5 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang dari 0,1 mm). Kelompok organisme dominan yang menyusun makrofauna di dasar lunak sublitoral dibagi dalam empat kelompok taksonomi yaitu Polychaeta (spesies pembentuk tabung dan penggali), Krustasea (Ostracoda, Amfipoda, Isopoda, Tanaid, Misid yang berukuran besar dan beberapa Dekapoda yang berukuran kecil), Ekinodermata (Bintang Laut dan Ekinoid) dan Moluska (Bivalvia penggali dan beberapa Gastropoda). Pada umumnya biota tersebut hidup pada substrat dasar pasir dan lumpur (Nybakken 1992). Moluska dan krustasea mendominasi komunitas fauna bentik pada kebanyakan ekosistem mangrove (Kennish 1990). Makrozoobentos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan perairan karena hewan bentos hidup relatif menetap di dasar endapan (substrat) perairan atau beristirahat pada dasar perairan. Berdasarkan teori tersebut maka hewan ini akan selalu terpapar dengan limbah yang masuk ke habitatnya dalam jangka waktu yang relatif lama. Hewan bentos memproduksi larva yang bersifat meroplankton yang mendukung populasi ikan dan menjaga keseimbangan lingkungan dengan membuat lubang pada dasar substrat sehingga air dan udara dapat masuk ke dalam tanah (Fitriana 2006). Suatu perairan yang sehat atau belum tercemar akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang, sebaliknya suatu perairan tercemar diindikasikan dengan penyebaran jumlah individu tidak merata dan cenderung ada spesies yang mendominasi (Odum 1994). Dijelaskan lebih lanjut oleh Tian et al. (2009) bahwa ekologi suatu lingkungan akan seimbang jika setiap kelompok terdapat banyak spesies secara merata. Setiap taksa dari bentos mempunyai toleransi yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan, ada yang toleran dan ada pula yang intoleran (sensitif). Salah satu spesies yang dikenal toleran terhadap perubahan lingkungan yaitu Capitella sp. (Machdar 2010). Hal senada dikemukakan Poclington & Wells
6 (1992) in Junardi & Wardoyo (2008) bahwa Capitella capitata dapat digunakan sebagai spesies indikator pencemaran perairan. Berdasarkan pola makannya fauna bentos dibedakan menjadi tiga tipe yakni tipe suspension feeder yaitu memperoleh makannya dengan cara menyaring partikelpartikel yang melayang di perairan; tipe deposit feeder yaitu memperoleh makanan pada sedimen dasar dan mengasimilasikan bahan organik yang dapat dicerna dari sedimen; dan tipe detritus feeder yaitu memperoleh makannya dari detritus (Nybakken 1992). Makrozoobentos tipe penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang tinggi seperti Echinocardium, Nepthys dan Macoma. Makrozoobentos tipe pemakan suspensi seperti Clinocardium dan Tresus melimpah pada substrat berpasir dengan bahan organik yang lebih sedikit, sedangkan makrozoobentos tipe pembentuk tabung seperti Phoronopsis dan Owenia dapat dijumpai pada substrat pasir atau lumpur (Nybakken 1992).
2.2. Struktur Komunitas Struktur komunitas didefinisikan sebagai kumpulan populasi yang hidup pada lingkungan tertentu, saling berinteraksi dan bersama-sama membentuk tingkat trofik dengan pola metaboliknya (Odum 1994). Sebagai satu kesatuan, komunitas memiliki seperangkat karakteristik yang hanya mencerminkan keadaan dalam komunitas saja, bukan pada masing-masing organisme pendukungnya (Odum 1994). Setiap spesies dalam suatu komunitas mempunyai daya toleransi tertentu terhadap tiap-tiap faktor dan semua faktor lingkungan (Nybakken 1992). Lima karakteristik yang dimiliki oleh suatu komunitas yaitu keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik (Krebs 1972). Semakin tinggi nilai indeks keanekaragaman maka semakin banyak jenis makrozoobentos
yang ditemukan pada suatu komunitas (Krebs 1989).
Kepadatan biota bentik pada suatu habitat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang memengaruhi ukuran kepadatan biota bentik yaitu kegiatan antropogenik dan gangguan alami seperti gelombang dan arus laut yang dapat mengganggu substrat dasar serta erosi garis pantai; sedangkan faktor internal yang dapat mengganggu kepadatan biota bentik yaitu rekrutmen yang tidak terduga,
7 kompetisi antar biota bentik serta predator (Eleftheriou & Mclntyre 2005). Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis dari suatu perairan dipengaruhi banyak faktor antara lain variasi habitat (niche), stabilitas lingkungan, kompetisi, panjangnya rantai makanan dan ukuran tubuh. Dijelaskan lebih lanjut oleh Pianka (1966) in Kastoro et al. (1999) bahwa Polychaeta melimpah di daerah pasang surut dengan dasar lumpur dan menurun kelimpahannya pada substrat dasar pasir, begitu pula krustasea dan moluska. Hal tersebut berbeda dengan kelompok Ekinodermata yang hanya ditemukan sedikit pada substrat dasar lumpur. 2.3. Tekstur Substrat Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang memengaruhi struktur komunitas makrozoobentos. Daerah estuari didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal dari sedimen baik masukan air tawar maupun air laut serta dari pembusukan serasah yang jatuh ke dasar perairan. Penyebaran makrozoobentos dapat berkorelasi dengan tipe substrat (Nybakken 1992). Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan kelimpahan dan komposisi jenis dari hewan bentos (Odum 1994). Pada umumnya substrat dasar perairan merupakan kombinasi dari pasir, lumpur dan tanah liat. Persentase tekstur substrat berdasarkan segitiga Miller dapat dilihat pada Gambar 2.
