MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 27/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1995 TENTANG PASAR MODAL SERTA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI/SAKSI PEMOHON (IV)
JAKARTA SENIN, 1 SEPTEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 27/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal [Pasal 45] serta Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang [Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), Pasal 42 ayat (5), Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3)] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ACARA Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli/Saksi Pemohon (IV) Senin, 1 September 2014, Pukul 11.06 – 12.23 WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Hamdan Zoelva Muhammad Alim Wahiduddin Adams Anwar Usman Aswanto Ahmad Fadlil Sumadi Patrialis Akbar
Mardian Wibowo
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5.
Eri Hertiawan Asep Ridwan Harun Walian Ngantung Yogi Sudrajat Heru Pamungkas
B. Ahli dari Pemohon: 1. Nindyo Pramono 2. Zainal Arifin Mochtar 3. Eddy O.S. Hiariej C. Pemerintah: 1. Mualimin Abdi 2. Didik Hariyanto 3. Budijono
i
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.06 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 27/PUUXII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, yang hadir? Silakan.
2.
kenalkan dulu siapa saja
KUASA HUKUM PEMOHON: ERI HERTIAWAN Baik, terima kasih, Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Hadir sebagai Kuasa Hukum dari Pemohon, Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebelah kiri saya Asep Ridwan, S.H., M.H., Advokat. Saya sendiri Eri Hertiawan, S.H., LL.M., Advokat. Lalu, Harun Walian Ngantung, S.H., Advokat. Kemudian, Yogi Sudrajat, S.H., Advokat. Dan Heru Pamungkas, Asisten Advokat, dimana pendamping advokatnya adalah saya sendiri. Terima kasih, Majelis Yang Mulia.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Dari Pemerintah, yang mewakilil Presiden, silakan.
4.
PEMERINTAH: BUDIJONO Terima kasih, Yang Mulia. Yang mewakili Pemerintah … yang mewakili Pemerintah, sebelah kiri saya Bapak Dr. Mualimin Abdi, Kepala Badan Litbang HAM, Kementerian Hukum dan HAM. Saya sendiri Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM. Sebelah kiri yang paling ujung, Bapak Didik Hariyanto, dari Kementerian Keuangan. Dan di belakang ada kawan-kawan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. DPR tidak hadir ya? Hari ini kita melanjutkan sidang untuk mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, ya. Ada 3 orang Ahli yang diajukan hari ini. Prof. Dr. Nindyo Pramono, ya silakan maju ke depan, Pak, silakan untuk anu … mengambil sumpah. Prof.
1
Edward … Eddy Hiariej, ya. Zainal … Dr. Zainal Arifin, ya silakan. Semua beragama Islam ya? Oh, Protestan? Ya silakan di situ. Silakan, Pak Fadil. 6.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan yang beragama Islam, mengikuti kata saya untuk bersumpah menurut agama Islam. Dimulai. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
7.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Cukup, terima kasih.
9.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Ya, yang Protestan mohon ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
10.
AHLI BERAGAMA KRISTEN: Saya berjanji sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
11.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih.
12.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan kembali ke tempat. Pemohon, siapa yang lebih dulu menyampaikan keterangan?
2
13.
KUASA HUKUM PEMOHON: ASEP RIDWAN Terima kasih, Yang Mulia. Sebelum kami menyampaikan siapa Ahli yang akan menyampaikan keterangan Ahlinya, mohon izin, Yang Mulia, untuk terkait dengan surat yang telah kami sampaikan pada tanggal 13 Juni 2014, kami telah mengirimkan surat kepada Majelis melalui kurir … melalui Panitera, yang pada pokoknya dalam surat tersebut kami menyampaikan permohonan untuk mencabut sebagian dari pemohonan yang kami sampaikan. Jadi, yaitu dari … dari … yaitu ketentuanketentuan yang kami mohonkan untuk dicabut itu adalah pertama, mengenai Pasal 45 Undang-Undang Pasar Modal.
14.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pasal berapa?
15.
KUASA HUKUM PEMOHON: ASEP RIDWAN Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Yang kedua adalah Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang LPS. Yang ketiga adalah Pasal 85 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang LPS. Sedangkan ketentuan mengenai Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) tetap kami pertahankan permohonan pengujiannya. Berkaitan hal tersebut, kami mohon petunjuk dulu, Yang Mulia, mengenai status permohonan yang kami sampaikan. Terima kasih.
16.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Ini dicatat sebagai penarikan secara resmi, ya, pengujian terhadap pasal-pasal yang bersangkutan. Ya, silakan, siapa dulu dari Ahli yang akan memberikan keterangan?
17.
KUASA HUKUM PEMOHON: ERI HERTIAWAN Majelis Yang Mulia, kami akan memohon untuk yang terlebih dahulu menyampaikan keterangan Ahli adalah Dr. Zainal Arifin Mochtar, lalu dilanjutkan dengan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. Kemudian yang ketiga adalah Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum. Demikian, Yang Mulia.
18.
KETUA: HAMDAN ZOELVA
3
Baik, terima kasih. Silakan, Pak Zainal Arifin. 19.
AHLI DARI PEMOHON: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Sebelum saya memulai, Yang Mulia, saya sudah membuat keterangan Ahli sekitar beberapa halaman, yang nanti akan saya sampaikan secara langsung kepada Hakim Yang Mulia melalui teman petugas. Keterangan Ahli Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang Terhormat, pihak DPR dan Pemerintah yang saya hormati, Pemohon atau Kuasa Hukum Pemohon yang saya hormati, hadirin sekalian yang saya hormati. Pada dasarnya, permohonan ini didasarkan atas dalil bahwa terjadi pelanggaran atas Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan adanya ketentuan yang memberikan batasan waktu dalam hal menjual saham bank yang kemudian dengan ketentuan tidak perlu memerhatikan nilai pengembalian yang optimal. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, ditentukan bahwa LPS dapat … dapat di batasan tahun yang tertentu menjual saham bank di bawah nilai pernyataan modal sementara. Akan tetapi, tidak ada perlindungan lebih lanjut mengenai perlindungan hukum atas mekanisme penjualan tersebut. Terlebih lagi, masih ada adanya perbedaan makna perihal keuangan negara dan makna kerugian keuangan negara. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh LPS. Karenanya, untuk dan atas nama Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Pemohon selaku Kepala Eksekutif LPS mengajukan permohonan dengan mendalilkan bahwa dalam batas penalaran yang wajar, pasal-pasal yang diujikan dapat balik mengancam para pengambil kebijakan di LPS sebagai orang yang merugikan keuangan negara. Dalam kapasitas saya sebagai Ahli, dengan ini saya menyampaikan bahwa setidaknya ada 3 hal yang akan saya sampaikan sebagai bagian dari keterangan Ahli ini. Yakni yang pertama, tentang konsep pengambilan keputusan penyertaan modal sementara dan posisi LPS sebagai lembaga hukum independent yang dibuat dalam negara … yang dibuat oleh negara dalam konteks pengambilan keputusan tersebut. Yang kedua, konsep hukum dan penafsiran atas pasal-pasal yang diujikan soal penjualan berbatas waktu tanpa perlu memerhatikan pengembalian nilai optimal berdasarkan penyertaan modal sementara. Dan yang ketiga, bagaimana konstelasi pasal-pasal tersebut akan sangat mudah mengganggu pelaksanaan tugas dari sebuah lembaga
4
badan hukum independent yang disebut dengan … yang dibuat oleh negara dengan nama LPS. Perihal LPS dan pengambilan keputusan FKSSK. Pertama, belajar dari pengalaman krisis yang terjadi di Indonesia, maka diaturlah sebuah konsep protokol penanganan krisis, termasuk mekanisme penanganan dari bank gagal, baik yang berdampak sistemik dan tidak. Karenanya, LPS harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Sedangkan yang berdampak sistemik, LPS wajib untuk melaksanakan penanganan bank gagal tersebut. Bahwa dari tugas tersebut, aturan hukum telah mengatur kedudukan LPS sebagai lembaga … sebagai badan hukum yang dibuat oleh negara untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan demi stabilitas sistem keuangan berdasarkan apa yang telah diputuskan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang pada saat ini diberi nama FKSSK. Pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otoritas Jasa Keuangan ditentukan bahwa untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota yang terdiri dari Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai selaku anggota. Bahwa dari ketentuan ini, sifat keanggotaan LPS tentu saja sama dengan yang lainnya dan berarti menjadi perseorangan secara kelembagaan. Artinya, jika suatu keputusan yang tidak bisa diambil secara mufakat, maka ketentuan pengambilan suara secara voting menjadi pilihan yang berimplikasi mengikat pada semua pihak tanpa terkecuali. Artinya, begitu keputusan penyelamatan bank diambil, maka LPS terikat dengan keputusan tersebut tanpa bisa melakukan perlawanan, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (5) UndangUndang OJK. Bahwa secara hukum, inilah yang disebut klausula tertutup. Dalam artian, konteks penyelamatan perbankan, LPS bukanlah lembaga yang dapat melakukan langkah discretive atau langkah pilihan yang bisa melakukan penyelematan atau tidak. Begitu keputusan FKSSK diambil, maka LPS tidaklah dapat menolak atau memilih untuk tidak melakukan penyelamatan, meskipun boleh jadi telah tahu bahwa bank tersebut tidak sehat dan tidak dapat dipertahankan. Artinya, tentu menjadi sesuatu yang sangat tidak tepat secara hukum jika lembaga yang dibuat khusus untuk melakukan penyelamatan tidak dapat menolak untuk melakukan penyelamatan dan dalam kerja melakukan penyelamatan tersebut sangat mungkin untuk mengeluarkan biaya-biaya penyelamatan yang malah tanpa perlindungan hukum oleh karena dianggap dapat merugikan keuangan negara. Oleh karena harus diingat adanya status 5
uang negara dalam keuangan LPS seperti yang termaktub dalam Pasal 81 Undang-Undang LPS. Kedua, perihal konsep pasal penjualan bank. Tentang klausula pasal-pasal penjualan, logika utama dari pasal-pasal penjualan yang diujikan tersebut adalah bank gagal yang telah ditangani oleh LPS, wajib dijual pada batasan waktu tertentu, tahun yang ditentukan oleh UndangUndang LPS. Dalam tahapan pertama, harus berupa pengembalian secara optimal nilai uang berdasarkan penyertaan modal sementara yang diberikan oleh LPS. Jika dalam batas waktu tahun tertentu tidak bisa, maka dapat diperpanjang beberapa kali, hingga batasan waktu yang ditentukan dapat dijual pada nilai penawaran tertinggi yang ada. Bahwa ketentuan seperti ini sesungguhnya cukup aneh. Oleh karena menempatkan LPS menjadi berada pada posisi tidak menguntungkan di hadapan pihak yang akan melakukan pembelian. Ketentuan macam ini membuat LPS menjadi pihak yang dalam batas penalaran yang wajar hampir dapat dipastikan selalu merugi oleh sikap pembeli yang akan menunggu hingga batas akhir penjualan untuk dapat membeli dengan harga yang terrendah karena tidak lagi harus memerhatikan nilai pengembalian optimal. Secara sederhana, dapat dianalogikan sebagai berikut. Jika seorang penjual mangga menuliskan bahwa mangga tersebut seharga Rp100.000,00 … Rp1.000,00 yang dijualnya dan harus laku sebelum pukul 18.00 sore. Jika, hingga pukul 18.00 sore belum laku, maka akan dia jual dengan harga berapapun. Lagi-lagi, analoginya adalah jika seorang penjual mangga mengatakan bahwa mangga tersebut seharga Rp1.000,00 dan harus dijual laku sebelum pukul 18.00 sore, maka jika pada saat pukul 18.00 sore belum laku, maka ia akan menjual dengan harga berapapun. Probabilitas tertinggi yang akan dilakukan oleh pembeli mangga adalah menunggu hingga batas akhir waktu pukul 18.00 sore untuk melakukan pembelian dengan harga yang paling rendah dan jauh dari nilai optimal mangga yang sekitar Rp1.000,00. Dalam analogi tersebut, dapat dikatakan bahwa model pasal yang melakukan penjualan dengan cara tersebut, sangat memberikan potensi kerugian yang besar bagi uang negara dan premi nasabah yang berada di tangan LPS. Sikap pasar akan sangat mungkin menunggu hingga batas akhir penjualan, sehingga dapat membeli dengan harga yang sangat jauh dari nilai optimal. Karenanya, dapat dibayangkan betapa tidak berimbangnya posisi LPS di hadapan para pembeli dengan adanya klausula pasal yang berketentuan batas waktu seperti tersebut di atas. Apalagi dengan posisi yang hampir merugi, tidak ada pula aturan yang dapat me … melindungi LPS dari kemungkinan tuduhan melakukan tindakan yang merugikan keuangan negara karena lagi-lagi keuangan LPS juga berasal dari uang negara, seperti yang termaktub di Pasal 81.
