MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 110/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN DAN DPR (III)
JAKARTA SELASA, 2 DESEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 110/PUU-XII/2014 PERIHAL -
-
Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan [Pasal 49 ayat (3) huruf b dan Penjelasannya] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Pasal 231 ayat (3)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON 1. Suhaemi Zakir ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden dan DPR (III) Selasa, 2 Desember 2014, Pukul 14.34 – 15.10 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Maria Farida Indrati Ahmad Fadlil Sumadi Muhammad Alim Anwar Usman Patrialis Akbar Aswanto Wahiduddin Adams
Ida Ria Tambunan
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Rinaldi B. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5.
Nasrudin Wicipto Setiadi Wisnaldi Jamal B. Maria Budijono
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.34 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 109/PUUXII/2014 dan 110/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, Silakan. Perkenalkan diri dulu!
2.
perkenalkan
diri
dulu.
KUASA HUKUM PEMOHON: RINALDI Baik, Yang Mulia. Terima kasih. Nama saya Rinaldi, Kuasa Hukum dari H. Suhaemi Zakir.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Dari Pemerintah, siapa saja yang hadir?
4.
PEMERINTAH: NASRUDIN Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah mewakili Presiden, hadir saya sendiri Nasrudin. Sebelah kanan saya Bapak Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H., (Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM) yang sekaligus akan membacakan keterangan Presiden. Sebelah kiri saya, Pak Wisnaldi, dan Ibu Maria dari Kejaksaan Agung, dan Pak Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan Presiden dan DPR. DPR tidak hadir. Saya persilakan langsung dari yang mewakili Presiden, Pak Wicipto, silakan.
6.
PEMERINTAH: WICIPTO SETIADI Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Assalamualaikum wr. wb. Perkenankan kami membacakan keterangan Presiden atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 1
Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kepada yang terhormat Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di Jakarta. Dengan hormat yang bertanda tangan di bawah ini. 1. Yasonna H. Laoly (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia). 2. M. Prasetyo (Jaksa Agung). 3. Bambang Brodjonegoro (Menteri Keuangan). Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemerintah. Perkenankanlah kami menyampaikan keterangan Presiden baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atas penjelasan … atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan, dan pengujian ketentuan Pasal 231 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, untuk selanjutnya disebut KUHP, terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disingkat dengan UUD 1945 yang dimohonkan oleh H. Suhaemi Zakir yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rinaldi, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon, sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 109/PUU-XII/2014 tanggal 14 Oktober 2014, dan perbaikan Pemohon … permohonan tanggal 12 November 2014, dan Perkara Nomor 110/PUU-XII/2014 tanggal 14 Oktober 2014 dengan perbaikan permohonan tanggal 12 November 2014. Yang Mulia Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Selanjutnya, perkenankanlah Pemerintah menyampaikan keterangan atas permohonan pengujian ketentuan dalam UndangUndang Perbankan dan KUHP sebagai berikut. I. Pokok Permohonan. 1. Bahwa Pemohon adalah Pemohon eksekusi pencairan sesuai penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor 07/DEL/2013/PN.JKT.PST juncto 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL tertanggal 3 Maret 2014, di mana PN sudah melakukan sita eksekusi terhadap harta milik termohon eksekusi di Bank DKI. Namun, eksekusi belum berhasil karena digagalkan dan dihalanghalangi oleh Bank DKI yang sejatinya Bank DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2
2. Terhadap kejadian tersebut, Pemohon dalam permohonannya mendalilkan sebagai berikut. a. Bahwa dalam Perkara Nomor 109/PUU-XII/2014 Pemohon menganggap telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 49 ayat (2) huruf b dan Penjelasannya Undang-Undang Perbankan yang tidak jelas maknanya, sehingga tidak memberikan kepastian hukum, jaminan hukum, dan perlindungan hukum yang adil, maka Pemohon berpotensi mengalami kerugian konstitusional disebabkan Bank DKI tidak taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga Pemohon berpotensi tidak dapat menikmati hasil eksekusi tersebut. b. Bahwa terhadap ketentuan pasal a quo agar memberikan makna yang jelas dan memberikan kepastian hukum, jaminan hukum, dan perlindungan hukum yang adil, Pemohon memohon supaya dalam pasal a quo dihapus frasa bagi bank, sehingga pasal tersebut semestinya berbunyi, “Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undangundang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5 miliar dan paling banyak Rp100 miliar.” c. Bahwa dalam Perkara Nomor 110/PUU-XII/2014 Pemohon mendalilkan akibat Pasal 231 KUHP yang tidak jelas maknanya. Maka menimbulkan ketidakpastian hukum, jaminan