe kapal pu ukat cincin (pan ndangan dari ataas) yang diusulkkan dikembang gkan
126
Pekerjaan yang pertama dilakukan adalah pemilihan material yang akan digunakan. Ada beberapa jenis kayu yang biasanya digunakan pada pembangunan kapal pukat cincin di Maluku sesuai dengan peruntukannya, antara lain: kayu jati (Tectona grandis), gofasa (Vitex cotassus Reinw), dan kayu merbau (Instia spp). Rancangan kapal harus memperhatikan platform perencanaannya (tujuan dan proses penangkapan) serta rancangan umum yang menampilkan tataletak kapal secara lengkap. Iskandar (1990), mengatakan bahwa tujuan pembuatan gambaran umum adalah guna penentuan ruang kapal secara umum. Gambar
ini terdiri dari
beberapa bagian yakni gambar tampak samping, tampak atas, tampak depan, serta tampak belakang. Gambar tampak samping menunjukkan tata ruang kapal dari buritan hingga bagian bawah dek, yang terdiri dari ruang mesin, ruang palka ikan, ruang peralatan dan dapur sedangkan tampak atas menunjukkan tata ruang diatas dek yang terdiri dari ruangan dibagian buritan yang berfungsi sebagai ruang kemudi dan ruang akomodasi dan tampak belakang dan depan untuk menentukan bentuk badan kapal. Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin disajikan pada Tabel 62 Tabel 62
Kebutuhan material kayu untuk pembuatan 1 (satu) unit kapal pukat cincin (purse seiner) No 1 2
Peruntukan Lunas Pondasi motor
Ukuran (PxLxT) 20,07m x 22 cm x 18 cm 10 cm x 90 cm x 3 cm
3 4 5 6 7
Papan rata Senta Siweng Papan putar Papan putar
3,5 cm x 20 cm x 3 cm 7 cm x 18 cm x 22 cm 18 cm x 25 cm x 6 m 10 cm x 20 cm x 2 m 10 cm x 20 cm c 1,5 m
4 m3 4,5 m3 1 potong 1 m3 5 m3
8
Papan tindis
8 cm x 25 cm x 3 m
1 m3
9
Papan dek
3,5 cm x 25 cm x 3 m
3 m3
10
Rangka poro
6 cm x 15 cm x 3 m
1 m3
11
Rangka poro
6 cm x 15 cm x 3,5 m
1 m3
12
Tiang gawang
10 cm x 20 cm x 4 m
1 m3
13
Papan les
8 cm x 25 cm x 12 m
1 m3
14
Papan rumah
2,5 cm x 25 cm x 3 m
1 m3
15
Kayu gading
Sesuai Bentuk
6 m3
16
Gading + tajong
10 cm x 10 cm
3 m3
Sumber: data penelitian 2009
Jumlah 1 potong 1 potong
86
Selain material kayu di atas, dibutuhkan juga bahan dan alat lainnya sebagai perlengkapan dalam pembuatan kapal pukat cincin (purse seine), sebagaimana ditampilkan pada Tabel 63 Tabel 63 Kebutuhan alat dan bahan lainnya untuk pembuatan kapal pukat cincin (purse seine) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Alat dan bahan Lampu gas (buterfly) Senter 6 batere Katrol besar (dia. 17 cm) Kikir (limar) bundar Baut 3/8 Baut 1/2 Besi 8 mm Paku putih 5 cm Paku putih 7 cm Paku putih 10 cm Paku putih 15 cm Paku biasa 5 cm Paku biasa 7 cm Paku biasa 10 cm Kaca riben 5mm (20 cm x 25 cm) Dempul glasik Dempul damar Pisau dempul (scaaper 4,5 cm) Cat minyak (Glotex) Tinner Kuas putih besar Kuas putih sedang Kertas amplas no. 3 Kertas amplas no. 2,5
Kebutuhan 20 1 2 6 600 600 6 10 15 10 10 6 6 6 24 300 25 1 200 100 6 6 5 5
Satuan Buah Buah Buah Buah Buah Buah Staft Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Potong Kaleng Kaleng Lusin Kaleng Kaleng Buah Buah Lusin Lusin
Sumber: data penelitian 2009
4.7.3.2 Modifikasi palka kapal pukat cincin Teknologi alat bantu penangkapan yang diusulkan adalah winch, mesin listrik, alat navigasi, lifejacket, dan modifikasi palka yang telah di lapisi dengan styrofoam. Desain palka saat ini berukuran kecil, tidak efektif, dibuat secara sederhana, menggunakan fiberglass dengan kualitas kurang baik, kualitas hasil tangkapan kurang baik. Melihat kelemahan yang ada pada kapal pukat cincin saat ini, maka diusulkan modifikasi palka dengan mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: ukuran palka besar, lebih efektif, palka dilengkapi dengan styrofoam, kualitas hasil tangkapan cukup baik sehingga dapat dieksport. Kondisi palka kapal pukat cincin saat ini dan modifikasi yang diusulkan pengembangannya dapat disajikan pada Gambar 55 dan 56
85
Gam mbar 55 Kondisi palka kapal pukat cincin saaat ini
S Stryrofoam paada palka denggan ketebalan 5-10 cm
Dindingg palka darii fiberglass
