MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 106/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI DARI PEMOHON DAN PRESIDEN (IV)
JAKARTA RABU, 26 NOVEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 106/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan [Pasal 28 huruf d dan huruf e] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Ai Latifah Fardhiyah 2. Riyanti ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi dari Pemohon dan Presiden (IV) Rabu, 26 November 2014, Pukul 11.11 – 12.06 WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Arief Hidayat Muhammad Alim Anwar Usman Aswanto Wahiduddin Adams Maria Farida Indrati Patrialis Akbar
Saiful Anwar
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Vivi Ayunita B. Ahli dari Pemohon: 1. Saldi Isra 2. Dian Puji Nugraha Simatupang C. Pemerintah: 1. Budijono 2. Tri Rahmanto
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.11 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara XII/2014 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.
106/PUU-
KETUK PALU 3X Pemohon yang 2.
hadir?
KUASA HUKUM PEMOHON: VIVI AYUNITA Hadir Kuasa Pemohon, Yang Mulia. Saya Vivi Ayunita.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Asrun nya tidak hadir, ya?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: VIVI AYUNITA Tidak hadir.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, pemerintah yang mewakili presiden?
6.
PEMERINTAH: BUDIJONO Terima kasih, Yang Mulia. Saya dari Pemerintah mewakili Presiden, saya sendiri Budijono. Dan sebelah kiri saya, Tri Rahmanto, dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, DPR belum hadir juga. Agenda pada pagi hari ini adalah mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon, ada dua orang; satu, Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.B.A. dan dua, Dr. Dian Puji Simatupang. Saya persilakan Pak Dian untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya. Saya persilakan, Dr. Anwar Usman.
8.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Mohon ikuti saya. 1
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.” 9.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
10.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih.
11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, kembali ke tempat. Ahli satunya Prof. Saldi Isra, apakah sudah kontak dengan video conference. Oh, ini di pusdik ya?
12.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Ya, Yang Mulia.
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, ada rohaniwan? Rohaniwan di situ?
14.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Ada, Yang Mulia. Ada.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, silakan didampingi. Prof tadi diambil sumpahnya terlebih dahulu. Yang Mulia, silakan.
16.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Mohon ikuti saya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
2
17.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
18.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih.
19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terima kasih, Rohaniwan. Langsung Prof. Saldi, saya persilakan.
20.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, Kuasa Pemohon, Wakil Pemerintah, dan hadirin sekalian yang berbahagia. Dalam permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 ini, Pemohon mempersoalkan beberapa norma yang dinilai multitafsir sehingga menyebabkan terjadinya konflik kepentingan dan ketidakpastian hukum dalam proses pengisian jabatan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Pada intinya, Pemohon mendalilkan bahwa ketiadan peraturan tentang jangka waktu berapa lama seorang mendaftarkan diri menjadi anggota BPK harus meninggalkan terlebih dahulu status sebagai anggota DPR membuka ruang terjadinya konflik kepentingan dalam proses seleksi calon anggota BPK di DPR. Dalam hal ini, Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 mempersyaratkan, “Untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK, paling singkat telah dua tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara.” Dalam praktik pengisian jataban anggota BPK, syarat tersebut hanya berlaku untuk calon yang berasal dari lingkungan eksekutif atau pemerintah, tidak berlaku bagi calon yang berasal dari anggota DPR. Sementara keberadaan persyaratan tersebut adalah untuk menghindari adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas-tugas BPK sebagai lembaga pemeriksa pertanggungjawaban keuangan negara yang bebas dan mandiri. Apabila persyaratan meninggalkan jabatan di lingkungan pengelolaan keuangan negara ditujukan untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, semestinya persyaratan jangka waktu meninggalkan jabatan tertentu tersebut juga harus diterapkan bagi anggota DPR. Sebab dengan tidak menerapkan syarat dimaksud bagi 3
anggota DPR, juga akan menyebabkan terjadinya konflik kepentingan, baik dalam proses pemilihan, maupun dalam proses pelaksanaan tugas BPK. Atas alasan itulah Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan penafsiran terhadap beberapa norma dalam UndangUndang BPK, khususnya Pasal 13 huruf j, Pasal 28 huruf d dan huruf e, di mana dengan adanya penafsiran tersebut kelak untuk dapat dipilih menjadi anggota BPK juga dipersyaratkan paling singkat dua tahun telah meninggalkan jabatan anggota partai politik atau anggota DPR. Apabila (suara tidak terdengar jelas) dari tahun terbitnya UndangUndang BPK, yaitu Undang-Undang … tahun 2006, dapat dikatakan bahwa sebetulnya ada keterlambatan menyadari problem norma persyaratan dan pengangkatan anggota BPK tersebut, di mana UndangUndang Dasar Tahun 1945 secara tegas menyatakan BPK sebagai lembaga yang bersifat bebas dan mandiri, sementara norma UndangUndang BPK terutama terkait dengan persyaratan dan kelengkapan anggota BPK justru tidak sesuai dengan sifat bebas dan mandiri yang dikaitkan … yang dilekatkan konstitusi kepada BPK. Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan coba menjelaskan dalam dua aspek, yaitu aspek kelembagaan BPK dalam ketatanegaraan Indonesia, dan kedua, aspek konsep konsekuensi kemandirian BPK terhadap proses pengisian anggota BPK itu sendiri. Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan, terkait kelembagaan, BPK bukan … memang bukan lembaga negara baru, melainkan telah ada sejak Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Walaupun demikian, lembaga ini nyaris tidak banyak mendapat perhatian dalam kajian-kajian kelembagaan negara. Tidak ada yang menyangkal bahwa keberadaan BPK sangat penting, tetapi kalau peran lembaga ini tidak di dalam pusaran inti episentrum dinamika politik, maka lembaga ini pun tidak terlalu sering diperbincangkan. Padahal dari segi fungsi yang … yang dimiliki lembaga ini, BPK merupakan lembaga yang memiliki peran kunci untuk mewujudkan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dari segi sifat yang dimilikinya, sekalipun UndangUndang Dasar Tahun 1945 telah memberikan jaminan atas kemandirian, namun dalam pengaturan lebih lanjut, kemandirian tersebutlah yang disimpangi. Sebab secara normatif, BPK dinyatakan mandiri, namun dalam proses pengisian jabatan dan pelaksanaan tugasnya, BPK sangat mungkin dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Dalam Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan dinyatakan, untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, diadakan suatu badan pemeriksa keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan tidak menegaskan sikap 4
kelembagaan BPK, melainkan menyerahkan pengaturannya pada undang-undang. Namun, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, BPK tidak lagu hanya sekedar diberikan kewenangan memeriksa tanggung jawab keuangan negara, melainkan juga dilabeli dengan sifat bebas dan mandiri. Perubahan tersebut merupakan pengejawantahan dari semangat para pemuka Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk melakukan penguatan terhadap BPK, di mana jika dibaca risalah perubahan UndangUndang Dasar Tahun 1945, semua fraksi di MPR yang terlibat dalam pembahasan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, menghendaki agar BPK ditempatkan sebagai lembaga negara yang merdeka, dalam arti terlepas dari pengaruh badan negara, pemerintah, atau pihak manapun dalam pelaksanaan wewenangnya. Bahkan dalam perubahan substansi tentang keuangan, para pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 termasuk yang berlamalama dan serius dalam membahas kemandirian BPK. Beberapa pandangan berikut kiranya dapat dijadikan petunjuk betapa kuatnya keinginan pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menempatkan BPK sebagai lembaga mandiri demi menjaga profesionalitas pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara. Harun Kamil dari Fraksi Utusan Golongan misalnya, dalam rapat panitia (suara tidak terdengar jelas) badan pekerja MPR ke-34 Tahun 2001 mengemukakan, “Jadi menurut kami,” kata Harun Kamil, “Tentu BPK ini lembaga yang independent, Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bebas dari pengaruh pemerintah dan lembaga negara lainnya.” Menurut (suara tidak terdengar jelas) Harun Kamil, Affandi dari Fraksi TNI/Polri pada kesempatan yang sama juga menyampaikan pendapat fraksinya tentang Penempatan BPK sebagai Lembaga Tinggi Negara Indpendent. Affandi mengatakan, untuk status Badan Pemeriksaan Keuangan, kami tetap sependapat atau mendukung bahwa lembaga atau Badan Pemeriksa Keuangan tersebut tetap sebagai lembaga tinggi negara karena dalam rangka bagian dari check and balances, khususnya dalam controlling. Jadi, ada pemeriksaan internal, eksternal, dan seluruh lembagalembaga negara termasuk lembaga tinggi, lembaga tinggi negara, sehingga terbebas dari pengaruh pemerintah maupun lembaga negara lainnya. Kehadiran BPK bukan sekadar hanya bebas dari pemerintah, tetapi bebas juga dari DPR karena tugasnya untuk mengawasi dan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan demikian, meski keanggotaan BPK diisi melalui proses pemilihan oleh DPR, namun secara kelembagaan dan fungsi, BPK sama sekali tidak berada di bawah DPR, melainkan berdiri sendiri atau independent dari pengaruh DPR dan juga dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Lalu bagaimana dengan Ketentuan 5
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur bahwa hasil pemeriksaan keuangan mesti diserahkan kepada … diserahkan BPK kepada DPR dan DPD atau DPRD. Norma tersebut tidak terkait dengan kemandirian BPK, melainkan menunjuk pada keterkaitan fungsional antara BPK dan DPR. Dengan hubungan fungsional semacam itu, hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK secara mandiri akan dijadikan bahan oleh DPR, DPD, dan DPRD untuk mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Dengan demikian, norma tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menempatkan BPK di bawah subordinasi DPR sebagai lembaga negara. Terkait dengan kerja BPK di DPR, pada rapat terakhir Komisi A Sidang Tahunan MPR 14 Agustus 2000 yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva, Taufiequrachman Ruki dari Fraksi TNI/Polri juga pernah menyampaikan pandangan bahwa pengawasan DPR lebih banyak bersifat politis nuansanya, tetapi pengawasan BPK akan bersifat teknis dan ini terkait dengan tugas-tugas pemeriksaan. Dengan hubungan fungsional seperti itu, tujuan agar pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dapat berjalan secara profesional dan tidak dicampuri oleh motif politik, maka kemandirian BPK harus betul-betul dijaga dengan baik, termasuk menjaga kemungkinan ada intervensi melalui proses seleksi anggota BPK yang berasal dari kalangan partai politik atau DPR itu sendiri. Bagaimana pun pengawasan politik oleh DPR dan pengawasan teknis terhadap pelaksanaan keuangan negara oleh BPK mesti tetap diberi batas demarkasi dengan menegaskan kemandirian BPK dalam melakukan pemeriksaan terhadap tanggung jawab keuangan negara. Majelis Hakim yang saya muliakan, hadirin sekalian yang berbahagia. Sehubungan dengan kemandirian itu, Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara limitatif menempatkan … maksud saya Pasal 23E, menempatkan secara limitatif KPK … BPK sebagai lembaga yang bebas dan juga mandiri. Sesuai ketentuan tersebut, bebas dan mandiri (suara tidak terdengar jelas) dua sifat yang melekat atau inheren dengan kelembagaan BPK. Untuk menelaah lebih lanjut sifat kemandirian BPK, membandingkannya dengan lembaga negara lain yang juga sifatnya oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai lembaga yang mandiri perlu dilakukan. Setidaknya cara demikian dapat membantu memberikan tafsir yang lebih tepat tentang sikap bebas dan mandiri yang dimiliki BPK. Dalam konteks ini, apabila norma yang mengatur lembagalembaga negara dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diteliti lebih jauh, BPK bukanlah satu-satunya lembaga yang diberi label dan sifat mandiri. Hanya saja, BPK adalah satu-satunya lembaga yang mendekati dengan sifat mandiri dan bebas secara bersamaan, sementara lembaga negara lain tidak diberi eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 seperti KPU, Komisi Yudisial, hanya dilengkapi sifat mandiri saja, 6
