MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 95/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PRESIDEN (VIII)
JAKARTA SELASA, 27 JANUARI 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 95/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan [Pasal 1 angka 3, Pasal 6 ayat (1) huruf d, Pasal 11 ayat (4), Pasal 17 ayat (1), ayat (2) huruf b, Pasal 26, Pasal 46 ayat (2), ayat (3), Pasal 46 ayat (4), Pasal 52 ayat (1), Pasal 82 ayat (1), ayat (2), Pasal 83 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 87 ayat (1) huruf b, huruf c, ayat (2) huruf b, huruf c, ayat (3), Pasal 88 ayat (1) huruf a, Pasal 92 ayat (1), Pasal 94 ayat (1), Pasal 110 huruf b] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. 2. 3.
Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo Edi Kuswanto Rosidi bin Parmo, dkk.
ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Presiden (VIII) Selasa, 27 Januari 2015, Pukul 11.10 – 12.50 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Anwar Usman Muhammad Alim Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams Patrialis Akbar I Dewa Gede Palguna Suhartoyo
Ida Ria Tambunan
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4.
Andi Muttaqien Judianto Simanjuntak Ronald Siahaan Muhammad Irwan
B. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gunardo Agung Prasetyo Budijono Tri Rahmanto Jaya Edward Sembiring Agus Prabowo
C. Ahli dari Pemerintah: 1. Rahayu 2. Chairil Anwar 3. I Made Subadia Gelgel
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.10 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 95/PUUXII/2014 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya cek dulu kehadirannya. Pemohon, yang hadir? Dinyalakan supaya masuk direkam.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI MUTTAQIEN Ya. Kami hadir bertiga, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Yang mewakili Presiden dari Pemerintah yang hadir?
4.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Kementerian Kehutanan dan dari Kementerian Hukum dan HAM. Hadir di sini lengkap Tim Kuasa Hukum dari Pemerintah, terima kasih.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Agenda pada persidangan pagi hari ini adalah mendengarkan Ahli yang diajukan oleh Pemerintah. Ada tiga orang Ahli yang sudah ... mestinya enam ya kemarin, ya? Tapi karena persidangan agendanya hanya cukup untuk mendengar tiga orang Ahli, maka pada hari ini tiga orang Ahli dulu yang kita dengarkan keterangannya, ya. Baik, saya persilakan untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya. Prof. Dr. Rahayu, silakan maju ke depan. Prof. Dr. Ir. Chairil Anwar. Yang ketiga, Pak Ir. I Made Subadia Gelgel, saya persilakan. Untuk dua orang beragama Islam di sebelah kiri saya. Yang Muslim, sebelah kiri. Untuk yang Hindu, di sebelah kanan. Untuk yang Muslim saya persilakan, Yang Mulia Pak Alim, saya persilakan.
6.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya, mulai yang beragama Islam, kita mulai.
1
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 7.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Untuk Pak Made Subadia, saya persilakan Yang Mulia Pak Palguna.
10.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik. Pak Made, ikuti sumpah yang akan saya bacakan, ya. “Om Atah Paramawisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om Shanti Shanti Shanti Om.”
11.
AHLI BERAGAMA HINDU: Om Atah Paramawisesa. Saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om Shanti Shanti Shanti Om.
12.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Kembali ke tempat. Saya tanya terlebih dulu pada Pemerintah, siapa dulu yang akan memberikan keterangan Ahli?
13.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Mungkin ada sedikit ralat bahwa Pak Made Subadia Gelgel kami hadapkan sebagai Saksi, bukan Ahli.
14.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, kalau begitu sumpahnya lain. 2
15.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik. Jadi, tadi kami mengajukan belum sempat terlihat, sehingga kami mohon izin untuk meralat.
16.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, gitu. Ya, harus diulang kalau begitu.
17.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Sebagai Saksi Fakta.
18.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Sumpah yang terdahulu dibatalkan, ya. Sekarang silakan maju ke depan, Pak Made sebagai Saksi, ya. Yang Mulia, saya persilakan. Sebagai Saksi, Yang Mulia.
19.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik. Ikuti lafal sumpah yang akan saya ucapkan, Pak Made. “Om Atah Paramawisesa. Saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Om Shanti Shanti Shanti Om.”
20.
SAKSI BERAGAMA HINDU: Om Atah Paramawisesa. Saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Om Shanti Shanti Shanti Om.
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Silakan kembali ke tempat, Pak Made. Siapa dulu ini? Saksi dulu atau Ahli dulu?
22.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik, terima kasih, Yang Mulia. Mohon izin, kami bisa menghadirkan Pak Made terlebih dahulu selaku Saksi Fakta, Beliau adalah selaku Ketua Tim Perumus lahirnya undang-undang yang sekarang diajukan uji konstitusionalitas ini, sehingga Beliau akan (suara tidak terdengar jelas) (...)
3
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, akan ditanya oleh Pemerintah atau langsung memberikan kesaksiannya?
24.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Beliau sementara memberikan kesaksiannya saja.
25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik. Silakan, Pak Made, untuk di mimbar memberikan kesaksiannya. Jadi, memberikan kesaksian apa yang dilihat, apa yang didengar, bukan pendapat, ya. Saya persilakan.
26.
SAKSI DARI PEMERINTAH: I MADE SUBADIA GELGEL Terima kasih, Yang Mulia Bapak, Ibu Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang terhormat Panitera, serta teman-teman Para Saksi, Ahli, serta hadirin yang berbahagia, selamat siang. Pertama-tama, perkenankan kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak yang telah memberi saya kesempatan untuk menjadi Kuasa Hukum Presiden guna menyampaikan keterangan saksi dalam Sidang Pleno Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Yang Mulia Bapak, Ibu Hakim. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia, serta negara dengan kekayaan keragaman aneka hayati kedua di dunia. Tapi di balik itu, Indonesia juga disebut sebagai negara dengan laju kerusakan hutan yang tertinggi. Pada periode tahun 2000-an, Indonesia pernah mengalami laju kerusakan hampir 3.000.000 hektare per tahun. Kerusakan hutan, terutama terjadi karena pembalakan liar, kebakaran hutan yang diawali dengan pendudukan hutan secara ilegal, serta belakangan ini, akibat perkebunan liar, dan penambangan liar. Nilai yang menjadi dasar kenapa rancangan undang-undang ini dibuat untuk 3 kasus kejahatan kerusakan hutan. Pengalaman kami sebagai dirjen maupun staf ahli menteri yang bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah ini, undang-undang di bidang kehutanan yang telah ada kurang mempu menjawab masalah dan tantangan kerusakan hutan yang modusnya terus berkembang. Undang-Undang Nomor 18 dirancang untuk mampu menjawab tantangan tersebut melalui penguatan penegakan hukum terhadap kejahatan terorganisir untuk memberi efek jera. Penguatan ini tercermin 4
dalam ketentuan pemberatan sanksi, perluasan larangan, penguatan proses penyidikan, termasuk koordinasi dengan lembaga lain dalam pengumpulan saksi-saksi penyidikan, perluasan subjek hukum, pemodal, penadah, pejabat, korupsi, dalam hal ini kami tekankan, termasuk pejabat juga di dalam undang-undang dirancang sanksi pidananya, alat bukti percepatan peradilan. Dibandingkan dengan undang-undang yang telah ada, Undang-Undang Nomor 18 muatan materinya jauh lebih komprehensif. Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia. Keterlibatan masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam menjaga kelestarian hutan amatlah penting. Secara umum, peran positif mereka telah terbukti sebagaimana yang saya ketahui dan saya alami di Bali maupun di beberapa tempat di Kalimantan. Namun, tidak bisa dipungkiri karena beberapa keterbatasan, kadang-kadang mereka secara berkelompok melakukan kegiatan pemanfaatan hutan yang dapat merusak hutan, seperti aktivitas tambang liar, maupun perkebunan liar di beberapa tempat di Kalimantan, di Sulawesi, dan juga di Sumatera. Undang-Undang Nomor 18 mengatur penguatan, pencegahan, dan pemberantasan, termasuk penguatan masyarakat, pengakuan hak tradisional, juga sanksi hukum bagi masyarakat lokal yang melakukan aktivitas merusak hutan secara terorganisasi. Kekhawatiran pihak tertentu tentang eksistensi masyarakat local, sebenarnya tidak perlu terjadi karena aktivitas individu mereka tidak diatur dalam undangundang ini. Gambaran ini bisa dilihat dalam pasal pengertian orang per orangan, maupun pengertian kejahatan terorganisasi yang memuat kriteria terstruktur dan dengan tujuan merusak hutan, serta mengecualikan kegiatan kelompok peladang tradisional. Namun, apabila masyarakat sebagai kelompok individu melakukan pemanfaatan kayu untuk kepentingan sendiri diatur mekanisme izin. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, PP 6, PP 3, dan izin ini cukup diberikan oleh pejabat setempat. Dalam pembahasan norma, tim berpendapat mekanisme perizinan untuk kelompok masyarakat ini tetap diperlukan. Karena kalau tidak, ditengarai akan menjadi salah satu modus perusakan hutan oleh para pemodal. Sebagai yang pernah terjadi di beberapa tempat, laporan para penyidik kami menyebutkan di NTB, Sorong, Taman Nasional Berbak Kalimantan ini juga, pernah terjadi hal-hal seperti ini. Untuk proses perizinan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 46 Tahun 2009 tentang Cara Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi bagi masyarakat lokal yang perizinannya cukup diberikan oleh pejabat daerah. Dikaitkan dengan hak masyarakat hukum adat, masyarakat yang pengakuannya diterapkan dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia mengetahuinya dengan baik. Pasal 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Putusan Perkara MK 5
Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 18 Juni, Putusan MK Nomor 6 Tahun 2008 tanggal 18 Juni. Kami informasikan bahwa dalam pembahasan norma di dalam rancangan undang-undang yang menjadi UndangUndang Nomor 18, tim tidak merumuskan keterkaitan masyarakat hukum adat dengan norma dalam undang-undang. Karena wilayah masyarakat hukum adat apabila keberadaannya sebagai masyarakat hukum adat telah diakui perundang-undangan, maka wilayahnya akan berstatus otonom. Perlakuannya akan identik dengan hutan hak. Dan sekarang, sesuai dengan Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang menyatakan, “Hutan adat bukan lagi hutan negara,” maka aturan perlindungannya tidak masuk dalam ranah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Hak masyarakat hukum adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang mengatur mengenai hak masyarakat hukum adat, masih berlaku dan tidak dibatalkan oleh Undang-Undang Nomor 18. Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia. Inisiasi pembentukan undangundang ini dimulai sebelum tahun 2004 dan baru diproses secara intensif sejak tahun 2008 sampai tahun 2013 yang mengatur perlindungan di seluruh wilayah kawasan hutan, baik yang ditetapkan, maupun yang baru ditunjuk dan dalam proses penetapan. Pertimbangan ini di samping agar tidak terjadi kerusakan hutan yang lebih parah, juga mengacu atau sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari Tahun 2012. Dan sebagaimana diketahui, penetapan peta kawasan hutan yang dijadikan rujukan dalam penunjukan hutan, didasarkan pada peta TGHK yang kemudian ditindaklanjuti dengan proses padu serasi, prosesnya sudah dimulai pada tahun 1980-an. Jadi, sudah cukup lama. Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia. Perlu kami informasikan, suasana kebatinan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang ini, dan kebetulan pelaksanaannya menjelang pemilu, anggota tim, khususnya dari DPR RI, di samping berorientasi terujinya efek jera bagi semua pihak yang menyebabkan rusaknya hutan, orientasinya adalah bagaimana melindungi kehidupan masyarakat lokal, masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan. Setiap norma dalam proses-proses penetapan norma selalu coba diuji, bagaimana kira-kira dengan kehidupan masyarakat di sekitar hutan? Ya, sekali lagi kami sampaikan, masyarakat yang tinggal dan dalam di sekitar hutan, bukan masyarakat hukum adat. Karena masyarakat hukum adat tidak masuk dalam ranah undang-undang ini. Pembedaan penegakan hukum bagi kejahatan teroganisir oleh kelompok masyarakat korporasi dengan kelompok masyarakat lokal, kami sampaikan mengundang perdebatan dalam proses penyusunan norma. Namun, dengan beberapa kali pertimbangan, memperhatikan kondisi yang ada, tim sepakat dalam beberapa kasus ada perlakuan yang berbeda bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. 6
Hal-hal ini dapat tercermin dari beberapa ketentuan dalam norma. Kami kasih … kami informasikan beberapa hal. Seperti Pasal 1 angka 6 yang menyatakan, “Kejahatan terorganisasi, itu sudah mengenyampingkan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan (suara tidak terdengar jelas) tradisional.” Kemudian, di dalam Pasal 18 mengenai Pidana, “Pidana bagi masyarakat lokal yang melakukan kejahatan terorganisasi,” jadi sekali lagi, kejatahan terorganisasi, “Pidananya jauh lebih kecil dari kejahatankejahatan yang dilakukan oleh masyarakat, bukan masyarakat lokal, maupun korporasi.” Demikian juga di dalam Pasal 84 … eh, Pasal 87 … kami ulangi, Pasal 44 mengenai Barang Bukti Kayu Temuan selalu diorientasikan ini untuk kepentingan publik dan kepentingan sosial yang ada di sekitar masyarakat. Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia, untuk sementara demikian dulu keterangan kami. Terima kasih, selamat siang. 27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Made. Berikutnya, siapa dulu ini?
28.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Mohon izin, kami hadirkan Prof. Dr. Ir. Chairil Anwar, M.Si.
29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan, Prof. Chairil.
30.
AHLI DARI PEMERINTAH: CHAIRIL ANWAR Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb.
31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb.
32.
AHLI DARI PEMERINTAH: CHAIRIL ANWAR Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, DPR, Pemerintah, dan Pemohon, serta hadirin yang saya cintai. Pemerintah dan masyarakat yang diwakilkan kepada Anggota Dewan Yang Terhormat sepakat untuk melahirkan undang-undang dan peraturan pemerintah dalam mengelola sumber daya alam Indonesia demi sebesar-besarnya manfaat bagi tercapainya kemakmuran masyarakat dengan berkeadilan. Untuk 7
menghasilkan aturan atau perundangan, tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan dan waktu yang cukup lama. Walaupun demikian, pencermatan demi pencermatan dapat datang di kemudian hari, termasuk menganalisis pasal demi pasal dari sudut pandang berbeda. Seperti halnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hal ini ditunjukkan dengan apa yang sedang kita perbincangkan di hadapan Majelis Hakim Yang Mulia pada hari ini. Dari aspek pengelolaan hutan sebagai bagian dari sumber daya alam, Pemerintah, cendekiawan, dan masyarakat telah sangat khawatir akan begitu cepatnya laju degradasi hutan yang belum berimbang dengan upaya merestorasi kembali fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan yang berkelanjutan. Agaknya kita sudah di persimpangan jalan, sepakat untuk mendukung pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan hutan dan pengelolaannya guna menjamin keberlangsungan fungsi hutan dan upaya perlindungannya sebagaimana tujuan di atas. Majelis Hakim Yang Mulia, serta hadirin yang terhormat. Kami berada di sini hadir bersama dengan perwakilan masyarakat adat dan lembaga nonpemerintah yang mendukung terlaksananya perlindungan hutan oleh dan/atau bersama masyarakat diminta untuk memberikan keterangan sebagai saksi ahli dari Pihak Termohon dalam Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 yang terkait dengan uji materiil Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang merupakan karunia dan amanah Allah yang wajib disyukuri oleh segenap bangsa Indonesia dengan cara menjaga, membina, dan merehabilitasinya dalam bentuk pengelolaan hutan lestari. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut undang-undang tersebut, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam, biotik, dan abiotik yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari defisi … dari definisi hutan tersebut, tercermin beberapa hal penting yang menjadi perhatian utama, yaitu hutan yang merupakan hamparan flora dan fauna, tanah dan organismenya, berbagai jenis mineral, air dan udara segar yang merupakan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan sebagai kekayaan negara harus diarahkan untuk tetap memperhatikan fungsi ekologi, 8
fungsi produksi, fungsi sosial, dan fungsi ekonomi, baik bagi masyarakat maupun negara. Deforestasi atau rusaknya hutan menjadi masalah serius di Indonesia, yaitu ketika penebangan hutan dilakukan secara sporadis yang kemudian menjadi kawasan hutan yang terdegradasi dan sering pada gilirannya kawasan tersebut berubah menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Hal ini menyebabkan lahan mengalami kerusakan berupa hilangnya bunga tanah, terjadi pemadatan tanah, kondisi fisik kimia dan biologi tanah menjadi buruk. Padahal tanah memiliki peran yang sangat penting dalam proses konservasi, vegetasi, karbon, bahkan jumlah karbon yang dapat dijerat oleh tanah lebih besar daripada korbon yang dapat diserap oleh vegetasi dan juga lebih besar daripada jumlah karbon yang ada di atmosfir. Tanah merupakan badan alam tempat tumbuh pepohonan, dimana pada lapisan bagian atasnya mengandung banyak sekali bahan organik yang kaya akan karbon. Hal ini membuat tanah menjadi penting sebagai gudang karbon, sehingga konservasi tanah menjadi sangat kritikal. Perusakan lahan hutan dapat merusak kemampuan tanah dan vegetasi dalam mengonservasi karbon yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan pendaman karbon tanah maupun vegetasi. Merosotnya jumlah karbon pada hutan terdegradasi dengan sendirinya akan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir yang memicu terjadinya fenomena pemanasan global. Pada dasawarsa ini, perubahan global yang berhubungan dengan alam dan kegiatan manusia telah menjadi fokus bahasan utama bagi banyak kalangan ilmuwan. Isu global ini adalah fungsi hutan dalam menyerap dan menyimpan gas rumah kaca karbon dioksida, serta fungsi hutan sebagai pengatur tata air dalam suatu ekosistem atau lingkungan hidup. Fenomena perubahan iklim … fenomena perubahan iklim global yang menimbulkan bencana banjir, kekeringan, dan kegagalan panen komoditi pertanian di banyak tempat, diyakini terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmofsir sebagai akibat dari rusaknya hutan penyangga kehidupan. Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan bahwa sektor kehutanan di Indonesia adalah penyumbang terbesar, yaitu 48% dari total emisi gas rumah kaca sebesar 1,38 giga ton karbon dioksida pada tahun 2000. Adapun tindakan yang dapat ditempuh untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida yang berasal dari sektor kehutanan adalah dengan menggalakkan progam penanaman dan pemeliharaan yang dapat meningkatkan fungsi dan manfaat hutan. Perubahan iklim global tidak diragukan lagi telah menjadi perhatian masyarakat luas, baik pada tingkat nasional maupun internasional dan merupakan topik bahasan ilmiah terhangat sepanjang sejarah sains modern, setara dengan topik pembuat senjata dan ancaman perang nuklir yang berkembang sejak tahun 1960-an. 9
Kebijakan lingkungan green policy yang dicetuskan pada dekade lampau pada hari ini telah menjadi pembahasan utama bagi pemimpin negara, politisi, ilmuwan, dan menjadi isu yang sangat banyak dibicarakan pada media cetak dan elektronik. Perubahan iklim yang menyebabkan banjir dan kekeringan juga mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan pertanian. Masalah ini dapat mengancam kesediaan bahan pangan bagi penduduk miskin yang jumlahnya per-Maret 2010 sebanyak 31 juta jiwa atau 13% dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230 juta jiwa. Proses pembentukan tanah dan perkembangan vegetasi hutan berlangsung secara bersamaan di alam dan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, yaitu faktor iklim, topografi, dan bahan induk. Fenomena ini terjadi dalam kurun waktu jutaan tahun yang melalui rangkaian peristiwa kompleks dan saling berhubungan, yang akhirnya menghasilkan vegetasi hutan alam. Pada hutan alam perawan, siklus unsur hara tanah vegetasi berjalan secara tertutup dan sistem ini berada dalam keadaan mapan atau steady state. Pada keadaan ini, fungsi hutan dalam konservasi tanah dan air berlangsung optimal. Pergerakan air tanah dalam keadaan jenuh terjadi pada pori makro yang mendominasi ruang pori tanah. Dan oleh sebab itu, tingkat aliran permukaan umumnya sangat rendah meskipun tingkat curah hujan cukup tinggi. Proses konservasi tanah dan air dapat berjalan dengan baik, oleh karena adanya lapisan serasah di atas permukaan tanah hutan yang bersifat protektif, yaitu berkisar dari 26 sampai 48 … 44 ton per hektare. Aktivitas manusia yang mengakibatkan timbulnya gangguan terhadap sistem tanah hutan yang sudah berada pada kondisi seimbang atau steady state dapat berakibat pada perubahan aneka fungsi hutan dan akhirnya mengakibatkan kerusakan atau degradasi lahan. Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Berdasarkan uraian di atas, terlihat betapa pentingnya hutan dalam fungsi konservasi vegetasi air, tanah serta konservasi karbon yang sangat mempengaruhi perubahan iklim yang telah terbukti berdampak terjadinya bencana kekeringan pada suatu masa dan bencana kebanjiran pada masa yang lain. Oleh sebab itu, perlindungan atas hutan dapat memainkan peranan penting dalam menjamin keberlangsungan kehidupan makhluk. Dengan perkataan lain, sulit membayangkan bagaimana kehidupan manusia di atas permukaan bumi ini dapat berlangsung tanpa eksistensi hutan. Jiwa dan filosofi yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 telah mencakup semua aspek perlindungan hutan untuk kemaslahatan manusia. Dari lubuk hati yang paling dalam, kami bersyukur dan berterima kasih bahwa saudara-saudara kami masyarakat desa hutan dan masyarakat adat telah berupaya dengan kearifannya melakukan upaya
10
perlindungan hutan sebagai benteng terakhir dalam mempertahankan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, tidak sebaliknya. Atas perkenan Majelis Hakim Yang Mulia, kami mengucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Chairil. Berikutnya Prof. Rahayu saya persilakan, bisa di podium sebelah kanan saya.
