MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, AHLI/SAKSI PEMOHON DAN PRESIDEN (V)
JAKARTA KAMIS, 23 OKTOBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 47/PUU-XII/2014
PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 23 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. PT Cotrans Asia ACARA Mendengarkan keterangan DPR, Ahli/Saksi Pemohon dan Presiden (V) Kamis, 23 Oktober 2014, Pukul 11.19 – 12.20 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Hamdan Zoelva Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Aswanto Maria Farida Indrati Muhammad Alim Patrialis Akbar Wahiduddin Adams
Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Aldo 2. Lee Sang Jung B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Marulam J. Hutauruk Sabaruddin Yasin Heribertus Filipus Arya Sembadastyo Judiati Setyoningsih Denny Kailimang
C. Ahli dari Pemohon: 1. Yusril Ihza Mahendra D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Didik Harianto Budijono Awan Nurmawan Max Darmawan Sigit Danang Joyo Yuli Kristiyono Goro Ekanto Jatmika
E. Ahli dari Pemerintah: 1. Philipus M. Hadjon 2. Gunadi
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.19 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 47/PUUXII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Absen dulu. bisa dikenalkan, siapa saja yang hadir?
2.
Pemohon, hadir, ya? Ya,
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Baik, Majelis. Kami perkenalkan, selamat pagi semuanya. Kami perkenalkan dari saya duluan yaitu Marulam J. Hutauruk. Kemudian, selanjutnya sebelah kanan saya dan seterusnya senior kami adalah Pak Denny Kailimang, Bapak Sabarudin Yasin, Ibu Judiati, kemudian Pak Filipus Arya, dan Prinsipal kami dari PT Cotrans, Pak. Terima kasih.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Oh, Prinsipal. Baik, terima kasih. Dari Pemerintah?
4.
PEMERINTAH: DIDIK HARIANTO Terima kasih, Yang Mulia. Kami perkenalkan, saya sendiri Didik Harianto, di sebelah kanan kami, Bapak Budijono. Kemudian, sebelah kiri kami secara berurutan Bapak Awan, Bapak Jatmika, Bapak Goro, Bapak Sigit, dan Bapak Max, serta rekan-rekan kami dari Kementerian Keuangan, dan Ditjen Pajak yang ada di belakang kami. Terima kasih, Yang Mulia.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Hari ini, kita lanjutkan sidang untuk mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon dan Ahli dari Pemerintah. DPR tidak hadir, ya? Saya persilakan kepada Ahli yang saya panggil namanya untuk mau ke depan, diambil sumpah lebih dulu. Prof. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Philipus M. Hadjon (Ahli dari Pemerintah), Prof. Gunadi. Pak Hadjon, sebelah kiri.
1
6.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, mohon ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
7.
SELURUH AHLI YANG BERAGAMA KRISTEN BERSUMPAH Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
8.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
9.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Disilakan Ahli mengikuti kata-kata sumpahnya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
10.
SELURUH AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
11.
HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Terima kasih.
12.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan kembali ke tempat. Ya, lebih dulu dipersilakan, Prof. Yusril Ihza Mahendra (Ahli dari Pemohon). Ya, silakan.
13.
AHLI DARI PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Saudara-Saudara Kuasa Hukum Pemohon, dan Prinsipal, Saudara-Saudara Kuasa Hukum Presiden Republik Indonesia, hadirin yang saya muliakan. 2
Izinkanlah saya, Yang Mulia, untuk menyampaikan keterangan Ahli sehubungan dengan perkara pengujian undang-undang yang tengah berlangsung sekarang ini sebagai berikut. Pertama. Maksud Pemohon dalam perkara ini adalah memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji norma Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap norma Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kedua. Pemohon berpendapat bahwa frasa jenis jasa lain di dalam norma Pasal 23 ayat (2) undang-undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 jika ditafsirkan tanpa memperhatikan undang-undang lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu. Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa jenis lain ditafsirkan dengan tanpa memperhatikan undang-undang yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu. Ketiga. Di samping itu, Pemohon juga memohon kepada Mahkamah, sekiranya Mahkamah tetap berpendapat bahwa norma Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat agar Mahkamah menafsirkan bahwa jasa lain yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan harus memperhatikan undang-undang lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu. Keempat. Pemohon mendalilkan bahwa pendelegasian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan jenis jasa lain tidak memberikan adanya kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan berpotensi untuk ditafsirkan secara sewenangwenang dengan menabrak berbagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus telah memberikan pengaturan tentang apa yang tergolong sebagai jenis jasa yang lain seperti dalam bidang jasa pelayaran dan pengangkutan di laut. Kami sepenuhnya sependapat dengan Pemohon bahwa tanpa batas yang jelas seperti misalnya penambahan kata atau penafsiran bahwa Menteri Keuangan berwenang menetapkan jasa yang lain sebagai kegiatan yang dikenakan pajak sepanjang belum kegiatan tersebut diatur dan/atau ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3
Kelima, kewenangan untuk menafsirkan frasa jenis yang lain … jasa yang lain yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) undang-undang a quo adalah Menteri Keuangan yang berwenang menuangkan penafsirannya itu ke dalam bentuk peraturan menteri. Ini berarti peraturan Menteri Keuangan berwenang, ini … berwenang mengatur halhal lain yakni jenis jasa lain, selain jasa-jasa tertentu yang telah secara tegas diatur di dalam undang-undang. Ini berakibat bahwa muatan materi pengaturan dalam peraturan menteri adalah sama dengan materi pengaturan yang diatur di dalam undang-undang. Kalau undang-undang memuat misalnya jasa katering, jasa pengangkutan, jasa pengadaan alat pesta, maka Menteri Keuangan melalui peraturan menteri yang dibuatnya bisa menambahkan misalnya jasa penyemiran sepatu, jasa pencucian pakaian, jasa pemungutan sampah, dan seterusnya. Padahal ada hierarki peraturan perundang-undangan, sementara hierarki itu haruslah menunjukkan materi pengaturan yang seharusnya berbeda antara satu dengan lainnya. Keenam, jika kita simak dengan hati-hati norma Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan kewenangan presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah yang isi normanya adalah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, itu berarti bahwa kedudukan peraturan pemerintah memang secara hierarki lebih rendah dibandingkan dengan undang-undang. Peraturan pemerintah tidak boleh mengandung norma yang setara atau memuat materi pengaturan yang setara dengan norma undang-undang, tetapi memuat pengaturan agar bagaimana norma undang-undang dapat djialankan sebagaimana mestinya. Peraturan menteri adalah lebih rendah dari peraturan pemerintah, maka bagaimanakah sebuah undang-undang akan memberikan pendelegasian kepada menteri untuk membuat peraturan yang materi muatannya setara dengan materi muatan yang diatur di dalam norma undang-undang. Tujuh, sebagai perbandingan, mari kita bandingkan norma Pasal 23 ayat (2) dengan norma Pasal 21 ayat (8) undang-undang a quo. Pasal 21 ayat (8) menyatakan, “Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.” Rumusan norma ini adalah benar. Peraturan menteri keuangan hanyalah berfungsi mengatur petunjuk pelaksanaan pemotongan berbagai jenis pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa kegiatan, sedangkan jenis pekerjaan apa, jasa apa, dan kegiatan apa, tidak sepantasnya diserahkan pengaturannya kepada peraturan Menteri Keuangan sebagaimana bunyi norma Pasal 23 ayat (2) undang-undang a quo, melainkan harus didasarkan atas undang-undang sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 4