hukum, dan perlindungan hukum yang adil, sehingga Pemohon berpotensi mengalami kerugian disebabkan tidak dapat dituntutnya Bank DKI secara pidana karena tidak mau memberikan secara sukarela atas perintah hakim barang yang telah disita, sehingga Pemohon berpotensi tidak dapat menikmati hasil eksekusi tersebut. d. Bahwa terhadap ketentuan pasal a quo agar ada kejelasan makna dan memberi kepastian hukum, perlindungan hukum, dan jaminan hukum yang adil, mohon ditambah kalimat atau tidak mau memberikan secara sukarela barang yang disita atas perintah hakim. Sehingga semestinya Pasal 231 ayat (3) KUHP berbunyi, “Penyimpanan barang sitaan yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu (menarik, menyembunyikan, menghancurkan, merusak, atau membikin tak dapat dipakai barang sitaan, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu, atau tidak mau
3
memberikan secara sukarela barang yang disita atas perintah hakim) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.” II. Tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Sehubungan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut. 1. Bahwa terhadap keberatan yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonannya menurut Pemerintah hal tersebut bukanlah kompetensi Mahkamah Konstitusi karena yang diajukan adalah bukan constitutional review melainkan constitutional complain, dimana berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi secara tegas hanya dinyatakan mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap apakah suatu norma undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, bukan terhadap penerapan atau implementasi suatu norma yang dirasa oleh penggugat telah melanggar hak-hak konstitusionalnya. 2. Bahwa terhadap keinginan Pemohon untuk memperluas isi dan makna ketentuan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Perbankan dan Pasal 231 ayat (3) KUHP, menurut Pemerintah adalah lebih merupakan saran kepada pembuat undang-undang, dimana hal tersebut tidak dapat diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi karena hal demikian menjadi lingkup kompetensi legislatif. Yang Mulia Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan dan Ketentuan Pasal 231 ayat (3) KUHP? Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah ada hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji? Sehingga Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dimilik … yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 … 2003 tentang Mahkamah 4
Konstitusi sebagaimana telah di … diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007. III.Keterangan Pemerintah terhadap materi yang dimohonkan oleh Pemohon. Sehubungan dengan dalil Pemohon terhadap ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan dalam Perkara Nomor 109/PUU-XII/2014 yang menyatakan Pasal 49 ayat (2), “Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja. a. Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya, atau pun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank. b. Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undangundang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan paling lama 8 tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp5 miliar dan paling banyak Rp100 miliar.” Dan penjelasan Pasal 49 ayat (2) huruf b yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.” Ketentuan tersebut dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Terhadap anggapan Pemohon tersebut, Pemerintah menerangkan. 1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Apabila dilihat dari segi servis bank, bank adalah institusi yang menerima simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat. Selanjutnya apabila mengacu pada fungsi ekonomis dari bank, maka bank didefinisikan sebagai 5
lembaga yang menerima simpanan, menawarkan reken … rekening dengan hak istimewa, dan membuat pinjaman sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peran yang ditawarkan oleh bank. Salah satu sifat perbankan yang sangat penting ialah perbankan merupakan industri yang sangat bertumpu pada kepercayaan masyarakat yang memiliki uang lebih untuk disimpan. Kepercayaan masyarakat bagi industri perbankan merupakan hal yang sangat penting dan harus dijaga. Oleh karenanya, salah satu unsur yang harus dimiliki oleh perbankan adalah adanya peraturan yang bersifat mengikat dan mempunyai konsekuensi hukum, dalam hal ini sanksi pidana yang tidak menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dan terkait dengan perbankan. UndangUndang Perbankan membedakan sanksi pidana ke dalam dua bentuk, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan kepada ... yang dipercayakan masyarakat kepadanya sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat perlu selalu dihindarkan. 2. Bab 8 Undang-Undang Perbankan yang berjudul Keterangan Pidana dan Sanksi Administrasi merupakan implementasi Konvensi Basel II yang mengatur tentang risiko hukum dalam bidang perbankan. Salah satu pasal dalam Bab 8 yang mengatur tentang pidana, yaitu Pasal 49 ayat (2) huruf b memiliki maksud dan tujuan semata-mata untuk melindungi nasabah dan masyarakat. Konvensi Basel II merupakan ketentuan internasional yang menjadi pedoman umum negara diseluruh dunia terkait dengan perbankan. Konvensi Basel II mengusung konsep 3 pilar, yaitu persyaratan modal minimum, tinjauan pengawasan, serta pengungkapan informasi. Pilar kedua menangani tanggapan yang juga memberikan suatu kerangka kerja untuk menangani semua risiko lain yang mungkin dihadapi bank yang salah satunya adalah risiko hukum. 