KAPABILITAS PEREMPUAN DALAM PENTAS POLITIK (Studi Kasus DPRD Kota Gorontalo 2009/2014) YULAN HASRIANI MAKMUR Jurusan Ilmu Hukum dan Kemasyarakataan Fakultas Ilmu Sosial ABSTRAK Tulisan yang berjudul Kapabilitas Perempuan Dalam Pentas Politik (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Gorontalo Periode 2009/2014 bertujuan untuk mengetahui bagaimana Kapabilitas Perempuan Dalam Ranah Politik serta tantangan dan peluang apasaja yang di hadapi Perempuan ketika mengikuti Politik praktis,dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif melalui analisis Milles Huberman yang merupakan suatu penelitian mendalam pada latar alamiah atau konteks dari suatu keutuhan sebagai sumber data. Berdasarkan deskripsi hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa Kapabilitas Perempuan di DPRD Kota Gorontalo sudah menunjukan hasil yang maksimal, hal ini dapat dilihat dari kinerja yang telah diupayakan oleh para Anggota Legislatif Perempuan terutama dalam fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan di Kota Gorontalo untuk selalu melaksanakan tugas dengan maksimal dan penuh rasa tanggung jawab yang diamanahkan dalam Undang-Undang dan Kendala yang dihadapi (anggota DPRD) Perempuan di Kota Gorontalo ketika mengikuti politik praktis yaitu Kurang memiliki kapabilitas, sehingga belum mampu memainkan perannya dalam berpolitik, Perempuan memiliki Peran Ganda (Pekerjaan domestik dan Pekerjaan publik yaitu pekerjaan profesi yang menghasilkan uang), serta Kurang Memiliki Keahlian meskipun ada beberapa kendala yang dihadapi tapi kaum perempuan tetap berusaha agar kapabilitas di DPRD kaum perempuan di Kota Gorontalo tetap efisien, sehingga tidak ada perbedaan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam menjalankan fungsi DPRD yang diamanahkan dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah. Kata Kunci : Kapabilitas, Perempuan, Politik
Pengantar Demokrasi merupakan kegiatan masyarakat dalam bidang politik. Secara khusus demokrasi dapat pula diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar musyawarah yang melibatkan rakyat sebagai bagian dari Negara. Tatanan pemerintahan secara demokrasi menekankan pada kebebasan individu, setiap warga Negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kesempatan ini pun menjadi peluang bagi Perempuan yang memiliki Kapasitas dan Kapabilitas serta rasa percaya diri untuk bersaing dengan para Laki-laki di pentas politik melalui pesta demokrasi. Sebagai Negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak politik wanita, telah membuat keputusan politik untuk memberikan keterwakilan perempuan dalam pentas politik khususnya di lembaga legislatif. Sejak zaman dahulu posisi Perempuan dalam kehidupan sosial,budaya,bahkan dalam perkembangan demokrasi, selalu menjadi masyarakat kelas kedua hal ini di tandai dengan pemikiran secara nyata memang terdapat perbedaan yang sangat besar antara laki-laki dan Perempuan. Pandangan yang berkembang dewasa ini dalam masyarakat mengenai status dan peran Perempuan masih terbagi kedalam dua kutub yang bersebrangan. Di satu sisi umumnya berpendapat bahwa Perempuan harus di dalam rumah, mengabdi kepada suami dan hanya mempunyai peran domestik. Di sisi lain, berkembang pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai haknya tentang kebebasan. fenomena tersebut terjadi diakibatkan belum dipahaminya konsep relasi jender. Akhir-akhir ini, tema Perempuan sebagai objek kajian telah menarik minat bakat banyak kalangan. Berbagai diskusi, seminar, wordshop dilakukan untuk mengupas tema tersebut. Penyelenggaraan diskusi, seminar, maupun wordshop mengindikasikan tumbuhnya kesadaran untuk memberdayakan kondisi kaum Perempuan. Dalam realitasnya kaum Perempuan memang masih menghadapi beragam praktek diskriminasi serta ristruksi dari masyarakat khususnya dalam persoalan politik. Terbukti hingga saat ini masih terdapat kontroversi di tengahtengah masyarakat mengenai hadirnya Perempuan dalam dunia politik. Pandangan ini muncul karena perbedaan cara pandang di kalangan masyarakat dimana mereka selalu memunculkan sebuah pertanyaan apakah Perempuan memiliki kemampuan untuk ikut andil dalam persolalan kenegaraan, terutama berkenaan dengan jabatan kepala Negara yang memiliki tugas menjaga eksistensi agama, melakukan ijtihad terhadap persoalan yang muncul, memutuskan perkara, memimpin tentara dalam peperangan, serta mengurus keuangan Negara. Dalam catatan sejarah politik di dunia Islam, peran Perempuan sebagai tokoh dan pelaku politik sangat tidak sebanding dengan laki-laki. Bahwa yang menduduki posisi sultan, gubernur, panglima perang dan jabatan-jabatan publik lainnya banyak dipegang oleh laki-laki. Ajaran Islam sebenarnya telah meletakkan prinsip-prinsip dasar yang mampu mengangkat potensi Perempuan di jabatan-jabatan publik. Hanya saja, iklim sosial dan politik tidak selalu mendukung hal itu. Di dalam dunia Islam sendiri banyak sekali pergeseran iklim kehidupan sosial politik. Dalam sebagian besar tulisan sejarah Islam, politik sering dimaknai lebih hanya pada konteks politik praktis, padahal sesungguhnya