tidak disertai dengan sifat bebas. Pembedaan sifat kelembagaan seperti ini setidaknya memberi petunjuk betapa tingginya tingkat urgensi kemandirian BPK. Dalam arti, norma konstitusi menghendaki agar BPK betul-betul menjadi lembaga negara mandiri sekaligus bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan mana pun. Sebagai lembaga negara mandiri, sifat kemandirian BPK tidak dapat dipisahkan, bahkan mesti dipersamakan dengan kemandirian yang diberikan kepada lembaga negara lain dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seperti kemandirian KPU dan Komisi Yudisial. Sebab penggunaan frasa mandiri dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 untuk BPK, KPU, dan Komisi Yudisial tentu memiliki arti dan maksud yang sama. Dengan demikian, sifat kemandirian lembaga-lembaga tersebut juga dalam posisi yang sama, dimana sifat dan lingkup kemandirian lembaga-lembaga tersebut juga harus dipahami secara setara satu sama lainnya. Sekadar membandingkan, berikut adalah norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur sifat kemandirian BPK, KPU, dan KY. Dalam Pasal 22E ayat (5) soal KPU itu disebutkan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum yang bersifat tetap … bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Pasal 22E ayat … Pasal 23E ayat (1), “Kemandirian Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksan keuangan yang bebas dan mandiri.” Pasal 24B ayat (1) Komisi Yudisial, “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.” Terkait dengan Komisi Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa lembaga tersebut adalah lembaga negara yang bersifat mandiri. Frasa mandiri dalam Pasal 22E ayat (5) tersebut dimaknai tidak berasal dari orang, kader, atau pengurus partai politik. Mandiri (suara tidak terdengar jelas) berarti adanya kebebasan bagi penyelenggara pemilu dari intervensi dan pengaruh seseorang, kekuasaan pemerintah, partai politik, dan pihak manapun dalam pengambilan keputusan dan tindakan dalam penyelenggaraan pemilu. Pemaknaan demikian ditujukan untuk memastikan keberadaan penyelenggaraan pemilu yang mandiri dan independent. Dimana dengan kemandirian, penyelenggara pemilu diyakini dapat melaksanakan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pada saat bersamaan, kemandirian penyelenggara pemilu adalah untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dalam penyelenggaraan pemilu, dimana konflik tersebut akan menyebabkan 7
integritas proses dan hasil pemilu diragukan. Konsep kemandirian itu juga dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu dalam Putusan Nomor 81/PUU-IX/2011 MK berpendapat sebagai berikut. Istilah mandiri jika merujuk pada latar belakang (suara tidak terdengar jelas) proses perubahan Undang-Undang Dasar terkait erat dengan konsep nonpartisan. Artinya kemandirian yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (5) adalah kemandirian yang tidak memihak pada partai politik atau kontestan manapun karena KPU adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum dan partai politik adalah peserta pemilihan umum. Konsep mandiri atau nonpartisan menegaskan bahwa penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU tidak boleh berpihak kepada salah satu peserta pemilihan umum. Selain memberikan tafsir atas frasa mandiri dalam Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, lebih jauh MK juga menyampaikan pendirian hukum dan ikhwal bagaimana kemandirian tersebut dijaga. Pada salah satu pertimbangan putusan di atas, Mahkamah menyatakan, “Untuk menjamin kemandirian KPU terutama dari sisi rekrutmen, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu penguatan proses seleksi dan penguatan sistem yang mendukung seleksi.” Bertolak dari pertimbangan tersebut menurut Mahkamkah, undang-undang harus membangung sistem rekrutmen yang menuju pada upaya memandirikan KPU. Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi keanggotaan dalam KPU yang memiliki potensi keberpihakan karena peserta pemilihan umum adalah partai politik, maka undang-undang harus membatasi atau melepaskan hak partai politik peserta pemilu untuk sekaligus bertindak sebagai penyelenggara pemilu. Partai politik dimaksud meliputi anggota para partai politik yang masih aktif atau mantan anggota partai politik yang masih memiliki keberpihakan kepada partai politik asalnya atau masih memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan partai politik dimaksud. Nah, berdasarkan putusan itu, Mahkamah kemudian memberikan batasan waktu lima tahun harus menyatakan berhenti atau mengundurkan diri dari partai politik untuk menjadi calon atau dapat mengajukan diri sebagai calon anggota KPU. Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah menegaskan bahwa kemandirian lembaga penyelenggara pemilu mesti dijaga melalui proses rekrutmen anggotanya. Sebab kemandirian lembaga akan sangat bergantung pada kemandirian komisioner lembaga, dimana kemandirian anggota dan kemandirian institusi merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling memengaruhi. Sehubungan dengan itu, mempersyaratkan anggota lembaga penyelenggara pemilu bukan anggota partai politik merupakan salah satu langkah yang mesti ditempuh guna menjaga perintah konstitusi terkait dengan kemandirian 8
