MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN KWI, PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA, DAN MATAKIN (VI)
JAKARTA SENIN, 24 NOVEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 68/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Pasal 2 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. 2. 3. 4. 5.
Damian Agata Yuvens Rangga Sujud Widigda Varita Megawati Simarmata Anbar Jayadi Luthfi Sahputra
ACARA Mendengarkan Keterangan KWI, Parisada Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin (VI) Senin, 24 November 2014, Pukul 11.17 – 12.05 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Aswanto Anwar Usman Patrialis Akbar Wahiduddin Adams Muhammad Alim Maria Farida Indrati Ahmad Fadlil Sumadi
Achmad Edi Subiyanto
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Damian Agata Yuvens 2. Luthfi Sahputra B. Pemerintah: 1. Budijono 2. Tri Rahmanto 3. Jaya C. Kuasa Hukum Pihak Terkait: 1. Siti Aminah 2. M. Khoirur R. 3. A. Nurcholish
(Tim Advokasi Kebhinekaan) (Tim Advokasi Kebhinekaan) (ICRP)
D. Matakin (Majelis Tinggi Agama Khongucu Indonesia): 1. Uung Sendana L. Linggaraja E. KWI (Konferensi Waligereja Indonesia): 1. Y. Purbo Tamtomo F. PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia): 1. I Nengah Dana 2. Yanto Jaya
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.17 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 68/PUUXII/2014, dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X siapa?
2.
Pemohon,
yang hadir pada hari ini
PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS Yang hadir dari Pemohon adalah Pemohon I dan Pemohon III, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Pemerintah, yang mewakili Presiden?
4.
PEMERINTAH: BUDIJONO Dari Pemerintah yang mewakili Presiden, hadir saya sendiri Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Saudara Tri Rahmanto, dan Saudara Jaya dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Pihak Terkait, yang hadir?
6.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SITI AMINAH (TIM ADVOKASI KEBHINEKAAN) Kami dari Tim Advokasi Kebhinekaan, yang hadir adalah saya Kuasa Hukum, Siti Aminah, dan Khoirur R., dan dari ICRP. Terima kasih.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Agenda persidangan kita hari ini adalah mendengarkan keterangan. Yang sudah hadir dari KWI, yang hadir, silakan.
1
8.
KWI (KONFERENSI TAMTOMO Mulia.
9.
WALIGEREJA
INDONESIA):
Y.
PURBO
Kami wakil dari KWI Romo Purbo Tamtomo. Terima kasih, Yang
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Romo. Dari Parisada Hindu Dharma Indonesia, saya persilakan untuk yang hadir.
10.
PHDI (PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA): I NENGAH DANA Terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, mewakili I Nengah Dana, bersama satu rekan Yanto Jaya.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Dari Matakin.
12.
MATAKIN (MAJELIS TINGGI AGAMA KHONGHUCU INDONESIA): UUNG SENDANA L. LINGGARAJA Saya Uung Sendana dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Baik, saya persilakan menyampaikan keterangannya di mimbar.
14.
KWI (KONFERENSI TAMTOMO
WALIGEREJA
Romo
INDONESIA):
Purbo Y.
untuk PURBO
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Yang Terhormat para Ibu, Bapak peserta Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pertama-tama, atas nama Konferensi Waligereja Indonesia, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengundang dan memperkenankan kami untuk hadir dan ambil bagian dalam sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang sangat penting ini.
