MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 15/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, PIHAK TERKAIT, SERTA AHLI/SAKSI PEMOHON (IV)
JAKARTA RABU, 30 APRIL 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 15/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa [Penjelasan Pasal 70] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Darma Ambiar dan Sujana Sulaeman ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, Pihak Terkait, serta Ahli/Saksi Pemohon (IV) Rabu, 30 April 2014, Pukul 15.45 – 16.48 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Arief Hidayat Ahmad Fadlil Sumadi Muhammad Alim Anwar Usman Aswanto Wahiduddin Adams
Yunita Rhamadani
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5.
Andi Syafrani M. Ali Fernandes Rivaldi Yupen Hadi Ali Fernandes
B. Ahli dari Pemohon: 1. Satya Arinanto 2. Aidul Fitriciada Azhari C. Pemerintah: 1. Agus Hariadi D. Pihak Terkait: 1. 2. 3. 4.
Harianto Sunidja Madjedi Hasan Huala Adolf Arif
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 15.45 WIB
1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Assalamualaikum wr. wb. Sidang dalam Perkara Nomor 15/PUUXII/2014 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, yang hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Hadir, Yang Mulia, Prinsipal kami, Bapak Sujana Sulaeman dan kami Kuasa Hukum, kami Andi Syafrani, Yupen Hadi, Rivaldi, dan Muhammad Ali Fernandes, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Kemudian perlu saya beritahukan, ini semestinya Sidang Pleno, tapi ada 3 orang Hakim yang tidak bisa hadir karena berbagai kepentingan, maka sidangnya 6 orang Hakim, berarti sidang ini adalah Sidang Panel yang diperluas. Saudara keberatan atau bagaimana? Silakan, Saudara.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Tidak, Yang Mulia.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Tidak, ya?
6.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Tidak.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Kita lanjutkan, ya.
1
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Lanjutkan, Yang Mulia.
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Pemerintah yang hadir?
10. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Terima kasih, Yang Mulia. Saya sendiri, Agus Hariadi dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia. 11. KETUA: ARIEF HIDAYAT Kemudian, ada Pihak Terkait. Siapa Pihak Terkait yang hadir ini? 12. PIHAK TERKAIT: HARIANTO SUNIDJA Yang Mulia, Pihak Terkait dari BANI, yang hadir adalah saya sendiri, Harianto Sunidja. Kemudian, di samping kiri saya, Pak Madjedi Hasan, kemudian berikutnya adalah Prof. Huala Adolf, dan berikutnya adalah Saudara Arif. Terima kasih. 13. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Pihak Terkait. Agenda pada siang hari ini adalah mendengarkan keterangan DPR, tapi DPR tidak hadir. Berikutnya, mendengarkan keterangan Pihak Terkait dan mendengarkan keterangan ahli ada 2 orang. Dari Pemohon ada 2 orang ahli. Yang pertama, Prof. Satya Arinanto dan yang kedua Dr. Aidul Fitriciada, sudah hadir? Ya, saya persilakan Prof. Satya dan Dr. Aidul untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya bersama-sama. Silakan, Prof. Keduanya muslim, ya? Silakan, Yang Mulia. 14. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan mengikuti kata sumpahnya. 15. KETUA: ARIEF HIDAYAT Tangan lurus ke bawah.
2
16. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Dimulai. “Bismilahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.” 17. PARA AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismilahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. 18. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Kembali ke tempat. Terima kasih, Rohaniawan. Baik, yang pertama saya persilakan Pihak Terkait, siapa yang akan menyampaikan keterangannya. Karena sudah ada yang tertulis, mohon bisa disampaikan secara ringkas saja di mimbar. Highlight yang pentingpenting saja yang disampaikan. 19. PIHAK TERKAIT: HARIANTO SUNIDJA Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Pertama-tama barangkali mohon maaf karena Pak Husseyn Umar yang seharusnya menyampaikan keterangan dari Pihak Terkait, sakit, diminta untuk saya menyampaikan keterangan ini atas nama Husseyn Umar. Yang bertanda tangan ini, M. Husseyn Umar, S.H., Wakil Ketua Badan Arbitrase Indonesia (BANI) dalam hal ini bertindak untuk/dan atas nama pengurus BANI untuk mewakili BANI menyampaikan keterangan mengenai arbitrase pada umumnya dan pelaksanaannya di BANI, baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan atas permohonan pengujian constitutional review Penjelasan Pasal 70 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk selanjutnya disebut UU AAPS terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang dimohonkan oleh Ir. Darma Ambiar, M.M., dan Drs. Sujana Sulaeman yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Andi Syafrani, S.H., M.C.C.L., dan kawankawan untuk selanjutnya disebut Para Pemohon, sesuai registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014. Berikut ini tanggapan BANI terhadap materi pemuatan yang dimohonkan untuk diuji meliputi hal-hal sebagai berikut. 1. Tentang BANI. BANI adalah lembaga independent yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi, dan 3
bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu Almarhum Prof. Soebekti S.H., dan Haryono Tjitrosoebono S.H., dan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh dewan pengurus dan dewan penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan, Batam. Adapun BANI sebagai lembaga arbitrase adalah sesuai dengan ketentuan umum Pasal 1 butir 8 Undang-Undang AAPPS yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diselenggarakan melalui lembaga arbitrase, yaitu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Selanjutnya Pasal 1 butir 9 juga mengakui putusan arbitrase internasional, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independent dalam menegakkan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu di mana majelis arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai profesi, 7% di antaranya adalah arbiter asing terdaftar di BANI. 2. Pengertian tentang arbitrase. 1. Menurut Prof. R. Soebekti Mantan Ketua Mahkamah Agung, arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim dan para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada dan menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk. Sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase telah lama dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Kaidah umum tentang arbitrase telah merupakan bagian dari hukum acara perdata yang berlaku pada Raad Van Justitie yaitu RV 1847 Nomor 52 juncto S 1849 Nomor 67 dan Pasal 377 HIR 1941-1944. 2. Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan antara lain bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan
4
3.