Inilah maksud norma pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945. Undangundanglah yang mengatur jenis pekerjaan, jasa, atau kegiatan apa yang dikenakan pajak. Undang-undang tidak boleh mendelegasikannya kepada Menteri Keuangan untuk mengatur jenis pekerjaan, jasa, kegiatan yang dikenakan pajak yang dapat berakibat norma yang diatur dalam peraturan menteri, pertama menjadi setara dengan norma yang diatur dalam undang-undang. Disamping Menteri Keuangan dapat saja secara subjektif mengenakan beberapa jenis pajak pada kegiatankegiatan tertentu dalam masyarakat yang berpotensi meresahkan masyarakat. Kita masih ingat setahun yang lalu, Pemda DKI berencana ingin memungut pajak restoran terhadap warung-warung pinggir jalan termasuk warung tegal, warung bakso, warung soto betawi yang akhirnya menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang berakibat peraturan Gubernur DKI itu tidak jadi dilaksanakan. Kedelapan, pada hemat kami, untuk menentukan jenis kegiatan apa saja yang dikenakan pajak atau dikenakan pungutan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP haruslah didasarkan pada undangundang atau paling rendah penetapannya dilakukan dengan peraturan pemerintah atas delegasi yang diberikan oleh undang-undang. Lihatlah norma Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang secara tegas menyebutkan bahwa jenis layanan atau kegiatan yang dikenakan pungutan PNBP diatur dengan Undang-Undang PNBP tersebut. Namun terhadap hal-hal yang belum diatur, diserahkan penetapannya kepada peraturan pemerintah yang kewenangan penerbitannya ada di tangan presiden. Inilah esensi dari sistem pemerintahan presidensial yang kita anut, presiden adalah penyelenggara dan penanggung jawab tertinggi pemerintahan negara, presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung pula kepada rakyat. Dalam hal menetapkan pajak dan pungutan PNBP, kewenangan seperti itu sepantasnya hanya ada presiden dan DPR melalui undang-undang atau paling tidak ada pada presiden melalui pemerintah … peraturan pemerintah. Kesembilan. Penyerahan kewenangan menetapkan jenis kegiatan hanya dengan peraturan menteri berdasarkan delegasi yang diberikan oleh undang-undang adalah menyalahi sistem bernegara menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Walaupun menurut Pasal 17 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, namun jangan dilupakan bahwa tugas menteri-menteri itu adalah membantu presiden, mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden, sehingga hanya bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR apalagi bertanggung jawab langsung kepada rakyat. 5
Karena itu, dalam hal menetapkan pajak dan PNBP, pengaturan seperti itu seharusnya ada di tingkat undang-undang atau paling rendah di tingkat peraturan pemerintah. Penyiapan dan pembahasan RUU didahului dengan kesepakatan seluruh jajaran pemerintah di bawah presiden, dibahas secara interdepartemental dengan melibatkan seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan nonkementerian, bahkan melibatkan pihak-pihak berkepentingan dalam masyarakat, kemudian dibahas lagi dengan wakil-wakil rakyat di DPR. Penyiapan RBP juga harus melibatkan seluruh kementerian dan lembaga pemerintahan nonkementerian, sehingga merupakan kesepakatan bersama semua jajaran pemerintahan di bawah presiden. Keputusan Menteri Keuangan hanyalah keputusan sebuah kementerian, namun isinya menimbulkan beban pajak yang harus dipikul oleh rakyat. Peraturan Menteri Keuangan ada kalanya memberikan pendelegasian kepada dirjen pajak untuk membuat peraturan menetapkan pengenaan pajak dan besarannya kepada jenis-jenis kegiatan tertentu dalam masyarakat. Dirjen pajak itu tidak lebih daripada seorang birokrat yang tidak sepantasnya diberi kewenangan begitu besar dalam membebani rakyat dalam sebuah negara hukum pihak demokratis. Kesepuluh. Kalau kewenangan menetapkan jenis kegiatan dan besaran pajak yang dikenakan oleh pemerintah pusat seperti di keterangan tadi dilaksanakan secara mutatis-mutandis ke daerahdaerah, maka akan semakin parah negara ini. Kewenangan menetapkan pajak daerah, retribusi daerah, dan penerimaan negara bukan pajak daerah yang biasa disebut dengan retribusi dan pungutan itu, harusnya dilakukan dengan peraturan daerah setelah mendapat persetujuan bersama antara gubernur atau bupati atau walikota dengan DPRD. Kalau hal-hal yang belum ditetapkan dalam perda itu, mutatismutandis disamakan antara pusat dan daerah, penetapannya diserahkan atau didelegasikan kepada gubernur, bupati, walikota, masih dapat diterima. Namun, apabila perda secara langsung mendelegasikannya kepada … mendelegasikannya kepada peraturan kepala Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) pegawai Eselon II di kabupaten itu menetapkan jenis-jenis pungutan pajak yang tidak diatur oleh undang-undang, maka siapa sebenarnya makhluk pejabat Eselon II yang bisa menetapkan pajak yang membebani rakyat di sebuah kabupaten itu? Dia bukan siapa-siapa, dia hanya seorang birokrat biasa. Dan ini mengerikan untuk dilaksanakan dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan ini akan mengacaukan sistem pemerintah daerah kita, disamping berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan. Oleh karena itu pada hemat kami, norma Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 undang-undang a quo sepanjang frasa dan jenis jasa lain selain jasa yang dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan norma Pasal 23 ayat (2) undang-undang a quo yang 6
menyatakan ketentuan lebih lanjut pada jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 2, diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan pantas untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan pendirian seperti ini, maka Menteri Keuangan tidak berwenang lagi untuk menerbitkan peraturan menteri untuk mengatur jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 undang-undang a quo. Pengaturan mengenai jasa lain haruslah dilakukan dengan undang-undang atau paling tidak dengan peraturan pemerintah. Cara seperti ini lebih sesuai dengan maksud Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa pajak dan pungutan yang membebani rakyat haruslah diatur dengan undang-undang, bukan diatur dengan peraturan Menteri Keuangan, apalagi peraturan dirjen pajak. Demikian keterangan kami, atas perhatian Yang Mulia kami ucapkan terima kasih. 14.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Selanjutnya, saya persilakan Prof. Philipus Hadjon.