2
Kami merasa bahwa sidang Pleno ini begitu penting karena merupakan perwujudan perhatian negara Republik Indonesia dan kehendak Mulia untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi semua anggota atau warga negara Republik Indonesia. Secara sederhana, peran kami sebagai salah satu komunitas hidup beragama adalah menyampaikan beberapa catatan terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 dan beberapa pengalaman nyata yang terjadi di dalam masyarakat berkaitan dengan kebutuhan perkawinan dan penerapan undang-undang tersebut. Berikut ini beberapa hal yang ingin kami haturkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Yang pertama, kami Komunitas Gereja Katolik Indonesia, bagian dari warga negara Republik Indonesia, merasa bersyukur dan berbahagia menjadi warga negara Indonesia dan hidup bersama dengan sesama warga negara Republik Indonesia yang lain, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nomor dua, kami merasa bahwa perkawinan merupakan hal yang amat penting dalam kehidupan manusia, termasuk kita warga negara Republik Indonesia. Perkawinan merupakan suatu wadah dan penataan untuk meneguhkan dan mendukung keberlangsungan hidup manusia. Tuhan menganugerahkan kepada manusia yang kita sebut seksualitas untuk menjamin keberlangsungan manusia melalui keturunan. Seksualitas ini juga menjadikan manusia mengalami hidupnya secara dinamis dan juga mengalami rasa bahagia. Dalam pemahaman ini, seksualitas perlu ditata agar tujuan utamanya bisa terus berlangsung dan terwujud, namun sekaligus dihindari kemungkinan yang tidak positif, bahkan bisa merusak karena kelemahan manusia. Penataan seksualitas dalam perkawinan juga memantapkan hidup pribadi manusia dalam relasi cinta yang mendalam. Nomor tiga, dalam alam hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, agama dan negara berkepentingan dalam hal perkawinan ini. Agama berkepentingan dalam hal perkawinan karena sebagai komunitas yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan yang disembahnya, turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia dan semakin memaknai anugerah Tuhan yang luhur ini. Negara juga berkepentingan karena berperan sebagai penetap dan penjamin hukum untuk kehidupan bersama. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila dalam kehidupan bermasyarakat ini negara tidak berperan dalam penataan kehidupan bersama. Secara khusus dalam hal perkawinan, negara berperan untuk memberikan perlindungan, sehingga proses berketurunan yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia tidak dirusak ataupun digagalkan. Negara bertanggung jawab melindungi perkawinan dan 3
keluarga karena berkepentingan melindungi proses berketurunan dalam arti yang penuh. Maksudnya, tanggung jawab menyangkut terjaminnya hidup pribadi menuju panggilan sebagai suami-istri dan selanjutnya dalam peran sebagai orang tua terhadap anak. Hal lain yang menjadi alasan kepentingan negara adalah mengatur dan menjaga agar seksualitas yang dianugerahkan oleh Tuhan, pelaksanaannya tidak melalui kesewenang-wenangan dan sikap anarkis yang bisa menimbulkan konflik, kekacauan, bahkan korban. Yang keempat, berdasarkan pemahaman dan pertimbangan di atas, dalam hal perkawinan, peran dan tanggung jawab negara perlu sungguh mengarah kepada kepentingan dan kebaikan semua warga negara sesuai dengan hak asasinya. Mempersempit dan membatasi perwujudan kebutuhan setiap warga negara ini kami berpendapat bertentangan dengan tugas pokok negara dan perwujudan hak-hak asasi manusianya. Dalam konteks negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, penyempitan dan pembatasan tersebut di atas berarti bisa mengikis nilai Pancasila itu sendiri. Nomor lima. Sebetulnya adanya Undang-Undang Perkawinan, tanggung jawab negara sudah diupayakan. Namun, Undang-Undang Perkawinan yang sekarang berlaku, khususnya ketentuan UndangUndang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (1) mengalami cacat karena: a. Isi dan rumusannya menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu diartikan dan dimaknai de facto dengan pembatasan jumlah agama dan kepercayaannya. Pembatasan ini mengakibatkan sebagian warga negara Republik Indonesia tidak mendapatkan pelayanan dalam perwujudan haknya sebagai warga negara karena tidak masuk dalam pembatasan yang ditetapkan tersebut. b. Dalam situasi tersebut, kerap dijumpai bahwa prasarana tertentu dalam melaksanakan tugas negara “memaksa” agar warga negara tersebut memilih salah satu dari yang sudah ditetapkan. Dalam hal ini kami berpendapat bahwa negara melampaui kewenangannya karena memasuki ranah penyelamatan yang kami yakini sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan yang sepenuhnya menjadi hak asasi setiap orang. c. Dalam pengalaman di tengah masyarakat, ketentuan Pasal 2 ayat (1) sering menimbulkan kesulitan untuk warga negara yang dalam kenyataan hidupnya hendak menikah dalam suatu perkawinan beda agama. Kerap dijumpai mereka yang menikah beda agama dan sudah diteguhkan perkawinannya menurut agama tertentu mendapat kesulitan untuk pencatatan sipil. Kerap dijumpai pula dalam perkawinan beda agama ini salah satu pihak “dipaksa” untuk pindah agama agar kebutuhan pencatatan sipil bisa dilayani. Dalam konteks ini penting digarisbawahi bahwa menurut kami, siapa pun juga tidak 4
bisa memaksakan seseorang untuk pindah agama agar bisa menikah dengan pasangannya yang beda agama. Sikap ini bisa juga membuat orang sulit mewujudkan haknya untuk menikah jika menemukan pasangannya yang beda agama. Isi dan rumusan Pasal 2 ayat (1) perlu diartikan bahwa dalam rangka perkawinan perlu dijunjung tinggi dua hak mendasar dari setiap pribadi, yaitu kebebasan hati nurani untuk memilih pegangan hidup atau beragama dan hak untuk menikah. Tidak boleh bila 2 hak ini bertemu berakibat salah satu harus dikorbankan. Dalam hal perkawinan, ketentuan yang berlaku mesti memungkinkan 2 hal tersebut tetap dihormati dan dibela. Demikianlah beberapa hal yang ingin kami haturkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Semoga beberapa hal ini bisa bermanfaat dalam menentukan penataan perkawinan demi kebaikan para calon mempelai dan kehidupan rumah tangga, serta keluarga mereka. Sekian dan terima kasih. 15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih Romo Purbo. Selanjutnya, dari Parisada Hindu yang akan menyampaikan siapa? Pak Nengah Dana? Persilakan.