bar 56 Moddifikasi palkka yang diuusulkan penngembangannnya pada kapal Gamb pukatt cincin Perssyaratan paalka ideal menurut Kuncoro K (20005), mem mpunyai kriiteriakriteria anntara lain: 1) Persyarratan tekniss antara lainn: 1) dindinng palka diiisolasi, 2) tidak memaasang alat-alaat yang terbbuat dari loggam melalui dinding paalka, 3) konndisi peneraangan dalam palka p memaadai, dan 4) membatasii awak kapaal keluar maasuk palka. 2) Persyarratan ekonom mis Ukuuran ruangg palka disesuaikan d dengan kemampuann kapal dalam d beroperasii dan menaangkap ikaan. Adanyaa sistem reffrigerasi paalka disesuuaikan dengan lam manya operrasi penangkkapan. 3) Persyarratan sanitassi dan higieene
86
Palka harus mempunyai sistem sanitasi dan higiene yang baik. Palka harus mudah dibersihkan pada saat sebelum maupun sesudah penyimpanan ikan dan tidak terbuat dari bahan yang korosif sehingga ikan yang disimpan di dalamnya aman dari pencemaran bakteri 4) Persyaratan biologis Palka dibuat dengan drainase yang baik untuk mengeluarkan air, lelehan es, lendir, dan darah yang terkumpul di dasar palka. 5) Persyaratan biaya Jenis palka yang biasa dipakai kapal perikanan terdiri dari :1) palka yang tidak diisolasi (digunakan pada kapal yang berukuran kecil dan lama operasinya hanya 1-2 hari), 2) palka yang diisolasi (digunakan pada kapal berukuran sedang dan lama operasinya 1 minggu, 3) palka yang diisolasi dan direfrigerasi (digunakan pada kapal berukuran besar dan beroperasi selama 1 bulan atau lebih). Desain palka pada kapal pukat cincin di perairan Maluku dari segi konstruksi belum dapat mengatasi keberadaan hasil tangkapan, hal ini disebabkan karena konstruksi palka yang dibuat masih bersifat tradisional yaitu dengan menggunakan cool box yang terbuat dari fiberglass tanpa menggunakan styrofoam sebagai lapisan dinding pada fiberglass tersebut. Kelemahan dari desain palka tersebut dapat mempengaruhi mutu hasil tangkapan. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu dibuat modifikasi teknologi baru untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan merancang modifikasi palka yang dilapisi dengan styrofoam sebagai dinding pada palka sehingga dapat diharapkan mutu hasil tangkapan yang diperoleh dapat lebih baik. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan kondisi sumberdaya ikan, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya. Pembuatan kapal pukat cincin (purse seiner) yang dibuat sendiri oleh nelayan di Maluku pada galangan kapal rakyat. Hal ini sejalan dengan pendapat Ayodhyoa, (1972) bahwa pemilihan kasko dan dimensi kapal disesuaikan dengan kegunaan kapal tersebut serta harus memperhatikan proporsional dimensi utama. Spesifikasi alat bantu penangkapan pada kapal pukat cincin yang diusulkan adalah dilengkapi dengan mesin listrik, kompas, radio komunikasi, winch dan lifejacket.
85
Palka tem mpat penamppungan hasiil tangkapann juga dilenngkapi denggan penambbahan styrofoam pada dindinng palka sehhingga dihaarapkan hasil tangkapan n akan terjaamin.
M winch pad da kapal pu ukat cincin n 4.7.3.3 Modifikasi Disebut pukat cincin kareena dilengkkapi dengan n cincin un ntuk menariik tali cincin (puurse line) attau tali keruut untuk meenarik jaringg saat operaasi penangkkapan. Pukat cinccin (purse seine) s terdirri dari bebeerapa bagian n, yaitu sayyap (wing), perut (body), baahu (shouldder), dan kaantong (bunnt) yang tiddak menonjool. Pada bbagian sedangkan pada atas jaringg terdapat tali ris atas, tali pelamppung dan pelampung, p bagian baw wahnya terddapat tali riis bawah, taali pemberatt, cincin, brridle, beckett, dan tali kolor. Prinsip meenangkap ikkan dengan pukat cincin, ialah deengan melinngkari s itu jaring pada bagian bawah b sesuatu geerombolan ikan dengaan jaring, setelah dikerucutkkan dengann demikiann ikan-ikan akan terkum mpul pada bagian kanntong. Dengan perkataan lain ialah denngan mempperkecil ruaang lingkupp gerak darii ikan sehingga tidak t dapat melarikan diri d dan akhhirnya tertanngkap (Ayoddhyoa 19722). Padaa waktu meelingkari gerrombolan ikkan, kapal dijalankan d secepat s munngkin dengan tuujuan agarr gerombollan ikan akan a segerra terkepunng.
