MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 122/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI PRESIDEN (VI)
JAKARTA SELASA, 3 FEBRUARI 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 122/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran [Pasal 1 angka 9, Pasal 7 ayat (5) huruf b, ayat (9), Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 10, Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 24 ayat (5) huruf b, ayat (7) huruf b, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) huruf b, Pasal 39 ayat (1), ayat (2), Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Presiden (VI) Selasa, 3 Februari 2015, Pukul 11.05 – 13.05 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Muhammad Alim Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams
Achmad Edi Subiyanto
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Abraham Andi Padlan Patarai B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Muhammad Joni 2. Zulhaina Tanamas 3. Triono Priyo Santoso C. Pemerintah: 1. Nasrudin 2. Akmal Taher 3. Illah Sailah 4. Samsul Hadi 5. Budi Irawan 6. Budijono D. Ahli dari Pemerintah: 1. Budi Sampurna 2. Gandes Retno Rahayu E. Saksi dari Pemerintah: 1. Yulherina
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.05 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sidang dalam Perkara Nomor 122/PUU-XII/2014 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon, hadir?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Terima kasih, Yang Mulia. Pemohon hadir hari ini, Pemohon Prinsipal diwakili oleh Ketua Umum, dr. Abraham Andi Padlan Patarai, M.Kes, dan Sekretaris Umum, dr. Andi Alfian Zainuddin, dan segenap eksponen pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Dan kami sendiri selaku Kuasa, Muhammad Joni, Zulhaina Tanamas, dan Triono. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Pemerintah, yang mewakili Presiden, yang hadir?
4.
PEMERINTAH: NASRUDIN terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah mewakili Presiden hadir Bapak Mualimin Abdi dan Pak Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Pak Dirjen dari Kementerian Kesehatan, Ibu Illah dari kementerian Dikti dan Ristek, dan Pak Samsul Hadi dari Kementerian Dikbud … Kemdikbud. Ya, terima kasih, Pak.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Ini Pak Dirjen dan Bu Illah selalu setia hadir ini, ya? Baik, terima kasih. Agenda pada hari ini kita melanjutkan untuk mendengar keterangan Ahli dan Saksi dari Pemerintah. Beliau bertiga, Prof. Budi, dr. Gandes Retno, dan dr. Yulherina sudah disumpah ya kemarin, ya? Saya persilakan siapa dulu, Prof. Budi mungkin, ya? DPR enggak hadir juga, ya? Baik, silakan, Prof. Budi.
1
6.
AHLI DARI PEMERINTAH: BUDI SAMPURNA Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan para Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat, perkenankan saya Budi Sampurna untuk memberikan urun rembuk tentang permasalahan kita yang kirakira adalah tentang memaknai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Pembahasan yang akan saya bahaskan adalah kira-kira kita membahas tentang undang-undang ini dan kemudian apa alasan pada waktu kita membahasnya, landasan ideologinya, kemudian yuridis dan sosiologisnya, tapi serba pendek, dan kemudian kita akan membicarakan khusus dua isu utama yaitu tentang uji kompetensi dan DLP. Pendidikan … pendidikan kedokteran sebetulnya termasuk pendidikan tinggi dengan kekhususan yang memerlukan pengaturan yang tersendiri. Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran adalah RUU inisiatif DPR tahun 2009-2014 yang sebetulnya memang sudah dibahas pada periode sebelumnya, tetapi kemudian menjadi banyak perubahan pada waktu diajukan pada tahun 2009 ke 2014. RUU Pendidikan Kedokteran tidak diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Tahun 1945 ataupun undang-undang, tapi betul inisiatif DPR. Pada waktu itu, pembahasan kita membahas tentang alasan filosofis dan sosiologisnya yaitu program sarjana di kedokteran itu tidak terpisahkan dengan program profesi dokter atau dokter gigi, sehingga sekali masuk itu sudah langsung ujungnya adalah profesi. Yang kedua, pendidikan kedokteran juga memerlukan dosen dan sarana yang kompleks, sehingga harus diselenggarakan oleh sebuah fakultas, tidak bisa hanya dilakukan oleh program studi. Yang ketiga adalah pendidikan kedokteran juga memerlukan wahana pendidikan, dalam hal ini biasanya rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang lain yang tidak mungkin diatur di dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang disebut … yang sedang … pada waktu itu sedang dibahas. Yang keempat adalah dosennya juga berasal dari … selain dari perguruan tinggi dari fakultas tersebut, juga dari rumah sakit dan wahana pendidikan yang lain. Kemudian, hubungan antara pendidikan dengan pelayanan demikian eratnya, sehingga sejak awal mereka sudah harus ada pelayanan di dalam … atau keterlibatan mahasiswa sejak di dalam pendidikannya. Kemudian, ada pada masa-masa koasnya, masamasa internship. Kemudian, nanti juga demikian pula pada pendidikan pada waktu spesialisasi dan seterusnya. Nah kemudian, berikutnya adalah kompetensi lulusan. Pada waktu ini, kita belum … belum begitu jelas, menurut kita masih belum memadai karena angka rujukan … angka rujukan adalah berarti dirujuk dari 2
fasilitas kesehatan tingkat pertama ke rumah sakit itu masih antara 12% sampai 15% secara nasional, tetapi kalau kita rinci sampai ke per daerah, maka di sana masih ada angka sampai 35% yang dirujuk, jadi angka itu terlalu besar. Utilisasi juga masih 4,8% sampai 29,7%, sehingga pada kelompok tertentu tetapi bisa sampai 130%. Jadi, ini merupakan perhatian buat kita pada waktu kita melakukan pendidikan kedokteran. Penanganan penyakit kronis juga masih rendah, dalam arti kita tentu saja menangani, tetapi tidak secara komprehensif. Alasan lain adalah ketersediaan dokter, terutama dokter spesialis masih belum merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan RI ini, khususnya pada daerah-daerah tertinggal, terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Dan terakhir adalah biaya penyelenggaraan pendidikan kedokteran ini sangat mahal dengan eksesnya tentu saja akibatnya adalah rasio dosen banding mahasiswa itu menjadi … dibandingkan dengan … dan pasien itu tidak cocok, sehingga biaya yang dibayar oleh mahasiswa juga tinggi, kualitas lulusannya juga tidak standar. Nah kemudian, dibahaslah undang-undang … RUU Pendidikan Kedokteran itu dengan anatomi seperti ini yaitu tujuan dan seterusnya saya kira biasa dan pada waktu kita membahas tentang penyelenggaraan pendidikan, maka kita disebutkan di sana tentang pembentukannya, dari pembentukan fakultas, penyelenggaraannya, penerimaan mahasiswa baru, dan seterusnya. Di sana kita perlihatkan betul-betul bahwa misalnya penerimaan mahasiswa baru, maka kita tidak hanya menggunakan ujian tertulis, tapi juga dengan wawancara dan seterusnya karena kita ingin menerima mahasiswa yang betul-betul memiliki iktikad baik, memiliki moral yang baik, dan seterusnya. Jadi, ini upaya yang kita … diarahkan pada waktu membahas RUU ini. Demikian juga pada waktu kita rumah sakit pendidikan kemudian pendidikan akademik dan dosen, kita juga membahas hal yang sama. Dosen misalnya, kita bisa berasal dari fakultas, bisa dari rumah sakit, bagaimana mereka menyetarakannya, dan seterusnya kita bahas. Kemudian yang isu dokter layanan primer. Di Undang-Undang Pendidikan Kedokteran itu tidak menghilangkan profesi dokter, juga tidak mengurangi kewenangan profesi dokter, bahkan juga tidak mewajibkan dokter … semua dokter menjadi DLP. Tidak ada kewajiban-kewajiban tadi dan jelas DLP itu ditujukan untuk meningkatkan martabat dokter yang bekerja di FKTP dengan meningkatkan kompetensinya, sehingga disetarakan dengan dokter spesialis. Ini adalah merupakan penghargaan pada dokter-dokter yang memberikan pelayanan primer karena kita yakin betul bahwa negara yang bagus itu akan meningkatkan pelayanan primernya sedemikian rupa, sehingga masyarakat itu betul-betul sehat sampai ke pelosok. Sebagai alter … selain itu, DLP juga digunakan sebagai alternatif jenjang karier bagi profesi dokter. Kita lihat di undang-undang, Pasal 7 3
ayat (5) Undang-Undang Dikdok, misalnya disebutkan di sana bahwa huruf a … sori, pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas: a. Program profesi dokter dan program profesi dokter gigi. Artinya, ini masih ada tetap. b. Baru kita mengatakan program dokter layanan primer, dan seterusnya. Pasal 8 ayat (3) juga mengatakan bahwa program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter. Artinya, profesi dokter itu tidak hilang sama sekali. Nah, ini hanya menggambarkan bahwa profesi dokter itu nanti perannya atau kariernya bisa menjadi pendidik, bisa menjadi DLP, bisa menjadi spesialis di rumah sakit, dan kemudian juga bisa menjadi peneliti atau pengembang ilmu pengetahuan. Nah, isu uji kompetensi juga kita bisa melihat bahwa uji kompetensi itu sudah mulai diselenggarakan karena diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Di Pasal 1 di sana disebutkan bahwa sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi. Terlihat di sana bahwa … dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran di sana mengatakan bahwa pembuatan STR atau Surat Tanda Registrasi memerlukan sertifikat kompetensi setelah lulus uji kompetensi. Sertifikat kompetensi tadi dikeluarkan oleh kurikulum dan kemudian undang-undang ini tidak mengatur tentang pelaksanaan uji kompetensi, sehingga kemudian uji kompetensi ini dilaksanakan dengan menggunakan peraturan Konsil Kedokteran Indonesia, dimulai dengan tahun 2006, Nomor 20 yang diberikan bagi dokter yang baru lulus. Kemudian, Perkonsil Nomor 10 Tahun 2012 sudah menggunakan bahwa juga untuk mahasiswa yang untuk menjadi sebagai exit exam. Ini memperlihatkan cara dinamika berpikir pada waktu itu dengan berlandaskan undang-undang yang sama yaitu Undang-Undang Praktik Kedokteran. Cara berpikir kita adalah mulainya dengan … pada waktu itu adalah dokter setelah lulus baru diuji, tapi kemudian untuk mengefisienkan kemudian digeser menjadi exit exam. Selain itu, dilihat Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 juga tentang Registrasi Dokter, Dokter Gigi juga disebutkan bahwa uji kompetensi merupakan rangkaian kesatuan dengan pendidikan formal di bidang kedokteran dan kedokteran gigi, dan diuji ulang setiap melakukan registrasi. Jadi, terlihat sekali bahwa ujian … uji kompetensi itu dikaitkan dengan pendidikan formalnya, sehingga berarti itu dikaitkan dengan … merupakan satu bagian dari pendidikan formalnya. Namun demikian, dalam praktiknya masih belum ada uji kompetensi pada waktu melakukan resertifikasi kompetensi.
4
Di Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, uji kompetensi yang bersifat nasional untuk menyelesaikan program profesi itu diatur di sana dan saya kira itu sudah disebutkan tadi, lulusannya akan memperoleh sertifikat profesi. Bukan sertifikat kompetensi, tapi sertifikat profesi. Dan kemudian uji kompetensi tadi diselenggarakan oleh fakultas, bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Hakim Yang Mulia, dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran Pasal 36 di sana disebutkan bahwa untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai dokter dan dokter gigi. Ini berarti aturan ini sudah sangat mirip dengan aturan yang saat itu berlaku yaitu berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran yang kemudian dirinci, didetailkan, diatur lebih lanjut oleh Perkonsil. Yang kedua, mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi. Ini juga disebutkan mau … sertifikat profesi ini disebutkan berbeda dengan yang normalnya adalah sertifikat kompetensi, oleh karena kita menggunakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang mengatakan bahwa untuk mahasiswa … untuk lulusan profesi … program profesi, maka lulusannya memperoleh sertifikat profesi. Nah, uji kompetensi dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud ini dilaksanakan oleh fakultas kedokteran, kedokteran gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau fakultas kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan organisasi profesi. Ini juga hal yang pada waktu itu sudah merupakan praktik yang sudah dijalankan pada waktu itu. Nah, sehingga kesimpulannya, Bapak Ketua Majelis, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Hakim Yang Mulia, ketentuan DLP dan uji kompetensi pada Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sebetulnya sudah sejalan, selaras, dan tidak tumpang-tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lain. DLP dan uji kompetensi merupakan kebutuhan yang tidak terelakkan untuk menghasilkan sumber daya manusia untuk pelayanan kesehatan yang profesional, sehingga terakhir, ketentuan DLP dan uji kompetensi dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran melindungi masyarakat dengan pelayanan oleh dokter yang berkualitas terstandar. Demikian yang bisa saya sampaikan, Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb.
