MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL SERTA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, SERTA AHLI/SAKSI PEMOHON DAN PEMERINTAH (IV)
JAKARTA SELASA, 6 MEI 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 16/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial [Pasal 28 ayat (3) huruf c, ayat (6), dan Pasal 37 ayat (1)]; serta Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Edy Suandi Hamid 2. Sri Hastuti Puspitasari ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, serta Ahli/Saksi Pemohon dan Pemerintah (IV) Selasa, 6 Mei 2014, Pukul 11.20 – 12.03 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Patrialis Akbar Anwar Usman Ahmad Fadlil Sumadi Muhammad Alim Maria Farida Indrati Aswanto Wahiduddin Adams
Wiwik Budi Wasito
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Panitera Pengganti ii
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Sri Hastuti Puspitasari B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Zairin Harahap 2. Anang Zubaidy 3. Ahmad Khairun C. Pemerintah: 1. Budiyono 2. Agus Hariadi D. Ahli Dari Pemohon: 1. Miftah Thoha 2. Saldi Isra
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.20 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 dibuka dinyatakan terbuka untuk umum.
KETUK PALU 3X Pemohon hadir? Hari ini bawa ahli berapa orang? 2.
KUASA HUKUM PEMOHON: ZAIRIN HARAHAP Yang satu hadir di sini, Yang Mulia. Yang satu lagi atas perkenaan Yang Mulia nanti mohon diizinkan melalui video conference.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Video conference.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: ZAIRIN HARAHAP Ya.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Oke baik. Dari Pemerintah hadir?
6.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Hadir, Yang Mulia.
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Sidang hari ini harusnya kita mendengarkan juga keterangan dari DPR, tapi DPR tidak hadir karena itu kita langsung mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon. Ada dua ahli yang diajukan oleh Pemohon pada hari ini yaitu Prof. Saldi Isra yang diminta melalui vicon di Andalas, kemudian Pak Miftah Thoha yang hadir di sini. Andalas tolong dibuka dulu, bisa disambung ke Andalas dulu.
8.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Bisa, Yang Mulia.
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, jelas ya. Oke, baik. Kita akan mengambil sumpah dulu, kita mulai dulu yang dari Andalas Prof. Saldi Isra. 1
10.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Siap, Yang Mulia.
11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Kita ambil sumpah yang untuk Prof. Saldi dulu. Silakan.
12.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Silakan Ahli ikuti kata-kata sumpahnya. Dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
13.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: SALDI ISRA Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
14.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup. Terima kasih.
15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih untuk juru sumpah dan saya persilakan lagi Pak Miftah untuk diambil sumpah ke depan. Maju ke depan, Pak.
16.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan Ahli mengikuti kata sumpahnya. Dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
17.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: MIFTAH THOHA Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
18.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Terima kasih.
19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan. Ya, kita akan mendengar dulu keterangan ahli melalui video conference Prof. Saldi Isra habis itu nanti Prof. Miftah. Saya persilakan langsung.
2
20.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Pertama, perkenankan saya menyampaikan permohonan maaf karena harusnya saya hadir di Mahkamah Konstitusi pada hari ini, tapi karena ada visitasi akreditasi fakultas hukum dari BAN PT (Badan Akreditas Nasional Pendidikan Tinggi), maka saya tidak bisa hadir harus mengikuti acara yang di Padang. Saya berterima kasih karena Majelis telah memperkenankan saya untuk memberikan keterangan dari jarak jauh melalui video conference ini. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Wakil Pemerintah, dan Hadirin sekalian yang berbahagia. Mengawali keterangan ini perkenankan saya ingin mereview sekilas pokok permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon. Dalam perkara ini, Pemohon mempersoalkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal; Pertama, memilih dan menetapkan anggota Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c, ayat (6), serta Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kedua, Pemohon juga mempersoalkan kewenangan memilih dan menetapkan ketua dan empat wakil ketua pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1), ayat (10), ayat (11) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika hendak disederhanakan pokok persoalan yang dimintakan Pemohon untuk dinilai konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi adalah kewenangan DPR untuk memilih dan menetapkan pimpinan komisi negara independent khususnya Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengujian kewenangan DPR dalam memilih dan menetapkan pejabat, lembaga, atau komisi negara melalui perkara ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya melalui perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 Mahkamah Konstitusi juga telah memeriksa dan memutus pengujian terhadap kewenangan DPR dalam memilih dan menetapkan hakim agung sebagaimana diatur dalam UndangUndang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Komisi Yudisial. Karena itu, segala pertimbangan yang dipakai oleh Mahkamah dalam perkara tersebut tentunya juga sangat relevan digunakan dalam memeriksa dan memutus permohonan ini. Hanya saja, karena status dan kedudukan komisi negara dalam perkara ini berbeda dengan lembaga negara dalam Perkara Nomor 27 Tahun 2013, maka diperlukan adanya penjelasan baru yang dapat memperkuat segala pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi sebelumnya. Terkait dengan hal itu, saya akan menerangkan bagaimana seharusnya pengisian pejabat … jabatan pimpinan pada komisi-komisi negara independent dilakukan sesuai dengan norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945, tujuan dibentuk dan dikembangkannya komisi-komisi tersebut. Majelis Hakim yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, wakil pemerintah, dan hadirin sekalian yang berbahagia. Kehadiran berbagai komisi negara independent bukan merupakan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti di Inggris, Afrika Selatan, Thailand, Amerika Serikat, misalnya. Secara umum, hadirnya komisi 3
negara independent ditujukan untuk menyempurnakan proses demokratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi di tengah masyarakat. Di sisi lain, keberadaan komisi negara independent di berbagai negara demokratis tersebut juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan pengklasifikasian kekuasaan pemerintahan negara yang telah lama kita kenal sebelumnya. Dimana cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga yaitu kekuasaan membuat undang-undang, legislatif, kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, dan kekuasaan kehakiman atau yudisial. Ketiga cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak mampu lagi, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada. Terkait dengan hal tersebut, Afinov dalam bukunya Administrative Law tahun 2002, menyatakan, “Most administrative agencies fall in the executive branches, but some important agencies are independent.” Organ negara atau state organ yang diidealkan independent dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dalam hal ini, William Fung and Richard Simmons mengatakan, lembaga independent itu tidak jarang mempunyai kekuasaan kuasi legislatif, kuasi eksekutif, dan kuasi yudisial. Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun demikian, executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independent karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif. Dalam semangat itu pulalah lahir berbagai komisi negara independent di Indonesia, termasuk Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bila dilihat dari teori ketatanegaraan, keduanya KY dan KPK merupakan lembaga yang berstatus sebagai komisi negara yang mandiri atau independent yang dapat saja kemandirian tersebut ditegaskan dalam konstitusi atau undangundang yang membentuknya. Dalam hal ini, Komisi Yudisial mencantumkan dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan seterusnya. Sedangkan KPK dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sikap kemandirian dan independensi dua lembaga tersebut nyaris tidak terdapat perbedaan. Kemandirian KY ada dalam makna bahwa komisi ini tidak berada di bawah kendali cabang kekuasaan atau organ negara manapun, termasuk Mahkamah Agung. Dalam menentukan calon Hakim Agung dan menegakkan keluhuran martabat dan perilaku hakim, sedangkan keindependenan KPK juga diartikan terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kemandirian dua lembaga di atas, dihubungkan dengan kepentingan besar negara dan tegaknya hukum dan keadilan di republik ini, misalnya kemandirian KY dalam rangka mendorong terjadinya perubahan pada lembaga peradilan akan diisi oleh orang-orang yang berintegritas dan dapat dipercaya 4
