MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 10/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI DARI PEMOHON (V)
JAKARTA RABU, 16 APRIL 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 10/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara [Pasal 102 dan Pasal 103] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) 2. PT Harapan Utama Andalan dan PT Pelayaran Eka Ivanajasa 3. Koperasi “TKBM Kendawangan Mandiri, dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon (V) Rabu, 16 April 2014, Pukul 11.10 – 13.20 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Aswanto Maria Farida Indrati Muhammad Alim Patrialis Akbar Wahiduddin Adams
Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Refly Harun 2. R. M. Maheswara Prabandono 3. Ahmad Irawan B. Ahli Pemohon: 1. 2. 3. 4.
Saldi Isra Faisal Basri Simon F. Sembiring Arif S. Siregar
C. Kuasa Hukum Pihak Terkait: 1. Ridwan Darmawan 2. Janses E. Sihalolo 3. Arif Suherman D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Fadli Ibrahim Susyanto Agus Hariadi Budijono Mualimin Abdi Eric Adityansah
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.10 WIB
1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 10/PUUXII/2014, dibuka dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon hadir, ya?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABANDONO Hadir, Yang Mulia.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Dari Pemerintah?
4.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Hadir, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Dari DPR? Tidak hadir, ya. Pihak Terkait?
6.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: JANSES E. SIHALOHO Hadir, Yang Mulia.
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Hadir. Baik, hari ini kita akan melanjutkan sidang untuk mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, ya.
8.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABANDONO Benar, Yang Mulia.
1
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ada 4 Ahli, ya. Saya panggil nama-nama Ahli, sekalian maju ke depan untuk diambil sumpah terlebih dahulu. Prof. Saldi Isra, silakan. Dr. Faisal Basri, Simon F. Sembiring, Ph.D., Dr. Ir. Arif S. Siregar. Pak Simon Kristen, ya? Ibu Maria dulu, silakan.
10.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, mohon ikuti saya. Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
11.
AHLI BERAGAMA KRISTEN Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
12.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
13.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Para Ahli disilakan mengikuti kata-kata sumpahnya, dimulai. Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
14.
AHLI BERAGAMA ISLAM Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
15.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Terima kasih.
16.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan kembali ke tempatnya. Pemohon siapa yang didahulukan?
17.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABONDONO Prof. Saldi. 2
18.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Prof. Saldi, ya, silakan.
19.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Wakil Pemerintah, Pihak Terkait, dan hadirin sekalian yang berbahagia. Perkenankan saya menyampaikan keterangan sebagai Ahli dalam Perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 terkait dengan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Majelis yang saya muliakan. Mengawali keterangan ini, terlebih dahulu saya hendak mengingatkan kita semua bahwa penyelesaian masalah konstitusionalitas norma yang diajukan Pemohon adalah ibarat pepatah Minang, “Maelo rambuik dalam tapuang, rambuik indak putuih dan tapuang indak turnpah.” Bahasa Indonesianya, “Menyelesaikannya ibarat menarik rambut di dalam tepung, rambutnya tidak putus, tepungnya pun tidak tumpah.” Dalam hal ini, kepentingan nasional pengelolaan mineral dan batubara demi memberikan nilai tambah bagi perekonomian dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat harus dijaga. Di mana, di saat bersamaan, sebagai langkah pengusahaan mineral dan batubara oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) nasional juga harus dirawat dan dibina agar dapat bisa mendukung langkah penguasaan negara terhadap sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks itu, posisi Negara dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah sebagai regulator harus mampu menghadirkan produk hukum yang berkeadilan sekaligus memberikan kepastian hukum. Di satu sisi, ketentuan yang diterbitkan mesti mampu menjaga kepentingan nasional atas penguasaan mineral dan batubara untuk kemakmuran rakyat secara umum. Sementara di sisi lain, regulasi harus pula dapat memberikan keadilan dan kepastian bagi kelangsungan pengusahaan pertambangan oleh badan hukum yang diberi izin oleh pemerintah untuk itu. Hanya saja, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara masih membuka ruang untuk kehadiran ketidakseimbangan antara dua kepentingan besar di atas. Sejumlah norma dalam Undang-Undang Minerba ketika dilaksanakan masih dapat ditafsirkan secara menyimpang dari maksud yang sesungguhnya dari norma yang ada. Salah satunya adalah ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Minerba. Di mana, norma itulah yang dipersoalkan konstitusionalitas penafsirannya ke
3
Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini. Selengkapnya bisa dilihat di dalam ketentuan atau dalam Pasal 102 dan Pasal 103. Kalau dilihat Pasal 102 ada frasa wajib meningkatkan nilai tambah dalam Pasal 102 dan frasa wajib melakukan pengolahan di dalam negeri dalam Pasal 103 Undang-Undang Minerba, dipahami pemerintah sebagai dasar hukum larangan menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri. Pemahaman demikian diimplementasikan dalam bentuk menerbitkan Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana yang secara eksplisit melarang ekspor bijih mineral. Hal demikian, sebagaimana didalilkan pemohon, telah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan Pemerintah dalam melaksanakan Undang-Undang Minerba, hingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Para Pemohon. Terkait dengan pokok permohonan tersebut, saya akan menjelaskan konstitusionalitas Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba dalam dua aspek, yaitu pertama, aspek perrumusan pasal dalam Undang-Undang Minerba dimaksud. Yang kedua, implementasi UndangUndang Minerba dalam perspektif hak menguasai negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Dalam perspektif perumusan norma, persoalan Undang-Undang Minerba dapat dibaca dalam beberapa aspek. Pertama, pengaturan dan penyelenggaraan pertambangan mineral dan batubara dilakukan dengan bersandar pada beberapa asas, yang di antaranya asas manfaat, keadilan, keseimbangan dan keberpihakan kepada kepentingan bangsa. Penerapan asas manfaat menghendaki agar norma yang dirumuskan dapat didorong … dapat mendorong kemanfaatan yang Iebih dari pengusahaan mineral dan batubara bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Asas keadilan menuntut agar substansi Undang-Undang Minerba mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Dalam hal ini, Norma Undang-Undang Minerba juga harus memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang terlibat dalam penguasaan pertambangan. Sebab, pihak-pihak dimaksud tidak berada dalam posisi yang sama, baik dari aspek permodalan maupun jaringan usaha. Sehingga norma dalam Undang-Undang Minerba dan peraturan pelaksananya dituntut dirumuskan secara proporsional dan juga diimplementasikan secara berimbang pula. Adapun asas keseimbangan dimaksudkan agar Norma UndangUndang Minerba mencerminkan dan sekaligus dapat menjaga kesimbangan di antara berbagai kepentingan, yaitu kepentingan individu, pelaku usaha, masyarakat, lingkungan, dan kepentingan bangsa, dan negara secara umum. Dalam konteks itu, keseimbangan pengusahaan oleh berbagai pelaku usaha yang juga tidak sama harus dijaga, agar jangan sampai norma yang mematikan sebagian pemegang IUP dan memperkuat yang lainnya. 4
Sedangkan asas keberpihakan pada kepentingan bangsa dimaksudkan agar Undang-Undang Minerba mencerminkan keberpihakannya pada kepentingan bangsa dalam pengusahaan minerba. Pengaturan pengusahaan minerba harus mencerminkan sifat dan watak kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini, memilih keberpihakan pada pembinaan dan kemajuan perusahaan tambang nasional serta menjaga ketersediaan mineral bagi pemajuan kemakmuran rakyat merupakan konkretisasi dari asas dimaksud. Kedua, kejelasan rumusan dan kepastian hukum Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba. Jika dibaca secara cermat dan seksama, rumusan Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba sudah cukup jelas. Pasal 102 berisi norma yang mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan. Dalam konteks ini, secara sederhana dapat digambarkan, jika pengusahaan pertambangan yang dilakukan selama ini hanya bernilai 10, maka berdasarkan undang-undang ini pemegang usaha tambang wajib meningkatkannya hingga menjadi 12, 14 atau lebih. Jadi, meningkatkan nilai tambah itulah yang diwajibkan atau dibebankan bagi pemegang IUP dan IUPK. Ketentuan Pasal 102 tidak dapat dimaknai selain itu karena norma tersebut jelas, tegas, dan tidak dapat ditafsirkan lain. Dalam konteks ini, rumusan Pasal 102 UndangUndang Minerba telah memenuhi asas kejelasan rumusan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tabun 2011. Begitu juga dengan Pasal 103 Undang-Undang Minerba yang berisi pembebanan kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Pada prinsipnya, rumusan pasal tersebut juga cukup jelas. Di mana maksud yang ditekankan adalah pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan tidak boleh dilakukan di luar negeri, melainkan wajib dilakukan dalam negeri. Sebab, pemurnian di dalam negeri merupakan salah satu bagian dari upaya meningkatkan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan. Karenanya, dapat dipahami bahwa perumusan norma Pasal 103 juga cukup jelas. Hanya saja, Majelis Hakim Yang Mulia. Ketika diimplementasikan, norma tersebut justru ditafsirkan sebagai larangan menjadi bijih mineral … menjual bijih mineral ke luar negeri. Pemerintah secara resmi menerbitkan larangan itu melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012. Tak berselang lama, kebijakan pelarangan tersebut diubah menjadi diperbolehkan menjual bijih mineral ke luar negeri setelah mendapat rekomendasi dari Menteri c.q Direktorat Jenderal Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2012. Kemudian kebijakan tersebut diubah lagi dengan diperbolehkan menjual bijih mineral ke luar negeri sampai batas waktu 12 Januari 2014 (Permen ESDM Nomor 20 Tahun
5
2013). Fakta ini seakan membantah penilaian bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Minerba memiliki rumusan yang jelas. Apakah memang demikian? Terkait dengan soal ini, perlu ditekankan sekali lagi bahwa rumusan Pasal 103 Undang-Undang Minerba secara tekstual sudah jelas, tetapi norma tersebut menjadi tidak jelas atau kabur ketika Pemerintah keliru memahami dan menafsirkan ketentuan tersebut. Sebab, sangat tidak tepat, bahkan keliru jika Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba ditafsirkan sebagai larangan penjualan bijih mineral ke luar negeri. Selain itu, logika pelarangan ekspor bijih mineral yang mendasarkan pada Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba sama sekali tidak menyambung. Sebab, sebuah kewajiban seharusnya linear dengan sanksi. Di mana, jika pihak-pihak yang dibebani kewajiban tak melaksanakan kewajibannya, maka yang harus dijatuhkan bagi yang bersangkutan adalah sanksi, bukan pelarangan atau larangan menjual ke luar negeri. Konsekuensi dari kewajiban adalah sanksi, bukan larangan. Sebab, kewajiban dan larangan berbeda dalam … berada dalam satu level, dalam arti sama-sama sebagai norma pokok. Dalam perumusan norma, bisa saja sebuah ketentuan berisi perintah, kewajiban, atau larangan. Di mana, jika perintah, kewajiban, atau larangan tersebut dilanggar, maka si pelanggar akan diancam terkena sanksi. Sehingga akan menjadi aneh, bahkan bertentangan dengan logika perumusan norma jika ketentuan yang berisi kewajiban justru diiringi dan ditafsirkan dengan pelarangan. Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba sangat jelas berisi norma terkait dengan kewajiban. Pelarangan terhadap kewajiban tersebut linear dengan ancaman dikenai sanksi. Sehubungan dengan itu, undang-undang juga merumuskan secara eksplisit ancaman saksi … sanksi bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut. Pasal 151 Undang-Undang Minerba menyatakan: “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR, dan IUPK atas pelanggaran ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 103.” Pada ayat (2)-nya, “Sanksi administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis, b. penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan eksplorasi, atau operasi produksi, dan/atau c. pencabutan IUP, IPR, dan IUPK.” Keberadaan Pasal 151 Undang-Undang Minerba semakin menegaskan bahwa penafsiran Pemerintah atas implementasi Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba sangat keliru. Mestinya, ketentuan lebih lanjut Undang-Undang Minerba, baik berupa peraturan pemerintah 6
maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sinkron dengan maksud Undang-Undang Minerba. Di mana, kewajiban dalam Pasal 102 dan 103 tidak ditafsirkan sebagai larangan ekspor, melainkan harusnya ditafsirkan sebagaimana adanya. Di mana, bila pemegang IUP tidak melakukan pengelolaan dan pemurnian hasil pertambangan dalam negeri, maka dikenai sanksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 Undang-Undang Minerba. Jadi, bukan tindakan penjualan ke luar negerinya yang dilarang atau diberi sanksi, melainkan kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian yang tidak dilakukan di dalam negeri yang mesti diberi sanksi administratif yang tadi secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 151. Sehubungan dengan itu, penafsiran Pemerintah, baik dalam bentuk pelarangan ekspor bijih mineral maupun kebijakan memperbolehkan ekspor bijih mineral pada berbatas waktu 12 Januari 2014 sama sekali tidak sesuai dengan maksud Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba. Di samping menimbulkan kerancuan dari maksud rumusan yang ada, juga berpotensi menimbulkan terjadinya ketidakpastian hukum. Padahal, kepastian hukum dari rumusan undangundang merupakan asas yang harus dipatuhi dalam pembuatan dan pelaksanaannya. Selain itu, kebijakan pelarangan ekspor sampai batas tanggal 12 Januari 2014 juga tidak sesuai dengan politik hukum penyelenggaraan pertambangan. Sebab, arah penyelenggaraan pertambangan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 Undang-Undang Minerba adalah pengendalian produksi dan ekspor dalam rangka menjaga kepentingan nasional, bukan pelarangan ekspor. Dalam hal ini, ketika Pemerintah mengambil kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral, maka dapat dipastikan kebijakan tersebut tidak sejalan dengan arah politik hukum pertambangan yang dibangun dalam Undang-Undang Minerba. Berdasarkan uraian di atas, menjadi berasalan dan sudah pada tempatnya jika permohonan Pemohon yang meminta agar Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) dikabulkan oleh Mahkamah. Majelis Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Wakil Pemerintah, Kuasa Pihak Terkait, dan hadiri sekalian yang berbahagia. Selanjutnya, ketiga, terkait dengan pemahaman dan penafsiran Pemerintah bahwa tenggat akhir pelaksanaan kewajiban melakukan pemurnian hasil penambangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Undang-Undang Minerba, selambat-lambatnya lima tahun. Tenggat waktu dimaksud diberlakukan bagi … tenggat waktu dimaksud diberlakukan bagi semua pemegang IUP, termasuk Pemohon. Di mana, tenggat lima tahun sejak Undang-Undang Minerba disahkan jatuh pada tanggal 12 Januari 2014. Dalam Undang-Undang Minerba, tidak diatur batas akhir pelaksanaan pemurnian oleh pemegang IUP, sebagaimana dimaksudkan 7
dalam Pasal 103. Ketentuan tenggat akhir hanya ditemukan bagi pemegang kontrak karya, sebagaimana diatur dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Minerba, yaitu Pasal 170 yang menyatakan. “Pemegang kontrak karya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.” Dalam ketentuan di atas, subjek hukum yang dikenai pembatasan waktu adalah Pemegang kontrak karya. Di mana setiap pemegang kontrak karya pertambangan yang sudah beroperasi harus memenuhi kewajiban melakukan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Ketentuan Peralihan tersebut hanya berlaku bagi pemegang kontrak karya, tidak bagi pemegang IUP. Sekiranya dilihat dari aspek ilmu perundang-undangan, ketentuan peralihan merupakan ketentuan yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan undangundang yang lama dengan keadaan baru berdasarkan undang-undang yang baru. Aturan peralihan ditujukan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum, dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional. Dalam hal ini, yang terkena dampak transisi dalam undangundang ini adalah pemegang kontrak karya. Sebab, Ketentuan Peralihan Undang-Undang Minerba, yaitu Pasal 170 secara spesifik menentukan subjek pada masa peralihan dengan menggunakan frasa pemegang kontrak karya. Berdasarkan norma tersebut, hanya pemegang kontrak karyalah yang dibebani kewajiban pemurnian dalam waktu selambatlambatnya lima tahun sejak Undang-Undang Minerba disahkan. Sedangkan dari aspek substansi, pemberian tenggat waktu pemegang kontrak karya adalah dalam rangka mewujudkan asas kepentingan bangsa. Di mana, bangsa Indonesia tidak hanya sekadar mendapatkan royalti penjualan bijih mineral, melainkan harus mendapat lebih. Oleh sebab itu, pemegang kontrak karya wajib melakukan pemurnian dalam negeri. Dengan harapan, terdapat investasi baru dalam negeri yang dapat memberikan multiplier effect bagi bangsa Indonesia, baik dalam bentuk penambahan penerimaan negara, pajak, maupun penambahan lapangan kerja. Dengan batas waktu yang termuat dalam Ketentuan Peralihan Undang-Undang Minerba, Pemerintah harus bersikap tegas bagi setiap pemegang kontrak karya. Pemegang kontrak karya yang kedapatan melanggar harus ditindak atas pelanggaran yang terjadi. Segala negosiasi-negosiasi untuk menunda pelaksanaan kewajiban tersebut harus ditolak. Sebab, waktu lima tahun sudah cukup bagi mereka untuk menyediakan atau membangun fasilitas smelter untuk pengolahan dan pemurnian hasil penambangan. Selain itu, dengan telah puluhan tahun mengeksploitasi sumber daya mineral Indonesia, secara finansial hampir 8
mustahil pemegang kontrak karya tak mampu menyediakan fasilitas pengolahan dan pemurnian. Konstruksi yuridis di atas semakin memperkuat petunjuk terkait kekeliruan kebijakan Pemerintah yang memberlakukan pembatasan waktu bagi pemegang kontrak karya kepada pemegang IUP. Seharusnya, ketentuan peralihan diberlakukan secara tepat sesuai dengan substansi yang diinginkan oleh norma itu sendiri. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, selanjutnya akan dijelaskan persoalan ini terkait dengan dalam perspektif hak menguasai negara terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Mineral dan batubara merupakan bagian dari kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia. Sehingga sumber daya alam dimaksud berada di bawah penguasaan negara dan harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Pertanyaannya bagaimana seharusnya pemerintah memposisikan diri dalam penyelenggaraan pertambangan mineral sesuai dengan konsep menguasai oleh negara. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu akan disinggung tentang makna hak menguasai negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Terkait dengan hal ini, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21, 22/PUU-V/2007 telah memberikan tafsir resmi atas makna frasa dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam putusan tersebut dinyatakan, dikuasai oleh negara mengandung pengertian bahwa rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas, perizinan, lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah dan regulasi oleh Pemerintah atau eksekutif. Fungsi pengelolaan dilakukan melalui pendayagunaan penguasaan negara atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksudkan benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Dengan demikian, pengertian dikuasai oleh negara adalah lebih luas daripada yang ada dalam konsepsi hukum perdata.
9
Keberadaan Pasal 102 Undang-Undang Minerba yang mewajibkan pemegang IUP melakukan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral tentunya sejalan dengan berbagai fungsi hak menguasai negara sesuai dengan tafsir Mahkamah Konstitusi. Demikian pula dengan pengendalian produksi dan ekspor, juga menjadi bagian dari kebijakan yang harus diambil Pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengelolaan sumber daya mineral. Dua kebijakan tersebut mesti diambil untuk menjaga keterpenuhan kebutuhan mineral nasional. Hanya saja, semua fungsi yang melekat pada hak menguasai negara atas sumber daya mineral harus dijalankan secara adil agar maksud pengelolaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat diwujudkan. Pemerintah harus menghindar dari melahirkan kebijakan yang dapat merugikan pihak yang telah diberi izin (licentie) berupa IUP, serta berpeluang menguntungkan sebagian yang lain. Terkait dengan hal ini, kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 103 Undang-Undang Minerba harus dibaca, ditafsirkan dan diimplementasikan secara proporsional. Jika tidak, norma tersebut sangat mungkin menyebabkan mati atau bangkrutnya pemegang IUP berskala kecil dan menengah nasional. Hal itu sangat mungkin terjadi jika mereka harus dibebani kewajiban menyediakan fasilitas pengelolaan dan pemurnian (smelter) sendiri atau wajib memurnikan hasil penambangannya dengan menggunakan fasilitas IUP dan IUPK lainnya. Pilihan menyediakan fasilitas smelter sendiri berimplikasi terhadap keharusan menyediakan dana dalam jumlah besar. Tentunya pilihan ini sulit diambil pelaku usaha tambang nasional berskala kecil dan menengah. Sedangkan pilihan pemurnian hasil penambangan menggunakan fasilitas pemegang IUP dan IUPK yang lain, membuka ruang terjadinya monopoli oleh pemegang IUP maupun Kontrak Karya bermodal besar, yang bagi mereka, penyediaan smelter tidaklah terlalu rumit atau sulit. Sehubungan dengan hal itu, harus diingat, mayoritas perusahanperusahan pertambangan bermodal besar adalah milik asing. Pada saat fasilitas pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan hanya … yang baru hanya mampu dibangun oleh mereka, lalu Pemerintah dalam waktu singkat juga membebani setiap pemegang IUP (termasuk skala kecil dan menengah) memurnikan hasil penambangan di dalam negeri, maka yang amat mungkin terjadi, semua basil penambangan hanya akan dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahan besar. Pada saat bersamaan, hal tersebut termasuk membuka ruang terjadinya monopoli dalam penjualan hasil tambang yang telah dimurnikan ke luar negeri (ekspor). Dengan begitu, paling tidak pemegang kontrak karya (perusahaan asing) akan berperan besar dalam mengendalikan ketersediaan sumber daya mineral di Indonesia.
10
Untuk menghindari hal itu, kewajiban pengelolaan dan pemurnian hasil tambang harus diimplementasikan secara proporsional. Di mana, pemegang kontrak karya wajib memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas smelter dalam jangka waktu lima tahun sejak Undang-Undang Minerba disahkan. Sedangkan bagi pemegang IUP lainnya (terutama perusahaan pertambangan nasional yang masih sedang berkembang), Pemerintah harus memberikan waktu yang cukup bagi mereka untuk memiliki kemampuan guna membangun fasilitas pemurnian, baik sendirisendiri maupun secara konsorsium. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, waktu lima tahun hanya diperuntukkan bagi pemegang kontrak karya. Sedangkan bagi pemegang IPU, Pemerintah untuk tujuan memberikan pembinaan dan pengembangan perusahan-perusahaan pertambangan nasional mesti memberikan waktu lebih panjang. Lagi pula, kelonggaran waktu yang diberikan kepada pemegang IUP tidak akan menyebabkan Pemerintah dituntut atas dasar tuduhan melanggar Undang-Undang Minerba. Sebab, Pasal 170 Undang-Undang Minerba yang menjadi dasar pembatasan waktu hanya mengikat bagi pemegang kontrak karya, tidak bagi pemegang IUP. Selain sikap dan kebijakan proporsional terkait dengan penafsiran Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Minerba sangat dituntut dalam hal mengatur lebih lanjut pemegang IUP berskala kecil dan menengah yang berorientasi ekspor. Dalam hal ini, dengan keterbatasan yang dimiliki, beberapa pemegang IUP hanya berorientasi menjual bijih mineral. Atas dasar Undang-Undang Minerba tidak melarang ekpor bijih mineral, Pemerintah seyogianya memberi ruang bagi pemegang IUP skala kecil dan menengah secara proporsional pula. Untuk itu, yang harus diterapkan adalah kebijakan pengendalian ekspor, bukan pelarangan ekspor. Di mana, langkah itu diiringi dengan stimulus dan intervensi Pemerintah untuk membangun fasilitas smelter. Setidaknya, langkah intervensi dimaksud dapat melindungi sekaligus membantu perusahaan tambang nasional untuk meningkatkan nilai tambah tambang secara nasional. Dengan begitu terlaksana perlakuan berbeda mesti diambil Pemerintah atas pemegang IUP dan kontrak karya yang memiliki level dan kemampuan yang juga berbeda. Pemerintah tidak dapat menafsirkan dan menerapkan Pasal 102 dan 103 secara sewenangwenang dengan memukul rata semua pemegang IUP tanpa melihat skala pengusahaan pertambangan yang mereka miliki. Di sinilah sebetulnya keadilan Pemerintah dituntut dan diperlukan. Lagi pula, seharusnya Pemerintah memberikan sedikit ruang dan kelonggaran bagi perusahaan-perusahaan nasional pemegang IUP bila dibandingkan pemegang kontrak karya. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Wakil Pemerintah, Pihak Terkait, dan Hadirin sekalian yang berbahagia. Apapun penilaian Mahkamah terkait permohonan yang diajukan 11
Pemohon, hal paling penting untuk dipertimbangkan adalah bagaimana pengelolaan sumber daya alam tetap dapat dikelola oleh anak bangsa sendiri dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jangan sampai kebijakan pengelolaan sumber daya mineral seolah-olah berlatar belakang kepentingan nasional, tetapi di baliknya diboncengi oleh agenda memperkuat cengkraman perusahaan-perusahaan besar dalam pengelolaan pertambangan mineral di Indonesia. Oleh karena itu, sesuai dengan semua paparan di atas, guna meluruskan tafsir Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Minerba yang digunakan Pemerintah saat ini, sudah selayaknya Mahkamah memberikan tafsir sesuai dengan politik hukum lahirnya Undang-Undang Minerba. Sebagai catatan akhir dari keterangan ini, saya hendak mengingatkan lagi pepatah minang sebelumnya atau yang saya kutip di awal. “Maelo rambuik dalam tapuang, rambuik tidak putus, tepung pun tidak tumpah.” Secara konstitusional, Mahkamah memiliki alas konstitusional yang kuat untuk menjaga agar rambut tidak tumpah … rambut tidak putus, tepungnya pun tidak tumpah. Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. 20.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, selanjutnya siapa lagi?
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABONDONO kasih.
22.
Terima kasih, Yang Mulia. Selanjutnya Dr. Faisal Basri. Terima
KETUA: HAMDAN ZOELVA Faisal Basri, silakan. Bisa diambil posisi podium itu.
23.
AHLI DARI PEMOHON: FAISAL BASRI Apakah diperkenankan saya di sini saja, Yang Mulia.
24.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Boleh, silakan.
25.