34.
AHLI DARI PEMERINTAH: RAHAYU Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Om Swastiastu. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, Pemohon, DPR, dan Pemerintah, serta hadirin yang saya hormati. Saya diminta oleh Pihak Termohon untuk menjadi Ahli dalam Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 sehubungan dengan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan atau UndangUndang P3H dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Mencermati permohonan Pihak Pemohon, serta jawaban dari Termohon, sesungguhnya keduanya memiliki tujuan dan keinginannya yang sama, yaitu menjaga kelestarian hutan sebagai bagian dari kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik bagi kepentingan generasi kini maupun untuk generasi yang akan datang. Tujuan dan keinginan tersebut, didasarkan pada kesadaran bersama bahwa hutan adalah karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan dua hal. Yang pertama, tentang jaminan hak terhadap masyarakat hukum adat di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 dan kedua tentang kewajiban dan tanggung jawab negara di dalam memenuhi hak asasi warganya, termasuk hak asasi masyarakat hukum adat. Hadirin, Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam undang-undang.
11
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUUV/2007 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-VI/2008 tanggal 18 Juni 2008, maka untuk disebut sebagai masyarakat hukum adat harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya bahwa masyarakat hukum adat tersebut harus masih hidup. Kesatuan masyarakat hukum adat dikatakan secara de facto hidup, baik secara teritorial, genealogis, maupun fungsional setidaknya harus memenuhi unsur adanya masyarakat yang memiliki perasaan kelompok. Adanya pranata pemerintahan adat, adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, adanya perangkat norma hukum adat, serta adanya wilayah tertentu, khusus untuk yang territorial. Unsur yang kedua bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut keberadaannya telah diakui oleh undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal di dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun sektoral, termasuk di dalam peraturan daerah. Kemudian yang kedua bahwa substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan, maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Unsur yang ketiga, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur undang-undang diartikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai kesatuan politik dan hukum. Sedangkan unsur yang keempat, diatur di dalam undang-undang, artinya bahwa substansi norma hukum adatnya juga harus sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Majelis Hakim dan Hadirin yang saya muliakan, berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka tidak semua kelompok masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat hukum adat. Artinya, tidak semua masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan merupakan masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 18B ayat (2). Dalam kenyataannya, tidak semua komunitas masyarakat hukum adat masih eksis karena ada komunitas yang ternyata tidak lagi mampu mempertahankan adat istiadatnya, sehingga kekuatan hukum adat yang menjadi dasar kehidupannya pudar dan bahkan kemudian hilang sama sekali. Pengertian frasa sepanjang masih hidup berarti hanya masyarakat hukum adat yang masih hidup sajalah yang akan mendapat pengakuan dan penghormatan dari negara. Sedangkan syarat sesuai dengan perkembangan masyarakat, dimaknakan bahwa ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masyarakat hukum adat, tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kemajuan masyarakat dewasa ini. 12
Syarat sesuai dengan prinsip Negara Republik Indonesia menghendaki agar hukum yang diberlakukan di dalam masyarakat hukum adat harus benar-benar murni sebagai perwujudan dari ketentuan-ketentuan atau kebiasaan-kebiasaan tradisional yang telah dilaksanakan secara turun-temurun. Jaminan, pengakuan, dan penghormatan masyarakat hukum adat tersebut secara tersebar sebenarnya sudah diakui di dalam berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan berbagai peraturan pelaksana lainnya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tidak mencabut hak masyarakat hukum adat, sebagaimana diakui dan diatur di dalam berbagai perundangan tersebut. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, Pemohon, Pemerintah, DPR, dan Hadirin yang saya hormati, selanjutnya berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab negara di dalam memenuhi hak asasi setiap warganya, maka dapat dikemukakan bahwa pada prinsipnya di dalam hukum hak asasi manusia negara c.q. pemerintah adalah pemangku kewajiban. Sedangkan individu yang berada di wilayahnya, merupakan pemegang hak. Menurut Manfred Nowak, negara memiliki kewajiban untuk menghormati, untuk memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia setiap warganya. Kewajiban negara ini tidak dapat diingkari karena penghormatan dan penegakan HAM merupakan bagian dari kewajiban untuk melindungi kepentingan umat manusia, obligations erga omnes. Prinsip kewajiban negara ini ditegaskan dalam berbagai instrumen hukum, baik internasional maupun nasional. Perlindungan hak asasi manusia terumus dengan sangat komprehensif di dalam Bab XA tentang HAM dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kewajiban negara di bidang HAM secara tegas juga dinyatakan di dalam Pasal 28I ayat (3). Secara filosofis, pembebanan kewajiabn tersebut sesuai dengan tujuan negara, sebagaimana tercantum di dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu, “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.” Dalam kaitannya dengan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia, maka perlu kita pahami bersama bahwa pengutamaan individu di dalam hak asasi manusia tidak bersifat egoistic. Artinya bahwa penyelenggaraan HAM terjadi di dalam prasyarat-prasyarat sosial karena kebebasan individu harus selalu dipahami dalam konteks penghormatan terhadap hak individu lain. Dengan kata lain, setiap orang selain memiliki hak asasi, mereka juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain. 13
Dalam konteks hak masyarakat yang hidup di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat, maka mereka tetap diberi hak untuk melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial, sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 ayat (3) UndangUndang P3H. Hal ini merupakan jaminan bahwa mereka tetap dapat menikmati haknya tersebut. Izin yang disyaratkan oleh Pasal 11 ayat (4) undangundang ini sebenarnya ditujukan agar bisa dipastikan bahwa masyarakat yang bersangkutan adalah benar-benar merupakan pihak yang berhak untuk itu. Hal ini dilakukan tiada lain adalah untuk melindungi masyarakat itu sendiri, di samping untuk menjaga agar hutan tidak disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak. Dan demi menjaga kelestarian hutan itu sendiri. Izin semacam ini bukan meniadakan hak yang dimiliki oleh masyarakat tersebut, tetapi semata-mata hanya membatasi agar hak-hak tersebut dinikmati oleh mereka yang benarbenar berhak, di samping untuk menghormati hak-hak orang lain. Pembatasan semacam ini tentu saja bukan merupakan hal yang melanggar hak asasi mereka. Karena sesungguhnya, HAM itu tidak selalu bersifat mutlak, yang harus dipenuhi oleh pemerintah terhadap warga negaranya. Sejak awal pembentukan hukum positif tentang hak asasi manusia, sebenarnya restriksi dan limitasi terhadap HAM yang secara universal sudah dipikirkan. Di dalam UDHR atau di dalam DUHAM misalnya, dirumuskan di dalam Pasal 29 ayat (2) yang menegaskan bahwa hak-hak dan kebebasan dasar manusia hanya dapat dibatasi oleh undang-undang. Hal senada juga ditegaskan di dalam Pasal 28C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak orang lain, dan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, terumusi dalam ayat (1)-nya. Sedangkan di dalam ayat (2) pasal ini menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan, serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat yang demokratis. Hakim Konstitusi yang saya muliakan, serta hadirin yang saya hormati. Kewajiban yang dibebankan kepada negara sebagaimana dipaparkan tersebut di atas, memang dapat melahirkan asumsi bahwa hanya negaralah yang paling berpotensi melakukan pelanggaran HAM. Menurut Fleur Johns, asumsi ini merupakan manifestasi dari liberalisme yang menonjolkan paham minimal state, yaitu paham 14