16.
PHDI (PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA): I NENGAH DANA Om Swastiastu. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Yang Mulia Para Hakim Konstitusi, dengan menghaturkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa Hyang Widhi Wasa, izinkan dalam sidang Yang Mulia ini kami menyampaikan penjelasan tentang perkawinan dalam perspektif Hindu yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang kita bahas, yaitu perkawinan beda agama dan akan kami bacakan tidak seluruhnya, tetapi hal-hal pokok saja. Bagi Hindu, perkawinan itu bisa dilaksanakan melalui jenjang kehidupan yang disebut Catur Warna Asrama Dharma. Yang pertama adalah masa Brahmacarya (masa belajar). Yang kedua, Grihastha Asrama (masa berrumah tangga). Yang ketiga, masa Vanaprastha (mengasingkan diri dari kehidupan duniawi). Dan yang keempat, Bhiksuka (melepaskan ikatan keduniawian). Jenjang yang kedua ini adalah jenjang hidup berrumah tangga yang disebut Grihastha Asrama. Perkawinan adalah merupakan awal dari memasuki tahapan yang kedua dalam empat jenjang kehidupan itu, yaitu Grihastha Asrama yang menurut Hindu, perkawinan merupakan yajña atau sebagai salah satu bentuk kewajiban pengabdian kepada Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, perkawinan adalah masa awal memasuki Grihastha Asrama dan dinyatakan sebagai 5
kewajiban suci atau dharma, sehingga lembaga tersebut harus dijaga keutuhan dan kesuciannya. Orang yang hidup berrumah tangga mempunyai kewajiban tertentu yang diajarkan dalam Veda, antara lain meneruskan generasi yang baik, melakukan kewajiban agama yang berkaitan dengan Panca Yajña. Panca Yajña ini adalah kewajiban untuk melakukan persembahan dan/atau korban suci kepada Tuhan beserta seluruh manifestasinya, itu yang pertama. Kemudian kepada orang-orang suci, kepada leluhur, kemudian kepada sesama manusia, dan alam lingkungan. Jadi, lima hal ini. Kemudian, kewajiban yang berkaitan dengan fungsi sosial lainnya, ini harus dilaksanakan oleh suatu keluarga dalam rumah tangga. Oleh karena itu, menurut ajaran Hindu untuk hidup berrumah tangga harus melalui proses keagamaan yang disebut Vivara Samskara, di samping proses lainnya yang bersifat administrasi dan tradisi. Vivara Samskara adalah rangkaian kegiatan upacara perkawinan Hindu yang sangat disakralkan dan dipimpin oleh Pandita atau Pedande, maupun Pinandita Lokapalasraya (rohaniwan yang sudah diberi kewenangan untuk itu), setelah diketahui dan dinyatakan bahwa calon pengantin telah memenuhi ketentuan hukum Agama Hindu Dharma dan hukum negara. Karena di Hindu ada dharma negara dan dharma agama. Semua kewajiban itu harus dipenuhi. Ketentuan dimaksud misalnya seperti telah memenuhi syarat usia perkawinan, kesepakatan calon pengantin, persetujuan pihak orang tua, cara memperoleh calon istri sesuai ajaran Hindu, memiliki dasar keyakinan yang sama, dan persyaratan administrasi yang diatur oleh negara. Dengan demikian, berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, penerapan hukum Hindu, baik yang tersurat maupun terlembaga ke dalam adat-istiadat sesungguhnya tidak ada masalah yang berarti karena relatif sejalan, walaupun tidak persis sama. Ketentuan-ketentuan yang bersifat adiministratif tinggal menyesuaikan sebagai bentuk kewajiban dari setiap warga negara yang disebut dharma negara tadi karena ketentuan-ketentuan penting di dalam Agama Hindu telah terakomodasikan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut. Khusus tentang perkawinan beda agama di dalam Agama Hindu pengertiannya berbeda dengan pengertian yang secara umum dipahami dewasa ini, sehingga perlu diberikan tambahan penjelasan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman. Majelis Hakim yang kami muliakan, selanjutnya kami akan menyampaikan konsep dasar perkawinan Hindu. Vivaha atau perkawinan Hindu mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu terwujudnya Grihastha Sukhinah, keluarga yang harmonis, sejahtera, dan kekal yang selalu mendapat anugerah dari Hyang Widhi Wasa. Lembaga perkawinan 6
