MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 118/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 125/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 126/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 127/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 129/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 130/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 135/PUU-XII/2014 PERIHAL PENGUJIAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DAN PENGUJIAN PERPPU NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON (IV)
JAKARTA KAMIS, 8 JANUARI 2015
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 118, 119, 125, 126, 127, 129, 130, DAN 135/PUU-XII/2014 PERIHAL
Pengujian Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota [Pasal 1 angka 8, angka 9, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota [Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (3), Pasal 157 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, dan Pasal 168 ayat (2) huruf c] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota [Pasal 203 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Victor Santoso Tandiasa, Denny Rudini, Bayu Segara, Kurniawan (Perkara Nomor 118/PUU-XII/2014) Yanda Zaihifni Ishak, Heriyanto, Ramdansyah (Perkara Nomor 119/PUU-XII/2014) Edward Dewaruci dan Doni Istyanto Hari Mahdi (Perkara Nomor 125 dan 126/PUU-XII/2014) Didi Supriyanto dan Abd. Khaliq Ahmad (Perkara Nomor 127/PUU-XII/2014) Moch. Syaiful (Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014) Yanni (Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014) Habib Muhsin Ahmad Alatas (Perkara Nomor 135/PUU-XII/2014)
ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (IV) Kamis, 8 Januari 2014, Pukul 11.15 – 12.50 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Arief Hidayat Aswanto Maria Farida Indrati Muhammad Alim Wahiduddin Adams Patrialis Akbar I Dewa Gede Palguna Suhartoyo
Hani Adhani Ery Satria Pamungkas Fadzlun Budi SN Cholidin Nasir Wiwik Budi Wasito Rizki Amalia
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 118/PUU-XII/2014: 1. Kurniawan 2. Saifudin
3. Victor santoso Tandiasa
B. Pemohon Perkara Nomor 119/PUU-XII/2014: 1. Yanda Zaihifni Ishak 2. Heriyanto 3. Ramdansyah C. Ahli dari Perkara Nomor 119/PUU-XII/2014: 1. Suparji D. Pemohon Perkara Nomor 125, 126/PUU-XII/2014: 1. Doni Istyanto Hari Mahdi 2. Edward Dewaruci E. Pemohon Perkara Nomor 127/PUU-XII/2014: 1. Didi Supriyanto F. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 127/PUU-XII/2014: 1. Irman Putra Sidin G. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014: 1. Muhammad Sholeh H. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014: 1. Syahrul Arubusman 2. Dedy C. I.
Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014: 1. Andi Muhammad Asrun
J.
Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 135/PUU-XII/2014: 1. Fazri Apriliansyah
ii
K. Pemerintah: 1. Mualimin Abdi 2. Nasrudin 3. Budijono 4. Violita 5. W. Chandra K.
iii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.15 WIB 1.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor 118, 119, 125, 126, 127, 129, 130, dan 135/PUU-XII/2014 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Sebelum saya mulai, Para Pemohon saya tanya yang hadir. Pemohon 118, hadir?
2.
PEMOHON PERKARA NOMOR 118/PUU-XII/2014: SAIFUDIN Assalamualaikum wr. wb. Hadir semua, Yang Mulia. Lengkap.
3.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Semua dengan Prinsipalnya?
4.
PEMOHON PERKARA NOMOR 118/PUU-XII/2014: SAIFUDIN Ya, Prinsipal.
5.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. 119?
6.
PEMOHON PERKARA ZAIHIFNI ISHAK
NOMOR
119/PUU-XII/2014:
YANDA
Hadir, Yang Mulia. 7.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. 125?
8.
PEMOHON PERKARA NOMOR 125/PUU-XII/2014 126/PUU-XII/2014: EDWARD DEWARUCI
DAN
Hadir, Yang Mulia.
1
9.
KETUA: ARIEF HIDAYAT 126?
10.
PEMOHON PERKARA NOMOR 125/PUU-XII/2014 126/PUU-XII/2014: EDWARD DEWARUCI
DAN
Sama. 11.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sama, ya. 127?
12.
PEMOHON PERKARA SUPRIYANTO
NOMOR
127/PUU-XII/2014:
DIDI
Hadir semua Prinsipal. 13.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, baik. 129?
14.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: MUHAMMAD SHOLEH
NOMOR
129/PUU-
NOMOR
130/PUU-
Hadir, Yang Mulia. 15.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. 130?
16.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: SYAHRUL ARUBUSMAN
Terima kasih, Yang Mulia. Hadir, Yang Mulia. Berikut Prinsipal dan Ahlinya, Yang Mulia. Terima kasih. 17.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Terus tambahan ada perkara yang sama, yang masuk terakhir, 135?
2
18.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: FAZRI APRILLIANSYAH
NOMOR
135/PUU-
Hadir, Yang Mulia. 19.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Yang mewakili Presiden dari pihak Pemerintah yang hadir?