AHLI DARI PEMOHON: FAISAL BASRI Oke, terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera Yang Mulia Hakim Konstitusi dan Bapak/Ibu sekalian. Perkenankan saya untuk memulai memberikan keterangan. 12
Saya menyiapkan bahan mungkin. Oke, mari kita lihat slide pertama. Lanjut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh saksi ahli sebelumnya, kami berada di sini ingin memastikan bahwa negara berperan semaksimal mungkin untuk memajukan perekonomian lewat penguatan industri dan peningkatan nilai tambah nasional, perbedaannya hanya pada instrumen. Instrumen kebijakan yang lebih baik, first best solution adalah lewat mekanisme pengaturan insentif dan persaingan usaha yang sehat, bukan menghentikan atau melarang suatu jenis kegiatan produksi secara tiba-tiba dan semena-mena. Ada memang kegiatan ekonomi yang dilarang atau produk-produk dilarang untuk diekspor, tapi alasannya bukan ekonomi, melainkan hak asasi manusia atau alasan lingkungan. Jelas untuk minerba ini alasannya bukan lingkungan, kalau alasannya lingkungan mengapa batubara boleh, mengapa bauksit dan nikel tidak boleh. Pengaturan bisa berbentuk pengaturan produksi atau pengendalian produksi dan pengaturan ekspor. Sekali lagi, bukan larangan. Pengaturan ekspor bisa dengan menerapkan pajak ekspor atau di dalam undang-undang kita istilahnya bea keluar. Kalau keadaan memaksa … keadaan memaksa bisa melakukan pembatasan atau kuota ekspor. Jadi ekspornya dibatasi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri, itupun kalau sudah ada yang membutuhkan bauksit atau nikel. Dalam kenyataannya sampai sekarang belum ada pabrik yang mengolah nikel atau bauksit. Larangan ekspor menyebabkan produksi terhenti karena belum ada industri pengolah bauksit. Jadi, membuat jeda produksi karena tidak ada yang menampung hasil produksinya. Selanjutnya, dalam berusaha kita memiliki beberapa prinsip. Pengusaha bagaimana pun harus kita lihat sebagai makhluk ekonomi yang memilih berinvestasi di bidang usaha tertentu berdasarkan pertimbangan memperoleh keuntungan dan kompetensi yang dimilikinya … berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. Pengusaha pada saat yang lain, pada saat yang sama juga melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, antara lain membayar royalty, pajak, dan kewajiban-kewajiban lainnya yang telah ditetapkan. Perilaku pengusaha bersifat going concern, jadi kalau berusaha ga … wawasan saya itu tidak bangkrut, gitu, ingin selamanya berusaha, jadi bukan sekali gepruk dapat untung besar, besoknya ditutup, tidak, harus going concern. Merespon struktur insentif yang berlaku dan sangat mendambakan kepastian usaha. Pengusaha melakukan kegiatan produksi jika bisa menjual produknya karena ada pasarnya. Nah, di sini sekarang anehnya tiba-tiba tidak ada pasar untuk bauksit dan nikel. Larangan ekspor seraya belum ada yang bisa menampung produksi di dalam negeri merupakan bentuk kebijakan yang sangat tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan bertentangan dengan ketiga prinsip di atas pun bertentangan dengan 13
semangat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Ini sebagai contoh ketidakpastian itu undang-undang tidak menyatakan satu kata pun tentang larangan ekspor, lantas PP 23/2010 yang keluar setahun kemudian memegang IUP operasi produksi dan IUPK operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral dan batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan batubara dan mineral dalam negeri, sesuai dengan yang dimaksud Pasal 1. Jadi PP masih belum sesat, Permen 7 Tahun 2012 mulai sesat ini, melarang ekspor bijih paling lambat 3 bulan sejak berlakunya peraturan menteri ini. Berontaklah para pengusaha, mereka melakukan judicial review ke Mahkamah Agung dan dikabulkan sehingga keluar 16 Mei lewat Permen Nomor 11 Tahun 2012 boleh ekspor asal dapat rekomendasi, ini negara kalau diatur begini kacau balau ini, dalam sekejap berubah-ubah. Investasi untuk membangun alumina miliaran dolar, tidak ada satu pengusaha pun mau untuk membangun pabrik kalau risikonya peraturan berubah-ubah dalam hitungan waktu yang sangat singkat. Selanjutnya berubah lagi, Permen Nomor 20 Tahun 2013 menjadi dapat mengekspor bijih sampai dengan 12 Januari. Kemudian berubah lagi Permen Nomor 1 Tahun 2014. Sungguh luar biasa pengusaha yang mau berusaha di Indonesia dengan lingkungan regulasi seperti ini. Bapak/Ibu yang … Hakim Konstitusi Yang Mulia, di sini ada data dari tahun 2000 sampai 2013 untuk ekspor dalam volume bauksit. Bapak/Ibu bisa melihat di sini ada penurunan ekspor yang otomatis produksi ekspor sama dengan produksi karena tidak ada penggunaan dalam negeri, jadi seluruh produksi semuanya diekspor itu terjadi penurunan dari empat puluh koma sekian menjadi dua puluh sembilan koma sekian, itu disebabkan karena keluarnya permen yang melarang ekspor mulai tiga bulan, paling lambat 3 bulan dari permen yang telah saya sebutkan tadi, itu efeknya luar biasa. Nah, sekarang tiba-tiba 50.000.000 ton itu, 55,1 juta ton produksi tahun 2013 tidak ada sama sekali. Bapak/Ibu Yang Mulia bisa bayangkan 55,1 juta ton itu dihasilkan oleh berapa ribu pengusaha, berapa puluh ribu buruh tiba-tiba hilang usaha mereka, tiba-tiba hilang penghasilan mereka, tiba-tiba merugi apa yang mereka telah investasikan. Sampai kapan tanpa batas waktu yang jelas. Anda membangun tidak seperti membangun pabrik tempe, satu hari juga selesai. Butuh drum, butuh tanah berapa, atau pabrik tahu. Ini pabrik yang minimum skalanya 300.000 ton dan sebagainya dan sebagainya. Sekedar ingin menunjukkan sekali lagi efek dari permen yang sudah pernah terjadi pada tahun 2012. Selanjutnya! Nah, di dalam ekonomi ada inkonsistensi dalam kebijakannya oleh pemerintah untuk kegiatan yang sebetulnya hampir sama saja. Ada yang rasional, ada yang tidak rasional. Nah, irasionalitas itu ditemukan di minerba, tapi rasional di sawit. Untuk sawit, perkebunan sawit terdiri dari perkebunan rakyat, 14
perkebunan swasta, perkebunan milik negara. Di perusahaan tambang juga ada swasta yang kecil, ada yang menengah, ada yang besar, ada kontrak karya, ada perusahaan tambang BUMN, jadi sama saja. Perkebunan besar pada umumnya memiliki fasilitas pengolahan menghasilkan CPO. Perusahaan besar kontrak karya umumnya tidak memiliki fasilitas pengolahan, sekalipun mereka sudah beroperasi di Indonesia dari tahun 60-an, jauh lebih awal daripada perusahan sawit, tapi perusahaan sawit kok mau membangun pengolahan, perusahaan kontrak karya tidak mau membangun pengolahan. Ada sudah dibangun di Gresik, tapi Freeport sahamnya cuman 25%, dia enggak mau 100%. Oleh karena itulah undang-undang semangatnya mendorong agar Freeport tidak sekedar bangun di Gresik dan tidak sekedar sahamnya 25%. Berapa banyak mereka bayar royaltinya murah dan sebagainya itu juga tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang memberikan manfaat yang sepatutnya lebih besar. Skala pengolahan sawit relatif kecil, tidak padat modal, dan tidak pada teknologi juga. Tambang skala pengolahannya relatif besar, makanya kalau di sawit pengusaha tidak terlalu besar bisa bikin pengolahan CPO, tapi untuk tambang, itu padat modal, padat teknologi, dan skalanya harus besar. Sehingga amatlah sulit tanpa bantuan pemerintah, pengusaha yang biasa-biasa saja mau membangun fasilitas pengolahan atau smelter. Apakah lagi mengingat dibandingkan dengan di Cina, pemerintah di Cina sana membantu smelter itu dengan menyediakan listrik yang murah, menyediakan jalan, membangun jalan, membangun pelabuhan. Kalau di Indonesia tidak ada pelabuhan, pengusahanya harus bangun pelabuhan sendiri, harus bangun pembangkit listrik sendiri, menjadi jauh lebih mahal. Untuk sawit tidak ada larangan ekspor sawit atau CPO. Untuk hasil tambang ada, aneh. Tidak konsisten. Tidak ada kesamaan perlakuan di depan hukum. Untuk mengatur tidak berarti CPO itu bisa diekspor semena-mena, tidak. Pemerintah punya kedaulatan untuk mengatur agar CPO ini juga memperoleh … memberikan manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran bangsa karena CPO sebagian digunakan untuk minyak goreng. Agar pasokan CPO untuk pabrik minyak goreng tetap terjaga, sehingga agar minyak goreng stabil, maka dikenakanlah bea keluar untuk CPO. Kalau harga CPO tinggi, bea keluarnya dinaikkan, kalau harga CPO turun, bea keluarnya diturunkan. Sehingga kita tidak pernah lagi dalam 5 tahun terakhir mengalami apa yang kita alami sebelum-sebelumnya, instabilitas minyak goreng, pemerintah tidak lagi melakukan operasi pasar minyak goreng karena kebijakannya bagus. Mengapa yang bagus tidak diterapkan. Nah, tapi untuk bauksit dan nikel, itu belum ada minyak gorengnya … setara minyak gorengnya. Jangankan larangan, bea keluar pun sebetulnya ‘haram’. Karena untuk apa? Kecuali memang pemerintah 15
ingin mengendalikan agar ekspornya tidak terlalu banyak karena ini non renewable resources. Sekadar memberikan perspektif saja, sebetulnya ada yang rasional dan ada yang tidak rasional. Pengenaan bea keluar CPO tidak pernah digugat di Mahkamah Konstitusi ataupun di Mahkamah Agung. Karena dianggap fair oleh perusahaan dan para Pemohon pun menginginkan fairness seperti yang berlaku pada CPO. Selanjutnya. Larangan ekspor merupakan kebijakan yang inferior. Kebijakan perdagangan luar negeri yang lebih superior bagi peningkatan kesejahteraan nasional atau first based solution adalah kebijakan yang berdasarkan mekanisme harga (price mechanism) ketimbang non price mechanism, seperti kuota atau larangan ekspor. Larangan ekspor pasarnya tidak ada lagi, tidak ada respons dari pembeli dan penjual. Kebijakan non price mechanism, seperti larangan ekspor berpotensi besar menimbulkan praktik perburuan rente dan memperburuk struktur pasar. Nanti akan saya coba elaborasi sedikit. Seperti yang terjadi pada kasus daging sapi, kasus gula, kasus bawang putih. Nyata-nyata ini sudah terjadi non price mechanism. Karena kalau pengaturan lewat kuota misalnya, yang dapat kuota orangorang tertentu, lisensi kuotanya bisa diperjualbelikan dan itu sudah diputuskan oleh KPK. Untuk kasus larangan ekspor bauksit, lebih parah lagi karena otomatis menghentikan produksi karena belum ada pabrik pengolahan atau pabrik alumina. Pihak yang serta-merta diuntungkan adalah pedagang bauksit dunia. Karena apa? Tiba-tiba 55,1 juta ton pasokan bauksit dari Indonesia menghilang di pasar dunia, maka harga melonjak, pedagang suka cita. Antara lain yang terbesar adalah Rusal dari Rusia yang bekerja sama dengan Suryo Sulisto, Ketua Umum Kadin, berencana ‘membangun pabrik pengolahan alumina di Indonesia’ baru berencana, realisasinya kapan kita tidak tahu. Kenaikan laba pedagang ini bisa dijadikan modal untuk membangun pabrik pengolahan bauksit di Indonesia. Jadi, modalnya datang dari langit atas karunia yang dikucurkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia. Selanjutnya. Pedagang internasional itu lalu membangun pabrik alumina di Indonesia dengan uang win fold profitnya karena dapat rezeki nomplok dari kenaikan harga di pasar dunia. Investor asing itu punya keunggulan ketimbang pengusaha lokal yang selama ini memproduksi bauksit, yang tiba-tiba tidak memperoleh pendapatan lagi dan harus terpaksa pinjam dari bank untuk membangun pabrik dengan bunga yang kita tahu di Indonesia jauh lebih tinggi daripada di negara-negara tetangga. Pengusaha lokal tak bisa menghimpun dana dari penjualan bauksit. Mereka harus pinjam ke bank dengan bunga yang relatif tinggi. Pabrik alumina tidak akan serta-merta memiliki kapasitas produksi yang dapat mengolah seluruh potensi produksi bauksit di dalam negeri. Tidak 16