5
7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Prof. Budi. Berikutnya, Ibu dr. Gandes Retno Rahayu, Ph.D. Ini karena powerpoint-nya ada 50 lebih, mohon untuk bisa dipersingkat hal-hal yang penting yang berkaitan sangat signifikan dengan perkara ini saja, ya. Saya persilakan, Ibu.
8.
AHLI DARI PEMERINTAH: GANDES RETNO RAHAYU Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Ketua, Wakil Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebelum saya menyampaikan paparan saya, izinkanlah saya untuk memperkenalkan diri. Nama saya Gandes Retno Rahayu, saat ini saya sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Paparan saya bermaksud untuk berkontribusi terhadap masalah yang sedang kita diskusikan dan saya beri judul dengan Uji Kompetensi
Dokter Indonesia untuk Meningkatkan Kualitas Lulusan Dokter dan Keselamatan Pasien: Dokter Layanan Primer untuk Menguatkan Layanan Kesehatan Primer. Ini adalah sistematika untuk uji kompetensi dan dokter layanan primer yang akan saya sampaikan. Saya mulai dengan pengertian uji kompetensi. Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan Majelis Hakim, uji kompetensi bisa diartikan sebagai suatu ujian yang dilakukan untuk menentukan apakah peserta yang diuji telah menguasai standar kompetensi yang telah ditetapkan, sehingga di sini ada empat prinsip dasar suatu ujian disebut sebagai uji kompetensi. Yang pertama, harus ada standar kompetensi. Yang kedua, karena kompetensi itu bersifat kompleks, maka dianjurkan untuk memakai beberapa metode uji. Yang ketiga, penentuan batas lulus tidak dengan jalan membandingkan peserta satu dengan peserta lain, tetapi membandingkan kemampuan peserta dengan standar yang ditetapkan, sehingga memakai yang disebut patokan acuan baku. Yang keempat, harus ada jaminan terhadap mutu proses pelaksanaan uji kompetensi. Ini yang akan saya jelaskan lebih detail dislide berikutnya. Selama ini, untuk Fakultas Kedokteran Indonesia … di Indonesia ada standar kompetensi dokter Indonesia. Standar ini, Yang Mulia, dipakai oleh seluruh FK di Indonesia untuk rujukan mengembangkan kurikulum, baik isi, metode pembelajaran, maupun metode evaluasi, sehingga tidak ada FK di Indonesia yang seharusnya keluar dari standar nasional ini. Namun demikian, kita mengetahui bahwa ada variasi di setiap FK dari Sabang sampai Merauke. Variasi itu mencakup sistem seleksi,
6
kualitas/kuantitas SDM, mutu pembelajaran, fasilitas pembelajaran, suasana yang ada di dalam proses pembelajaran maupun manajemen dan leadership di sana, sehingga variasi ini memungkinkan walaupun kurikulum mengacu pada rujukan yang sama, maka bisa menghasilkan lulusan yang berbeda. Untuk itulah, uji kompetensi dokter Indonesia hadir, untuk memastikan bahwa lulusan dari berbagai FK yang ada di Indonesia ini sesuai dengan standar kompetensi dokter Indonesia yang telah ditetapkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, sehingga kita bisa melihat bahwa uji kompetensi ini menjadi pengukur bagi hasil proses pendidikan dari berbagai institusi pendidikan dengan kualitas input dan proses yang bervariasi, dan ukuran yang digunakan adalah sama standar kompetensi dokter Indonesia. Yang Mulia, izinkanlah selanjutnya saya memaparkan perjalanan uji kompetensi dokter Indonesia yang telah dimulai sejak Juni 2007 sampai dengan November 2004, dan akan dilakukan lagi pada bulan Februari 2015, beberapa minggu yang akan datang. Fase-fase ini adalah fase yang menyebut sebagai fase yang indah dalam koridor suatu bangsa untuk berproses dan berubah. Pada 2007, kita memulai pesertanya adalah dokter 4 kali setahun, kemudian bila gagal melanjutkan dengan modul uji diri. Kemudian pada awal 2009, ada pergantian aturan bahwa peserta harus mengikuti ujian hingga lulus. Pada 2012, dengan melihat bahwa pada awalnya seperti yang dipaparkan Prof. Budi, peserta ini adalah dokter yang telah disumpah oleh FK, kemudian di sana ada proses-proses pertimbangan bahwa pada saat mereka telah disumpah kemudian tidak ikut ujian dan tidak lulus, maka ini akan menjadi masalah karena fakultas merasa sudah melepaskan sementara yang bersangkutan belum lulus, sehingga pada 2012 ada kesepakatan dekan untuk menyumpah dokter setelah lulus UKDI. Pada 2013, peserta ini bukan lagi sebagai dokter yang telah disumpah, tetapi calon dokter 4 kali setahun, dan metodenya ditambah yaitu OSCE yang akan saya sebutkan. Pada periode ini, AIPKI sebagai Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia dan Kolegium bekerja sama dengan sangat serasi dan menyejukkan, sehingga yang lulus dari uji kompetensi ini kemudian lulus, mendapat keterangan lulus, kemudian surat keterangan lulus uji kompetensi ini menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Kolegium yang kemudian dipakai sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan registrasi oleh KKI. Dalam perjalanan perubahan besar dalam suatu bangsa yang besar, maka kita mengalami fase dimana Februari 2014 sampai dengan Mei 2014, ada disharmonisasi antara AIPKI dan Kolegium yang awalnya bersama-sama menyelenggarakan uji kompetensi ini. Namun demikian, mulai Agustus 2014, Pemerintah bersama seluruh stakeholder terkait 7
telah berusaha dengan keras untuk mengharmonisasikan kembali kedua stakeholder ini dengan membentuk yang disebut panitia nasional uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter, dimana pembentukannya merupakan amanah pengejawantahan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 dan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2014, sehingga tahun lalu Agustus 2014 dan November 2014, PNUK telah berhasil menyelenggarakan dan melanjutkan apa yang sudah baik. Pada slide berikutnya, Yang Mulia, perkenankanlah saya untuk memaparkan praktik, baik yang telah diraih oleh bangsa ini yang telah dilakukan mulai dari sini sampai dengan dilakukan oleh yang hijau ini, dan diteruskan oleh PNUK sampai saat ini. Yang pertama pada 2007, metode yang dipakai hanya satu yaitu pilihan ganda 200 soal. Pada 2011 sampai 2012, kami melakukan berbagai uji coba untuk melakukan ujian praktik yang disebut Objective Structured Clinical Examination dan dilakukan mulai Februari 2013 sebagai formatif tidak menentukan kelulusan. Dan setelah uji coba lebih dari 2 tahun, maka pada Agustus 2013 peserta uji kompetensi dokter Indonesia harus lulus dua metode yaitu MCQ atau pilihan ganda dan OSCE. Ini adalah salah satu contoh soal pilihan ganda yang diujikan berupa 200 soal dan ini adalah salah satu foto di salah satu tempat ujian dimana mereka menggunakan komputer untuk melakukan dan mengerjakan ujian MCQ ini. Sementara untuk ujian praktik, ini yang kami sebut dengan OSCE. Peserta harus berputar dari satu ruangan ke ruangan lain, setiap ruangan 15 menit, di setiap ruangan ada pengujinya, dan di setiap ruangan mereka harus menunjukkan mampu melakukan suatu kompetensi yang digarisbawahkan dan dimuat di dalam SKDI. Di dalam ruangan itu pula, ada pasien standar yaitu orang normal yang kita latih secara terstandar untuk mampu memerankan suatu kasus penyakit. Ini adalah contoh situasi yang ada di setiap ruang ujian dimana sebenarnya di dekat laptop ini adalah penguji dengan memasukkan nilai ke dalam laptop tersebut dan kita lihat isi dalam ruangan itu berbedabeda sesuai dengan materi yang diujikan. Yang Mulia, ini adalah foto yang menunjukkan salah satu pelaksanaan ujian praktik yang disebut OSCE. Gambar pertama di salah satu FK di Sumatera dan gambar kedua adalah pelaksanaan di Universitas Cendrawasih, Papua. Tadi salah satu kriteria yang disebutkan, Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan Majelis Hakim bahwa uji komptensi mestinya memenuhi syarat harus ada jaminan mutu dalam proses. Jaminan mutu ini ada berbagai kriteria. Ini adalah 8 kriteria yang secara umum diterima di dalam referensi internasional untuk melihat suatu proses uji kompetensi. Saya akan memaparkan satu per satu bukti perjalanan baik yang telah kita capai bersama-sama dengan melihat untuk berkriteria. Sekali lagi, di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia sudah ada area kompetensi, ada 7 area. Tujuh area ini adalah area yang 8
sangat luas dan bila didedalkan menjadi kompetensi inti, komponen kompetensi, kemampuan akhir yang diharapkan, dan di dalam SKDI ini ada lampiran ribuan penyakit, daftar keterampilan, masalah, maupun pokok bahasa. Ini ada di lampiran. Kemudian untuk berbagai penyakit dan keterampilan, ini ada tingkat-tingkatnya. Tingkat I untuk penyakit berarti harus mampu mengenali dan menjelaskan. Tingkat II mampu mendiagnosis dan merujuk. Tingkat III mampu mendiagnosis, melakukan tata laksana awal, dan merujuk. Tingkat IV mendiagnosis, melakukan tata laksana secara mandiri dan tuntas. Dan yang berikutnya keterampilan klinis adalah seiring kemampuannya. Kalau kita lihat SKDI 2006 dan SKDI 2012, ini adalah penyebaran tingkat kompetensi per level untuk keseluruhan daftar penyakit yang ada di dalam SKDI itu. Kalau kita lihat kriteria pertama adalah validitas yaitu metode penilaian yang dipakai mengukur apa yang seharusnya diukur. Riset yang kami lakukan soal MCQ 10 periode terakhir, 90 sampai 97 soal adalah mengukur SKDI tingkat III dan IV, sisanya mengukur tingkat II, sehingga tidak ada soal yang tidak sesuai dengan SKDI. Begitu juga untuk OSCE, menguji SKDI tingkat III dan IV. Artinya ini valid. Kemudian kalau kita lihat ini, survei yang kami lakukan terhadap penguji dan peserta OSCE menunjukkan bahwa mereka setuju OSCE cocok sebagai salah satu metode penilaian kompetensi dokter. Kalau kita lihat yang merah ini adalah dari peserta. Pada awalnya, persepsi yang setuju dengan yang sangat setuju masih jauh lebih rendah daripada penguji yang notabene dosen semua, tetapi secara gradual meningkat artinya aspek penerimaannya semakin membaik. Kriteria kedua adalah keajekan dari skor yang dihasilkan dari suatu metode yang dipakai, sehingga kalau hasilnya 60 apakah kita perlu meyakini bahwa kalau dites lagi hasilnya juga tidak jauh berbeda. Untuk MCQ, kita sejak awal 2007 sampai sekarang reliabilitas koofesiennya selalu sama dengan atau di atas 0,9 yang berarti tinggi yang berarti nilai yang diperoleh peserta konsisten. Sementara untuk OSCE hasilnya 0,7 sampai 0,8 reliabilitas baik, nilai OSCE juga konsisten. Kriteria transparansi. Di sini, peserta mengetahui bahwa soal berdasarkan SKDI, sehingga mereka dapat mempersiapkan sebelumnya. Seluruh FK kita undang untuk berkontribusi mengirimkan soal yang kemudian direview dalam berbagai tahap dan diujicobakan dan kemudian dipilih untuk menjadi soal yang keluar. Standar kelulusan tidak ditentukan di belakang meja yang kita tidak tahu seperti apa kelulusannya ditentukan, tetapi dengan cara yang defensible yang dianjurkan oleh literatur internasional yaitu Angoff Method untuk CBT dan borderline regression method untuk OSCE. Kriteria keempat adalah comparability. Panduan dan prosedur sangat jelas. Kami upload di website, kami bagikan ke seluruh FK. Tingkat kesulitan soal … apabila itu lebih dari sehari dilakukan, maka 9
