2. LANDASAN TEORlTlS
2.1. Koadaan Umum Perairan Selat Sunda Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa merup,akan perairan pertemuan Samudera Hindia dan Laut Jawa. Luas perairannya lebih kurang 8.138 km2. Berbentuk seperti corong, bagian utara lebih sempit (+24 km) dan leloih dangkal (580 m). Sedang bagian selatan memiliki lebar sekitar 100 km dan kedalaman mencapai 1575 m (Birowo, 1983). Karena sempit dan dangkalnya selat di bagian utara maka, menurut Birowo dan Arief (1983) pertukaran massa air antara laut Jawa tjan Samudera Hindia kecil saja. Berdasarkan pola arus di daerah perairan ini, aliran air dari Laut Jawa ke arah Samudera Hindia adalah dominan. Sementara pada bagian selatan Selat Sunda, perairannya sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan Samuclera Hindia. Menurut Birowo (1983), Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim tenggara dan mlusim barat laut. Angin musim tenggara terjadi pada bulan April sampai dengan September, sedangkan musim barat laut terjadi pada bulan Oktober sampai Maret. Bulan April sampai Mei angin cenderung bertiup dengan kecepatan 2-8 midetik dari arah ui:ara dan timur. Angin yang bertiup dari arah barat daya cenderung ke barat pada bulan Desember, sedangkan pada bulan Januari dari arah barat, dan pada bulan Pebruari dari arah barat laut cenderung ke barat dengan kecepatan bervariasi antara 510 mldetik. Selama musim barat umumnya gelombang cukup besar, yaitu bervariasi sekitar 0,5 m tlampai 1,5 m, bahkan dapat mencapai 1,5 m sampai 2 m pada bulan Desember dan Januari. Sedangkan pada musim timur ketinggian gelombang biasanya antara 0,5 m sampai 1,O m, bahkan bisa kurang dari 0,5 m pada bulan-bulan April, Mei dan Juni.
6
Di Selat Sunda pergerakan massa airnya merupakan kombinasi arus pasang surut dan arus musiman. Pada waktu-waktu tertentu arus perairan ini terasa kuat, akan tetapi sirkulasi air antara Laut Jawa dan Samudera Hindia lemah (0,5 x 10 6 m3/detik). Sepanjang tahun arah alirannya ke barat daya (Samudera Hindia), pada bulan Nopeniber arahnya kadang-kadang berubah ke timur laut, kecepatannya bervariasi sekitar 0,2 sampai 0,7 mldetik (Wyrtki, 1961). Salintas pada lapisan permukaan perairan Selat Sunda umumnya berkisar antara 31,5-33,4°/,.
Ada kecenderungan nilai ini meningkat dari perairan dekat Laut
Jawa ke arah Samudera Hindia. Menurut Hardenberg (1937) selama musim timur sedang berlangsung, air dengan salinitas tinggi mengalir dari Laut Flores masuk ke Laut Jawa dan keluar melalui Selat Gaspar, Selat Karimata dan Selat Sunda. Pada musim barat, menurut Hardenberg (1937) terjadi pengenceran massa air di Selat Sunda yang berasal dari air tawar dari muara-muara sungai di Sumatera bagian selatan dan Elangka. Sehingga salinitas menjadi rendah. Pada bulan Maret, pengaruh pengeinceran salinitas selama musim barat
berlangsung telah mereda. Menurut
Berlage (1927) dalam bulan Maret, massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan yang terdorong ke Laut Jawa sebagian membelok ke arah selatan melalui PulauPulau Seribu masuk ke Selat Sunda. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1981, memperlihatkan bahwa suhu lapisan permukaan Selat Sunda
bervariasi antara 28,IO-29,5
OC
dengan
kecentferungan meningkat dari selatan ke utara. Berdasarkan hasil pantauan satelit tahun 1994, diketahui bahwa rata-rata suhu permukaan laut Selat Sunda adalah 29,32 OC
pacla bulan Mei; 30,OI OC pada bulan Juni; 29,19
OC
pada bulan Juli; dan 27,28
OC
pada bulan Agustus (Amri, 1997). Menurut Birowo dan Uktolseja (1981), suhu permultaan laut perairan Selat Sunda akan relatif tinggi pada musim peralihan dan akan lebih rendah pada musim barat dan timur. Rendahnya suhu di musim timur
7
disebabkan karena tingginya evaporasi, angin yang kuat, dan kelembaban udara yang relatif rendah, sehingga mengakibatkan energi evaporasi lebih tinggi daripada radiasi matahari yang diterima, ini menyebabkan pendinginan permukaan laut. Rendahnya suhu di musim barat disebabkan oleh masukan air hujan dan masukan massa air tawar dari tirrlur laut yang dingin (Birowo dan Uktolseja, 1981).