6
Bahwa pasal-pasal dengan model penjualan seperti ini, sesungguhnya mengingatkan kita pada kebijakan lama yang sangat banyak kita krat … kita kritisi dan kita katakan sebagai bagian dari proses yang tidak benar dalam perumusan kebijakan negara pascakrisis 1999 … 1998 dengan model penjualan berbagai badan usaha milik negara yang diwajibkan oleh IMF. IMF melalui resep-resep pemulihan ekonomi yang diberikan kepada negara ini, salah satunya adalah penjualan begitu banyak BUMN yang diperintahkan IMF untuk dijual dengan target penerimaan tertentu dan dalam kurun waktu yang berbatas hingga tahun … antara tahun 1998 hingga tahun 2002, dan itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa kemudian harga penjualan BUMN-BUMN tersebut tidaklah pernah bisa dilakukan secara optimal. Bahwa artinya, model penjualan dengan berbatas seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang diujikan oleh Pemohon, sesungguhnya selama ini telah menjadi contoh dari kebijakan penjualan berbatas waktu yang tidak tepat dan sangat potensial mendatangkan kerugian keuangan negara. Hal yang luar biasa adalah konsep seperti itu malah dibuat dalam pasal-pasal perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang LPS yang diujikan oleh Pemohon. Bahwa secara konsep pembuatan peraturan perundangundangan, terdapat adanya asas-asas yang penting untuk diperhatikan. Salah satunya adalah asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan haruslah mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, dan kepentingan bangsa, dan negara. Dan tentunya, pasal-pasal yang diujikan telah menempatkan ketidakseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan bangsa dan negara yang diwakili oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, terganggunya LPS oleh pasal-pasal yang diujikan. Tentang ter … yang ketiga tentang terganggunya tugas-tugas LPS oleh pasal yang diujikan oleh Pemohon. Bahwa relasi antarpemohon sebagai badan kepala eksekutif dari LPS sangat jelas-jelas, oleh karena ia selaku orang yang diberikan kuasa secara perundang-undangan maupun kuasa khusus untuk mewakili LPS dalam rangka menegakkan aturan konstitusi, khususnya tentang adanya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan … khususnya perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa dapat dibayangkan, LPS dalam bertugas akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan yang diambilnya berdasarkan aturan perundang-undangan oleh karena dengan klausula pasal penjualan yang dapat sangat mungkin dapat merugikan LPS, serta kewenangan LPS yang berbatas dan dapat 7
diancam dengan hal-hal yang dihubungkan dengan keuangan negara dan kerugian keuangan negara membuat LPS, khususnya orang-orang yang bekerja di dalamnya tidaklah mendapatkan perlindungan berarti dalam melaksanakan tugasnya. Padahal dalam melaksanakan tugas tersebut, LPS dan orang-orang yang berada di dalamnya, juga memiliki hak dalam memperjuangkan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara dalam melaksanakan tugas dan kewenangan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa harus diingat, tindakan LPS dalam menggunakan uang dalam penyelamatan bank adalah menggunakan uang negara dan uang publik dalam premi yang dibayarkan oleh nasabah. Oleh karenanya, pasal-pasal yang dapat menyebabkan kerugian bagi LPS, sesungguhnya juga pasal yang dapat menyebabkan kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang mereka bayarkan kepada LPS. Terlebih lagi, LPS sebagai lembaga hukum independent yang dibentuk oleh negara untuk menjalankan tugas yang salah satunya adalah penyelamatan bank, kemudian dapat dihukum oleh karena anggapan merugikan keuangan negara dalam menjalankan kebijakan penyelematan bank yang dilakukan atas perintah perundang-undangan dan mekanisme protokol yang dibuat oleh negara dalam menyelamatkan perbankan. Artinya, dalam penalaran saya sebagai Ahli, saya berpikir bahwa ada dua kemungkinan yang menarik untuk dikaji dalam pasal ini. Yang pertama, pasal-pasal mengenai penjualan tersebut haruslah dibatalkan secara keseluruhan. Akan tetapi, jika ini dibatalkan secara keseluruhan, harus disertai dengan tafsiran Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk menutup kemungkinan kevakuman aturan hukum untuk mekanisme penjualan yang lebih berimbang dan dapat menutup potensi kerugian keuangan negara dan kerugian publik atas premi yang ada di LPS. Atau yang kedua, pasal-pasal tersebut tidaklah dibatalkan, namun Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dapat menentukan poin-poin yang harus diambil … harus dilakukan oleh LPS dalam meminimalisasi kemungkinan kerugian negara dan publik oleh karena aturan pasal yang berpotensi merugikan tersebut, sekaligus melalui poin-poin tersebut yang jika dijalankan oleh LPS, maka dapat terhindar dari kemungkinan dianggap merugikan keuangan negara. Demikian keterangan Ahli ini dibuat dan semoga bisa membantu dalam memberikan penjelasan pada kasus a quo. Yogyakarta, 29 Agustus 2014. Salam dari saya. Wassalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semua. 20.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Selanjutnya, Prof. Nindyo.
8
21.
AHLI DARI PEMOHON: NINDYO PRAMONO Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, perkenankan saya Nindyo Pramono, Guru Besar Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada memenuhi permintaan dari Assegaf Hamzah and Partner selaku Kuasa Hukum dari Lembaga Penjamin Simpanan yang sedang mengajukan judicial review ke hadapan Yang Mulia Hakim Konstitusi. Sebagai Ahli Hukum Bisnis mengemukakan pendapat hukum saya atas pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Ditanyakan kepada saya, apakah yang dimaksud dengan keuangan negara? Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan keuangan negara, pertama-tama dapat ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1992 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dan di sana yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena satu, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Dua, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Yang kedua, dapat ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 7 dari kedua undang-undang tersebut memberikan batasan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya, menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tersebut, keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan, dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
9
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah negara dan membayar tagihan pihak ketiga. c. Penerimaan negara. d. Pengeluaran negara. e. Penerimaan daerah. f. Pengeluaran daerah. g. Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri, atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah. h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum. i. Kekayaan pihak lain yang dikelola dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Selanjutnya, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang BPK mengatur bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dari ketiga undangundang sebagaimana saya kutip tadi, dapat dilihat adanya dua definisi tentang keuangan negara yang di dalamnya memasukkan kekayaan negara yang dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Namun, kedua definisi itu tidak memberikan batasan pengertian yang sama atau tolok ukur yang sama tentang apa yang merupakan unsur-unsur dari keuangan negara. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberikan batasan pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun dan seterusnya, sedang Nomor 17 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 memberikan batasan pengertian keuangan negara lebih sempit, yaitu sebagai hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang dan seterusnya. Dari dua definisi itu saja, orang bisa berdebat jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, “Keuangan negara berarti seluruh kekayaan negara dan seterusnya.” Sedangkan jika mengacu kepada UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, “Keuangan negara berarti hak, dan kewajiban, dan seterusnya.” Samakah makna hukumnya antara seluruh kekayaan negara dengan hak dan kewajiban negara? Jawabannya pasti beda. Yang satu, wujudnya atau unsurnya adalah seluruh kekayaan yang berarti benda, zat, atau asset, dan dapat diperluas dengan istilah harta kekayaan, termasuk harta kekayaan negara. Dari sudut pandang hukum perdata, hukum bisnis itu merupakan objek hukum. Sedang yang lain, wujud dan 10