tingkat kesulitan hari pertama dan kedua serta ketiga itu adalah komparabel (setara). Kemudian, mereka yang baru pertama kali mengambil ujian dan yang tidak lulus, prosedurnya sama. Kriteria kelima adalah fairness. MCQ CBT dinilai dengan komputer. Peserta nilai sama atau lebih dari batas lulus=lulus. Jadi, pertimbangannya hanyalah apakah nilainya sama atau lebih besar dari nilai batas lulus. Untuk OSCE, penguji dari Aceh sampai dengan Papua menggunakan instrumen penilaian yang sama dan sebelum dilakukan pengujian itu, ada standarisasi penguji H-1 di seluruh Indonesia. Grafik ini menunjukkan persentase penguji dan peserta yang setuju dengan sangat setuju bahwa Penguji OSCE menilai dengan objektif. Kita lihat bahwa baik peserta maupun penguji yang berjumlah lebih dari 1.000 dan ini kita lakukan dalam satu tahun terakhir untuk ujian OSCE menunjukkan tingkat bahwa mereka berpersepsi penguji OSCE menilai dengan objektif. Kriteria keenam adalah kriteria yang juga sangat penting. Apakah ujian itu memberikan impact yang baik terhadap pendidikan? Uji Kompetensi Dokter Indonesia yang kita lakukan selama ini, nilai yang ada tidak hanya kita sajikan lulus/tidak lulus dan berapa skornya, tapi kita sajikan dalam berbagai tinjauan yang sangat detail, sehingga tinjauan-tinjauan dan hasil ini menyediakan acuan untuk perbaikan proses pendidikan di institusi maupun secara individu. Saat ini, model CBT, MCQ dengan kasus pasien dilakukan secara computerized serta OSCE dipakai sebagai ujian blok, ujian yang bersifat lokal di banyak FK. AIPKI regional dengan adanya ujian ini juga memperbaiki kualitas evaluasi dengan melakukan uji coba di regional masing-masing. Yang Mulia, pelaksanaan Uji Kompetensi Dokter Indonesia yang telah dilakukan sejak 2007 sampai saat ini mendorong profesi kesehatan lain, baik keperawatan, kedokteran gigi, bidan, untuk juga melaksanakan standardisasi mutu lulusan melalui uji kompetensi. Bahkan, tidak jarang kami diminta untuk sharing kepada profesi lain yang nonkesehatan. Ini adalah grafik yang menunjukkan dari satu tahun terakhir pelaksanaan bagaimana peserta dan penguji setuju dan sangat setuju tentang berbagai efek positif OSCE. Uji Kompetensi OSCE menstimulus peserta mempelajari keterampilan klinik karena mereka tidak hanya hafalan, harus melakukan, menunjukkan di depan penguji. OSCE menstimulus peserta menyadari kelebihan dan kekurangannya. OSCE menstimulus perbaikan pendidikan klinik di institusinya. Sebagian besar mengatakan setuju dan sangat setuju. Based line survei kami dari 2010 menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan hasil ini. Pada survei 2010, banyak sekali FK yang belum mengembangkan latihan keterampilan sebelum rotasi klinik. Banyak pula keterampilan-keterampilan yang alatnya ada, tetapi tidak dipakai. Dengan ada ujian ini, maka ini menstimulus FK-FK untuk
10
meningkatkan proses pelatihan keterampilan klinik dan kemudian menyediakan berbagai fasilitas untuk melakukannya. Kriteria ketujuh adalah suatu ujian yang baik barus menstimulus proses refleksi untuk perbaikan. Refleksi untuk individu peserta maupun refleksi untuk institusi. Izinkanlah, Yang Mulia, kami menampilkan salah satu contoh bagaimana hasil OSCE kami sampaikan. Dengan hasil ini, secara individu dia akan mengetahui contoh … tidak saya beri nama ini ... dia akan mengetahui bahwa di antara kompetensi dari anamnesis sampai perilaku profesional, maka tata laksana farmakoterapi yang dia kuasai masih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dan kalau ini … data ini direkap secara bersama-sama dalam satu institusi yang juga kami berikan untuk setiap institusi, maka institusi yang punya goodwill akan bisa menjadikan ini sebagai rujukan untuk perbaikan pembelajarannya dan secara nasional kita mengetahui apa kelemahan pendidikan kedokteran kita. Kriteria kedelapan adalah yang terakhir yaitu fisibilitas dan acceptability. Saat ini, 43 fakultas kedokteran mampu melakukan ujian MCQ-CBT dan sudah ada tidak kurang dari 3.873 work station yang dipakai untuk CBT. 55 FK sebagai penyelenggara telah mampu untuk menilai lulusannya sendiri, menguji ribuan peserta, melibatkan ribuan penguji, melibatkan ribuan pasien standar yang kita latih dari komunitas yang ada di sekeliling fakultas kedokteran, melibatkan ribuan pelatih pasien standar, serta ratusan ahli IT. Kita telah lakukan sejak Februari 2013 sampai yang terakhir November 2014. Acceptability, metode uji kompetensi dipakai untuk ujian lokal, semua FK telah mampu menguji lulusannya sendiri dengan OSCE 55 FK, yang lain memang belum luluskan. Kami dalam project HPEQ, Dikti mendatangkan external reviewer dari bank dunia dan (suara tidak terdengar jelas). Mereka memberikan pengakuan positif. Pada saat mereka melihat ke lapangan, bagaimana kami mengelola bank soal untuk CBT, mereka memberikan apresiasi. Dan pada saat melihat OSCE, mereka terkejut. Bangsa kita dari Sabang sampai Merauke, ibarat dari Irlandia sampai Moscow, tapi mampu melakukan OSCE yang tidak mudah dan tidak semua bangsa mau melakukan ini dengan resource yang terbatas. Ini menjadi salah satu hal yang diapresiasi. Dan dalam resource yang terbatas, telah ada pertukaran penguji antar-FK yang meng … pertukaran tersebut menghasilkan staf FK dari satu FK belajar dari FK lain, dan ini merupakan perubahan yang merupakan efek samping yang luar biasa dari pelaksanaan ujian ini, sehingga kalau kita lihat dari paparan tadi, maka kita lihat bahwa uji kompetensi dokter ini mempunyai value yang baik. Satu, menyaring yang kompeten dan belum kompeten. Yang kedua, dengan adanya uji kompetensi ini, maka kita meningkatkan pelayanan terstandar untuk masyarakat dan ini sesuai dengan amanah konstitusi. 11
Yang ketiga, dan saya ingin menekankan bahwa nomor 3 ini sangat penting: meningkatkan dignity pendidikan dokter di mata internasional. Dan yang keempat, dalam era perdagangan bebas, maka kita harus menciptakan proteksi yang fair bagi dokter asing yang akan bekerja di sini. Apa proteksi fair? Mereka boleh bekerja di sini, asal melalui uji kompetensi ini yang tidak akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris karena mereka akan melayani masyarakat kita. Terakhir untuk uji kompetensi ini adalah perbandingan uji kompetensi dari berbagai negara. Saya ambil dari negara yang disebut sebagai negara maju maupun negara yang di sekitar kita. Kita lihat di sini bahwa pelaksanaannya ada yang dilaksanakan oleh independent body, ada yang dilakukan oleh ministry of education, ada yang dilakukan di bawah koordinasi ministry of health. Waktunya ada yang berjenjang, ada yang di akhir pendidikan, ada yang segera setelah lulus. Kemudian, metodenya ada yang MCQ dan OSCE sebagian besar. Yang lain yang masih MCQ ini, maka mereka striving untuk mencari bentuk lain. Mulainya kapan kalau kita lihat, maka ini bervariasi dan untuk pelaksanaan OSCE kita tidak terlalu jauh ketinggalan dan standar setting yang dilakukan kita ada track yang tidak berbeda dengan yang lain yaitu menggunakan metode yang absolut atau patokan baku. Kesimpulan untuk uji kompetensi ini menurut saya, Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan Majelis Hakim, uji kompetensi merupakan usaha untuk menjamin masyarakat Indonesia mendapat pelayanan yang setara dari lulusan berbagai FK. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi. Yang kedua, pengaturan tentang pelaksanaan uji kompetensi pada Undang-Undang Pendidikan Kedokteran menurut saya sudah sejalan dan ini melengkapi semata menyempurnakan Undang-Undang Praktik Kedokteran yang sudah ada karena Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini mengatur lebih detail tentang pelaksanaan kapan dan oleh siapa uji kompetensi itu dilakukan. Tentu pertanyaan kita secara logis adalah bila telah ada uji kompetensi untuk dokter kita, mengapa kita masih perlu dokter layanan primer yang setara dengan spesialis? Maka izinkanlah saya untuk memberikan berbagai alasan untuk menambah alasan dari Ahli yang sebelumnya memaparkan pada persidangan sebelumnya. Yang pertama adalah konteks masalah kesehatan sudah menjadi rekomendasi internasional bahwa layanan kesehatan primer harus dikuatkan. Mengapa? 90% masalah kesehatan ada di komunitas, bukan di rumah sakit. Untuk mempermudah bayangan kita bersama di forum ini, izinkanlah saya untuk memaparkan hasil penelitian dari green ini, dimana di sini dengan mudah kita bisa melihat dalam 1000 populasi yang ada di masyarakat kita, 750 populasi yang dewasa melaporkan pernah mengalami kesakitan, sekali atau lebih perbulan. 750 itu hanya 250 yang 12
pergi ke layanan kesehatan, sehingga sebenarnya sebagian besar ada di komunitas, ada illness tapi tidak ke sana, sehingga layanan di komunitas ini perlu dikuatkan. Penguatan layanan kesehatan primer ini menjadi penting karena tingkat kesehatan akan lebih baik, pelayanan kesehatan lebih terkendali, akan ada peningkatan kesetaraan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Perlu saya sampaikan bahwa mungkin yang di ruangan ini yang kita langsung ke spesialis, kita adalah golongan kecil dari sekian besar golongan yang ada di masyarakat kita yang sebagian besar adalah yang belum mampu mengakses langsung ke spesialis. Negara dengan orientasi layanan kesehatan primer, terbukti lebih sedikit jumlah bayi lahir dengan berat badan rendah, angka kematian bayi rendah, lebih sedikit kematian karena berbagai sebab di luar sebab eksternal, dan angka harapan hidup tinggi. Kalau kita bandingkan dengan negara-negara tetangga kita, maka angka harapan hidup, kemudian angka kematian bayi dan angka kematian ibu kita, kita masih kalah dari beberapa negara kita dan kalau kita lihat dalam slide selanjutnya dengan paparan urutan negara yang sama, maka kita lihat bahwa negara-negara yang ada di atas kita mempunyai program family medicine, kedokteran keluarga yang kemudian di tempat kita memakai istilah DLP. Alasan kedua, Yang Mulia Wakil Ketua dan Majelis Hakim, telah saya paparkan di slide sebelumnya bahwa untuk kompetensi tingkat 4 ini berdasarkan SK di tahun 2006, baru 168 penyakit. Untuk SK di tahun 2012 masih 146 penyakit yang 3A, 3B, mereka harus mampu mendiagnosa, kemudian memberikan tata laksana dan merujuk, sehingga kalau kemampuan ini ditingkatkan 3A, 3B bisa diselesaikan di komunitas misalkan, kemudian yang level 2 ini ditingkatkan, maka ini akan sudah sangat membantu ilustrasi berapa orang yang sebenarnya lebih banyak di masyarakat tadi. Yang lain adalah selain pendalaman dari sini, maka teman-teman di national board dokter layanan primer telah membuat suatu rancangan kompetensi DLP yang pada paparan Ahli dalam persidangan sebelumnya, Prof. Djoko disebutkan 7+7. Jadi, 7+7 bukan jumlah kompetensi per penyakit, tetapi area yang besar yang kalau itu dikupas ke dalam area yang lebih kecil itu sebenarnya banyak sekali. Kemudian, juga ada prinsip-prinsip ini yang akan menjadi hal yang penting untuk ditekankan untuk family medicine. Ada personal care, holistic approach, comprehensive care, continuing care, patient center, penekanan pada prefensi, kolaboratif, dan coordinated care, quality dan cost effective care, serta pasien advokasi. Untuk memudahkan kita membayangkan apa bedanya dokter dan DLP, izinkanlah saya berusaha untuk memaparkan dengan menggunakan bagan ini. Pada saat pasien datang ke seorang dokter, maka diharapkan dokter tersebut mampu melakukan anamnesis pemeriksaan fisik 13
penunjang diagnosis, terutama diagnosis medis dan penatalaksanaan yang berupa biasanya inter (suara tidak terdengar jelas) medis. Namun, untuk dokter layanan primer, maka kemampuan ini diperluas dan ditambah. Kemampuan yang tadi tetap ada, namun ada pengkayaan kemampuan yang lain. Apa misalnya? Anamnesisnya akan lebih holistik mencakup berbagai hal, diagnosisnya akan holistik (suara tidak terdengar jelas), penatalaksanannya pun akan lebih komprehensif, tidak ada … tidak hanya intervensi medis. Pertanyaannya tentu saja apakah ini tidak diajarkan saat mereka dokter umum? Kami memperkenalkan, kami mengintroduksi, tetapi untuk sampai mereka mampu melakukan D to D ke pasien, ini butuh waktu yang lebih untuk pendalaman. Izinkanlah saya untuk memberikan ilustrasi, bukan pengalaman yang dialami oleh orang lain, tapi yang saya alami sendiri. Lima tahun lebih saya tinggal di Skotlandia di United Kingdom, melahirkan anak pertama saya di sana. Saya mempunyai dokter keluarga bernama Katherine Ogilvie karena setelah anak saya lahir, saya ingin sekali memberikan ASI eksklusif ke anak saya. Tiga minggu setelah saya memberikan ASI eksklusif, saya menderita mastitis, inveksi pada payudara saya. Pada saat itu, saya harus menyelesaikan disertasi S2 saya dengan dana yang tidak berlimpah. Pada saat itu pula, saya hanya bersama suami jauh dari keluarga besar saya yang sangat memperhatikan saya. Apa yang dilakukan Ogilvie? Ogilvie tidak hanya mendiagnosis saya mastitis, kemudian memberikan pengobatan, tapi dia mengajak dialog saya, dialog yang secara personal dan karena setiap saat saya mengeluh saya datang padanya, dia tahu bahwa saya sangat under pressure menyelesaikan disertasi saya dan menjadi ibu yang baru. Kemudian, dia juga tahu bahwa saya dari orang Timur, di mana orang Timur itu pada saat melahirkan akan mendapat support yang luar biasa dari keluarga besarnya yang tidak saya dapatkan saat saya di sana. Yang dilakukan Ogilvie kemudian, dia menyarankan berbagai si … terapi psikis kepada saya dengan menyampaikan bahwa saya telah mencapai hal yang luar biasa menyelesaikan 40 assigment, mengerjakan separuh dari disertasi saya, melahirkan anak yang sehat dan memberikan ASI eksklusif yang tidak semua orang bisa. Dan satu hal yang saya sangat mengapresiasi dan menurut saya dia menyelesaikan masalah saya, saat dia mengetahui kultur yang menjadi latar belakang saya, dia memberikan contact person kepada kelompok senior citizenship yang secara volunteer membantu overseas student untuk settle dan bertahan hidup di luar negeri. Saya mengontak, saya mendapatkan klub, menjadi anggota di klub itu dan kemudian para senior citizenship ini secara reguler mengajak saya berkegiatan, mengunjungi saya, sehingga saya mendapatkan seakan-akan keluarga baru. Inilah yang disebut level of fission injudgement intervention, level 14