4.
5.
6.
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (eksekutoar) dari pengadilan. Sengketa yang dapat disengketakan melalui arbitrase adalah hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang AAPS penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perdagangan. Putusan arbitrase adalah bersifat mandiri, final dan mengikat, final and binding atau seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga ketua pengadilan negeri tidak lagi diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase tersebut. Sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang AAPS, pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, hal ini untuk menjaga agar penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjadi berlarutlarut. Yurisprudensi TAP Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengakui bahwa arbitrase sebagai ekstra yudisial yang lahir dari perjanjian arbitrase mempunya akibat hukum (legal effect) yang memberikan kewenangan mutlak (absolute) pada majelis arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasarkan atas hukum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam melaksanakan perjanjian arbitrase tersebut berlaku asas hukum Pacta Sunt Servanda, dimana para pihak dapat menetapkan hukum yang mengatur sengketa atau menyerahkannya pada putusan arbiter. Dengan demikian para pihak dalam perjanjian arbitrase tersebut wajib menerima putusan yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase sebagai sesuatu yang resmi, final, dan mengikat para pihak. Abitrase dapat dilaksanakan institusional, dimana proses dilaksanakan dengan bantuan suatu lembaga arbitrase dengan menggunakan aturan dari lembaga arbitrase tersebut, seperti misalnya International Court of Arbitration dari International Chamber Of Commerce (ICC) Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Kuala Lumpur Regional Arbitration Centre (KLRAC), dan Badan Arbitration National Indonesia (BANI). Arbitrase juga dapat dilaksanakan secara ad hoc dimana para pihak dapat bersepakat untuk menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri, aturan atau prosedur dari salah satu lembaga arbitrase tertentu, atau aturan tertentu yang tidak terkait dengan suatu 5
lembaga arbitrase, seperti aturan unsitral, arbitration rules yang diterbitkan oleh United Nations Commission on International Trade Law di Indonesia mengenai arbitrase ad hoc. 3. Pelaksanaan Putusan Abitrase. 1. Dalam Undang-Undang AAPS pelaksanaan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 59, 64, untuk putusan arbitrase nasional, dan Pasal 65, Pasal 69 yang memberikan kewenangan kepada PN Jakarta Pusat untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri dalam waktu 30 hari setelah putusan arbitrase diucapkan. 2. Karena putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat ketua pengadilan negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki ketua pengadilan negeri terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Menurut Pasal 62 UU APS, sebelum memberi perintah pelaksanaan ketua pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 secara tidak bertentangan atau kesusilaan dan ketertiban umum. Bila tidak memenuhi maka ketua pengadilan negeri dapat menolak pelaksanaan eksekusi, dan terhadap putusan ketua pengadilan tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. 3. Pasal 70 UU AAPS menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam pemeriksaan palsu, atau disembunyikan, dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dalam penjelasan Pasal 70 ini ditegaskan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan yang sudah di daftarkan dipengadilan, dan alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. 4. Berbeda dengan UU AAPS, Uncitral Model Law tidak mengenal pembatalan, tapi Pasal 34 Uncitral Model Law menyatakan bahwa putusan arbitrase dapat dikesampingkan (setting a side) apabila. a. Satu atau para pihak tidak cakap (incapability). b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau proses arbitrase, atau tidak mempresentasikan perkaranya.
6
c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase. d. Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang atau. e. Pengadilan menemukan bahwa pihak pokok perkara dalam sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dari negara tersebut. Ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Uncitral Model Law tersebut sama dengan ketentuan yang termuat dalam hukum arbitrase nasional di banyak negara, antara lain Australia, Kanada, Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Demikian pula dalam Pasal 36 Konvensi New York Tahun 1958 mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing telah digunakan istilah refusal atau penolakan, Indonesia meratifikasi Konvensi New York dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981. Perlu dicatat bahwa apa pun alasan dari penolakan atau penyampingan setting a side, suatu pembuktian tetap diperlukan. Tanggapan terhadap pertanyaan Majelis Hakim. Bahwa dalam persidangan tanggal 14 April 2014, Majelis Hakim Konstitusi mengajukan pertanyaan berkaitan dengan Pasal 70 Undang-Undang AAPS yang mengatur pembatalan putusan arbitrase dan atas pertanyaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Bahwa Pasal 70 AAPS menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalannya oleh para pihak, yakni jika putusan dimaksud. a. Mengandung unsur-unsur adanya surat atau dokumen yang diakui atau dinyatakan palsu. b. Adanya dokumen yang disembunyikan. Dan, c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat. Rincian unsur-unsur tersebut sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang terlibat dalam proses arbitrase yang memiliki dugaan bahwa putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter tersebut mengandung unsur-unsur pemalsuan, penyembunyian fakta, dokumen, dan adanya unsur tipu muslihat. 2. Bahwa dalam melaksanakan arbitrase, BANI telah menerbitkan kebutuhan prosedural (prosedural regulation) yang mengatur proses arbitrase yang diselenggarakan oleh BANI bagi yang menunjuk BANI. Selain ruang lingkup dan ketentuan-ketentuan umum. Peraturan prosedural BANI memuat proses arbitrase yang umum berlaku di 7
3.
