MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI PRESIDEN (V)
JAKARTA RABU, 19 NOVEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 80/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan [Pasal 27 ayat (1) huruf e] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Moch. Ojat Sudrajat S. ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Presiden (V) Rabu, 19 November 2014, Pukul 11.26 – 11.54 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Muhammad Alim Maria Farida Indrati Patrialis Akbar Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Wahiduddin Adams Aswanto
Rizki Amalia
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Moch. Ojat Sudrajat S. B. Pemerintah: 1. Budijono 2. Hana S.J. Kartika 3. Sugeng Apriyanto C. Ahli dari Pemerintah: 1. W. Riawan Tjandra
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.26 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 80/PUUXII/2014 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, ya tadi. Ya, silakan. Pemohon, hadir ya?
2.
segera! Sudah ditunggu dari
PEMOHON: MOCH. OJAT SUDRAJAT S. Hadir, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Pemerintah atau yang mewakili Presiden?
4.
PEMERINTAH: HANA S.J. KARTIKA Hadir, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Agenda kita pada pagi hari ini adalah mendengar keterangan Ahli dari Pemerintah. Satu Ahli betul? Ya, Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. Sudah hadir ya. Sebelum memberikan keterangan, saya minta maju ke depan untuk diambil sumpah menurut Agama Katolik ya? Silakan. Yang Mulia Prof. Maria, saya persilakan.
6.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, mohon ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.”
1
7.
AHLI BERAGAMA KRISTEN: Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, kembali ke tempat. Rohaniwan, terima kasih. Baik, saya persilakan Saudara Ahli Dr. W. Riawan Tjandra untuk berada di mimbar. Karena keterangannya cukup banyak, bisa disampaikan secara ringkas ya. Saya persilakan, waktunya menyesuaikan sendiri, silakan.
10.
AHLI DARI PEMERINTAH: W. RIAWAN TJANDRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera, dan berkah dalem. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi, berkaitan dengan Permohonan Uji Materi Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Kepabeanan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dimohonkan oleh Moch. Ojat Sudrajat S., selaku warga negara Indonesia berdasarkan Surat Kuasa dari Koperasi Karya Usaha Mandiri, selanjutnya disebut KKUM tanggal 15 tahun 2014 untuk selanjutnya disebut Pemohon. Sesuai dengan registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 80 Tahun 2014 tanggal 25 Tahun 2014. Dengan perbaikan permohonan tertanggal 24 September 2014, selanjutnya perkenankanlah saya sebagai Ahli dari Kementerian Keuangan RI menyampaikan keterangan atas Pengujian Undang-Undang Kepabeanan sebagai berikut. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi. Bahwa pada prinsipnya, Pemohon keberatan atas penerapan frasa putusan pengadilan pajak yang diatur pada Pasal 27 ayat (1) huruf e UndangUndang Kepabeanan yang selengkapnya berbunyi, “Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas,” langsung pada huruf E-nya, “Kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan pengadilan pajak.” Menurut pihak Pemohon, penerapan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik 2
Indonesia Tahun 1945 karena pembatasan atau restriksi berdasarkan frasa akibat putusan pengadilan pajak telah melanggar prinsip keadilan, persamaan dalam hukum yang menurut Pemohon semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh kembali haknya berupa bea masuk yang telah dibayarkan. Yang kedua, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memenuhi prinsip kepastian hukum. Yang ketiga, bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UndangUndang Dasar Tahun 1945, ketentuan tersebut. Yang keempat, dinilai Pemohon diskriminatif karena hanya membatasi melalui peradilan pajak saja. Pemohon dapat atau tidak memperoleh kembali bea masuk yang sudah dibayarkan. Selanjutnya, akan saya sampaikan keterangan Ahli dan akan saya sampaikan dalam format yang singkat. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi. Tugas Pemerintah dalam negara … yang bertipologi negara kesejahteraan, tak terkecuali Pemerintah RI yang dinisbahkan sebagai negara kesejahteraan atau welfare state sesuai konstitusinya adalah mengupayakan terwujudnya kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal itulah yang menjadi prinsip fundamental bagi peran aktif Pemerintah dalam berbagai bidang melalui urusan pemerintahan atau bestuur (suara tidak terdengar jelas) yang dilaksanakannya. Terutama di bidang perekonomian guna mengupayakan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dalam negara kesejahteraan modern atau modern welfare state, peranan pajak, termasuk di bidang kepabeanan menjadi sarana yang semakin penting dan dominan serta diharapkan secara bertahap mampu menggantikan peranan pinjaman luar negeri sebagai sumber pembiayaan negara dalam APBN. Sehubungan dengan arti penting pajak bagi sumber pembiayaan dan kelanjutan pembangunan negara, ada beberapa ahli yang pada intinya menekankan arti pentingnya pajak sebagai kewajiban penduduk atau negara untuk diserahkan kepada negara agar dapat memperoleh protection (perlindungan), sehingga pajak ini dikatakan merupakan konsekuensi dari kebutuhan rakyat untuk memperoleh perlindungan negara. Ada cukup banyak ahli yang menyampaikan mengenai definisi pajak, di antaranya Prof. P. J. A Adriani, Prof. Rochmat Soemitro, kemudian juga Ray, dan Herschel, Brock Horace. Yang intinya, semuanya mengatakan bahwa pajak itu adalah pengalihan sumber kekayaan dari pihak swasta ke sektor pemerintah yang tidak ada jasa timbal yang bersifat langsung. Dan ini merupakan mandat Konstitusi untuk dilaksanakan, sehingga pemerintah dapat melaksanakan tugastugasnya dalam melaksanakan fungsi pemerintahan.
3
Berdasarkan dari pengertian pajak, sebagaimana diuraikan oleh banyak ahli, sebagian sudah saya sebutkan di atas. Intinya, harus dipenuhi beberapa unsur, yang ini sifatnya adalah compulsory payment. Yang pertama, pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian, yang kedua, pungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana atau sumber daya dari sektor swasta atau wajib pajak, pembayar pajak ke sektor negara atau pemungut pajak, atau administrator pajak. Kemudian, pemungut pajak … pungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun bangunan. Kemudian, tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan atau kontra prestasi individual oleh pemerintah terhadap pembayar pajak yang dilakukan oleh para wajib pajak. Kemudian, berfungsi budgeter untuk mengisi kas negara atau anggaran negara yang diperoleh untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan. Pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. Sehubungan dengan tipologi pajak yang telah diuraikan di atas, maka kewajiban pembayaran kepabeanan berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan oleh subjek hukum privat, baik itu orang (natuurlijke persoon) maupun badan hukum perdata (rechtspersoon) memiliki karakter sebagai pajak. Pemungutan bea masuk adalah pemungutan pajak negara terhadap barang-barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean, atau impor, atau kegiatan pemasukan barang-barang yang melintasi batas wilayah negara atau pabean. Maka, saya mengutip tesis Edi Sutarto dari Undip. Ketentuan atau peraturan yang mengatur tentang pemungutan tersebut merupakan ketentuan perpajakan. Kewajiban kepabeanan yang memiliki karakter sebagai suatu pajak, tentunya memerlukan pengaturan dalam suatu norma hukum khusus yang bersifat komprehensif dalam Undang-Undang Kepabeanan. Namun sekaligus, norma hukum di bidang kepabeanan yang diatur di dalamnya harus bersifat koheren dan memiliki sinkronisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan lain, khususnya di bidang perpajakan, termasuk penegakan hukumnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dengan jelas dan ini sudah sinkron dengan aturan di kepabeanan. Bahwa pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk, dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan 4