Pada saat
pelingkaraan alat tanggkap, arah, kecepatan k d posisi kapal dan k harus sedemikiann rupa supaya ikaan tidak lollos dari alaat tangkap, seperti diiluustrasikan pada p Gambbar 57 berikut inii.
Suumber: Purbaayanto.A, Riyyanto.M, Fittri.A.D.P. (20010)
Gam mbar 57 Iluustrasi kemu ungkinan ikan yang meeloloskan diiri pada saatt peelingkaran alat a tangkapp pukat cincin Pelingkaran jaaring dilakuukan sampaai kedua teppi jaring berrtemu, kemuudian dilakukan penarikan tali kolor dengan d makksud untukk mencegahh ikan agar tidak lari kearah h bawah jaaring. Nellayan di Maluku M meleengkapi kappal pukat cincin c
86
dengan tiaang yang dipasangi d k katrol (blocck) untuk memudahkan m n penarikann tali kolor dari dua sisi. Antara A keduua tepi jarinng sering tiidak tertutup p rapat sehingga n diri (Gam mbar 58). U Untuk memungkkinkan menjjadi tempat ikan untukk melarikan mencegah h hal ini biaasanya diguunakan pem mberat atau dengan men ngerak-geraakkan galah sehiingga ikan takut dan larri ke arah teersebut.
Sum mber: Purbayaanto.A, Riyaanto.M, Fitri..A.D.P. (2010)
Gambar 58 Ilustrasi kemungkin nan ikan yanng meloloskkan diri padda saat penaarikan tali koloor pada alatt tangkap puukat cincin
Prosses penangkkapan pada alat tangkaap ini membbutuhkan waktu w yang agak lama sehingga apabiila tidak diilakukan secara tepat, ikan yang menjadi tuujuan ntuk itu diibutuhkan suatu penangkappan akan kkeluar menninggalkan jaring, un teknologi baru yang dapat d memb bantu menggatasi masalah ini. Teknnologi ini saangat membantu u nelayan pukat p cincin n dalam meengadakan operasi pennangkapan ikan. Pada prinssipnya alat ini hanya dimodifikas d si sedemikiaan rupa sehhingga ujungg tali cincin diliilitkan di sebelah kiri dari as moobil dan ujung u tali cincin lainnyya di sebelah kaanan, kemuddian mesin hand traktoor yang telaah dihubunggkan dengann belt yang telaah dilekatkaan pada as a roda beelakang kem mudian meesin dihiduupkan sehingga akan a menariik tali cincinn. Peng ggunaan teeknologi seederhana inni sangat membantu m nelayan dalam d menarik tali cincin sehingga s ik kan yang menjadi m tujuan penangkkapan akan sulit odifikasi teeknologi yaang dirancaang ini san ngat sederhhana dan dapat d lolos. Mo dijangkau oleh nelayyan. Hal inii dapat dituunjukkan paada Gambarr 59. Modiffikasi winch padda kapal puukat cincinn mempunyyai keuntunngan adalah h: 1) membbantu nelayan paada saat pennarikan jaring sehinggaa dapat mem mpercepat proses p penaarikan
85
sehingga ikan i yang menjadi m targ get sulit untuk lolos, 2) 2 menggunnakan bahann dari as belakaang mobil truk, 3) harganya murah, m 4) lebih efekktif, 5) mudah m dioperasikkan. Perbaandingan penggunaan p n modifikaasi winch dengan tanpa t menggunaakan winch yang diguunakan nelaayan pukat cincin saatt ini di perrairan Maluku daapat disajikan pada Tab bel 64 Tabel 64 Perbandinggan penggunnaan winch dan tanpa menggunak kan winch dalam d operasi peenangkapan dengan allat tangkapp pukat cinncin di perrairan Maluku Menggu unakan win nch 1 2
Wakktu yang dibutuhkan meenarik tali pursse line 25 – 355 menit Jum mlah ABK paada kapal puukat cincin lebiih sedikit (15 oorang)
Tanpa menggunak m kan winch Waktu yang dibutuhkan d 555 menit Dibutuhkan ABK A 20-25 orrang
Sumber: data d penelitiian 2009
a
b
Gambbar 59 Moddifikasi wincch yang diopperasikan pada p kapal pukat p cincinn a) b)
tampak saamping tampak attas
86
4.8 Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis di Perairan Maluku Perumusan strategi pengembangan perikanan pelagis dan desain alat tangkap dengan pendekatan analisis SWOT yang meliputi kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (treaths). Analisis ini mengacu
pada
logika
bahwa
organisasi/institusi
yang
berwenang
dan
bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya selalu berada dalam satu sistem yang selalu berhubungan dan saling mempengaruhi dengan demikian, untuk menghasilkan suatu rencana pengelolaan, maka organisasi perlu mengenali dan menguasai informasi lingkungan strategis berdasarkan analisis (LAN RI 2007). Analisis ini bermanfaat untuk mendeteksi perubahan dan peristiwa penting dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasi kegiatan yang dibuat oleh organisasi. Pencermatan lingkungan strategik dalam pengelolaan pengembangan armada perikanan tangkap pada hakekatnya digunakan untuk mengetahui kondisi teknologi armada perikanan tangkap saat ini di perairan Maluku. Hal tersebut dilakukan untuk mencermati kondisi