4.
5.
6.
peradilan umum prosedur pembentukan majelis arbitrase, termasuk penunjukkan, penolakan, pengingkaran, dan penggantian arbiter, pemeriksaan arbitrase, bahasa pemeriksaan, dan dokumen bukti, dan persidangan, bobot pembuktian, pemeriksaan saksi-saksi, dan ahli, dan putusan, dan pendaftaran putusan di pengadilan negeri. Bentuk prosedural BANI memberikan kesempatan seluas-luasnya dengan memberikan waktu khusus kepada para pihak untuk memeriksa bukti-bukti dan saksi-saksi dan/atau ahli yang diajukan olehnya dan olehnya dan pihak lawan dan bahwa pemeriksaan dokumen juga meliputi keaslian dokumen, demikian pula dengan pemeriksaan para saksi dan ahli dalam persidangan yang semuanya disumpah menurut agama atau kepercayaan masing-masing dan diharuskan menyampaikan keterangan tertulis (affidavit) sebelum pemeriksaan. Bahwa tipu muslihat merupakan salah satu tindak pidana atau kejahatan terhadap harta benda yang di dalam KUHP diatur dalam Bab XXV Pasal 378 sampai 395. Bahwa dengan demikian pembuktiannya masuk dalam ranah hukum pidana. Bahwa UU AAPS menetapkan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60). Dengan demikian kesepakatan para pihak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase pada hakikatnya berarti bahwa para pihak bersedia menerima putusan arbitrase sebagai putusan terakhir (final) dari para arbiter dan mengikat para pihak yang berlandaskan pada Asas Pacta Sunt Servanda. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Putusan dapat dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri (PN) atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61). Untuk itu putusan arbitrase harus didaftarkan oleh arbiter kepada panitera pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal putusan diucapkan (Pasal 59). Ketua PN tidak memeriksa alasan atau memperimbangkan dalam putusan arbitrase (Pasal 62 butir 4). Eksekusi putusan arbitrase dapat ditolak oleh pengadilan negeri untuk dilaksanakan hanya dalam hal putusan arbitrase melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Pasal 71 Undang-Undang AAPS mengisyaratkan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak dari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Selanjutnya, Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang AAPS menentukan bahwa dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri. Jadi, maksimum waktu yang yang
8
disediakan untuk memperoleh putusan pengadilan negeri tersebut adalah 60 hari. Bahwa memang jangka waktu itu sering dianggap tidak cukup atau ketentuan ini sulit untuk dapat dijalankan sebagaimana dinyatakan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 15/PUU-XII/2014. Namun, hal tersebut semata-mata merupakan teknik pengadilan dan sering merupakan taktik penundaan persidangan yang dilakukan oleh para pengacara dan bahwa pengadilan cepat dapat dibuktikan … dapat dilakukan dalam perkara-perkara kepailitan. 7. Ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan yang harus diajukan secara tertulis dan bahwa ketentuan ini dapat diartikan bahwa bentuk pengajuan pembatalannya berupa suatu surat permohonan. Dan bahwa dengan demikian, tunduk pada yurisdiksi voluntair yang menurut Yahya Harahap (Mantan Hakim Agung), ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah masalah yang diajukan dalam permohonan tersebut bersifat kepentingan sepihak semata. Atau permasalahan yang dimohonkan kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain, atau tidak ada orang lain, atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte. 8. Tentang pemeriksaan atas adanya pemalsuan dokumen, hanya dapat diajukan dalam bentuk gugatan bukan voluntair dan disidangkan oleh majelis hakim. Sehingga jelas bahwa Pasal 70 dan Penjelasan Pasal 70 saling melengkapi proses yang harus diikuti untuk membatalkan putusan arbitrase. Atau penjelasan Pasal 70 bukan merupakan norma baru. Penjelasan dalam Pasal 70 pada hakikatnya bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum dan keadilan. Dalam arti bahwa adanya pemalsuan atau pun tipu muslihat harus dibuktikan melalui gugatan di pengadilan. Sebaliknya, penghapusan penjelasan Pasal 70, sebagaimana yang dimohonkan oleh Para Pemohon akan menghilangkan hak-hak konstitusional pihak yang memenangkan perkara arbitrase untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan arbitrase. Bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya dokumen, atau fakta palsu, atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase itu merupakan teknik pengadilan dan tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 9. Pasal 72 ayat … butir 3 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diajukan oleh ketua pengadilan negeri. Dan bahwa dengan demikian, sudah sepatutnya dan selayaknya bukti-bukti adanya dokumen palsu atau tipu muslihat yang
9
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sudah terbukti sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 10. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan tersebut, sering dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Antara lain, para pengacara yang tidak secara profesional bertindak demi klien yang mempercayakan para … perkara kepadanya dan para pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses pengadilan itu sebagai cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apa pun. Ini mencerminkan perilaku yang tidak beriktikad baik, yang dalam upaya pembatalan putusan arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui kekalahan dengan mengingkari kesepakatan bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda eksekusi putusan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghilangkan hak konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang telah disepakati para pihak yang bersengketa sebagai putusan final dan mengikat. 11. Pengajuan pembatalan putusan sering tidak dilandasi dengan iktikad baik yang merupakan asas pokok dari suatu perjanjian bahwa arbitrase merupakan kesepakan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa yang didasari atas Asas Pacta Sunt Servanda dan cita-cita hukum yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Oleh karena itu, para pihak yang berkontrak diminta untuk mau menerima putusan yang dibuat oleh arbiter yang telah ditujukannya sendiri. Para … peran pengadilan hanya untuk menegakkan hukum agar putusan arbitrase ditaati para pihak. Selanjutnya bahwa dibatasinya waktu untuk mengadakan permohonan pembatalan putusan berkaitan erat dengan kesepakatan bersama para pihak bahwa putusan arbitrase merupakan putusan akhir dan mengikat para pihak dalam rangka melindungi hak konstitusional para pihak yang mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum, baik pihak yang memenangkan maupun yang dikalahkan dalam perkara arbitrase. Kedudukan hukum, legal standing Pemohon. 1. Pemohon dalam perkara di Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXII/2014 adalah pemilik PT Minerina Cipta Guna, PT MCC, dan PT Bangun Bersatu, PT BBB, yang merupakan salah satu pihak dalam suatu perjanjian dalam bidang perdagangan yang sedang bersengketa dengan mitranya, di mana para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa dalam Perkara Nomor 433/I/ARB.BANI/2012. Melalui proses arbitrase yang memiliki otoritas dan yurisprudensi terhadap sengketanya yang tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun tanpa kehendak/izin dari pihak-pihak manapun yang bersengketa.