KPU. Bahkan Mahkamah juga menegaskan tentang perlunya menentukan tenggat waktu untuk mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik jika hendak menjadi anggota pemilu. Ini masih bisa kita baca dalam putusan Mahkamah Konstitusi di halaman 58. Sesuai dengan pertimbangan di atas, MK memberikan batasan tegas terkait dengan tenggat waktu yang diperlukan guna memutus hubungan antara anggota partai politik dengan partai politik sebelum menjadi anggota penyelenggara pemilu. Tenggat waktu dimaksud didasarkan atas periode penyelenggara pemilu, yaitu lima tahun. Hal itu ditujukan untuk memastikan bahwa calon penyelenggara pemilu yang berasal dari partai politik betul-betul terbebas dari pengaruh partainya dalam satu periode kepemiluan. Penafsiran seperti ini juga merupakan langkah untuk menjaga agar penyelenggara pemilu betul-betul bekerja profesional dan terbebas dari intervensi politik yang dapat mengganggu integritas penyelenggara pemilu. Senada dengan Komisi Pemilihan Umum, frasa mandiri dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga dipahami sebagai norma yang menempatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang terbebas dari pengaruh lembaga manapun, baik secara kelembagaan maupun secara personal komisionernya. Dengan frasa mandiri dalam pasal tersebut, keberadaan KY ditafsirkan Mahkamah sebagai suatu komisi negara yang tidak berada di dalam pengaruh Mahkamah Agung atau pun tidak dikendalikan oleh cabang kekuasaan negara lainnya. Sebab persyaratan tersebut menjadi penting untuk menentukan calon Hakim Agung, karena itu keanggotaan KY pun mesti dijauhkan dari kemungkinan masuknya intervensi, baik pelaku kekuasaan apalagi dari kekuasaan politik yang dipegang oleh presiden maupun DPR. Tafsir Mahkamah terkait dengan frasa mandiri dalam UndangUndang Dasar Tahun 1945 yang mengatur tentang KPU dan KY tentunya juga berlaku sama bagi BPK, sekalipun BPK memiliki fungsi yang berbeda dengan KPU dan KY, namun tetap memiliki sifat yang sama dengan dua lembaga tersebut. Jika kemandirian KPU adalah untuk menjaga integritas penyelenggara pemilu, maka BPK kemandiriannya adalah untuk memastikan bahwa proses pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara dapat dipercaya, dan berintegritas karena terbebas dari kemungkinan pengaruh dan intervensi politik. Kembalinya BPK juga untuk memastikan bahwa hasil pemeriksaan keuangan yang dikeluarkan lembaga tersebut bukan didasari atas pertimbangan politik melainkan semata-mata didasarkan pada hasil pemeriksaan sesuai dengan sistem pertanggungjawaban keuangan negara yang berlaku. Di samping menjaga integritas hasil pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, pelaksanakan tugas BPK yang bebas dari intervensi juga memberikan kepastian terhadap dua 9
hal. Pertama, berjalannya mekanisme pengawasan lembaga legislatif terhadap pemerintah secara tepat. Dua, berjalannya mekanisme penegakan hukum jika terdapat dugaan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Bagi lembaga legislatif dalam hal ini DPR, DPD, dan DPRD, hasil pemeriksaan keuangan akan menjadi tolak ukur mengevaluasi kinerja pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan bagi penegakan hukum, hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara dapat menjadi bukti awal atau bukti yang memperkuat adanya dugaan penyalahgunaan keuangan negara dalam menggunakan uang negara. Jika proses pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tidak dilakukan oleh lembaga yang mandiri atau anggotanya tidak mandiri, ini akan menjadi awal dari ketidakakuratan tindakan pengawasan oleh lembaga legislatif, sekaligus menjadi awal terjadinya diskriminasi dalam penegakan hukum. Khusus dalam konteks penegakan hukum, hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara yang tidak mandiri akan menyebabkan orang yang seharusnya dituntut secara hukum justru tidak ditindak atau sebaliknya. Dalam konteks itu, hasil pemeriksaan akan memicu terjadinya tindakan diskriminasi dalam penegakan hukum. Pada gilirannya, komisi tersebut berujung dengan dilanggarnya hak atas perlakukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, kemandirian BPK baik secara kelembagaan maupun secara personal, anggotanya merupakan kondisi yang mesti ada dan tidak dapat ditawar-tawar. Majelis Hakim yang saya muliakan. Begitu pentingnya kemandirian BPK, sehingga sifat tersebut mesti dijaga termasuk dari kemungkinan pencemaran karena diisi oleh orang-orang yang berada atau di bawah pengaruh partai politik tertentu. Untuk itu, anggota BPK orang yang betul-betul profesional dan terbebas dari intervensi politik. Oleh karenanya syarat tidak menjadi anggota partai politik tanpa menentukan tenggat waktu dalam Undang-Undang BPK, potensial dimanfaatkan untuk (suara tidak terdengar jelas) orang-orang yang pada dasarnya tidak independen, haruslah dinilai bertentangan dengan sifat kemandirian BPK sekaligus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, mempersyaratkan bahwa calon anggota BPK bukan dari partai politik dalam tenggang waktu tertentu menjadi penting adanya. Cara begitu akan dapat memutus atau setidak-tidaknya mengurangi pengaruh partai politik terhadap anggota BPK yang melaksanakan tugas-tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Selain itu, penentuan batas waktu berhenti menjadi anggota partai politik sebelum mendaftar menjadi anggota BPK juga diperlukan untuk menjaga agar proses seleksi calon anggota BPK dapat berjalan secara fair. Sebab jika hanya dipersyaratkan mundur 10
disaat terpilih menjadi anggota BPK, anggota DPR, atau anggota partai politik yang juga ikut dalam kontestasi pemilihan anggota BPK di DPR, akan memiliki ruang yang lebih besar untuk mengintervensi proses pemilihan anggota BPK. Dalam konteks ini, proses seleksi akan berjalan dengan tidak adil karena terjadi persaingan yang tidak seimbang antara calon anggota BPK yang bukan anggota DPR dengan calon anggota BPK yang berasal dari partai politik atau DPR. Berdasarkan argumentasi yang dibentangkan di atas, permohonan Pemohon yang meminta agar MK menafsirkan Ketentuan Pasal 28 huruf e Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 adalah konstitusional sepanjang dimaknai anggota BPK dilarang menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 2 tahun dipersamakan dengan pejabat di lingkungan pengelolaan keuangan negara sebagaimana disebutkan di atas. Sebelum yang bersangkutan mendaftar menjadi calon anggota BPK, sangat tepat untuk dikabulkan. Demikianlah keterangan ini disampaikan, semoga dapat memberikan sedikit arahan kepada Majelis untuk memeriksa dan memutus permohonan ini demi menjaga BPK sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri. Terima kasih, assalamualaikum wr. wb. 21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Waalaikumsalam wr. wb. Sementara di situ dulu Prof. Saldi dituntaskan sekaligus. Pemohon ada pertanyaan atau sudah cukup?