perundang-undangan yang berlaku. Jadi, ditekankan di sini bea masuk dan bea cukai masuk dalam cluster pajak. Maka, ditinjau dari sudut Undang-Undang Pengadilan Pajak, sehubungan dengan objectum litis yang dijadikan dasar pengajuan permohonan uji materiil oleh Pemohon terkait penerapan Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Kepabeanan tersebut. Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan, kiranya justru menunjukkan bahwa Pasal 27 ayat (1) huruf e UndangUndang Kepabeanan tersebut sudah memiliki sinkronisasi horizontal dan koheren dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Bahkan, di dalam satu buku yang bersifat internasional, yang diterbitkan oleh Luc De Wulf and Jose B. Sokol, Customs Modernization Handbook. Intinya menekankan di situ karena pentingnya peranan … apa namanya … bea dan cukai kepabeanan di dalam berbagai operasi perdagangan dan juga di dalam … apa namanya … pemungutan penerimaan untuk negara, diperlukan adanya suatu kerangka hukum atau legal framework yang bersifat solid. Kemudian, juga ini sejalan dengan pandangan Aber dan Eith Achmad yang mengatakan bahwa suatu produk hukum itu harus bersifat konkuren, sinkron dengan berbagai undang-undang lain di dalam suatu legal sistem, dalam satu sistem hukum. Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi. Konsiderans faktual atau bab menimbang pembentukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, di antaranya menyebutkan beberapa hal. Yang pertama bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjamin perwujudan tata kehidupan negara dan bangsa yang adil, dan sejahtera, aman, tentram, dan tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat. Yang kedua bahwa untuk mencapai tujuan itu, pembangunan harus berkesinambungan, dan berkelanjutan, serta merata di seluruh tanah air, memerlukan dana yang memadai, terutama dari sumber perpajakan. Dengan meningkatnya jumlah wajib pajak dan pemenuhan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Yang keempat bahwa BPSP belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Dan yang kelima bahwa karenanya diperlukan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Mencermati konsiderans faktual pembentukan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tersebut, terlihat bahwa 5
tujuan dibentuknya pengadilan pajak, sebagaimana diuraikan dalam konsiderasi Undang-Undang Pengadilan Pajak tersebut, justru dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip fundamental Konstitusi yang sebagian di antaranya juga dikemukakan sebagai dalil-dalil Pemohon, sebagaimana diuraikan di atas. Sehubungan dengan tipologi pembayaran dalam konteks kewajiban kepabeanan berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan merupakan salah satu unsur pajak, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang 14 Tahun 2002, maka pengaturan mengenai keharusan pengembalian bea masuk yang sudah dibayar, sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang 17 Tahun 2006 yang diikat dengan frasa akibat putusan pengadilan pajak merupakan konsekuensi logis yang tak terhindarkan dari pengaturan mengenai pengembalian bea masuk sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang 17 Tahun 2006. Hal ini dikarenakan penempatan bea masuk dan cukai dalam cakupan pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang 14 Tahun 2002 berimplikasi terhadap rumusan norma sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006. Upaya menghilangkan daya ikat norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 akan berdampak menghilangkan karakter dari kewajiban kepabeanan, termasuk dalam hal pengembalian bea masuk yang sudah dibayar sebagai suatu bentuk pajak dan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum terkait hak serta kewajiban yang timbul di bidang kepabeanan. Dalam Hukum Administrasi Negara dikenal adanya tiga landasan teoretis bagi Hukum Administrasi Negara, yaitu pertama, fungsi pemerintahan (suara terdengar tidak jelas) yang dilengkapi dan kewenangan menjatuhkan sanksi administrasi. Kedua, perlindungan hukum atau recht op bescherming. Dan yang ketiga, partisipasi melalui (suara terdengar tidak jelas). Sehubungan dengan landasan teoretis dalam Hukum Administrasi Negara tersebut, pengaturan mengenai hak dan kewajiban di bidang perpajakan yang merupakan salah satu bidang dari hukum administrasi negara, juga harus didasarkan atas ketiga landasan hukum administrasi negara tersebut. Sehubungan dengan logika keilmuan Hukum Administrasi Negara tersebut, maka guna memenuhi unsur perlindungan hukum recht op bescherming hak (suara terdengar tidak jelas), hal untuk mengajukan keberatan dalam hal dirugikan oleh keputusan administratif pemerintah, mekanisme penyelesaian sengketa pajak antara wajib pajak dan pemungut pajak atau fiskus, diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 yang mengatur bahwa pertama, pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.