di dalam dan di luar institusi pengelolaan berupa kelemahan dan kekuatan sebagai lingkungan internal, serta peluang dan tantangan sebagai lingkungan eksternal (LAN RI 2007). Dalam upaya memberikan arahan strategi pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Maluku, dilakukan analisis SWOT dengan melihat faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Ketersediaan potensi sumberdaya ikan pelagis dan dukungan sarana dan prasarana perikanan (kapal, alat tangkap, nelayan dan pusat-pusat pendaratan ikan), serta jumlah nelayan, kelompok usaha maupun usaha perikanan tangkap skala besar merupakan suatu kekuatan dalam rangka pengembangan perikanan skala kecil. Masih rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan nelayan, modal usaha, diversifikasi usaha penangkapan ikan pelagis dan manajemen yang lemah merupakan unsur kelemahan dalam rangka meningkatkan produktifitas usaha penangkapan. Sementara unsur peluang meliputi pengaturan kegiatan perikanan tangkap disentralisasi, semakin berkembangnya teknologi tepat guna untuk penangkapan ikan pelagis, perluasan daerah penangkapan ikan yang produktif,
85
dan dukungan pemerintah daerah melalui instansi terkait dalam rangka memberikan pembinaan yang bersifat teknis dan non teknis kepada nelayan. Unsur ancaman meliputi belum diterapkannya selektifitas alat tangkap, pengaturan kegiatan penangkapan belum terarah, masih terjadi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing dan penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan bahan peledak. Hasil identifikasi berdasarkan LINSTRA sebagai berikut: (1)
Strength (kekuatan) 1) Produksi SDI di perairan Maluku dengan kapal 30 GT cukup tinggi 2) Bahan baku pembuatan kapal dengan fiberglass cukup tersedia 3) SDM untuk ABK armada penangkapan cukup tersedia 4) Di daerah ini cukup banyak tersedia alat tangkap, sumberdaya ikan, serta rumpon sebagai alat pengumpul ikan. 5) Galangan kapal rakyat juga tersedia di daerah ini 6) Penerapan CCRF perlu dilakukan agar sumberdaya tetap terjaga
(2)
Weakness (kelemahan) 1) Tidak tersedianya basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan 2) Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap 3) Penghasilan nelayan dari sub sektor perikanan tangkap belum memadai dan lebih rendah dari pada upah minimum regional subsektor perikanan di Maluku 4) Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana) 5) Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan anak buahnya. 6) Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal
(3)
Peluang (opportunity) 1) Permintaan akan ikan meningkat, baik untuk kebutuhan pasar lokal, regional, dan eksport 2) Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate
86
3) Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri 4) Perlu adanya pengadaan cold storage 5) Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan 6) Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan (4)
Ancaman (threats) 1) Penetapan batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan oleh pemerintah 2) Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku 3) Selektivitas alat tangkap belum diterapkan sesuai dengan CCRF 4) Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional 5) Pemakaian bahan peledak oleh beberapa nelayan untuk menangkap ikan 6) Belum dibatasinya ukuran minimal mata jaring dari alat tangkap yang digunakan Sasaran kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang ditempuh
pemerintah daerah Maluku saat ini adalah memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara optimal dengan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Hal ini mengacu pada kebijakan pemerintah pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan. Secara ringkas, tujuan dirumuskan sebagai optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dalam rangka peningkatan devisa, kecukupan gizi, penyerapan tenaga kerja, perbaikan teknologi alat tangkap dalam rangka pijakan strategis bagi pengembangan perikanan tangkap ke depan. Sumberdaya perikanan khususnya ikan pelagis besar di perairan Maluku cukup banyak sehingga perlu dikelola dengan baik dan perlu armada perikanan tangkap yang lebih efektif dalam mengelolanya. Dalam konteks perikanan tangkap, keberadaan kapal penangkap huhate 30GT dalam mengelola sumberdaya perikanan pelagis besar di daerah ini cukup banyak sekitar 404 unit. Dari sisi teknologi, mereka cukup berpengalaman dan menguasai teknologi penangkapan sehingga memudahkan proses penangkapan.