10
2. Bahwa Majelis Arbitrase yang memeriksa dan memutus Perkara Nomor 443/I/ARB.BANI/2012 terdiri dari M. Husseyn Umar, S.H., sebagai ketua majelis dan Dr. Ir. Madjedi Hasan, M.Pe. M.Ph., dan Prof. Dr. Ahmad Ramli, S.H., M.H. sebagai Anggota Majelis. Dan bahwa setelah melalui pemeriksaan bukti-bukti berupa dokumen, saksi-saksi, dan para ahli yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan, majelis arbitrase pada tanggal 8 November 2012/2013 memutuskan menolak sebagian permohonan Pemohon yang diajukan dalam persidangan arbitrase. 20. KETUA: ARIEF HIDAYAT Maaf, masih banyak? 21. PIHAK TERKAIT: HARIANTO SUNIDJA Ndak terlalu banyak, Pak. 22. KETUA: ARIEF HIDAYAT Kalau anu dipersingkat, Pak. Waktunya sudah 45 menit ini. 23. PIHAK TERKAIT: HARIANTO SUNIDJA Ya, Pak. Terima kasih, Pak. 3. Bahwa setelah putusan arbitrase a quo dibacakan pada tanggal 8 Februari 2013 dan didaftarkan di pengadilan negeri di Bandung pada tanggal 4 Mei 2013, Pemohon kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo di PN Bandung, di mana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung kemudian memutuskan menerima permohonan Pemohon agar membatalkan Putusan Arbitrase BANI a quo dan mengadili sendiri yang merupakan lawan Pemohon dalam perkara arbitrase a quo. 4. Bahwa dalam Putusan PN Bandung a quo, BANI dan lawan Pemohon dalam perkara arbitrase, sesuai ketentuan Pasal 70 Undang-Undang AAPS kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang sampai pernyataan ini dibuat sampai dalam proses dan belum ada putusan. 5. Bahwa Pemohon yang diajukan oleh Pemohon pada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa penjelasan Pasal 70 UndangUndang AAPS telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum, pada hakikatnya merupakan upaya yang beritikad buruk dari Pemohon untuk membatalkan Putusan Majelis Arbitrase BANI yang sedang dalam pemeriksaan banding oleh Mahkamah Agung.
11
6. Bahwa untuk menggugat pelanggaran hak konstitusional, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Para Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional dirugikan atas berlakunya ketentuan tentang pelaksanaan Pasal 70 Undang-Undang AAPS yang … dan juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penilaian yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah ada hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya ketentuan penjelasan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji? 7. Berdasarkan hal tersebut, BANI berpendapat bahwa Pemohon tidak memenuhi 3 persyaratan untuk menggugat yang harus dipenuhi di Mahkamah Konstitusi yaitu. a. Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan Pemohon yang dilindungi secara hukum dan bersifat spesifik. b. Ketentuan aktual dalam suatu kontroversi yang bukan bersifat potensial dan adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya undang-undang suatu undang-undang. Dan kemudian, dengan diberikannya putusan yang diharapkan akan merugikan dan dihindarkan untuk dipulihkan. 8. Tidak dipenuhinya hal-hal tersebut di atas BANI berpendapat bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan konstitusional terhadap materi dalam suatu undang-undang, sehingga adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Kesimpulan. 1. Pemohon dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan konstitusional terhadap materi dalam suatu undang-undang dan bahwa adalah tepat jika yang Mulia Ketua atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. 2. Putusan arbitrase bersumber pada kesepakatan para pihak yang berlandaskan pada Asas Pacta Sunt Servanda untuk menyelesaikan sengketa diantara pihak melalui majelis arbitrase yang ditunjuk sendiri dan putusannya merupakan putusan akhir dan mengikat. Dengan demikian penjelasan Undang-Undang Nomor 70 UU AAPS yang menyatakan bahwa alasan permohonan membatalkan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan negeri dalam waktu 30 hari sejak pendaftaran putusan sudah sesuai dengan asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum.