6
Kedua, pengadilan pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, pengadilan pajak dalam hal gugutan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau putusan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang 16 Tahun 2000 … Tahun 2000 yang sering disebut dengan KUP. Peraturan perundangan pajak … perpajakan yang berlaku. Berkaitan dengan Pasal … Pengaturan Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 yang menempatkan frasa akibat hukum putusan pengadilan pajak terhadap pengembalian kelebihan pembayaran bea masuk, tentunya harus memenuhi prosedur hukum yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 sebagai norma hukum prosedur (adjective law) yang mengikat untuk dapat dipenuhi oleh norma hukum substantif atau substantive law-nya, yaitu melalui prosedur keberatan dan banding yang diajukan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-Undang Kepabeanan dan UndangUndang Pengadilan Pajak dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Keberatan dan banding dapat diajukan oleh orang yang berkeberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai. Sehingga dalam kasus ini, sebenarnya lebih tepat ini diajukan melalui suatu gugutan di Peradilan TUN atau di peradilan pajak. Keberatan diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui KPU dan KPPBC dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan. Orang yang mengajukan keberatan kepada Dirjen Bea dan Cukai apabila ditolak keberatannya dapat mengajukan banding kepada pengadilan pajak. Apabila banding di pengadilan pajak juga ditolak, maka orang dapat mengajukan meninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung, sepanjang ditemukan adanya bukti baru yang bersifat menentukan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak dan Surat Edaran dari Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali atas Pengadilan Pajak. Dan berdasarkan itu, putusan pengadilan pajak nanti bisa menolak, mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, dan tidak dapat diterima karena tidak tergolong sengketa pajak. Dan ini harus ditentukan melalui pengadilan pajak, apakah masuk dalam klasifikasi sengketa pajak atau tidak. Putusan pengadilan pajak bersifat final dan tetap, artinya dan konsekuensinya Anda langsung dapat dieksekusi, sedangkan pengadilannya merupakan pengadilan pertama dan terakhir, artinya 7
tidak ada kasasi dalam pengadilan pajak. Dan seterusnya akan saya lewati. Saya masuk pada yang butir 19. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasakan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan surat paksa. Eksistensi Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang 17 Tahun 2006 memberikan pengaturan secara khusus bagi wajib pajak untuk hanya bisa memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran bea masuk melalui mekanisme penyelesaian sengketa pajak. Oleh karena itu, kedudukan Pasal 27 ayat (1) huruf e UndangUndang 17 Tahun 2006 tersebut tak mungkin ditiadakan karena relasi antara pemerintah dengan masyarakat pembayar pajak, dalam hal ini bea masuk memiliki karakter sebagai hubungan hukum pajak yang bersifat vertikal. Mengacu pada seluruh uraian di atas, ditinjau dari sudut karakter norma hukum Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang 17 Tahun 2006 tersebut, dapat dikatakan bahwa norma hukum tersebut memiliki karakter sebagai norma hukum pokok (primary norm) yang menjadi salah satu fondasi utama dari pengaturan hak dan kewajiban dalam Undang-Undang Kepabeanan karena terkait dengan karakter bea masuk sebagai salah satu komponen pajak, sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Menghilangkan daya ikat norma hukum Pasal 27 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tersebut, akan menganggu terwujudnya keadilan hukum (legal justice) dan sekaligus ketertiban hukum atau legal order dalam pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang kepabeanan. Yang menjadi salah satu instrumen untuk memperoleh sumber bea negara dalam kerangka negara kesejahteraan atau welfare state. Demikian keterangan Ahli yang dapat saya haturkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi yang mulia ini, demi tegaknya konstitusi dan negara hukum RI. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Selamat siang. 11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Riawan. Kepada Pemerintah, ada hal yang akan didalami atau dimintakan keterangan lebih lanjut dari Ahli atau cukup?