liberalisme yang memfokuskan kepada pembatasan kewenangan negara tanpa memperdulikan dampak aktor bukan negara terhadap hak-hak individu. Pandangan tersebut tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan. Karena faktanya, perlindungan terhadap hak-hak individu yang secara eksklusif hanya diberikan kepada negara dan/atau melalui negara, ternyata tidak cukup melindungi mereka dari perbuatan aktor bukan negara, termasuk di dalamnya koorporasi. Kecenderungan ini sejalan dengan realitas globalisasi yang memberi ruang sangat luas, bagi para pemilik modal, baik dari dalam negeri maupun modal asing untuk mengembangkan usaha dan bisnisnya, bahkan melampaui batas-batas wilayah negaranya. Hal ini pula yang terjadi di sektor kehutanan, perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan, serta perkebunan tanpa izin telah sedemikian merajalela ditengarai pelakunya tidak hanya individu atau perseorangan, tapi juga kelompok terorganisir, termasuk korporasi. Situasi ini berdampak pada kerusakan hutan yang tidak saja menimbulkan kerugian negara, tapi juga telah merusak kehidupan sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Kerusakan demikian, tentu saja merugikan masyarakat yang hidup pada saat ini dan juga generasi yang akan datang. Dengan kata lain, perusakan hutan semacam ini mengancam tidak terpenuhinya hak-hak asasi masyarakat, baik hak ekonomi, hak sosial dan budaya, maupun hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Terhadap situasi demikian, maka negara punya kewajiban untuk mencegah terjadinya pelanggaran, menyelidikinya ketika pelanggaran itu terjadi, memproses, dan menghukum pelakunya, serta melakukan reparasi atas kerugian atau kerusakan yang terjadi sebagai bentuk tanggung jawaban ... sebagai bentuk tanggung jawabnya. Tindakan Pemerintah ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi masyarakat ... untuk melindungi masyarakat yang berhak dari perampasan hak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, serta untuk menegaskan bahwa korporasi dan pelaku swasta juga memiliki kewajiban bahwa dalam melakukan usahanya, mereka harus menghormati hak-hak asasi masyarakat yang ada di sekitarnya. Berkaitan dengan tanggung jawab korporasi, yang termasuk aktor nonnegara terhadap hak asasi manusia ini, sebenarnya sudah disepakati di dalam konferensi dunia tentang HAM di Vienna tahun 1993 yang menyatakan bahwa para pelaku swasta memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati dan melaksanakan HAM. Hal ini kemudian dirinci lebih lanjut di dalam berbagai instrumen HAM internasional, seperti Global Compact PBB Tahun 1999 dan Resolusi Majelis Umum PBB tahun 2003. Kendati ketentuan hukum tersebut 15
termasuk dalam kategori soft law, namun setidaknya hal tersebut menunjukkan adanya komitmen bersama masyarakat internasional bahwa segala aktivitas korporasi bisnis tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Kecenderungan inilah yang ditangkap oleh pembuat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H. Dengan demikian, menurut saya, apa yang diatur dalam undangundang ini tidak bertentangan dengan hak asasi masyarakat secara umum, khususnya hak asasi mereka yang tinggal di sekitar kawasan, tetapi sebaliknya, undang-undang ini justru menjadi upaya pemerintah untuk melindungi dan menjamin hak-hak mereka dari gangguan pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini merupakan pengejawantahan dari kewajiban dan tanggung jawab negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM setiap orang yang berada di wilayahnya. Norma-norma yang diatur di dalam undang-undang tersebut tidak saja dapat menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat, tapi seperti kata Gustav Radbruch tentang tiga nilai dasar hukum bahwa harus ... di samping harus menjamin kepastian hukum, maka yang lebih penting, hukum juga harus mampu memenuhi rasa keadilan dan memberikan kemanfaatan bagi semua orang tanpa diskriminasi. Akhirnya, saya menyimpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H tidak menegasikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat dan hak-hak masyarakat yang tinggal di dalam kawasan maupun di sekitar hutan, seperti diatur dan diakui di dalam peraturan perundangan lainnya. Kesimpulan yang kedua bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H tidak bertentangan dengan norma-norma HAM, sebagaimana diatur di dalam konstitusi. Demikian, Majelis Hakim yang saya hormati, Pemohon, DPR, dan Pemerintah, pendapat yang saya berikan. Terima kasih atas perhatiannya. Wasalamualaikum wr. wb. 35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih Prof. Rahayu. Yang selanjutnya, apakah dari Pemerintah yang mewakili Presiden ada hal-hal yang perlu di dalami, sehubungan dengan keterangan Saksi atau dua orang Ahli ini, atau dirasa sudah cukup? Silakan kalau ada, dikumpulkan dulu Saksi atau Ahli, ditujukan pada siapa untuk (…)
36.
PEMERINTAH: Terima kasih, Yang Mulia. Langsung saja kepada Pak Made selaku Saksi. Undang-Undang Nomor 18 ini sebelum ter … disahkan atau disetujui oleh DPR, terdapat kontroversi dari masyarakat-masyarakat, 16
terutama LSM yang menyatakan bahwa undang-undang ini tidak menghormati hak asasi manusia. Nah, terkait dengan ini, apakah stakeholder-stakeholder yang lain, seperti pakar kemudian LSM, juga dilibatkan dalam pembahasan undang-undang ini? Itu yang pertama. Kemudian yang kedua kepada Prof. Rahayu. Terkait dengan pemidanaan yang ada di Pasal 18 ... di Undang-Undang Nomor 18, kaitan dengan HAM, apakah pengurangan hak asasi manusia dalam bentuk pemidanaan itu bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM? Terima kasih. 37.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih Pemerintah. Dari Pemohon ada yang akan ditanyakan atau dimintakan klarifikasi, pendalaman lebih lanjut dari keterangan-keterangan ini?
38.
KUASA HUKUM PEMOHON: JUDIANTO SIMANJUNTAK Terima kasih. Yang pertama, saya tanyakan sama Saudara Saksi Pak Made. Tadi Saudara menyatakan bahwa suasana kebatinan di ... dari lahirnya Undang-Undang Nomor 18 ini untuk melindungi masyarakat. Kalau kita hubungkan dengan Pasal 11 ayat (1) dari undangundang ini bahwa ... Pasal 11 ayat (1) bahwa ada perbuatan perusakan hutan, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini meliputi kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara terorganisasi. Dengan adanya undangundang ... Pasal 11 ayat (1) ini dihubungkan dengan pernyataan dari Saudara menyatakan bahwa suasana kebatinan dari lahirnya undangundang itu melindungi masyarakat. Sementara, di dalam Pasal 11 ayat (1) ini ada kecenderungan peniadaan dari keberadaan dari masyarakat adat. Padahal masyarakat adat jauh sebelumnya sudah melakukan aktivitas dalam memenuhi kebutuhannya. Mohon Saudara untuk menjelaskan hubungan dengan suasana kabatinan yang dikatakan Saudara dengan hubungannya dengan Pasal 11 ayat (1)? Itu yang pertama. Yang kedua sama Pak Made bahwa Saudara juga menyatakan bahwa yang terorganisasi dan terstruktur tidak termasuk dalam masyarakat adat. Yang dimaksudkan dengan teroganisasi dan terstruktur itu seperti apa? Itu yang kedua yang khusus untuk Ibu Prof. Rahayu juga menyatakan bahwa keberadaan dari Undang-Undang Nomor 18 ini tidak mencabut atau menegasikan keberadaan dari masyarakat adat, dihubungkan dengan Pasal 11 ayat (1) undang-undang ini yang tadi bahwa ini akan potensi dari menghilangkan hak-hak masyarakat adat, apalagi dengan banyaknya aspek-aspek pemidanaan dalam undang17
undang ini. Bagaimana menurut pandangan Ahli Ibu Rahayu melihat masalah ini karena banyaknya potensi-potensi dari kriminalisasi pemidanaan kepada setiap masyarakat atau masyarakat adat yang melakukan aktivitas di kawasan hutan? Terima kasih. 39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
40.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI MUTTAQIEN Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama untuk Saudara Saksi Bapak Made. Karena ini sudah digagas, undang-undang ini tadi sudah dikatakan sejak 2004 mungkin ya, saya ingin tahu naskah akademik yang digunakan itu naskah akademik yang mana, sehingga muncul Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 ini. Itu untuk Pak Mede. Kemudian untuk Pak Chairul mungkin ya, Prof. Chairul. Saudara Ahli, bisakah memberikan gambaran pengertian atau definisi seperti apa sebenarnya kejahatan terorganisir itu? Mungkin kalau tidak ada di undang-undang ini, referensi lain mungkin bisa dijelaskan sesuai keahlian Saudara Ahli? Yang ketiga, pada Prof. Rahayu. Nah, kalau kita lihat misalnya di Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang P3H ini, itu ada persoalan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung, jadi di luar konservasi dan hutan lindung, itu harus mendapatkan izin. Nah, bagaimana persoalannnya kalau secara fakta ternyata masyarakat kita, Indonesia ini, dia itu hidup meskipun dia bukan masyarakat adat, tapi dia sebenarnya hidup dari dulu itu di dalam ... di sekitar … ternyata adalah kawasan konservasi dan justru kawasan lindung. Nah, bagaimana hak asasi ... apa rezim hukum HAM ini melihat ini? Karena kecenderungannya sudah barang tentu dia akan ... apa ... menjadi orang yang akan dipidana oleh pasal atau ketentuan UndangUndang P3H ini. Terakhir, dalam ... dalam konteks hak masyarakat hukum adat atau masyarakat local, tadi kalau Saudara Ahli menjelaskan soal hak dan kebebasan dasar yang ada di Universal Declaration of Human Right, halhal apa saja yang melingkupi hak dan kebebasan dasar tersebut dalam kaitannya dengan masyarakat hukum adat? Terima kasih, Yang Mulia.