3. Sanksi pidana dalam pasal a quo merupakan jaminan kepastian hukum dan perlindungan bagi para nasabah perbankan. Selain sanksi pidana pihak-pihak yang melakukan tindak pidana juga dikenakan sanksi tambahan berupa sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 52 Undang-Undang Perbankan. Sanksi administrasi umumnya diterapkan pada pegawai bank dan/atau pada bank yang melanggar ketentuan di bidang perbankan ekstern atau intern bank yang sifatnya teguran, atau pembinaan yang bobotnya ringan yang tidak terkait dengan kerugian bank, misalnya dari hasil pemeriksaan operasional ditemukan kelemahan administratif. 4. Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, melindungi kepentingan stakeholder, dan peningkatan kepatuhan bank terhadap 6
peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengaturan dan pengawasan bank diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia sebagai. a. Lembaga kepercayaan masyarakat dalam kaitannya sebagai lembaga penghimpun dan penyalur dana. b. Pelaksana kebijakan moneter. c. Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan ekonomi serta pemerataan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan secara menyeluruh maupun individual dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dan bermanfaat bagi perekonomian nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan yang dilakukan dengan menerapkan; a. Kebijakan memberi keleluasaan berusaha (deregulasi), b. Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking), dan, c. Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulated banking) dan melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip-prinsip kehati-hatian. Dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan terdapat frasa ketaatan bank maksud kata taat dalam Undang-Undang Perbankan adalah senantiasa mendengarkan atau memperhatikan dengan seksama, patuh, tunduk, dan melakukan seluruh ketentuan yang berlaku di bidang perbankan baik ketentuan eksternal bank, ketentuan internal bank, maupun seluruh ketentuan lainnya yang mengatur tentang perbankan yang beroperasi di Indonesia. Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat exante atau prefentif untuk memastikan bahwa kewajiban ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia atau OJK, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memastikan kepatuhan bank terhadap komitmen yang dibuat oleh bank kepada OJK dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. Bahwa berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang OJK, OJK melaksanakan tugas peraturan, pengaturan, dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan. Selanjutnya Pasal 9 Undang-Undang OJK menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas pengawasan tersebut, OJK mempunyai wewenang melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagai dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.” OJK juga mengatur tentang perlindungan konsumen dan masyarakat dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 Undang7
Undang OJK. Untuk melaksanakan pengaturan tentang perlindungan konsumen tersebut, OJK telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) yang mengatur tentang mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaturan konsumen. Terhadap permohonan Perkara Nomor 110 Undang-Undang … 110/PUU-XII/2014 yang dalam dalilnya Pemohon menganggap ketentuan Pasal 231 ayat (3) KUHP yang menyatakan, “Penyimpanan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.” Dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Terhadap anggapan Pemohon tersebut, Pemerintah menerangkan sebagai berikut. a. Bahwa ketentuan Pasal 231 ayat (3) KUHP yang dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi oleh Pemohon, merupakan turunan unsur delik terhadap ketentuan kejahatan yang diatur dalam Pasal 231 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang menyatakan, Pasal 231 ayat (1), “Barang siapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang, atau yang dititipkan atas perintah hakim, atau dengan mengetahui barang yang ditarik dari situ, menyembunyikannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Ayat (2), “Dengan pidana yang sama diancam barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak atau dengan membuat sehingga tidak dapat dipakai barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang. b. Bahwa dalam ketentuan Pasal 231 ayat (3) KUHP dimaksudkan mengatur tentang ancaman hukuman kepada si penyimpan yang melakukan atau membantu melakukan kejahatan sebagaimana tersebut pada Pasal 231 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. c. Dalam norma Pasal 231 KUHP tidak dibedakan antara penyitaan barang yang bersifat polisionil perkara pidana, penyitaan yang diperintahkan oleh hakim (penyitaan konservatur), maupun penyitaan eksekutorial. Dalam permohonan sebagaimana yang telah diuraikan oleh Pemohon. Pemohon adalah Pemohon eksekusi pencairan sesuai dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/DEL/2013/PN.JKT.PST juncto 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL tertanggal 3 Maret 2014 atas harta milik termohon eksekusi di Bank DKI yang diletakkan sita eksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehingga perihal eksekusi pencairan sebagaimana dimaksud 8