8
12.
PEMERINTAH: HANA S.J. KARTIKA Cukup, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, terima kasih. Dari Pemohon, apakah ada yang akan dipersoalkan? Klarifikasi ya?
14.
PEMOHON: MOCH. OJAT SUDRAJAT S. Ada, Yang Mulia.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, dikumpulkan kalau ada beberapa, langsung sampaikan.
16.
PEMOHON: MOCH. OJAT SUDRAJAT S. Terima kasih, Yang Mulia. Kepada yang terhormat Bapak Riawan. Yang pertama, yang ingin saya tanyakan adalah terhadap permasalahan yang saya ajukan ini mengenai pengembalian bea masuk atas barang impor, yang tidak kami peroleh, Pak, dan dokumen ini pun belum menjadi dokumen kepabeanan. Alasan yang kami terima melalui surat dari KPU Bea Cukai Tanjung Priok Nomor S085/KPU.01/2011 tanggal 20 Juli 2011 mengacu kepada Pasal 27 ayat (1) huruf e karena di sana disebutkan bahwa putusan pengadilan negeri tidak bisa dipersamakan dengan putusan pengadilan pajak, padahal permasalahan kami berawal dari adanya putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sehingga beralihnya kepemilikan dari PT ... ulang, dari KKUM kembali ke PT JLMI. Dan untuk diketahui juga oleh Ahli bahwa atas PPn impor dan PPh impor sudah dikembalikan, tanpa melalui pengadilan pajak. Mereka melalui mekanisme PMK 10 Tahun 2013, dalam arti mereka mengibaratkan impor ini jadi batal atau tidak jadi. Nah, permasalahannya, kalau memang kami dasarnya adalah tidak sesuai dengan format atau apalah sesuai dengan yang disarankan oleh PMK yang mengenai pengambilan bea masuk, saya rasa penolakannya bukan mengacu kepada Pasal 27, akan tetapi surat-surat yang kami terima seluruhnya mengacu kepada Pasal 27. Terutama Pasal 27 ayat (1) huruf e. Kami pahami bahwa pengadilan pajak, misi pengadilan pajak tidak ... tidak bisa dihilangkan karena itu memang lebih ke arah teknis, ke arah nilai pabean, tarif pabean, nomor HS, dan sebagainya.
9
Akan tetapi, bagaimana dengan ... dengan kamilah teman-teman yang ... teman-teman kami juga importir yang mempunyai nasib yang sama? Toh kalau negara sama sekali menurut kami tidak ada yang dirugikan dalam hal ini. Karena yang kami minta dikembalikan bea masuk atas hak kami, toh barangnya pun masih ada di wilayah pabean saat ini. Dan kalau pun ini dilanjutkan, negara masih tetap akan menerima haknya melalui mekanisme lelang, kan, Pak, nantinya. Melalui … proses melalui barang tidak dikuasai sampai dengan barang milik negara sampai prosesnya lelang, toh itu juga menjadi ... kembali menjadi hak negara. Nah, apabila ini terjadi dengan kami, berarti kami harus kehilangan barangnya juga, harus kehilangan uangnya juga, gitu lho. Itu, Pak, pertanyaan kami yang pertama. Silakan, Pak. 17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan Ahli untuk dijawab.
18.