41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dari meja Hakim ada? Baik, Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar dulu.
18
42.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Saya mau mendalami dengan Prof. Chairil Anwar. Tadi dikatakan bahwa salah satu tujuan dari undangundang ini antara lain adalah untuk melindungi masyarakat. Di dalam jawaban Pemerintah juga saya kira dari Kementerian Kehutanan menyampaikan bahwa menitikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan itu tidak dilakukan secara terorganisasi, yaitu tidak lebih dari satu orang. Kalau lebih dari satu orang, itu dikualifikasi, dinyatakan bertindak secara bersama-sama. Apakah mungkin ... ya ... masyarakat yang memang hidupnya berpindah-pindah, masyarakat adat yang melakukan membuat ladangladang tradisional, pasti mereka juga akan melakukan penebangan kayu. Nah, yang saya tanyakan kepada Ahli adalah kualifikasi yang bagaimana sebetulnya yang dinyatakan tidak melakukan perusakan hutan, tapi kaitannya dengan apa yang saya sampaikan tadi? Apakah mungkin orang lebih dari … hanya satu orang untuk membuat ladang, segala macam seperti itu? Kan kita tahu bahwa sampai hari ini masih banyak masyarakat kita yang memang hidupnya di hutan-hutan dan itu diberikan status sebagai hutan … apa namanya … ya diberikan statuslah ya oleh negara dengan berbagai macam status dan tidak bisa dilakukan apa namanya … pemanfaatannya oleh masyarakat. Yang kedua, jadi kualifikasi perusakan hutan ini harus sangat jelas, jangan menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Saya pernah dilaporkan oleh seorang bupati yang memang tidak punya kuasa juga membantu masyarakatnya, barangkali ini juga nanti Pemerintah sekaligus saya ingin mengetahui implementasi dan sosialisasi dari undang-undang ini. Seorang guru SD yang rumahnya sudah hancurhancuran, tapi dia punya ladang, dia potong batang kayunya untuk rumahnya sendiri, tapi justru dia malah ditahan, padahal itu adalah milik sendiri, gitu. Karena saking juga tidak mungkin mereka minta izin ke pejabat mana. Nah, di sini ini kan kalau lebih dari satu orang kan, harus minta izin pada pejabat setempat, pejabat yang mana? Ini kan juga tidak mudah implementasinya oleh masyarakat. Jadi, di daerah Solok Selatan, Bapak bisa cek, seorang guru ditahan berbulan-bulan oleh polisi gara-gara menebang pohon kayu untuk bikin rumahnya sendiri, bukan untuk dijual. Ya karena memang sangat sensitif kualifikasi perusakan hutan ini. Jadi, saya ingin mendalami ini supaya apa yang disampaikan oleh para Ahli dengan tujuan dan maksudnya yang luar biasa, melindungi masyarakat, jangan merusak lingkungan hidup, kemudian Pak Made juga mengatakan seperti itu semangatnya, tapi yang terjadi adalah justru masyarakat itu jadi korban. Dia punya pohon sendiri kok dia enggak bisa menikmati? Ini kan suasana yang sangat naïf. Mana tadi tujuan untuk kemakmuran sebesar-
19
besarnya kepada rakyat kita? Ini tolong di … dijawab dengan tegas. Terima kasih. 43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Berikutnya Yang Mulia Dr. Wahiduddin.
44.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saya ingin menanyakan kepada Saksi Pak Made karena di dalam presentasinya dan makalahnya disebutkan bahwa orientasi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 ini perlu adanya efek jera bagi semua pihak yang menyebabkan hutan rusak. Kemudian, perlindungan tatanan bagi kehidupan masyarakat dan jangan sampai mengkriminalisasi masyarakat, itu yang saya sampaikan ya. Saya melihat di ketentuan pidana yang juga ini diajukan pengujiannya oleh Pemohon bahwa di Pasal 82 ayat (2), Pasal 83 ayat (3), Pasal 84 ayat (3), Pasal 87 ayat (3) itu tindak pidana oleh orang perseorangan, tentu ini dibedakan dengan korporasi ya karena setiap orang itu kan dua pekerjaan yang orang perseorangan atau korporasi, tapi ini khusus orang perorangan yang tentu dimaksudkan ini masyarakat lokal umumnya. Namun, di sini menganut ketentuan adanya pidana penjara paling singkat, di Pasal 82 ayat (2), Pasal 83 ayat (3), Pasal 84 ayat (3), Pasal 87, berarti tidak ada kemungkinan masyarakat lokal itu dalam hal melakukan tindak pidana itu dia dibebaskan karena sudah ada pidana penjara paling singkat semua, pidana minimumnya disebutkan. Jadi, semangat melindungi … ini terutama untuk masyarakat lokalnya ditujukan yang bertempat tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan, semua disebutkan di sini. Nah, sementara yang selama ini dianut di dalam penyusunan pidana, itu sudah agak mulai ditinggalkan … apa … pidana minimum itu. Dulu awal-awal semangat reformasi, memang dimuat. Karena apa? Karena ya, jangan sampai Hakim membebaskan. Nah, tapi kalau untuk masyarakat lokal ini, berarti tidak mungkin mereka dapat bebas kalau ada tindak pidana yang melakukan. Meskipun menurut Hakim, nanti penilaiannya bahwa dia dapat dibebaskan. Kan selama ini juga dirumuskan bahwa pidana minimum itu sangat hati-hati dirumuskan, kecuali kalau itu extraordinary, bidang narkoba misalnya, teroris, korupsi pun ada, sebagian juga tidak ada yang minimumnya. Nah, ini dari Pak Made yang ikut dalam penyusunannya, kenapa sampai begitu? Karena ini pasti masyarakat lokal ini, ya, kalau sudah diancam dengan pidana ini dan terbukti tidak ada kemungkinan mereka di … luput dari pidana penjara itu. Dan juga Hakim tidak ada kebebasan 20
di sini untuk membebaskan ancaman-ancaman terhadap masyarakat lokal ini. Karena ini juga termasuk yang diuji oleh Pemohon, maka saya ingin mendapat penjelasan hal ini dari Pak Made. Terima kasih. 45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Masih ada lagi? Kalau tidak, saya menyambung dari apa yang disampaikan oleh Yang Mulia Dr. Wahiduddin. Kalau kita baca undang-undang UU PHH dan kemudian UndangUndang Kehutanan, itu pasal-pasal yang menyangkut ketentuan pidana, itu sangat banyak yang menyangkut ancaman terhadap orang per orang atau sekelompok orang atau korporasi. Melihat dari ketentuan-ketentuan itu atau pasal-pasal itu, misalnya saja di dalam Undang-Undang Kehutanan, Pasal 50 ayat (3) huruf a, b, c, d, e, sampai k itu kita lihat misalnya, setiap orang itu ada dilarang merambah kawasan hutan, dilarang menebang pohon, atau, dan seterusnya. Malah di poin huruf k, itu dilarang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, dan sebagainya. Jadi larangan-larangan yang kemudian juga berimplikasi pada pemidanaan, itu kan kalau dilihat dari kacamata politik hukum, maka pasal-pasal itu sifatnya sangat represif. Selain itu, kalau kita lihat di dalam pertimbangan di dalam kedua undang-undang yang (suara tidak terdengar jelas) ini, itu aspek-aspek yang berhubungan dengan pertimbangan antropologis dan pertimbangan sosiologis, nampaknya kurang perhatian, apalagi kalau kita lihat di dalam penjelasan umum di dalam undang-undang itu. Sehingga ada tulisantulisan yang ditulis oleh penulis-penulis yang sangat membela hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, itu beranggapan bahwa undangundang ini politik hukumnya meneruskan politik hukum yang dianut oleh pemerintah kolonial. Dia menghaki tanah hutan ini adalah milik negara yang tidak mengakui sama sekali hak milik atau hak mengusahakan yang dilakukan oleh masyarakat adat atau masyarakat lokal. Dari sini, maka saya menyambung tadi, undang-undang ini juga ada kecenderungan mengkriminalisasikan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Itu juga ditunjukkan oleh Pemohon pada positanya. Sekarang yang saya tanyakan, baik pada Saksi Pak Made atau Ahli Hukum Prof. Rahayu, apakah Pak Made atau Prof. Rahayu tidak melihat kelemahan-kelemahan yang disinyalir, apa yang saya kemukakan dengan mengutip tulisan-tulisan yang orang-orang yang punya perspektif lebih membela pada masyarakat adat, masyarakat lokal yang semestinya mereka pun diberi hak. Karena hak mereka itu genuine yang asal sebelum negara ini muncul. Karena zaman Belanda pun sebetulnya sebelum Belanda masuk, masyarakat lokal, masyarakat adat pun sebetulnya sudah punya itu. Kalau di Indonesia, sebelum lahirnya negara Indonesia ini pun, sebetulnya masyarakat adat dan masyarakat lokal 21
sudah punya hak itu. Mestinya negara itu malah melindungi hak-hak mereka. Sekarang malah negara melalui hukum modernnya malah kemudian menegasikan hak-hak itu, bahkan menkriminalisasikan orangorang yang semestinya punya hak itu. Apakah ada pandangan yang lain dari pandangan yang semacam ini dari Pak Made yang selaku konseptor yang ikut melahirkan undang-undang ini? Atau dari kacamata Ahli Hukum Bu Prof. Rahayu. Terima kasih. Saya persilakan sekarang dari pertanyaanpertanyaan yang muncul untuk diklarifikasikan. Kalau memang secara high light-nya bisa, high light-nya dulu. Kalau memang perlu penjelasan yang panjang-lebar, saya persilakan supaya clear semuanya, mohon bisa dijawab dengan tambahan keterangan tertulis selain makalah yang sudah disampaikan pada Majelis. Saya persilakan, siapa dulu? Dari Pak Made dulu, kemudian Pak Prof. Chairil, dan Prof. Rahayu, saya persilakan. 46.