oleh Pemohon merupakan lingkup hukum keperdataan yang memiliki karakteristik hukum acara tersendiri dan pengaturan menurut pengaturan perundang-undangan keperdataan yang terpisah dan tentu saja akan menggirin Pemohon kepada penafsiran yang berbeda apabila memaknai dengan keliru permasalahan keperdataan yang dihadapi oleh Pemohon ke dalam lingkup hukum pidana. d. Berdasarkan uraian dalam pokok permohonan Pemohon. Pemohon sedang menghadapi permasalahan eksekusi sesuai dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 07/DEL/2013/PN.JKT.PST juncto 1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL tanggal 3 Maret 2014 dalam perkara keperdataan. Di dalam hukum acara perdata atau HIR mengenal adanya upaya hukum perlawanan terhadap penetapan eksekusi atau penetapan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR. Oleh karenanya, termohon eksekusi dalam mana tidak melaksanakan eksekusi tersebut, tengah berupaya menggunakan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 195 ayat (6) HIR dimaksud sebagai bagian dari ketentuan hukum yang dikenal dalam acara perdata. e. Bahwa perihal upaya Pemohon membawa permasalahan keperdataan yang dihadapi Pemohon ke dalam lingkup hukum pidana … saya ulangi. E. Bahwa perihal upaya Pemohon membawa permasalahan keperdataan yang dihadapi Pemohon ke dalam lingkup hukum pidana hanya akan menunjukkan pemaksaan terhadap diterapkannya ketentuan KUHP, khususnya Pasal 231 ayat (3) tersebut, sehingga dengan dasar pemahaman yang tidak menyeluruh terhadap ketentuan seleksi hukum yang jelas antara lingkup hukum keperdataan atau pidana tersebut dikhawatirkan Pemohon telah berada dalam suatu bentuk justifikasi atau … atas kriminalisasi hukum. Sehingga, kehendak Pemohon itu sendiri bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni memberikan kepastian hukum, jaminan hukum, dan perlindungan hukum yang adil, yang tidak hanya bagi Pemohon, akan tetapi juga kepada kepentingan Pihak Termohon, dan Pihak Terkait lainnya dalam permasalahan keperdataan yang dihadapi Pemohon uji materi ini. f. Selanjutnya, Pemerintah memiliki keyakinan dan pengharapan akan sikap profesional aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik kepolisian dalam penerapan dan penegakan hukum Pasal 231 ayat (3) KUHP. Sehingga, apa yang dimintakan oleh Pemohon dapat diakomodir secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan acara … ketentuan hukum acara pidana. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Perbankan dan ketentuan Pasal 231 ayat (3) KUHP yang menurut sangkaan Pemohon 9
tidak jelas maknanya, Pemerintah berpendapat Pemohon telah keliru dalam memahami permasalahan keperdataan yang sedang dihadapi oleh Pemohon dan ketentuan pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon sama sekali tidak bertentangan secara konstitusional dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang Mulia Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang keempat, kesimpulan. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian constitutional review. Ketentuan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum. 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). 3. Menerima keterangan presiden secara keseluruhan. 4. Menyatakan ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan ketentuan Pasal 231 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas perhatian Yang Mulia Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diucapkan terima kasih. Jakarta, Desember 2014. Hormat kami, Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Jaksa Agung M. Prasetyo, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih, Pak Wicipto. Saudara Pemohon apakah akan mengajukan saksi atau ahli dalam perkara ini?
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: RINALDI Untuk saksi kami tidak mengajukan, Yang Mulia.
10
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ahli?
10.
KUASA HUKUM PEMOHON: RINALDI Ahli sudah kita konsultasikan kepada Prinsipal pada intinya Prinsipal kami tidak mampu menghadirkan ahli.
11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Jadi menyerahkan langsung kepada Hakim, ya?
12.
KUASA HUKUM PEMOHON: RINALDI Betul, Yang Mulia.
13.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dari Pemerintah?
14.
PEMERINTAH: NASRUDIN Tidak ada, Yang Mulia.
15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tidak ada. Baik. Tapi Saudara bisa mengajukan kesimpulan karena untuk menanggapi ini, ya. Dalam waktu satu minggu Saudara diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan. Pemerintah saya kira … karena ini pendapat pandangannya terakhir terhadap permohon jadi sudah tidak perlu. Ya baik, Saudara Pemohon dapat mengajukan kesimpulan paling lambat pada hari Selasa, Tanggal 9 Desember 2014, langsung diserahkan kepada Kepaniteraan. Tidak perlu lagi melalui sidang, ya?
16.
KUASA HUKUM PEMOHON: RINALDI Baik.
11
17.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dengan demikian sidang ini selesai dan sidang dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.10 WIB Jakarta, 2 Desember 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
12