20.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Hadir, Yang Mulia. Lengkap.
21.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Lengkap. Terima kasih, Pak Mualimin. Pada kesempatan agenda pada pagi hari ini, baru 3 Pemohon yang menghadirkan Ahli, 3 orang. Pemohon 119 menghadirkan Ahli Dr. Suparji sudah hadir, ya? Baik. Kemudian, untuk Pemohon 130 menghadirkan Ahli Dr. Asrun, hadir. Kemudian, Ahli 127 Pak Dr. Irman Putra Sidin, hadir. Untuk yang selebihnya, belum menghadirkan Ahli atau ada (…)
22.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: MUHAMMAD SHOLEH
NOMOR
129/PUU-
Yang Mulia. Sebelum dilanjutkan ke Ahli, kebetulan persidangan sebelumnya sudah ditentukan bahwa Pemerintah berkewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan, baik itu dari Pemohon maupun pertanyaan dari salah satu Hakim Anggota. 23.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
24.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: MUHAMMAD SHOLEH
NOMOR
129/PUU-
Dan waktu itu ditentukan tanggal 30 maksimal, tapi nyatanya sampai tanggal 6 Januari, itu belum ada. Kemarin pun kita mendapatkan jawaban Pemerintah, yang dijawab hanya pertanyaan dari Hakim Anggota. Pertanyaan berkaitan dengan permohonan kami, sama sekali tidak dijawab. Sudah kita jelaskan di awal bahwa kita tidak mempersoalkan prosedur keluarnya Perppu, tetapi ada sekitar 5 pasal yang kita gugat, yang sama sekali tidak dijawab, itu satu, Yang Mulia. 3
Yang kedua, di dalam jawaban Pemerintah yang kita dapat dari Panitera, itu pun tidak ada atas nama siapa yang membuat, hanya kosong begitu saja. Padahal ini kan kementerian, apakah ini doktor atau profesor. Jangan-jangan satpam yang bikin? Sehingga kelupaan permohonan kita pun, satu pasal pun tidak ada yang dijawab (...) 25.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, baik.
26.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: MUHAMMAD SHOLEH
NOMOR
129/PUU-
Mohon ini diselesaikan, Yang Mulia. Terima kasih. 27.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kepada Pemerintah … karena begini, ada tambahan baru Permohonan Nomor 135 dan itu pun perbaikan permohonannya sudah dikiri … baru dikirim kepada Pemerintah, sehingga Pemerintah menyampaikan supaya bisa menjawab sekalian dengan perbaikan … apa namanya … dengan permohonan yang 135 baru. Jadi untuk itu, nanti Pemerintah, ya, Pak Mualimin dan kawankawan supaya permintaan jawaban dari Pemohon yang disampaikan dan juga permohonan baru yang 135 dilengkapi dan segera disampaikan kepada Kepaniteraan, ya. Waktunya kira-kira karena masih proses, waktunya bisa dalam waktu 3 hari, ada kesempatan 3 hari ke depan. Jadi, tanggal … Senin, ya, besok Senin jawaban yang diminta Pemohon dan tambahan untuk Perkara 135. Karena sama substansinya, tapi berkenaan dengan pasal-pasal yang lain, yang berbeda dengan permohonan yang sebelumnya, juga harus dijawab secara lengkap, ya. Bersedia, ya?
28.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Baik, Yang Mulia.
29.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pemerintah?
30.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih.
4
31.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, kita tunggu di Kepaniteraan hari Senin.
32.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Terima kasih, Yang Mulia.
33.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, pukul 12.00. Terima kasih, Pemerintah. Begitu, ya?
34.
PEMOHON PERKARA SUPRIYANTO
NOMOR
127/PUU-XII/2014:
DIDI
Yang Mulia, ada tambahan, Yang Mulia. 35.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, Pak Didi?
36.
PEMOHON PERKARA SUPRIYANTO
NOMOR
127/PUU-XII/2014:
DIDI
Sesuai apa yang sudah kami sampaikan, ada 3 kali surat. Kami mohon adanya percepatan sidang untuk perkara Perppu ini. Sementara kami melihat dalam perjalanannya, selalu ada tambahan dari PemohonPemohon yang baru. Pada saat itu, kami sudah sidang sampai ke nomor akhir 129. Nah, masuk 130 sudah masuk di dalam persidangan yang diawali oleh Pemohon yang lain yang pertama. Hari ini masuk lagi 135, sehingga kami mohon ketegasan, apakah ini tidak dibatasi, sehingga kalau nanti ada lagi, masuk lagi, dan digabungkan dengan kami, dan akhirnya ini akan berlarut-larut, gitu. Terima kasih, Yang Mulia. 37.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik. Kita putuskan sudah tidak ada tambahan lagi. Kalau masih ada tambahan lagi, akan kita periksa tersendiri ,ya. Itu sudah kita putuskan karena yang 135 itu masih … apa namanya … berkenaan juga dengan pasal-pasal yang terkait dengan permohonan lain, maka pada waktu itu, Majelis memutuskan untuk menggabungkan. Tapi, kalau misalnya nanti ada perkara baru, kita akan … apa namanya … persidangan tersendiri. Ya gitu, Pak, ya.