ia dapat dimaknai lebih luas. Sejarah Islam memang sarat, dengan cerita jatuh atau tumbangnya sebuah kekuasaan, dari perang ke perang. Maka memang tidak mengherankan bahwa munculnya tokoh dan pelaku politik Perempuan di dalamnya meniscayakan bahwa peran politik memang hanya sebatas itu. Selanjutnya dengan lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang memberikan kuota 30% untuk keterwakilan Perempuan. makin memberikan jaminan peluang bagi peningkatan keterwakilan Perempuan di arena politik, namun disisi lain juga memberikan tantangan bagi Perempuan untuk menyakinkan kepada masyarakat maupun partai politik bahwa mereka layak untuk mengisi peluang dan siap berkompetisi dengan mitranya kaum laki-laki dimana kesiapan Perempuan dalam pentas politik diuji coba dalam pemilu 2009 dan itu bukan satu hal yang mudah Perempuan dan Politik Seiring dengan beragam persoalan yang dialami Perempuan yang hakhaknya sering di rampas dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat, dimana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh Perempuan yang dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan perhatian serius secara politik. Politik memang bukan satu - satunya solusi dalam memperjuangkan hak-hak Perempuan dan masalah - masalah kaum hawa yang mengalami kekerasan fisik berupa penganiayaan dan teror. Tapi juga secara mental atau psikologis yang mengharuskan masalah itu dapat disembuhkan serta memulihkan rasa percaya diri secara normal sebagai seorang manusia. Mereka yang mengalami masalah akan mudah ditolong tatkala politik sebagai salah satu power dipegang individu yang punya komitmen politik yang kuat pada masalah Perempuan. Masalah politik inilah yang harus dipegang oleh orang-orang yang seyogyanya adalah Perempuan itu sendiri. Bagaimanapun urusan-urusan Perempuan secara psikologis dan kultur yang bersifat inheren atau menginternal lebih diketahui oleh Perempuan sendiri. Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah tersedia dalam jatah 30 % harus direbut oleh Perempuan bila masalah-masalah Perempuan yang seabrek ingin diminimalisir melalui kekuatan politik di parlemen mendatang. Krisis ekonomi yang melanda sejak tahun 1997 telah banyak mempengaruhi kehidupan kaum Perempuan dan anak-anak. Akibat krisis itu antara lain adalah tingginya angka kematian ibu dan bayi, memburuknya kondisi kesehatan anak-anak, meningkatnya arus pekerja migran Perempuan (TKW), meningkatnya angka drop-out sekolah dan angka pengangguran. Dampak-dampak buruk itu telah meningkatkan kesadaran tentang perlunya menyusun sebuah agenda politik yang lebih peka jender (gender sensitive). Kehadiran kaum Perempuan dalam dunia politik merupakan prasyarat bagi terwujudnya masyarakat yang memiliki kesetaraan gender. Dua isu penting yang dibahas pada Konferensi PBB tentang Perempuan di Beijing, tahun 1995, adalah perlunya meningkatkan jumlah kaum
Perempuan di dunia politik serta memperkokoh basis kekuatan mereka. Partisipasi aktif pemerintah Indonesia dalam konferensi itu ditindaklanjuti dengan digelarnya berbagai lokakarya, seminar, dan konferensi oleh Perempuan anggota parpol dan parlemen yang disponsori oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita. Semua kegiatan itu dimaksudkan untuk memperkokoh jaringan aktivis Perempuan serta melobi lembaga-lembaga terkait agar memasukkan isu jender dan kuota Perempuan dalam proses-proses legislatif. Meningkatnya partisipasi politik Perempuan baik di tingkat lokal maupun nasional akan berpengaruh pada karakter demokrasi Indonesia bagi seluruh warga Negara. Memperkuat partisipasi politik, dan „bukan semata jumlah‟ berarti menempuh upaya-upaya yang tak hanya terbatas pada meningkatkan jumlah Perempuan di dunia politik, namun juga memperbaiki kinerja dan keberhasilan Perempuan dalam berpolitik, mengkaji dampak yang ditimbulkan partisipasi mereka di dalam sistem politik, memonitor perkembangan agenda politik, dan memantau isu-isu yang muncul seiring dengan keterlibatan mereka di dalam sistem politik. Isu pemberdayaan Perempuan sebenarnya belum mendapat porsi dan kedudukan yang sebanding dengan diskusi mengenai peningkatan jumlah Perempuan di parlemen. Akan tetapi, diskusi-diskusi yang digelar selama konferensi nasional dan lokakarya regional sudah maju selangkah dalam meningkatkan kesadaran ke arah itu. Norma-norma kultural tadi telah amat mengakar di dalam masyarakat, dan bahkan telah merasuki pemikiran sebagian mayoritas Perempuan Indonesia. Kondisi ini membuat mereka secara psikologis tak siap untuk berpartisipasi dalam politik. Banyak Perempuan yang terjangkit rasa rendah diri dan merasa tak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk menangani isu-isu politis. Keadaan ini membuat banyak Perempuan menunjukkan sikap atau pendekatan pasif terhadap politik, bahkan banyak diantaranya memandang politik secara negatif. Pandangan ini membuat mereka tak mampu mengembangkan dan mengidentifikasi berbagai strategi untuk kepentingan mereka sendiri. Selain itu, kegiatan kampanye politik dianggap sebagian besar orang sebagai aktivitas yang tak pantas dilakukan Perempuan. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang berkaitan dengan cara-cara memperkuat partisipasi politik Perempuan Indonesia, „di luar jumlah semata‟. Pertama, fokuskan perhatian pada parpol, untuk membuat mereka lebih „peka jender‟ agar dapat meningkatkan jumlah kandidat Perempuan di daftar partai, serta memberi mereka peluang yang sama untuk berpartisipasi pada prosesproses pengambilan keputusan. Secara konkrit ini menuntut perubahan pada penyusunan jadwal rapat partai, supaya dapat mengakomodasi peran ganda Perempuan di dalam rumah tangga dan kehidupan publik, serta memberi bantuan dana kampanye serta meningkatkan kualitas kepemimpinan mereka. Kedua, perlu dilakukan penggalangan suatu „massa kritis‟ (critical mass) yang terdiri dari organisasi-organisasi masyarakat madani yang mempunyai komitmen meningkatkan status perempuan, dan membantu
mereka menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dengan tokoh-tokoh Perempuan dari dunia politik. Ini antara lain dapat ditempuh dengan meningkatkan kegiatan kerjasama antar kelompok, memperkuat jaringan antar organisasi masyarakat madani dengan politisi Perempuan, dan membantu langkah-langkah mereka untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan lewat parlemen dan parpol-parpol, di samping menempuh tindakan affirmative action untuk memperlancar pemberdayaan politik kaum Perempuan, memperkokoh jalinan kerjasama antar berbagai organisasi dengan berbagai komponen masyarakat madani, dan membantu mereka dalam menyelenggarakan pelatihan yang ditujukan bagi para pemilih dan kandidat Perempuan. Ketiga, sangat disarankan untuk memanfaatkan lembaga-lembaga kultural dan keagamaan seperti organisasi keagamaan Fatayat, Aliyah, dan sebagainya, untuk mensosialisasikan keberadaan dan kiprah politisi Perempuan kepada masyarakat luas. Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada masyarakat pedesaan, untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian mereka akan pentingnya peranan Perempuan dalam kehidupan politik. Interaksi dinamis difokuskan pada tiga tema besar, yakni: upaya meningkatkan partisipasi politik Perempuan melalui reformasi konstitusi dan pemilu; mencari cara-cara meningkatkan partisipasi politik Perempuan dan bukan sekadar jumlah mereka di parlemen, dan menggalang kerjasama antara masyarakat madani dengan lembaga-lembaga politik. Ketiga tema di atas di bahas di dalam kerangka konteks Indonesia: kendala-kendala yang dihadapi kaum Perempuan, strategi-strategi yang berhasil diidentifikasi untuk merombak kondisi itu, serta pengembangan rencana aksi untuk mendukung representasi dan partisipasi Perempuan di negeri ini. 2. Sejarah Perempuan Dalam Kancah Politik Berbagai diskusi yang digelar dalam Konferensi Nasional Pemberdayaan Perempuan yang disponsori oleh IDEA-CETRO dan digelar di Jakarta, 24 September 2002, dan pada rangkaian lokakarya tingkat propinsi yang membahas perlunya meningkatkan jumlah kaum perempuan dalam politik, dimaksudkan sebagai upaya awal untuk mengidentifikasi berbagai persoalan dan kendala terhadap partisipasi politik kaum Perempuan. Para peserta diskusi telah berhasil mengidentifikasi beberapa faktor yang menghambat peranserta kaum Perempuan, sekaligus mengusulkan beberapa strategi untuk mengurangi persoalan-persoalan itu, dan sebisa mungkin menghilangkannya. Faktor-faktor itu dapat dikategorikan ke dalam bidang politik, sosial-ekonomi, ideologi dan psikologi. Hasil pemilu Tahun 2004 baru mampu mengakomodasi kursi Perempuan sebanyak 10, 7 % atau hanya 28 orang dari 550 anggota parlemen yang menjadi wakil rakyat untuk periode 2004-2009. Angka ini jelas belum bisa mewakili power Perempuan agar dapat bergerak lebih leluasa sehingga mampu memperjuangkan aspirasi kaum Perempuaan secara keseluruhan. Partai politik belum sepenuhnya athome dengan kewajiban 30 % mencalonkan