85
Kapal huhate yang digunakan memiliki beberapa kelemahan yang perlu di tangani secara serius sehingga hasil tangkapan dapat optimal. Bahan baku fiberglass untuk pembuatan kapal huhate tersedia cukup banyak sehingga memungkinkan nelayan dapat membuat kapal huhate secara baik walaupun masih belum begitu sempurna. Ketersediaan tenaga kerja nelayan berkaitan dengan produksi cukup banyak, mengingat nelayan yang mengadakan operasi penangkapan di perairan Maluku sebagian besar berasal dari lulusan SMA untuk alat tangkap pancing tonda (35%) , huhate sebagian besar lulusan SD (67%). Faktor yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya ikan adalah kapal penangkap. Di daerah ini ada beberapa daerah yang biasanya kapal penangkap dibuat oleh nelayan dan tersebar di daerah-daerah tertentu seperti: Tulehu, Asilulu, Negerilima dan beberapa daerah lain di Maluku. Galangan kapal yang dibuat di daerah ini cukup sederhana dalam pembuatan kapal perikanan. Hal ini dilakukan karena semakin banyaknya permintaan akan kapal penangkap. Pembuatan kapal ini dilakukan tanpa adanya perhitungan-perhitungan tentang kelayakan kapal dan bersifat tradisional sehingga hal ini merupakan sebuah hambatan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah. Kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang "basic design" kapal penangkapan ikan, agar hasil yang diperoleh maksimal mengacu pada dua dasar, yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal yang sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Sedangkan untuk kapal dapat menjadi laik tangkap, harus mengacu pada ilmu-ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang digunakan. Dalam membuat basic design kapal penangkapan ikan, diawali dengan survei yang antara lain meliputi pengukuran terhadap kapalkapal penangkapan ikan yang sudah ada dan dioperasikan oleh para nelayan. Dan hasil pengukuran akan dilakukan kajian dan analisis terhadap data yang diperoleh di lapangan, baik ditinjau dari aspek fisik kapal dan aspek ekonomi. Khususnya hasil analisis aspek fisik kapal, akan dijadikan acuan untuk membuat rancanganrancangan basic design pada pekerjaan ini. Tanpa pengawasan yang efektif akan
86
menyulitkan pemerintah untuk menerapkan pentingnya basic desain dalam pembuatan kapal ikan. Mengingat selama ini dalam mendesain kapal ikan, nelayan masih menggunakan cara-cara tradisional yang diturunkan secara turun temurun oleh pendahulu mereka. Permasalahan utama yang sering dihadapi adalah ketersediaan modal. Ini dicerminkan antara lain berupa keterbatasan kredit dengan persyaratan yang relatif mudah untuk usaha agribisnis perikanan. Minimnya lembaga keuangan di daerah kabupaten dan kecamatan, menjadi penyebab terhambatnya usaha perikanan di daerah. Modal memiliki peranan penting dalam memperbesar kapasitas produksi dan meningkatkan permintaan efektif. Besarnya potensi sumberdaya perikanan dan kelautan membutuhkan investasi untuk pembentukan modal. Berdasarkan pendekatan ekonomi, bahwa setiap penambahan satu unit modal akan memperbesar satu satuan output dalam setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kebutuhan terhadap alat-alat produksi (terutama teknologi modern) merupakan faktor produksi yang akan memudahkan setiap kegiatan produksi, terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kurangnya modal merupakan kendala yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dalam proses pembuatan kapal ikan dibutuhkan dana yang cukup besar sehingga hal ini menjadi kendala bagi nelayan di Maluku. Peran pemerintah dalam memberikan bantuan kepada nelayan merupakan salah satu tanggungjawab yang harus dilaksanakan mengingat keterbatasan dana pada nelayan. Salah satu cara yang efektif adalah pinjaman melalui bank kepada nelayan dengan bunga yang rendah sehingga nelayan dapat memanfaatkan itu dengan baik. Investasi berperan dalam pengadaan dan perbaikan kapal dan unit penangkapan. Hal ini dibutuhkan nelayan karena pada umumnya mereka memiliki keterbatasan modal untuk pengembangan usaha. Modal investasi diperuntukan bagi pengembangan pukat cincin, huhate, pancing tonda. Dengan demikian, investasi merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan dalam pengembangan perikanan tangkap. Klasifikasi nelayan tersebut atas dasar teknik kepemilikan alat produksi itu masih dibedakan berdasarkan kegiatan menjadi nelayan penuh, nelayan sebagai sambilan utama, dan nelayan sebagai sambilan tambahan. Sampai dengan tahun
85