bukan hanya berfungsi untuk melegalkan hubungan seksual yang disebut rati, melainkan untuk meneruskan keturunan (praja) yang baik atau anak yang suputra, kemudian sebagai wadah pengamalan kewajiban agama dan ritual, dharmasampati, serta wadah untuk melaksanakan kewajiban fungsi sosial lainnya. Tujuan ini sejalan dengan tujuan perkawinan menurut Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Vivaha Samskara atau Grihastha Asrama merupakan lembaga sakral yang terikat dengan aturan-aturan atau norma tertentu, termasuk sistem dan tata cara pelaksanaan perkawinan. Kami telah membuat tulisan tentang sistem perkawinan Hindu, kami tidak membacakan semua. Ada delapan sistem perkawinan yang disebut Brahma Vivaha, Daiva Vivaha, Prajapatya Vivaha, Arsa Vivaha, Asura Vivaha, Gandharwa Vivaha, Raksasa Vivaha, dan Paisaca Vivaha. Empat yang pertama saya sebutkan tadi itu dinyatakan baik, dua berikutnya tidak dianjurkan, walaupun boleh. Dan dua yang terakhir Raksasa Vivaha dan Paisaca Vivaha, yaitu perkawinan secara paksa dan perkawinan dengan penipuan itu dilarang karena dinyatakan berdosa. Selain sistem perkawinan yang diuraikan di dalam Kitab Manu Smerti tersebut, pada masyarakat Hindu, terutama di India dikenal adanya perkawinan antaragama atau beda agama. Namun, pengertian perkawinan antaragama dimaksud sifatnya terbatas, hanya bagi orangorang atau umat yang keyakinan agamanya boleh dikatakan serumpun. Di dalam buku perkawinan menurut Hukum Hindu (Gde Pudja. 1975:47) dikemukakan bahwa keyakinan yang dianggap serumpun itu ialah yang tergolong Hinduisme (menurut Hindu Marriage Act), yaitu antara mereka yang beragama Hindu, Buddha, Jaina, dan Sikh. Pengertian Hinduisme itu kemudian diperluas meliputi semua sekte, seperti mazhab Nambodi Brahmin, Wirasaiwa, Linggayat, Waisnawa, Siwait, Aryasamaj, dan mazhab Hindu ortodoks lainnya. Dalam masyarakat Hindu Indonesia, perkawinan antaragama seperti itu tidak dikenal. Setiap perkawinan pengesahannya selalu berpedoman kepada susastra/kitab-kitab Hindu, termasuk Kitab Kutara Manawa, dan Dresta, atau tradisi suci yang berlaku secara turuntemurun. Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan makna susastra itu, maka Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai majelis tertinggi umat Hindu akan memutuskan dengan memerhatikan sumbersumber ajaran Hindu, yang terdiri atas Veda Sruti (kitab-kitab Sabda atau wahyu beserta cabang-cabangnya), kemudian Kitab Smerti (kitabkitab tafsir), Sila (perilaku yang dicontohkan oleh para suci), Sadacara (tradisi suci/taradisi veda), Dan Atmanastusthi (kesepakatan dan keheningan hati). Dalam praktiknya sampai dewasa ini, umat Hindu di Indonesia melaksanakan perkawinan yang pengesahannya dilakukan secara Agama 7
Hindu dengan ritual yang beraneka ragam sesuai tradisi etnis atau dresta setempat. Tata cara dan proses perkawinan yang umum diikuti, antara lain tradisi Bali, Jawa, India/Tamil, Dayak, dan Karo. Walaupun tradisinya berbeda, namun secara prinsip tetap sejalan dengan ketentuan yang tercantum di dalam Veda. Artinya, tata cara perkawinannya mengikuti ketentuan Veda. Tentang tata cara dan proses perkawinan. Dalam rangka melaksanakan upacara perkawinan, baik berdasarkan ketentuan kitab suci maupun adat-istiadat, calon pengantin wanita dan pria harus satu agama (Hindu). Jika belum sama, maka wajib dilaksanakan Upacara Sudhi Vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa sebagai penganut Hindu. Selain itu, menurut Kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII.12-14 disebutkan syarat-syarat pelaksanaan upacara. Syarat pelaksanaan upacara ini ada sepuluh. 1. Sapta padi, ini dalam prosesnya itu ada melangkah tujuh kali. 2. Kemudian Panigrahana, bergandengan tangan. 3. Laja Homa, menyalakan api suci untuk penyampaian doa restu. 4. Sraddha, keyakinan terhadap kebenaran ajaran samskara. Keyakinan itu yang menyebabkan simbol-simbol ritual akan bermakna. 5. Lascarya, keikhlasan dalam melaksanakan suatu yajña atau upacara itu. 6. Ya, kemudian Sastratah yang keenam, pelaksanaan suatu yajña wajib mengikuti petunjuk atau pedoman yang tercantum di dalam Kitab Suci Veda. 7. Daksina, persembahan pemberian kepada yang menyelenggarakan atau pemimpin upacara. 8. Mantra, lagu-lagu pujaan yang harus disampaikan oleh orang-orang sekitarnya dan dipimpin oleh pimpinan upacara atau Pandita. 