22.
KUASA HUKUM PEMOHON: VIVI AYUNITA Cukup, Yang Mulia. Lanjut Ahli berikutnya.
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Presiden atau Kuasanya?
24.
PEMERINTAH: BUDIJONO Cukup, Yang Mulia.
25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dari Majelis ada, Prof. Saldi. Tolong didengarkan terlebih dahulu.
26.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Prof. Saldi. Mungkin di halaman 10 ada kesalahan tulis. Itu alenia kedua penghabisan. Dikatakan di sini, “Tidak seimbang antara calon 11
anggota BPK yang bukan anggota DPR dengan calon anggota BPK yang bukan anggota DPR lagi.” Yang anggota DPR barangkali maksudnya itu. 27.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Ya, ya. Mohon maaf, Yang Mulia. Itu antara yang bukan anggota DPR dengan yang anggota DPR.
28.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Anggota DPR, ya itu kan yang ada tidak seimbang toh?
29.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Ya, Yang Mulia.
30.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya, oke. Jadi yang bukan kedua itu digaris ya?
31.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Dihapus, Yang Mulia.
32.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada lagi, Yang Mulia? Dari meja Majelis masih ada? Cukup. Terima kasih, Prof. Saldi Isra atas keterangannya di persidangan Mahkamah Konstitusi dan hubungan ini segera kita putus untuk kembali ke sidang di Jakarta. Terima kasih, Prof. Saldi. Assalamualaikum wr. wb.
34.
AHLI DARI PEMOHON: SALDI ISRA Terima kasih, Yang Mulia. Waalaikumsalam.
35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Berikutnya keterangan dari Ahli kedua dari Pemohon. Saya persilakan Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, S.H., M.H., untuk menyampaikan keterangannya.
12
36.
AHLI DARI PEMOHON: DIAN PUJI NUGRAHA SIMATUPANG Terima kasih, Yang Mulia. Yang Mulia Majelis Mahkamah Konstitusi, Kuasa Pemohon dan Pemerintah yang terhormat. Izinkan saya menyampaikan keterangan ahli yang berkaitan dengan pengisian jabatan publik bagi pemeriksa dalam kerangka pengelola keuangan negara. Yang Mulia, ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara mengatur pengelolaan negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 mengatur maksud keuangan negara yang dikelola adalah seluruh keuangan negara yang diperluas, termasuk yang menggerakkan kepentingan pemerintah negara yang … dan melakukan pengawasan terhadapnya dan juga pertanggungjawaban, baik oleh internal maupun eksternal misalnya DPR dan BUMN yang dianggap sebagai keuangan negara. Sebagaimana konsekuensi rezim anutan negara yang diperluas, yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 48 dan 62/PUU-IX/2013. Yang dipergunakan, Yang Mulia. Di dalam frasa di sini adalah bukan frasa pemegang pengelola keuangan negara. Yang hanya merujuk ekesekutif, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Tetapi pengelola keuangan negara yang berarti keseluruhan lingkup pengelola keuangan negara termasuk di dalamnya pihak pejabat yang melakukan pengawasan dan pertanggungjawaban. Dengan demikian, Yang Mulia. Konsekuensi rezim perluasan keuangan negara berarti pengelola keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 adalah keseluruhan kegiatan pengelolaan termasuk penyusunan dan pemberian persetujuan. Bahkan termasuk di dalamnya pengawasan yang dilakukan DPR dan pengelolaan pengurusan kegiatan BUMN, BUMD, dan lain-lainnya yang berada dalam rangkaian perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan negara, di manapun baik keuangan negara, keuangan daerah, keuangan BUMN, BUMD, dan lain-lainnya yang langsung maupun tidak langsung bersumber, berasal, dan diperoleh dari APBN, terpisah maupun tidak terpisah. Nah, dengan demikian, Yang Mulia. Jika maksud dan hakikat kata pengelola dan kata keuangan negara diperluas sesuai rezim yang dianut pemerintah dan DPR, diperkuat dengan Putusan MK Nomor 48 dan 62 Tahun 2013, maka implikasi hukumnya terhadap pengisian jabatan anggota BPK harus ada jeda dua tahun terlebih dahulu seseorang dari 13
tugas dan wewenang, hak dan kewajiban dalam rangkaian perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban keuangan negara baik APBN, APBD, BUMN, BUMD, pihak lain yang dananya berasal, bersumber, dan diperoleh dari APBN langsung maupun tidak langsung, dipisahkan atau tidak dipisahkan. Dengan demikian, ada konsistensi dan paralelitas dengan maksud norma pengelola dan keuangan negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. Majelis Yang Mulia. Jika Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dibiarkan tidak konsisten, di mana ada pejabat yang termasuk dalam kata kelola dan masuk dalam kata keuangan negara yang diperluas sesuai dengan anutan rezim pemerintah dan DPR, serta Putusan MK Nomor 48 dan 62 Tahun 2013. Berarti ada tindakan administrasi negara tidak teratur yang membiarkan, melalaikan, dan membuat sengaja pejabat yang melakukan pengawasan terhadap APBN dalam hal ini anggota DPR dan pihak yang mengurus BUMN menjadi anggota BPK tanpa adanya jeda dua tahun sesuai dengan tindakan … dengan norma hukum Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006. Tindakan administrasi negara tidak teratur menurut A.D. Belifante jelas terjadi karena ada salah kira dua ring atas norma Pasal 13 