2 dan 4, sehingga terapinya tidak hanya bersifat medis, tapi biosiko dan sosial. Inilah yang akan kita tekankan dengan adanya DLP ini, salah satu yang kita tekankan di antara penekanan-penekanan yang lain. Kalau kita berbicara, “Apakah itu tidak bisa dimasukkan dalam kurikulum yang ada sekarang?” Kita tahu bahwa rentang kurikulum pendidikan dokter saat ini yang kita punyai ini adalah cukup lebih singkat dibandingkan di negara lain, sehingga untuk menambahkan lagi suatu hal yang padat seperti itu tadi rasanya tidak mungkin lagi, sehingga harus ada penambahan dan ini yang disampaikan oleh Bu Ratna pada sidang yang pertama bahwa Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini kemudian memberi kesempatan untuk adanya pilihan lain selain menjadi dokter yaitu untuk menjadi dokter layanan primer. Apabila alasan pertama dan alasan kedua yang saya sebutkan tadi tercapai, maka Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan Majelis Hakim, kita akan melihat inilah shifting yang kita harapkan sekian tahun ke depan yang harapannya bisa terjadi di negara kita. Pada saat ini, sebagian besar masyarakat akan berada di layanan tingkat dua dan tiga dan hanya sebagian kecil yang ada di layanan primary care atau tingkat pertama. Dengan adanya DLP yang jauh lebih mempunyai kompetensi mendalam dan lebih luas, kita berharap bahwa sekian tahun lagi ada shifting, akan lebih banyak pasien-pasien yang datang dan mampu dikelola, di-manage secara tuntas pada layanan pertama. Kemudian, apabila ada kekhawatiran, “Kalau demikian, maka pekerjaan saya sebagai spesialis akan hilang,” mohon maaf, saya kira itu tidak benar. Justru di sanalah kesempatan para spesialis dan subspesialis untuk lebih mendalami lagi terapi-terapi cara mendiagnosa yang lebih sophisticated, lebih canggih. Yang Mulia, sebagai ilustrasi saya ingin meyampaikan, saya meyakini bahwa darah tinggi atau hipertensi adalah semua istilah yang hampir semua orang tahu, tetapi saya sampaikan bahwa di kedokteran ada yang disebut subspesialis ginjal dan hipertensi. Artinya apa? Artinya, teman-teman para kolega yang ada di spesialis dan subspesialis tidak perlu mengkhawatirkan karena ilmu-ilmu itu akan bisa didalami, sehingga dunia kedokteran kita mutunya di semua level akan tidak kalah tertinggal dengan bangsa-bangsa lain. Ini adalah slide terakhir. Kesimpulan saya adalah DLP setara spesialis bertujuan untuk menguatkan layanan kesehatan primer. Penguatan, bukan penggusuran. Penguatan layanan kesehatan primer akan meningkatkan derajat kesehatan rakyat secara lebih merata dan pengendalian biaya kesehatan secara menyeluruh. DLP setara spesialis dalam bentuk pendidikan formal ditujukan untuk lebih memperdalam dan memperluas kompetensi dokter secara terstruktur. Dengan
15
demikian, pada akhirnya kita harapkan rakyat Indonesia akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih detail. Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan para Hakim Mahkamah Konstitusi, izinkanlah saya mengakhiri pemaparan saya dengan menyampaikan bahwa suatu saat semua di antara kita di ruangan ini bisa saja sakit. Hanya satu yang kita tahu tentang sakit bahwa kita berharap mendapatkan pelayanan yang baik. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan merawat kita. Apa yang kita lakukan dalam berbagai persidangan sebelumnya dan sidang hari ini akan sangat mempengaruhi kualitas dokter seperti apa yang suatu saat kita akan mempercayakan kita untuk diterapi, dirawat, dan juga perawatan, pengelolaan kesehatan orang-orang tercinta kita. Terima kasih. Selamat pagi. Wassalamualikum wr. wb. 9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Ibu Gandes. Yang terakhir saksi dari pemerintah, Ibu dr. Yulherina. Saya persilakan.
10.
SAKSI DARI PEMERINTAH: YULHERINA Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Majelis Hakim yang saya muliakan, perkenankan saya menyampaikan pengalaman mengembangkan Dokter Layanan Primer dan melaksanakan uji kompetensi dokter Indonesia sepanjang yang saya ketahui dan apa yang saya kerjakan untuk dua kegiatan itu. Saya adalah seorang dokter. Lulus kurang lebih 25 tahun yang lalu. Saat ini, saya memiliki sertifikat kompetensi sebagai Dokter Layanan Primer sebagaimana tertulis di dalam sertifikat kompetensi saya, tetapi saya memiliki surat tanda registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia yang tertulis dengan kewenangan sebagai dokter. Jadi, memang begitu cara menuliskan selama ini di dalam sertifikat kompetensi yang saya peroleh dari Kolegium dan surat tanda registrasi yang saya peroleh dari Konsil kedokteran Indonesia. Saat ini, saya adalah salah satu pengurus dari perhimpunan dokter keluarga Indonesia. Saya salah satu ketua bidang di pengurus pusat yang di dalam struktur organisasi Ikatan Dokter Indonesia, perhimpunan dokter keluarga Indonesia adalah bagian dari perhimpunan pelayanan primer yang di dalamnya beranggotakan PDKI dan PDUI. Saya pernah mengurus uji kompetensi dokter Indonesia sejak dimulai di tahun 2007 sampai Mei 2014. Jadi, apa yang akan saya ceritakan ini adalah apa yang pernah saya kerjakan pada periode itu. Pertama-tama, saya ingin mengemukakan apa yang saya alami di dalam pengembangan Dokter Layanan Primer. Ketua, Wakil Ketua, dan 16
Anggota Majelis hakim yang saya muliakan, keberadaan dokter layanan primer itu sampai hari ini, sampai saya berdiri di depan Ibu, Bapak Yang Mulia, belum ada Dokter Layanan Primer yang setara spesialis sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013. Mengapa demikian? Karena sampai hari ini, Pemerintah bersamasama dengan stakeholder, baru sampai pada tahap pengembangan cikal bakal DLP itu melalui pembentukan kelompok kerja percepatan, pengembangan kebijakan dokter layanan primer atau mungkin yang biasa kita dengar di forum-forum ini sebagai National Board DLP yang tugasnya adalah menyusun naskah akademik, rancangan standar kompetensi, persiapan pembentukan Kolegium, dan rekomendasi untuk kebijakan masa transisi sebelum DLP itu ada. Jadi sampai hari ini, baru empat hal itu yang baru kita hasilkan, belum ada sosok DLP setara spesialis sebagaimana diamatkan di dalam undang-undang tersebut. PDKI sebagaimana tadi saya sampaikan, bersama dengan PDUI menjadi bagian dari National Board DLP itu yang kebetulan rapat pembentukannya saya ikuti, jadi saya tahu persis bahwa ada wakil PDKI dan wakil PDUI yang duduk di National Board DLP sebagai bagian dari unsur organisasi profesi karena kalau Ibu/Bapak melihat SK DLP itu, tim pengarahnya terdiri atas ketua umum PBID, ketua AIPKI, dan Pemerintah diwakili oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan, pada waktu itu belum ada Kemenristek, jadi baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nah, sampai saat ini, anggota PDKI kalau di beberapa sidang sebelumnya disampaikan dikhawatirkan akan terjadi diskriminasi di dalam kemitraan dengan BPJS, dapat saya sampaikan bahwa sepanjang yang sya ketahui sampai hari ini, anggota PDKI yang kebetulan saya urus yang belum menjadi DLP setara spesialis sampai hari ini masih menjadi provider BPJS, sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama atau FKTP karena syarat dan ketentuan untuk menjadi FKTP BPJS Kesehatan mengacu kepada Permenkes 71 Tahun 2013 tentang Syarat Menjadi Provider dan seleksi serta credentialing-nya. Jadi, itu yang saya ketahui tentang keberadaan kesempatan menjadi provider BPJS. Sejawat-sejawat saya yang menjadi anggota PDKI yang belum menjadi DLP setara spesialis masih bermitra dengan BPJS sampai hari ini. Nah, sebenarnya kalau Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Hakim yang saya muliakan, sebenarnya keterlibatan PDKI di dalam pengembangan DLP ini bukan baru-baru saja, sejak tahun 1980 sudah mulai dikembangkan bersama dengan organisasi profesi, ketika itu belum banyak perhimpunan spesialis sebagaimana Ibu/Bapak ketahui hari ini. Tahun 1980 sudah mulai dikembangkan dengan membentuk kelompok studi dokter keluarga. Saya yang penting-penting saja saya sebutkan.
17
Tahun 2004-2005, saya menjadi salah satu di antara tim yang mendapat bantuan dari HWS Depkes, itu bantuan dari world bank untuk mengembangkan profesi dokter keluarga, dimana kami diminta oleh IDI untuk menyusun beberapa dokumen, salah satunya adalah standar kompetensi dokter keluarga. Lalu pada tahun 2013, organisasi profesi ini, IDI itu juga ikut di dalam pokja Undang-Undang Pendidikan Kedokteran sebagaimana yang kita diskusikan beberapa kali sidang ini. Dan kemudian tahun 2014, PDKI juga terlibat dalam National Board DLP sampai yang saya saksikan adalah pada saat kami mengadakan Mukernas IDI, Mukernas ke-20 di Mataram tahun 2014, disebutkan di salah satu Pleno, disepakati bahwa IDI tidak akan melakukan judicial review terhadap undang-undang ini karena tidak elok bagi IDI, mengingat IDI adalah salah satu anggota dari pokja UndangUndang Pendidikan Kedokteran ini. Itu yang saya ketahui ketika saya mengikuti Mukernas IDI. Mukernas IDI tahun 2014. PDKI konsisten terlibat di dalam pengembangan DLP ini karena PDKI sangat mendukung IDI yang mendorong pengembangan DLP walaupun akhirnya nama dokter keluarga itu dihilangkan di dalam konsep DLP. Mengganti nama dokter keluarga menjadi DLP. Tetapi demi kemaslahatan masyarakat banyak, maka kami dari PDKI iklas nama DLP… DK itu, dokter keluarga itu, tidak muncul di dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Pengalaman yang lain yang bisa saya sampaikan adalah ketika ada diskusi tentang mengapa pengembangan DLP tidak dilakukan melalui CPD atau Continuing Professional Development atau di IDI yang kami kenal sebagai P2KB? Karena kalau kita baca di buku P2KB dalam diskusi-diskusi kami pada saat mendiskusikan tentang pengembangan DLP ini, tidak sesuai dengan tujuan P2KB karena tujuan P2KB itu adalah maintenance, mempertahankan, dan meningkatkan profesionalisme seorang dokter, secara selfdirected dan practice pace, jadi bukan pendidikan terstruktur, sehingga menurut kami kalau akan dilakukan penguatan di layanan primer melalui peningkatan kompetensi dokter layanan primer, baik melalui specialist family medicine sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara atau DLP, menurut kami jalur yang cocok pada waktu diskusi-diskusi kami yang saya ikuti adalah bukan melalui P2KB, tapi melalui pendidikan terstruktur. P2KB dilakukan setelah yang bersangkutan menjadi DLP setara spesialis. Itu adalah apa yang saya ketahui, apa yang saya ikuti, dan apa yang saya dengar terkait dengan DLP. Berikutnya, saya juga adalah pelaku sejarah melaksanakan UKDI sejak awal tahun 2007, jadi saya ingin berbagi pengalaman apa yang saya kerjakan dan apa yang saya ikuti selama mengembangkan uji kompetensi dokter Indonesia.