2.2. Su~mberdayalkan Pelagis
Sumberdaya ikan pelagis adalah jenis-jenis ikan yang hidup atau menghuni perairan lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer). Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena terutama penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikkan massa air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Sumberdaya perikanan pelagis kecil makanan utamanya adalah plankton, sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada lingkungan perairannya. Musim ikan pelagis di perairan Indonesia umumnya berlangsung pada akhir musim timur dan awal musim barat (sekitar bulan Agustus sampai November). Hal ini' berhubungan dengan kesuburan perairan akibat adanya upwelling pada musim timur seperti yang terjadi di Laut Banda, Samudera Hindia dan Laut Jawa bagian timur (Puslibangkan, 1994). lkan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun dengar~jenis ikan lainnya. Ikan-ikan ini bersifat fototaxis positif (tertarik pada cahaya)
dan te~tarikpada benda-benda terapung. Terdapat kecenderungan ikan pelagis kecil bergerombol berdasarkan kelompok ukuran. Kebiasaan makan ikan pelagis kecil umumnya waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam. Kebanyakan ikan pelagis termasuk pemakan plankton, baik planktcln nabati (fitoplankton) maupun plankton hewani (zoo plankton). Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang sering tertangkap di perairan Selat Sunda adalah ikan layang, banyar, kembung, lemuru, ternbang, dan bentong. Masing-masing jenis ikan pelagis yang ditangkap di Selat Sunda tersebut mempunyai musim penangkapan tersendiri yang biasanya dikategorikan menjadi tiga musim yaitu musim puncak:, musim sedang dan musim kurang. 2.2.1. lkan Kembung
Spesies ikan kembung menurut Saanin (1968) terdiri atas Rastrelliger kanag~rtta,Rastrelliger neglectus dan Rastrelliger branchysoma. Yang disebut sebagai ikan kembung di sini adalah spesies Rastrelliger branchysoma dengan nama lain sebagai kembung perempuan. lkan kembung mempunyai bentuk tubuh pipih agak lebar. Panjang kepala sama atau sedikit lebih pendek dari tinggi badan. Panjang baku 3,743 kali tinggi badan. Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. lkan kembung yang sering tertangkap berukuran 16 cm. Makanan ikan kembung terdiri dari diatom
31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60% (Puslitbangkan, 1994). Kembung melakukan migrasi untuk memijah dan mencari makan (Rounsefell dan Everhart, 1953). Susanto (1961) secara spesifik berpendapat bahwa kembung perempuan melakukan migrasi untuk mencari makanan dan mencari daerah pemijahan. Selain itu, faktor yang mempengaruhi migrasi tersebut adalah kekuatan angin clan arus.
lkan kembung perempuan yang menyebar di perairan dekat pantai karena mereka hidup pada perairan dengan kadar garam rendah (Pasaribu, 1967). lkan kemburlg umumnya memijah pada sekitar musim barat (Nurhakim, 1993). Kelompok ikan kembung dapat ditemukan dengan melihat tanda-tanda di laut pada r;iang hari. Tanda-tanda itu seperti perairan kelihatan lebih pekat dari sekelilirlgnya serta adanya percikan-percikan yang disebabkan gerakan kelompok ikan tersebut. Tanda ini adalah khas untuk kembung perempuan. Pada malam hari dalam keadaan gelap kembung perempuan berada di lapisan permukaan. Bagian punggung ikan ini kelihatan berkilau-kilau. Adanya cahaya memudahkan penemuan ikan ini. Itu pula sebabnya penangkapan ikan ini umumnya dilakukan pada malam hari dalam keadaan gelap (Pasaribu, 1967).