huruf j yang dibaca secara tidak konsisten dengan cara menafsirkan secara tidak teratur kata pengelola dan keuangan negara menjadi sempit atau sebaliknya sesuai dengan kepentingan yang menguntungkan atau merugikan pihaknya. Hal inilah yang dimaksud sebagai tindakan administrasi yang mengarah pada munculnya instruction problems atau masalah yang makin tidak menentu dan mengandung ketidakpastian hukum. Majelis Yang Mulia, secara teoretis hukum, maksud jeda untuk mengisi jabatan publik sebagaimana BPK sebagai pemeriksa, dilakukan agar tidak ada konflik kepentingan, conflict of interest menyangkut; 1. Perangkapan jabatan, yaitu seorang pemeriksa menduduki dua atau lebih jabatan publik, sehingga tidak dapat menjalankan jabatannya secara profesional, independent, dan accountable, atau pernah menjadi penyelenggara negara lain yang melakukan kegiatan, yang menjadi objek tugas dan kewenangan pemeriksaan, yang akan menimbulkan bias bayang keputusan pemeriksaan, sehingga hasil pemeriksaan menjadi tidak meyakinkan atau inreasonable assurance. 2. Hubungan afiliasi, yaitu hubungan yang dimiliki oleh seorang pemeriksa dengan pihak tertentu, baik karena hubungan darah, hubungan perkawinan, maupun hubungan pertemanan, atau hubungan politik yang dapat memengaruhi keputusannya, bahkan memengaruhi penilaian dalam melakukan pemeriksaan, sehingga tidak profesional dan bias bayang kepentingan. 14
Masuk jeda jabatan tersebut, Yang Mulia, menurut asas hukum administrasi negara, sebagaimana dikemukan A. D. Belifante adalah agar penyelenggara negara, dalam hal ini anggota BPK sebagai pemeriksa agung, tidak ada sama sekali motovasi dalam bentuk kepentingan, kemauan, atau keinginan di luar motivasi kepentingan negara, dan kepentingan umum, bahkan samar-samar pun, atau bayang-bayang pun menjadi sangat dilarang. Oleh sebab itu, Yang Mulia, urgensi jeda pengisian jabatan publilk pemeriksa agung bagi BPK adalah; 1. Menghindari konflik kepentingan, sehingga hasil atau keputusan pemeriksaan dianggap tidak memadai, dan tidak meyakinkan, atau inreasonable assurance. 2. Mengindari adanya keputusan atau tindakan administrasi negara yang dilakukan pemeriksa, bias kepentingan, bahkan bias bayang kepentingan (shadow bias interest). 3. Menghindari tindakan dan perilaku koruptif dalam bentuk negosiasi atau tawaran di objek yang diperiksa. Hal ini sesuai dengan Konvensi PBB anti korupsi yang memungkinkan jabatan publik tertentu ada jeda waktu untuk diisi pihak tertentu yang memiliki konflik kepentingan. Berkaitan dengan norma Pasal 13 huruf j Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, Majelis Yang Mulia, meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara, harusnya dimaknai konsisten dengan norma Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Pasal 1 angka 6, dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara, yaitu pengelola dalam artian tidak hanya eksekutif, tetapi legislatif yang melakukan pengawasan dan menerima pertanggungjawaban APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara sebagai ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan maksud pengelola keuangan negara adalah pengelola keseluruhan keuangan negara tanpa kecuali sesuai dengan rezim keuangan negara yang diperluas, sesuai dengan anutan pemerintah dan DPR dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Putusan MK Nomor 48 dan 62 Tahun 2013. Selanjutnya, mengenai Norma Pasal 28 huruf d Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, Yang Mulia. Frasa merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing, dimaknai konsisten sebagai pada saat pendaftaran, dan pencalonan, serta persetujuan masih menjabat dan belum ada jeda dua tahun dalam jabatan publik negara dalam lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan keseluruhan lembaga pemerintah non-kementerian, lembaga nonstruktural, badan hukum publik, dan badan hukum privat, yang dananya berasal, bersumber, dan diperoleh dari APBN, baik langsung maupun 15
tidak langsung, terpisah atau tidak terpisah sesuai dengan rezim politik hukum pemerintah dan DPR dalam Undang-Undang Keuangan Negara dan Putusan MK Nomor 48 dan 62 Tahun 2013. Dan demikian, Yang Mulia. Jelas sekali bahwa identifikasi norma atas Pasal 13J Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dan Norma Pasal 28 huruf dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, pada hakekatnya adalah keseluruhan pada pejabat pengelola keuangan negara dan tidak digunakan kata pemegang pengelola keuangan negara yang merujuk pada eksekutif saja, tapi sebagai pejabat pengelola yang diartikan pada keseluruhan tindakan keuangan pada saat perencanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Demikian, Yang Mulia, keterangan Ahli yang disampaikan. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 37.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Dr. Dian Puji Simatupang. Pemohon, ada yang akan diklarifikasi lebih lanjut atau cukup?
38.
KUASA HUKUM PEMOHON: VIVI AYUNITA Cukup, Yang Mulia, sudah terjawab.
39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Dari Pemerintah yang mewakili presiden?
40.
PEMERINTAH: BUDIJONO Cukup, Yang Mulia.
41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Dari meja Hakim? Silakan, Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar.