18
Ibu/Bapak, UKD ... Ibu/Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis yang saya muliakan, uji kompetensi itu dimulai dari tahun 2006 dengan adanya MoU antara KDI (Kolegium Dokter Indonesia), AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia), dan PDKI. Kenapa PDKI ada di MoU itu? Waktu itu, Ketua IDI meminta PDKI terlibat di dalam MoU itu sebagai unsur organisasi profesi. Jadi, Kolegium sebagai orang yang akan mensertifikasi. AIKPKI sebagai orang yang menyelenggarakan pendidikan, dan PDKI sebagai organisasi profesi. Maka MoU itu ditandatangani tiga pihak, disaksikan oleh Ketua Umum PBIDI dan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia. Pada waktu itu, komite yang dibentuk itu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Perkonsil Nomor 20 Tahun 2006 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. Saya kebetulan menandatangani MoU itu dengan memaraf karena Ketua PDKI waktu itu almarhum Prof. Azrul Azwar, berhalangan hadir. Jadi, saya menyaksikan sendiri penandatanganan tersebut. Tahun 2007 karena pada waktu itu ada masa leluasa, ada grace period yang diberikan oleh KKI sampai 20 April 2007, tidak perlu orang memiliki sertifikat kompetensi jika akan mengurus surat tanda registrasi, maka pada waktu itu kesepakatan dengan KKI dan seluruh pemangku kepentingan yang akan diikutkan dalam uji kompetensi adalah dokter baru yang lulus setelah 29 April 2007. Jadi, dokter-dokter seperti saya yang lulus tahun 1990 tidak perlu mengikuti uji kompetensi ini. Jadi, uji kompetensi hanya untuk dokter yang lulus setelah 29 April. Pada waktu itu, kami ada pembagian tugas. AIPKI bertugas menyiapkan sumber daya manusia, soal, tempat ujian yang mengacu kepada standar kompetensi dokter Indonesia. PDKI diminta menyiapkan modul uji diri, sebagaimana tadi Bu Gandes sampaikan pada waktu itu kalau dua kali tidak lulus uji kompetensi, lalu pesertanya diberi modul uji diri, kita beri soal-soal tentang kasus, kemudian dia menjawab, dan dia serahkan, kita periksa kalau itu sudah sesuai dengan kaidah-kaidah praktik baik di bidang kedokteran, kita nyatakan dia memenuhi syarat untuk mendapatkan surat sertifikat kompetensi. Lalu, KDI berikutnya menerbitkan sertifikat kompetensi. Nah, tahun 2009 dihapuskan modul uji diri itu karena ditemukan banyak sekali peserta modul uji diri itu yang tidak melaksanakan modulnya dengan baik, copy-paste, copy-paste dengan teman, begitu, jadi tidak ... tidak menjalankan amanah yang ada di dalam modul uji diri. Maka kesepakatan para dekan pada tahun 2009 itu adalah menghapuskan modul uji diri, lalu peserta harus ujian sampai lulus. Persoalannya adalah pada waktu itu peserta yang tidak lulus itu sudah disumpah oleh institusinya sebagai dokter. Jadi, masalahnya mereka sudah disumpah sebagai dokter tapi tidak dapat berpraktik karena tidak punya surat tanda registrasi dan itu menimbulkan keresahan di kalangan 19
dokter-dokter tersebut. Institusi pendidikan merasa dia sudah bukan tanggung jawab institusi karena sudah disumpah oleh institusinya. Maka pada tahun 2012 untuk mengatasi hal itu, dilakukan lagi kesepakatan para dekan karena belum ada Undang-Undang Nomor 20 pada waktu itu, kesepakatan para dekan adalah tidak menyumpah lulusannya sebelum yang bersangkutan lulus uji kompetensi. Itu disepakati di dalam forum dekan, sehingga kita mengubah syarat kepesertaan ujian menjadi peserta program pendidikan profesi dokter yang telah menyelesaikan seluruh proses pendidikannya. Jadi, belum diberikan ijazah. Nah, pada waktu itu kesepakatannya diterapkan di 2013. Gayung bersambutnya pada waktu itu di 2013 terbitlah Perkonsil Nomor 10 Tahun 2012 yang kami terima 2013 yang di situ mengatakan bahwa di akhir proses pendidikan, seorang peserta program profesi harus mengikuti ujian ... uji kompetensi bersifat nasional, meliputi hard skill dan soft skill. Hard skill dilakukan dalam bentuk knowledge base dalam bentuk MCQ sebagaimana yang sudah kami jalankan sejak 2007. Soft skill dalam bentuk OSCE yang memang baru diterapkan di 2013. Jadi, adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 pada waktu itu didiskusikan di kepanitiaan kami ini hanya menguatkan Perkonsil Nomor 10 Tahun 2012 tersebut. Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis yang saya hormati, saya muliakan, saya berhenti mengurus uji kompetensi ini setelah Mei 2014 karena selanjutnya uji kompetensi Agustus dan November itu dilaksanakan oleh panitia nasional uji kompetensi yang dilakukan bersama antara ... MoU antara Dikti dengan PBIDI, sehingga saya tidak tahu lagi bagaimana pelaksanaan ujian itu. Yang saya tahu memang terjadi disharmoni pada periode tersebut dimana ada dua uji kompetensi, sebagaimana yang Majelis tanyakan pada persidangan sebelumnya, tetapi yang saya bisa sampaikan … yang saya ketahui adalah bahwa uji kompetensi yang dilaksanakan oleh PNUK melanjutkan praktik baik yang dilakukan oleh uji kompetensi sejak 2007 dengan segala perangkat yang ada. Saya tidak bisa menceritakan uji kompetensi yang lain karena saya tidak ikut mengurusnya. Jadi Ibu/Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis yang saya muliakan, jadi kami dalam pengalaman menyelenggarakan uji kompetensi ini, kami selalu mengacu kepada peraturan-peraturan yang ada, khususnya Perkonsil Tahun 2006 tentang ... Nomor 20 Tahun 2006 tentang siapa yang menyelenggarakan uji kompetensi dan kapan dilaksanakan. Perkonsil Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan itu mengatur juga untuk ini adalah exit exam karena ujian itu ditujukan untuk memperoleh ijazah dan sertifikat kompetensi. Tetapi satu hal yang ingin saya sampaikan kepada Bapak Ketua, Wakil Ketua, Anggota Majelis yang saya muliakan adalah kalau tadi disampaikan oleh Ahli bahwa uji kompetensi itu sebenarnya harus dilakukan setiap lima tahun, saya ingin 20
menyampaikan bahwa saya sebagai panitia uji kompetensi tidak melaksanakan uji kompetensi untuk kepentingan resertifikasi. Yang saya lakukan hanya uji kompetensi untuk dokter atau calon dokter yang baru diluluskan, jadi tidak melakukan uji kompetensi yang reguler setiap lima tahun. Pengalaman lain yang bisa saya sampaikan kepada Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis adalah ujian ini sejak tahun 2007 kami selenggarakan rutin empat kali dalam setahun dengan jadwal yang juga rutin yaitu bulan Februari, Mei, Agustus, dan November, selalu menggunakan hari Sabtu minggu kedua, kecuali pada hari Sabtu minggu kedua itu ada hari libur nasional atau hari besar, sehingga kita memundurkan atau memajukan satu minggu. Tetapi jadwal itu sudah dirilis sejak bulan Desember tahun sebelumnya, sehingga setiap institusi, setiap calon peserta sudah dapat menyesuaikan diri dengan periode ujian itu. Dan peserta diperkenankan memilih tempat ujian yang terjangkau oleh peserta. Kami punya pengalaman ada orang dari Sumatera Utara berkuliah di Papua karena orang itu ikut SPMPTN diterima di Papua, tapi orang tuanya di Medan. Ketika dia uji kompentesi, dia memilih ujian di Medan dan itu dimungkinkan di dalam proses uji kompetensi yang berbentuk MCQ karena dia boleh ujian di mana saja. Lokasi ujian yang kami laksanakan selama ini, apa yang saya ikuti sejak 2007 sampai Mei 2014 adalah institusi pendidikan kedokteran, jadi kami tidak mengadakan ujian di luar institusi pendidikan kedokteran dan sebagai bahan informasi bagi Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis yang saya muliakan, institusi pendidikan kedokteran itu umumnya berada di ibu kota negara dan ibu kota provinsi yang pernah saya laksanakan hanya dua yang tidak berada di ibu kota provinsi yaitu di Jember dan di Cirebon. Dan ini adalah kemudahan yang kami berikan kepada peserta selama saya mengurus uji kompetensi dokter adalah peserta itu cukup registrasi satu kali melalui website, lalu mereka sudah memenuhi dokumen dan sebagainya sampai untuk keperluan nanti pengurusan STR, lalu dia mengikuti ujian dan kalau sudah diumumkan, kalau dia lulus, dia tinggal dikirim datanya ke Kolegium, berikut kelengkapan-kelengkapan dokumen dan nanti Kolegium secara kolektif mengirimkan ke KKI. Yang tidak lulus kemudian dia melakukan ujian ulang. Apa yang tergambar di dalam bagan sederhana ini, Ibu/Bapak, sebenarnya bagan sederhana ini yang saya muliakan Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis adalah memang sederhana, tetapi ini menunjukkan check and balances. Panitia ujian, penerbit sertifikat kompetensi tidak akan menerbitkan sertifikat kompetensi kalau tidak menerima data dari panitia ujian, jadi tidak ada orang yang datang ujugujug ke Kolegium untuk meminta diterbitkan sertifikat kompetensi.
21
Panitia ujian melakukan check and balances-nya dengan institusi pendidikan, betulkah ini mahasiswa yang terdaftar di institusi itu. Konsil Kedokteran Indonesia juga demikian, menerima secara kolektif dari Kolegium yang sudah melakukan check dan re-check dengan panitia ujian. Jadi peserta ujian itu, peserta yang akan mendapatkan STR tidak harus bolak-balik datang ke setiap institusi ini, tetapi mereka menunggu di rumah karena KKI mengirimkan STR itu ke alamat yang bersangkutan. Nah, ini adalah tadi yang disampaikan ini yang kami urus juga, Ibu/Bapak, ini adalah bentuk feedback yang kami kirimkan ke seluruh peserta ujian dalam amplop tertutup yang bersifat rahasia untuk setiap peserta ujian. Di sini walaupun mereka sudah lulus, mereka dapat melakukan instropeksi kekurangannya ada di mana. Kalau mereka ingin praktiknya sukses, ingin profesionalismenya diperbaiki, mereka bisa memperbaiki dengan guidence ini. Itulah yang membahagiakan saya walaupun saya bukan dari institusi pendidikan, saya bukan staf pengajar, tapi saya belajar banyak dari pengalaman ini karena bagaimana cara menjaga mutu kalau kita tidak jaga dari hulunya. Itu adalah pelajaran berharga yang saya dapat yang tidak akan mungkin saya peroleh kalau saya tidak pernah mengikuti kepanitiaan ini. Ini adalah contoh tadi sertifikat kompetensi saya, saya tidak berani menunjukkan orang lain punya. Jadi kalau Bapak Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis yang saya muliakan melihat, di sini dituliskan “Yang telah menunjukkan segenap kompetensi sebagai dokter layanan primer.” Itu adalah bunyi sertifikat kompetensi yang saya peroleh dari Kolegium Dokter Indonesia. Tetapi ketika saya mendapatkan STR, bunyinya kompetensi saya adalah kompetensi dokter, bukan kompetensi dokter layanan primer. Demikian yang dapat saya sampaikan, apa yang saya ketahui, apa yang saya ikuti, dan apa yang saya dengar terkait dengan pengembangan DLP dan uji kompetensi dokter Indonesia. Terima kasih, Assalamualaikum wr. wb. 11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Walaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Bu Yulherina. Persidangan pada hari ini maksimal selesai pada pukul 13.00 WIB karena masih ada persidangan-persidangan yang lain, maka untuk menghemat waktu saya kira dari Pemerintah sudah cukup jelas, ya? Apa masih ada yang akan diperdalam? Cukup, ya?
12.
PEMERINTAH: NASRUDIN Mohon izin, Yang Mulia. Ada sedikit ini tambahan dari (…)
22
13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ada sedikit?
14.
PEMERINTAH: NASRUDIN Sedikit saja.
15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sedikit saja. Ya, saya persilakan.
16.
PEMERINTAH: ILLAH SAILAH Terima kasih, Yang Mulia. Saya hanya ingin memberikan keterangan sebagai Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan yang menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 ini. Jadi, ujian kompetensi yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 ini baru dilaksanakan 2 kali, yaitu Agustus dan November.