SAKSI DARI PEMERINTAH: I MADE SUBADIA GELGEL Terima kasih, Pimpinan Bapak Majelis … Bapak, Ibu Majelis Hakim Yang Mulia, dan Pemerintah. Yang pertama, barangkali saya coba urut saja yang dari Pemerintah. Kami informasikan bahwa dalam proses pembahasan rancangan undang-undang ini sudah dilakukan beberapa kali konsultasi publik oleh tim gabungan pemerintah bersama DPR. Yang saya persis ingat itu di Samarinda, di Kalimantan Timur, di Pontianak, di Yogyakarta, gabungan antara tim, di samping beberapa tempat yang lain yang saya tidak ikuti karena dalam proses (suara tidak terdengar jelas) publik tidak seluruh anggota tim ikut. Saya sendiri selaku dari Pemerintah karena ingin materi undangundang ini juga berjalan dengan baik, kebetulan saya dulu pernah menjadi Ketua Dewan Kehutanan Nasional. Jadi, saya akrab dengan teman-teman LSM dalam kapasitas itu. Kebetulan juga saya Ketua Penanganan Konflik dulu. Jadi, saya sendiri secara … secara jabatan saya di pemerintahan, saya juga melakukan (suara tidak terdengar jelas) publik ke beberapa teman, termasuk teman-teman LSM. Dan secara khusus, teman-teman LSM yang tergabung dalam asosisi … apa yang terakhir, saya lupa, juga pernah diundang ke DPR untuk menyampaikan pandangan. Dalam diskusi tersebut, memang teman-teman pada waktu itu termasuk dari Komnas HAM ikut, menyampaikan hal-hal yang kuranglebih hampir sama dengan yang disampaikan sekarang. Kurang-lebih, ada juga beberapa hal yang disampaikan pada waktu itu, tapi sudah tidak ada dalam … dalam … dalam landasan teori mereka yang disampaikan untuk Pemohon.
22
Pada waktu itu, sudah dijelaskan secara gamblang oleh Ketua Tim Pak Firman dari DPR, disampaikan dengan jelas diskusinya di sana. Sehingga disimpulkan kemudian oleh tim apa yang kemudian sudah dimuat di sini sudah dianggap cukup menjawab apa yang disampaikan oleh teman-teman dari lem … asosiasi LSM yang hadir pada pertemuan tersebut. Nah, soal teman-teman tidak sependapat, barangkali itu di luar pengetahuan kami. Tapi pada saat itu sudah dijelaskan secara gamblang apa yang dipersoalkan oleh teman-teman sampai termasuk pada waktu itu, minta maaf, mereka juga mempersoalkan rancangan undangundangnya dianggap akan melemahkan KPK karena adanya lembaga baru di dalamnya. Dijelaskan pada saat itu juga, dan juga hal-hal lain. Itu yang pertama dari Pemerintah sudah coba (suara tidak terdengar jelas) dengan maksimal. Kemudian, kami teruskan ke Pemohon untuk suasana kebatinan tadi yang saya sampaikan. Bagaimana dengan keberadaan masyarakat adat karena mereka sudah lama ada? Seperti yang kami sampaikan di depan, dalam diskusi-diskusi dalam pembahasan tim, kita tidak mempersoalkan masyarakat adat atau masyarakat lokal yang kita kenal adalah masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan. Sementara masyarakat hukum adat yang pengakuannya harus didasarkan pada peraturan perundangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Pasal 67 jelas disebutkan mereka diterapkan dengan peraturan daerah, mereka tidak masuk dalam hal-hal yang didiskusikan. Karena seperti yang saya sampaikan tadi, kalau dia masyarakat hukum adat, maka wilayahnya pasti dan punya wilayah otonom. Sehingga tidak akan masuk dalam … dalam ranah Undang-Undang Nomor 18 perlindungannya, perlindungan wilayah masyarakat hukum adat atau yang sekarang dikenal sebagai hutan adat karena dia bukan lagi kawasan hutan negara, itu tentu pengaturannya berbeda. Seperti halnya hutan-hutan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi atau yang kita sebut dengan hutan hak atau hutan milik. Tetapi bagaimana dengan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar hutan? Tadi juga sudah disampaikan, mereka dilindungi hakhaknya. Bentuk-bentuk perlindungannya seperti yang disampaikan oleh Bu Rahayu tadi saya sependapat. Pada waktu itu juga sempat kita diskusikan, melindungi itu bisa dalam bentuk memberikan atau mengawasi. Nah, yang dipilih kemudian kita awasi. Kita berikan izin supaya orang lain tidak mengaku-ngaku, sebagaimana masyarakat lokal. Sebagai contoh barang kali kami informasikan, pada waktu kami masih aktif di pemerintahan. Rusaknya Tanjung Puting, Tanjung Puting itu Pangkalan Bun, Pak, yang sekarang Air Asia di sekitar itu. Itu habishabisan karena masyarakat melakukannya luar biasa, mereka mengaku masyarakat lokal, padahal mereka adalah masyarakat yang datang dari Jawa Timur. Mereka datang dari Jawa Timur berlomba-lomba ke sana, 23
tinggal di situ, mengaku masyarakat lokal. Mereka melakukan pembalakan luar biasa. Itu kejadian tahun 2002-2003 saya masih aktif di sana, kami operasi besar-besaran ke sana dengan teman-teman dari kepolisian pada waktu itu. Jadi artinya, perlindungan tidak harus diberikan terserah kalian. Jadi pandangan yang terjadi bukan ... pokoknya suka-suka kalian, tapi mari kita atur. Jadi kalau mereka melakukan secara sendiri-sendiri, maka silakan. Tetapi kalau mereka melakukan secara terorganisasi, seperti halnya Bapak dari Pemohon bisa kami sampaikan, pengertian orang perorangan di sana disebutkan adalah orang perorangan yang melakukan kejahatan terorganisasi. Jadi yang dikenal dalam undangundang ini, dalam diskusi kami, selalu disebutkan mereka terorganisasi apa tidak? Kalau mereka melakukan sendiri-sendiri, tidak masuk dalam ranah ini. Karena pengertian umum orang perorangan disebutkan melakukan secara terorganisasi. Jadi, kalau mereka melakukan secara terorganisasi, maka dikhawatirkan ini akan merusak. Tapi kalau mereka melakukan orang perorangan, Undang-Undang Nomor 18 tidak masuk di dalamnya. Karena di pengertian umum, orang perorangan selalu ada kalimat terorganisasi. Jadi Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia bisa membayangkan bagaimana kejahatan-kejahatan organisasi yang dilakukan, pasti dampak merusaknya lebih besar daripada tadi disampaikan Yang Mulia Pak Hakim Pak Patrialis. Kalau orang itu melakukan penebangan di kampung, di rumahnya sendiri, ini bagaimana? Di kebunnya sendiri? Barangkali nanti saya ingin dijawab oleh Ibu Rahayu soal hak mereka. Aturan yang ada di Kementerian Kehutanan mereka boleh menebang dengan izin kepala desa, sepanjang jenis kayunya bukan jenis-jenis yang dilindungi, maksud saya dalam peraturan menteri disebutkan ada berapa jenis kayu yang perlu izin, ada beberapa jenis kayu yang tidak perlu izin. Seperti misalnya, di Jawa misalnya, Kayu Nangka tentu tidak masuk, tapi kalau Kayu Jati Pohon Jati ... saya lupa nanti apa benar pendapat saya karena sudah lama, Pohon Jati karena di hutan ada Hutan Jati, di kebunnya Hutan Jati, maka ini perlu izin kepala desa untuk menyatakan bahwa ini dia tidak melakukan kegiatan yang di luar wilayahnya. Tetapi kalau dia pohon yang Nangka misalnya, itu juga pohon hutan, itu kalau dilakukan di kebunnya, tentu izinnya tidak perlu ke kehutanan. Nah, izin-izin untuk pemanfaatan hasil hutan kayu di tanah milik, sudah dilimpahkan kepada kepala desa. Ini kaitannya dengan tadi pertanyaan keberadaan masyarakat. Jadi, perlindungannya seperti itu, tidak harus dilindungi dalam pengertian diberi suka-suka, tetapi kita ingin ada pengawasan. Jangan sampai mereka di ... mohon maaf, ini bahasanya “ditunggangi” oleh orang lain melakukan kejahatan yang mereka mengaku sebagai masyarakat lokal, tapi kuncinya selalu terorganisasi.