42.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Saudara Ahli Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, saya ingin penjelasan lebih lanjut, penjelasan Saudara dalam halaman 3. Di sini Saudara mengatakan bahwa perangkapan jabatan seorang pemeriksa menduduki dua atau lebih jabatan publik. Pertanyaan saya, sebagai Ahli, apakah Saudara bisa mencontohkan atau menyampaikan ke forum ini bahwa ada seorang pemeriksa menduduki dua jabatan publik dan kaitannya dengan BPK, apakah memang ada anggota BPK yang juga
16
memiliki jabatan publik ketika dia sudah menjadi anggota BPK? Ya, kita minta contoh konkret tentu tidak sesuatu yang dikira-kira. Yang kedua, agar tidak ada konflik kepentingan, Saudara juga mengatakan bahwa seseorang itu pernah menjadi penyelenggara negara lain yang melakukan kegiatan yang menjadi objek lingkup tugas dan kewenangan pemeriksaan dan selanjutnya. Pertanyaannya adalah apakah betul demikian? Bisakah Saudara menunjukkan bahwa dari seluruh anggota BPK yang ada justru mereka tidak pernah menjadi penyelenggara negara selama ini? Yang kedua, dalam hal yang sama pertanyaannya adalah apakah Saudara bisa membuktikan bahwa mereka yang pernah menjadi penyelanggara negara, ya, yang menjadi kegiatan atau objek lingkup tugas kewenangan pemeriksaan justru mereka menyimpulkan adanya konflik kepentingan? Coba dijelaskan, ya? Buktikan bahwa memang ada konflik kepentingan temuannya yang bentuknya bagaimana? Kapan perlu subjeknya itu siapa? Selanjutnya, pertanyaan ketiga,di sini juga konflik kepentingan itu Saudara katakan adanya hubungan afiliasi hubungan yang dimiliki seseorang pemeriksa dengan pihak tertentu, baik dengan hubungan darah, hubungan perkawinan maupun hubungan pertemanan. Pertanyaan saya, apakah ada di antara anggota-anggota BPK itu yang tidak memiliki teman? Di lembaga lain yang memang itu diperiksa atau memang hidupnya menyendiri? Karena pertemanan pun juga dianggap ada konflik kepentingan. Apakah bukan sistem yang dikedepankan? Apakah bukan sistem yang dikedepankan? Itu. Terakhir, saya ingin mempertegas ini berkaitan dengan asal-usul seorang pemeriksa keuangan yang ada di BPK yang tadi juga dianggap bahwa ternyata tidak sama, orang yang berasal dari DPR dengan orang tidak berasal dari anggota DPR. Pertanyaannya adalah apakah ada anggota dari DPR, ya, yang tidak lolos dari fit and proper test yang dilakukan oleh DPR untuk menjadi anggota BPK? Atau apakah semua anggota DPR yang sedang menjabat ikut fit and proper test di DPR lolos semua tanpa kecuali? Selanjutnya, apakah ada calon anggota BPK yang tidak berasal dari anggota DPR dan tidak pernah lolos menjadi anggota BPK ataukah ada calon anggota BPK yang tidak berasal dari anggota DPR tapi juga lolos sebagai calon pimpinan BPK? Terima kasih. 43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Masih ada? Tidak ada, silakan Ahli untuk dijawab pertanyaan dari Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar.
17
44.
AHLI DARI PEMOHON: DIAN PUJI NUGRAHA SIMATUPANG Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Menjawab pertanyaan Yang Mulia Hakim Dr. Patrialis Akbar kemudian saya menjawab. Pertama adalah berkaitan dengan perangkapan jabatan bahwa dan juga hubungan afiliasi. Pada hakikatnya ini merupakan bagian dari jeda … maksud dari jeda itu dilakukan. Bahwa jeda dua tahun tersebut dilakukan pada hakikatnya perangkap jabatan bahwa ini untuk menghindari seperti ketentuan di dalam demokrasi terpimpin di mana di dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 1964 kalau tidak salah, Yang Mulia. Itu dinyatakan bahwa anggota BPK dan Ketua BPK juga merangkap sebagai menteri atau menteri utama dan selain juga kekhawatiran merangkap jabatan adalah menyangkut bahwa ketika dia menjalankan tugasnya dan dia masih menjabat sebagai anggota badan-badan lain yang sebenarnya tugas dan fungsinya atau tindakannya atau dirinya belum mengundurkan diri atau berhenti dari jabatan publik tersebut dan demikian tugasnya pada hakikatnya dia harus berhenti terlebih dahulu sebelum dia kemudian menduduki langsung jabatan anggota BPK. Nah, kemudian, Yang Mulia, berkaitan dengan yang lain adalah ada kemungkinan bahwa pemeriksa atau anggota BPK juga pernah menjabat sebagai komisaris di BUMN atau BUMD. Yang Mulia, saya pernah membaca di TEMPO kalau tidak salah, waktu berita pencalonan BPK ini kemudian diangkat. Di situ ada salah seorang mantan pengurus BUMN yang kemudian diperdebatkan apakah ini masuk pada (suara tidak terdengar jelas) negara. Padahal seharusnya BPK dan DPR tidak perlu bertanya kepada Mahkamah Agung dan kemudian mereka bertanya kepada Mahkamah Agung bahwa apakah direksi BUMN itu masuk pengelolaan keuangan negara apabila dia konsisten bahwa itu adalah ... BUMN itu adalah kewenangan negara, maka tidak perlu tanya ke Mahkamah Agung, gitu kan, karena memang jelas itu adalah keuangan negara kalau mengacu kepada rezimnya. Tapi kemudian ketika Mahkamah Agung menyatakan bahwa BUMN itu bukan pengelola keuangan negara yang kemudian dia dilantik kan menjadi tidak konsisten gitu, Yang Mulia. Jadi, hal ini justru untuk menghindari hal demikian karena bagaimana pun dia akan memeriksa BUMN karena Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, ruang lingkup pemeriksaan BPK adalah BUMN. Dikhawatirkan, Yang Mulia, itu tadi, ada terjadi ireasonable assurance, kemungkinan pemeriksaan yang tidak memadai bahwa ada kepentingan ... dia memeriksa laporan keuangan BUMN yang pada waktu dulu dia menjadi pengurusnya. Nah, ini persoalan itulah yang menimbulkan kekhawatiran bahwa perlu ada jeda dua tahun karena sesuai dengan Undang-Undang Kearsipan, Yang Mulia, biasanya arsip dapat dimusnahkan atau dinyatakan tidak valid ketika administrasi