oleh para pencari keadilan, sedangkan kemandirian KPK adalah dalam rangka mendorong percepatan pemberantasan korupsi yang melibatkan penyelenggaraan negara di semua lapisan yang ada, termasuk peradilan, baik di pusat maupun daerah. Sebaliknya, ketidakmandirian dua lembaga tersebut merupakan salah satu pintu masuk untuk meruntuhkan cita-cita memiliki peradilan yang tepercaya dan memberantas korupsi di negeri ini. Jadi, sama sekali tidak ada perbedaan antara sifat mandiri dan independensi KPK sebagai sama-sama komisi negara independent. Bila dirujuk pada derajat arti penting keberadaan lembaga-lembaga negara KY dan KPK sebagaimana di … pengelompokan yang dilakukan oleh Jimly Asshiddiqie dalam buku Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi, berada pada level yang sama, dimana keduanya sama-sama sebagai lembaga negara atau komisi negara yang bersifat independent berdasarkan konstitusi atau constitutional organ. Atau memiliki derajat kepentingan yang sama atau constitutional importance. Dalam hal ini, sekalipun norma hukum pembentukan kedua lembaga tersebut berbeda tingkatannya, namun aspek kepentingan keberadaannya berada pada posisi yang setara. Jadi, walaupun keberadaan KY disebut eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sedangkan KPK tidak, bukan berarti perlakuan terkait kemandirian atau independency keduanya dapat dibedakan. Lalu, bagaimana kemudian kemandirian atau independency 2 lembaga atau komisi negara tersebut dapat dijaga? Apakah indikator yang dapat digunakan untuk mengukur bahwa kemandirian dua komisi tersebut tidak tercemar? Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur adalah variabel pola rekrutmen pimpinan lembaga tersebut. Apakah pola rekrutmen yang dibuat membuka atau justru menutup ruang intervensi kekuasaan mana pun pada pelaksanaan tugas dan kewenangan lembaga negara tersebut itu nantinya. Apabila pola rekrutmen yang ditetapkan ternyata membuka ruang intervensi, maka kemandirian akan tercemar, dan pada gilirannya cita-cita pembentukan dua komisi tersebut tidak akan pernah tercapai atau sulit tercapai. Karena itu, gagasan menjauhkan proses rekrutmen pimpinan komisi negara independen yang tugasnya berhubungan dengan penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman dari kepentingan politik haruslah didukung secara sungguh-sungguh. Sebab walaupun … walau bagaimanapun kepentingan politik akan selalu berusaha mempengaruhi proses penegakan hukum dengan cara menyusup melalui segala jalur yang memungkinkan untuk itu. Pentingnya menjauhkan proses rekrutmen pimpinan komisi negara independen sama pentingnya dengan menjauhkan intervensi politik terhadap proses rekrutmen hakim. Dimana dalam proses seleksinya sulit diamati. Terkait dengan hal ini, Harold Cash menyebutkan dengan istilah, this is the process under the microscope. Makanya saya yakin tidak hanya melalui proses yang tampak, tetapi juga melalui proses yang ada di balik layar. Kepentingan politik mendominasi sebagian besar proses di balik layar tersebut, sama halnya dengan seleksi pimpinan KPK maupun KY di DPR, juga didominasi oleh kepentingan politik yang sulit untuk diawasi secara terbuka. Untuk itu menjauhkan proses seleksi pimpinan KY dan KPK dari peluang intervensi politik merupakan pilihan sangat logis dalam menata dan memperbaiki pola rekrutmen komisi negara independen, seperi KY dan KPK. 5
Lalu, bagaimana kemudian proses tersebut dijauhkan dari ruang intervensi politik? Salah satunya adalah mengubah pola rekrutmen kekuasaan lembaga dari kekuasaan politik, dalam hal ini presiden dan DPR harus dibatasi, sehingga ruang intervensi terhadap proses pengisian jabatan yang ada dapat ditekan semaksimal mungkin. Pada saat bersamaan, pola rekrutmen dengan melibatkan pihak nonpartisan dan profesional dibuka secara lebih luas. Paling tidak ini diperlihatkan dalam proses pengisian hakim konstitusi yang berasal dari DPR beberapa bulan yang lalu. Sehubungan dengan itu, kekuasaan presiden dalam pengisian jabatan pimpinan KY dan KPK telah dikurangi dan sebagiannya diserahkan kepada panitia seleksi yang diisi oleh unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan masyarakat. Dalam hal ini kekuasaan presiden untuk memilih komisioner KY dan KPK telah dilimpahkan kepada panitia yang dibentuk secara terpisah dari eksekutif. Artinya, presiden tidak lagi terlibat secara langsung dalam proses menentukan siapa yang akan menjadi pimpinan KPK maupun anggota Komisi Yudisial. Di lain pihak, DPR tetap memiliki kekuasaan yang cukup besar dalam menentukan pimpinan KY dan KPK, dimana DPR berwenang memilih masing-masing satu … memilih satu dari dua atau tiga nama yang