tiba-tiba tahun depan seluruh bauksit bisa diolah jadi alumina karena investasinya sangat besar. Kalau baru ada satu pabrik, katakanlah kapasitas produksinya 2 juta ton, itu berati hanya 3,6% dari tingkat produksi bauksit tahun 2013 sekitar 55 juta ton yang bisa diolah baru 3,6%. Perlu bertahun-tahun untuk mengolah seluruh potensi produksi yang ada di Indonesia. Perlu diketahui, Australia yang negara maju sekalipun tetap mengekspor bauksit, tapi dia juga punya alumina, dia punya alumunium juga. Jadi, smelter of choice buat warga negara silakan produksi alumina, kalau alumina lebih menguntungkan mereka otomatis akan produksi alumina, pemerintahnya bangun … me … membantu dengan menyediakan fasilitas yang seharusnya memang disediakan Negara, yang tidak disediakan negara di Indonesia ini. Pelabuhan harus bangun sendiri, pembangkit listrik harus bangun sendiri, jalan harus bangun sendiri. Kalau baru ada satu pabrik alumina, berarti struktur pasarnya menjadi monopsoni. Jadi, ribuan produsen bauksit menghadapi pembeli yang hanya satu. Seperti kita ingat zaman Soeharto dulu, Tommy Soeharto memban … membentuk BPPC, satu-satunya yang boleh membeli cengkeh dari ribuan … ratusan ribu petani cengkeh. Kita tahu akibatnya seperti apa. Apakah akan kita ulang model-model rente … pemburuan rente seperti zaman Orde Baru itu di zaman reformasi ini. Luar biasa, yang antri menjual ribuan orang, yang membeli cuma satu. Si pembeli otomatis akan mendikte harga dan jatuhlah harga bauksit di Indonesia itu. Selanjutnya! Perlu diketahui sekitar 55% produksi alumina global digunakan oleh perusahan grup sendiri dalam satu negara atau terpisah. 45% sisanya diperdagangkan di pasar global. Alumina yang diperdagangkan di pasar spot atau kontrak jangka pendek yang kurang dari satu tahun sekitar 18% saja. Bandingkan dengan kasus Petrokimia Tuban dan Pertamina di kilang Balongan. Jadi, Petrokimia Tuban mengolah kondensat yang diproduksi kilang Balongan. Tuban punya si A, Pertamina berbeda, pemiliknya berbeda. Terjadi dispute di antara keduanya, Pertamina tidak mau menyalurkan kondensat ke Tuban Petrokimia. Tuban Petrokimianya mati. Oleh karena itulah cenderung indusi yang terintegrasi dimiliki oleh pihak atau grup yang sama. Nah, kalau refoundnery-nya dimiliki atau smelternya dimiliki Rusal, tambangnya dimiliki oleh rakyat Indonesia. Kalau Rusalnya aneh-aneh, rakyat Indonesianya top, Rusalnya kan berisiko. Cukup berani juga nih Rusal ini atau cuma dia main-main, sekedar menikmati kenaikan harga yang menyebabkan saham Rusal di bursa saham dunia meningkat luar biasa atas pertolongan kita. Refinery bauksit menjadi alumina umumnya dilakukan on site di sekitar lokasi pertambangan untuk menghemat ongkos angkut. Saya 17
enggak tahu, Rusal mau bangun di dekat pertambangan siapa. New entry di pasar alumina harus dapat memasok alumina dengan harga bersaing pada kontrak jangka panjang. Mungkin Rusal punya kemampuan itu. Pertambangan bauksit di Indonesia dilakukan perusahaan lokal yang kurang memiliki akses ke pasar alumina global. Oleh karena itu perlu mitra strategis. Jadi, jangan dibalik, pengusaha bauksitlah yang perlu mitra strategis. Kalau kasus Rusal, Rusalnya merangkul Suryo Sulisto yang tidak punya tambang bauksit. Jadi, terbalik-balik ini logikanya. Mentang-mentang Ketua Kadin barangkali. Selanjutnya! Tantangan industri alumina. Kenaikan harga alumina menghadirkan peluang bagi masuknya new entrant di industri alumina dunia. Tetapi harus diingat tidak ada pasokan bauksit baru dalam jumlah besar dari pihak ketiga, sehingga menyulitkan pendatang baru yang tidak memiliki pertambangannya sendiri. New entrant dapat sukses masuk apabila memiliki pertambangan bauksit sendiri Rusal enggak punya, Suryo Sulisto tidak punya, terintegrasi dengan usaha pertambangan, memiliki sumber daya bauksit dalam jumlah besar. Nah, ini yang kita miliki, 300 juta ton misalnya. Jadi yang punya potensi untuk dikembangkan oleh negara, oleh pemerintah adalah yang punya konsesi bauksit dalam jumlah yang cukup besar, sendiri-sendiri, atau digabung yang semua mudah-mudahan warga negara Indonesia. Cadangan yang dimiliki berkualitas baik, bauksit kita berkualitas baik, itu tinggal keruk saja tidak perlu menggali-gali. Tersedia pasokan energi dengan harga bersaing, kapasitas dapat diperluas menjadi tiga sampai empat juta ton, maaf, tiga sampai 4 juta ton per tahun. Mungkin pertama 1,1 juta ton. Selanjutnya! Nah, ini pengolahan bauksit di Indonesia, bagusnya terintegrasi memang tapi kita tidak bisa dalam sekejap mengintegrasikan itu semua karena membutuhkan ratusan miliar US Dollar. Selanjutnya. Nah, ini rencana kehadiran smelter bauksit yang sudah matang dan mulai merealisasikan investasi. Menurut Kementerian ESDM data terbaru yang saya miliki dari presentasi Kementerian ESDM dalam workshop 2 minggu lalu, ada delapan proyek pengolahan bauksit yang setidaknya telah selesai melakukan amdal. Tidak tahu ini selesainya kapan, tapi dari data Bank Dunia yang Bapak/Ibu Yang Mulia bisa dapatkan di Indonesian Economic Worldly yang diterbitkan Maret 2014, ada dua perusahaan di situ tercantum yang jelas sudah targetnya. Pertama CGA PT ANTAM, rencana produksi mulai Juni 2014, hasil pengolahan 1,1 juta ton, sehingga dia membutuhkan 2,5 juta ton bauksit dengan rasio 2,25 berbanding 1. Modal awalnya USD1,5 Miliar, sangat besar, ini bukan pabrik tahu dan pabrik tempe. Kemudian Harita Prima Abadi, rencana beroperasinya Januari 2015, produksi hasil pengolahannya 2 juta ton, sehingga membutuhkan 18
4,5 juta ton bauksit. Jadi kalau dua ini yang sudah jelas 2,5 juta tambah 4,5 juta baru 7 juta ton bauksit. Produksi kita tahun lalu 55 juta, sisanya kemana sampai kapan bisa diolah no one knows. Selanjutnya. Nah, inilah sosok Rusal dan Suryo Sulisto itu yang difasilitasi oleh pemerintah, lebih khusus lagi Menkoperekonomian. Pengusaha luar negeri bekerja sama dengan pengusaha lokal yang tidak memiliki usaha penambangan langsung, pemerintah justru memfasilitasi jenis pengusaha seperti ini bukan yang telah lama bergelut dalam produksi tambang. Tidak ada peresmian apa ... pengolahan tambang oleh ANTAM, misalnya, oleh menteri atau oleh presiden, atau oleh wakil presiden, tapi sejenis pengusaha rente seperti ini difasilitasi, pengusaha yang sudah bergelut lama dalam produksi tambang tidak diberi pilihat kecuali menghentikan produksi sampai waktu yang tidak ada kejelasan. Kalau pengusaha asing dan lokal itu bebas membangun pabrik alumina atau kalau pengusaha asing atau lokal itu batal membangun pabrik alumina atau mengalami penundaan maka makin tidak jelas nasib pengusaha tambang yang berproduksi bauksit ini. Selanjutnya. Itulah kira-kira ... jadi tentu saja melekat di dalamnya dimensi ekonomi politik, semakin menarik kalau kita lihat pelaku-pelaku di balik ini semua siapa, dan mudah-mudahan kita akan memiliki solusi yang terbaik buat bangsa ini bukan buat orang-perorang, bukan bagi para pemburu rente. Terima kasih. 26.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Selanjutnya siapa ini?
27.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABONDONO Terima kasih, Yang Mulia. Selanjutnya Dr. Felix Sembiring, terima kasih, silakan.
28.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan.
29.
AHLI DARI PEMOHON: SIMON F. SEMBIRING Sidang Majelis yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, dan Pemerintah. Sebelum saya membacakan kesaksian saya ini, pertama saya menceritakan dulu betapa saya susah untuk maju jadi Saksi Ahli karena saya ikut salah satu sebagai ketua panja undang-undang ini selama 3,5 tahun, dan saya tadinya dari pihak Pemerintah dan saya sudah berkali-kali jadi Saksi Ahli di pihak Pemerintah. Tapi kali ini saya
19
kelihatannya berlawanan dengan Pemerintah karena tugas untuk meluruskan saja, terima kasih. Pertanyaannya, apakah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara melarang ekspor bijih mineral? Itu, sesimpel itulah perkara yang kita hadapi, di mana Pemohon mengatakan akibat implementasi PP dan peraturannya, sehingga tidak ada konsistensi hukum yang tentunya dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Baik, Bapak-Bapak, Ibu-Ibu sekalian yang saya hormati. Implementasi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan. Baik berupa aturan pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah (PP), maupun Peraturan Menteri (Permen). Ternyata memberikan produk hukum yang tidak selaras dengan undang-undangnya sendiri. Sehingga menimbulkan implementasi pengelolaan pertambangan nasional Indonesia. Tidak lagi konsisten dengan asas Undang-Undang Nomor 4 itu sendiri, yaitu manfaat keadilan dan kesinambungan, keberpihakan kepada kepentingan bangsa, partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas, serta berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Itu disebut dalam Pasal 2. Hal ini telah menodai atau menciderai salah satu tujuan utama pengelolaan mineral dan batubara, yaitu menjamin kepastian hukum dalam menyelenggarakan kegiatan usaha mineral dan batubara yang dinyatakan dalam Pasal 3F Undang-Undang Nomor 4 tersebut. Bagaimana penguasaan mineral dan batubara? Sesuai dengan jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka implementasi penguasaan mineral dan batubara dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini diatur pada bab tiga melalui Pasal 4 dan Pasal 5. Pasal 4 jelas menyatakan bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan penguasaannya diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Kemudian, Pasal 5 menyatakan bahwa demi kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR RI dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme pengendalian produksi dan ekspor. Jadi bukan larangan ekspor tetapi pengendalian produksi dan ekspor. Dan Pemerintah berwenang menetapkan jumlah produksi setiap provinsi dan pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah produksi dimaksud. Pengaturan lebih lanjut Pasal 5 ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Sehingga jelas mekanisme penetapan kebijakan tersebut, serta jenis mineral dan kualitas batubara yang bagaimana yang digolongkan ataupun dikategorikan sebagai pengutamaan untuk kepentingan dalam negeri.
20
Oleh karena pengusaha mineral dan batubara diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Maka perizinan, bimbingan, pengawasan, dan pembinaan pengembangan usaha pertambangan, dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan kewenangan yang jelas serta adanya koordinasi yang jelas pula. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan ketentuan penetapan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan mineral dan batubara nasional. Sebagaimana pada Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 jelas terlihat adanya jalinan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang jelas dan sekaligus merupakan kaitan yang sangat erat dengan pelaksanaan otonomi daerah di subsektor pertambangan. Mari kita lihat izin usaha pertambangan IUP dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). IUP dapat diberikan baik oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Bagi setiap pemegang IUP, eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP produksi. Artinya, kalau dia sudah mendapatkan IUP eksplorasi yang apabila bisa dilanjutkan produksi, studi kelayakannya oke, kemudian amdalnya oke. Wajib Pemerintah memberikan izin untuk kelanjutannya. IUP produksi pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat pula diperpanjang dua kali, masing-masing 10 tahun. Oleh karena itu, apabila suatu badan hukum telah memperoleh IUP operasi produksi dari Pemerintah maupun pemerintah daerah. Maka semua persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Perundangan dianggap telah terpenuhi. Pertanyaannya, apakah pada saat IUP operasi produksi diterbitkan sudah dicantumkan bahwa pada Januari 2014 tidak diperkenankan lagi untuk mengekspor hasil produksinya berupa mineral? Mari kita lihat ke daerah. Tidak ada pun satu statement yang mengatakan bahwa pada tahun 2014 tidak bisa lagi diproduksi. Itu tercantum dalam izin produksi daripada IUP-IUP ini. Demikian juga terhadap izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Yang pada kenyataannya sampai sekarang sebenarnya belum ada karena area operasinya terletak pada wilayah pencadangan negara. Undangundang sudah berjalan hampir lima tahun, sampai sekarang tidak ada satu pun wilayah pertambangan ditetapkan oleh pemerintah bersama DPR. Sehingga IUPK tidak ada itu, Pak. Sehingga dengan bunyi PP kemudian SK Menteri menyangkut IUPK. IUPK itu zero, belum ada sampai sekarang. Hak dan kewajiban IUP ... IUPK. Pada Pasal 92 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 disebut bahwa pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif.