12
3. Penghapusan penjelasan 70 akan menghilangkan kepastian hukum atas putusan arbitrase dan bahwa dengan demikian akan mengingkari hakhak konstitusional pihak yang benar yang memenangkan perkara untuk memperoleh manfaat dan keadilan hukum dari putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat berdasarkan pada Asas Pacta Sunt Servanda, yang dapat diartikan bahwa para pihak menjamin akan lansung melaksanakan putusan arbitrase tersebut dan bahwa dengan demikin Majelis Konstitusi tidak sewajarnya dan sepatutnya menolak, mengabulkan permohonan penghapusan Penjelasan Pasal 70. 4. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 juga mengingkari penerapan asas pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang merupakan salah satu hal yang dituntut pihak ketika memasuki proses peradilan dan merupakan salah satu asas menyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bahwa dengan sederhana dalam hal ini dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan … efisien dengan tetap tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Sekian dan atas perhatian Ketua Majelis Hakim Konstitusi diucapkan terima kasih. Jakarta, 30 April 2014. Hormat kami M. Husseyn Umar. Terima kasih. 24. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Silakan kembali ke tempat. Ya, ini Pihak Terkait menggunakan waktu hampir 50 menit ini baru dalam catatan sejarah ini, terlalu lama. Karena tertulis mestinya bisa pokok-pokoknya saja dan yang tertulis diserahkan Kepaniteraan, tapi sudah terlanjur. Saya persilakan sekarang Prof. Satya dulu atau Pak Aidul dulu, Prof. Satya. Prof. Satya saya mohon untuk bisa menggunakan waktu yang efisien karena yang tertulis juga sudah terbaca di Majelis. Saya persilakan. 25. AHLI DARI PEMOHON: SATYA ARINANTO Yang saya hormati Bapak Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dan juga Bapak-Bapak Hakim Konstitusi, dan Para Hadirin sekalian. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera. Saya akan mencoba singkat karena sudah menyampaikan juga keterangan tertulis melalu Pihak Pemohon. Jadi, berkaitan dengan pengujian perkara PUU dengan registrasi Nomor 15/PUU-XII/2014 ini pada intinya saya melihat bahwa dalam pokok permohonannya itu Pihak Pemohon itu berargumentasi bahwa penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1). 13
Nah, kita lihat di sini bahwa ketentuan penjelasan ini dimaksudkan menjelaskan ketentuan Pasal 70-nya yang menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila diduga mengandung 3 unsur gitu ya saya tidak usah bacakan sesuai dengan yang terdapat dalam undang-undang. Saya lihat bahwa 3 persyaratan yang kemudian muncul dalam batang tubuh atau dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 itu ternyata sebenarnya berasal dari Pasal 643 Reglement Acara Perdata atau dulu diistilahkan sebagai Reglement of De Rechtsvordering yang mencantumkan sebenarnya ada 10 hal di dalam Pasal 643 itu. Jadi, kalau kita tinjau dari sisi secara hukum sebelum diberikan dasar tadi dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan juga di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 itu pengaturan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 615 sampai 651 Reglement Acara Perdata yang saya sebut sebagai Reglement of De Rechtsvordering atau mungkin disebut RV tadi, RV, kemudian ini ada di dalam Staatsblad 1847.52, juga ada Pasal 377 dari Reglement Indonesia yang diperbaharui atau HIR yang tercantum dalam Staatsblad 1941.244 dan Pasal 705 Reglement Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura atau Rechtsreglement Buitengewesten yang ada dalam Staatsblad 1927.227. Dari pasal RV tadi, 615-651, yang kemudian menjadi Pasal 70 itu adalah Pasal 643 dari reglement itu, tetapi di sana ada 10 sebenarnya yang kemudian hanya dijadikan tiga tadi, dimana yang tiga unsur itu sebenarnya kalau dilihat-lihat lebih berbau masalah pidana atau ketentuan pidana, begitu. Yang 10 itu di antaranya misalnya menyatakan, ini yang dalam aslinya dalam 643 Reglement yaitu bila … jadi … apa … persyaratan pembatalan itu antara lain bila putusan arbitrase diambil di luar batas lingkup perjanjian arbitrase yang bersangkutan. Dua, bila putusan didasarkan atas perjanjian arbitrase yang tidak berharga atau telah gugur. Tiga, bila putusan dijatuhkan oleh arbitrase yang tidak berwenang menjatuhkan keputusan di luar keadilan yang lain. Empat, bila diputuskan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau telah diberikan lebih dari yang dituntut. Lima, bila putusan mengandung hal-hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Enam, bila para arbitrer lalai memutus satu atau beberapa hal yang seharusnya diputuskan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam perjanjian arbitrase. Tujuh, bila melanggar bentuk acara yang telah ditetapkan dengan ancaman kebatalan, tetapi hanya apabila diperjanjikan dengan tegas bahwa para arbitrer wajib memenuhi ketentuan acara biasa. Delapan, bila diputus berdasarkan dokumen-dokumen yang setelah ada putusan diakui sebagai palsu atau dinyatakan palsu.