2.2.2. lkan Banyar lkan banyar (Rastrelliger kanagurfa) merupakan kelompok ikan kembung yang biasa clisebut sebagai kembung lelaki. lkan banyar mempunyai bentuk tubuh yang panjang dan agak pipih. Kepala sedikit lebih panjang dari tinggi badan. Panjang baku 4,3-5,2 kali tinggi badan. Warna tubuh keperakan dan pada bagian punggung hijau kebiruan. Di bawah gurat sisi terdapat 2 buah garis memanjang berwarna biru. Pada tubuh bagian samping atas memiliki deretan noda-noda hitam. Pada tubuh di dekat sirip dada terdapat noda berwarna hitam. Sirip berwarna terang. Yang sering tertangltap berukuran 19 cm. Makanan ikan banyar sama dengan kembung yaitu terdiri dari Dlatome 31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak teridentifikasi 60% (Puslitbangkan, 1994). llkan banyar memiliki daerah penyebaran yang luas. lkan banyar ini sulit dicari dan jarzing muncul di permukaan. Biasanya ikan ini mempunyai ketompok yang padat,
10
dan dijumpai pada perairan yang jemih dan agak jauh dari pantai karena menyukai kadar garam yang lebih dari 23,O'1,
.
lkan banyar memiliki dua kali masa pemijahan, pertama biasanya berlangsung pada rrlusim barat (dari bulan Oktober sampai Pebruari) dan yang kedua pada musim timur (dari bulan Juni sampai September). lkan ini berpijah untuk yang pertama kali pada ulmur sekitar 2 tahun (Puslitbangkan, 1994). 2.2.3. lkan Tembang
Tembang (Sardinella fimbriata) merupakan ikan permukaan dan hidup di perairan pantai serta suka bergerombol pada areal yang luas sehingga sering tertangkap bersama-sama dengan ikan lemuru (Fischer dan Whitehead, 1974). Di Laut Jawa jenis tembang terpenting adalah Sardinella fimbriata (Hutomo dan Martosewojo, 1975). Tembang tersebar di perairan pantai Indonesia hingga ke utara sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ujung utara Australia dan ke barat sampai ke Laut Merah. Daerah penyebaran tembang cukup luas hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, terutama di daerah Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatar~,dan Arafuru (Direktorat Jenderal Perikanan, 1989). lkan ini banyak didaratkan di pelabuhan perikanan sepanjang pantai utara Jawa terutama di Pekalongan, yang menduduki urutan kedua terbanyak tertangkap setelah ikan layang.
2.2.4. lkan Selar Bentong
lkan selar (Selaroides spp.) termasuk dalam kelompok ikan-ikan pelagis kecil. Di Indonesia terdapat tiga jenis selar yaitu selar kuning (Selaroides leptolepis), selar tetengkek (Megalaspis cordyla) dan selar bentong (Selar crumenopthalmus).
11
Selar sebagaimana umumnya ikan-ikan dari famili Carangidae melakukan pemijalian pada malam hari. Telur ikan selar banyak ditemukan di Laut Jawa, sekitar Selat Siunda dan Madura pada bulan Juni sampai Oktober, meskipun pada bulan-bulan lainnya ditemukan pula dalam jumlah kecil. Pemijahan berlangsung pada perairan dengar) salinitas 31-33 '1,.