15.
AHLI DARI PEMERINTAH: PHILIPUS M. HADJON Majelis Yang Mulia, pada kesempatan ini saya menyampaikan pendapat hukum menyangkut pendelegasian kewenangan dalam konteks Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Saya mengawali analisa saya dengan mengajukan 2 pertanyaan hukum. Yang pertama, apa ratio legis pendelegasian kewenangan dalam peraturan perundang-undangan, in casu pendelegasian undang-undang kepada peraturan menteri? Yang kedua, andaikata peraturan menteri supra bertentangan dengan undang-undang lain, apakah hal itu termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas pendelegasian tersebut? Titik tolak dari dua pertanyaan itu, maka saya mulai menganalisa pertanyaan pertama. Itu ratio legis, pendelegasian kewenangan. Ratio legis pendelegasian kewenangan dalam peraturan perundang-undangan adalah taat asas, khususnya kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Asas ini diatur dalam Pasal 5 butir c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ya, pertanyaannya kenapa perlu ada pendelegasian kewenangan? Pendelegasian kewenangan diperlukan karena norma undang-undang sifatnya umum, abstrak. 7
Oleh karena itu, hal-hal yang lebih konkret didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang hierarkis lebih rendah dan sesuai dengan lampiran dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu ada tiga bentuk pola pendelegasian. Yang pertama diatur dengan … itu kalau lihat pada lampiran butir 201. Kalau diatur dengan berarti apa? itu berarti tidak ada subdelegasi. Yang kedua, diatur dengan atau berdasarkan. Nah, ini dimungkinkan ada subdelegasi. Yang ketiga, diatur dalam. Ada beberapa delegasi yang diatur dalam satu bentuk peraturan perundang-undangan. Inilah ratio legis dari pendelegasian kewenangan. Jadi, kalau kita tidak menghendaki adanya pendelegasian kewenangan, hapuskanlah ya, hierarki peraturan perundang-undangan itu, sebab apa perlunya hierarki peraturan perundang-undangan karena kehadiran hierarki peraturan perundang-undangan itu melihat materi muatan. Halhal yang lebih konkret itu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sekarang pertanyaan kedua. Andaikata peraturan menteri supra bertentangan dengan undang-undang lain, apakah hal itu termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas pendelegasian tersebut? Ya, dalam hal ini persoalannya bukan konstitusionalitas pendelegasian, tetapi peraturan perundang-undangan delegasi tadi harusnya diuji dengan undang-undang lain yang kalau dinilai dia bertentangan. Dengan demikian, pengujian legalitas suatu peraturan perundangundangan yang didelegasikan oleh undang-undang harusnya diuji dengan undang-undang. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24A UndangUndang Dasar Tahun 1945 dan juga Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menegaskan, “Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.” Hingga kalau ada suatu peraturan menteri yang lahir dari delegasi in casu dan ada dugaan bahwa peraturan itu bertentangan dengan undang-undang lain, maka seyogianya persoalannya di sini bukan persoalan konstitusionalitas Pasal 23 Undang-Undang PPH, tapi persoalan legalitas peraturan perundang-undangan yang menerima delegasi tersebut. Demikianlah, Majelis Yang Mulia, pendapat saya mengenai pengujian Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sekian dan terima kasih. 16.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. Terima kasih. Selanjutnya saya persilakan, Prof. Gunadi.
8
17.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang Mulia Bapak Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan para Hakim Mahkamah Konstitusi, Bapak-Bapak para pejabat pemerintah, Bapak Pemohon atau yang mewakili, para Ahli, dan para Hadirin yang saya muliakan. Assalamualaikum wr. wb. Teori kedaulatan negara menyatakan bahwa tiap yurisdiksi bebas merumuskan undang pajaknya yang dianggap paling pas dengan situasi dan kondisi lingkungannya. Tidak ada batasan atas cakupan hak pemajakan suatu negara sepanjang mendapat tax connecting factor dengan subjek dan objek pajak dalam wilayah kedaulatannya, serta diatur dalam undang-undang. Yurisdiksi pajak Indonesia tersurat dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Undang-Undang Pajak mendasarkan pada beberapa kebijakan umum perpajakan yang dipublikasi oleh OECD. Yang pertama adalah netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak, keputusan bisnis seharusnya dimotivasi oleh pertimbangan ekonomi dan bukan pajak. Wajib pajak dengan kondisi atau melakukan bisnis sejenis harus kena pajak dengan level yang sama. Kedua, efisien yaitu biaya kepatuhan wajib pajak dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. Yang ketiga, kepastian dan kesederhanaan. Maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami, sehingga tidak ... tiap pihak dapat mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya termasuk mengetahui kapan, di mana, bagaimana, dan berapa pajak harus dibayar. Yang keempat, efektivitas dan kepantasan. Maksudnya ketentuan pemajakan harus memberikan jumlah penerimaan yang cukup dalam waktu yang tepat, potensi penghindaran dan penyelundupan pajak harus diminimalisir sesuai aturan pencegahan sebanding dengan risikonya. Dan yang kelima, fleksibilitas. Artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi, dan teknologi serta informasi. Pajak penghasilan dipungut berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Dipungut dengan undang-undang artinya adalah disetujui oleh wakil rakyat termasuk wakil oleh Pemohon uji materi agar selalu dinamis dan applicable. Undang-undang harus fleksibel, dapat disesuaikan dengan kegiatan ekonomi dan bisnis, hukum, akuntansi, teknologi informasi, dan administrasi pemerintahan yang berkembang terus, dinamis lalu berubah. 9