14
Sembilan, bila setelah adanya putusan ditemukan dokumendokumen yang menentukan yang disembunyikan oleh salah satu pihak dan yang Sepuluh, bila putusan berdasarkan adanya penipuan atau tujuan muslihat yang kemudian diketahui dalam acara pemeriksaan. Jadi, Yang Mulia, 10 ini diambil jadi tiga di dalam Undang-Undang Nomor 70 … apa … Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Saya coba meneliti, saya tidak mendapatkan kejelasan latar belakang politik hukum mengapa dalam Pasal 70 itu hanya mencantumkan tiga dari 10 unsur yang semula ada dalam Pasal 643 RV itu. Nah, dalam praktiknya, sebenarnya sering kali ketentuan yang sisanya tadi, yang tujuh dalam Pasal 643 itu digunakan memang oleh pihak yang tidak puas dalam satu putusan arbitrase untuk mengulur-ulur kesempatan atau memenuhi kewajiban … untuk tidak memenuhi kewajiban, ya. Untuk memenuhi kewajiban, maksud saya. Ini yang menyebabkan sebenarnya bukan hanya Pasal 70 dan penjelasan, tetapi penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 30 itu memuat frasa antara lain, gitu. Jadi, dia waktu menjelaskan Pasal 70, nanti kita bisa lihat dalam penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 itu ada kata antara lain. Jadi, dia bilang yang tiga itu antara lain, gitu. Berarti kita kalau menafsirkan berdasarkan ketentuan penjelasan umum, berarti masih ada alasan lain di samping yang tiga itu yang bisa digunakan begitu, yang kemudian para pihak juga merujuk kembali ke pasal yang lama, yang Pasal 643 RV tadi. Alasan lain yang dimaksud misalnya disebutkan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum yang sebenarnya merupakan alasan untuk tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan arbitrase. Nah, selama ini ada penafsiran bahwa frasa antara lain di dalam penjelasan umum Pasal 30 … eh … Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menjadikan substansi dan norma yang tercantum dalam Pasal 70 itu menjadi tidak bersifat limitatif. Ini secara teori hukum. Tetapi dalam praktiknya, justru putusan Mahkamah Agung itu menunjukkan … beberapa putusan Mahkamah Agung itu bahwa permohonan itu sifatnya limitatif. Jadi, beberapa putusan Mahkamah Agung hanya semata-mata mendasarkan persyaratan yang ada dalam Pasal 70. Ada juga putusanputusan Mahkamah Agung yang tidak mendasarkan pada yang sematamata ada pada Pasal 70. Nah, ini mungkin sudah disebutkan dalam halaman 14 dari permohonan Pihak Pemohon yang tidak saya bacakan, tetapi saya kutip di dalam keterangan tertulis saya ini dalam catatan kaki untuk menunjukkan referensi. Juga muncul disebut-sebut bahwa bagaimana ini pembatalan Pasal 70 ini, apakah juga berlaku terhadap suatu putusan arbitrase internasional, misalnya. Karena di kalangan para ahli hukum itu ada yang 15
berpendapat bahwa suatu putusan arbitrase internasional tidak dapat dibatalkan, namun dapat tidak dilaksanakan atau ditolak dalam hal putusan itu bertentangan dengan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf c dan … huruf c dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 itu. Permasalahan utama yang juga muncul sebenarnya, tidak ada ketentuan tentang hukum acara prosedur pengajuan permohonan pembatalan tadi bagaimana? Jadi yang dikatakan dalam Pasal 70 ini, hukum acaranya bagaimana untuk membatalkan? Karena dalam praktiknya permohonan pembatalan keputusan arbitrase itu diajukan sebagai gugatan … suatu gugatan perdata terhadap arbiter atau lembaga arbitrase yang bersangkutan. Padahal sebenarnya, sesuai dengan tujuannya itu cukup dimintakan penetapan tentang pembatalan dari pengadilan negeri, kecuali apabila arbiter atau para arbiter itu melakukan suatu kesalahan terhadap pihak yang menunjuknya. Dalam pernyataan yang terakhir ini, saya dalam penelitian juga mengutip hal yang sama dari buku yang ditulis oleh Bapak Husseyn Umar sebagai Wakil Ketua BANI. Jadi statement ini juga tercantum dalam bukunya Pak Husseyn Umar yang saya sebut terkahir, ada saya sebutkan sebagai kutipan. Nah, memang dalam kenyataan kita tidak dapat mengingkari pentingnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dalam perkembangan hukum alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase Indonesia. Tapi dalam perkembangannya kita menemukan hal yang tidak jelas pengaturannya dalam undang-undang ini, misalnya pengaturan terkait tentang batasan keterlibatan pengadilan itu bagaimana? Di samping itu ada beberapa permasalahan lain, yaitu penerapan ketentuan tentang kompetensi absolute mengenai hak ingkar, prosedur pembatalan yang sedang kita perdebatkan dalam sidang ini, dan pelaksanaan putusan arbitrase, termasuk tadi putusan arbitrase internasional. Nah, padahal semua ini terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mengenai hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebenarnya dengan kerancuan-kerancuan ini, secara teoritis kita berharap Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak peradilan Indonesia, untuk memberikan arahan-arahan mengenai permasalahan itu. Tapi pada kenyataannya, banyak putusan Mahkamah Agung sendiri yang isinya justru saling bertentangan mengenai hal ini, begitu. Yang tadi saya katakan, disinggung nomor perkaranya di dalam permohonan yang tertanggal 14 Maret dari Para Pemohon ada disebut. Putusan mana yang saling bertentangan di Mahkamah Agung, yang muncul dari penafsiran berbeda terhadap Pasal 70 dan penjelasannya ini. Jadi intinya hal ini semakin menimbulkan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya semakin menyulitkan bagi setiap orang untuk
16