2000, jumlah total nelayan Indonesia sekitar 2.486.456 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,21% dibandingkan tahun 1999 dan dalam kurun waktu 19902000 telah mengalami peningkatan sebesar 5 % per tahun. Nelayan berprofesi penuh pada tahun 2000 berjumlah 1.212.195 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3,06 % dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang menjadi nelayan sambilan utama pun mengalami kenaikan 5,06 % dibanding tahun sebelumnya atau berjumlah 911.163 orang pada tahun 2000. Melihat laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi, mengakibatkan perlunya tambahan lapangan kerja yang cukup besar sehingga sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu andalan untuk menyerap tenaga kerja tersebut (DKP Maluku 2007). Kondisi cuaca yang tidak menentu akan berpengaruh pada fluktuasi hasil tangkapan, sehingga perlu diantisipasi dalam operasi penangkapan ikan. Fluktuasi produksi mempengaruhi pendapatan nelayan, yang diperoleh melalui sistem bagi hasil perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan nelayan di Maluku tergolong rendah dan belum memadai (Rp 450.000/bulan) jika dibandingkan dengan upah minimum regional sektor perikanan Maluku tahun 2005 sebesar Rp 615.000/bulan. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan oleh nelayan di Maluku masih bersifat tradisional. Hal ini disebabkan kemampuan dana yang dimiliki oleh nelayan, dan oleh sebab itu perlu ada dukungan dari pemerintah atau swasta untuk membantu nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di daerah ini. Peran serta pihak stakeholder ini sangat diharapkan sehingga dapat merubah struktur pengelolaan sumberdaya yang ada. Sistem bagi hasil yang selama ini dilakukan antara pihak pemilik kapal dengan ABK tidak merata. Hasil tangkapan yang diperoleh dibagi dengan sistem 60 : 40 artinya bahwa nelayan pemilik kapal 60% dan ABK 40% dari total harga hasil tangkapan. Hal ini tentunya meresahkan ABK karena jumlah yang diperoleh relefan dengan hasil yang mereka peroleh. Oleh sebab itu sebaiknya total harga hasil tangkapan dibagi 50% : 50% antara pemilik kapal dengan ABK. Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan eksternal kemudian dilakukan pembobotan, ranking, dan skor dari masing-masing unsur SWOT dapat disajikan pada Tabel 65 dan Tabel 66
86
Tabel 65 Matrik faktor strategi internal pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Kode
Unsur SWOT Faktor Internal KEKUATAN
K1
Rating
A
B
Skor AxB
0,10
4
0,40
0,10
4
0,40
0,05
3
0,15
Tersedianya alat tangkap, umpan, dan alat pengumpul ikan (rumpon)
0,10
3
0,30
K5
Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan
0,05
4
0,20
K6
Penerapan Perikanan berwawasan lingkungan bertanggungjawab (CCRF) Sub-total
0,10
3
0,30
K2
K3 K4
L1
L2
Produksi SDI di Perairan Maluku cukup besar serta penggunan kapal huhate 30 GT cukup tinggi Bahan baku untuk pembuatan kapal huhate dengan fiber glass cukup tersedia SDM untuk semua ABK kapal cukup banyak tersedia
Bobot
yang dan
KELEMAHAN Tidak tersedianya basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap
1,75
0,10
2
0,20
0,10
1
0,10
L3 L4
Pendapatan nelayan masih rendah Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana)
0,05 0,10
1 1
0,05 0,10
L5
Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan anak buahnya. Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal Sub-total TOTAL SKOR
0,05
2
0,10
0,10
2
0,20
L6
1,00
0,75 2,50
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 65 diatas menunjukkan adanya pengelompokkan alternatif strategi internal sebagai kekuatan menjadi menjadi beberapa peringkat, dan ini menghasilkan alternatif produksi SDI di perairan Maluku cukup besar serta penggunaan kapal huhate 30GT cukup tinggi (rating 4) sementara kelemahan yang terjadi sebagai akibat pendapatan nelayan rendah (rating 1). Hal ini menunjukkan bahwa dengan kekuatan yang dimiliki diharapkan dapat meningkatkan pendapatan yang diterima nelayan.
85
Tabel 66 Matrik faktor strategi eksternal pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Kode
P1 P2 P3
P4 P5 P6
A1 A2 A3 A4 A5 A6
Unsur SWOT Faktor Eksternal PELUANG Permintaan ikan meningkat baik pasar lokal, regional dan luar negeri Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate (pole and line) Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri Perlu adanya pengadaan cold storage Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan Kebijakan tentang teknologi tepat guna pada armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan Sub-total ANCAMAN
Bobot A
Rating B
Skor AxB
0,10
4
0,40
0,10
3
0,30
0,05
3
0,15
0,10 0,05
3 4
0,30 0,20
0,10
4
0,40
Batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku Selektifitas alat tangkap belum diterapkan Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional Pemakaian bahan peledak oleh beberapa sebagian nelayan Belum dibatasinya selektifitas ukuran mata jaring dari alat tangkap yang digunakan Sub-total TOTAL SKOR
0,10
4
0,40
0,10
3
0,30
0,05 0,10
3 3
0,15 0,30
0,05
4
0,20
0,10
4
0,40
1,75
1,75 3,50
1,00
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 66 diatas menunjukkan adanya pengelompokkan alternatif strategi eksternal menjadi menjadi beberapa peringkat yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. Peluang akibat permintaan akan ikan di pasaran domestik maupun pasaran internasional merupakan peluang yang sangat berpengaruh terhadap alternatif strategi guna mengatasi ancaman yang terjadi (rating 4). Ancaman yang terjadi akibat beroperasinya kapal-kapal ilegal di perairan Maluku (rating 3) merupakan ancaman yang cukup serius sehingga perlu pengawasan dari instansi terkait sehingga potensi sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan.