Perempuan sebagai caleg (calon anggota legislatif) nomor jadi. Yang ada Perempuan justru dipasang sebagai simbol akomodatif, dengan nomor–nomor sepatu yang susah meloloskan Perempuan menuju kursi parlemen. Model yang dipakai partai pada Perempuan hanya simbolik atau lips service sebagai strategi dari partai yang ujung–ujungnya menarik konstituen memilih partai yang ada ansich. Tidak tahu apa alasan Perempuan di partai cuma dipajang, kesan bahwa Perempuan tidak memiliki syarat standar dan cenderung lemah dan terbatas adalah argumentasi yang bersifat apologi atau mencari–cari kelemahan Perempuan saja. Sikap ambivalensi partai yang cenderung mendua dalam melihat Perempuan adalah gambaran dari sikap masyarakat kita yang belum sepenuhnya melihat Perempuan sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat. Laki–laki dalam kurun waktu yang cukup lama dipandang sebagai subyek yang mengatur atau yang paling berhak dalam ranah publik. Laki-laki kemudian hampir keseluruhan bidang menguasai peran–peran penting, sementara pada saat yang sama Perempuan terus diperankan sebagai pelayan yang membantu kerja laki-laki. Adapun peran domestik Perempuan hanya berurusan dengan “kasur dan dapur” jelas adalah pemasungan paradigma yang mengkhianati hak-hak azasi manusia sebagai ciptaan Tuhan, yang diciptakan dengan potensi yang sama. Perempuan jelas memiliki kemampuan yang sama karena itu semangat penghapusan dikotomi gender dalam pemerintahan KH. Abdurahman Wahid melalui Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah sebuah good will politik yang menghapus perbedaan gender dalam pembangunan nasional adalah langkah maju yang positif. Peran politik kaum Perempuan masih sangat kurang. Kendala utama disebabkan oleh laki-laki dan Perempuan dalam memandang dan memperlakukan Perempuan. Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan. Bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki sangat kuat. Terlebih di pedesaan. Label dan cap yang diberikan pada sosok Perempuan sangat kental sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun temurun. Paradigma lama bahwa Perempuan sebagai kaum yang lemah dan terbatas serta hanya berfungsi sebagai pelengkap kaum adam, masih cukup dominan menghinggapi cara berpikir mayoritas masyarakat kita. Di Era Globalisasi ini, seharusnya kaum Perempuan bukan lagi diposisikan sebagai warga negara kelas dua, dibawah bayang-bayang kekuasaan kaum laki-laki, tetapi harus diposisikan dan dijadikan sebagai mitra yang mempunyai harkat, martabat serta derajat yang sama. Politik yang santun dan dewasa dalam masyarakat kita memang masih sulit diperankan oleh siapa pun. Dewasa ini justru yang menonjol adalah politik yang menghalalkan segala cara demi mencapai kepentingan dan target yang sifatnya oportunistik dan finansial semata. Itu sebabnya politisasi atas nama agama, tradisi dan etnisitas yang mengemukakan dan sering menjadi
biang konflik horizontal tak lebih dari kreasi yang namanya politik atas nama kepentingan serta tujuan tertentu dalam melanggengkan status quo itu sendiri. Politik yang penuh persaingan inilah yang harus dihadapi bila Perempuan mau terjun memilih politik sebagai pilihan pengabdian dalam membantu merubah wajah politik Indonesia yang coreng moreng khususnya orang-orang yang ingin menjadi katalisator-katalisator perubahan bagi Perempuan lain yang masih banyak tertinggal serta banyak pula sebagai korban-korban kekerasan yang belum tersentuh oleh kebijakan Negara sampai sekarang ini. Beberapa jenis hambatan yang masih dialami oleh sebagian besar Perempuan di Indonesia: 1. Hambatan Kultural Mayoritas masyarakat kita, masih didominasi oleh cara pandang dan sikap yang cenderung melihat serta memperlakukan kaum Perempuan sebagai pelengkap kaum laki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarang pada akhirnya melihat dan menempatkan kaum Perempuan sebagai pelengkap laki-laki bahkan dalam tingkat tertentu hanya dilihat sebagai objek semata. Secara cultural dimana sudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebih superior) menjadi acuan utama dalam melihat dan menempatkan Perempuan, telah menyebabkan peranan Perempuan selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang bersifat pelengkap kaum laki-laki, bukan sebagai mitra yang mempunyai kedudukan sejajar sehingga berhak mendapatkan peluang yang sama diberbagai bidang sendi kehidupan. Hambatan kultural merupakan hambatan yang cukup fundamental karena kultur/budaya akan membentuk persepsi dan persepsi pada akhirnya akan bermuara pada pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk meluruskan cara pandang budaya yang kurang tepat dalam memahami dan memandang kaum Perempuan sehingga kaum perempuan dapat memainkan peran dan fungsinya lebih maksimal lagi. 2.Hambatan Sosial Struktur sosial masyarakat kita yang cenderung menempatkan Perempuan sebagai “warga negara no 2 di bawah kaum laki-laki”, telah memberi dampak tersendiri bagi keberadaan Perempuan di tengah-tengah masyarakat kita, termasuk dalam konteks hubungan suami-istri di lingkungan rumah tangga. Perempuan masih sering diposisikan sebagai pihak yang harus bersikap “menerima” tanpa perlawanan (reserve) sehingga pada akhirnya kaum Perempuan lebih dilihat sebagai objek dari pada sebagai subjek yang menjadi mitra kaum laki-laki. Kekerasaan rumah tangga yang sering menempatkan Perempuan pada posisi yang lemah, adalah sebuah contoh nyata dimana kaum Perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan dari kaum laki-laki. Lahirnya UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) membuktikan bahwa sering sekali terjadi kekerasan terhadap Perempuan yang disebabkan karena cara pandang kaum pria terhadap Perempuan. Begitu pula dalam kasus hubungan suami-istri, kaum