memenuhi kriteria yang diinginkan dalam Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Nah ini juga merujuk apa … ikut tidak konsisten adalah menurut saya ketentuan penjelasan ini yang sudah diuraikan panjang lebar, dari Pihak Pemohon dan muncul juga dalam risalah tiga persidangan yang sebelumnya, yang terkait dengan perkara ini. Jadi ini mengakibatkan bahwa pelaksanaan ketentuan ini, lagi-lagi saya sebut tidak apa … menimbulkan ketidakpastian hukum baik di lingkungan pengadilan maupun di luar pengadilan. Nah, terkait dengan hal ini Mahkamah Konstitusi sendiri melalui beberapa putusannya, antara lain Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005 dan juga Perkara Nomor 017/PUUVI/2008. Dimana hal itu kemudian juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, yang mengubah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah memutuskan bahwa adanya pertentangan antara materi muatan pasal dan penjelasannya, yang nyata-nyata mengandung inkonsistensi, yang melahirkan instrument apa … interprestasi ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam melaksanaanya, akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik, ini pendapat dari Mahkamah Konstitusi. Keadaan demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan juga Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketidakpastian hukum demikian juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UndangUndang Dasar Tahun 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tidak dapat digadaikan. Berdasarkan beberapa uraian tersebut di muka, saya berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 70 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terkait dengan pasal-pasal yang tadi saya sebutkan. Demikian, Yang Mulia dan Para Hadirin sekalian, secara pokok halhal yang saya sampaikan dalam keterangan tertulis. Terima kasih, wasalamualaikum wr. wb. 26. KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikumsalam. Terima kasih Prof. Satya. Berikutnya Pak Aidul, saya persilakan. Sama dengan Prof. Satya untuk bisa menggunakan waktu yang lebih efisien. 27. AHLI DARI PEMOHON: AIDUL FITRICIADA AZHARI Bismilahirrahmaanirrahiim, assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera buat kita semua, Bapak Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi serta
17
Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati, tidak banyak yang ingin saya sampaikan mengingat waktu. Pertama, sebagaimana diketahui bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas terhadap Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 atau disingkat UU AAPS ya terutama berkaitan dengan frasa pada Penjelasan Pasal 70 yang berbunyi, “Harus dibuktikan dengan putusan pengadilan,” yang dipandang bertentangan dengan ketentuan atau norma Pasal 70 UU AAPS yang hanya memuat kata diduga, jadi ada pertentangan antara diduga dan frasa harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Ada tiga alasan kemudian diajukan oleh Para Pemohon, tidak perlu saya sampaikan. Tetapi intinya bahwa ketiga alasan tersebut kemudian melahirkan ketidakpastian hukum yang merugikan ... yang menimbulkan ... yang merugikan para pencari keadilan, serta menimbulkan keragu-raguan di dalam praktik. Nah, ketidakpastian hukum ini dipandang bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum ... di hadapan hukum.” Saya lebih fokus kepada masalah kepastian hukum. Ada beberapa pendapat berkenaan dengan kepastian hukum, saya mengutip dari Prof. Barry E. Hawk dan Nathalie Denaeijer, di dalam bukunya The Development of Articles 81 and 82 tentang legal certainty. Dia mengatakan bahwa di bawah hukum Uni Eropa kepastian hukum mengandung dua pengertian pokok, yaitu predictablelity of out come dan legal concecuens of filesen. Jadi prediktibilitas hasil dan akibat hukum dari pelanggaran yang diakibatkan ... pelanggaran terhadap ketentuan hukum. Nah, kedua pengertian ini pada dasarnya menunjukkan bahwa kepastian hukum harus memberikan menjamin adanya stabilitas hukum, sehingga setiap warga negara dapat merencanakan semua aktifitasnya dan dapat meramalkan hasil berdasarkan aturan hukum yang tersedia. Dalam ungkapan Franz Neumann dalam The Rules of Law Political Theory and The Legal System in Modern Society. Kepastian hukum terkait dengan konsep rechtsstaat yang menghendaki agar aturan hukum itu must be predictable and calculable. Jadi harus dapat diramalkan dan harus dapat dikalkulasi, sehingga setiap warga negara dapat menrancang kegiatan sehari-hari dan dapat meramalkan, serta menghitung hasil yang akan diperolehnya. Dalam kaitan dengan kehidupan ekonomi yang juga sangat erat kaitannya dengan arbitrase, aturan hukum yang predictable dan calculable ini akan memberikan kemudahan bagi para pelaku ekonomi dan perdagangan untuk merancang kegiatan-kegiatan ekonominya dan memperoleh hasil ekonomi secara efektif dan efisien. Berkaitan dengan norma dalam undang-undang, kepastian hukum sesungguhnya menghendaki adanya konsistensi internal yang oleh Jurgen 18