21
Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan. Ini merupakan poin penting bahwa apabila sudah produksi dan kewajiban membayar royalti dan the trance sudah telah dilakukan, di situlah terjadi trance air of the owner dari Pemerintah, dari negara kepada pengusaha. Oleh karena itu, tidak disebut kalau sudah dimiliki, kenapa harus dilarang ekspor? Kalau dia sudah memiliki, memperdagangkan, tentu bebas. Ini undang-undang mengatakan demikian. Syaratnya adalah si perusahaan membayar dead rent, membayar royalti. Dengan demikian, terjadilah perpindahan kepemilikan dari Pemerintah, dari negara ke pengusaha. Ketentuan ini menjamin adanya kebebasan bagi pemegang IUP/IUPK produksi, setelah membayar iuran produksinya (royalti) untuk memiliki dan memperdagangkan hasil mineral yang telah diproduksinya. Hak ini terjadi secara hukum. Karena dengan membayar royalti, maka telah terjadi pemindahan kepemilikan dari negara kepada pemegang IUP/IUPK, sehingga demi hukum pula pemegang IUP/IUPK otomatis mempunyai hak untuk memperdagangkan mineral tersebut, termasuk untuk mengekspornya. Pasal 102 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mewajibkan pemegang IUP dan IUPK meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Pada Pasal 103 dinyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, pemegang IUP dan IUPK dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari IUP dan IUPK yang lainnya. Artinya, undang-undang ini memberikan kesempatan kepada orang yang tidak punya tambang untuk membangun smelter dan pemurnian. Oleh karena itu, yang punya IUP dan IUPK boleh menjual kepada mereka untuk diolah dan dimurnikan. Pertanyaannya sekarang ada dua sisi, yang mempunyai IUP dan IUPK tidak mempunyai fasilitas pengolahan dan pemurnian. Sementara, investor baru pun belum membangun pemurnian dan pengolahan. Pertanyaannya, apakah karena keadaan ini, lantas dilarang mereka untuk mengekspor produksinya? Dalam undang-undang ini tidak disebut begitu. Ini memang wajib dia untuk melakukan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Hal ini berarti IUP dan IUPK produksi dapat menjual produksinya sebagaimana dijelaskan di atas. Ulasan. Melihat Pasal 5, dan Pasal 102, serta Pasal 103 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 di atas, yang pelaksanaannya diatur dalam PP, maka diharapkan bahwa PP-nya seharusnya sinkron satu sama lain, saling mengisi, sehingga memberikan adanya suatu kepastian hukum atas pengendalian produksi dan ekspor di satu pihak serta kewajiban mengolah dan memurnikan produksi mineral dalam negeri di pihak lain, guna mencapai nilai tambah bagi peningkatan perekonomian nasional. 22
Tujuan ini sangat baik dan perlu didukung oleh setiap pihak dalam pengelolaan pertambangan nasional. Dalam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, jadi aturan turunannya, ternyata pengaturan pasal-pasal dimaksud di atas tidak sinkron. Pasal 84 yang sekarang masih berlaku, yaitu PP Nomor 23 Tahun 2010, menyatakan bahwa pemegang IUP/IUPK produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. Artinya, mengutamakan itu bagus. Menteri menetapkan kebutuhan dimaksud yang meliputi kebutuhan untuk industri, pengolahan, dan pemakaian langsung di dalam negeri. Jadi, ada kebutuhan untuk pengolahan dan pemurnian, ada juga kebutuhan lain. Pemegang IUP dan IUPK produksi dapat melakukan ekspor. Jadi, PP-nya sendiri mengizinkan di Pasal 84 mineral atau batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan dalam negeri. Pertanyaannya, apakah ada unit pengolahan dan pemurnian di Indonesia? Belum. Berarti tidak perlu disuplai. Artinya, PP ini sendiri mengizinkan adanya ekspor, tidak melarang. Pasal 85, PP Nomor 23 Tahun 2010 menyatakan bahwa pemegang IUP produksi yang mengekspor mineral dan batubara yang diproduksi wajib berpedoman pada harga patokan yang ditetapkan oleh menteri dalam hal logam dan batubara oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya untuk mineral bukan logam. Kenapa harus ditetapkan patokan harga? Karena tidak ada harga bijih di pasar internasional, tidak ada harga bijih di Eleme, tidak ada harga bijih di New York Stock City, enggak ada. Oleh karena itu, harus kita tentukan harga daripada bijih itu. Guna apa? Guna menentukan besaran royaltinya. Karena royalti itu adalah persen … berapa persen dari harga jual. Oleh karena itu, pedagang tidak bisa seenaknya bisa menurunkan harga. Itulah undang-undang ini mengatakan. Sehingga sekarang muncul pertanyaan, apakah sudah ada harga patokan yang ditentukan oleh menteri? Tidak ada. Nah, oleh karena itu, Pemerintah pun tidak melaksanakan undang-undang ini sebenarnya, tetapi hanya melaksanakan laranganlarangan yang tidak ada dalam undang-undang ini. Pasal 112 PP Nomor 23 Tahun 2010 juncto Pasal 112C ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa pemegang IUP produksi yang melakukan penambangan yang mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu, ini ditabrakan lagi dan pemerintah tidak jantan tidak mengatakan ekspor penjualan ke luar negeri, ini kembali mengkhianati atau melawan Undang-Undang Minerba itu sendiri. Pasal 84, 85 boleh mengekspor, kok ini tiba-tiba PP Nomor 1 Tahun 2014 mengatakan harus diolah baru sebagian bisa diekspor. Jadi, PP itu sendiri sudah amburadul. 23
Nah, bagaimana kita mengharapkan pengusaha ini bisa nyaman untuk berusaha karena enggak ada kepastian hukum. Saya kira itulah tuntutan Pemohon supaya implementasi undang-undang ini konsisten dengan hukum ada kepastian hukum sesuai dengan amanat UndangUndang Dasar 1945. PP Nomor 1 tahun 2014 sangat bertentangan dengan Pasal 84 dan Pasal 85, PP nomor 23 tahun 2014 bahkan UndangUndang Minerba itu sendiri, di mana tidak ada satu pasal ayat yang menyatakan larangan ekspor terhadap mineral. Demikian juga turunan dari PP Nomor 1 tahun 2014 berupa Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 2 ayat (3) yang menyatakan bahwa bagi IUP produksi yang sudah mengolah dalam batas tertentu dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam batas tertentu. Undangundangnya tidak menyatakan larangan ekspor tiba-tiba menteri dengan seenak perutnya membuat peraturan IUP yang sudah mengolah boleh menjual sebagian. Ini kan sudah mencederai undang-undang. Seharusnya ini harus perlu kita pertanyakan, apakah pejabat negara ini boleh seenaknya menabrak undang-undang. Silakan saja review undangundang ini, sehingga bisa dikatakan di 102 itu apabila tidak olah diolah dimurnikan tidak bisa ekspor nyatakan saja begitu. Itu lebih jelas, tetapi jangan interpretasi sendiri seolah-olah menteri bisa melampaui batas kewenangan undang-undang. Oleh karena itu, sebaiknya produk hukum PP dan permen ini harus dikembalikan kepada induknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, yaitu tidak ada satu pasal maupun ayat yang menyatakan adanya larangan ekspor bagi produksi mineral maupun batubara oleh pemegang IUP maupun IUPK. Dua, melakukan pengolahan dan pemurnian bagi IUP dan IUPK produksi adalah merupakan pasal kewajiban, sehingga jelas ditetapkan dalam Pasal 151 bahwa bagi IUP, IUPR, dan IUPK yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang dijelaskan profesor tadi tidak termasuk Pasal 102-103 diberikan sanksi administratif. Jadi bukan larangan ekspor, undang-undang ini memfasilitasi, keenakan saja sanksi administrative, sehingga sesuai dengan undang-undang ini, tapi kalau dikatakan larangan ekspor menyalahi undang-undang ini. Kesimpulan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak ada satu pasal pun maupun ayat yang melarang ekspor mineral dan batubara. Pasal 102 dan Pasal 103 seharusnya tidak dikaitkan dengan larangan ekspor, tetapi harus dijabarkan secara rinci dalam PP mengenai tahapan kondisi-kondisi yang diberikan oleh pemerintah, jumlah kapasitas, unit pengelolaan dan pemurnian yang cukup bagi komoditi mineral dan logam dengan mempertimbangkan konservasi, besaran cadangan, dan potensinya, serta lokasi pembangunan unit pengolahan dan pemurnian. Ada ratusan IUP logam di Indonesia ini tidak mungkin kita bangun smelter ratusan
24
juga, tidak mungkin setiap satu perusahaan membangun unit pengolahan pemurnian. Itu mustahil itu. Nah, itulah yang harus ditempuh oleh pemerintah buat road mapnya sehingga ada tahapannya. Berikutnya tidak ada dalam undang– undang ini kapan kewajiban mengolah dan memurnikan itu bagi IUP dikatakan tidak ada, sebagaimana dijelaskan oleh profesor terdahulu yang ada adalah pasal peralihan khusus kontrak karya. Bagi kontrak karya yang sudah produksi dikaitkan dengan Pasal 103 dalam waktu 5 tahun harus memurnikan tidak mengolah karena mereka sudah mengolah, Pak, sudah menghasilkan konsentrat harus memurnikan di dalam negeri. Nah, inilah yang diterapkan kepada kawan-kawan kita IUP/IUPK yang notabene kecil, yang notabene baru beroperasi. Bandingkan contoh saya sebut namanya Freeport, Newmont sudah beroperasi 20 tahun yang lalu investasi pun sudah kembali. Dia dikasih 5 tahun, dia sudah mengolah lho, Pak, Ibu-Ibu sekalian, sudah mengolah tinggal memurnikan 5 tahun dikasih kesempatan, masa ini disamakan dengan IUP yang mengolah pun belum, ibarat lari 100 meter sprint dia sudah start di 75 meter kita ini baru di 0 apakah itu berkeadilan, apakah itu sesuai dengan tujuan undang-undang ini? Ini yang salah kaprah seolaholah kewajiban kontrak karya yang notabene perusahaan raksasa sudah beroperasi sekian puluh tahun sudah mengolah itu dituntut kepada rekan-rekan kita pengusaha nasional yang notabene baru merangkak. Di mana keadilan itu sesuai dengan undang-undang ini harus berkeadilan. Majelis yang saya muliakan, guna kepentingan nasional, maka apabila bermaksud mengendalikan produksi dan ekspor, seharusnya menggunakan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan PP Nomor 23 Tahun 2010. Pasal 84 dan Pasal 85 tidak ada relevansinya dengan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mewajibkan pengelolaan dan pemurnian. Bagi IUP dan IUPK yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana pada Pasal 102, Pasal 103 seharusnya dikenakan sanksi administratif, jadi undang-undang ini menyiapkan jalan keluar bukan melarang ekspor, tetapi mengenakan sanksi administratif sesuai dengan Pasal 151 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dengan demikian pelaksanaan undang-undang ini konsisten dan tidak menyimpang dari asas seperti parsipatif, transparansi, akuntabilitas, dan tujuannya antara lain menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaran kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Saat ini apabila ditelusuri semua produk-produk hukum di bawah undang-undang ini adalah amburadul bertentangan satu sama lain, even PP itu sendiri bertentangan Pasal 84 dan Pasal 85 dengan Pasal 102 PP Nomor 1 Tahun 2014. Nah, oleh karena itu, saya kira Pemerintah harus berjiwa besar bagi orang yang salah kemudian memperbaiki kesalahannya itu adalah 25
lebih mulia, daripada orang yang sudah tahu salah tetap ngotot dalam kesalahannya. Terima kasih. 30.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih Pak Simon. Selanjutnya Pak Arif Siregar.
31.
AHLI DARI PEMOHON: ARIF S. SIREGAR Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera buat kita semua. Bapak Ketua Majelis dan Para Hakim Yang Mulia dan Para Hadirin yang saya hormati. Perkenankan saya berdiri di sini sebagai Saksi Ahli untuk memberikan gambaran bagaimana sebenarnya industri hilir yang sedang kita bicarakan sekarang ini, yang kita harapkan di industri tambang mineral. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 telah disahkan dan di dalamnya ada keharusan untuk mengolah dan memurnikan hasil tambang dengan maksud peningkatan nilai tambah paling lambat Januari 2014, peningkatan nilai tambah ini di sektor pertambangan tentu kita semua setuju dan akan mendukung sepenuhnya bila kondisinya memungkinkan. Dan menurut pendapat saya, waktu 5 tahun yang dipaksakan Pemerintah setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak cukup. Sebagai professional yang telah berkecimpung di indutsri tambang dan pengolahan mineral lebih dari 30 tahun, berikut ini akan kami sampaikan beberapa pertimbangan dan masukan yang perlu diperhitungkan dalam rangka mencapai aspek peningkatan nilai tambah tersebut. Di bawah ini beberapa kondisi riil yang perlu dipahami sebelum melangkah lebih jauh tentang pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Yang pertama adalah tidak semua mineral harus diolah dan dimurnikan, kewajiban tentang pengolahan dan pemurnian di dalam negeri tidak bisa diterapkan sama perlakuannya terhadap setiap galian tambang. Setiap mineral memiliki sifat kondisi fisik dan karakteristik yang berbeda satu sama lain, penggunaan akhir dari masing-masing bahan tambang dan permintaan pasar juga harus dipertimbangkan. Kebijakan tentang proses lanjutan ini seyogianya diatur dalam kebijakan mineral nasional (mineral policy) terpisah dimana saat ini negara kita Indonesia tidak punya mineral policy yang jelas. Di dalam mineral policy tersebut nantinya akan diperjelas beberapa aspek yang terkait langsung dengan program nilai tambah, seperti jumlah cadangan mineral, sumber daya manusia, modal teknologi, dan sebagainya. Berikut ini kami sarankan pemilihan atau klasifikasi mineral mungkin dapat dimasukkan nantinya ke dalam Indonesian Mineral Policy sebagai petunjuk rujukan proses lanjutan untuk bahan galian mineral. 26
Ada beberapa jenis mineral. Mineral unggulan yaitu mineral yang sifatnya strategis dan vital bagi negara, apabila kondisinya memungkinkan mineral jenis ini dapat diolah dan/atau dimurnikan di dalam negeri. Di antara mineral-mineral yang tersebut yang umum di Indonesia saat ini adalah seperti emas, perak, timah, bauksit, besi, nikel, dan sebagainya. Beberapa diantaranya saat ini telah mencapai tahap hingga pemurnian, seperti emas dan yang lainnya disarankan untuk dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian secara bertahap sesuai dengan perekonomian kondisi pasar saat ini. Yang kedua adalah mineral non unggulan atau sekunder, yaitu mineral yang kewajiban pengolahannya bersifat tentatif atau kondisional sesuai dengan kondisi teknologi dan perekonomian yang ada saat ini. Di antara mineral-mineral tersebut yang umum di Indonesia adalah kromium, molibdenum, zinc, timbal dan mangan. Yang selanjutnya adalah mineral-mineral tersier, yaitu jenis mineral yang secara ekonomi dan teknologi ada peningkatan nilai tambahnya tidak harus dalam bentuk logam atau murni karena kondisi pasarnya saat ini memang tidak membutuhkan produk dalam bentuk murni seperti misalnya granit, kaolin, limestone, zirkonia, dolomit, silika dan sebagainya. Beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam melaksanakan pengolahan dan pemurnian adalah yang satu yang utama adalah ketersedian jumlah cadangan dan/atau jumlah pasokan bahan baku. Ada beberapa mineral di Indonesia saat ini yang diperkirakan kalau membangun smelter yang memadai ukurannya tidak akan mencukupi sampai pengembalian modal kembali dan Ini harus diperhitungkan. Prasyarat utama dalam membangun pengolahan atau pemurnian mineral menjadi produk akhir adalah kepastian pasokan bahan baku atau umpan yang cukup. Pabrik pengolahan membutuhkan dana yang besar dan umumnya memiliki umur pabrik dalam jangka panjang, pengembalian investasi yang sangat panjang, biasanya lebih dari 20 tahun yang mana pabrik pun harus berproduksi secara berkesinambungan selama periode tersebut, jaminan bahan baku (feedstock security) kira-kira dua kali masa pengembalian merupakan salah satu syarat utama untuk mendapatkan bankable feasibility study. Yang selanjutnya adalah aspek keekonomian dan investasi. Investasi pengolahan umumnya merupakan investasi yang padat modal seperti tadi dibicarakan oleh Pak Simon. Sebagai contoh investasi untuk pabrik peleburan dan pemurnian tembaga. Dengan kapasitas kira-kira 200.000 ton katoda per tahun investasinya diperlukan kira-kira US$800 juta sampai US$1 miliar. Pabrik alumina dengan kapasitas 1.000.000 ton alumina membutuhkan investasi kira-kira US$600 juta sampai US$800 juta. Pabrik ferronickel membutuhkan investasi US$600 juta sampai US$700 juta untuk kapasitas 20.000 ton.