5
38.
PEMOHON PERKARA SUPRIYANTO
NOMOR
127/PUU-XII/2014:
DIDI
Terima kasih, Yang Mulia. 39.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Baik, sekarang (…)
40.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Yang Mulia. Sedikit, Yang Mulia. Pemerintah, Yang Mulia.
41.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, ya.
42.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Karena ini merespons dari Pemohon yang barusan disampaikan yang terkait dengan jawaban Pemerintah atas pertanyaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Pak Patrialis Akbar. Jadi, memang mungkin yang diterima oleh Pemohon memang kosong, tapi pada dasarnya jawaban ini diantar dengan surat resmi, mungkin tidak dikopikan surat resminya.
43.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik.
44.
PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Jadi, memang ada pengantarnya, Pak. Jadi mungkin Bapak difotokopikan yang tidak ada pengantarnya. Jadi, kami kalau hal-hal demikian, pasti ada surat resminya, Pak. Jadi karena ini diinformasikan, kami perlu klarifikasi, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia.
45.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pemerintah. Jadi Pemohon, saya kira tidak perlu direaksi, bukan dibuat oleh satpam ya. Resmi itu jawabannya, ya. Jangan … anu … jangan menganggap bahwa itu yang dibuat oleh satpam. Jangan terlalu hiperbolalah. Masa satpam bisa membuat kayak begitu? Itu dijawab secara lugas oleh Pemerintah sudah.
6
46.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Mohon izin, Yang Mulia. Dari Perkara 119.
47.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya.
48.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Ini juga terkait dengan keterangan Pemerintah, 119 itu bukan hanya mempermasalahkan masalah formal, tapi juga mempermasalahkan materiil. Sedangkan di (…)
49.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, enggak masalah kalau begitu. Saya potong, ya.
50.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Artinya begini, Yang Mulia.
51.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya potong saja, saya sudah tahu maksudnya.
52.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Ya, di sidang yang lalu sudah dikatakan deadline tanggal 30, sampai tanggal 30 itu juga tidak diserahkan. Mohon Yang Mulia mempertimbangkan keterangan (suara tidak terdengar jelas) (…)
53.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Nanti Hakim akan mempertimbangkan itu, ya. Kalau jawabannya Pemerintah itu jawabannya hanya begitu, menurut Hakim yang lain itu lain, kan itu malah menguntungkan Pemohon, enggak udah dipermasalahkan. Enggak usah minta lengkap jawaban Pemohon, kan gitu.
54.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Baik, Yang Mulia. Terima kasih.
7
55.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Jadi enggak usah diperpanjang itu. Saya kira apa pun jawaban Pemerintah, ya itu jawabannya. Tapi, ini masih kita minta untuk melengkapi sampai hari Senin. Kalau itu, kan sebetulnya memang begitu, melemahkan jawaban Pemerintah sendiri kan. Berarti menguntungkan Pemohon, kenapa kok minta dilengkapi? Pemohon malah jadi salah nanti malah (...)
56.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Baik, Yang Mulia. Terima kasih.
57.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, terima kasih. Baik, sekarang kita persilakan para Ahli, Pak Dr. Suparji, Pak Dr. Asrun, dan Pak Dr. Irman Putra Sidin. Ketiganya untuk maju ke depan diambil sumpahnya. Ini ketiganya seorang Muslim, agar bisa diambil sumpah sekaligus. Kami mohon Yang Mulia Pak Muhammad Alim untuk mengambil sumpah.
58.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Saya … kita mulai. Ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.”
59.
AHLI BERAGAMA ISLAM: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli, akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.