Habermas dalam Between Facts and Norms, dikatakan bahwa prinsip dari kepastian hukum itu membutuhkan keputusan-keputusan yang diperoleh secara konsisten dalam kerangka hukum yang berlaku dan hukum berlaku adalah produk dari sebuah jaringan keputusan masa lalu yang mungkin saja tidak transparan, yang menyebut dalam istilah (suara tidak terdengar jelas), oleh badan legislatif dan pengadilan. Artinya apa? Artinya kepastian hukum harus disediakan oleh aturan-aturan hukum, baik produk legislatif maupun yudisial yang di dalamnya terdapat norma-norma yang tersusun secara konsisten atau tidak bertentangan dengan satu sama lain. Sekalipun harus diakui bahwa aturan-aturan hukum tersebut mungkin saja merupakan produk legislatif dan yudisial yang tidak transparan. Nah, berdasarkan pemahaman di atas, maka makna kepastian hukum ... maaf. Berdasarkan pemahaman di atas maka adanya perbedaan antara kata dugaan pada Pasal 70A Undang-Undang AAPS dan frasa harus dibuktikan dengan putusan pengadilan pada bagian penjelasan, menunjukkan tidak adanya konsistensi internal di dalam Undang-Undang AAPS yang diperlukan untuk menjamin kepastian hukum. Inkonsistensi internal itu juga menunjukkan bahwa penjelasan Pasal 70 Undang-Undang AAPS telah mengandung rumusan baru yang menghasilkan perubahan norma secara terselubung dan menimbulkan ketidakjelasan norma yang terkandung di dalam Pasal 70 Undang-Undang AAPS. Kemudian tidak adanya kepastian hukum dalam Undang-Undang AAPS juga akan berimplikasi pada berkurangnya kemampuan UndangUndang AAPS untuk menjamin warga negara dapat memprediksi dan dapat mengkalkulasi hasil dan akibat hukum manakala hendak melakukan permohonan pembatalan arbitrase. Yang harus ditempuh dalam waktu 30 hari, tetapi dalam praktik ternyata menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ini artinya penjelasan Pasal 70 Undang-Undang AAPS telah menimbulkan kesulitan bagi warga negara sebagai pencari keadilan untuk memperoleh keadilan. Secara spesifik dalam konteks kehidupan ekonomi, ketidakpastian hukum yang menimbulkan hilangnya kemampuan untuk memprediksi dan mengkalkulasi hasil dan akibat hukum itu, akan menimbulkan kerugian secara ekonomi dan finansial yang pada akhirnya akan menghambat aktifitas perekonomian masyarakat. Dan dengan demikian bisa diambil kesimpulan bahwa secara yuridis ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh penjelasan Pasal 70 Undang-Undang AAPS telah menyulitkan bagi para pencari keadilan, sekaligus menghambat aktifitas ekonomi dan perdagangan masyarakat. Akhirnya saya tutup bahwa dalam konteks pengujian UndangUndang AAPS terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adanya ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh penjelasan Pasal 70 Undang-Undang AAPS ini menunjukkan bahwa penjelasan Pasal 70 undang-undang a quo bertentangan dengan
19
ketentuan Pasal 28D ayat (1) yang memberikan hak bagi setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum. Saya kira demikian, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 28. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Dr. Aidul Fitriciada Azhari. Sebelum saya melangkah berikutnya, keterangan tertulis dari Pak Aidul belum ada, ya. Nanti tolong disampaikan. 29. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Sudah ada, Yang Mulia. Di belakang riwayat hidupnya. 30. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, riwayat hidupnya sudah ada, ya? 31. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Yang di belakang itu, Yang Mulia. 32. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik. 33. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Satu bundel. 34. KETUA: ARIEF HIDAYAT Kemudian keterangan tertulis Pihak Terkait sudah dimasukkan ke Kepaniteraan? Sudah? Ya, nanti kita … oh, belum ada di Kepaniteraan, keterangan tertulisnya. Tolong disampaikan kembali ya. Baik, dari Pemohon ada pertanyaan untuk … jangan banyakbanyak. Atau kalau sudah cukup, cukup saja. 35. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Cukup, Yang Mulia. 36. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Pemerintah, cukup? 20
37. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Cukup, Yang Mulia. 38. KETUA: ARIEF HIDAYAT Pihak Terkait ada masalah yang akan di (…) 39. PIHAK TERKAIT: HARIANTO SUNIDJA Kami ingin juga ingin menyampaikan ahli. 40. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, ya, oke, nanti kita tawarkan. Ya, Pemohon masih akan mengajukan ahli? 41. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Sudah, Yang Mulia. Cukup dua, Yang Mulia. 42. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup ya? 43. KUASA HUKUM PEMOHON: ANDI SYAFRANI Ya. 44. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, kalau begitu … Pemerintah akan mengajukan ahli? Gilirannya Pemerintah dulu. 45. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Ya, Yang Mulia. 46. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, ya, kalau begitu Pemerintah mau mengajukan berapa ahli? Nanti akan dibicarakan ya. Ini Pemerintah sama Pihak Terkait satu ahli atau apa namanya … gabungan atau sendiri-sendiri nanti?
21
47. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Kami yang mengajukan, Yang Mulia. 48. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, yang mengajukan nanti Pemerintah ya. Pihak Terkait berarti tidak mengajukan ahli ya? 49. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Tidak mengajukan, Yang Mulia. 50. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik kalau begitu. Baik, nanti pada persidangan yang berikutnya kita akan mendengarkan ahli dari Pemerintah. Baik, kalau begitu sidang ini selesai dan perlu saya sampaikan kepada Pemohon, Pemerintah, Pihak Terkait bahwa agenda sidang berikutnya belum dapat kita tentukan karena kita mulai minggu kedua bulan Mei itu jadwal untuk sidang itu sudah penuh. Setelah 14 sampai sebulan seterusnya itu kita sudah penuh dengan jadwal persidangan PHPU pileg ya. Jadi, nanti kita beritahukan, Kepaniteraan akan memberitahukan kepada Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait untuk agenda sidang yang berikutnya dengan acara mendengarkan keterangan ahli dari Pemerintah. Ya, saya kira itu cukup. Ahli Prof. Satya dan Dr. Aidul saya ucapkan terima kasih telah memberikan keterangan di persidangan Mahkamah Konstitusi. Demikian persidangan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 16.48 WIB Jakarta, 2 Mei 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
22