Masa inkubasi telur ikan selar ini sangat pendek yakni
kurang dari 12 jam (Delsman, 1972). 2.2.5. lkan Tongkol
lkan tongkol (Euthynnus sp.) termasuk ke dalam keluarga Scombridae. Bentuk tubuhnya seperti cerutu dengan kulit yang licin. lkan ini termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan-ikan laut yang berangka tulang, disamping ikan-ikan tenggiri (Djuhanda, 1981). Penyebaran ikan tongkol sangat luas meliputi perairan tropis dan sub tropis, termasuk Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Samudera Atlantik (FAO, 1986). Menurut Saanin (1954), daerah-daerah penyebaran ikan tongkol di perairan Indonesia adalah Laut Maluku, Laut Sawu, Samudera Hindia, sebelah selatan Nusa Tenggara dan di sebelah barat Sumatera. Tongkol termasuk bagian tuna pantai (coastal tuna), disamping 'frigate tuna' (Auxis thazard) dan 'longtail tuna' (Thunnus tonggol). lkan ini merupakan jenis tuna paling lrecil dengan ukuran rata-rata 2-5 kglekor (Saanin, 1954). Musim tongkol berbeda-beda untuk tempat yang berlainan, walaupun spesiesnya sama. Perbedaan ini disebabkan perubahan suhu perairan, perubahan arus, dim lain-lain (FAO, 1983). Musim tongkol di Laut Jawa terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Pebruari yaitu pada musim hujan (Langkong, 1984). Pada bulan-bulan ini terdapa~tpopulasi besar dari Stolephores sp. yang merupakan ikan yang sangat disenangi tongkol sebagai makanannya.
12
Meskipun ikan-ikan yang dewasa secara seksual bertemu sepanjang tahun, ada bermacam-macam puncak musim untuk bertelur menurut tempat, misalnya bulan Maret-lMei di perairan Philipina, selama periode bulan OktoberINopember-AprilIMei di sekitar Seychelles, dari periode Januari sampai Juli di Afrika Timur dan di perairan lndonesia terjadi dalam bulan Agustus sampai Oktober (FAO, 1983). Tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi
-
antara 18,O 29,O
OC.
Dalam penyebarannya tongkol cenderung membentuk kumpulan
multispecies menurut ukurannya, misalnya kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp dan Megalopsis cardyla (Carangidae) (FAO, 1983). Berdasarkan daerah penangkapan dan besarnya ikan tongkol termasuk golongan ikan pelagis berukuran besar dan hidup pada permukaan air laut (Hadiwiyoto, 1983). 2.2.6. lkan Layang
Spesies ikan layang yang ada di Indonesia adalah Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma. D.ruselli mempunyai nama sinonim D. maruadsi dengan nama umum ikan layang atau round scad. Sedang Decapterus macrosoma mempunyai nama umum ikan layang deles atau layang scad (Nurhakim et.al., 1987). lkan ini hidup di perairan lepas pantai yang berkadar garam tinggi dan membentuk gerombolan besar. Panjang tubuhnya dapat mencapai 30 cm, umumnya antara 20-30 cm, bentuk badan agak n~emanjangdan agak gepeng (Direktorat Jenderal Perikanan, 1989). Dalam statistik; perikanan, keduanya dikelompokkan dalam satu kategori, yaitu ikan layang (Decapterus spp) (Widodo, 1988). lkan layang termasuk jenis ikan perenang cepat, bersifat pelagik, tidak menetap dan suku bergerombol. Jenis ikan ini tergolong stenohaline, hidup di perairan yang berkadar garam relatif tinggi (32-34)1 ,'
dengan kisaran yang sempit dan menyenangi
perairan yang jernih. Menurut Lussinap et.al (1970), bahwa salinitas optimum ikan
layang berkisar antara 32-32,5 '1,.
lkan layang banyak terdapat di perairan yang
berjaralc 37-56 km dari pantai (Weber dan de Beaufort, 1931; Hardenberg, 1937). lkan layang biasanya memijah pada perairan yang mempunyai suhu minimum, yaitu sebesar 17
OC.