diajukan panitia seleksi. Dari aspek perimbangan kekuasaan presiden dan DPR dalam memilih pimpinan KPK dan KY, kekuasaan keduanya sudah tidak imbang. Sebab kekuasaan presiden sudah dilimpahkan kepada panitia seleksi. Dimana melalui pelimpahan kewenangan kepada panitia seleksi yang sebagian besar diisi oleh kalangan profesional dan tokoh masyarakat, mempersempit ruang intervensi presiden terhadap siapa yang akan menjadi pimpinan komisioner KY dan KPK. Sedangkan DPR melalui ketentuan undang-undang tetap menjadi pemegang kendali untuk memilih dan menetapkan siapa orang yang akan menjadi pimpinan atau komisioner KPK dan KY. Jika keseimbangan kekuasaan presiden dan DPR ingin dikembalikan, maka sebagian kekuasaan DPR dalam memilih dan menetapkan pimpinan atau komisioner KPK dan KY juga harus dikurangi. Dalam hal ini DPR tidak perlu lagi diberi kewenangan untuk memilih, melainkan cukup untuk menyetujui atau tidak menyetujui. Pada saat bersamaan memilih melalui proses seleksi, termasuk fit dan proper test cukup diserahkan kepada panitia seleksi yang diisi oleh kelompok profesional dan perwakilan masyarakat. Proses yang demikian tentunya akan lebih mempersempit ruang intervensi politik yang dapat mengancam kemandirian atau independency dua komisi negara independent tersebut. Lalu apalagi alasan untuk tetap mempertahankan kewenangan DPR untuk memilih pimpinan KPK dan komisioner KY? Apakah untuk melaksanakan mekanisme check and balances? Dimana dengan adanya menambah kewenangan DPR untuk memilih komisioner dan komisi tersebut dinilai sebagai upaya membangun mekanisme check and balances. Dalam teori hukum tata negara, mekanisme check and balances merupakan hubungan antara lembaga yang berada dalam posisi setara. Misalnya, kalau calon pimpinan KPK dan KY diseleksi oleh pemerintah atau presiden. Dengan alasan checks and balances, maka kewenangan pemerintah tersebut harus mendapatkan pengecekkan atau penilaian ulang dari DPR. Namun ketika presiden tidak lagi memiliki peran dalam proses seleksi, menjadi tidak ada pula alasan bagi DPR untuk memilih pimpinan KPK dan KY karena alasan menerapkan prinsip checks and balances. 6
Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Selain uraian di atas, norma undang-undang terkait dengan komisioner KY dan pimpinan KPK juga dapat dijelaskan secara normatif dengan berpijak pada norma Undang-Undang Dasar yang mendasari pola rekrutmen pimpinan kedua lembaga tersebut. Untuk KY secara tegas Pasal 24B ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kata persetujuan dalam ketentuan ini merupakan garis demarkasi bahwa DPR hanya sebatas menyetujui (setuju) atau tidak setuju terhadap calon-calon yang diajukan oleh pemerintah setelah melalui proses yang dilakukan oleh panitia seleksi. Apabila sekiranya DPR berwenang melakukan pemilihan komisioner KY, tentunya Undang-Undang Dasar akan menyebut dengan kata dipilih sebagaimana proses yang berlaku dalam proses pengisian Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pasal 23F ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dengan menggunakan frasa dengan persetujuan, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada prinsipnya tidak menghendaki DPR melakukan pemilihan, melainkan hanya sebatas memberikan persetujuan terhadap calon yang dihasilkan oleh panitia seleksi. Hanya saja norma Undang-Undang Dasar tersebut … Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tersebut melalui Undang-Undang KY justru ditafsirkan sebagai kewenangan memilih dan menetapkan, khususnya melalui Pasal 28 ayat (3) huruf c, ayat (6), Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Menafsirkan frasa dengan persetujuan menjadi memilih dan menetapkan, pada … dasarnya atau pada asasnya adalah potensial mereduksi peran dan kemandirian KY dalam melaksanakan tugas pemilihan dan pengawasan hakim. Sebab kepentingan politik di DPR sangat potensial memboncengi terpilihnya komisi … komisioner KY yang tidak memihak pada terwujudnya lembaga peradilan yang kredibel. Padahal salah satu tujuan pembentukkan lembaga tersebut adalah untuk mendorong peradilan menjadi lembaga yang dapat dipercaya. Pada saat bersamaan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang KY tersebut juga telah mengubah kewenangan DPR dari hanya memberikan persetujuan menjadi kewenangan untuk memilih anggota Komisi Yudisial. Dengan demikian, frasa memilih dan menetapkan dalam UndangUndang KY tersebut merupakan kesepakatan politik DPR yang tidak sebangun dengan kehendak Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya ketentuan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai persetujuan. Hal yang sama juga berlaku untuk KPK dimana sekalipun tidak terdapat norma Undang-Undang Dasar yang secara tegus … tegas mengatur tentang seleksi pimpinan KPK. Namun karena sifat constitutional importants lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini, maka kewenangan DPR juga harus diberi batas demarkasi yang sama dengan KY. Dimana DPR hanya berwenang memberikan persetujuan terhadap calon pimpinan KPK yang diajukan oleh panitia seleksi. Perlunya memberlakukan batasan yang sama atau pola yang sama antara keterlibatan DPR dalam seleksi komisioner KY dan pimpinan KPK adalah karena keduanya sama-sama lembaga yang melaksanakan fungsi yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Dimana pelaksanaan semua tugas 7
yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman tersebut harus dijauhkan dari segala kemungkinan intervensi politik. Selain itu, kewenangan DPR terkait seleksi pimpinan KPK tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan BPK, dimana DPR diberi kewenangan untuk memilih anggota lembaga tersebut. BPK merupakan lembaga yang berperan untuk memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, dimana tugas tersebut berhubungan dengan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Sehingga sangat logis jika pemilihan anggota BPK dilakukan DPR, sementara pimpinan KPK tidak demikian. Pimpinan KPK haruslah orangorang yang bebas dari kepentingan politik tertentu karena ia akan melaksanakan tugas penegakkan hukum, dimana anggota DPR juga menjadi bagian dari orang-orang yang berpeluang untuk diproses secara hukum oleh KPK. Atas dasar itulah, kewenangan DPR dalam memilih dan menetapkan pimpinan KPK harus dibatasi menjadi hanya memberikan persetujuan saja. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Wakil Pemerintah, hadirin sekalian yang berbahagia. Penataan suprastruktur kekuasaan negara melalui perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang melahirkan beberapa komisi negara independent harus dirawat dan diperbaiki. Maksud atau tujuan pembentukkan lembaga atau pemimpin negara independent harus dijaga agar kehadirannya dapat memenuhi harapan yang dibangun ketika awal pembentukkannya. Jangan sampai perjalanan komisi negara independent terjebak pada praktik yang justru merugikan proses demokratisasi yang sedang dikembangkan. Salah satu langkah penting untuk itu adalah dengan memperbaiki pola atau sistem rekrutmen yang dijauhkan dari segala kemungkinan intervensi politik yang dapat merusak kemandirian atau independensi komisi atau lembaga tersebut. Demikianlah keterangan ini saya sampaikan, semoga dapat membantu Majelis Hakim Konstitusi dalam memeriksa dan memutus permohonan ini. Dan saya percaya, Mahkamah Konstitusi menjadi tempat … salah satu tempat penting untuk memberikan desain yang benar dalam hubungan antarlembaga negara dalam sistem ketatanegaraan kita. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 21.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Saudara Pemohon, ada yang mau diklarifikasi ... jangan diputus dulu. Ada yang mau diklarifikasi atau ditanyakan kepada Ahli, atau cukup?
22.
KUASA HUKUM PEMOHON: ZAIRIN HARAHAP Cukup, Yang Mulia.
23.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup. Dari Pemerintah?
8
24.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Cukup, Yang Mulia.
25.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup. Dari Majelis tidak ada, ya. Baik, kalau begitu dengan ... Terima kasih, Prof. Saldi.
26.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia.
27.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Bisa kami kembali ke ruang sidang di Jakarta. Selanjutnya saya persilakan Prof. Miftah Thoha, silakan bisa di podium.
28.
AHLI DARI PEMOHON: MIFTAH THOHA Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang saya hormati Hakim Ketua dan Para Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi, dari Kuasa Pemohon dan Wakil Pemerintah yang saya hormati. Perjalanan demokrasi semenjak era reformasi ini telah berjalan hampir 16 Tahun. Selama ini nampaknya sistem demokrasi yang menata hubungan antara jabatan negara dan jabatan politik masih menyisakan persoalan yang perlu kiranya ditata yang mengarah terselenggaranya suatu pemerintahan yang baik, yang bersih, dan demokratis. Semenjak pemerintahan B.J.Habiebie membuka koridor demokrasi dengan mengeluarkan kebijakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, maka kebebasan berbeda pendapat dijamin oleh undang-undang. Semenjak itu sampai sekarang kita merasakan bahagiannya hidup demokrasi di negara kita yang menghargai perbedaan pendapat itu. Koridor demokrasi kedua dibuka oleh Pemerintah Habiebie dengan mengeluarkannya kebijakan Undang-Undang Nomor 2, Undang-Undang Nomor 3, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Pemilu, dan