27
Tingginya biaya investasi ini dan jangka waktu pengembalian investasi yang sangat lama tentu menuntut kepastian hukum yang jelas sampai pengembalian modalnya dicapai. Inilah sebabnya kenapa hanya pemain-pemain yang besar yang mampu melaksanakan pengolahan dan pemurnian tersebut karena sumber pendanaan menjadi faktor utama yang perlu dipersiapkan dengan baik di depan. Sumber pendanaan dalam negeri rasanya sangat sulit diharapkan untuk investasi besar dan dengan risiko besar di industri pertambangan, akibatnya pendanaannya akan datang dari luar negeri yang tentu akan diberikan ke orang luar negeri juga. Kondisi dan kebutuhan pasar baik domestik maupun internasional juga perlu dipertimbangkan. Analisis permintaan pasar baik jangka pendek maupun jangka panjang merupakan hal yang penting dipelajari sebelum melakukan investasi di industri pertambangan. Produk akhir dari suatu kegiatan pengolahan dan atau pemurnian mineral harus disesuaikan dengan kondisi dan permintaan pasar, termasuk regulasi yang ada di negara tujuan ekspor. Faktor harga jual produk akhir dari pengolahan di pasar internasional juga akan mempengaruhi aspek keekonomian pabrik pengolahan. Perlu juga diketahui bahwa pasar mineral internasional juga tidak terlepas dari adanya sistem kartel yang menguasai perdagangan global, hal ini sangat berhubungan erat dengan adanya perjanjian kontrak beli jangka tertentu antara pembeli dan pemasok terutama menyangkut sustainability dan reliability supply. Selanjutnya kebutuhan dan ketersedian energi. Kondisi saat ini di Indonesia kegiatan operasi produksi pabrik pengolahan tentunya memerlukan energi yang sangat besar, ada beberapa pengolahan yang relatif energi yang dibutuhkannya kecil, tapi proses itu belum pernah diterapkan, tidak ada saat ini di Indonesia. Misalnya proses pelarutan itu tidak dipakai di Indonesia. Sebagai gambaran untuk pengolahan dan peleburan bijih nikel menjadi nikel pig iron, ini nikel pig iron adalah produk nikel yang paling rendah kualitasnya yang bisa dijual diekspor. Ini merupakan lanjutan dari bijih nikel yang rendah untuk produksi 20.000 ton per tahun saja itu diperlukan sumber listrik kira-kira 200 sampai 300 megawatt hanya 20.000 ton per tahun. Pengadaan energi merupakan salah satu aspek biaya yang dominan signifikan di dalam kegiatan operasi pengolahan mineral. Umumnya berkisar antara 30% sampai 50% kapital untuk pengadaan listrik. Selanjutnya teknologinya juga disesuaikan dengan karakteristik spesifik mineral yang akan diolah. Masing-masing mineral memiliki sifat fisik dan sifat kimia yang berbeda-beda, termasuk kadar, berat jenis, titik lebur, titik meleleh dan sebagainya, sehingga perlakuan terhadap mineral-mineral tersebut dalam kegiatan proses pengolahannya tentu akan tidak sama. 28
Saya sengaja membawa isu ini karena ada isu-isu di luar yang mengatakan kan bisa dioleh di satu pabrik, dibawa … misalnya ini nikel dibawa di Halmahera, bisa diolah di … katakanlah di Sulawesi. Pada kenyataannya itu tidak bisa itu dilakukan, tapi tidak susah karena karakter bijih dari Halmahera itu tidak sama dengan karakter bijih dari Sulawesi, misalnya. Jadi tidak, tidak mudah itu. Perangkat teknologi yang digunakan dalam proses pengolahan akan di desain spesifik untuk mengolah bahan baku tertentu, sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Untuk pasokan bahan baku yang karakteristiknya berubah-ubah di dalam proses pengolahannya akan membutuhkan penyesuaian atau adjustment yang tentunya akan memerlukan waktu dan menyebabkan biaya tinggi. Ada juga aspek lainnya yang perlu diperhatikan beberapa aspek, yaitu daya dukung lingkungan, misalnya pengolahan pabrik … pengolahan produk samping (by product) dan pengolahan limbah yang hasil kegiatan pengolahan. Hal ini menjadi sangat perlu diperhitungkan mengingat pengolahan mineral akan menghasilkan limbah yang sangat banyak. Sebagai gambaran, pengolahan bijih emas atau perak akan menghasilkan jumlah ton yang sama. Bijih yang dimasukan ke pabrik sama … baik, sama limbah yang keluar dari pabrik karena yang hanya sekitar 2 gram per ton dari bijih tersebut. Bapak-Bapak Ketua Majelis dan Para Hakim Yang Mulia, berikut ini saya coba memberikan sedikit kesimpulan mengenai apa sebenarnya industri hilir pengolahan tambang tersebut. Sebagai kesimpulan, berikut saya akan coba gambarkan bagaimana sulitnya memaksakan pembangunan pengolahan dan pemurnian hasil tambang terhadap penambangan yang ada saat ini di Indonesia. Memaksakan pembangunan proses peleburan dalam negeri saat ini praktis akan membunuh industri tambang yang sekarang ini baru berkembang karena: 1. Untuk membangun peleburan diperlukan modal yang sangat besar dan umumnya penambang yang saat ini beroperasi di Indonesia tidak punya dana sebesar itu. Jadi kalau ini dipaksakan mereka akan menutup tambang, memberhentikan seluruh karyawannya. 2. Peleburan hasil tambang adalah operasi temperatur tinggi karenanya memerlukan energi listrik yang besar. Sejauh ini tidak ada penyedia listrik yang sanggup memasok sebesar yang mereka akan perlukan, kecuali mereka sendiri yang bangun. Artinya, pemerintah lewat PLN tidak … sampai saat ini belum sanggup menyediakan listrik untuk industri hilir pertambangan ini. Ini akan memerlukan tambahan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama untuk membangunnya berikut infrastrukturnya, apalagi untuk daerah yang jauh dari 29
sumber bahan bakar pembangkit seperti batubara, gas, dan lain-lain. 3. Peleburan bahan tambang sangat sensitif terhadap perubahan karakteristik umpan karenanya diperlukan teknologi tinggi untuk mengontrol proses peleburan tersebut. Ini memerlukan studi secara menyeluruh, komprehensif terhadap karakteristik bijih umpan yang akan diolah dan tentu akan membutuhkan biaya yang tinggi dan memakan waktu. 4. Biasanya investor yang akan membangun proses peleburan, terlebih dahulu melihat peluang dipasar dan berusaha mencari pembeli tetap untuk menghindari kemungkinan rugi besar dalam operasinya, terutama sebelum mencapai pengembalian modal. Perlu diingat, secara histori harga komoditas logam itu bersifat cyclic. Jadi, ada kalanya turun dan naik, dan turun, dan naik. Ada saat naik dan ada saat turun. Jadi untuk mengurangi kemungkinan risiko rugi besar, biasanya investor akan mencari kontrak jangka panjang dengan formula harga sedemikian rupa, sehingga pada saat cycle-nya di bawah harga turun, kerugiannya tidak begitu besar. Ini menurut saya sangat sulit dilakukan oleh penambang yang saat ini beroperasi di Indonesia. 5. Dalam membangun peleburan, investor mutlak perlu mempertimbangkan faktor lain seperti jumlah cadangan untuk periode tertentu sampai pengembalian modal dicapai. Dan terhadap lingkungan mudah dicapai … dampak terhadap lingkungan, terutama karena hasil sampingan dari peleburan tadi juga harus dipikirkan dari awal. Itu semua memerlukan studi menyeluruh, membutuhkan waktu dan dana yang sangat besar. Yang jelas ini belum dilaksanakan dan siapakah yang akan menyediakan itu semua. Dari ulasan di atas sudah jelas bahwa memaksakan pembangunan proses pengolahan dan pemurnian saat ini terhadap penambangpenambang yang notabene adalah orang Indonesia akan mengakibatkan penutupan tambang dan merugikan mereka, terutama yang sudah berinvestasi di sektor penambangan dan memutus lapangan kerja puluhan ribu rakyat Indonesia yang bekerja di sana, disamping tentunya memberhentikan pendapatan daerah di mana pertambangan berada. Dan kalau ini terjadi, saya percaya, maka akan masuk pemodal-pemodal besar dari luar negeri dengan membawa modal besar dan menggeser dengan paksa penambang-penambang nasional kita dari beroperasi di tanah airnnya sendiri. Jadi, sebelum saya tutup ada saran ini, saya ingin sampaikan mengingat proses lanjutan hasil tambang membutuhkan dana yang sangat besar dan membutuhkan kajian menyeluruh menyangkut juga
30
pengadaan sumber listrik yang juga besar, maka saya sarankan ada 2 di sini. 1. Supaya penambang-penambang nasional diberi peluang untuk mengumpulkan dana melalui ekspor dan menyiapkan proses lanjutan pengolahan mineral dalam negeri termasuk juga memberi waktu yang cukup buat mereka mempersiapkan semua yang terkait dengan pengolahan dan pemurnian tersebut. 2. Saya berharap pemerintah dalam hubungannya dengan ekspor garam agar mengatur penambang-penambang nasional tersebut dan sebisanya menyediakan asistensi agar tujuan pengolahan dalam negeri bisa tercapai seperti yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Demikian. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 32.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Ini waktu kita singkat, hanya sampai jam 13.00 WIB. Pemohon ada pertanyaan? Cukup?
33.
KUASA HUKUM PEMOHON: REFLY HARUN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Ada 2 pertanyaan, saya ingin kepada … pertama kepada Prof. Saldi Isra, ya. Tadi kan dikatakan soal konstitusional norma dan implementasi. Dan tadi juga Ahli Pak Simon mengatakan norma … sebenarnya bukan itu yang dimaksud, tapi implementasi. Dan saya ingin mendapatkan apa ... mendapatkan masukan dari Ahli, apakah ketika kita bicara mengenai implementasi, konstitusionalitas yang terkait implementasi, itu kemudian ranahnya bisa tetap di sini? Karena itulah challenge yang diberikan kepada kami, baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak terkait. Karena kami sudah mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung, sudah dikabulkan, tapi tetap saja larangan ekspor itu diberlakukan. Itu yang pertama. Yang kedua adalah kepada Ahli Dr. Faisal Basri. Tadi kami tertarik mengenai fenomena Australia. Bahwa it is a matter of choice, pilihan, Anda bisa mengekspor, bisa bikin aluminia, bisa bikin aluminiumnya dengan contoh kasus bauksit tadi. Nah, untuk konteks di Indonesia, apakah hal yang sama itu bisa diterapkan? Jadi, dengan kondisi sekarang, orang boleh mengekspor, tapi juga boleh memurnikan dengan tingkat konsentrat tertentu, tapi juga bisa sampai pemurnian final. Lalu kemudian, kalau seandainya kebijakan larangan ekspor ini tetap dilanjutkan, entah sampai kapan, kalau yang dirugikan sudah jelas Pemohon, tapi kira-kira siapa yang diuntungkan kalau kita kaitkan dengan ekonomi politiknya? Itu yang ingin kami penegasan agar jangan
31
sampai klaim untuk kepentingan bangsa dan negara ini kemudian justru berbelok-belok dengan logika yang terbalik-balik. Terima kasih. 34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, Pemohon. Pemerintah ada pertanyaan?