Suhu optimum ikan layang yang menjadi tujuan penangkapan
adalah sekitar 20-30 OC. Sedang suhu selang distribusi ikan layang berkisar antara 1225
OC
(Laevastu dan Hela, 1970). lkan layang umumnya memiliki dua kali masa
pemijatlan per tahun dengan puncak pemijahan pada bulan MaretJApril (musim barat) dan AgustusISeptember (musim timur) (Puslitbangkan, 1994). lkan layang deles (D.macrosoma) memijah selama beberapa bulan dengan puncaknya pada bulan Agustu:s/September (Widodo, 1988). Menurut Asikin (1971), ikan layang muncul ke permukaan karena dipengaruhi oleh ruiaya harian dari plankton hewani (zoo plankton) yang terdapat di suatu perairan. Secara spesifik, makanan ikan layang terdiri dari copepoda 39%, crustacea 31% dan organisme lainnya 30% (Puslitbangkan, 1994). Ruaya ikan layang di perairan Indonesia mempunyai hubungan dengan pergerakan massa air laut, walaupun secara tidak langsung. Menurut
penelitian
Hedenberg (1937), populasi layang yang berasal dari Samudera Hindia beruaya melalui Selat Sunda ke Laut Jawa sampai di sebelah utara Cirebon. Dari hasil penganiatan Burhanuddin et.al. (1984) ternyata bahwa, pada bulan Maret di Selat Sunda terdapat dua populasi yang berbeda, yaitu populasi layang yang tertangkap oleh para nelayan di Kota Agung (Teluk Semangka) dan populasi layang yang ditangkap oleh para nelayan di Labuan. Populasi layang yang tertangkap di Labuan diduga sesuai dengan hipotesa Hardenberg (1937) sebagai layang barat yang berasal dari Samudera Hindia. Populasi ini tidak beruaya, hanya terbatas di lingkungan Selat Sunda saja atau sedikit meluas ke perairan di dekatnya. Sementara popula!;i
layang yang terdapat di Kota Agung mungkin ada hubungannya dengan
populasi layang utara karena, populasi yang tertangkap di Kota Agung sama dengan yang tertangkap di Pulau Panggang, Pulau Bawean, Masa Lembo dan Selat Bali. Hardenberg (1937) juga menyatakan bahwa layang utara yang berasal dari Laut Cina S~slatan (Natuna) tidak pernah masuk ke Selat Sunda dalam musim barat karena salinitas rendah.
2.3. Kondisi Oseanografi Perairan
Keberadaan sumberdaya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. Selanjutnya Gunarso (1985) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pola kehidugan ikan-ikan baik yang menyangkut periode migrasi musiman, pertumbuhan dan kaberadaannya. Secara umum diketahui bahwa sebaran kelimpahan ikan berhubungan erat dengan karakteristik lingkungannya. Sebaran pada suatu musim digambarkan melalui beberapa kategori, dimana hasilnya memperlihatkan pola yang berbeda (Nugroho et.a1.,1993). Suatu laporan penelitian yang pernah dilakukan oleh Amin dan Nugroho (1992) memberikan informasi lebih lanjut bahwa pada musim barat kelompok-kelompok ikan lebih banyak ditemukan pada lapisan permukaan (0-100 m). Pada lepisan tersebut kelompok-kelompok ikan terkonsentrasi pada daerah dekat pantai tcsrutama sekitar Pulau Enggano dan Selat Sunda. Sedangkan pada lapisan 100200 m terkonsentrasi di dekat Selat Sunda. Scallabrin dan Masse (1993) dalam Hamel (1999) menyatakan bahwa tingkah laku kelompok ikan dan distribusi spasialnya berhubungan secara signifikan dengan kondisi cuaca dan oseanografi. 2.3.1. Suhu
I-aevastu dan Hayes (1981) mengatakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat Icecil (k0.02 OC) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu
perairan (di daerah sub tropis). Lebih lanjut dikatakan bahwa ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Selanjutnya juga dinyatakan, kelimpahan suatu jenis ikan pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaen lainnya. Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas gerakan; ruaya, penyebaran, dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan; masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusanhidup larva ikan. Perubahan suhu perairan menjadi dibawah suhu normal/suhu optimal menyebabkan penurunan aktivitas gerakan dan aktivitas makan serta menghambat berlangsungya proses pemijahan. Pada umumnya semakin bertambah besar ukuran dan semakin tua ikan, ada kecenderungan menyukai dan mencari perairan dengan suhu yiang lebih rendah di perairan yang lebih dalam. Menurut Gunarso (1985), bahwa fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan
faktor
penting
dalam
upaya
merangsang
dan
menentukan
pengkonsentrasian gerombolan ikan. Sehingga suhu memegang peranan dalam penentluan daerah penangkapan ikan. Menurut Laevastu dan Hela (1970) untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu penangkapan ikan hams memperhatikan: a) Suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadli tujuan penangkapan; b) Pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk membeirikan keterangan mengenai isotermal permukaan ; c) Perubahan keadaan hidrogr,afiharus dapat diramalkan. Laevastu dan
Hela
(1970),
menyatakan bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam ha1 ini adalah
curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas matahari. Dengan demikian suhu permukaaan laut biasanya mengikuti pola musiman. Suhu perairan berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi. lkan mempunyai kisaran suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang suhu optimum ini akan bermanfaat dalam peramalan
keberadaan kelompok ikan, sehingga
dapat
dengan mudah
dilakukan penangkapan.