Perempuan cenderung diperlakukan tidak sejajar dan dalam posisi bargaining yang lemah sehingga dominasi dan ego kaum lakilaki seolah-olah mendapatkan tempat yang lebih baik. Padahal dalam konteks, penularan HIV/AIDS misalnya, kaum Perempuan mempunyai resiko 2,5 kali lebih besar dari kaum laki-laki. 3.Hambatan Ekonomi Dalam masalah karir, wanita juga masih mengalami diskriminasi diberbagai hal sehingga kaum Perempuan tidak jarang diberlakukan kurang adil dan tidak proporsional. Dalam kasus PHK misalnya, kaum Perempuan akan menjadi pihak yang mempunyai resiko lebih besar di bandingkan kaum laki-laki. Begitu pula dalam penetapan standar gaji, tidak jarang kaum Perempuan tidak mendapatkan haknya secara proporsional. 4.Hambatan Politik Hambatan politik merupakan salah satu hambatan yang cukup besar yang dihadapi kaum Perempuan di Indonesia. Hal ini tidak hanya tercermin dalam produk perundang-undangan maupun peraturan yang cenderung bersifat “maskulin”, dimana segala sesuatu pokok masalah lebih dilihat dari kacamata kepentingan kaum laki-laki, tetapi menyangkut pula masih terbatasnya ruang yang tersedia bagi kaum Perempuan untuk berkiprah dalam posisi jabatanjabatan publik. Walaupun akhir-akhir ini sudah mulai terlihat adanya keberpihakan dan pengakuan akan perlunya peranan kaum Perempuan dalam politik, namun kebijakan-kebijakan tersebut masih diberlakukan “setengah hati” dan belum maksimal. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila jumlah Perempuan yang terjun dalam dunia politik yang selalu di identikan dengan dunia laki-laki ini, masih sangat terbatas. Begitu pula jumlah Perempuan yang dapat mencapai posisi puncak dalam jenjang birokrasi di pemerintahan, masih jauh dari harapan apabila melihat komposisi jenis kelamin warga negara Indonesia tidak kurang dari 51%nya adalah kaum Perempuan. Kurangnya peranserta Perempuan dalam politik, terutama di lembagalembaga politik, secara tak langsung berhubungan dengan faktor-faktor ideologis dan psikologis yang fundamental. Para peserta lokakarya menggaris bawahi pentingnya pengaruh faktor-faktor ini. Bahkan kaum Perempuan yang aktif bergerak di lembaga politik pun enggan memegang peran sebagai pimpinan, karena mereka memandang parpol sebagai arena yang dikuasai lelaki. Sidang-sidang partai yang sarat konflik dan sesekali diwarnai kekerasan fisik, serta pergulatan tanpa henti untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan merupakan beberapa hal yang menciutkan nyali mereka. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari politik kotor seperti itu. 3. Peran Politik Perempuan Pandangan tentang peran politik perempuan yang selalu didahului dengan kritik terhadap term-term ‟Barat‟ seperti gender, feminisme, dan lain sebagainya. Gagasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) adalah sebuah konspirasi kelanjutan dari upaya menghapuskan peradaban Islam dan
mencegah kebangkitannya kembali melalui penghancuran keluarga-keluarga muslim. Untuk mempertahankan hegemoninya, Barat, yang masih menaruh dendam terhadap Islam, memanfaatkan berbagai isu seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan KKG sendiri. Dibalik opini KKG sesungguhnya tersimpan bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan masyarakat muslim. Konspirasi keji di balik program pemberdayaan Perempuan versi KKG ini bertujuan untuk menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menghapuskan peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi muslim yang berkualitas. Feminisme telah membawa banyak perubahan di belahan bumi mana pun. Banyaknya kaum Perempuan yang telah berhasil mengekspresikan diri, bekerja di bidang apa pun yang diinginkannya, tanpa harus takut dengan berbagai hal tabu yang selama ini dianggap mengekang. Bahkan hal ini dianggap sebagai awal persoalan karena selain membawa dampak positif, feminisme juga membawa dampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Kebebasan yang ditawarkan feminisme, berakibat pada runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, merebaknya free-sex, meningkatnya kasus aborsi, dilema Perempuan karir, sindrom cinderella complex, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain. Walhasil yang terbentuk bukan masyarakat yang kokoh, tetapi sebuah masyakat yang penuh dengan konflik yang tidak memberikan ketenangan dan kepastian, karena berbagai penyimpangan banyak terjadi di dalamnya. Hizbut Tahrir Indonesia memberikan terhadap feminisme antara lain: pertama, ketidak adilan gender yang dikatakan telah melembaga secara universal dalam struktur masyarakat patriarkhis sesungguhnya terbantah oleh realitas bahwa berbagai fakta yang disebut-sebut sebagai persoalan Perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum muslim, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, malnutrisi dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapai masyarakat secara keseluruhan sebagai implikasi dari penerapan sistem kapitalisme yang lemah dan rusak, dengan sistem politiknya yang bobrok, sistem sosialnya yang rapuh, dan sebagainya. Kedua, ide kesetaraan gender yang diusung feminisme merupakan gagasan yang absurd, ambivalen dan utopis. Sebab, sebagaimana sudah dijelaskan, kaum feminis meyakini bahwa sifat keperempuanan yang dianggap lebih banyak merugikan perempuan bukan merupakan bentukan yang alami (nature/kodrati) melainkan dibentuk oleh kebudayaan (nurture). Untuk itu mereka menuntut adanya perubahan konstruksi sosial budaya baik secara kultural maupun struktural. Dengan begitu diharapkan pembagian peran yang berspektif gender tidak ada lagi. Dalam hal ini mereka yakin bahwa ketika suatu saat masyarakat bisa memandang Perempuan sebagai manusia, bukan atas dasar gender, pembagian peran domestik vis a vis publik pun akan cair dengan sendirinya. Artinya semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang
apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat dan sebagainya. Kapabilitas Perempuan Di DPRD Kota Gorontalo Kapabilitas adalah kapasitas individu untuk menggunakan sumber daya yang dimilikinya yang diintegrasikan dengan tujuan untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Adapula pendapat lain menurut Akhmat Sudrajat adalah menghubungkan kemampuan dengan kata kecakapan. Setiap individu memiliki kecakapanyang berbeda-beda dalam melakukan suatu tindakan. Kecakapan ini mempengaruhi potensi yang ada dalam diri individu tersebut. Kapabilitas individu untuk menciptakan dan mengeksploitasi peluangpeluang eksternal dan mengebangkan keunggulan yang ada ketika digunakan dengan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya. Pengetahuan merupakan salah satu faktor penting karena akan meningkatkan kapabilitas anggota DPRD. Apabila tingkat pendidikan dan pengetahuan anggota DPRD rendah, maka kapabilitasnya juga rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan untuk menjalankan fungsi dan peranannya dalam pengawasan keuangan daerah (APBD). Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dapat disimpulkan bahwa fungsi DPRD secara umum ada tiga, yaitu: a. Legislasi Peran yang dilakukan oleh anggota DPRD adalah merumuskan kebijakan publik. Melalui kebijakan tersebut, DPRD telah melakukan salah satu fungsi negara, yaitu mewujudkan distributive justice. Melalui kewenangan tersebut DPRD mengartikulasikan dan merumuskan berbagai kepentingan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dari peraturan atau undang-undang yang dibuat. Dalam melaksanakan fungsi legislasi, anggota DPRD diharuskan memiliki pemahaman yang memadai sebagai konsekuensi dari supremacy of law, ada keyakinan yang kuat bahwa hukum yang dihasilkan merupakan suatu instrumen yang memberikan kepastian mengenai arah pembangunan nasional. Sebagai patner pemerintah daerah dan DPRD mempunyai kewenangan dalam pembuatan kebijakan daerah yang bertujuan untuk mengatur tata cara pelaksanaan tugas eksekutif dalam menjalankan pemerintahan. Peranan DPRD sangat besar dalam pengesahan sebuah rancangan kebijakan daerah yang diajukan oleh Pemerintah Daerah. Rancangan kebijakan tersebut dapat menjadi kebijakan daerah apabila DPRD sudah menyetujuinya. Begitu juga halnya dengan Peraturan Pemerintah Daerah yang membutuhkan persetujuan DPRD sebelum dapat diimplementasikan. b. Anggaran Anggaran merupakan suatu pernyataan formal yang dibuat oleh manajemen berupa rencana-rencana yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam suatu periode tertentu, dimana rencana tersebut merupakan suatu pedoman dalam pelaksanaan kegiatan selama periode tersebut. Banyak pihak yang terlibat dalam penyusunan anggaran, baik manajer tingkat atas maupun manajer tingkat bawah dan ini akan berdampak langsung terhadap perilaku manusia, terutama bagi orang yang langsung mempunyai hubungan dengan penyusunan anggaran.
Penetapan APBD tidak hanya menyangkut masalah teknis, namun berhubungan juga dengan aspek kebijakan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah dan DPRD, bahkan partai politik berkepentingan untuk memperjuangkan aspirasi kebijakan ekonominya dalam APBD. Untuk dapat meningkatkan kapabilitasnya di dalam pengawasan keuangan daerah/APBD, anggota DPRD harus aktif mengikuti kegiatan-kegiatan pengawasan keuangan daerah. Selain itu agar kegiatan pengawasan tersebut dapat berjalan dengan efektif anggota DPRD harus meningkatkan kualitasnya secara individu baik dari segi personal, pengalaman politik serta pemahaman dan pengetahuan mengenai anggaran secara keseluruhan sesuai dengan perkembangan termasuk penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Banyaknya wajah-wajah baru yang terpilih sebagai anggota DPRD periode 20092014, memerlukan waktu yang relatif lebih banyak untuk mendalami dan memahami tugas serta wewenangnya dalam menjalani peran