unsurnya adalah hak dan kewajiban. Dari sudut pandang hukum bisnis dia adalah subjek hukum. Jika dikupas lebih lanjut, hak dan kewajiban itu terkait erat dengan kedudukan subjek hukum. Subjek hukumlah yang menurut hukum dapat menyandang hak dan kewajiban. Badan hukum, recht persoon atau legal body, dalam teori hukum adalah subjek hukum di samping orang (natuurlijk persoon). Sedang harta kekayaan, zat, atau aset adalah segala sesuatu atau objek yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh suatu subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu. Dari uraian kami di atas, dapat saya simpulkan bahwa UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengartikan keuangan negara dari sudut pandang objeknya. Sedang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 mengartikan keuangan negara dari sudut subjeknya. Dari sini saja, jika masing-masing siapa pun yang terlibat dalam pelaksanaan undang-undang tersebut tidak menggunakan kriteria yang sama atau pendekatan, atau tolok ukur yang sama, dapat dipastikan dalam pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan. Pertanyaan yang kedua yang disampaikan kepada Ahli adalah apakah yang dimaksud dengan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi? Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi, definisi autentiknya justru tidak ditemukan di Undang-Undang Tipikor tersebut. Namun, dapat ditemukan di UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Di dalam Pasal 1 angka 22 dan Pasal 1 angka 15 di kedua undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang dimaksud dengan kerugian negara adalah kerugian uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kedua undang-undang tersebut mendefinisikan sama tentang apa yang dimaksud dengan kerugian negara. Jika dikaitkan dengan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara atau (suara tidak terdengar jelas) negara selalu merujuk kepada definisi kedua undangundang tersebut di atas. Yang ketiga, ditanyakan kepada saya oleh Kuasa Pemohon, apakah pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik, LPS mempunyai kewajiban untuk menjual saham bank gagal dalam penanganan, sekalipun harga saham bank gagal tersebut berada di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara. 11
Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS. Untuk bank gagal yang tidak berdampak sistemik, ditentukan bahwa dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Ayat (4) ini mengatur tahun keempat, menurut Ahli, maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat (3) dalam waktu satu tahun berikutnya. Artinya, tahun kelima menurut Ahli. Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 38 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS ditentukan bahwa dalam hal tingkat pengembalian yang optimal, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yaitu pada tahun kelima menurut Ahli, maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat-ayat sebelumnya, yaitu ketentuan ayat (2) dan ayat (3) dalam jangka waktu satu tahun berikutnya, yaitu tahun keenam menurut Ahli. Dengan mendasarkan pada kutipan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS, dapat diketahui bahwa LPS mempunyai kewajiban untuk menjual saham yang berada dalam penanganannya, apakah itu bank gagal yang tidak berdampak sistemik maupun bank gagal yang berdampak sistemik? Jika merujuk kepada bunyi Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS, harus diakui bahwa di sana memang tidak ada kata wajib pada bunyi pasal tersebut. Yang digunakan adalah kalimat LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat-ayat sebelumnya yang terkait dengan tingkat pengembalian yang optimal, yaitu paling sedikit seluruh … sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh LPS pada bank yang ditanganinya. Namun demikian, apabila ketentuan dalam ayat (5) tersebut dikaitkan dengan Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang LPS, maka dengan adanya kata wajib pada ketentuan ayat (1), menurut Ahli, dapat disimpulkan bahwa perbuatan hukum melakukan penjualan pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa harus mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh LPS. Hal ini tindakan penanganan yang dilakukan oleh LPS hanya bersifat sementara, sehingga dalam batas waktu yang ditentukan LPS harus menjual atau melepaskan seluruh saham bank gagal dalam penanganan dengan atau tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Oleh karena itu, sekalipun tidak ada kata wajib dalam ketentuan ayat (5) Pasal 42 tersebut, namun menurut Ahli, kaidah tersebut harus 12
diartikan bahwa LPS wajib menjual saham tersebut jika ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS telah dipenuhi. Ratio legisnya bahwa filosofi keadilan LPS dalam penanganan atau penyelamatan bank gagal adalah tidak untuk maksud dan tujuan menguasai atau memiliki saham bank tersebut selamanya. Oleh sebab itu, penempatan modal tersebut hanya bersifat temporer. Saya sebut sebagai visi temporer. Untuk kemudian jangka … dalam jangka waktu tertentu, penyertaan modal sementara yang berupa penguasaan saham bank yang dalam penanganan LPS pada saat yang ditentukan undang-undang wajib dijual kepada pihak ketiga secara transparan dan accountable. Pertanyaan yang keempat yang ditujukan kepada Ahli, apakah dapat dikategorikan terhadap kerugian negara … kerugian keuangan negara apabila pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik, LPS menjual saham bank di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara? Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, menjawab pertanyaan dia atas, tegas Ahli mengemukakan di sini kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS sebagaimana Ahli kutip di atas, perbuatan hukum LPS menjual saham bank di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara adalah perbuatan hukum yang sah, yang dilindungi oleh Undang-Undang LPS dan tidak dapat dikategorikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang bisa dikenai ancaman Undang-Undang Tipikor. Penjualan saham bank gagal tersebut adalah pelaksanaan dari amanat Undang-Undang LPS sendiri. Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia, izinkan Ahli mengemukakan argumentasi legal atas pendapat Ahli di atas sebagai berikut. Persoalan ada atau tidak adanya kerugian negara pada perbuatan hukum yang dilakukan oleh LPS akan terkait erat dengan jawaban atas pertanyaan ada atau tidak uang negara di LPS sebagai badan hukum publik? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. Jika dikaitkan dengan pengertian keuangan negara dan kerugian negara sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Tipikor, UndangUndang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Keuangan Negara, serta Undang-Undang BPK, sebagai Ahli kutip di atas, jawabannya adalah ada uang negara di LPS sebagai badan hukum publik, sebagai modal awal LPS yang diambil dari aset negara yang dipisahkan. Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang LPS mengatakan, “Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya 4 triliun dan sebesar-besarnya 8 13
triliun.” Ayat kedua dari Pasal 81 mengatakan, “Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan.” Dari ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa terdapat uang negara atau kekayaan negara yang dipisahkan sebagai modal awal LPS. Kemudian, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang LPS, LPS adalah badan hukum, pertanyaannya, LPS itu badan hukum privat atau badan hukum publik? Jika mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1), LPS itu didirikan atau dibentuk berdasarkan UndangUndang LPS. Makna teoretisnya LPS adalah badan hukum yang didirikan oleh penguasa atau atas dasar kekuasaan umum, dalam hal ini pemerintah atau negara. Pertanyaan lanjut, barangkali bisa dikemukakan, apakah pemerintah dapat mendirikan badan hukum? Berdasarkan ketentuan Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pemerintah yang menjalankan kekuasaan hukum dapat mendirikan perkumpulan atau suatu badan hukum untuk suatu tujuan tententu. Status badan hukum sah terjadi karena undang-undang, sebagai badan hukum, LPS mempunyai modal awal yang merupakan aset negara yang dipisahkan. Dalam teori hukum, aset yang dipisahkan yang merupakan ciri utama dari suatu badan hukum, yang menurut Ahli sudah merupakan (Ahli menggunakan bahasa asing) sudah merupakan communis opinio doctorum yang diakui oleh ahli-ahli di seluruh dunia, aset yang dipisahkan yang dijadikan modal awal suatu badan hukum, termasuk di sini adalah modal awal di LPS, secara hukum harus diakui sebagai aset LPS sebagai badan hukum. Tidak tepat jika aset tersebut kemudian masih diklaim, atau dikategorikan, atau dikualifikasikan sebagai bagian dari aset negara, sebagaimana hal ini diatur di dalam Undang-Undang Tipikor, UndangUndang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang BPK, atau bahkan undang-undang publik lainnya yang terkait. Sekalipun jika dikaitkan dengan definisi dan/atau pengertian keuangan negara dan kerugian negara, barangkali oleh penegak hukum masih akan dapat dianggap atau dikategorikan sebagai bagian dari keuangan negara. Yang artinya, menjadi bagian dari kekayaan negara, sekalipun telah dipisahkan. Dan jika timbul kerugian, maka akan dimasukkan ke dalam ranah kerugian negara yang dapat diperlakukan Undang-Undang Tipikor. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Dari uraian Ahli di atas, terlihat ada ketidakharmonisan norma atau ada ketidakharmonisan kaidah bagi Pimpinan LPS jika akan melaksanakan amanat UndangUndang LPS, seperti melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS, sebagaimana telah Ahli kemukakan tadi. Ada ketidakharmonisan antara Undang-Undang LPS di satu pihak berhadapan dengan Undang-Undang Tipikor, Undang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Keuangan Negara, dan 14