9. Annaseva, jamuan makan sesuai dengan kemampuan. 10. Nasmita, sikap dalam melaksanakan upacara yajña itu tidak boleh bersifat pamer. Sedangkan prosesnya, sesuai yang kami sampaikan tadi. Di Bali, Karo, Tamil, Dayak, maupun tempat lain di Indonesia, itu sangat disakralkan. Kami tidak bacakan tentang proses ini karena cukup panjang. Misalnya, di Bali dimulai dari Upacara Ngekeb. Ngekeb itu disimpan di … apa … ditempatkan di dalam kamar, kemudian besoknya baru dijemput untuk penyucian diri, mandi, lulur, dan sebagainya. Kemudian Mungkah Lawang, membuka pintu. Masegeh Agung, diberikan upacara untuk menjauhkan noda-noda dan gangguan makhluk-makhluk yang dianggap dapat mengganggu. Madengen-dengen, penyucian kedua pengantin supaya tidak terganggu oleh energi negatif. Mawidhi Widana, itu upacara sakralnya bersaksi kepada Tuhan, kepada masyarakat dan bersaksi kepada leluhur. 8
Di samping itu, ada sarana ritual lainnya yang sifatnya tradisional. Seperti di Bali, membawa Tegen-tegenan, melambangkan bahwa dia itu masih dalam masyarakat agraris. Tapi kalau tidak masyarakat agraris, simbolnya akan berbeda. Demikian pula di Jawa. Proses selanjutnya, setelah pawiwahan … acara puncak Vivaha Samskara adalah pengucapan mantra atau doa yang merupakan doa dan janji pasangan suami-istri. Yang pengucapannya dipandu oleh pendeta atau seorang rohaniwan yang ditunjuk. Bunyinya demikian, “Om, Iha iva stham ma viyaustam, visvam ayur vyasnutam, Kridhantau putrair naptribhih, moda manau svegrhe.” Yang artinya, Om Hyang Widhi Wasa, semoga kami berdua hidup dalam keluarga yang tak kenal pisah, dianugerahi keturunan, hidup bahagia, bermain bersama anak cucu di rumah kami sendiri. Kemudian, mempelai pria mengucapkan mantra, “Om grm nami te saubhagatvaya hastam, maya patyajara dastir yathasah, Bhago aryama savita puramdhir, mahyam tva dur garhapatya devah.” Ini dalam Rg Veda disebutkan. Yang artinya, “Dengan bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa, saya pegang tanganmu, oh dewi keberuntungan, semoga engkau hidup selamanya bersama saya sebagai suamimu, semoga dewa Bhaga, Aryama, Savitar, dan Puramdhi menganugerahkan engkau sebagai pengatur rumah tangga kita.” Mantra diucapkan oleh mempelai wanita. “Om dirghayurastu me patir jivati saradah satam.” Artinya, “Om Hyang Widhi Wasa, semoga suamiku mencapai usia panjang dan hidup selama seratus tahun.” Mantra yang diucapkan bersama oleh kedua mempelai dan kadang-kadang bersama juga oleh beberapa masyarakat yang menyaksikan. “Om samani jantu visve devah, sam apo hrdayani nau, Sam matarisva sam dhata, samudestri dadhatu nau.” Yang artinya, “Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua pada dewa menyamakan niat kami, Dewa Apah menyatukan hati kami, Dewa Matarisva, Dhata, dan Destri menyeleraskan kami.” Janji pasangan suami-istri merupakan inti dari niat mereka berdua untuk hidup bersama selamanya. Dalam pelaksanaannya, dalam praktiknya di Indonesia, setelah ini dilanjutkan dengan pemberkasan surat keterangan perkawinan sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 beserta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pemberkasan akta perkawinan. Pemberkasan akta perkawinan ada dua cara, dihadiri langsung di tempat pelaksanaan upacara oleh petugas dari Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau tidak dihadiri, tetapi kemudian dilaporkan ke Catatan Sipil. Masih ada berikut rangkaian acaranya adalah Majauman. Jadi, datang ke rumah wanita untuk memohonkan pamit agar wanita sebagai
9
istri yang baru diizinkan untuk hidup bersama suaminya. Dan juga dilaksanakan upacara mohon pamit kepada leluhurnya sekaligus. Demikianlah proses perkawinan Hindu dengan berbagai tradisi keagamaannya, menunjukkan keanekaragaman ritual yang akan memberi kesan tersendiri di hati kedua mempelai maupun sanak keluarganya. Mengingat begitu sakralnya nilai perkawinan Hindu, maka pengesahan perkawinan wajib dilakukan sesuai tata cara dan proses perkawinan berdasarkan Susastra Veda, sehingga kedua mempelai bisa dipersyaratkan telah memeluk Agama Hindu. Persyarakat tersebut juga berkaitan erat dengan peraturan hukum mengenai hak dan kewajiban suami-istri menurut ajaran Hindu. Ada lima pokok kewajiban suami dan enam kewajiban pokok istri. Ini disebutkan di dalam Kitab Manu Smerti atau Manawa Dharmasastra. Kewajiban suami: 1. Melindungi istri, dan anak-anaknya, serta berkewajiban mengawinkan anaknya pada waktunya. 