2.3.2. Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1987). Sedangkan Ross (1970) mengatakan bahwa salinitas permukaan laut tergantung pada perbedaan evaporasi dan prc?sipitasi. Salinitas permukaan di laut terbuka, bervariasi antara 33-37%0 dengan nilai rata-rata 35%0. Pada perairan dangkal, lapisan homogen berada hingga ke dasar, dengan salinitas dan suhu yang homogen (Nontji, 1987). Nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Peruba~hanterbesar dari salinitas terjadi di kedalaman antara 100-1000 m. Daerah dimana terjadi perubahan salinitas yang sangat cepat disebut lapisan haloklin. Berdas'arkanpola distribusi salinitas secara vertikal, maka Ross (1970) membagi kolom perairan berdasarkan atas 4 zona, yaitu: a) Zona permukaan tercampur dengan baik, ketebalan 50-100 m, dan memiliki nilai salinitas yang seragam ;b) Zona dimana terjadi perubahan salinitas yang secara relatif besar, dan disebut zona haloklin ; c) Zona dengarb nilai salinitas yang seragam dan berada di bawah lapisan haloklin hingga ke
lapisan dasar laut ; d) Zona pada kedalaman 600-1000 m, dimana nilai salinitas menjacli minimum. Menurut Laevastu dan Hela (1970), variasi salinitas pada daerah lepas pantai relatif llebih kecil dibanding dengan daerah pantai, ha1 ini karena pengaruh run-off dari daratan. Variasi salinitas ini sering digunakan untuk mengindikasikan perubahan massa air. Perubahan salinitas dan suhu sangat mempengaruhi densitas suatu perairan. Ross ('1970) menyatakan bahwa densitas ditentukan oleh indek antara 3 variabel, yaitu salinitas, suhu dan tekanan. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman. Keadaan nilai salinitas di perairan di pantai utara Jawa pada bulan Desember, erat hubungannya dengan keadaan sirkulasi air laut. Keadaan nilai salinitas yang semakin tinggi ke arah timur menunjukkan adanya aliran air laut dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa, tetapi air dari Laut Cina Selatan tersebut masih belum mempemgaruhi kondisi air di sekitar perairan utara Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh masih adanya! air yang bersalinitas di atas 33 %o. lsohalin 33 %O merupakan indikator massa air Laut Flores yang masuk ke Laut Jawa. Massa air Laut Cina Selatan yang mengalir ke Laut Jawa pada bulan Desember mempunyai salinitas yang lebih rendah akibat terjadin~yapengenceran oleh curah hujan dan aliran air sungai di sepanjang pantai timur Sumatcxa dan pantai barat Kalimantan (Hadikusumah eta/, 1980).
2.3.3. Klorofil-a Klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktifitas primer yang ditunjukkan dengar~besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil. Produktifitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari
produklifitas primer perairan laut terbuka. Menurut Valiela (1984) produktifitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktifitas yang ada di laut. Laju produktifitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah pencarnpuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton) (Gabric and Parslow, 1989). Beberapa penelitian tentang produktifitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian atas lapisan termok:lin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homoglen. Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan sebara~nkonsentrasi klorofil-a di perairan lndonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwel4ing di beberapa perairan tenrtama di perairan lndonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di perairan lndonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konseritrasi nutrient di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1974) dalam Monk et.al (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan lndonesia kira-kira 0,19 mlg/m3, dan 0,16 mg/m3selama musim barat, 0,21 mg/m3selama musim timur.