Alternatif
strategi
dengan
memanfaatkan
peluang
dalam
pengelolaan sumberdaya merupakan langkah konkrit yang harus diantisipasi oleh pihak pemerintah dalam menangani masalah ini merupakan suatu terobosan sehingga dapat mengantisipasi ancaman yang kemungkinan akan terjadi. Strategi yang akan dibuat dijabarkan dan dilaksanakan untuk diimplementasikan pada
86
masyarakat dan stakeholder lainnya dapat dilakukan secara maksimal, hal ini tertuang dalam Tabel 67 berikut ini Tabel 67 Strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku FAKTOR
INTERNAL
KEKUATAN (S)
KELEMAHAN (W)
> Produksi SDI di Perairan Maluku cukup banyak serta penggunaan kapal huhate 30 GT cukup tinggi > Bahan baku untuk pembuatan kapal huhate dengan fiber glass cukup tersedia > SDM untuk semua ABK kapal cukup banyak tersedia > Tersedianya alat tangkap, umpan, dan alat pengumpul ikan (rumpon) > Tersedianya galangan kapal rakyat untuk pembuatan kapal ikan > Penerapan Perikanan yang berwawasan lingkungan dan bertanggungjawab (CCRF)
> Tidak tersedianya Basic design kapal ikan sebagai acuan pembangunan kapal ikan > Kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap > Pendapatan nelayan masih rendah > Pengelolaan usaha perikanan tangkap masih tradisional (sederhana) > Pembagian hasil usaha pengelolaan kapal tidak merata antara pemilik kapal dan ABK > Kurangnya pasokan untuk pengadaan mesin kapal, teknologi penangkapan ikan dan alat navigasi kapal
PELUANG (O) > Permintaan ikan meningkat, baik pasar lokal, regional dan luar negeri > Peningkatan dan penambahan kapal ikan 30GT dengan alat tangkap huhate (pole and line) > Pengolahan hasil tangkapan baik berupa ikan kaleng atau ikan beku untuk ekspor maupun konsumsi dalam negeri > Perlu adanya pengadaan cold storage > Perlunya dukungan kebijakan dari Pemda untuk meningkatkan usaha perikanan > Perlu adanya kebijakan tentang teknologi tepat guna pada armada penangkapan untuk menjaga mutu ikan dan kualitas ikan
Strategi SO > Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan > Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari
Strategi WO > Peningkatan investasi dari luar untuk usaha perikanan skala kecil > Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan.
ANCAMAN (T) > Batas-batas daerah penangkapan belum diterapkan > Beroperasinya armada kapal asing baik legal/ilegal di perairan Maluku > Selektifitas alat tangkap belum diterapkan > Persaingan harga ikan di pasaran lokal dan regional > Pemakaian bahan peledak oleh sebagian nelayan
Strategi ST > Melakukan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masing-masing alat tangkap dan menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai > Memaksimalkan potensi perikanan dan penentuan galangan kapal perikanan pada daerah desa nelayan yang dianggap produktif.
Strategi WT > Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun/ dan sekaligus design alat tangkap dan teknologi tepat guna > Menerapkan ukuran mata jaring yang sesuai dengan selektifitas alat tangkap
FAKTOR EKSTERNAL
Sumber: data penelitian 2009
85
Analisis pilihan strategi dikembangkan berdasarkan matriks internaleksternal (LAN RI 2007). Analisis ini menyatakan bahwa apa yang harus dicapai dalam pengelolaan, serta kegiatan spesifik apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Dalam hal ini, pengalokasian sumberdaya perlu dilakukan untuk menjelaskan berbagai kemungkinan strategi pengembangan perikanan ikan pelagis dan desain alat tangkap di Maluku. Pemilihan strategi ini dilakukan ini untuk menjelaskan berbagai macam kemungkinan strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Setelah diberi bobot/nilai unsur-unsur SWOT dihubungkan dengan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO,WT). Kemudian alternatif-alternatif tersebut dijumlah bobot/nilainya untuk menentukan peringkat masing-masing. Strategi dengan peringkat tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan. Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT dijabarkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk meraih peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), penggunaan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan penggurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Prioritas strategi pengembangan didasarkan pada skor masing-masing faktor yang disusun berdasarkan Tabel IFAS (internal strategic factor analysis summary) dan Tabel EFAS (external strategic factor analysis summary) penentuan prioritas strategi dilakukan dengan instrumen analisis SWOT (Rangkuti 2000). Tabel 68 Priorias strategi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
IFAS
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
1,75
0,75
Peluang (O)
Strategi SO
Strategi WO
1,75
2,90
1,65
Ancaman (T)
Strategi ST
Strategi WT
1,75
1,85
1,20
EFAS
Sumber: data penelitian 2009
86