AHLI DARI PEMERINTAH: W. RIAWAN TJANDRA Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan, Saudara Pemohon, Yang Mulia Majelis Hakim, dan Pemerintah. Ya jadi, kalau menurut pendapat saya, memang eksistensi Pasal 27 ayat (1) huruf e ini memang mencerminkan suatu karakter hubungan yang bersifat vertikal, artinya di sini ada kewenangan kepabeanan yang dilaksanakan oleh state yang kemudian ada importir. Nah, mekanisme-mekanisme ini memang ada empat ... ada lima macam di sini, namun memang kalau kita cermati di sini, Pasal 27 ayat (1) huruf e memang bertujuan untuk memberikan keadilan adminsitratif kepada subjek hukum, baik itu natuurlijke persoon maupun rechtspersoon. Nah, oleh karena itu memang kalau ada keberatan-keberatan yang memang ditujukan kepada tindakan hukum administratif yang dilakukan oleh kepabeanan, selalu terbuka upaya hukum yang bisa ditempuh di dalam pasal ... di dalam … apa namanya ... PMK Nomor 146 Tahun 2007 misalnya di situ sudah diatur, bagaimana tata cara pengajuan keberatan kepabeanan. Yang kalau itu nanti misalnya tetap tidak memberikan kepuasan, ada hak untuk mengajukan banding kepada pengadilan pajak. Nah, mekanisme ini memang upaya untuk membangun pemerintahan yang baik, sehingga mekanisme masuk maupun keluarnya uang negara dalam konteks Pasal 27 ayat (1) huruf e ini memang sebenarnya disediakan justru untuk mengatur, baik untuk hak masyarakatnya sendiri maupun juga mengatur fungsi kepabeanan
10
sendiri, sehingga proses dan tata caranya ini menjadi terukur, menjadi jelas, dan dalam konteks itu, ya wilayah ini yang harus disediakan. Nah, oleh karena itu, memang saya juga cukup lama mengamati juga memang ada beberapa kerugian yang sebenarnya ranahnya ranah administratif, ini mestinya diletakkan pada upaya yang ada di wilayah hukum administrasi negara. Namun, cukup banyak yang kemudian yang diuji adalah pasal-pasal dalam undang-undangnya. Nah, ini tentu saja kalau saya cermati, ya ini justru kalau ini terjadi, ini akan mengarah pada suatu generalisasi dari satu kasus individual dan memang sebenarnya justru akan menyebabkan tujuan untuk memperoleh keadilan di bidang administrasi kepabeanan itu tidak tercapai. Maka sebenarnya, langkah-langkah yang perlu ditempuh yang sudah disediakan itu bisa dilakukan. Misalnya kalau tadi ada surat dari Bea Cukai dan surat itu memang mungkin ada kekurangan di dalamnya dan surat itu kemudian menyebabkan hak tidak terpenuhi, ya bisa mengajukan keberatan. Atau bahkan kalau mungkin surat itu dirasakan sampai perlu digugat di PTUN pun, kan bisa diajukan di Peradilan Tata Usaha Negara. Saya rasa ini yang bisa saya sampaikan. 19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, terima kasih. Dari meja Hakim, cukup? Cukup? Cukup. Dari Pemerintah? Cukup, ya.
20.
PEMERINTAH: HANA S.J. KARTIKA Mohon izin, Yang Mulia.
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya?
22.
PEMERINTAH: HANA S.J. KARTIKA Nanti mungkin setelah persidangan ini kami dari Pemerintah akan ... dalam kesimpulan nanti kami akan menyampaikan beberapa bukti yang mendukung keterangan Pemerintah maupun hal-hal yang disampaikan oleh Ahli. Terima kasih, Yang Mulia.
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pemerintah, apakah masih ada ahli yang akan diajukan atau cukup?
11
24.
PEMERINTAH: HANA S.J. KARTIKA Untuk sementara ini cukup.
25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, ya. Jadi seluruh rangkaian persidangan dalam Perkara 80 ini sudah selesai. Dimohon pada para pihak, Pemohon dan Pemerintah untuk bisa menyerahkan kesimpulan, ya. Tadi kesimpulannya, paling lambat hari Rabu, 26 November 2014, ya. Pemohon juga, ya. Kalau enggak menyerahkan, dianggap tidak menyerahkan kesimpulan, ya. Rabu, 26 November 2014, pukul 14.00 WIB. Sudah tidak ada lagi yang akan disampaikan? Cukup, ya? Saya kira ini ... seluruh rangkaiannya sudah selesai, sidang selesai, dan saya tutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.54 WIB Jakarta, 19 November 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
12