Susduk MPR, DPR, dan DPRD. Semenjak itu lengkap sistem demokrasi dijalankan oleh pemerintahan reformasi, tidak ada ketakutan berbeda pendapat, dan tidak ada juga rasa takut masuk dan memilih partai politik yang dikehendaki oleh rakyat. Bahkan undang-undang lain yang melengkapi sistem demokrasi ini dikeluarkan, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Desentralisasi Pemerintahan Daerah dan kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Di tahun awal reformasi tahun 1999 itu direvisi pula Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian yang monoloyalitas menjadi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang mengarah kepada netralitas pegawai negeri sipil. Yang saya hormati Hakim Ketua dan Para Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi, Saudara Kuasa Pemohon dan Pemerintah yang saya hormati. Di dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ditegaskannya ada 3 macam pemegang kekuasaan negara ini. Yang pertama 9
adalah pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintahan adalah presiden Pasal 4 ayat (1), yang kedua pemegang kekuasaan pembuat undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 20 ayat (1), dan ketiga pemegang kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta badan peradilan di bawahnya. Jabatan negara dan pejabat negara ada dua macam, yakni jabatan negara yang dipilih oleh rakyat akan tetapi diangkat oleh kepala negara berada di ranah penyelenggara kekuasaan pemerintah. Pejabat ini bisa dinyatakan sebagai pejabat yang independen dan dari intervensi politik. Kedua, pejabat negara yang berasal dari partai politik dipilih oleh rakyat atau diangkat oleh pejabat politik yang dipilih rakyat, pejabat ini dalam ilmu politik disebut political appointees, pengangkatannya berada di ranah atau domain politik perlu memperoleh political approval dari lembaga politik atau dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pejabat negara yang dipilih oleh rakyat dilakukan melalui pemilihan umum atau pemilukada. Hakim Ketua dan Hakim Anggota yang saya hormati. Sayangnya pemerintah demokrasi yang sudah ditata kebijakan perundangannya itu luput tidak mau menata hubungan antara jabatan-jabatan negara dan jabatan politik, dan juga jabatan karir sesuai dengan jaminan konstitusi tersebut. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik maka diawal reformasi itu bermuncullah kehidupan partai politik. Di dalam literatur ilmu politik disebutkan bahwa partai politik merupakan suatu organisasi sosial yang distingtif yang tujuan utamanya adalah menempatkan calon-calon pemimpinnya pada jabatan pemerintahan. Syarat minimal dari suatu partai politik dilihat dari aspek peranan politinya adalah merancang calon-calon pejabat dari partainya untuk menduduki jabatan di dalam pemerintahan. Yang kedua, mendulang suara yang mendukungnya. Mohon diperiksa Ensiklopedia Americana Tahun 1999 ... Tahun 1995. Dari perspektif ini maka kehadiran partai politik di dalam tatanan administrasi pemerintahan tidak bisa lagi dihindari. Bahkan menurut Guy Peters dan Jon Pierre editor dari buku penelitiannya akhir tahun 1999 Politicization of The Civil Service menyatakan bahwa beberapa dasawarsa terakhir ini sektor pemerintahan telah menjadi arena yang dikuasai oleh politisi. Hal ini berarti bahwa para pejabat dan pegawai pemerintahan harus memberikan perhatian yang lebih besar sebagai pelayan-pelayan politik kepada jabatan-jabatan politik yang memimpinnya. Hakim Ketua yang Kami Hormati dan Para Hakim Konstitusi yang Terhormat. Reformasi birokrasi yang kebijakan dan programnya telah dilaksanakan oleh pemerintah kiranya luput untuk memberi perhatian dalam menata tata hubungan yang demokratis dengan kedatangan orang-orang partai politik di sistem birokrasi pemerintah ini. Jabatan negara dan jabatan politik, dan juga jabatan karir sampai saat ini di dalam sistem administrasi negara kita semenjak kita berada di era reformasi ini tidak pernah di klasifikasikan secara tuntas. Sehingga tata hubungan antara ketiganya tidak jelas, bahkan bisa dikatakan sebagai praktika anomali dalam sistem administrasi pemerintahan. Pimpinan partai politik yang dipilih rakyat atau ditunjuk oleh yang memilih, memilih menjadi pejabat negara seberapa jauh hubungannya dengan partai politiknya, dan seberapa jauh klasifikasinya dengan jabatan negara yang bukan dipilih rakyat atau diangkat oleh kepala negara dalam domain fungsi kenegaraan. 10