8
Gambar 2. Persentase tanah berdasarkan segitiga Miller (USDA 2009 in Taqwa 2010) 2.4. Komposisi C-Organik Komposisi C-organik merupakan kandungan bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan bahan kimia, fisika maupun biologi tanah. Estuari merupakan daerah yang memiliki sejumlah besar bahan organik (Nybakken 1992). Kandungan utama bahan organik (detritus) berasal dari daun-daun dan rantingranting dari pohon mangrove yang jatuh ke dalam dasar perairan dan telah membusuk (Romimohtarto & Juwana 2001). Semakin tinggi bahan organik maka akan semakin meningkat kelimpahan biota yang menyukai bahan organik yang hidup didalamnya. Makrozoobentos tipe penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik tinggi seperti Echinocardium, Nepthys dan Macoma.
9 2.5. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992). Suhu memengaruhi aktivitas metabolisme dan reproduksi organisme yang hidup di perairan (Hutabarat & Evans 1986).
Nybakken (1992) menyatakan hal senada bahwa
perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri aktivitas, misalnya reproduksi. Kelas Polychaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan diri di bawah permukaan substrat (Alcantara & Weiss 1991 in Taqwa 2010). Peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh organisme yang hidup didalamnya, dampaknya konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 o
C dapat menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme
akuatik sebanyak dua sampai tiga kali lipat (Effendi 2003). Perkins (1974) in Efriyeldi (1999) mengemukakan bahwa kisaran suhu yang dianggap layak bagi organisme akuatik bahari adalah 25-32 oC. Kecepatan metabolisme organisme air meningkat seiring dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi 2003). Suhu air yang baik bagi kepentingan perikanan adalah suhu air normal (27 oC untuk daerah tropis) dan fluktuasi sekitar 3 oC (Hariyadi et al. 1992).
2.6. Salinitas Salinitas pada daerah estuari berfluktuasi terkait perubahan musim, topografi estuari, pasang surut dan jumlah air tawar. Pada gilirannya fluktuasi salinitas dapat memengaruhi penyebaran makrozoobentos baik secara vertikal maupun horizontal (Nybakken 1992). Gastropoda mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah, namun Bivalvia yang bersifat menetap akan mengalami kematian jika pengaruh air tawar berlangsung lama (Effendi 2003). Kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrozoobentos adalah 15‰ -35‰ (Hutabarat & Evans 1985).
10 2.7. Kedalaman Kedalaman akan memengaruhi pertumbuhan fauna bentos yang hidup didalamnya. Kedalaman suatu perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken 1992). Interaksi antara faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan akan memengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, sehingga berpengaruh langsung pada kecerahan, selanjutnya akan memengaruhi kehidupan fauna makrobentos (Odum 1994). 2.8. Kecerahan Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan memengaruhi sifat optis air. Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi didalamnya yakni semakin sedikit partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Sedimen yang tersuspensi dapat menghambat proses penyaringan bagi organisme bentos yang memiliki struktur penyaring pemakan suspensi yang halus sehingga fungsi dari alat penyaringnya menjadi terhambat. Terbentuknya dan mengendapnya partikel tersuspensi cenderung mengubur larva pemakan suspensi yang baru menetap dan dapat menimbulkan kematian pada organisme bentos tersebut (Nybakken 1992). 2.9. Derajat Keasaman (pH) Kondisi lingkungan perairan laut memiliki pH yang bersifat relatif stabil serta berada dalam kisaran yang sempit yaitu antara 7,5-8,4 (Nybakken 1992). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 78,5 (Effendi 2003). Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menoleransi pH perairan. Nilai pH <5 dan >9 menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan organisme makrobentos (Hynes 1978). Pennak (1978) menyatakan bahwa kisaran pH yang mendukung kehidupan moluska berkisar antara 5,7-8,4.
11 2.10. Oksigen Terlarut/dissolved oxygen (DO) Kadar oksigen di perairan dipengaruhi suhu, salinitas dan turbulensi air. Kadar oksigen terlarut berkurang seiring dengan naiknya suhu, ketinggian (altitude) dan berkurangnya tekanan atmosfer (Effendi 2003). Pada perairan estuari, kelarutan oksigen akan berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas (Nybakken 1992). Kelarutan oksigen lebih tinggi di kolom perairan dibandingkan di dalam substrat karena tingginya kandungan bahan organik dalam substrat. Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken 1992). Secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut akan menurun dengan adanya penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang mengonsumsi oksigen yang tersedia dalam suatu perairan (Connel & Miller 1995).