18
yang menandatangani telah selesai tiga tahun, ini masa dua tahun gitu, Yang Mulia. Nah, kemudian mengenai bahwa memang beberapa hal berkaitan dengan anggota DPR dan bukan anggota DPR, Yang Mulia, saya memang belum pernah melakukan identifikasi terhadap apakah kemudian ada anggota DPR yang pasti lolos atau tidak, tapi sebenarnya intinya kan ini mau mengidentifikasi agar ada jeda, jangan sampai kemudian pengawasan yang pernah dilakukan DPR pada APBN itu ketika kemudian dilakukan pemeriksaan oleh BPK ternyata ada persoalan, kemudian diusahakan ditutup-tutupi. Nah, persoalan itu kan menghindari adanya kemungkinan-kemungkinan risiko seperti itu. Bahwa di sisi kemudian yang tadi, Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar sampaikan bahwa bukan berarti seorang pemeriksa BPK tidak ada teman sama sekali, Yang Mulia, tapi intinya kan ini ada jeda, gitu kan. Jeda itu maksudnya untuk menyatakan ada keterpisahan terlebih dahulu anggota BPK yang terpilih dengan beberapa kolega-koleganya, sehingga hubungan itu putus pada saat dia menjaga atau setelah dia menjabat sebagai pemeriksa. Nah, konsep dari jeda itulah, Yang Mulia, yang sebenarnya ada di dalam konferensi PBB anti korupsi yang sebenarnya sudah diratifikasi Indonesia. Pada saat itu maksud tujuannya adalah jangan sampai ada bayang-bayang kepentingan yang masuk ketika dia menjabat sebagai pemeriksa BPK, sehingga akhirnya ada kepentingan lain dibanding kepentingan tugas dan jabatannya. Bahwa kemudian bahwa BPK itu langsung ... tidak langsung memeriksa, Yang Mulia, tapi melakukan verifikasi, tapi justru verifikasi yang itulah yang membahayakan konteksnya dengan ... berkaitan dengan keuangan negara. Sebagai contoh, Yang Mulia. Sebenarnya pernah dilakukan juga ketika BPK akan melakukan pemeriksaan terhadap perpajakan, pada saat itu tentu mantan dirjen pajak, ketuanya. Nah, pada saat itu ada beberapa indikasi bahwa itu disampaikan jeda pemeriksaannya oleh BPK tidak pada saat tahun ketika seorang itu menjabat dirjen pajak. Nanti persoalan itulah yang kemudian dihindari, Yang Mulia. Karena bagaimana pun ada risiko yang mungkin ada, risiko hukum (suara tidak terdengar jelas) teknis ketika seorang ... seorang itu pernah menjabat kemudian akan diperiksa, ada pengaruh-pengaruh yang akan muncul ketika ... sehingga pemeriksaan menjadi tidak memadai atau tidak meyakinkan atau ireasonable assurance. Mungkin demikian, Yang Mulia, pokok-pokoknya. 45.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terakhir. Angka 2 itu dari mana Ahli? Kenapa tidak 3, 5, 7, gitu?
19
46.
AHLI DARI PEMOHON: DIAN PUJI NUGRAHA SIMATUPANG Bahkan, Yang Mulia ... terima kasih, Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar. Sebenarnya menurut konferensi PBB lebih tepat 5 tahun bahkan, maka saya juga ketika di dalam naskah akademik di dalam RUU ini tidak ada apa ... tidak ada reasonable yang resonalitasnya apa dua tahun. Kalau menurut saya justru malah lebih tepat 5 tahun karena sesuai dengan jabatan, misalnya kalau di jabatan direksi 4 tahun, ya, 4 tahunlah atau di umum, di jabatan publik (suara tidak terdengar jelas) negara 5 tahun, ya seharusnya 5 tahun. Mungkin demikian, Yang Mulia.
47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup?
48.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Sekadar perbandingan saja Pak Dian, MK juga begitu, ya. Dikhawatirkan orang-orang partai politik masuk di MK. Itu perpu itu malah dulu 7 tahun itu, walaupun digasak habis itu perpu itu oleh MK. Karena tidak konstitusional, gitu. Itu saja, hendak sekadar komparasi saja, terima kasih.
49.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Terima kasih, Ahli, telah menyampaikan keterangannya di persidangan Mahkamah Konstitusi. Kita lanjutkan. Pemohon menambahkan bukti P-13 sampai dengan P-26 ya, betul?
50.
KUASA HUKUM PEMOHON: VIVI AYUNITA Betul, Yang Mulia. Belum disahkan, Yang Mulia.
51.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, maka dengan ini disahkan untuk diperiksa menjadi bukti. KETUK PALU 1X Baik. Apakah Pemohon masih ada ahli atau saksi?
52.
KUASA HUKUM PEMOHON: VIVI AYUNITA Cukup, Yang Mulia.
20
53.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, dari Pemerintah atau yang mewakili presiden, enggak ada? Cukup?
54.
PEMERINTAH: BUDIJONO Dari Pemerintah cukup, Yang Mulia.
55.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup. Baik, kalau begitu seluruh rangkaian persidangan dalam Perkara 106/PUU-XII/2014 di … telah kita selesaikan semuanya, maka pada Pemohon dan Pemerintah atau yang mewakili presiden itu harus bisa menyerahkan, atau menyerahkan, dapat menyerahkan kesimpulan pada hari Rabu, 3 Desember tahun 2014 paling lambat pukul 14.00 WIB. Kalau tidak menyerahkan pada sampai batas waktu yang dimaksud, maka dianggap tidak menyerahkan kesimpulan. Ada yang akan disampaikan lagi Pemohon?
56.
KUASA HUKUM PEMOHON: VIVI AYUNITA Cukup, Yang Mulia.
57.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, dari Pemerintah cukup? Persidangan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.06 WIB Jakarta, 26 November 2014 Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
21