Berdasarkan IFAS (internal strategic factor analysis summary) prioritas strategi pengembangan perikanan pelagis hasil analisis SWOT (Tabel 68) terlihat bahwa penggunaan unsur-unsur strategi kekuatan (S) (1,75) mempunyai peluang besar untuk mengalahkan kelemahan (0,75). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di perairan Maluku cukup banyak serta penggunaan kapal huhate untuk penangkapan ikan pelagis cukup tersedia walaupun terdapat beberapa kelemahan yang dihadapi seperti kurangnya permodalan dalam pembuatan kapal dan alat tangkap, teknologi masih sederhana, tidak tersedianya basic design. Untuk menunjang kekuatan yang ada dengan melihat kelemahan yang terjadi maka perlu pengembangan teknologi tepat guna seperti perbaikan teknologi, SDM ditingkatkan, modal, sehingga pengelolaan sumberdaya dapat maksimal. Berdasarkan EFAS (external strategic factor analysis summary) terlihat bahwa strategi kekuatan (SO) (2,90) berupa pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada penangkapan dan penerapan CCRF merupakan kekuatan besar untuk menindaklanjuti peluang (O) (1,75) sebagai proses untuk mengantisipasi permintaan akan ikan meningkat pada pasaran domestik maupun internasional. Strategi (WO) (0,165) berupa peningkatan investasi dari luar untuk skala usaha perikanan skala kecil, penyediaan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna merupakan strategi yang sangat membantu dalam mengantisipasi kekuatan penambahan armada tangkap. Strategi (ST) (1,85) menegaskan tentang penetapan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masing-masing alat tangkap mengalahkan ancaman (T) (1,75) mengingat penetapan batas-batas penangkapan sampai saat ini belum ditetapkan oleh instansi yang berkepentingan untuk menetapkan kebijakan ini. Hal ini sangat didukung dengan strategi (WT) (1,20) dengan menerapkan adanya basic design serta penggunaan ukuran mata jaring yang selektif sehingga sumberdaya dapat berkelanjutan. Berdasarkan matrik skor strategi, maka prioritas kebijakan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku adalah sebagai berikut: 1)
Strategi – SO, kebijakannya: (1) Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada
85
kapal ikan (2) Penerapan CCRF segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari 2)
Strategi – ST, kebijakannya: (1) Menerapkan aturan batas penangkapan sesuai dengan fungsi masingmasing alat tangkap dan menetapkan tempat pemasangan rumpon yang sesuai (2) Memaksimalkan potensi sumberdaya yang ada dan penentuan galangan kapal perikanan di daerah-daerah yang dianggap sebagai desa nelayan produktif
(3)
Strategi – WO, kebijakannya: (1) Peningkatan investasi dari luar daerah untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil (2) Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan
4)
Strategi – WT, kebijakannya: (1) Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus desain alat tangkap dan teknologi tepat guna (2) Menerapkan ukuran mata jaring yang sesuai sesuai selektifitas alat tangkap. Tahapan
ini merupakan
kegiatan analisis secara terpadu semua
pertimbangan berkaitan dengan empat unit alat tangkap yang dijadikan opsi, menentukan kriteria pembatasnya dan menentukan prioritas pengembangannya. Untuk mendapatkan hasil yang menyeluruh dan akurat, maka berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan pengembangan teknologi alat penangkapan ikan akan dijadikan sebagai kriteria pembatas (limitting factor) pengembangan dan selanjutnya dianalisis secara struktur menggunakan AHP. Strategi pengembangan perikanan tangkap merupakan suatu bentuk kegiatan untuk menentukan prioritas yang tepat dari tujuh alternatif armada yang bisa dikembangkan berdasarkan hasil analisis Linear Goal Programming (LGP), hanya akan dipilih beberapa alat tangkap untuk dikembangkan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat maka berbagai komponen yang berinteraksi
86
dengan pengembangan teknologi alat penangkapan ikan akan dijadikan sebagai komponen yang berinteraksi dengan pengembangan armada serta dijadikan kriteria dan pembatas (limitting factor) pengembangan serta analisis dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan AHP (Analysis Hierarky Process). Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap menurut Baruadi, Yuniarti (2002), dan Saaty (1986) dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap di perairan Maluku, maka kriteria pengembangan teknologi armada perikanan tangkap di daerah ini adalah: (1)
(2)
Kriteria pengembangan perikanan pelagis (level II) antara lain: (1)
Nelayan (NLY)
(2)
Pengusaha Perikanan Tangkap (PPT)
(3)
Selektifitas Alat Tangkap (SAT)
(4)
Produktifitas Tenaga Kerja (PTK)
(5)
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
(6)
Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM)
Kriteria pembatas (limiting factor) pengembangan perikanan pelagis (level
III), antara lain: (1)
Potensi sumberdaya ikan (PSDI)
(2)
Potensi teknologi (PT)
(3)
Sumberdaya manusia (SDM)
(4)
Teknik operasi penangkapan ikan (OPI)
(5)
Kondisi perairan (KP)
(6)
Peluang pasar (PP).
Unit penangkapan yang termasuk dalam opsi pengembangan (level IV) adalah pukat cincin, huhate, pancing tonda. Adapun penyusunan sistem pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat dilihat pada Gambar 60. Hasil analisis rasio kepentingan setiap pengembangan, kriteria pembatas dan opsi pengembangan setelah diolah menggunakan program AHP ditunjukkan pada Gambar 61.