sebagai wakil rakyat di daerah terutama dalam melaksanakan fungsi pengawasan pelaksanaan APBD. Peran parlemen dalam penetapan APBD sangatlah penting, hal ini didasarkan pada beberapa alasan, Perlunya mekanisme “checks and balances” dalam hubungan kerja dan kewenangan antara Pemerintah Daerah dan DPRD (Parlemen) untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih dan aspek keterbukaan atau transparansi. Biasanya mekanisme perumusan kebijakan Pemerintah daerah lebih tertutup dibandingkan dengan mekanisme yang berlangsung di anggota DPRD. Oleh karena itu, kapabilitas anggota DPRD Kota Gorontalo Kaum Perempuan dalam penetapan APBD ditujukan untuk menciptakan keterbukaan dan transparansi dalam perumusan kebijakan penting bagi publik. Secara tidak langsung hal tersebut membuka peluang partisipasi publik atau masyarakat dalam mengkritisi progam serta kebijakan yang tertuang dalam APBD. c. Pengawasan Pengawasan dimaknai sebagai suatu alat untuk mengadakan evaluasi apakah pekerjaan yang dilakukan telah sesuai dengan rencana yang ditetapkan sebelumnya. Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta untuk memastikan bahwa tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menjamin pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan serta memastikan tujuan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Fungsi pengawasan ini mengandung makna penting, baik bagi pemerintah daerah maupun pelaksana pengawasan. Bagi pemerintah daerah, fungsi pengawasan merupakan suatu mekanisme peringatan dini (early warning system), untuk mengawal pelaksanaan aktivitas mencapai tujuan dan sasaran. Sedangkan bagi pelaksana pengawasan, fungsi pengawasan ini merupakan tugas mulia untuk memberikan telaahan dan saran, berupa tindakan perbaikan lingkungan hidup, pekerjaan umum dan perhubungan. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa Pengawasan tersebut bukan berarti pemeriksaan, tapi lebih mengarah pada pengawasan untuk
menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam perturan daerah dan dalam APBD. Hal ini untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD. Ini berarti bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DPRD merupakan pengawasan eksternal dan ditekankan pada pencapaian sasaran APBD, Membuat peringatan, pertanyaan, usulan perbaikan atas kebijakan pemerintah daerah lewat sambutan pandangan umum atau pandangan akhir dari fraksi- fraksi DPRD atau peringatan langsung ketika mengadakan kunjungan kerja atas pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dan kegiatan pelayanan publik. Keberadaan anggota legislatif Perempuan di DPRD Kota Gorontalo memang masih sangat kurang namun hal ini bukan menjadi suatu alasan bagi Perempuan untuk mengikuti politik praktis bahkan di antaranya mereka telah membuktikan bahwa mempunyai kapabilitas menjadi seorang anggota legislatif. Seperti yang berlangsung di DPRD Kota Gorontalo dapat dilihat mengenai kapabilitas perempuan telah menunjukan hasil yang maksimal meskipun keberadaan dan keterlibatan Perempuan menjadi wakil rakyat masih sangat kurang namun dengan berbagai upaya serta tugas dan jabatan sebagai seorang Anggota Legislatif sangat menununtut adanya tanggung jawab penuh yang harus di jalankan. Selain itu juga kurang terpilihnya perempuan dalam mengikuti politik praktis karna kurang memiliki rasa percaya diri serta kemampun dan keahlian sehingga mereka para kaum perempuan itu sendiri kurang terwakili bahkan di antaranya ada yang hanya menggunakan popularitas suami seperti dia istri pejabat. Kendala Yang Dihadapi Anggota DPRD Perempuan Ketika Mengikuti Politik Praktis. Kita ketahui bahwa perempuan identik dengan pekerjaan rumah tangga oleh sebab itu kehadiran perempuan di dunia politik merupakan salah satu hal yang baru bagi perempuan di Indonesia saat ini, khususnya di Kota Gorontalo meskipun sudah separuh perputaran dunia, namun sampai saat ini perjuangan perempuan untuk menunjukan sikapnya dalam dunia perpolitikan sudah mulai nampak. Adapun kendala yang dihadapi Anggota DPRD Perempuan ketika mengikuti politik praktis, antara lain: 1.Kurang memiliki Kapabilitas dalam memainkan peran politik Jenis kelamin merupakan perbedaan seks yang berarti pembedaan antara laki-laki dan perempuan atas dasar ciri-ciri biologis. Anggota dewan terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jumlah anggota dewan yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan. Anggota dewan dipilih dari partaipartai politik pemenang pemilu. Keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif diatur dalam Pasal 52 Ayat (3) dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyebutkan. Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan anggota perempuan sekurangkurangnya 30%. Undang- Undang ini juga akan meminimasi kemungkinan praktek diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam menentukan kapabilitas seseorang untuk menjadi kandidat dalam pemilu.