Undang-Undang BPK di pihak lain, ada semacam kegamangan bagi Pimpinan LPS jika harus melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS yang merupakan amanat undang-undang. Kegamangan itu terjadi manakala penjualan saham bank gagal tersebut yang sudah dapat dipastikan akan terjadi di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah nilai atau jumlah seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan LPS pada bank yang diselamatkan oleh LPS, namun di sisi lain akan dapat diartikan oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan tolok ukur undang-undang lain hasil penjualan di bawah tingkat pengembalian optimal atau di bawah nilai seluruh penempatan modal sementara tersebut, akan dinilai sebagai merugikan keuangan negara, yang ujungujungnya sudah barang tentu berpotensi dapat dikenai Undang-Undang Tipikor. Jika tidak ada kepastian hukum, siapa yang mau melakukan perbuatan hukum demikian? Bahwa karena melaksanakan ketentuan undang-undang yang berarti tidak ada unsur perbuatan melawan hukum, berpotensi masuk penjara karena dibidik dengan ketentuan undang-undang lain yang mengatur secara berbeda terhadap hal yang sama, yaitu soal yang berkaitan dengan masalah kerugian negara sebagai akibat dari perbuatan hukum melaksanakan Undang-Undang LPS tadi. Doktrin hukum sebenarnya sebagai salah satu sumber hukum sudah memberikan solusi adanya ketidakharmonisan norma ini. Adagium lex specialis derogat legi generalis, adagium lex posterior derogat legi priori, sebenarnya dapat dipakai sebagai rujukan untuk mencari jalan keluar atas ketidakharmonisan norma tersebut tidak berujung menjadi tepaka … petaka bagi orang yang melaksanakan ketentuan undangundang dengan iktikad baik. Ahli berpendapat bahwa Undang-Undang LPS adalah hukum khusus. Hal ini juga sesuai dengan risalah rapat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang LPS di Dewan Perwakilan Rakyat, antara lain pada halaman 368 dan halaman 369 dinyatakan di sana bahwa UndangUndang LPS merupakan lex specialis terhadap undang-undang lainnya. Konsekuensi logis lebih lanjut bahwa jika Pimpinan LPS membuat keputusan untuk menjual saham bank sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 30 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang LPS tersebut yang sudah pasti berpotensi mengakibatkan adanya kekurangan uang jika dibandingkan dengan modal awal atau penyertaan sementara awal pada saat menangani bank gagal dan bisa jadi jumlahnya pasti. Menurut Ahli, hal itu tidak bisa dikualifikasikan atau dikategorikan sebagai kerugian negara yang ujung-ujungnya dapat dikenai sanksi Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor. Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Izinkanlah Ahli mengutip penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor. Bahwa yang 15
dimaksud dengan unsur melawan hukum, mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yaitu bahwa meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup di … dengan dipenuhinya unsurunsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Tidak bisa dipungkiri bahwa rumusan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Tipikor adalah sangat luas, abstrak, sehingga memberikan ruang gerak yang luas, bahkan bisa cenderung eksesif bagi penerapan pasal tersebut. Dikatakan dalam penjelasan Pasal 2 tersebut, unsur melawan hukum mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil yang berarti bahwa perbuatan yang dituduhkan tidak harus melanggar peraturan perundang-undangan. Namun, perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum kalau perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Perumusan norma yang luas yang samarsamar memang dalam teori hukum tidak dapat disalahkan. Ada yang mengatakan bahwa perumusan yang demikian itu disebut sebagai perumusan blanket norm (norma kabur atau norma terbuka). Ada yang mengatakan, perumusan tersebut merupakan perumusan yang bersifat multipurpose atau (suara tidak terdengar jelas). Perumusan demikian terpaksa dilakukan karena adanya antinomi, yaitu suatu kondisi dimana terjadi suatu pertentangan antara dua hal yang saling (suara tidak terdengar jelas), tetapi kedua-duanya tetap dibutuhkan. Keprihatinan korupsi yang bagaikan penyakit kanker yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya telah memunculkan adanya norma terbuka yang menghendaki peraturan hukum atau norma hukum yang mampu menampung dinamika perkembangan hukum dalam masyarakat. Di pihak lain, penyelamatan kondisi krisis perekonomian yang disebabkan karena adanya bank gagal yang berdampak sistemik, juga memerlukan norma yang memberikan tingkat kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Izinkan, Yang Mulia. Saya mengutip pendapat (suara tidak terdengar jelas) dalam bukunya (Ahli menggunakan bahasa asing) halaman 171 dan 172. Mempertanyakan dalam derajat apa, hakim bebas pada konkretisasi dari pengertian norma kabur tersebut. Karena adanya norma kabur (blanket norm), maka penerapannya harus arif dan ekstra hati-hati agar tidak eksesif. Mengapa demikian?
16
Izinkan saya mengutip pendapat dari Prof. Muzakkir, Dosen Fakultas Hukum UII. Karena istilah-istilah dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tipikor mengandung norma kabur yang dapat diartikan secara subjektif dan bisa bermakna relatif tanpa parameter yang jelas. Dan dalam hukum pidana, sebenarnya rumusan yang samar-samar dan abstrak demikian tidak dikehendaki. Rumusan seperti perbuatan pidana yang seharusnya konkret, rumusan suatu perbuatan pidana seharusnya tegas, konkret, tidak multitafsir, sehingga mudah dipahami dan mudah diterapkan dalam praktik tanpa eksesif. Oleh karena itu, menurut Prof. Umar Sinoraji diperlukan (Ahli menggunakan bahasa asing), yaitu suatu penghalusan hukum dalam menafsirkan norma tersebut. Rumusan dalam Undang-Undang Tipikor inilah yang menurut Ahli membuat gamang dari Pimpinan LPS dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang LPS. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, sebagai penutup uraian Ahli bahwa demi kepastian hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Ahli menyimpulkan bahwa jika Pimpinan LPS melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 UndangUndang LPS, perbuatan hukum tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum yang tidak benar jika kemudian dimaknai secara berbeda menurut ketentuan undang-undang lain yang dapat dikualifikasikan sebagai telah merugikan keuangan negara yang akhirnya akan dapat dikenai ketentuan Undang-Undang Tipikor. Dengan demikian, Ahli berpendapat bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang LPS adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 apabila tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan LPS pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal, merupakan tindakan yang sah menurut hukum. Dan oleh karena itu, tidak seharusnya pihakpihak lain mempermasalahkan tindakan tersebut. Demikian Hakim Yang Mulia Mahkamah Konstitusi, pendapat Ahli atas permintaan dari Kuasa Pemohon LPS. Selebih dan kekurangannya, saya mohon maaf. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan, saya ucapkan terima kasih dan saya sampaikan kepada Hakim Yang Mulia saya sudah membuat tulisan yang saya bacakan tadi dan sudah saya serahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. Terima kasih. 22.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Selanjutnya saya persilakan Prof. Eddy Hiariej.