2. Menyerahkan harta, dan menugaskan istri sepenuhnya untuk mengurus rumah tangga. Serta urusan agama bagi keluarga, atau dalam hal tertentu urusan agama dilakukan secara bersama-sama. Artinya, kalau upacaranya besar, dia bersama-sama menyiapkan. Tapi kalau upacara yang rutin pagi dan sore, di rumah itu disiapkan oleh istri. 3. Menjamin hidup dengan memberi nafkah istrinya bila karena suatu urusan penting (tugas), ia harus meninggalkan istrinya ke luar daerah. 4. Memelihara hubungan kesuciannya dengan istri, saling setia, dan saling mempercayai, sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga. 5. Menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka tidak timbul perceraian, serta masing-masing tidak melanggar kesuciannya. Kewajiban istri, secara umum pokok-pokoknya adalah sebagai berikut. 1. Sebagai seorang istri atau pun wanita, hendaknya ia selalu berusaha untuk tidak bertindak sendiri-sendiri dengan meninggalkan ayahnya atau suaminya. 2. Istri harus pandai-pandai membawa diri, mengatur, dan memelihara rumah tangga supaya baik dan ekonomis. 3. Istri harus setia kepada suaminya, selalu berusaha tidak menyakiti hati suaminya, mengendalikan diri, tetap suci, dan menjalankan tugas mulianya. Maka setelah mati, ia dinyatakan akan mencapai surga walaupun ia tidak mempunyai anak. 4. Istri harus selalu mengendalikan pikiran, perkataan, dan tingkah lakunya dengan selalu mengingat suaminya, tidak melanggar 10
kewajibannya terhadap suami, maka ia dinyatakan sebagai sadhwi dan akan mencapai surga kelak sesudahnya mati mendampingi suaminya. 5. Istri berkewajiban memelihara rumah tangga. 6. Melahirkan keturunan (suputra keturunan yang berbudi luhur tadi), menyelenggarakan upacara-upacara kegamaan, melakukan pelayanan yang setia, melakukan hubungan seksual dengan suami, dan yang menyebabkan pencapaian pahala di surga bagi nenek moyang dan anggota keluarga. Suami-istri yang dapat menjalankan kewajibannya masing-masing dengan baik diharapkan memperoleh keturunan anak yang suputra, yaitu anak yang berpengetahuan, berbudi luhur, dan taat menjalankan dharma, sehingga mereka dapat mengentaskan ruh leluhurnya dari Neraka Put (belenggu neraka). Melahirkan suputra merupakan tujuan yang amat luhur dari perkawinan Hindu. Karena itu, perkawinan mereka harus disahkan menurut tata cara dan proses perkawinan Hindu. Pandita/Pinandita Lokapalasraya (pemimpin upacara) tidak akan berkenan mengesahkan perkawinan bila di antara mereka (calon pengantin) masih memeluk agama yang berbeda. Dalam kaitan ini, umat Hindu berpedoman pada ketentuan Kitab Manu Smerti Adhyaya V (Bab V atau buku V) Sloka 89 yang berbunyi, “Writhasamskara jatanam prawrajyasu ca tisthatam, atmanas tyaginam ca iwa nirwartetodaka kriya.” “Air suci sakramen tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara yang telah ditentukan, sehingga kelahiran mereka itu dianggap sia-sia belaka, tidak pula diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran secara tidak sah, juga kepada mereka yang menjadi pertapa (tyaginam) dari golongan murtad dan kepada mereka yang meninggal karena bunuh diri.” Dengan demikian, perkawinan beda agama menurut ketentuan ajaran Agama Hindu, dinyatakan tidak dapat disahkan melalui Vivaha Samskara, sehingga bila hal ini dilakukan, maka pasangan suami-istri seperti itu dianggap tidak sah dan untuk selamanya dianggap sebagai samgrhana (perbuatan zina). Kemudian, sebagai konsekuensinya adalah perkawinan mereka dianggap batal dan tidak dapat dicatatkan administrasi kependudukannya pada Kantor Catatan Sipil. Sehubungan dengan itu, berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah dilaksanakan berdasarkan agama masing-masing dan keperca … agama dan kepercayaannya masingmasing, itu sudah sesuai dengan ajaran Hindu. Dan Parisada Hindu Dharma sebagai majelis tertinggi umat Hindu tetap menginginkan Pasal itu ada tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
11