17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT November.
18.
PEMERINTAH: ILLAH SAILAH Kenapa demikian? Karena undang-undang itu mengamanatkan harus ada peraturan menteri yang turunan dari undang-undang itu. Maka tanggal 30 April 2014, peraturan menteri itu baru terbit. Di dalam peraturan menteri itu yang menyatakan tentang tata cara uji kompetensi, mengamanatkan lagi agar direktur jenderal menyusun panitia, dan panitia itu baru tersusun 8 Juli 2014 untuk melaksanakan uji kompetensi bulan Agustus. Maka (…)
19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, Ibu, nanti secara lengkap dianukan saja ya, tertulis dalam kesimpulan saja dari Pemerintah nanti, ya.
20.
PEMERINTAH: ILLAH SAILAH Terima kasih.
23
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Dari Pemohon, saya persilakan.
22.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Terima kasih, Yang Mulia, atas perkenaan Yang Mulia. Perkenankan kami untuk menanggapi dan bertanya pertama kepada (…)
23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Enggak usah menanggapi, tanya saja untuk minta klarifikasi, nanti kalau tanggap-tanggapan enggak selesai di persidangan ini.
24.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Terima kasih, Yang Mulia.
25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti kita yang nilai mana yang betul, gitu ya.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Terima kasih, Yang Mulia. Pertanyaan pertama terkait dengan slide terakhir dari Saudara Saksi dr. Yulherina bahwa sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh konsul kedokteran itu adalah dokter, bukan dokter layanan primer, bukan dokter spesialis, kendatipun tadi hulunya adalah sertifikat kompetensi dokter layanan primer, itu yang pertama. Yang kedua, di tangan saya ada 2 dokumen, Yang Mulia, yang ini menjadi semakin menjadi ragu saya atas keterangan Saksi. Dokumen yang pertama adalah hasil notulensi Komisi B dalam musyawarah nasional IDI di Mataram tahun 2014, Oktober yang lalu. Ditandatangani oleh Prof. Dr. dr. H. Manikhari Kalim, M.Ph. dan Sekretaris Komisi B, Dr. dr. Dewi Soemarko, M.S., SpOk. Dalam dokumen ini disebutkan bahwa PBID merekomendasikan … mendukung uji materiil (judicial review) yang diajukan oleh (suara tidak terdengar jelas). Ini dokumen yang pertama. Dokumen yang kedua adalah hasil notulensi Pleno diperluas (PBID) yang idem dito (sama) itu, yang menyebutkan PBID mendukung judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dari 2 dokumen ini akan kami jadikan sebagai bukti, langkahlangkah lain nanti akan kami ajukan.
24
27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Dilampirkan dalam kesimpulan saja, ya.
28.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Ya, terima kasih, Yang Mulia.
29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik.
30.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Jadi, dengan demikian dari 2 dokumen ini, kami ragu semua keterangan yang diajukan oleh Saksi. Untuk Ahli yang pertama, Prof (…)
31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Prof. Budi.
32.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Prof. Budi.
33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
34.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Kami ingin mengacu kepada Undang-Undang Praktik Kedokteran yang tadi dikatakannya bersesuaian dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Secara ringkas, Undang-Undang Praktik Kedokteran itu mengatur bahwa uji kompetensi dilaksanakan oleh Kolegium atau organisasi profesi dengan output (result) dokumennya adalah sertifikat kompetensi, bukan sertifikat profesi. Kemudian, sertifikat kompetensi ini dengan modal itu dibawa dan mendaftarlah seorang dokter ke Konsil Kedokteran Indonesia dan kemudian menghasilkan output dokumen yang namanya Surat Tanda Registrasi, itu yang kedua. Yang ketiga, dengan modal STR tadi, seorang dokter memperoleh dan memohonkan … memohon dan memperoleh izin surat izin praktik kepada Dinas Pendidikan … Dinas Kesehatan setempat. Jadi, sudah sangat tersistem fakultas kedokteran mengeluarkan ijazah dokter, 25
Kolegium, organisasi profesi mengeluarkan sertifikat kompetensi, tentu dengan uji kompetensi lebih dahulu, dan STR dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran, dan Dinas Kesehatan mengeluarkan surat izin praktik. Ini sudah menjadi sebuah sistem yang ajek yang berlaku yang sebagai sebuah sistem hukum yang terstruktur dan diakui sebagai sesuatu yang berjalan baik. Oleh karena itu, kalau ada Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Pendidikan Kedokteran mengatur tentang Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter, sementara di Pasal 36 ayat (3) uji kompetensi dokter atau dokter gigi ini dua hal yang sudah berbeda dan yang kedua inkonsisten dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran dalam Pasal 28. Dari keterangan ini, saya ingin menanyakan kepada Ahli Profesor Budi, apakah masih tetap pada kesimpulannya bahwa Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran itu selaras? Karena kedua hal itu sebenarnya sangat jelas inkonsisten. Saya ingin menyumbang informasi kepada Ahli bahwa dalam sebuah yurisprudensinya, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak akan membiarkan adanya inkonsistensi dalam sis … di dalam norma yang ada di dalam undang-undang. Yang kedua yang ingin kami tanyakan kepada dr. Budi, S.H., perihal dokter layanan primer. Kalaulah dikatakan tadi dokter layanan primer itu adalah sesuatu yang selaras dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran, dalam keterangan Saksi Yulherina tadi disebutkan bahwa kendatipun sudah ada memiliki sertifikat kompetensi dokter layanan primer, tetapi output-nya adalah STR sebagai dokter. Jadi, sistem hukum yang dianut di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran cuma mengenal 2 jenis kualifikasi dokter: atau dokter spesialis atau subspesialis. Dan dari keterangan-keterangan yang disampaikan oleh Ahli dr. Gandes tadi ternyata sangat relevan dengan apa yang dimaksudkan dari keterangan dr. Budi bahwa kebutuhan kita sebenarnya adalah untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam rangka mencapai kebutuhan pelayanan masyarakat. Yang kedua, untuk dr. Gandes, saya ingin dan tertarik untuk menanggapi, mendalami tentang kriteria dual reability. Kalau tadi dikatakan bahwa uji kompetensi mahasiswa, uji kompetensi mahasiswa yang dilakukan tadi sudah sangat tinggi reability-nya, kemudian reability baiknya juga sangat konsisten, lantas hal ini tentu sangat inkonsisten dan bertolak belakang dengan maksud asli dari dibuatnya dokter layanan primer. Mengapa? Karena pertama, dokter pada kondisi Indonesia itu sangat kurang. Ada data 12.371 dokter yang kita kekurangan … kita mempunyai kekurangan dokter 12.371 jumlahnya. Konon pula … lagipula, itu sangat dibutuhkan di daerah-daerah terpencil. Yang kedua, hal ini juga sangat berbeda dengan aspek … apa yang disebut dengan demand side dengan supply side. Kalau pada sisi 26
masyarakat kita masih membutuhkan dokter, tentu yang harus dioptimalisasi adalah melakukan pendidikan profesi dokter, bukan pendidikan profesi dokter spesialis atau pendidikan profesi dokter layanan primer yang setara spesialis tapi bukan spesialis. Yang ketiga, dari aspek area SKDI, kalau SKDI 2012 diproyeksikan untuk mengevaluasi sejauh mana result-nya tahun 2017, maka tentu hal ini harus di … mestinya Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini digagas pada tahun 2017 setelah kita tahu result dari SKDI yang dimaksudkan untuk melihat sejauh mana tingkat kita. Dan di area kompetensi itu pun dalam bidang pengelolaan masalah kesehatan, pelayanan primer itu cuma 1 item dari 18 item. Dan yang terakhir saya ingin menyampaikan pendapat yang berbeda dari apa yang disampaikan Ahli dan dokumennya akan kami jadikan bukti. 35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pendapat yang berbeda nanti di dalam kesimpulan saja, ya.
36.
KUASA HUKUM PEMOHON: MUHAMMAD JONI Ya, Yang Mulia, ini akan kami ajukan yang pertama adalah menurut Profesor dr. Tabrani, jika jumlah DLB kurang sesuai dengan kebutuhan JKN, mungkin Indonesia akan mengimpor dokter. Dan dr. Pradana Soewondo, FKUI mengatakan ke depan tidak ada lagi dokter umum dan diganti dengan dokter layanan primer. Dokumen ini akan kami ajukan sebagai bukti tambahan tertulis, Yang Mulia. Terima kasih.
37.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. Dari meja Hakim, cukup? Oh, ada, Pak Patrialis, saya persilakan, Yang Mulia.
38.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Pak Ketua. Ini Pak Budi, Ahli, ini bukan berkaitan dengan keahliannya, tetapi tadi Bapak juga bicara tentang masalah proses pembuatan undang-undang ini. Saya ingin mengetahui apakah PDUI ini dilibatkan atau juga ada atau tidak masukan-masukan dari PDUI ini terhadap pembuatan undang-undang ini? Kemudian dr. Gandes, saya … kami-kami ini atau saya ini memang agak awam ya, dengan masalah kedokteran, tapi diperkaya dengan para Ahli. Saya melihat tadi paparan Ibu Dokter yang panjang sekali, tapi saya ingin mencoba mengaitkan dengan pengalaman Ibu di UK tadi dikatakan panjang sekali. Apakah di sana ada juga program semacam DLP ini, ya karena ada paparan mengenai itu tadi. 27
Kemudian kepada Saksi Ibu dr. Yulherina, ya. Dalam paparan mengenai perjalanan UKDI tadi, tadi Ibu mengatakan di sini bahwa ada tiga organisasi kedokteran KDI, AIPKI, dan PDKI, itu bersama-sama membentuk komite ya, sertifikat kompetensi dokter Indonesia. Pertanyaan saya adalah apakah Ibu tahu … kalau tahu, di … disampaikan, kalau enggak tahu, bilang enggak tahu, kenapa PDUI tidak ikut di dalam MoU itu? Ya, padahal ini kan, cikal-bakal untuk mengarah ke sana. Kemudian sebagai pelaksana, tadi Ibu mengatakan luar biasa pengalamannya di dalam pelaksanaan ujian kompetensi ini, telah memberikan gambaran kemudahan-kemudahan. Yang ingin saya dapatkan informasi adalah apakah ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi atau kendala-kendala yang dihadapi untuk bisa mengikuti ujian kompetensi ini karena ada saksi yang juga pernah didatangkan ke sini itu menyampaikan ada kendala. Tolong dijelaskan. Jadi, tidak dari segi kemudahannya saja. Kemudian kami juga ingin tahu, tadi ibu menggambarkan sekolahnya di Papua, di Medan bisa juga ikut ujian kompetensi. Ini tempatnya di mana saja di Indonesia? Apa memang di seluruh wilayah atau di tempat-tempat tertentu? Nah, terakhir untuk Pemerintah pada Pak Dirjen ini. Saya hanya ingin klarifikasi saja, Pak Dirjen. Ini sebetulnya ada berapa sih, Pak, organisasi-organisasi kedokteran ini di Indonesia ini? Ya, ada berapa? Sejauh yang diketahui oleh Pemerintah, ya yang concern di dalam sidang kesehatan ini tentu juga mengetahui tentang masalah organisasi ini. Ini di antara organisasi ini bagaimana komunikasinya, baik apa enggak, ada konflik apa enggak. Jangan sampai ada persoalan-persoalan keorganisasian menjadi kendala di dalam penyelenggaraan niat-niat baik dari bangsa dan negara ini. Tolong, Pak Dirjen jelaskan dan terbuka, ya. Terima kasih, Pak Ketua. 39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Yang Mulia Pak Wakil, silakan.
40.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih, Yang Mulia. Untuk dua Ahli, ketika disampaikan tadi bahwa dokter layanan primer disetarakan dengan dokter spesialis. Lalu, bisa disimpulkan bahwa seorang dokter yang sudah menyandang DLP (Dokter Layanan Primer), berarti dia bisa sebagai dokter spesialis THT, kebidanan, penyakit dalam, dan sebagainya. Pertanyaan yang timbul di benak saya adalah apa mungkin seperti itu? Dan ternyata telah dijawab oleh Saksi tadi bahwa sampai sekarang kalau tidak salah ya, belum ada memenuhi standar seperti itu. Lalu 28
masalahnya, apakah itu standar kompetensi dokter Indonesia yang terlalu tinggi atau gimana? Ya, mohon tanggapan. Terima kasih untuk kedua Ahli dan juga Saksi yang kebetulan pernah melaksanakan uji kompetensi. Terima kasih. 41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Saya persilakan, Prof. Budi, Bu Gandes, dan Bu Yul untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Maksimal masingmasing Ahli dan Saksi, enam menit waktunya. Saya persilakan.
42.