Kriteria dinamis dan fleksibel dapat menimbulkan hambatan pengaturan segala sesuatu secara rinci dan detail tentang pajak terhadap undang-undang yang memerlukan waktu mengubahnya biaya, sumber daya, dan proses politik. Ketentuan dalam Undang-Undang Pajak merupakan rumusan umum suatu aturan. Sebagai manusia biasa, para perumus tentu kurang dapat memprediksi apa yang akan terjadi dalam kehidupan ekonomi, sosial budaya, dan politik yang penuh perubahan dan perkembangan secara cepat dan kemudian hari, sehingga menyisakan celah pengaturan yang dapat dimanfaatkan para pemburu rente pajak dengan berbagai rekayasa transaksi, legal artifisial, dan akuntansi yang kurang sejalan dengan maksud dan tujuan undang-undang. Undang-undang yang sudah ditetapkan tidak dapat diubah dengan cepat menyesuaikan dinamika alamiah subjek pajak yang tidak pernah berhenti mengembangkan kegiatan ekonomi, sosial budaya yang akan selalu menimbulkan subjek, objek, hal ihwal, dan fenomena perpajakan baru. Untuk menjaga kepastian, fleksibilitas, dan kekinian hukum, efisiensi pengaturan dan keadilan perpajakan, maka norma yang diatur dalam undang-undang umumnya yang bersifat statis termasuk subjek, objek, tarif, sanksi, dan aturan pokok administrasi. Sedang prosedur dan tata cara, rincian, serta aturan pelaksanaan lebih lanjut yang bersifat tidak membebani rakyat agar fleksibel dan dinamis umumnya didelegasikan pada aturan di bawah undang-undang. Norma seperti subjek, objek, pemotong pajak, dasar pengenaan pajak, cara pungutan, dan pemotongan oleh pihak lain termasuk pemanfaat jasa, tarif pajak secara sanksi dan lainnya yang tercantum dalam undang-undang telah mendapat persetujuan dari rakyat termasuk para pemotong pajak oleh para wakilnya di DPR, sehingga telah memenuhi asas legalitas formal dan konstitusional, serta mengikat semua pihak karena dibentuk berdasar ketentuan yang lebih tinggi yaitu UndangUndang Dasar Tahun 1945 dan oleh lembaga yang berwenang, maka Undang-Undang Pajak Penghasilan telah memenuhi asas legalitas formal, prosedural, dan konstitusional, sehingga sah dan mempunyai daya laku. Substansi Undang-Undang Pajak, sifat norma hukum dalam PPh adalah heteronomi, artinya kewajiban membayar pajak datang dari negara dan dapat dapat dipaksakan, sehingga senang atau tidak senang mereka harus memenuhi kewajiban pajak. Bapak Para Hakim dan hadirin sekalian, kronologi uji materi yang diajukan Pemohon secara sepintas mungkin dapat kami sampaikan. Yang pertama karena menganggap jasa transhipment batubara dari tempat penimbunan ke kapal termasuk lingkup usaha perusahaan pelayaran internasional, maka atas pembayaran imbalan jasa transhipment kepada beberapa BUT yaitu wajib pajak luar negeri, Pemohon telah memotong PPh final berdasar ketentuan Pasal 15 mengenai pajak penghasilan 1994 juncto KMK 417 tahun 1996 sebesar 2,64%. 10
Kedua, sementara itu, KPP Madya Balikpapan berpendapat bahwa pembayaran itu tidak termasuk lingkup usaha perusahaan pelayaran internasional. Objek pajak penghasilan final Pasal 15, tetapi termasuk objek pajak tidak final dari jasa lain, objek potongan PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan. Berdasar pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pemajakan dalam bidang usaha tertentu seperti perusahan pelayaran internasional pajak 15 UndangUndang Pajak Penghasilan Tahun 1994 memberi kuasa penetapan kepada Menteri Keuangan, maka terbitlah KMK 417 Tahun 1996 dengan sistem PPh final atas peredaran bruto. Dengan maksud mengelaborasi istilah peredaran bruto, perusahaan pelayaran internasional Pasal 1 KMK 417 Tahun 1996 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah semua imbalan yang diterima atau diperoleh perusahaan pelayaran luar negeri dari pengangkutan barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. Bidang usaha Pemohon dan BUT pemberi jasa adalah transhipment batubara dari tempat penimbunan ke kapal pengangkut besar. Karena bukan mengangkut barang dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau ke pelabuhan di luar negeri sebagaimana dimaksud KMK 417 Tahun 1996 dengan merujuk Perdirjen Nomor 70 Tahun 2007, maka KPP Madya Balikpapan mengelompokkannya dalam jasa lain. Mungkin jasa penunjang di bidang penambangan yang menjadi objek pemotongan pajak penghasilan Pasal 23. tarif efektif PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPh Tahun 2000 atas jasa lain adalah 4,5%, sedangkan tarif PPh final Pasal 15 adalah 2,64%. Dalam Undang-Undang PPh 2008 tarif PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c turun menjadi 2%, lebih rendah dari tarif efektif lama sebesar 4,5% dan tarif PPh final Pasal 15 sebesar 2,64%. Pemohon juga mempermasalahkan ketidaksamaan pendefinisian istilah pelayaran dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan istilah perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional dalam penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan juncto PMK 417 Tahun 1996. Istilahnya saja berbeda yaitu perusahaan pelayaran internasional dalam rangka pajak penghasilan dan barang dalam rangka pelayaran dan tujuan pembuatan undang-undangnya pun juga berbeda, maka adalah wajar jika pengertiannya pun berbeda. Walaupun untuk simplifikasi menurut Thuronyi tidak ada salahnya merujuk pada istilah yang telah didefinisikan undang-undang lain, namun untuk tujuan pajak juga tidak ada keharusan mengikuti pendefinisian dalam undang-undang lain. Perbedaan demikian lumrah terjadi, misalnya definisi kendaraan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
11
Daerah dan Retribusi Daerah juga berbeda dengan definisi kendaraan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Darat. Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur pemotongan pendahuluan pajak atau professional withholding tax berdasar prinsip pay-as-you-earn, pemotongan pajak pada sumbernya yang dilakukan oleh penyedia penghasilan dengan cara mengurangkan pajak dari penghasilan dan menyetorkannya ke negara. Withholding tax merupakan sistem pemungutan pajak penghasilan yang paling efektif, aman, dan murah dan sebagai tulang punggung sistem pemungutan pajak di seluruh negara karena: 1. Mendorong kepatuhan. 2. Mempercepat penerimaan. 3. Mengurangi tunggakan dan ketidakmampuan bayar. 4. Mengurangi pekerjaan administrasi kantor pajak. 5. Mudah mengidentifikasi wajib pajak. 