35.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI Cukup, Yang Mulia.
36.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup. Pihak Terkait? Ya, silakan.
37.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: JANSES E. SIHALOHO Terima kasih, Yang Mulia. Menyambung pertanyaan dari Kuasa Pemohon, ada pertanyaan untuk Bapak Prof. Saldi Isra. Tadi kalau enggak salah Ahli menjelaskan bahwa norma ini sudah jelas dan ini masalah implementasi. Pertanyaannya adalah, apakah ini bukannya ranahnya Mahkamah Agung? Yang pertama. Terus seandainya pun sudah diuji di Mahkamah Agung, ada lagi larangan-larangan seperti itu, apakah itu bukan wewenang dari Pengadilan Tata Usaha Negara? Itu yang pertama. Nah, terus yang kedua, tadi Ahli menjelaskan bahwa di undangundang itu tidak ada kata yang melarang ekspor. Apakah berarti kalau umpamanya undang-undang itu tidak ada norma yang melarang itu tidak dibolehkan aturan turunannya itu? Logikanya seperti ini, Prof. Di undangUndang Pengadilan Tembakau itu tidak melarang merokok, tapi apakah peraturan daerah, umpamanya di Jakarta boleh melarang merokok? Seperti itu. Pertanyaan kedua untuk Bapak Faisal Basri, tadi disampaikan bahwa ini kan tujuan undang-undang ini sebenarnya nilai tambah, ya. Nah, pertanyaannya, apakah dimungkinkan melakukan apa … pemerintah itu, negara ini mendapatkan nilai tambah kalau mineral tadi itu tidak … tidak diolah terlebih dahulu atau dimurnikan terlebih dahulu? Terima kasih.
38.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih. Dari Hakim? Silakan, Pak Patrialis.
32
39.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Ketua. Saya lebih fokus barangkali kepada Ahli Saldi Isra dan Ahli Faisal Basri. Hari ini kami mendapatkan jawaban dari pemerintah secara tertulis atas beberapa pertanyaan Hakim dan juga Kuasa Hukum Pemohon pada sidang yang lalu. Saya ingin minta tanggapan Ahli terhadap jawaban pemerintah ini, ya tentu kaitan dengan apa yang disampaikan tadi dan juga dengan kasus yang sedang kita tangani dan kekhawatiran adanya pengusaha-pengusaha dalam negeri akan gulung tikar, kan begitu. Di dalam halaman 2, pemerintah mengatakan demikian. “Apabila ketentuan, kewajiban pelaksanaan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri tidak dilakukan, maka akan terdapat potensi kerugian negara dalam hal-hal antara lain, sebagai berikut.” Antara lain, saya menyebutkan satu saja. a. Peningkatan eksploitasi dan penjualan ke luar negeri bijih mineral yang besar-besaran, sehingga akan mempercepat laju pengurangan cadangan mineral nasional yang dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan atau kelangkaan pasokan mineral untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di samping itu, peningkatan eksploitasi bijih mineral yang tidak terkendali juga akan mengakibatkan terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan sekitar lokasi kegiatan penambangan. Tadi Pak Faisal Basri bicara ada dua persyaratan yang mutlak, persoalan HAM dan juga persoalan lingkungan, kalau saya tidak salah tanggap. Itu satu. Jadi, ini Pemerintah ini yang menyampaikan kepada kita di forum ini. Saya akan sampaikan supaya semua orang tahu, semua kita tahu bahwa ini yang disampaikan oleh Pemerintah. Pemerintahnya masih ada di sini. Yang kedua. Di dalam halaman 7, Pemerintah mengatakan ini kaitannya dengan Pak Simon tadi, tapi mungkin nanti terserah siapa yang menyampaikan. Bahwa bijih nikel dari Pemala dan daerah lain di Indonesia itu banyak mengandung ikutan-ikutan. Tadi Pak Simon sudah menjelaskan ikutannya banyak sekali, ya sebagai Ahli. Nah, di sini dikatakan oleh Pemerintah bahwa dengan adanya ikutan-ikutan itu, ya ikutan itu, Indonesia akan mendapat keuntungan ekonomi yang sangat tinggi. Sementara Indonesia sebagai negara yang mengekspor hanya mendapatkan manfaat ekonomi dari harga jual bahan mineral yang sangat rendah. Dengan adanya pengelolaan dan pemurnian mineral dalam negeri, maka Indonesia akan mendapatkan manfaat dari harga jual produk utama dan produk samping dari hasil pengelolaan dan pemurnian mineral yang sangat tinggi. Tadi Ahli Saldi Isra juga berpikir bahwa salah satu pertimbangannya itu adalah juga selain daripada pertimbangan pribadi, 33
pengusaha, tapi juga adalah pertimbangan kepentingan bangsa. Jadi, yang harus seimbang. Nah, di sini dikatakan bahwa negara akan mendapatkan pemasukan yang sangat tinggi. Terakhir, di dalam halaman 10, Pemerintah menjawab pertanyaan dari Pemohon Saudara Refly Harun pada waktu itu. Pemerintah menjawab demikian, pada dasarnya dalam ketentuan Undang-Undang Minerba dan peraturan pelaksanaannya yang tadi banyak sekali dibahas oleh para Ahli, tidak ada ketentuan yang menyebutkan tentang larangan ekspor. Ini Pemerintah ini ada di sini. Kata Pemerintah demikian. Yang ada adalah ketentuan yang mewajibkan pemegang IUP untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral mentah di dalam negeri. Jadi, ini berkaitan dengan apa yang dibahas pada hari ini. Saya hanya ingin minta tanggapan dua Ahli terhadap pokok-pokok ini. Tapi nanti kalau Pak Simon juga mau nambah, silakan. Terima kasih. 40.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, silakan Pak Saldi lebih dulu, nanti bagi-bagi waktu dengan Pak Faisal Basri dan Pak Simon sedikit terakir. Silakan!
41.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Saya memahami apa namanya … karena tadi yang banyak disebut termasuk pun di keterangan saya kan soal aturan di bawah undang-undang. Lalu apa problem konstitusionalnya kalau dibawa di Mahkamah Konstitusi. Saya berpikir begini, kalau ada aturan aturan berganti-ganti, sudah diuji materiil di Mahkamah Agung lalu diganti yang wujudnya tetap sama. Nah, menurut saya di Mahkamah inilah kemudian … di Mahkamah inilah menurut saya tempatnya memberikan tafsir baru terhadap apa namanya … praktik itu agar kemudian pelaksana di bawah tidak semena-mena memberikan tafsir terhadap pasal itu. Jadi … jadi, apa namanya … ada tafsir konstitusional baru terhadap ketentuan itu, sehingga kemungkinan praktik melahirkan produk hukum yang berubah-ubah dan merugikan pihak-pihak tertentu itu tidak terjadi lagi. Jadi, kalau ini tidak dilakukan, ini kan kayak orang mencari apa namanya … mencari tepi kain sarung saja semuanya, Yang Mulia … kain sarung itu tepinya tidak akan pernah ketemu sama kita. Diuji ke Mahkamah … ke Mahkamah Agung, dibatalkan, dibuat lagi, akan begitu terus. Nah, oleh karena itu saya mau (suara tidak terdengar jelas) setelah membaca permohonan mau … Ahli karena ini memerlukan tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan ini yang berpotensi diubah dari waktu ke waktu di apa … di … oleh para pembentuk peraturan, terutama 34
di PP ke bawah itu. Jadi, saya menganggap itu problem konstitusionalnya yang ada di situ. Dan kalau soal pelaksanaan tadi disebut dibawa ke PT … PTTUN kalau produknya itu berbentuk regeling kan sulit di … ke Tata Usaha … Peradilan Tata Usaha Negara menurut saya. Jadi, saya lebih melihat karena membantu untuk meyakinkan Hakim bahwa sebaiknya di … diberi tafsir baru, sehingga kemudian tidak merugikan mereka yang ada pada pengusaha-pengusaha kecil IUP dan IUPK yang menurut saya sulit bisa mengimbangi perusahaan-perusahaan besar itu. Jadi kalau soal pertanyaan Yang Mulia Bapak Hakim Patrialis, saya tidak relevan untuk menjawabnya karena itu ada pada wilayah teknis pertambangan, tidak terkait dengan peraturan perundangundangan, terima kasih. 42.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Silakan, Pak Faisal Basri.
43.
AHLI DARI PEMOHON: FAISAL BASRI Terima kasih, Yang Mulia. Pertama dari Bapak Refly Harun, sebetulnya tidak hanya kasus Australia tapi juga Brazil. Jadi sebagian besar di dunia ini tidak melarang, sebagian besar produsen tambang itu tidak melarang. Kalau misalnya ... bahkan Amerika Serikat pun mengekspor batubara, dia tidak mengolah batubaranya, sama juga seperti Indonesia gitu. Jadi pengusaha sekali lagi dibimbing untuk berusaha di tambang saja atau di pengolahan saja, atau terintegrasi itu bergantung profit mana yang paling besar. Nah, mengapa misalnya di Australia ada bauksit, ada alumina, jadi dia mengeksport bauksit tapi juga bauksit itu ada yang diolah menjadi alumina. Di daerah-daerah yang remote, yang tidak ada fasilitas listrik dari negara, ya, dia ekspor saja karena bongkar apa ... mengeruk bauksit tidak perlu energi besar, sehingga, ya, sudah keruk, jual. Karena jauh untuk ke apa ... ke tempat yang berpotensi sebagai pengolahan. Kemudian di daerah-daerah yang listriknya cukup, infrastrukturnya memadai, tenaga kerjanya ada karena butuh tenaga kerja juga kalau di gunung tidak ada tenaga kerja dan tenaga kerja di sana mahal. Nah, alasan-alasan ekonomis sebetulnya yang menyebabkan perilakunya seperti itu. Nah, kemudian kalau dia punya pengolahan atau smelter yang membutuhkan spesifikasi bauksit tertentu itu berbeda dengan yang dia miliki, ya, enggak bisa, kan. Jadi seperti kita, minyak yang kita produksi kan kita jual ke luar negeri karena lebih mahal, minas itu mahal harganya, ya, mendekati texes ... eh, mendekati brand. Brand itu selalu 35
lebih tinggi dari texes. Kita butuhnya spesifikasi kilang kita adalah minyak-minyak yang berkualitas jelek, kan kita enggak begitu peduli sama lingkungan, makanya kita beli yang murah kita jual yang mahal. Jadi pengusaha banyak dapat pilihan, tetapi kalau kita paksa, kita pakai spesifikasi seluruh bauksit kita, kita olah sendiri itu tadi seperti Ahli katakan, ada yang ongkos produksinya mahal sekali karena olahnya jadi berat, gitu, karena kualitasnya jelek. Itu enggak perlu diolah, kalau ada yang mau beli silakan beli, kita teknologinya tidak punya. Jadi sunggu bebal ini kebijakan-kebijakan pemerintah ini. Dan yang saya sangat marah, saya boleh marah Bapak Ketua Yang Mulia, masa pemerintah mengatakan tidak ada kata-kata larangan ekspor di dalam ketentuan-ketentuannya. Inikan sudah bebal ini, ini sudah zalim menurut saya karena jelas ada kok ... maaf, di PP Nomor 23 Tahun 2010 ... Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 disebut melarang ekspor bijih paling lambat 3 bulan, ada larangan itu, keterlaluan kalau menurut saya ini, ini pokrol bambu beda pemerintah dengan pokrol bambu. Kemudian bahasanya saya juga enggak mengerti. Jadi istilahnya memang tidak dilarang mengekspor karena terminologinya dapat mengekspor bijih sampai 12 Januari, berartikan setelah itu dilarang, kan? Masa cara menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini sungguh menurut saya apa, ya ... menistakan harkat dan martabat pemerintah sendiri. Mudah-mudahan ini tidak mencerminkan karakter pemerintah secara umum, tapi yang merumuskan jawaban-jawaban ini. Kami menangis dalam hati kalau cara-cara pemerintah pakai pokrol bambu di forum yang terhormat seperti ini. Saya terus terang konsentrasi saya agak menurun, sehingga saya lupa pertanyaan Pak Refly Harun yang kedua, kalau boleh diulang. 44.
KUASA HUKUM PEMOHON: REFLY HARUN Siap. Siapa yang diuntungkan kalau kebijakan larangan ini tetap dilanjutkan?
45.