AHLI DARI PEMERINTAH: BUDI SAMPURNA Terima kasih, Bapak Ketua, Wakil ketua, dan Anggota Majelis Yang Mulia. Pertama, saya akan menjawab tentang bahwa di dalam UndangUndang Praktik … undang-undang … maaf, uji kompetensi yang diatur di dalam Undang-Undang Pendidikan Kedokteran itu masih selaras dengan praktik kedokteran dan ini kemudian di … dipersoalkan. Oleh karena di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran sebetulnya sudah ada tadi disebutkan uji kompetensi itu dilakukan oleh Kolegium dan seterusnya. Dan kemudian begitu digunakan untuk ambil STR, dan STR mengambil SIP. Nah, perlu kita koreksi, Pak. Jadi, di dalam undangundang tersebut Undang-Undang Praktik Kedokteran, tidak diatur tentang siapa yang melakukan uji kompetensi. Yang jelas memang betul sertifikat kompetensi diberikan oleh Kolegium, tapi bagaimana ujian itu dilakukan itu belum diatur. Itulah kelemahan Undang-Undang Praktik Kedokteran sebetulnya. Nah, yang mana yang ajek? Yang ajek adalah sebetulnya sertifikat kompetensi, kemudian STR, dan SIP, itu ajek, tetapi sebelumnya bagaimana ujian itu dilakukan itu belum ada, belum diatur. Oleh karena itu diatur kemudian, pada mulai diatur dengan Perkonsil dan kemudian Undang-Undang Dikdok ini. Kemudian pertanyaan tentang DLP selaras atau tidak. Tadi dikatakan bahwa di dalam sistem hukum yang dianut menurut UndangUndang Praktik Kedokteran itu hanya dikenal dokter dan spesialis, sedangkan sekarang ada DLP. Nah, jawabannya adalah ini adalah dinamika di dalam masyarakat, dinamika itu muncul bisa karena perkembangan ilmu pengetahuan, tapi bisa juga oleh karena kebutuhan. Nah, di dalam hal ini dua-duanya memang tercampur sekali, dua-duanya membutuhkan. Hal yang sama juga terjadi di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak disebutkan tentang subspesialis, tetapi muncul juga subspesialis sekarang ini, begitu juga DLP. Jadi, mungkin saja pada keadaan yang akan datang kita tidak tahu mungkin juga akan muncul 29
hal-hal lain, tapi tentu saja kalaupun muncul harus mengikuti aturan yang sudah ada atau paling tidak ada pakem-pakemnya yang kita bisa lihat di negara lain, seperti apa. Kemudian untuk menjawab Bapak Yang Mulia Patrialis Akbar, pada proses pembuatan undang-undang ... RUU, maaf, Undang-Undang Praktik Kedokteran ini betul pada waktu itu PBIDI yang dilibatkan, jadi oleh bapak dirjen ... nanti bisa disebutkan, Pak Dirjen Dikti sudah mengikutsertakan seluruh stakeholder, seluruh pemangku kepentingan termasuk di dalamnya adalah PBIDI, Konsil Kedokteran Indonesia, (suara tidak terdengar jelas). Nah, memang di dalam perjalanannya kemudian Konsil Kedokteran Indonesia dan PBIDI menyatakan untuk tidak ikut lagi di dalamnya, tetapi meskipun kemudian pada waktu pembahasan terakhir PBIDI ikut lagi di dalam pembahasan meskipun tidak mau … resminya tidak tertulis bahwa mereka masuk. Itu yang terjadi, tetapi itulah yang terjadi dalam ... karena ada perbedaan pendapat atau kesalahpahaman dan kemudian sudah dilakukan intens. Saya kira ini jawabannya nanti kalau dipertanyakan pada orangnya tentu akan lebih mudah kalau kita pertanyakan pada ketua PBIDI. Kemudian untuk menjawab Bapak Yang Terhormat Pak Anwar Usman, tadi memang kita sebutkan bahwa dokter layanan primer tadi setara spesialis, tetapi tidak akan pernah menjadi spesialis kecuali dia kemudian belajar lagi untuk spesialisi yang terkait, tetapi kalau tidak maka dia tidak akan menjadi spesialis. Tentang apakah SKDI yang terlalu tinggi sebetulnya tidak, SKDI itu juga merunut pada bagaimana negara lain menciptakan dokter juga. Jadi, kurang lebih sama dan hanya bedanya adalah bagaimana pendidikan itu dilaksanakan. Tadi sudah disampaikan oleh Ibu Gandes bahwa pendidikan kedokteran di Indonesia begitu pendek waktunya dibandingkan negara-negara lain. Oleh karena itu, sangat mungkin waktunya tadi tidak cukup untuk mencapai kompetensi yang diinginkan tadi. Saya kira itu yang bisa saya sampaikan, terima kasih. 43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya persilakan, Ibu Gandes.
44.
AHLI DARI PEMERINTAH: GANDES RETNO RAHAYU Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama terima kasih untuk pertanyaan dari Pemohon. Realibilitas suatu skor dari ujian berarti mengindikasikan seandainya diuji lagi seberapa nilainya akan ajek. Kalau reliabilitasnya tinggi berarti akan diujikan lagi dengan kondisi yang sama dengan soal yang setara maka hasilnya akan seperti itu, lebih ajek.
30
Saya mohon maaf harus mengkoreksi bahwa pertanyaan reliabilitas kemudian dihubungkan dengan maksud asli DLP, menurut saya kurang relevan. Sekali lagi, DLP bermaksud untuk menguatkan layanan primer dengan cara pendidikan yang terstruktur dengan isi yang bisa memperdalam apa yang sudah ada di SKDI untuk dokter atau memperluas dengan area kompetensi lainnya yang sekarang ini sudah diidentifikasi teman-teman di national board, sehingga ini berbeda, sehingga pada yang ke depan untuk kompetensi DLP ini misalnya yang awalnya untuk dokter umum sekarang ini kompetensinya dua atau tiga, maka di tangan DLP menjadi 4. Yang awalnya seperti ilustrasi saya tadi, seorang dokter mampu anamnesis sampai melakukan terapi yang bersifat medis. Di tangan DLP yang sudah mendapatkan pendidikan tambahan sampai 3 tahun, maka dia akan bisa menangani dengan secara lebih komprehensif dengan berbagai pendekatan-pendekatan yang saya berikan contoh tadi. Kalau tadi disampaikan bahwa dalam SKDI hanya ada satu item tentang layanan primer, Yang Mulia Ketua, Wakil Ketua, dan Majelis Hakim, di SKDI pun hanya ada 7 area kompetensi yang harus dipelajari selama 5 tahun plus 1 tahun internship, sehingga satu kata itu tidak berarti kemudian hanya dibutuhkan waktu sehari, dua hari, tiga hari karena layanan primer prinsipnya sangat komprehensif. Kemudian, saya ingin mencoba menjawab pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Bapak Patrialis, apakah di UK ada DLP? Dr. Katherine Ogilvie, dokter saya adalah DLP dalam arti substansi. Tapi tidak disebut namanya DLP karena nama di sana adalah general practitional. Tapi substansi, fungsi, wewenang dia adalah DLP. Kemudian untuk Yang Mulia Majelis Hakim Bapak Anwar Usman, kalau DLP setara spesialis apakah bisa melakukan berbagai pengelolaan kesehatan THT, obsgyn, dan seterusnya? Prof. Budi telah menjelaskan dan saya ingin menambahkan bahwa bahkan seorang dokter pun kami diajari untuk melakukan penanganan dari head to toe, semua organ. Jadi dari mata, telinga, hati, paru, dan seterusnya. DLP ini pun akan mampu untuk melakukan pengelolaan masalah kesehatan dari berbagai organ sistem, across ages, dari anak-anak sampai orang tua. Kemudian, berbasis person center. Namun apabila masalah itu sudah kompleks, ada komplikasi, ada hal yang sangat lebih rumit, maka dia harus merujuk ke spesialis. Contoh pada anak saya, nilai bilirubinnya turun dengan drastis, maka DLP GP saya langsung merujuk ke spesialis anak. Jadi, di sana ada level pendalaman, level kedalaman dari suatu proses pengelolaan penyakit. Tapi bahwa pada dasarnya akan bisa untuk semua organ, ya. Bahkan itu di dokter yang kita sekarang mengenal sebagai dokter umum pun kami diajari itu. Saya kira itu. Apakah SKDI terlalu tinggi? Yang Mulia, kami sampaikan saat ini nilai batas lulus untuk uji kompetensi kami dengan CBT, Multiple Choice 31
Question, aspek kognitif adalah 66%. Apa artinya? Dari 200 soal hanya dibutuhkan benar 132 untuk bisa lulus. Dan untuk OSCE sekitar 60%63%, sehingga di sana kita harus mengevaluasi lagi tentang cara-cara menentukan batas lulus, tentang kemudian mana-mana saja, apakah SKDI ini akan mana yang perlu didalami, difokuskan, mana yang akan tetap dokter praktik umum, mana yang mungkin akan diubah level kompetensinya dan diperuntukan untuk DLP. Saya kira seperti itu. Terima kasih. 45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Silakan, dr. Yul.
46.
SAKSI DARI PEMERINTAH: YULHERINA Terima kasih, Yang Mulia. Pertama-tama, saya akan menjawab yang diajukan oleh Pemohon tadi tentang STR. Memang betul STR saya tertulis dokter karena ijazah saya pun tertulis dokter. Sementara sejawat saya yang lain yang misalnya mengambil Spesialisi Mikrobiologi Klinik, dia punya ijazah lain selain ijazah dokter yaitu ijazah sebagai Spesialis Mikrobiologi Klinik, sehingga dia akan punya sertifikat kompetensi sebagai Spesialis Mikrobiologi Klinik dan punya STR sebagai Spesialis Mikrobiologi Klinik. Jadi, kenapa di sertifikat kompetensi saya tertulis dokter layanan primer? Dikeluarkan oleh Kolegium Dokter Indonesia. Kesepakatannya dengan KKI, semua yang keluar dari … sertifikat kompetensi dari KDI itu akan diberi sertifikat STR sebagai dokter. Karena STR itulah nanti yang kewenangan yang saya akan peroleh untuk bisa menjalankan praktik. Jadi … apa namanya … kalau nanti ada pendidikan DLP, ini kan, berbicaranya kalau nanti, gitu, bayangan saya adalah DLP itu karena kelanjutan dari pendidikan dokter, tentu akan punya sertifikat profesi atau ijazah lain selain ijazah dokter yang mungkin akan membuat STRnya juga jadi berbeda dengan STR yang sebagaimana saya miliki saat ini. Tapi yang bisa saya sampaikan adalah itulah bentuk yang saya miliki sekarang. Saya hanya enggak sempat menayangkan ijazah saya. Jadi, di ijazah saya berbunyinya dokter. Di sertifikat kompetensi saya berbunyi diberi kewenangan … kompetensi sebagai dokter layanan primer, tapi di STR saya berbunyi sebagai dokter. Itu yang ada sekarang. Nah, soal tadi kesaksian saya tentang apa yang saya dengar dan apa yang kebetulan saya terlibat. Di Mukernas IDI, kebetulan saya duduk di Komisi B. Jadi, saya tahu persis apa yang dibicarakan Komisi B. Memang betul direkomendasikan untuk dibawa ke Pleno karena di sidang Mukernas itu ada dua sidang, ada sidang Pleno, ada sidang Komisi. Sidang Komisi membicarakan hal-hal yang sifatnya teknis untuk membuat rekomendasi untuk disampaikan ke Pleno. Di Plenolah nanti 32