Soal perubahan agama, saya kira, apabila itu tumbuh dari hati nurani mereka, itu tidak melanggar hak asasi manusia. Karena memang hak agama memang hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan setiap orang penduduk Indonesia atau warga negara Indonesia mempunyai hak dan kebebasannya untuk menjalankan ibadah agama maupun kepercayaannya. Yang jelas, perkawinan bukan menjadi … apa namanya … pokok persoalan dalam hidup. Yang menjadi pokok persoalan yang harus dititi, dijalani adalah agama. Kalau memang dia yakin dengan agamanya, ajaran agamanya, tentu dia tidak akan pindah agama dan tidak akan kawin dengan orang yang beda agama, tetapi kalau kawinnya yang didahulukan, tentu ini yang akan menjadi persoalan lain. Saya kira soal pindah agama tidak dilarang menurut konstitusi, sehingga kalau memang dia sejalan, setia, dia harus mulai beradaptasi mencari kebenaran yang sesungguhnya, bukan baju kebenaran, tetapi nilai kebenaran untuk dijalani dalam kehidupannya. Demikianlah pandangan Hindu tentang perkawinan beda agama yang tidak mungkin dilakukan karena bertentangan dengan ketentuan Susastra Veda. Tata cara dan proses Vivaha Samskara yang dilaksanakan selama ini adalah merupakan lembaga sakral yang diyakini akan membawa keselamatan dan kebahagian. Dengan mematuhi ketentuan dharma dalam melaksanakan Grihastha Asrama atau perkawinan Hindu diharapkan dapat mengantarkan mereka, suami-istri dan putra-putrinya untuk mewujudkan Grihastha Sukhinah, yaitu suatu kehidupan keluarga yang harmonis, damai, dan sejahtera. Demikianlah, penjelasan kami, Yang Mulia Majelis Hakim untuk dapat dijadikan pertimbangan di dalam mengambil keputusan, terima kasih. Om Shanti Shanti Shanti Om. 17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak I Nengah Dana. Berikutnya dari Matakin yang menyampaikan Pak Drs. Uung Sendana, ya? Terima kasih. Silakan.
18.
MATAKIN (MAJELIS TINGGI AGAMA KHONGHUCU INDONESIA): UUNG SENDANA L. LINGGARAJA Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Perkenankanlah saya Uung Sendana, Wakil Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) mewakili Matakin memberi keterangan terkait perihal Permohonan Pengujian UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai surat dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 12
1051.68/PAN.MK/XII/2014, tertanggal 7 November, di situ tertulis 17 November, dikoreksi. Hal panggilan Sidang kepada Ketua (dalam hal ini seharusnya Ketua Umum, koreksi dari saya karena di Matakin ada beberapa orang ketua bidang) Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Mengenai apa yang akan diuji materi dalam persidangan Mahkamah Konstitusi ini, kami tidak akan mengulangi lagi karena sudah cukup jelas. Untuk itu, kami langsung masuk ke dalam poin-poin penjelasan perkawinan berdasar Agama Khonghucu dan sikap Matakin mengenai perkawinan antar-mempelai yang berbeda agama. Keterangan yang akan saya sampaikan mengacu pada rujukan yang dikeluarkan oleh Presidium Dewan Rohaniwan dan Dewan Pengurus Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), tertanggal 18 November 2014. Mengingat: 1. Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Bila tidak terpadu langit dan bumi, berlaksa benda tidak akan tumbuh. Upacara perkawinan besar (Da Hun) adalah pelestari generasi berlaksa zaman (Kitab Catatan Kesusilaan atau Li Ji, Bab XX1V ayat yang ke 11, jadi salah satu dari Kitab Suci Agama Khonghucu, yaitu Wu Jing). 3. Hal laki-laki dan perempuan hidup berkeluarga adalah hubungan terbesar dalam hidup manusia (Mengzi VA:20). Mengzi itu adalah salah satu kitab di dalam Kitab Si Shu atau Kitab yang Empat, Kitab Suci Agama Khonghucu. 4. Upacara pernikahan bermaksud akan menyatupadukan kebaikan atau kasih antara dua keluarga yang berlainan marga. Ke atas mewujudkan pengabdian kepada agama dan kuil leluhur atau Zong Miao. Ke bawah meneruskan generasi. Maka seorang junzi atau susilawan atau orang yang berbudi luhur sangat menaruh perhatian. Ini diambil dari Kitab Li Ji atau Kitab Catatan Kesusilaan Bab Hun Yi ayat yang ke 1. Menimbang: 1. Tata Agama dan Tata Laksana Upacara Agama Khonghucu, khususnya Hukum Perkawinan Agama Khonghucu Indonesia disahkan di Tangerang tanggal 21 Desember 1975 beserta penjelasannya. 2. Amanat Rohani atau Shi Gao, Dewan Rohaniwan Agama Khonghucu Indonesia Nomor 002/DEROKH.Shi Gao/X/2010, tanggal 20 Oktober 2010. 3. Tata Aturan Dewan Rohaniwan Agama Khonghucu Indonesia, khususnya Tata Cara dan Upacara Liep Gwan/Li Yuan Pernikahan, 13