2.4.
Citra Satelit Pengamatan kondisi oseanografi seperti suhu permukaan laut, kandungan
klorfil-a dan pola arus serta tinggi muka laut dengan menggunakan satelit merupakan
suatu cara untuk mendapatkan data secara multitemporal dan multi spasial di suatu perairan yang cukup luas pada waktu yang sama. Keadaan ini sulit dilakukan dengan cara konvensional yaitu dengan pengukuran secara langsung di lapangan. Citra suhu permukaan laut dapat diperoleh dari hasil pengukuran sensor thermal sementara citra klorofil-a dapat diperoleh dari pengukuran sensor optik dan pola arus (arah dan kecepatan) dapat diukur dengan sensor satelit radar. 2.4.1. Citra Suhu Permukaan Laut
Untuk menentukan SPL dari data satelit NOAA-AVHRR dilakukan pengukuran terhadap radiasi infra merah pada panjang gelombang 3 ,u m
-
14 ,u m
dengar) menggunakan band 3, 4 dan 5. Pengukuran spektral infra merah yang dipancarkan oleh
permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada
lapisan permukaan sampai kedalaman 0,l mm. Walaupun demikian, pada sebagian besar permukaan laut, kecuali perairan kutub, kedalaman 0 m - 20 m merupakan lapisan pencampuran (mixed layer) dimana suhu cukup homogen (Robinson, 1985). Suhu permukaan laut (SPL) yang dapat dipantau oleh satelit merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh dominan bagi keberadaan sumbe~rdayahayati laut. Menurut Widodo (1999) pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan sumberdaya hayati laut mengharuskan penggunaan banyak data dalam lselang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Citra suhu permukaan laut (SPL) dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan (Hasyim dan Priyanti, 1999).
2.4.2. Citra Produktifitas Primer
Sensor ocean color dari satelit dapat menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang adanya~ variasi warna perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi klorofil-a (produktifitas primer) dalam perairan. Apabila sebaran produktifitas primer dapat diketahui akan menjadi indikator yang lebih tepat untuk penentuan fishing ground (Susilo, 1997). Pendeteksian klorofil-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran radiansi warna perairan pada spektrum 433-520 nm dari band 2, 3, dan 4 dari sensor SeaWilFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit Seastar ini maka tingkat kandurlgan klorofil dari suatu perairan dapat diketahui.
2.5. Aliat Tangkap Kapal-kapal yang mendaratkan hasil tangkapan ikan pelagis di Selat Sunda dari jenis pukat cincin mini (mini purse seine). Pukat cincin adalah jenis alat tangkap yang khusua digunakan untuk menangkap ikan-ikan yang bersifat pelagic shoaling species, dimana ikan-ikan tersebut membentuk gerombolan (shoal) serta berada di dekat permukaan air (Ayodhyoa, 1981). Selain itu juga diharapkan agar densitas gerombolan ikan tersebut tinggi, yang berarti jarak antara ikan yang satu dengan lainnya dekat sekali. Menurut Ayodhyoa (1981), bahwa prinsip penangkapan ikan dengan pukat cincin edalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring bagian
bawah dikerucutkan, sehingga ikan-ikan terkumpul pada bagian kantong.
Denga~nkata lain memperkecil ruang gerak ikan yang akhirnya tertangkap. ~ a dmata i jaring lianyalah sebagai penghadang ikan dan bukan sebagai penjerat seperti halnya pada jaring insang.
21
Kapal pukat cincin mini berukuran panjang antara 10-15 m dan hampir sebagian besar menggunakan mesin tempel (outboard angine) dengan panjang jaring maksimal 300 m. Sedangkan kapal pukat cincin besar berukuran panjang 15-30 m dengan
menggunakan mesin motor diesel (inboard engine) untuk panjang jaring lebih dari 400 m. Menurut Atmadja dan Shadotomo (1985), bahwa bobot mati kapal pukat cincin mengalami evolusi dari tahun ke tahun dengan berbagai kisaran berat kotor atau gross tonnage (GT).