17
23.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia selamat siang. Assalamualaikum wr. wb dan salam sejahtera. Izinkan Ahli menyampaikan pendapat hukum terkait Pengujian Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. 1. Bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan, pada pokoknya menyatakan dalam hal tingkat pengembalian yang optimal, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka LPS menjual saham bank tanpa memerhatikan ketentuan ayat (3) dalam satu tahun berikutnya. 2. Bahwa pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar tahun 1945. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, berdasarkan pasal-pasal a quo ada 6 pertanyaan yang dimintakan penjelasan lebih lanjut kepada ahli. Pertama, apakah yang dimaksudkan dengan kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi? Terhadap pertanyaan tersebut, pertama-tama harus dipahami bahwa ada konflik norma antara Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UndangUndang Keuangan Negara di satu sisi, dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Badan Usaha Milik negara di sisi lain, khususnya yang berkaitan dengan terminologi keuangan negara. Konflik norma tersebut secara mutatis mutandis memberikan dampak adanya ketidakpastian hukum terhadap pelaksanaan suatu undang-undang. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ketigapuluh perbuatan tersebut dapat dibagi ke dalam 7 kategori yang salah satu kategorinya adalah korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo. Namun apabila ketujuh kategori tersebut mau diperas lagi, maka sebenarnya inti dari tindak pidana korupsi adalah suatu bribery. Tegasnya, bila suatu perbuatan dalam menjalankan tugas sebagai elemen dari negara atau pemerintah, itu ada suatu penyuapan di dalamnya atau bribery, maka tidak lain dan tidak bukan perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana korupsi. Terkait permasalahan yuridis yang pertama ini, kiranya dapat dijawab bahwa kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana 18
korupsi adalah suatu kerugian keuangan yang dialami negara yang diakibatkan oleh adanya suatu penyuapan atau bribery dalam menjalankan tugas oleh instrumen negara atau pemerintah tersebut. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, permasalahan yuridis yang kedua, yang menurut ahli krusial dalam permohonan a quo, apakah setiap adanya kerugian keuangan negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi? Sebagai jawaban terkait permasalahan yuridis yang kedua tersebut di atas, menurut Ahli tidak setiap kerugian keuangan negara adalah suatu tindak pidana korupsi. Karena sangat mungkin bahwa kerugian keuangan negara tersebut diakibatkan adanya suatu perbuatan yang secara murni masuk dalam ranah hukum perdata atau administrasi. Majelis Yang Mulia, pengalaman Ahli berkali-kali menjadi Ahli di pengadilan tindak pidana korupsi. Penuntut umum selalu memfokuskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Entah tidak tahu, atau lupa, atau memang sulit dalam penerapan, penuntut umum dan negara jarang sekali atau bahkan tidak pernah melirik kepada Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang sebetulnya secara tegas menyatakan di situ bahwa sangat mungkin ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak ada pidana di dalamnya. Oleh karena itu, ketika pasal tersebut memerintahkan kepada jaksa pengacara negara untuk melakukan gugatan perdata terhadap kerugian keuangan negara. Artinya, pasal-pasal tersebut mengakomodasi kerugian keuangan negara dalam sektor perdata dan bukan sektor pidana. Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, telah sangat jelas bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri telah memuat dan mengatur hal-hal atau keadaan-keadaan yang mana telah terjadi kerugian negara, namun hal-hal atau keadaan-keadaan mana yang terjadi kerugian negara, namun bukan diakibatkan oleh suatu tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, maka cukuplah dilakukan upaya hukum dalam undang-undang a quo adalah dengan gugatan perdata dengan tujuan utama adalah mengembalikan kerugian keuangan negara. Kalaupun memang kerugian keuangan negara yang terjadi diakibatkan atas suatu perbuatan pidana, maka tidak serta-merta itu adalah tindak pidana korupsi. Karena beberapa undang-undang juga mengenal kerugian keuangan negara, tetapi tidak termasuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Antara lain, Undang-Undang Pokok Ketentuan Perpajakan dan Undang-Undang Perbankan. Majelis Mahakamah Konstitusi Yang Mulia, perihal yang juga perlu dibahas sebagaimana permasalahan yuridis ketiga dalam permohonan ini adalah terkait pertanyaan, apabila pada tahun kelima, pada bank yang gagal, yang tidak berdampak sistemik, atau tahun keenam pada bank 19
gagal yang berdampak sistemik, LPS secara transparan dan terbuka menjual saham bank gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara. Apakah tingkat tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara? Dan permasalahan selanjutnya, sekaligus sebagai permasalahan yuridis yang keempat, apakah LPS atau Pimpinan LPS dapat dituntut apabila LPS pada tahun kelima, pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik, menjual saham bank gagal di bawah tingkat pengembalian yang optimal atau di bawah tingkat penyertaan modal sementara? Terjhadap pertanyaan ketiga menurut Ahli, perbuatan yang demikian dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindakan yang dapat disamaratakan dengan suatu kebijakan bisnis, yang tentunya tidak terlepas dari adanya resiko bisnis. Mengenai hal ini, Romli Atmasasmita dengan menyitir pendapat Cooter dan Ullen dengan berdasar pada teori kesalahan dalam hukum pidana, lalu disandingkan dengan menggunakan pendekatan ekonomi, Ullen menyusun skala kesalahan atau culpability scale, yang menyusun berikut ini, yang menurut Ahli dapat dipergunakan sebagai parameter untuk menilai suatu perbuatan dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ataukah tidak? Dalam skala tersebut, perbuatan pelaku bisnis ditempatkan di antara careful blameless dan negligent blameless dengan presumsi bahwa skala careful blameless berada di bawah negligent blameless, dan skala negligent blameless berada di bawah skala intentional blameless. Jika pelaku bisnis melampaui batas skala negligent blameless, maka yang bersangkutan telah memasuki lingkup batas yang disebut criminal wrongs, sehingga dapat dipidana. Adapun jika perbuatan pelaku bisnis masih dalam batas civil wrongs, maka terhadap yang bersangkutan masih dapat diterapkan penegak hukum … penegakan hukum perdata ataupun administrasi terhadapnya. Ketentuan demikian, pada dasarnya berkaitan dengan Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang secara doktrin merupakan lex specialis sistematis. Terkait hal tersebut, dengan mengutip pendapat Romli, di situ dikatakan bahwa pembentuk undangundang tidak menghendaki bahwa Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan sebagai “pukat harimau” sematamata, jika kesemua unsur delik telah terpenuhi. Ketentuan dalam Pasal 14 tersebut dimaksudkan untuk dapat mencegah kekhawatiran terjadi penegakan hukum pidana yang mengutamakan sebagai primum remidium dan bukan ultimum remidium. Sehingga prinsip proporsionalitas dan prinsip subsidiaritas dalam doktrin hukum pidana, tetap dapat dijaga, dan dipertahankan oleh aparat penegak hukum. Romli pada dasarnya menempatkan pemikiran sejalan dengan pemikiran Cooter dan Ullen yang menegaskan bahwa 20