24
Dalam beberapa kasus kami juga di Kalimantan begitu, masyarakat lokal melakukannya, tetapi pemodalnya dari Malaysia, mereka diberi chain saw, mereka melakukan pembabatan, tetapi kalau kita tangkap, mereka masyarakat lokal. Ini tentu kejahatan terorganisasi yang harus kita cegah, sehingga di sini disebutkan orang perorangan adalah ... orang perorangan yang melakukan perusakan hutan secara terorganisasi. Jadi, kata kuncinya selalu terorganisasi karena pengalaman-pengalaman di dalam penanganan kejahatan kehutanan di beberapa tempat, khususnya di daerah perbatasan Kalimantan ini yang terjadi. Kemudian yang kedua, mengenai pengertian terorganisasi, saya kira sudah jelas, mereka lebih (suara tidak terdengar jelas), ada strukturnya. Kalau dibaca dengan lengkap di sana, malah di ujung belakangnya selalu dikatakan, “Yang bertujuan merusak hutan.” Ada struktur, jadi ada komandan, ada bawahan, kemudian melakukannya secara bersama-sama dengan tujuan merusak hutan. Jadi jelas menurut pembahasan tim pada waktu itu jelas. Jelas bahwa yang kita sasar adalah perusak-perusak hutan yang besar, yang terorganisasi karena punya struktur. Nah, kemudian dikecualikan di sana bagi masyarakat tradisional. Tadi Pak Hakim Pak Patrialis menyampaikan, “Bagaimana ini peladang tradisional yang melakukannya?” Dalam definisi kejahatan terorganisasi disebutkan, dikecualikan peladang tradisional, jadi sudah dikecualikan. Jadi, kalau mereka melakukan aktivitas tidak masuk dalam ranahnya, tetapi kalau bukan mereka yang secara tradisional sudah melakukan. Karena Bapak, Ibu sekalian Yang Mulia Pak Hakim, peladangan tradisional ini kan sebenarnya secara pelan sudah mulai habis, tetapi di beberapa tempat masih ada. Ini yang dikecualikan. Tetapi, bisa jadi ada orang mengaku-ngaku sebagai peladang tradisional yang sebenarnya mereka bukan peladang tradisional, mereka datang ke sana, tinggal di sana setahun, mengaku masyarakat lokal, kemudian melakukan peladangan tradisional yang tidak mengikuti kaidah yang sebenarnya. Ada orientasinya mereka berapa kali pindah-pindah tempat dan sebagainya, tapi mereka hanya melakukan penebangan hutan tentu tidak masuk dalam klasifikasi ini. Jadi, itu mengenai terorganisasi yang dimaksudkan. Dalam pembahasan tim, kita pandang ini sudah cukup jelas. Nanti kalau kurang jelas, barangkali bisa didiskusikan. Mengenai naskah akademik. Terus terang karena saya datang sebagai Saksi, saya mengikuti proses ini, tetapi pembahasan naskah akademik setelah kami masuk memang tidak ada, (suara tidak terdengar jelas) yang dipakai, saya bisa sampaikan saya tidak mengikuti. Saya sebagai Saksi tidak mengikuti, walaupun saya tahu ada naskah akademik, tetapi saya tidak mengikuti pembahasannya, dalam proses
25
pembahasan naskah akademik. Tentu tim yang lain melakukan pembahasan, tapi saya pribadi tidak mengikuti. Kemudian yang lain, ini di sekitar kawasan konservasi barangkali nanti Ibu Rahayu, tapi saya bisa tambahkan bahwa kawasan hutan di Republik ini, Bapak, Ibu Hakim Yang Mulia, dengan kesepakatan kita. Barangkali ini hanya di dunia … eh, hanya di Indonesia di dunia ini, hutan kita diklasifikasi fungsinya untuk tujuan tertentu. Di negara lain, hutan kita hanya diklasifikasikan barangkali protected area dan hutan lain untuk produksi. Di Indonesia, kita klasifikasikan paling tidak menjadi tiga, hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Hutan konservasi itu tujuannya untuk dikonservasi, untuk plasma nutfah, hutan lindung untuk tata air yang utama, hutan produksi oleh untuk segala kegiatan aktivitas kehidupan manusia. Nah, hutan konservasi memang dirancang pada waktu kita membangun. Tidak bisa dimanfaatkan hasil hutannya. Kayunya tidak boleh dimanfaatkan, tapi jasa yang ada di sana, jasa yang ada di sana, apakah itu wisata alam, apakah itu karbon, itu bisa dimanfaatkan. Tetapi memanfaatkan kayu di hutan konservasi, memang tidak bisa. Itu kesepakatan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 41. Tapi kaitannya dengan bagaimana kehidupan masyarakat, tentu nanti Ibu Rahayu bisa menyampaikan. Tetapi, hak-hak mereka untuk memungut jasa, jasa sekali lagi boleh, tetapi menebang kayu tidak boleh. Kenapa demikian pertimbangannya? Karena kawasan-kawasan tersebut merupakan kawasan yang sangat dilindungi. Jenis-jenis yang ada di sana sangat dilindungi, sehingga tidak diizinkan melakukan kegiatan ekstraksi, menebang di sana, tapi jasa boleh. Masyarakat mau memanfaatkan jasa yang ada di sana boleh dan diizinkan. Itu mengenai yang tadi disampaikan. Kemudian yang berikutnya, Yang Terhormat Pak Patrialis tadi sudah kami sampaikan. Kemudian tentang kualifikasi merusak hutan, nanti tentu Pak Ahli yang akan kami sampaikan. Tebang kayu seperti yang sudah kami sampaikan. Kemudian, Yang Mulia Pak Wahiduddin. Jadi sama dengan yang tadi kami sampaikan bahwa yang kita sasar adalah kejahatan-kejahatan yang terorganisasi. Jadi, kalau masyarakat yang melakukan terorganisasi, tentu kena dalam sanksi pidana di undang-undang ini. Nah, perlu kami sampaikan khusus kepada Bapak Yang Mulia Dr. Wahiduddin. Memang di dalam pembahasan sanksi bagi masyarakat lokal, diskusi yang berkembang pada waktu itu, disepakati di awal bahwa buat masyarakat lokal sanksi paling rendahnya adalah nol bulan, nol bulan. Jadi tidak ada sanksi yang … paling bawah nol. Tapi kemudian saya minta maaf saya tidak mengikuti dengan baik. Di dalam diskusi dengan para ahli hukum. Barangkali nanti dari Pemerintah bisa menghadirkan ahli hukum. Ada pandangan harus tetap ada angkanya karena kejahatan ini di dalam kesepakatan tim di Pemerintah … eh, tim dengan DPR. Ini diklasifikasikan sebagai kejahatan 26
extra organized crime. Jadi, ini sudah merupakan kejahatan yang luar biasa. Memang beberapa data yang menunjukkan memang hanya belum dinyatakan oleh negara. Itu kerugian-kerugian yang terjadi ini luar biasa. Dari sisi fisik, dari sisi ekonomi, memang mudah dihitung. Artinya, berapa nilai kayu yang hilang, berapa hutan yang rusak. Tetapi yang tidak terhitung adalah kerusakan mental. Karena kejahatan-kejahatan yang terjadi, pengalaman kami ini di Kalimantan, yang masyarakat yang tadinya hidup harmoni dengan hutannya, datang pihak lain dikasih modal chain saw. Mereka melakukan kegiatan merusak hutan karena mendapatkan uang yang murah. Ini yang dikhawatirkan merusak kebiasaan, merusak mental mereka, merusak budaya yang mereka sebenarnya selama ini sudah berjalan dengan bagus. Jadi, atas dasar beberapa pemikiran tersebut, tim pada waktu itu sepakat ini adalah kejahatan organized crime. Jadi, sanksinya ada, walaupun angkanya 3 bulan. Tapi seperti kami sampaikan tadi, di awal diskusi memang sempat angkanya adalah nol, nol sampai dengan gitulah. Tetapi nanti mungkin Ahli Hukum dari Pemerintah yang hadir, nanti bisa menjelaskan mengenai angka ini. Kemudian, yang … yang terakhir ini dari Yang Mulia Pak Ketua Pak Arif. Saya kira, ini nanti Bu Rahayu yang bisa menjelaskan. Tetapi, hak-hak masyarakat seperti tadi yang kami sampaikan di awal, tidak … bukan berarti tidak ada. Hak-hak masyarakat semua masih ada. Hanya persoalannya, sekarang kan kalau kita berikan apa adanya, seperti yang mereka kerjakan, ada kekhawatiran ini ditunggangi pihak lain. Oleh sebab itu, kemudian diatur mekanisme agar jelas bahwa yang melakukan itu adalah masyarakat yang benar, maka diatur mekanismenya harus ada izin. Bukan berarti tidak, mereka boleh melakukannya. Boleh melakukan semuanya hanya mekanismenya untuk sama-sama melindungi hutannya juga tidak rusak karena Bapak, Ibu sekalian, kadang-kadang ada suatu wilayah yang karena pemahaman yang kurang, mereka melakukan aktivitas di sana saja, sehingga suatu kelompok itu rusak. Padahal kalau mereka diatur bergilir mengikuti rotasi yang benar, sekarang di sini, besok di sebelah, nanti lagi 10 tahun kembali ke sana izinnya, maka hutannya sudah kembali baik. Tetapi kalau (suara tidak terdengar jelas) mereka tidak tahu, mereka kerja di situ terus, ini terus menjadi rusak, sementara yang lain masih baik. Jadi, harus diatur … harus diatur semuanya dengan baik. Barangkali itu yang bisa kami saksikan … kami sampaikan keterangan sebagai Saksi. Kalau kurang, nanti kami mohon untuk diberi kesempatan lagi. Terima kasih banyak. 47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya persilakan, Prof. Chairil.
27
48.