ditetapkan di Jakarta tanggal 28 Juli 2007 dan direvisi dalam pertemuan para Haksu atau Xueshi atau Pendeta Agama Khonghucu plus di Jakarta 16-18 April 2008. Menetapkan: Pertama: 1. Bahwa perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah Firman Tian. 2. Perbedaan paham, golongan, bangsa, budaya, etnis, sosial, politik, maupun agama tidak menjadi penghalang dilangsungkannya perkawinan. Kedua: Perkawinan adalah antara laki-laki dan perempuan oleh Firman Tian atau Tian Ming, Tuhan Khaliq Semesta Alam dan telah memenuhi ketentuan tata agama dan tata laksana upacara, tata aturan Dewan Rohaniwan Agama Khonghucu Indonesia serta hukum perkawinan yang telah ditetapkan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Ketiga: 1. Li Yuan Perwakinan dilaksanakan hanya bagi kedua mempelai yang beragama Khonghucu. 2. Bagi mempelai yang berbeda agama, tidak dapat dilaksanakan Li Yuan Perkawinan, melainkan hanya pemberian restu sebagai pengakuan dan pemberitahuan telah dilaksanakan perkawinan. Maha Besar Tuhan, Tuhan Pelindung Akhlak Kebajikan. Huang Yi Shang Di Wei Tian You De. Itu penjelasan dari kami, singkat, padat. Terima kasih atas perhatiannya, selamat pagi, dan terima kasih. 19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak. Dari Pemohon, ada ahli atau saksi-saksi sudah pernah ... ahli?
20.
PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS Saksi sudah, Yang Mulia. Ahli ada.
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada?
14
22.
PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS Ada.
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Berapa ahli?
24.
PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS Ada 3, Yang Mulia. Namun sebelum itu, apakah kami boleh mengajukan pertanyaan kepada (...)
25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, enggak, enggak bisa. Ini keterangan dari agama-agama, kita harus menelan itu ya. Harus menerima itu.
26.
PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS Baik.
27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Tidak bisa dipertanyakan, enggak bisa didiskusikan ya. Ada berapa ahli yang akan disampaikan?
28.
PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS Ada 3 orang ahli, Yang Mulia.
29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ahli jadi 3. Dari Pemerintah, ada ahli?
30.
PEMERINTAH: BUDIJONO Dari Pemerintah cukup, Yang Mulia.
31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Dari Phak Terkait, ada ahli?
15
32.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SITI AMINAH (TIM ADVOKASI KEBHINEKAAN) Ada, Yang Mulia. Satu orang.
33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Satu orang. Terus saksi ada, enggak?
34.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: SITI AMINAH (TIM ADVOKASI KEBHINEKAAN) Belum.
35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT jelas).
Belum, ya. Jadi kalau begitu ... 4 orang (suara tidak terdengar
Baik, kalau begitu, dari Pemohon ahli tiga orang dan saksi ... ahli dari Pihak Terkait satu orang, dihadirkan sekaligus, ya. Persidangan akan dilaksanakan pada hari Senin ... maaf, hari Kamis. Hari Kamis, 4 Desember tahun 2014 dengan agenda untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon empat orang dan dari Pihak Terkait satu orang ya. Jadi, tiga orang dan satu orang dari Pihak Terkait. Jadi, agenda kita pada hari Kamis, 4 Desember 2014 akan mendengarkan keterangan ahli empat orang ya. Persidangan akan dimulai pada waktu ... pada waktu pukul 11.00, ya. Baik, sidang hari ini selesai dan ditutup. Sebelum saya tutup, saya ucapkan terima kasih pada perwakilan dari KWI, dari Parisada Hindu Dharma, dan dari Matakin yang sudah memberikan keterangan ahli atau undangan dari Mahkamah Konstitusi. Sekali lagi terima kasih. Sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.05 WIB Jakarta, 24 November 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
16