hanya perbuatan yang telah melampaui batas/cross-border, kategori fault/kesalahan, dan memasuki kategori guilt/kesengajaan, penulis istilahkan dengan intention, yang dapat dijatuhi sanksi pidana. Sedangkan jika hanya memenuhi parameter sebagai fault, maka cukup diberikan sanksi perdata atau peringatan tertulis. Berdasarkan penjelasan tersebut, kiranya untuk permasalahan yuridis ketiga dapat dijawab bahwa apa yang dilakukan oleh LPS tesebut tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana, lebih khususnya, tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Karena apa yang dilakukan oleh LPS tersebut adalah suatu perbuatan hukum yang memang diperintahkan atau diwajibkan oleh undang-undang yang mengaturnya, yaitu UndangUndang Lembaga Penjamin Simpanan. Tindakan penjualan yang dilakukan oleh LPS pada tahun kelima atau keenam, dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum dalam rangka melaksanakan kewajiban LPS yang tegas-tegas diatur dalam undang-undang. Jadi terlihat dengan jelas adanya kewajiban hukum LPS untuk melakukan penjualan saham bank apabila secara komprehensif memahami ... apabila kita memahami secara komprehensif seluruh ketentuan atau ayat yang diatur dalam Pasal 30, Pasal 38, Pasal 42 Undang-Undang LPS, dimana dalam setiap ayat (1) Pasal 30, Pasal 38, dan Pasal 42 undang-undang a quo disebutkan sebagai berikut. LPS wajib menjual saham bank yang diselamatkan. Dengan ada kata wajib pada ayat (1) tersebut, LPS tidak memiliki pilihan lain selain dari melaksanakan kewajiban untuk menjual seluruh saham bank gagal dan dalam batas waktu yang telah ditentukan Undang-Undang LPS tanpa perlu memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal. Oleh karena itu, dengan berdasarkan teori yang diberikan oleh Cooter dan Ullen, keadaan yang dialami atau dapat dilaksanakan ... dikatakan amanah Undang-Undang LPS yang dibebankan kepada LPS tersebut tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai intentional guild, sehingga tidak dapat dipidana. Selanjutnya, untuk menjawab permasalahan yuridis yang keempat, dengan berdasarkan pada jawaban permasalahan yuridis yang ketiga, maka terhadap LPS atau Pimpinan LPS tidak dapat dituntut atas perbuatan hukum yang dilakukannya. Hal ini karena telah jelas bahwa apa yang dilakukan tersebut adalah suatu perintah undang-undang, sehingga tidak ada sifat melawan hukumnya. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tindakan penjualan pada tahun kelima atau tahun keenam tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal yang dilakukan oleh LPS atau Pimpinan LPS merupakan tindakan yang sah. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Permasalahan selanjutnya atau permasalahan yuridis kelima adalah perihal siapakah subjek hukum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Apakah hanya orang perorangan atau dapat berbentuk badan 21
hukum? Dan selanjutnya, yang juga merupakan permasalahan yuridis keenam adalah apakah seseorang atau badan hukum dapat dituntut pidana apabila orang atau badan hukum tersebut melaksanakan tindakan yang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku? Untuk menjawab pertanyaan yang kelima, tentunya kita akan melihat kepada Adresat yang terdapat sebagai subjek hukum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berdasarkan bunyi Pasal 1 ketentuan umum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi angka 3, setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk di dalamnya adalah korporasi. Adapun korporasi sendiri diberikan definisi sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Terkait pertanyaan keenam, kiranya perlu Ahli jelaskan mengenai melaksanakan perintah undang-undang sebagai alasan penghapus pidana umum menurut undang-undang yang termaktub dalam Pasal 50 KUHP, “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.” Memorie van Toelichting menjelaskan pasal ini sebagai berikut. Untuk melaksanakan peraturan seperti itu, tidaklah bertindak setiap orang yang menggunakan haknya untuk melakukan suatu perbuatan, yakni telah melakukan suatu berdasarkan perbuatan tertentu untuk menerapkan peraturan. Ketentuan Pasal 50 KUHP ini merupakan pertentangan antara dua kewajiban hukum, artinya perbuatan tersebut di satu sisi menaati suatu peraturan, namun di sisi lain, perbuatan tersebut melanggar peraturan yang lain. Oleh karena itu, untuk melaksanakan perintah undang-undang digunakan theory of lesser evils atau teori tingkat kejahatan yang lebih ringan. Dengan demikian, melaksanakan perintah undang-undang merupakan dasar alasan pembenar yang menghapus elemen melawan hukumnya perbuatan. Berdasarkan uraian tersebut, tampak nyata diperlukan pemahaman mengenai, pertama, pengertian peraturan perundangundangan. Pada mulanya, tahun 1887 hanya ditafsirkan secara sempit oleh Hoge Raad yang hanya dipandang undang-undang semata, yaitu peraturan yang dibuat oleh DPR dan presiden. Namun, sejak tahun 1899 berdasarkan Aresst, tanggal 26 Juni 1899, W. 7303 Hoge Raad, menafsirkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah setiap peraturan yang telah dibuat oleh kekuasaan yang berwenang, dengan maksud tersebut menurut undang-undang atau undang-undang dalam arti materiil, yaitu segala peraturan umum yang bersifat mengikat. Bahkan lebih dari itu, melaksanakan ketentuan undang-undang, termasuk di dalamnya adalah melaksanakan suatu kekuasaan, 22
sebagaimana pertimbangan Hoge Raad dalam putusan tertanggal 28 Oktober 1895. Pertimbangan Hoge Raad ini tidak disetujui oleh Pompe, yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 50 KUHP hanyalah untuk melaksanakan suatu kewajiban yang timbul dari undang-undang. Namun pendapat ... pendapat Pompe ini didasarkan pada Memorie van Toelichting yang juga diikuti oleh Noyon dan Langemeijer. Sebaliknya, Jonkers maupun Vos berpendapat bahwa putusan Hoge Raad yang mengartikan undang-undang secara luas, termasuk melaksanakan suatu kekuasaan adalah lebih tepat. Vos menyatakan bahwa melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan, ter uitvoering van een wettelijk voorschrift adalah suatu kemanfaatan publik dan kepentingan umum. Kedua, melakukan perbuatan tertentu yang kemudian ditafsirkan sebagai kewenangan. Satochid Kartanegara menegaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan kewenangan, walaupun cara pelaksanaan undang-undang itu tidak diatur tegas dalam undang-undang, namun cara itu harus seimbang dan patut. Perlu pula diperhatikan bahwa arrest Hoge Raad tanggal 14 Oktober 1940 N.J. 1941 Nomor 165 menyatakan bahwa untuk memberlakukan Pasal 50 KUHP itu disyaratkan adanya pelaksanaan suatu kewajiban menurut undang-undang. Remmelink berpendapat bahwa melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal a quo, diartikan sebagai suatu tindakan yang telah memenuhi unsur delik. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana kita dapat menjalankan suatu ketentuan para … perundang-undangan, namun pada saat yang sama, melakukan suatu tindak pidana. Remmelink menjawab hal tersebut dengan menyatakan bahwa banyak ketentuan delik yang dirumuskan terlalu luas, sehingga meliputi perbuatan-perbuatan lain yang sebenarnya diatur dan disyaratkan di dalam ketentuan lainnya. Dalam melaksanakan perintah undang-undang, prinsip yang dipakai adalah subsidiaritas dan proporsionalitas. Prinsip subsidiaritas dalam kaitannya dalam perbuatan pelaku adalah melaksanakan peraturan undang-undang dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Sedangkan prinsip proporsionalitas, yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum yang lebih besarlah yang diutamakan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang-undang adalah karakter dari pelaku. Apakah pelaku tersebut selalu melaksanakan tugas-tugas dengan iktikad baik ataukah justru sebaliknya. Contoh melaksanakan perintah undang-undang adalah seorang jurusita yang dalam rangka mengosongkan rumah menaruh barang-barang yang disitanya di jalan. Hal ini bertentangan dengan peraturan yang melarang menaruh barang-barang di jalan, akan tetapi perbuatan jurusita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam hal ini mengosongkan rumah berdasarkan putusan pengadilan. Terkait pertanyaan keenam, dengan berdasarkan teori-teori tersebut di atas, dapat disumpulkan bahwa seseorang atau badan 23
hukum tidaklah dapat dituntut apabila melaksanakan tindakan yang dipertintahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melaksanakan suatu perintah undang-undang, tentunya menggambarkan tiada niat jahat dalam melakukan tugas tersebut. Padahal sebagaimana yang kita pahami dalam hukum pidana, niat jahat atau mens rea merupakan salah satu unsur mutlak untuk menetukan adanya suatu kesalahan pada diri pelaku perbuatan pidana. Dengan tiadanya kesalahan, maka tiada pindana di dalamnya, asas geen straf zonder schuld. Dengan demikian, LPS atau Pimpinan LPS tidaklah dapat dituntut atau dengan kata lain tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila apa yang dilakukan tersebut adalah demi melaksanakan perintah undang-undang, dalam hal ini adalah Undang-Undang LPS itu sendiri. Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, terkait permasalahanpermasalahan yuridis tersebut di atas beserta penjelasannya, kiranya perlu Ahli tegaskan sebagai berikut. Bahwa Pasal 30 ayat (5), Pasal 38 ayat (5), dan Pasal 42 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang ketentuan tersebut tidak dimaknai bahwa tindakan penjualan yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun kelima pada bank gagal yang tidak berdampak sistemik atau tahun keenam pada bank gagal yang berdampak sistemik tanpa memerhatikan tingkat pengembalian yang optimal merupakan tindakan yang sah dalam menjalankan kewajiban hukum Lembaga Penjamin Simpanan secara terbuka dan transparan dan karenanya tidak dapat dituntut. Sekian dan terima kasih, selamat siang. Wabillahitaufik walhidayah, wassalammualaikum wr.wb. Salam sejahtera. 24.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Saudara Pemohon ada pertanyaan untuk Ahli?