AHLI DARI PEMOHON: FAISAL BASRI Oke, jadi kan setelah saya katakan tadi bahwa tidak mungkin Karena investasinya mahal, tiba-tiba 55 juta hektare … 55 juta ton bauksit itu bisa diolah semua. Tadi Aneka Tambang baru bisa olah 2,5 juta ton bauksit. Kemudian satu lagi 3,5 jadi totalnya enam. Jadi bayangkan untuk kurun yang cukup lama itu yang telah memiliki IUP tetap tidak bisa berproduksi. Kalau mereka nekat berproduksi semua yang memiliki IUP. Berproduksi kira-kira potensinya 55 juta tapi yang mau beli cuma 6 juta. Bapak/Ibu bisa bayangkan harga akan anjlok. Nah, kalau untuk kasus sawit, perusahaan minyak goreng itu menekan. Menekan apa … petani sawit, “Wah saya enggak mau beli 36
kalau harganya tinggi-tinggi, murahkan.” Pengusaha itu punya pilihan untuk mengekspor, punya pilihan untuk mengekspor. Jadi mengekspor itu bukan opsi utama, tidak. Tapi safety nets buat pengusaha untuk untuk menghadapi kemungkinan terjadinya monopsoni. Nah, kemudian katakanlah Rusal ini jadi membangun pabrik. Tapi se-secure-secure-nya investor adalah kalau dia punya pabrik smelter, dia pun punya tambangnya. Jadi karena pasarnya cenderung monopsoni, maka harga cenderung di bawah seperti Tommy Soeharto memperlakukan petani cengkeh kita harga di bawah. Keuntungan makin tipis, lama-lama tidak bisa menutup ongkos, maka satu demi satu IUP akan menjual hak usaha pertambangannya ke Rusal. Jadi muncul Freeport edisi reformasi yang difasilitasi oleh kebijakan Pemerintah dan didorong oleh Pemerintah. Nah, barangkali faktor-faktor ini yang mungkin sangat tidak diperhatikan yang sungguh membuat saya sama saja dengan mengatakan ya kita menjual negara juga. Nah, pertanyaan dari yang terakhir. Apakah terkait … apakah nilai tambah itu bisa dilakukan kalau tidak diolah sendiri. Ingat, nilai tambah itu ada ongkosnya, nilai tambah itu tidak gratisan. Untuk menciptakan nilai tambah kita harus mengimpor mesin. Mesin-mesin itu tidak bisa kita produksi sendiri. Bahkan kalau yang di Kalimantan itu sebagian besar buruhnya untuk beberapa tahun itu didatangkan dari Cina karena membutuhkan presisi yang lebih dan kita tidak punya pengalaman. Kita nol pengalamannya untuk pabrik alumina. Jadi ada ongkosnya. Nilai tambah. Apa sih nilai tambah itu? Output minus input antara. Jadi nilai tambah ilnusi alumina apa? Harga alumina dikurangi bahan bakunya bauksit. Apa itu buat nilai tambah itu? Pengurangan dari itu adalah laba perusahaan. Ya, laba perusahaan. Kedua, ongkos tenaga kerja. Ketiga, ongkos sewa tanah itu barangkali nanti ada PBB-nya. Kemudian biaya bunga. Buat apa gunanya nilai tambah tinggi kalau sebagian besar nilai tambah itu larinya keluar negeri. Keuntungan siapa yang dapat? Rusal. Rusal bangun pabrik menggunakan dana dari bank asing, bayar bunganya asing. Jadi kita jangan tolol-tolol banget untuk sekedar melihat nilai tambah. Nilai tambah itu punya warga negara. Jangan sampai nilai tambah yang kita dapatkan hanya sewa tanah dan ongkos buruh. Ongkos buruh itu kapital intensif. Buruhnya tidak akan lebih dari 500 orang. Tanahnya, PPB-nya berapa sih tanah di hutan itu? Jadi terbesar dari komponen nilai tambah itu adalah pembayaran bunga dan keuntungan si Rusal itu. Ya, kalau kita memang niatnya ingin memperkaya Rusia silakan, terima kasih. 46.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, Pak Simon silakan.
37
47.
AHLI DARI PEMOHON: SIMON F. SEMBIRING Terima kasih, saya kira saya ingin menjawab pertanyaan Yang Mulia Pak Patrialis Akbar. Mengenai bijih nikel tadi ada mineral ikutan. Memang di setiap mineral pasti ada mineral ikutan, ya, itu pasti ada. Permasalahannya kan, bukan karena kita mengekspor kita rugi. Boleh dong Pemerintah membikin regulasi. Nikel yang mineral ikutannya begini, yang ini kena royalti begini, begini, begini. Sekarang ada enggak itu? Enggak ada. Jadi bukan salah pengusaha. Nah, untuk itu Pemerintah aktif. Datanglah ke Jepang sana, datanglah ke Jerman melihat pengolahan pemurnian di sana. Apa sih barang ini, jadi apa ini? Enggak pernah ini Pemerintah datang ke sana. Mau jadi apa ini barang ini di sana? Kalau kita sudah tahu barang itu jadi apa, kemudian said produknya apa, boleh dong kita bargaining dengan pengusaha ini. “Oke, saya kenakan ini buat kau.” Itu yang harus ditempuh, bukan larangan ekspor. Itu mah pekerjaan tukang becak kalau begitu, bukan academic knowledge yang dimainkan. Jadi, jangan seenaknya. Bikinlah … itu kewajiban dia bikin regulasi. Ada enggak regulasi seperti sekarang? Enggak. Contoh sekarang yang paling nyata, Smelter, Gresik, itu berapa tahun per tahun platina yang dikirim? Itu, Pak, hanya tembaga, kan, itu kan selainnya dikirim ke Jepang. Berapa tahun kadar di sana? Ada enggak Pemerintah bertindak sesuatu? No. Berapa kehilangan kita? Bukan hanya paladium ada di sana, radioaktif. Nah, inilah yang dilakukan Pemerintah. Jadi, tidak harus diolah, dimurnikan. Kedua, perkataan di sini kan mengolah dan memurnikan, Pak. Undang-undang itu bunyinya begitu, tidak mengolah saja. Nah, PP Nomor 1 Tahun 2014, “Apabila ada IUP yang sudah mengolah.” Kan ini manipulasi undang-undang lagi. Undang-undang mengatakan mengolah dan memurnikan, bukan mengolah atau memurnikan. Tolong dicatat, Pemerintah itu! Mengolah dan memurnikan, kok tiba-tiba PP yang bisa … yang sudah mengolah, lho, memurnikannya ke mana dong? Jangan bersilat lidahlah seperti dikatakan tadi. Pokrol saja ini, kan? Nah, di sinilah tempatnya, Pak. Karena ini semua sudah capek, di Mahkamah Agung juga begitu. Sudah dicabut pun, muncul lagi. Yang dituntut di sinikan, apakah terjemahan Pasal 102, Pasal 103 itu larangan ekspor untuk menjamin kepastian hukum? Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga harus ada kepastian hukum. Kaitannya ke situ menurut saya. Jadi, kalau enggak ada kepastian hukum, siapa lagi yang mau kita pegang ini? Itu. Jadi, betul. Jadi, untuk mencegah itu, Pak, bukan larangan ekspor, pakailah Pasal 5 undang-undang ini. Bahwa untuk kepentingan nasional, Pemerintah berhak menentukan jumlah produksi dan juga ekspor. Ini Pasal 5 bunyinya begitu, bukan larangan ekspor.
38
Nah, tadi Pak Patrialis mengatakan ada mineral ikutan, bikin ke laboratorium, bawa. Oke. Bikinlah ketentuan PP-nya. Nikel yang mengandung kobal sekian persen, ini sekian persen, royaltinya begini, ini begini. Karena sementara ini kita belum bisa mengolah dan memurnikan. Tapi yang jelas kan tambah penerimaan negara, bisa dilakukan itu, gitulah. Tugas Pemerintah sebagai regulator, tapi jangan hanya diam saja. Ya, pedagang mah nakal saja. “Pak, yang dibayar ke saya itu hanya nikelnya doang.” No body knows bahwa mereka itu punya side agreement sales, enggak ada yang tahu. Nah, oleh karena itu, Pemerintah sebagai regulator teliti, datang ke sana, menjadi apa ini nikel ini? Tidak susah itu, Pak. Hanya pekerjaan dua minggu itu, kalau ada niat baik melaksanakan Pasal 33 itu. Itu yang menjadi masalah. Itu. Kemudian, tadi dikatakan, tidak ada ketentuan larangan ekspor. Ini saya bacakan ini, ya. Di ayat (4) Permen Nomor 1 Tahun 2014, “Pemegang IUP operasi produksi, sebagaimana disebut pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan ke luar negeri.” Penjualan ke luar negeri itu apa bahasanya? Bahasa ordunya apa? Ekspor, kan? Enggak tahu? Tanya saja Pemerintah. Enggak tahu bahasa lain untuk menjual ke luar negeri itu apa? Impor? Oh, lebih kacau lagi. Bahasa lain itu adalah … sudah ada bahasa Indonesianya. Dulukan ex, sekarang ek, ekspor. Makanya, Pemerintah ini memanipulasi saja undang-undang ini, seenaknya saja, enggak bisa begitu. Nah, di sinilah tempatnya menurut hemat kami, untuk menuangkan secara academy knowledge, secara jernih melihat undangundang ini. Kami sebagai membuat undang-undang ini tidak ada dalam mimpi kami mematikan semua pengusaha ini, tidak ada dalam mimpi kita seperti itu. Bahwa timing-nya itulah yang diatur dalam PP. Ini kan saya bilang tadi, timing-nya itu kok lima tahun? Disamakan raksasa dengan petani, konglomerat dengan petani. Jujur enggak itu? Sudah menyalahi tujuan undang-undang ini, harus berkeadilan. Bagaimana kita bisa menyamakan bayi yang tiga bulan atau tiga tahun sama dengan orang dewasa 25 tahun? Secara global ditolak itu, Pak, kalau disamakan itu. Ndak usahlah di Indonesia ini. Ini yang terjadi di sini sekarang. Oleh karena itu, kita luruskan dia ini. Yang terakhir saya katakan, kenapa sih dilarang ekspor? Kenapa tidak jantan, kenakan sanksi administratif. Apa itu sanksi administratif? Teguran keras. Kedua, bisa menutup sebagian operasi. Ketiga, cabut izin. Sekarang cabut saja izinnya. Anda akan mengatakan itu melaksanakan undang-undang. Tapi kalau melarang ekspor, itu tidak melaksanakan undang-undang. Pasti Pemerintah takut sama pemda karena yang mengeluarkan izin adalah pemda. Jadi, tidak ada jantannya Pemerintah ini, padahal dia punya peluru basoka yang sewaktu-waktu bisa ditembakkan sesuai dengan Konstitusi dan undang-undang. Kita ini 39
kan bicara negara hukum. Ya, kalau pemerintah pusat melaksanakan hukum, siapa yang berani melawan? Tetapi ini kan bukan negara hukum ini, ini adalah mematikan pengusaha nasional, menghidupkan pengusaha asing, itu yang terjadi sekarang ini. Bayangkan, Pak, Freeport itu sudah puluhan tahun menghasilkan mengolah makanya bunyinya kontrak karya yang sudah produksi memurnikan bukan mengolah lagi karena dia sudah mengolah. Sekarang dikasih izin sampai 2017 dengan catatan kenakan biaya keluaran. Apaapaan ini. Padahal di undang-undang ini disebut, “ Eh, dalam satu tahun kau re-bernegosiasi.” Di situlah dimuat itu. “Kau kalau tidak bisa bikin smelter refinery dalam tempo 5 tahun ini lho. Itu bukan melalui PP, ini pemerintah mau gampangnya saja ini, enggak mau capek. Nah, oleh karena itu kami tuangkanlah di sini. Bapak Hakim dan Ibu Hakim Yang saya muliakan, saya tadinya tidak mau jadi saksi ahli di sini karena saya ikut membuat undangundang ini, tetapi saya lihat undang-undang ini sudah mencong. Saya sudah bertemu dengan dirjen, bertemu dengan menteri, wamen sudah bicara. Jadi, mau apa lagi. Inilah satu-satunya benteng pertahanan kami sebagai tanggungjawab moral . saya enggak dapat duit dari Rusal, saya enggak dapat duit dari perusahaan ini, bahkan saya keluar biaya untuk membikin semua persiapan ini. Jadi, ini sebenarnya yang terjadi. Jadi, mohon, Pak kalau dikatakan tadi pertanyaan Pak Refly, apakah ini sesuai, ada hubungannya? Saya kira ada hubungan. Undang-undang ini mengatakan harus konsisten menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Kalau tidak terjamin kepastian hukum ada kaitannya enggak dengan Undang-Undang Dasar 1945, ada dong. 48.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, dipersingkat.
49.
AHLI DARI PEMOHON: SIMON F. SEMBIRING Itu saja. Terima kasih, Pak.
50.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih karena ini kita harus sidang lagi jam 13.30 WIB, waktunya sangat sempit. Saya harus potong. Pemohon masih ada ahli?
51.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABONDONO Masih, Yang Mulia.
40
52.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Berapa orang?
53.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABONDONO Sekitar 3 orang dengan 5 saksi lagi.
54.
KETUA: HAMDAN ZOELVA 3 orang lagi dengan 5 saksi. Kalau gitu ahlinya saja dulu deh 3 orang ya, nanti saksi terakhir atau saksi dulu habis itu baru ahli, ya. Saksi dulu 5 orang bawa.
55.
KUASA HUKUM PEMOHON: MAHESWARA PRABONDONO Saksi dulu. Baik, Yang Mulia.
56.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Saksi dulu 5 orang habis itu nanti ada Pemerintah sama Pihak Terkait. Dengan demikian sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada hari Rabu, 7 Mei 2014, pukul 11.00 WIB, untuk mendengarkan keterangan saksi dari Pemohon 5 orang. Dengan demikian sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.20 WIB Jakarta, 16 April 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
41