6. Mempermudah pemenuhan kewajiban pajak oleh wajib pajak. Sebagai potongan pajak atas penghasilan, penanggung beban pajak adalah penerima penghasilan yang menurut Pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dapat dikurangkan dari utang pajak penghasilan dalam SPT akhir tahun. Kalau tidak terjadi salah prosedur dan terdapat ketentuan, seharusnya potongan PPh Pasal 23 bukan jadi tanggungan atau beban dan kerugian pemotong pajak. Penerbitan SKPKB KPP Madya Balikpapan mungkin karena telah terjadi beda penafsiran ketentuan antara Pemohon dengan kantor pelayanan pajak. Solusi yang tersedia dalam Undang-Undang Perpajakan saat ini adalah pengajuan keberatan, permohonan banding ke pengadilan pajak, dan pengajuan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Sistem pemotongan dan pungutan pajak oleh pihak ketiga bersifat permintaan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan pemungutan pajak. Penegakan hukum penting agar Undang-Undang Perpajakan dipatuhi semua pihak, namun ke depan karena sifatnya adalah pembayaran pendahuluan pajak, si penerima penghasilan, maka jika mereka telah menyelesaikan kewajibannya dengan menyampaikan SPT yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas dan dibayar pajaknya dan dibayar pajak semestinya, hendaknya kebijakan penertiban SKPKB yang dibebankan pajak ganda dan high cost of taxation dihapus karena pendapatan negara juga tidak dirugikan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mendefinisikan penghasilan sebagai objek pajak secara luas dan komprehensif yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau didapat wajib pajak dari dalam maupun luar Indonesia yang dapat dikonsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apa pun termasuk imbalan berkenaan dengan jasa. Objek pajak merupakan unsur penting hukum pajak materiil dan 12
sebagai consensus sine qua non pungutan pajak bukan hanya dapat dipungut jika terdapat objek pajak. Objek pajak adalah segala sesuatu yang dengan undang-undang dapat dikenakan pajak. Objek yang dapat dikenakan pajak hampir tidak terbatas, tergantung pembuat undang-undang untuk menjaringnya sepanjang tidak melanggar kesusilaan dan kesopanan dalam masyarakat. Seberapa luas cakupan objek dan besaran tarif pajak penghasilan yang akan dipungut? Tergantung pada kebutuhan dana pemerintahan dan pembangunan, serta kebijakan anggaran pemerintah yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan konsep penghasilan komprehensif Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan pada prinsipnya imbalan dari semua jenis jasa dengan nama dan dalam bentuk apa pun dapat menjadi objek pemotongan. Sifat jenis penghasilan berbeda satu sama lain, misalnya penghasilan kapital berupa dividen, bunga, dan royalti, memerlukan biaya mendapatkan, memelihara, dan menagih relatif minimal, sedang penghasilan usaha biayanya besar. Karena itu agar jumlah potongan pajak mendekati tarif efektif, maka umumnya terdapat perbedaan tarif pemotongan antara penghasilan kapital dengan tarif yang lebih besar dibanding dengan penghasilan usaha dengan tarif lebih rendah. Karena metode dan teknik berbisnis amat dinamis, berkembang, dan berubah terus, maka tidak mudah menyebut semua jenis jasa satu per satu dan mencantumkannya dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dalam rangka menjaga komprehensivitas dengan rumusan sederhana tapi fleksibel, dapat disesuaikan jika diperlukan, maka dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan dipakai istilah jasa lain. Dan dari rumusan demikian juga dipakai Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nederland Tahun 1968. Pasal 4 undang-undang tersebut merumuskan istilah penyerahan semua jenis jasa kena pajak secara eksepsional dengan jasa adalah semua kegiatan dengan imbalan selain penyerahan barang sebagai dimaksud di atas. Untuk menjaga fleksibilitas jumlah jenisnya yang dapat diubah sewaktu-waktu sesuai perkembangan ekonomi dan bisnis, pengaturannya diserahkan kepada PMK yang dengan efisien dapat disesuaikan. Ketentuan operasional rincian jenis jasa lain yang menjadi objek PPh Pasal 23 sebesar 2% diatur dalam PMK 244 Tahun 2008. Untuk menghindari overlapping dengan ketentuan pemotongan lain, Pasal 1 PMK 244 Tahun 2008 mengecualikan jenis jasa yang telah menjadi objek PPh Pasal 21 walaupun ada rinciannya lima jenis jasa ya, Pasal 1 ayat (2) huruf f, huruf g, huruf h, huruf t, dan huruf v, namun berbeda dengan pendapat Pemohon yang menyebut bahwa istilah jasa lain mempunyai ruang lingkup terlalu luas, menurut saya justru PMK 244 Tahun 2008 tersebut membatasi jumlah jenis menjadi closed list, 13
sehingga memberikan kepercayaan hukum jenis jasa lain yang menjadi objek PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c hanya terbatas pada dua jenis jasa saja. Akibatnya imbalan jenis jasa lain selain yang tersebut dalam PMK 244 Tahun 2008 bebas dari potongan PPh Pasal 23. Sesuai dengan sistem self assessment, maka pengahasilan jenis jasa dimaksud harus dilaporkan wajib pajak dalam SPT tahunan dan PPh badan sebesar 25% disetor sendiri. Jika frasa jasa lain dihapus, maka akan membatasi objek pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa menjadi terbatas hanya pada empat jenis jasa yaitu jasa teknik, manajemen, konstruksi, dan jasa konsultan. Hal ini justru bertentangan dengan komprehensivitas konsep objek pajak Pasal 41 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan mempersempit cakupan objek withholding tax sebagai sarana pemungutan pajak paling handal dan efektif diterapkan di masyarakat yang umumnya kurang patuh hukum pajak. Memang secara teoretis dengan sistem self assessment, penciutan objek pemotongan PPh Pasal 23 tidak menghilangkan potensi pajak. Namun, rasanya sampai saat ini kepatuhan membayar pajak sendiri secara sukarela masih merupakan mitos ketimbang realitas, sehingga memerlukan perubahan mental pada kebanyakan pembayar pajak. Semoga tidak termasuk kita di sini. Karena itu, di dalam perpajakan saat ini muncul fenomena base erosion profit shifting yaitu penggeseran penghasilan kena pajak dari negara tempat aktivitas perolehannya ke negara lain yang menyediakan tax benefits, sehingga beberapa parlemen meragukan moralitas para pihak dalam membayar pajak yang adil. Bapak Ketua Mahkamah, para Hakim dan hadirin yang kami hormati, penjelasan Pasal 31 huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa salah satu prinsip dalam Undang-Undang Perpajakan adalah tidak pekanya perlakuan yang sama terhadap semua wajib pajak atau kasus-kasus perpajakan yang hakikatnya sama. Berdasarkan prinsip nondiskriminasi tersebut, semua pengusaha sejenis dengan kondisi yang sama dikenakan pajak secara adil dan pasti. Yang meliputi kepastian jumlah utang pajak dan beban atau pengaruh pajak atas suatu transaksi. Kepastian hukum dalam perpajakan menurut Adam Smith merujuk pada kepastian tentang. 