AHLI DARI PEMERINTAH: CHAIRIL ANWAR Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia, khususnya Yang Mulia Bapak Patrialis Akbar. Tadi ditanyakan kepada saya, kira-kira apa kualifikasi kerusakan hutan itu? Saya kira, saya mungkin harus menjelaskan ada definisi teknis yang diterima di dunia ini dan telah kita adopt oleh Pemerintah Indonesia. Secara teknis, hutan itu adalah sebidang lahan, luas (suara tidak terdengar jelas) hektare, kemudian ditumbuhi oleh pohon setinggi lima meter, dan dengan penutupan lahan minimal 30%. Jadi, lahan, kemudian ditumbuhi oleh pohon, tinggi pohonnya lima meter, dan crown cover (penutupan oleh tajuk) itu minimal 30%. Nah, dari sini kita bisa lihat bahwa kualifikasi kerusakan hutan itu yang pertama, jika lahan hutan itu gundul, ya. Jadi, pohon habis sama sekali, maka kita kelaskannya sebagai rusak, ya. Kemudian, jika terjadi penebangan, sehingga penutupan tajuk di atas permukaan lahan di daerah tersebut kurang oleh 30%, maka dapat kita katakan bahwa hutan itu rusak. Kemudian, ciri lain yang dapat kita jadikan sebagai tanda bahwa hutan itu rusak adalah rusaknya fungsi hidrologi tanah. Tadi saya katakan di dalam teks yang saya sampaikan tadi adalah fungsi hutan sebagai konservasi tanah dan air. Jika hutan itu rusak, maka fungsi konservasi tanah dan air tidak menjadi optimal. Akibatnya, debit air yang keluar pada suatu penampang sungai pada musim hujan dibandingkan dengan debit air yang keluar daripada suatu penampang sungai pada musim kering, itu rasionya lebih besar dari tiga, ya. Jadi, kalau katakan pada musim kering debit air yang lewat pada suatu penampang sungai itu 100 m3 pada musim kering, tetapi pada musim basah, debit air yang lewat pada penampang sungai tersebut itu 500 m3, maka rasionya menjadi lima. Itu tanda bahwa hutan di sekitar situ rusak. Kemudian, terganggunya … ciri lain dari rusaknya hutan itu adalah terganggunya konservasi karbon. Pada hutan alam yang tidak terganggu, di daerah tropis ini kisaran biomassa hutannya itu kira-kira 300 sampai 500 ton. Jadi, ada berat pohon per hektare itu kira-kira 300 sampai 500 ton, ya. Kemudian, jika hutan itu rusak, sampai pada suatu titik di mana biomassa karbon di atas permukaan tanahnya hanya kurang dari 100 ton per hektare, maka kita dapat mengatakan hutan itu rusak. Kemudian, tanda bahwa hutan itu rusak adalah tidak jalannya fungsi konservasi keanekaragaman hayati. Jadi, jika suatu spesies itu punah pada suatu areal, maka itu tanda bahwa hutan itu rusak. Saya kira itu yang sudah saya sampaikan, Yang Mulia. Terima kasih.
28
49.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Kalau bisa tertulis ya, Pak, ya? Ini bagus sekali soalnya, ya. Sangat bagus itu.
50.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Berikutnya, Prof. Rahayu, saya persilakan.
51.
AHLI DARI PEMERINTAH: RAHAYU Terima kasih, Pimpinan Sidang Majelis Hakim yang saya muliakan, dan Pemohon, serta Pemerintah. Ada beberapa pertanyaan yang perlu saya klarifikasi, barangkali pertanyaan pertama dari Pemerintah. Bagaimana dengan pemidanaan yang diatur di dalam Pasal 18, apakah itu bisa dianggap sebagai pengurangan HAM? Maka kita kembali kepada filosofi pemidanaan bahwa pemidanaan itu hanya bisa dilakukan atau diberikan kepada orang-orang atau kepada badan hukum kepada subjek hukum yang melanggar hukum tentunya. Jadi, bukan mengurangi HAM, tetapi itu adalah sebagai bentuk tanggung jawab dari pelanggaran hukum yang sudah dilakukan. Kemudian, kepada Pemohon yang menyampaikan pertanyaan berkaitan dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, yang menyatakan bahwa pasal tersebut berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang ada di sekitarnya atau masyarakat adat. Maka, kalau kita cermati rumusan di Pasal 11, mestinya Pasal 11 ini ketika kita membaca tidak bisa lepas ayat per ayat, tetapi kita harus baca secara komprehensif, seperti tadi, spiritnya sudah disampaikan oleh Pak Made bahwa spirit undang-undang ini sebetulnya adalah tujuannya untuk menyasar para pembalak liar yang dalam hal ini sering kali dibacking-i begitu, maaf, istilahnya di-backup oleh korporasi-korporasi, meskipun yang secara operasional berjalan di sana bisa saja itu masyarakat sekitar, maka berkaitan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1), sebetulnya kalau menurut saya, Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (4), ini sebetulnya justru semakin menegaskan bahwa ini adalah tujuannya untuk melindungi masyarakat sekitar. Kalau kaitannya dengan Pasal 11 ayat (4) bahwa masyarakat itu di dalam melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung untuk keperluan sendiri, harus mendapat izin. Secara teknis, mohon maaf, mungkin nanti bagian hukum dari Pemerintah bisa membantu menjelaskan mengenai struktur hutan, tetapi yang saya baca dari undang-undang, secara garis besar bahwa hutan itu menurut fungsinya, tadi secara sepintas juga sudah disampaikan oleh Pak Made bahwa ada hutan lindung, dan ada hutan konservasi, serta ada hutan produksi. Kalau di luar hutan lindung dan hutan konservasi, 29
tentu saja yang dimaksud oleh undang-undang, tentu saja adalah hutan produksi. Jadi kalau ada masyarakat yang akan mengambil kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, mestinya ini dibaca akan mengambil itu … kawasan yang diambil itu adalah ada di kawasan hutan produksi. Sehingga, semestinya memang tidak salah kalau mendapat … harus meminta izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, artinya pejabat yang berwenang untuk hutan produksi, begitu. Kemudian, untuk pertanyaan yang berkaitan dengan tadi, apakah UDHR atau DUHAM itu mengatur tentang masyarakat hukum adat? Memang tidak menetap … tidak mengatur secara khusus tentang masyarakat hukum adat. UDHR itu merupakan instrumen universal yang di dalam redaksionalnya itu menyebut setiap orang, setiap orang di sini berlaku universal, siapa saja, termasuk adalah masyarakat hukum adat. Bahwa mereka dijamin, dilindungi, ya, dan mereka memiliki hak yang menurut saya adalah sama dan tidak berbeda dengan masyarakat yang lainnya, ya. Tetapi, untuk secara khusus tentang bagaimana perlindungan dan jaminan hak asasi masyarakat hukum adat, barangkali kita bisa lihat di berbagai instrumen hukum internasional lainnya, seperti di Konfensi ILO. Kemudian juga di Deklarasi PBB Tahun 2007, itu yang khusus, Indonesia kalau tidak salah juga sudah menandatangani, meskipun ini sifatnya deklarasi, ini soft law begitu, yang menjadi bukti komitmen bahwa Indonesia juga memiliki komitmen politik, komitmen hukum untuk melindungi hak masyarakat adat. Nah, jawaban ini akan saya rangkai dengan jawaban tadi dengan yang pertanyaan yang dikemukakan oleh Ketua Majelis Hakim. Saya sepakat dengan pendapat Ketua Majelis bahwa masyarakat hukum adat itu memiliki hak yang genuine sifatnya, yang harus tetap dihormati dan dilindungi, dan Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga dan melindungi hak-hak mereka. Politik hukumnya sudah sangat jelas bila kita runut Pasal 18B ayat (2) dan juga di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tadi juga sudah saya sebut, apakah itu di Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maupun Undang-Undang Lingkungan Hidup. Nah, dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 ini, seperti tadi yang sudah juga disampaikan dan ditegaskan oleh Saksi bahwa undang-undang ini tidak ditujukan atau tidak diarahkan untuk atau bagi masyarakat hukum adat, tetapi undang-undang ini diarahkan bagi korporasi atau kegiatan-kegiatan terorganisasi yang terstruktur, yang merusak hutan. Nah, itu sebetulnya bisa kita lihat dengan tegas sebetulnya di penjelasan Pasal 1 … di Bab Penjelasan Pasal 1 angka 6 di sini bahwa tidak termasuk … jadi ada penjelasan di depannya dulu, terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas dua orang atau lebih, dan yang bertindak secara 30
bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan. Tujuannya sudah jelas bahwa itu merusak hutan. Kemudian, ada kata-kata, “Tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. Jadi sebetulnya, undang-undang ini sudah secara jelas dan tegas bagaimana sebetulnya undang-undang ini juga memberikan perlakuan yang istimewa atau bisa dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan ini excuse buat mereka masyarakat yang tinggal di dalam kawasan, di sekitar kawasan, termasuk di dalamnya masyarakat hukum adat. Saya kira itu pokok-pokok yang harus saya jawab dari berbagai pertanyaan tadi. Terima kasih, Majelis Hakim. 52.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Tadi Pak Prof. Chairil, ya. Jadi, ada jawaban yang Dr. Patrialis Akbar Yang Mulia yang meminta untuk tertulis supaya bisa ditambahkan melalui Pemerintah nanti, ya. Baik. Terima kasih pada Prof. Rahayu, Prof. Chairil, dan Pak Made Subadia atas keterangan yang diberikan pada persidangan Mahkamah Konstitusi pada pagi hari ini. Dan apabila memungkinkan, segera keterangan yang dimintakan tertulis tadi melalui Pemerintah disampaikan pada Majelis, ya. Baik, sebelum saya akhiri persidangan ini, maka sesuai dengan persidangan yang lalu, apakah Pemerintah masih akan menambahkan keterangan ahli atau dianggap sudah cukup?
53.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Ya, Yang Mulia. Skenario kami masih ada tiga atau empat, satu saksi, dan tiga ahli lagi.
54.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kalau hanya tiga ahli satu saksi, semuanya supaya bisa dihadirkan pada persidangan yang berikutnya.
55.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik.
31
56.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Supaya bisa segera kita selesaikan rangkaian persidangan dalam perkara ini ya.
57.
PEMERINTAH: GUNARDO AGUNG PRASETYO Baik.
58.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Persidangan yang akan datang akan diadakan pada hari Rabu, 4 Februari tahun 2015 pada pukul 11.00 WIB dengan agenda untuk mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari Pemerintah yang mewakili Presiden. Satu orang saksi dan tiga orang ahli dihadirkan sekaligus ya. Baik, sekali lagi, terima kasih kepada Pak … pada Pak Made, Prof. Chairil dan Prof. Rahayu yang telah memberikan keterangan ahli dan saksi dan pada persidangan di Mahkamah Konstitusi. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.50 WIB Jakarta, 27 Januari 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
32