Demikian pula pejabat karir militer atau kepolisian kiranya, kaitannya dengan political approval ketika akan memangku jabatannya ke Dewan Perwakilan Rakyat. Apalagi seberapa jauh pula hubungannya dengan penggunaan fasilitas negara, termasuk anggaran dan pegawainya yang menyertai jabatan tersebut. Formulasi tata hubungan ini sampai saat ini dibiarkan mengambang tanpa kejelasan atau dibiarkan dalam sistem yang disebut anomali tadi. Bahkan dicari alasan pembenarannya jika pejabat negara itu menggunakan fasilitas negara, lebih-lebih kalau jabatan negara itu dijabat oleh presiden kepala negara dan kepala pemerintahan yang merangkap pimpinan suatu partai politik. Hakim Ketua yang saya hormati dan Para Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi. Seperti dikatakan di depan, jabatan negara yang berkaitan dengan pilihan rakyat dapat pula digolongkan atas dua macam jabatan di negara kita ini. Yang pertama, jabatan negara yang pengangkatannya tidak dipilih oleh rakyat, akan tetapi diangkat oleh pejabat yang dipilih oleh rakyat. Jabatan negara ini dalam ilmu politik tadi disebut political appointees, jabatannya dinamakan political appointment. Yang kedua, pejabat negara yang berasal dari partai politik dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Kedua jabatan negara ini perlu memperoleh approval politic. Yang pertama melalui approval dewan, yang kedua melalui pemilihan umum langsung dari rakyat. Bagi pejabat negara yang saya sebut, pejabat negara yang murni untuk negara pengangkatannya berada pada ranah atau domain sesuai dengan Konstitusi kita Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berada pada kekuasaan yang dipegang oleh kepala negara. Adapun pejabat negara yang berasal dari partai politik, yang dipilih rakyat, warna politiknya sangat kuat. Oleh karena itu pengangkatannya berdasarkan Undang-Undang melalui pemilu atau oleh pemilukada, seperti misalnya Presiden, Wakil Presiden, anggota dewan, gubernur, wakil gubernur, bupati, walikota, dan wakilnya. Bagi pejabat negara yang diangkat sebagai political appointees, seperti misalnya para menteri negara, saya sarankan dimintakan approval ke DPR, Pasal 20 ayat (1). Seperti lazimnya dilakukan di Amerika atau di negara-negara demokrasi lainnya. Di zaman pemerintahan orde baru dahulu, hanya kita mengenal dua macam jabatan. Yaitu, jabatan negara, pejabatnya disebut pejabat negara, dan jabatan karir birokrasi yang pejabatnya disebut PNS atau pejabat eselon. Sebenarnya jabatan politik sudah ada waktu itu, di waktu pemerintahan orde baru. Karena waktu itu sudah ada dua partai politik dan satu golongan. Akan tetapi Presiden Soeharto tidak suka di dalam pemerintahannya dibantu oleh partai politik dan yang membatu pemerintahannya adalah suatu kekuatan politik yang disebut golongan karya. Maka semua jabatan politik yang diduduki golongan karya itu dinamakan pejabat negara, jabatan rangkap seperti ini disamarkan semenjak zaman orde baru. Dengan demikian saya berkesimpulan dan menganjurkan agar sidang Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan usulan kami seperti ini yang diusulkan oleh Pemohon dari Universitas Islam Indonesia dan khususnya Studi Hukum Konstitusi agar supaya pengangkatan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan Hakim Mahkamah Konstitusi, bahkan Hakim di Mahkamah Agung, Panglima TNI, dan Kapolri tidak perlu lagi dimintakan political approval atau uji 11
kelayakan ke lembaga politik DPR. Pengangkatannya para pejabat negara yang saya sebut itu cukup berada di wilayah ranah kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Selain itu juga agar supaya tidak diintervensi kepentingan politik dari anggota partai politik DPR. Atas terkabulnya kesaksian saya oleh Mahkamah Konstitusi, saya sampaikan ucapan terima kasih, dengan harapan semoga dihari-hari mendatang sistem administrasi negara dan demokrasi kita semakin baik, semakin bersih, dan demokratis yang diridhoi oleh Allah SWT. Demikian, assalamualaikum wr. wb. 29.
KETUA: HAMDAN ZOELVA cukup?
30.
Terima kasih Pak Miftah. Ada pertanyaan atau klarifikasi untuk Ahli?
KUASA HUKUM PEMOHON: ZAIRIN HARAHAP Cukup, Yang Mulia.
31.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup, ya. Dari Pemerintah? Silakan.
32.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Prof. Miftah. Saya hanya mau memperdalam sedikit saja, di halaman lima dan terakhir apa yang Bapak minta tadi, artinya sesuai dengan permohonan Para Pemohon. Di sisi lain di halaman lima ini justru Bapak mengatakan pejabat-pejabat negara yang diangkat sebagai political appointees, seperti para menteri. Justru Bapak mintakan approval ke DPR. Jadi saya ingin memperdalam ini, di satu sisi Bapak menghendaki ... pada sisi lain justru tidak melibatkan DPR dalam hal pengangkatan pejabat-pejabat negara lainnya. Jadi ini halaman 5, saya mau memperdalam itu saja, Pak.
33.
KETUA: HAMDAN ZOELVA ... Prof, masih ada ... dicatat dulu. Ya, dicatat dulu.