1. Pajak yang harus dibayar jumlahnya pasti. 2. Siapa pembayarnya. 3. Kapan harus dibayar. 4. Ke mana harus dibayar. Sementara itu, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa legal certainty pajak terpenuhi jika sekurang-kurangnya. 1. Unsur-unsur perhitungan objek kena pajak. 2. Tarif pajak dimuat dalam undang-undang. Selama terdapat objeknya, sudah pasti dan jelas besarannya yang akan dipungut dan harus dibayar merata oleh semua perusahaan bidang 14
usaha transhipment dan jelas berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, sehingga dengan demikian tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Melalui PMK 244 Tahun 2008, Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan membatasi dan memberikan kepastian hukum pemungutan pajak penghasilan atas jasa lain, hanya terbatas pada beberapa jenis yang tersebut dalam PMK. Dengan demikian, nampak bahwa Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan sudah sepenuhnya memenuhi kriteria kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebut bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Perbedaan karakterisasi penghasilan jasa transhipment batubara yang diterima beberapa BUT yang menurut Pemohon merupakan usaha perusahaan-perusahaan luar negeri, sedang ditjen pajak menganggap bukan dengan alasan hanya memindahkan batubara dari stock pile ke kapal pengangkut. Karena tidak termasuk dalam cakupan usaha perusahaan pelayaran luar negeri yaitu mengangkut batubara antarpelabuhan di Indonesia atau ke luar negeri, maka imbalan jasa transhipment tidak berhak dikenakan PPh final Pasal 15 sebesar 2,64%, tetapi merupakan objek, potongan pajak, Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan. Semua imbalan jasa pengangkutan selain antarpelabuhan di Indonesia dan/atau keluar negeri yang diterima itu merupakan objek potongan PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c sebesar 2% yang dapat dikreditkan pada pajak penghasilan terutang dalam SPT. Karena semua perusahaan pemberi jasa transhipment kena pemotongan pajak pada sumbernya, maka tidak ada diskriminasi pemajakan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c juncto Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Nampaknya perkara ini merupakan sengketa aplikasi UndangUndang Pajak Penghasilan. Apakah jasa transhipment oleh BUT termasuk dalam lingkup usaha perusahaan pelayaran internasional, sehingga penghasilan kena pajak final Pasal 15 sebesar 2,64% atau tidak dan karenanya dikenakan PPh global dengan tarif Pasal 17B UndangUndang Pajak Penghasilan. Sesuai dengan definisi implisit dalam KMK 41 Tahun 1996, perusahaan jasa transhipment tampak tidak termasuk lingkup usaha perusahaan pelayaran luar negeri karena tidak melakukan pengangkutan barang antarpelabuhan di Indonesia atau keluar negeri. Kecuali jika jasa transhipment ke kapal yang berlayar antarpelabuhan di Indonesia atau keluar negeri dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari usaha pelayaran dimaksud, sehingga termasuk dalam pengertian peredaran bruto, perusahaan pelayaran internasional 15
menurut KMK 417 Tahun 1996 dan karenanya berhak atas PPh final sebesar 2,46%. Bapak Hakim Majelis Konstitusi yang kami hormati dan menurut pendapat saya bahwa solusi demikian seharusnya dapat diberikan oleh dirjen pajak atas nama Menteri Keuangan atau pengadilan pajak atau Mahkamah Agung. Sekian. Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. 18.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Pemohon, apakah ada pertanyaan untuk Ahli?
19.
KUASA HUKUM PEMOHON: MARULAM J. HUTAURUK Baik, terima kasih, Majelis Hakim. Saya ada 1 atau 2 pertanyaan, mungkin nanti akan dilanjutkan kepada yang lain. Saya ... boleh langsung saya tujukan kepada Ahli yang mana? Baik. Saya ada pertanyaan kepada Prof. Gunadi. Tadi disampaikan mengenai fleksibilitas dan juga mengenai kepastian hukum. Beberapa ... sidang yang kemarin, kami juga mendengar dari ahli bahwa asas dari pajak adalah kepastian hukum. Menurut Profesor Gunadi, mana yang mesti didahulukan mengenai fleksibilitas dengan kepastian hukum dalam pajak? Mengingat Pemohon ini adalah pelayaran ... usahanya adalah pelayaran dan tidak bisa melakukan jenis usaha yang lain. Kemudian kaitannya dengan penjelasan dari Pasal 15 undangundang a quo, Prof, disampaikan bahwa dinyatakan di sini ketentuan ini mengatur tentang norma penghitungan khusus untuk golongan wajib pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran. Jelas di situ disampaikan di Pasal 15. Menurut Profesor, mana yang harus didahulukan, fleksibilitas atau kepastian hukum dikaitkan dengan sudah begitu jelas dinyatakan bahwa ini di Pasal 15? Terima kasih.
20.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan.
21.
KUASA HUKUM PEMOHON: DENNY KAILIMANG Saya tujukan kepada Ahli, Profesor Gunadi. Saya mau … ingin tanya, dalam menentukan objek pajak, apakah undang-undang atau … yang sifatnya tadi memaksa objek pajak tersebut, apakah undangundang atau peraturan menteri? Itu yang pertama. Untuk Profesor Hadjon, Ahli, saya mau menanyakan mengenai hierarki perundang-undangan, ya. Apabila hierarki itu yang diturunkan, apakah bisa bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya di 16
dalam menentukan atau memberikan suatu kewenangan? Seperti tadi dikatakan bahwa mengenai pajak dan pungutan adalah diatur berdasarkan undang-undang. Jadi, seandainya ada suatu objek pajak, siapa yang harus menentukan? Apakah undang-undang atau kalau suatu undang-undang yang menyatakan suatu hierarkinya untuk menetapkan suatu objek pajak ditentukan oleh peraturan menteri. Ini menurut hierarkinya bagaimana? Terima kasih. 22.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, silakan.