25.
KUASA HUKUM PEMOHON: ERI HERTIAWAN Terima kasih, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Dari kami tidak ada pertanyaan.
26.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup, ya. Baik, dari Pemerintah?
27.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI
24
Cukup. 28.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup. Hakim? Coba saya tanya sedikit saja kepada ketiga Ahli, ya. Ini kalau mengikuti tadi rumusan akhir kesimpulan dari masing-masing tiga Ahli bahwa tindakan LPS dalam melaksanakan undang-undang itu, itu otomatis dianggap sah dan itu dikunci. Kemungkinan adanya LPS yang melakukan iktikad buruk bagaimana itu? Ini kan tadi dijelaskan oleh Prof. Eddy Hiariej bahwa ada intensi yang harus diteliti. Kalau sudah diformalkan final bahwa itu sah, padahal ada intensi yang terbukti bahwa intensi yang terbukti yang mengandung niat jahat, bagaimana ini? Karena ini sudah dikunci, jadi sama sekali tidak ada peluang untuk bisa masuk, tidak tersentuh lagi, begitulah istilahnya. Bagaimana itu? Ini persoalan yang rumit, coba … jalan keluarnya bagaimana? Ini atau ini masalah yang terkait dengan implementasi atau memang harus dirumuskan secara formal begitu, ini perlu ada gambaran karena kita ke sana membebaskan orang, ke sini memasukkan orang, begitu. Ya, silakan, singkat saja.
29.
AHLI DARI PEMOHON: NINDYO PRAMONO Ya, terima kasih, Yang Mulia, izinkan saya lebih dulu untuk menyampaikan pandangan saya, dari pertanyaan Hakim Yang Mulia. Kalau pandangan saya dari hukum bisnis, saya katakan bahwa kalau Pimpinan LPS sudah memenuhi ketentuan Pasal 32 ayat (5), Pasal 38, kemudian Pasal 42, tentunya kriteria sah itu harus memenuhi kriteria pasal itu, Yang Mulia. Kalau sejak awal … saya ambil contoh konkretnya saja, Pimpinan LPS menjual murah, tetapi ada intensi di dalamnya, maaf mungkin terima suap atau ada deal tertentu dengan pihak calon investor, jelas itu menurut saya tidak sah. Sah memenuhi kriteria undang-undang, Yang Mulia. Jadi, kalau tidak memenuhi kriteria itu, tentunya tidak masuk dalam kualifikasi sah. Menurut kami demikian, terima kasih.
30.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, baik. Ya, silakan.
31.
AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ Ya, saya tambahkan sedikit, Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Dr. Hamdan Zoelva. Saya kira, memang persoalan mens rea atau persoalan intensi, ini memang sangat penting dalam hukum pidana. 25
Dan saya kira memang ini, di satu sisi. Sementara di sisi lain, orang yang telah melaksanakan perintah undang-undang sesuai dengan apa yang tercantum di dalam undang-undang tersebut termasuk parameternya, dia tidak dapat dituntut secara pidana. Saya mau mengambil suatu contoh konkret, Yang Mulia. Kita lihat dalam Pasal 45 Undang-Undang Bank Indonesia. Di situ dinyatakan dengan tegas bahwa Gubernur beserta Dewan Gubernur tidak dapat dituntut karena mengambil suatu kebijakan dan seterusnya. Tetapi kita lihat, dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus Syahril Sabirin, ketika mengucurkan dana 900 milyar kepada Bank Bali, di situ Hakim menganggap ada intensi karena pengucuran dana tersebut bukan lagi berdasarkan parameter yang ditentukan oleh Undang-Undang Bank Indonesia, tetapi ada pertemuan di Hotel Mulia. Dianggap Gubernur Bank Indonesia menerima intervensi. Jadi, kalau ketika apa yang ditanyakan Yang Mulia Dr. Hamdan Zoelva, ini kita tidak mungkin terlepas dari kasus konkret untuk mengukur apakah orang itu punya intensi ataukah tidak. Tetapi normally, suatu ketentuan undang-undang, ketika seorang pejabat telah bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, memang dia memiliki kekebalan, dalam pengertian tidak dapat dituntut. Demikian, Yang Mulia. 32.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya.
33.
AHLI DARI PEMOHON: ZAINAL ARIFIN MOCHTAR Terima kasih, Yang Mulia. Saya tambahkan sedikit, Yang Mulia. Yang pertama, barangkali Yang Mulia bisa melihat ke beberapa pasal di Pasal 92 sampai ke sekian, yang memang sudah ada mengklarifikasi beberapa pelanggaran yang bisa dilakukan oleh LPS dan itu ada aturan pidananya secara jelas. Yang kedua adalah saya sesungguhnya melihatnya bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Hakim-Hakim konstitusi Yang Mulia bisa mengkualifikasi sesungguhnya pada kondisi apa, kemudian tindakan LPS itu dinyatakan sebagai tindakan yang keliru dan tindakan LPS pada kualifikasi mana tindakan itu menjadi tindakan yang sudah menyelenggarakan semacam good corporate governance dalam proses penjualan. Jadi, ketika ada suatu hal yang dilanggar, misalnya tidak melakukannya secara terbuka, tidak melakukannya secara transparan, tidak melakukannya secara … apa … memperlakukan sama semua penawaran, maka tentu itu bisa dianggap sebagai bagian dari intensi yang melakukan tindakan yang tidak benar dan karenanya bisa dipidana. 26
Tetapi, kalau alat ukurnya dipenuhi, seperti misalnya terbuka, lalu transparan, lalu kemudian diberikan kesempatan yang sama, dan alat ukur yang biasanya secara hukum bisnis biasanya ada, itu bisa dianggap sebagai sebuah tindakan yang benar secara hukum, Yang Mulia. 34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Samalah ketiganya, tidak memakai kunci mati, tetapi kunci inggris begitu. Baik, Pemohon masih ada … masih ada Ahli yang akan diajukan?
35.
KUASA HUKUM PEMOHON: ERI HERTIAWAN Kami tidak akan ajukan Ahli lagi. Jadi, cukup hanya 3 orang Ahli hari ini, terima kasih.
36.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup hanya 3, baik. Pemerintah?
37.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Sama dengan Pemohon, Yang Mulia, Pemerintah cukup.
38.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dianggap cukup. Baik, dengan demikian, sidang pemeriksaan pembuktian dalam perkara ini selesai. Dan selanjutnya kepada Pemohon dan Pemerintah dapat menyampaikan kesimpulan paling lambat pada hari Rabu, tanggal 10 September 2014, pukul 14.00 WIB, langsung kepada Kepaniteraan. Terima aksih kepada para Ahli, dengan demikian sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.23 WIB Jakarta, 1 September 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 27
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
28