disepakati atau tidak apa yang direkomendasikan oleh sidang komisi. Dan di Pleno itu, di kata akhirnya, Prof … yang saya hormati, Prof. Razak Thaha, itu muncul sebelum saya meninggalkan Sidang Pleno di Pleno terakhir itu mengatakan, “Tidak elok bagi IDI untuk me-judicial review undang-undang ini karena IDI ikut di dalam pokja itu.” Saya melihat foto, paling tidak ada Prof. Marsis yang ada di foto tim pokja itu sebagai wakil dari PBIDI karena beliau adalah ketua terpilih PBIDI. Dan itu saya tidak mengomentari di dalam Pleno itu, tetapi saya mendengar dan saya mengikuti Pleno itu sampai selesai untuk membicarakan tentang hal tadi. Makanya saya sampaikan di kesaksian ini karena saya mendengar apa yang di … dibicarakan, sedangkan Pleno diperluas saya tidak ikut karena saya bukan pengurus besar IDI. Jadi, saya tidak bisa menyampaikan hal-hal terkait dengan Pleno diperluas. Yang bisa saya sampaikan hanya yang ada di Mukernas Ke-20 IDI di Mataram. Itu tentang pertanyaan tadi dari Pemohon. Kemudian, Yang Mulia Pak Patrialis Akbar, tentang keterlibatan PDUI. MoU itu ditanda tangan pada tahun 2006, di mana PDUI belum berdiri, Pak. Jadi, pada waktu itu, satu-satunya perhimpunan yang menghimpun dokter-dokter yang bukan spesialis adalah PDKI, sehingga Ketua Umum PBIDI meminta PDKI mempresentasikan dokter-dokter yang bukan spesialis mewakili organisasi profesi di MoU itu. Kemudian, tentang kesulitan-kesulitan. Tentu semua tidak ada yang mudah, Pak. Ada juga yang sulit, satu, dua. Terutama calon-calon peserta yang agak gagap teknologi karena pendaftaran ini menggunakan registrasi online. Jadi, ada yang tidak terbiasa dengan internet misalnya, itu mengalami kesulitan. Tetapi dengan mudah kita bisa bantu supaya mereka bisa registrasi online karena mereka mesti memilih sendiri tempat ujiannya di mana dan mesti mengisi namanya sendiri supaya spelling nama itu tidak salah karena misalnya nama saya saja sering salah. Yulherina, suka dipecah jadi dua kata, gitu, Yul Herina. Padahal kan nama saya cuma satu kata. Nah, itu di … kami atasi dengan membuat registrasi online. Tapi konsekuensinya, ada peserta-peserta … calon-calon peserta yang tidak terlalu … komputer literaturnya terlalu baik, itu mengalami kendala. Begitu juga ketika ujian ini di dalam bentuk CBT. Ada yang tidak bisa menggunakan mouse, Pak, walaupun jumlahnya mungkin satu per 0,0 sekian persen. Tapi itu cukup mencolok karena di era teknologi seperti ini, ternyata masih ada calon dokter yang tidak … tidak bisa menggunakan mouse, sehingga menggunakan mouse-nya harus dengan dua tangan dan sebagainya. Itu kita latih dulu sehari sebelumnya untuk bisa familiar dengan mouse itu. Jadi, kalau ditanya kesulitannya, kesulitan yang paling mendasar yang saya alami, yang saya temukan itu adalah tentang … apa namanya … kegagapan teknologi tadi. Kalau menjawab soal, sepanjang yang saya dengar dari peserta-peserta yang ikut ujian, menurut mereka itu adalah kasus-kasus yang sehari-hari 33
meraka temukan di praktik. Jadi, kalau mereka rajin dalam koasistennya, dalam … dalam … apa … pelajaran-pelajaran klinik, mestinya tidak terlalu sulit menghadapi soal-soal tersebut. Kemudian, tempat ujian. Tempat ujian itu dari 75 fakultas kedokteran, 55 sudah meluluskan, 43 di antaranya punya CBT center, Pak. Jadi, kalau kita pergi ke Aceh, itu Abulyatama dan Unsyiah itu duaduanya punya. Nah, tidak selalu kita buka dua-duanya karena tidak efisien kalau kita buka dua-duanya. Kalau pesertanya cukup di satu tempat, kita buka bergantian. Di Jakarta ini yang tidak punya hanya dua fakultas kedokteran, selebihnya punya CBT center. Jadi, uji kompetensi itu yang paling jauh tempatnya adalah untuk CBT ya, Pak, untuk yang MCQ yang menggunakan komputer paling jauh di Papua, di Uncen. Yang paling barat ada di Aceh. Di Medan ada lima tempat, di Padang ada dua tempat, di Riau ada satu tempat, dan seterusnya. Jadi, tempatnya semua di fakultas kedokteran. Bukan hanya sekadar tempat komputer, tapi harus di institusi pendidikan, begitu. Karena kesepakatan kami di panitia adalah ujian ini bukan hanya sekadar untuk ujian. Tetapi apa yang diajarkan praktik, baik dalam ujian ini dapat juga digunakan untuk evaluasi-evaluasi di institusi pendidikan tersebut, sehingga basis ujiannya adalah institusi. Kemudian, Yang Mulia tadi Pak Anwar, terkait dengan apakah SKDI ini ketinggian? Saya cuma ingat kesaksian dari saksi yang dua minggu lalu ada di sini. Adik Musthofa itu mengatakan bahwa di SKDI itu apa yang mereka dapatkan di kuliah, apa yang mereka dapatkan ketika koasisten, itu adalah kasus-kasus yang juga mereka temukan di ujian ini. Jadi, mestinya standar kompetensi dokter yang ada sekarang mestinya tidak dilihat apakah tinggi atau tidak, tapi apakah itu yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia? Kemudian, apakah itu mampu dilaksanakan oleh institusi pendidikan atau tidak? Sepanjang pengalaman saya mengurus uji kompetensi, rasanya tidak ada kasus-kasus yang extra ordinary, Pak. Seperti halnya pada SKDI 2006, di mana ada trauma ginjal, itu level 4. Artinya, kalau saya dokter, lulus dari fakultas kedokteran, ketemu kasus kecelakaan lalu lintas yang ginjalnya pecah, saya harus bisa tata laksana sampai tuntas, melakukan nefrektomi, sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan. Dan itu sudah dikoreksi di SKDI 2012. Jadi, saya tidak bisa menjawab apakah itu tinggi atau tidak. Nah, kemudian apakah DLP sebagaimana yang kami diskusikan, yang saya tahu tentu apa yang kami diskusikan di kelompok PDKI maupun di teman-teman yang mengembangkan DLP ini. DLP itu bukan menjadikan orang menjadi spesialis semua organ karena tidak mungkin orang menjadi spesialis semua organ karena kata-kata spesialis itu yang kami sepakati di PDKI adalah kekhususan. Kalau saya mengkhususkan diri mengurus anak-anak, maka saya disebutnya spesialis anak. Kalau saya mengkhususkan diri mengurusi … apa namanya … saluran kencing, 34
maka saya disebut sebagai spesialis urologi. Tapi kalau saya ingin mengkhususkan diri di pelayanan primer yang memberikan pelayanan komprehensif dari semua aspek, maka apakah tidak boleh itu juga disebut sebagai spesialis, begitu. Jadi … apa namanya … pendidikan setara spesialis itu adalah untuk … yang sepanjang yang kami diskusikan adalah pendidikan mengikuti pakem-pakem yang ada pada pendidikan profesi, dimana di dalamnya ada unsur akademik dan ada unsur profesi, jadi bukan untuk menjadikan spesialis di organ tertentu. Justru lintas organ, lintas jenis kelamin dan lintas umur, itu yang saya ketahui, Pak. Terima kasih. 47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Bu Yul. Dari pemerintah, masih ada satu yang ditanyakan Yang Mulia Pak Patrialis. Waktunya mungkin 3 menit, tapi nanti tertulis bisa disampaikan dalam kesimpulan.
48.
PEMERINTAH: AKMAL TAHER Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin sampaikan pertanyaan dari Pak Yang Mulia Pak Patrialis Akbar. Ordinasi profesi kedokteran itu menurut Undang-Undang Praktik Kedokteran itu ada satu, Ikatan Dokter Indonesia. Kemudian, Persatuan Dokter Gigi (PDGI) untuk dokter gigi, ini agak lain memang karena enggak banyak bahwa (suara tidak terdengar jelas) diatur sampai di undang-undang untuk satu. Tapi yang namanya IDI itu, itu isinya macam-macam. Satu tadi dikatakan ada PDUI ini adalah komponen dari Ikatan Dokter Indonesia. Kemudian, ada mungkin 30 lebih spesialis persatuan dokter bedah, persatuan dokter jantung, Dokter anak itu banyak, satu. Yang kira-kira pekerjaannya memang itu sudah tentu masing-masing ini to some extent itu sampai tingkat tertentu punya … punya otonomi sendiri-sendiri juga, tapi tetap dalam satu lingkungan IDI itu, Ikatan Dokter Indonesia. Kemudian, ada juga nanti di dalam lingkungan IDI ini juga namanya ini orientasi kedokteran juga, orientasi profesi yaitu Kolegium yang khusus mengkonsentrasikan diri untuk membuat standar kompetensi. Jadi, pendidikan urusannya. Tapi dalam lingkungan IDI juga. Dan dia akan lapor, report ke Muktamar IDI pertanggungjawabannya. Jadi memang kalau ditanyakan ini, ini gambarnya ini akan … akan kompleks sekali. Selain dokter, ada dokter spesialis yang banyak. Kemudian, ada dokter … ada Kolegium. Dokter bedah punya perhimpunan spesialis bedah, dia ngurusin keperluan dokter bedah, sudah tentu mengurusi masyarakat juga, tapi lebih banyak pada misalnya bagaimana meningkatkan pengetahuan dokter bedah dan sebagainya. Tapi untuk pendidikannya itu diurus namanya oleh satu
35
organisasi sendiri sebenarnya, praktis yaitu Kolegium Ilmu Bedah Indonesia. Jadi, itu bisa 100 lebih kalau itu dijumlahkan, belum yang seminat, misalnya perhimpunan persatuan seminat untuk mengerjakan ultrasonografi itu ada perhimpunannya sendiri. Ada dokter bedah yang berminat masuk di sana, jadi cukup complicated, komunikasinya … saya akan langsung saja apakah komunikasinya di antaranya gimana? Kita melihat kadang-kadang memang seperti layaknya organisasi dengan 100 ribu anggota lebih, dengan puluhan model seperti ini, sudah enggak mungkin terjadi kadang-kadang masalah komunikasi. Walaupun biasanya bisa diselesaikan di level-level di dalam PBIDI sendiri. Yang paling sering barangkali misalnya ambil contoh untuk konkretnya misalnya tumpang tindih misalnya ada satu kasus yang akan bisa dikerjakan oleh macammacam profesi. Nah, itu sekarang dicoba diselesaikan supaya jangan kesannya itu kita sedang memperebutkan pasien. Intinya adalah siapa yang paling kompeten atau tingkat kompetensi tertentu dia boleh melakukan kasus itu. Jadi, kalau ditanya komunikasinya itu seperti itu, saya kira … saya harus bilang secara jujur bahwa tidak selalu mulus pasti, tapi biasanya mungkin 99% saya katakan bisa diselesaikan dalam lingkup itu sendiri karena biasanya misalnya Kolegium itu ada majelis Kolegiumnya sendiri di sana yang merupakan gabungan dari Kolegium, jadi itu complicated kalau diceritakan. Nah, misalnya DLP saya ambil contoh, ini belum ada, tapi kita sudah prediksi sebenarnya pemerintah mesti siap-siap misalnya gini, pengalaman di negara lain, dokter layanan primer ini kan, kita naikkan kompetensinya sebenarnya dari yang ini. Ini yang paling akan banyak terkena sebenarnya adalah ahli penyakit dalam umum dan ahli anak … spesialis anak yang umum karena kompetensinya itu akan naik kebanyakan pada pasien-pasien seperti itu. Nah, itu bisa … mesti kita komunikasikan dari sekarang, makanya di waktu Pemerintah membentuk national board untuk dokter layanan primer yang empat besar itu diajak langsung, selain dari IDI, kita ajak juga persatuan dokter bedah, penyakit dalam, anak, dari awal kita naikkan supaya komunikasi dari awal itu bisa terjadi. Itu kira-kira, Pak. 49.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak Dirjen, saya minta mungkin tertulis saja, tadi yang disampaikan oleh Pak Budi bahwa dalam proses pembuatan undangundang ini waktu RUU, itu IDI dan KKI semula ikut, terus enggak ikut, terus ikut lagi, bahkan Ibu Yulherina mengatakan bahwa sertifikat tadi dikeluarkan oleh Konsil juga. Tolong tertulis saja, mungkin ini agak panjang. Sebetulnya bagaimana suasananya itu yang menjadi titik poin
36
ada persoalan oleh IDI dan KKI itu apa? Sementara undang-undang kan, sudah jadi. Ini enggak usah dijawab lisan, mungkin panjang. Terima kasih. 50.
HAKIM KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Karena waktunya sudah sampai, maka harus kita akhiri persidangan pada pagi hari ini. Saya akan tanya pada Pemerintah. Apakah masih akan mengajukan ahli atau saksi atau sudah cukup?
51.
PEMERINTAH: NASRUDIN Cukup, Yang Mulia.
52.
HAKIM KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, ya? Baik. Kalau begitu, kita sudah selesai seluruh rangkaian persidangan dalam Perkara Nomor 122 tentang Pendidikan Kedokteran maka para pihak, Pemohon, Pemerintah dan juga nanti DPR bisa mengajukan kesimpulan. Kesimpulan kami tunggu sampai pada hari Kamis, 12 Februari 2015 diserahkan ke Kepaniteraan pada pukul 14.00. Jadi saya ulangi, kesimpulan paling akhir ditunggu sampai pada hari Kamis, 12 Februari 2015 pada pukul 14.00 di Kepaniteraan, jadi sudah tidak ada persidangan lagi. Pada Prof. Budi, Bu Kandes dan Bu Yul saya ucapkan terima kasih sudah memberikan keterangan yang sangat bermanfaat bagi persidangan di Majelis … eh … Mahkamah Konstitusi. Persidangan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 13.05 WIB Jakarta, 3 Februari 2015 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d. Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
37