23.
KUASA HUKUM PEMOHON: SABARUDDIN YASIN Tambahan. Pak Prof. Gunadi ya, Pak Prof. Gunadi, kita pertanyakan, tadi secara sepintas saya mendengar bahwa setiap usaha sejenis harus memberikan moto anu ... pajak secara adil dan pasti. Sederhananya begini, Pak, Pemohon itu kan, perusahaan pelayaran, ya perusahaan pelayaran, dia dipungut berdasarkan Pasal 15. Sementara perusahaan pelayaran luar negeri juga pelayaran, tapi kok, harus dipotong sesuai dengan Pasal 23 itu, dengan ... dengan karena ada kata jasa lain, padahal itu kan, sejenis, Pak Prof. Saya bisa buktikan ... kita sudah ajukan bukti bahwa bukti pembayaran pajak kita PT Cotrans yang mempergunakan kapal itu untuk mengang ... me-transhipment batubara PT. Kideco Jaya Agung itu dikenakan Pasal 15. Nah, selanjutnya perusahaan jasa pelayaran itu luar negeri kalau kita baca, itu semestinya juga tidak ada diskriminasi, kan? Nah, ini kita ... saya bacakan saja, Pak, ini ada Pasal 15. Penjelasan Pasal 15 ini sudah jelas, ketentuan ini mengatur tentang norma perhitungan khusus untuk golongan wajib pajak tertentu antara lain perusahaan pel ... pelayaran atau penerbangan internasional, sudah termasuk kesemuanya di situ, Pak. Jadi, itu bahasanya kalau secara adil dan pasti, itu sudah pastinya menurut kami, pemahaman kami, Pak, ya, mohon maaf, itu sudah sangat bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) undang-undang ... ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan juga Pasal 28 ayat (1) karena tidak ada kepastian hukum dan ada diskriminasi di sana. Buktinya, kami sudah ajukan dengan kode bukti P-18 terus P-9A, P-9B itu yang menyangkut bahwa perusahaan pelayaran tadi itu yang dibilang secara adil dan pasti dan tidak ada ... harus tidak ada diskriminasi, itu pasal ... buktinya P-9A dan P-9B. Begitu, Pak Prof. Begitu, Pak Ketua Majelis Yang Mulia.
17
24.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Pemohon … anu … Pemerintah, ada pertanyaan? Ya, sekaligus, ya.
25.
PEMERINTAH: DIDIK HARIANTO Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah sementara cukup dulu.
26.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup, ya. Baik, silakan Ahli. Prof. Gunadi dulu yang paling banyak.
27.
AHLI DARI PEMERINTAH: GUNADI Terima kasih, Bapak Ketua Majelis. Yang pertama, ingin kami sampaikan, Pak, objek pajak itu ada di (suara tidak terdengar jelas) pajak penghasilan. Objek pajaknya itu adalah penghasilan yaitu tambahan kemampuan ekonomis. Di sana kan, dinyatakan bahwa itu dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Jadi, sebenarnya komprehensif luas. Jadi, huruf A sampai P itu hanya contoh-contoh saja, masih ada yang belum termasuk di situ. Termasuk juga dari … apa … jasa, imbalan jasa, kan. Jasa itu masalahnya bahwa kan, tidak mungkin kita itu satu per satu jenis jasa dicantumkan di undang-undang. Oleh karena itu, pendekatan yang diambil adalah dengan tadi yang … apa … yang empat itu dicantumkan dan yang lainnya itu dianggap sebagai jasa lain itu, Pak. Jasa lain itu pun saya kira ndak semuanya juga karena dalam PMK 47 itu kan … eh … PMK 24 itu kan, dibatasi juga. Jadi … apa … itu rinciannya itu karena sifat dinamis tadi. Di Undang-Undang Pajak ini kan, anytime ada karena metode dari bisnis … apa … kemudian kegiatan ekonomi, itu kan, berubah terus dan setiap saat subjek pajak itu akan improvisasi atau (suara tidak terdengar jelas) dengan jenis-jenis yang tadi. Jadi, kalau … apa … dimasukkan semuanya, nanti mohon maaf, Pak, ya, jadi pajak ini kan, umumnya nanti juga akan berpotensi menjadi … apa … tadi terdapat … apa … suatu celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang ingin mencari (suara tidak terdengar jelas) pajak, gitu. Ini yang kadang-kadang harus di … apa … harus diwaspadai dan di … apa … disikapi, ya. Kemudian, kalau dipertentangkan antara tadi yang hukum dengan efektivitas, tentu ini dua-duanya penting, Pak. Dua-duanya penting juga. Jadi, ya kelihatannya lebih menonjol kepastian hukumnya karena misalnya fleksibilitas itu toh kita juga di PMK itu ndak … ndak terlalu 18
fleksibel juga karena juga terbatas juga untuk menginventarisir jenis jasanya. Kalau itu tidak diatur dalam peraturan pajaknya, kan tidak bisa dipajakin … apa … aplikasinya itu. Jadi misalnya gini, kita kembali kepada undang-undang. Jadi, di sana dinyatakan misalnya penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Ini kan, jadi susah di lapangan nanti. Bahwa pengoperasiannya bagaimana, kan sulit untuk melaksanakan. Jadi, kantor pajak ini kira-kira apa kira-kira yang dimaksud dengan itu harus ada satu itemizeditemized, gitu ya. Tentu ini dibutuhkan suatu pendelegasian kepada peraturan yang bisa fleksibel tadi, sehingga dengan demikian bahwa peraturan pajak ini walaupun ketinggalan zaman, tapi ndak terlalu ketinggalan dengan perkembangan bisnis gitu, ya. Ini kadang-kadang harus kita jaga dalam suatu pembuatan undang-undang. Ini suatu kebiasaan yang berlaku di internasional karena ini dari OECD begitu. Kemudian dari pengertian teoretis, tentu seperti Bapak sampaikan kalau misalnya jadi perusahaan transhipment, transhipment itu kan, sebenarnya dia di PMK 417 itu kan, harus ada tujuan pelayarannya gitu, Pak. Transhipment ini kan, belum menuju ke sana. Ini sebetulnya netralitas itu tergantung pada masing-masing … apa ... di kantor pelayanan pajak. Mungkin nanti saya minta bantuan dari teman dari kantor pajak apa mungkin di lapangan ada perbedaan perlakuan antarKPP itu, itu kan kadang-kadang sering terjadi, Pak, dalam praktiknya. Kalau antar KPP ini adalah tugas teman-teman dari kantor pajak untuk melaksanakan dengan suatu petunjuk penegasan bahwa jangan sampai terjadi suatu perbedaan perlakuan. Nah, ini di dalam praktik, Pak, ya. Kemudian di Pasal 15, Pak, ini kembali ke Pasal 15. Pasal 15 ini kan, memakai pendekatan … apa ... (suara tidak terdengar jelas) final yang dihitung atas peredaran bruto. Pada peraturan yang sekarang ada, yaitu PMK 417 itu yang ada hanyalah penerimaan dari pengangkutan barang antarpulau, gitu, Pak. Yang transhipment itu di situ enggak dicantumkan, gitu. Ini kan, menyangkut suatu penafsiran, apakah transhipment merupakan bagian dari pelayaran atau bukan? Gitu. Nah, ini ya, terus terang karena saya tidak menjadi eksekutif ini ya, terserah kepada yang teman-teman di pajak, gitu, Pak. Tapi peraturan yang ada sekarang begitu, Pak, ya. Saya kira demikian, Pak yang dapat saya sampaikan, terima kasih. 28.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Dari Ahli yang lain ada tambahan? Prof. Hadjon?