2. Perempuan memiliki Peran Ganda a. Pekerjaan domestik Perempuan dalam ruang lingkup sosial kemasyarakatan selama ini faktanya memang lebih banyak mengambil peran domestic dari pada peran public.Tapi bukan berarti perempuan tidak memiliki kapabilitas yang dapat mejalankan kedua peran tersebut dengan gemilang. Demikian juga sebaliknya,kaum Laki-Laki yang selama ini lebih banyak mengambil peran publik bukan tidak mungkin juga tidak mampu mengambil peran domestik dengan sangat baik. Dalam menjalankan tugasnya anggota DPRD diharuskan mengikuti aturan kerja yang telah ditetapkan sesuai bidang masing-masing, di sinilah latar belakang politik terkadang menyebabkan perbedaan sudut pandang bahkan terjadinya perselisihan. Seorang anggota dewan harus mempunyai latar belakang politik yang baik dalam menjalankan tugasnya sebagai angota dewan. Menurut La Palombara (1974) dalam (Winarna dan Murni, 2007) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi sikap, perilaku, dan peran legislatif yaitu institusi politik, partai politik, karakteristik personal, pengalaman politik dan sifat pemilih. b.Pekerjaan publik yaitu pekerjaan profesi yang menghasilkan uang. Pekerjaan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh setiap orang dalam memenuhi kebutuhan. Wanita dalam kehidupannya mempunyai beban tugas yang lebih berat dibandingkan dengan laki-laki. Peran ganda dari seorang wanita masa kini, selain memiliki tanggung jawab di dalam rumah sebagai ibu juga di luar rumah sebagai wanita karier. Peran wanita ini secara sederhana dikemukakan bahwa: a. Sebagai warga negara dalam hubungannya dengan hak-hak dalam bidang sipil dan politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat disebut fungsi ekstern; b. Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga; yang dapat disebut fungsi intern. 3. Kurang Memiliki Keahlian Adanya personal background yang berbeda diantara para anggota dewan sedikit banyaknya memberikan pengaruh dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Anggota DPRD periode ini yaitu yang dipilih dan diangkat dari partai partai pemenang pemilu mempunyai personal background dan pekerjaan yang berbeda sebelum menjadi anggota DPRD. Agar mampu menjalankan tugasnya dengan baik, DPRD seharusnya tidak hanya mempunyai kemampuan di bidang politik, tetapi juga pengetahuan yang cukup mengenai mekanisme kerja DPRD, kebijakan publik, konsep dan teknik pemerintahan, teknik pengawasan, dan sebagainya. Dalam lingkup pengawasan terhadap anggaran maka pengetahuan yang spesifik tentang anggaran akan mempengaruhi kinerja bagi pihak yang melakukan pengawasan, yaitu tingkat efektivitas pengawasan dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya tersebut. Semakin luas pengetahuan anggota dewan tentang anggaran maka semakin besar kapabilitas anggota dewan tersebut dalam melakukan pengawasan keuangan daerah. Dimana pengetahuan akan memberikan kontribusi lebih ketika didukung dengan pendidikan dan pengalaman yang cukup untuk menjalankan tugas dan
tanggung jawab masing-masing anggota dewan (Indriani dan Baswir, 2003). Personal background berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia merupakan pilar penyangga utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam usaha mewujudkan elemen organisasi yang sangat penting, karenanya harus dipastikan sumber daya manusia ini harus dikelola sebaik mungkin dan akan mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya pencapaian tujuan organisasi Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat di tarik beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut: 1. Kapabilitas Perempuan di DPRD Kota Gorontalo sudah menunjukan hasil yang baik, hal ini dapat dilihat dari kinerja yang telah diupayakan oleh para Anggota Legislatif Perempuan terutama fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan di Kota Gorontalo untuk selalu melaksanakan tugas dengan maksimal dan penuh rasa tanggung jawab yang diamanahkan dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang partai politik dan Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum (Pemilu) yang menyertakan tentang keterwakilan Perempuan di lembaga legislative dengan kuota 30%. 2. Kendala yang dihadapi (anggota DPRD) Perempuan di Kota Gorontalo ketika mengikuti politik praktis yaitu Kurang memiliki kapabilitas, sehingga belum mampu memainkan perannya dalam berpolitik, Perempuan memiliki Peran Ganda (Pekerjaan domestik dan Pekerjaan publik yaitu pekerjaan profesi yang menghasilkan uang), serta Kurang Memiliki Keahlian meskipun ada beberapa kendala yang dihadapi tapi kaum perempuan tetap berusaha agar kapabilitas di DPRD kaum perempuan di Kota Gorontalo tetap efisien, sehingga tidak ada perbedaan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam menjalankan fungsi DPRD yang diamanahkan dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang sistem pemerintahan daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anugrah Astrid, SH, Keterwakilan Perempuan Dalam Pentas Politik, Jakarta Pancuran Alam, 2009 Fathimah, Ummu, “Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG): Gagasan yang haru Diwaspadai”, dalam Al-Wa‟ie, Media Politik Dakwah, No.75 Tahun VII, 1- 30 November 2006. Indriani dan Baswir, 2003. Kepemimpinan Perempuan : Pemikiran seorang muslimat. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Kartiwa, A., 2006). Fungsi Pengawasan DPRD (Tinjauan kritis Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa) Penerbit Universitas Atmajaya Yogyakarta,Yogyakarta (Laksono, 2009). meningkatkan fungsi legislasi DPRD. Jakarta: Adeksi Manullang (1999:26) Pengawasan, Pengendalian, dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Andi, Jogjakarta. Najlah, Naqiyah, Otonomi Perempuan, Malang: Bayumedia Publishing, 2005. Nurfaizah dan Najmah, „Membangun Keluarga Ideologis” dalam Al-Wa‟ie, Media Politik Dakwah, No. 64 Tahun V, 1-28 Februari 2005. NZ, Nurrahmi, Perempuan dan Politik, Medan; Universitas Sumatera Utara, 2009. Prasetyo, Murniati A. Nunuk, Getar Gender ; Perempuan dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi dan HAM, Magelang: Indonesiatera, 2004. Robinson, 2006. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta: Dea Press Seda, Francisia, Laporan Konferensi: Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, Jakarta: Ameepro, 2003. Sihite, Romany, Perempuan Kesetaraan, dan Keadilan, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007. Ulfiah, Ulfi, Perempuan di Panggung Politik, Jakarta: Rahima, 2007. Zohra, Andi Baso Perempuan Bergerak Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-hak Perempuan, Yogyakarta: YLKI Sulawesi Selatan, 2000. Sumber data DPRD Kota Gorontalo.