34.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Ya, Terima kasih, Yang Mulia. Saya juga hanya ingin meminta klarifikasi. Di halaman 6 di bagian akhir pendapat Ahli. Mengenai keberadaan Hakim Konstitusi yang tidak perlu dimintakan uji kelayakan ke lembaga politik DPR. Nah, kalau merujuk ke Pasal 24C ayat (3) bahwa Hakim Konstitusi itu terdiri dari sembilan orang, tiga di antaranya itu diajukan oleh DPR. Nah, lalu bagaimana DPR bisa memilih tiga orang tanpa harus melalui apapun namanya, apakah uji kelayakan atau istilah lain. Terima kasih.
12
35.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan, Prof.
36.
AHLI DARI PEMOHON: MIFTAH THOHA Terima kasih, Yang Terhormat Para Hakim dan Hakim Ketua yang saya hormati. Yang pertama, menteri kok diusulkan apporval ke DPR. Tadi kalau tidak salah saya sudah mengatakan jabatan negara itu ada dua macam. Jabatan yang murni itu bukan dari partai politik, itu murni dari pejabat negara yang itu pengangkatannya diangkat oleh kepala negara, itu tidak perlu harus ke DPR. Tapi pejabat negara yang berasal dari partai politik itu ada dua approvalnya. Yang pertama melalui pemilu atau pemilukada, itu presiden/wakil presidennya, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakilnya, dan walikota/wakilnya. Itu approvenya rakyat langsung, tapi bagi pejabat politik dari partai politik yang diangkat oleh pejabat politik, misalnya para menteri itu diangkat dari partai politik yang diangkat oleh pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, presiden. Menurut saya tata caranya memang harus berasal dari DPR atau dimintakan approval persetujuan atau pendapat dari DPR. Karena tempatnya orang politik itu di DPR, jadi kalau orang partai politik diangkat jadi menteri yang juga orang-orang berasal dari partai politik, yang sebagian partai politiknya ada di DPR, maka apa namanya ... bisa merekam jejaknya kepolitiknya dari anggota atau menteri itu bisa diketahui oleh anggota DPR. Karena itulah walaupun kita sekarang belum pernah itu dimintakan approval. Kita ... saya sarankan di situ kita negara kesatuan dan biasanya diparlementer ... presidensial yang kita pakai. Tapi biasanya yang memintakan approval itu parlementer, tapi kalau kita mau lebih objektif lagi, itulah jabatan politik yang rekam jejaknya di DPR lebih jelas karena itu mintakanlah persetujuan ke DPR yang selama ini di negara kita enggak pernah itu. Nah, oleh karena itu, kami memohon kepada Mahkamah itu bisa menjelaskan bedanya jabatan negara dan jabatan politik itu, sementara itu. Kalau seharusnya kalau jabatan negara dari partai politik itu sudah menjadi jabatan negara, jabatan negara, seharusnya kaitannya dengan partai politik itu sudah tidak lagi ada karena itu murni jabatan untuk negara, kalau kita mau betul-betul membenarkan seperti itu. Jadi para menteri maupun para gubernur, bupati, dan sebagainya itu jika sudah menjadi pejabat negara, maka selayaknya dia tidak banyak lagi hubungannya dengan partai politik atau tidak lagi menjadi kader partai politik yang ke sana – ke mari menggunakan jabatan kadernya daripada jabatan negaranya, ini yang saya harapkan. Demikian pula yang, yang, yang ditanyakan tadi yang kedu … saya kira jawaban saya seperti itu sudah. Ya, terima kasih Bapak.
37.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih Prof. Miftah Thoha atas pemberian keterangansebagai Ahli pada hari ini dan cukup untuk pertanyaan-pertanyaan. Pemohon masih ada Ahli atau saksi yang diajukan atau cukup?
13
38.
KUASA HUKUM PEMOHON: ZAIRIN HARAHAP Sudah cukup, Yang Mulia.
39.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sudah cukup. Apakah pemerintah akan mengajukan saksi atau ahli?
40.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Tidak, Yang Mulia.
41.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tidak. Oke, baik. Dengan demikian sidang untuk pemeriksaan Ahli dan Saksi pembuktian dalam perkara ini selesai. Dan kepada Pemohon dan Pemerintah dapat mengajukan kesimpulan paling lambat pada hari Selasa, 13 Mei 2014 pukul 16.00 WIB. Langsung kepada Kepaniteraan tanpa melalui sidang ya. Sekali lagi, kesimpulan harus diaju … ha, dapat diajukan paling lambat pada hari Selasa, 13 Mei 2014 Pukul 16.00 WIB. Dengan demikian sidang dalam perkara ini selesai dan Pemohon, Pemerintah tinggal menunggu panggilan dari Mahkamah untuk pengucapan putusan. Demikian, sidang dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.03 WIB
Jakarta, 6 Mei 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
14