29.
AHLI DARI PEMERINTAH: PHILIPUS M. HADJON Ya, terima kasih. Berkaitan dengan hierarki, ketentuan hierarki melahirkan asas preferensi lex superior, lengkapnya lex superior derogat 19
legi inferiori. Dengan demikian, jelas bahwa ada peraturan perundangundangan yang lebih rendah mengalah terhadap peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Tadi sudah saya jelaskan dalam konteks ini kalau peraturan perundang-undangan delegasi ini casu yaitu PMK bertentangan dengan undang-undang, maka inti persoalannya adalah legalitas bukan konstitusionalitas, sehingga seyogianya PMK tersebut dengan undang-undang yang dikatakan bahwa dia bertentangan. Jadi, bukan ... harus kita tegas di sini perbedaannya jelas antara persoalan legalitas dan persoalan konstitusionalitas. Yang kedua. Pajak diatur dengan undang-undang. Apa ratio legisnya? Ratio legisnya bahwa pungutan pajak itu merampas hak asasi, in casu adalah hak milik. Hak milik awalnya adalah hak kodrat, hak melekat sebagai bawaan makhluk ciptaan Tuhan. Bolehkah hak itu dirampas? Tidak boleh dirampas, tapi dalam hidup bernegara pungutan pajak yang hakikatnya adalah perampasan hak kodrat dibolehkan, tapi dengan satu konstruksi hukum: persetujuan rakyat. Instrumen hukum persetujuan rakyat hukum Romawi adalah lex, hukum Belanda adalah (suara tidak terdengar jelas), hukum kita adalah undang-undang. Jadi, pajak dipungut dengan undang-undang itu adalah manifestasi bahwa pajak dipungut atas persetujuan rakyat, itu sudah jelas. Tapi persoalannya sekarang seperti contoh Pasal 23 ayat (2), ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain itu harus kita bedakan dengan ketentuan pungutan pajak. Bayangkan kalau tiap jasa lain itu harus diatur dengan undang-undang, berapa undang-undang yang harus kita buat? Ini persoalan teknis perundang-undangan, sehingga ada delegasi perundang-undangan. Ya, kembali lagi, apa ratio legis dari delegasi peraturan perundang-undangan tadi. Sekian dan terima kasih, Majelis. 30.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Prof. Yusril, ada tambahan? Sudah cukup?
31.
AHLI DARI PEMOHON: YUSRIL IHZA MAHENDRA Hierarki peraturan perundang-undangan itu ada dalam semua legal sistem, hukum Islam pun mengenal ada hierarki Alquran, hadis, ijma, qiyas, dan sebagainya. Persoalannya adalah kemudian apakah pendelegasian dari status hierarki yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah itu bisa mengatur materi muatan yang sama atau tidak? Bahwa pembentukan lembaga negara itu hanya dapat dilakukan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, ada DPR, ada MPR, ada DPD. Bisakah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mendelegasikan kepada undang-undang, pembentukan sebuah lembaga negara? Menurut saya tidak. Lebih detail tentang lembaga negara yang disebutkan oleh 20
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu bisa diatur lebih lanjut dengan undang-undang, tapi bukan mendelegasikan membentuk undangundang. Persoalannya sekarang di dalam Pasal 23 ini, undang-undang mengatakan jenis-jenis yang dikenakan pajak adalah pelayanan, misalnya jasa katering, jasa pijat, jasa urut. Lebihnya diserahkan kepada peraturan menteri. Peraturan menteri mengatakan jasa semir sepatu, jasa pasang tenda, pesta. Itu kan, materi pengaturannya itu sama. Apa bedanya jasa semir sepatu dengan jasa cuci pakaian? Kan, setingkat? Jadi, pendelegasian hierarki itu tidak bisa memberikan pengaturan pada materi muatan yang setingkat, yang lebih rendah. Makanya UndangUndang Dasar Tahun 1945 mengatakan bahwa presiden mengeluarkan atau menerbitkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya. Bukan berarti norma yang harus diatur dengan undang-undang bisa diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah harus menjalankan norma undang-undang sebagaimana mestinya. Itu tambahan keterangan saya. 32.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Apakah Pemohon masih ada ahli atau saksi yang akan diajukan? Cukup, ya. Pemerintah?
33.
PEMERINTAH: DIDIK HARIANTO Terima kasih, Yang Mulia. mengajukan ahli tiga orang ahli.
Dari
Pemerintah
masih
akan
21
34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tiga lagi, ya? Ya, baik. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 4 November 2014, pukul 14.00 WIB, untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemerintah tiga orang dan DPR kalau datang karena DPR belum memberikan keterangan. Dengan demikian sidang ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.20 WIB Jakarta, 23 Oktober 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
22