60.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
61.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, kembali ke tempat. Terima kasih, Rohaniwan. Sesuai dengan urutan permohonan, maka yang akan memberikan keterangan saya mulai dari Dr. Suparji dulu. Saya persilakan di mimbar. Waktunya karena sudah masuk secara tertulis, mohon bisa diberikan highlightnya, waktunya maksimal 15 menit ya. 8
62.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: SUPARJI Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, Para Pemohon, Termohon, para Ahli, dan para hadirin sekalian yang dimuliakan. Pertama-tama, perkenalkan saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Majelis yang telah memperkenankan saya untuk menyampaikan pendapat tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Sehubungan dengan pengujian tersebut, perkenankan saya menyampaikan keterangan sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana yang telah saya pelajari. Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Bahwa reformasi telah mengantarkan Negara Indonesia menjadi negara yang memiliki peradaban modern. Salah satu tandanya adalah mampu menyelaraskan nilai-nilai demokrasi yang bersumber pada kekuatan politik kuantitaif berlandaskan prinsip negara hukum. Perbedaan tafsir terhadap suatu undang-undang, penyelesaian tidak lagi didasarkan kekuasaan dan kekuatan politik, melainkan diselesaikan dengan prinsip demokrasi dan nomokrasi. Pilkada secara demokratis merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan peradaban modern. Pilkada merupakan bagian yang sangat penting dalam membangun sistem politik yang demokratis. Kekuasaan yang pada dasarnya milik dan berada di tangan rakyat, melalui pilkada diamanatkan kepada seorang kepala daerah. Melalui pilkada terjadi legitimasi kekuasaan kepala daerah, sehingga tidak berlebihan jika kemudian pilkada merupakan akad kontrak sosial antara rakyat dengan kepala daerah secara demokratis. Secara konstitusional, dinyatakan pada Pasal 18 ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Rumusan pasal tersebut menunjukkan bahwa prinsip dasarnya adalah kepala daerah dipilih secara demokratis, sehingga apakah kepala daerah dipilih langsung atau tidak langsung akan diatur dengan suatu undang-undang. Sebagai tindak lanjut amanat konstitusi tersebut, lahirlah UndangUndang Nomor 22 Tahun 2014 yang kemudian mendapatkan penolakan yang cukup luas oleh rakyat. Mengacu pada pendapat Hans Kelsen bahwa jika suatu aturan hukum tersebut terus-menerus tidak diterima masyarakat, maka akan hilang validitasnya, sehingga berubah menjadi aturan yang tidak valid.
9
Pemerintah merespons undang-undang tersebut dengan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dalam rangka menjamin pilkada dilaksanakan secara demokratis. Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Rumusan ini membawa pengaruh konstitusionalisme Indonesia. Hukum telah menjadi sarana yang membatasi kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam negara, memberikan perlindungan hak asasi manusia, dan dasar penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum Indonesia akan mampu menciptakan kesejahteraan rakyat yang demokratis bila menciptakan tiga kualitas, yaitu predictability, stability, dan fairness. Predictability adalah artinya hukum memberikan kepastian akan suatu tindakan yang dilakukan. Stability artinya hukum dapat mengakomodir kepentingan yang saling bersaing di masyarakat. Sedangkan fairness harus mencerminkan sebuah keadilan. Jika suatu produk hukum tidak memenuhi kriteria tersebut, maka eksistensinya akan kehilangan kewenangan legitimasi dan efektivitasnya. Legitimasi suatu aturan hukum dibatasi atau dipersyaratkan adanya faktor keefektifan berlakunya norma tersebut dalam masyarakat. Bagi pemikir utilitarianisme, seperti Jeremy Bentham atau David Hume, “Suatu norma hukum baru dianggap efektif dan akan diterima oleh masyarakat jika membawa manfaat bagi masyarakat.” Validitas suatu norma hukum memiliki beberapa wajah, antaranya metafisis, positivitis, sosia kultural, mesin keadilan, dan utilitarianisme. Penyelenggaraan pilkada yang diatur dalam Perppu harus mencerminkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dipengaruhi positivisme hukum, dimana para pemikir positivisme yang menyatakan kepastian hukum harus dipisahkan dari moral. Namun demikian bahwa pada saat ini positivisme tidak lagi berada dalam keadaan normal science, ada aliran critical legal studies mengambil peran kritis menentang positivisme hukum, sehingga hukum menjadi wilayah yang terbuka. Uraian di atas dimaksudkan untuk menjawab ketentuan bahwa terbitnya Perppu 1 Tahun 2014 perlu dikritisi secara objektif. Keberadaan tersebut dapat mengakibatkan pilkada yang demokratis sebagai diamanatkan konstitusi tidak dapat diselenggarakan karena tidak menjamin penyelenggaraan pilkada yang jujur dan adil. Pilkada secara demokratis tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai pemilihan langsung oleh rakyat. Bahwa proses penyusunan pasal tersebut sudah mengalami perdebatan yang panjang, yang akhirnya kemudian ditentukan sebuah rumusan dipilih secara demokratis.
10
Indonesia telah memilih demokrasi sebagai sarana terbaik menuju kesejahteraan rakyat. Tekad kematangan demokrasi dan kemajuan ekonomi suatu negara semestinya berbanding terbalik dengan tingkat korupsinya. Artinya, semakin berkualitas demokrasi, maka akan semakin bagus perekonomian suatu negara, maka akan semakin bersih negara itu dari korupsi. Hubungan demokrasi dan ekonomi di negara kita menunjukkan suatu anomali. Hal ini tergambar dari perbandingan indeks demokrasi dan indeks ekonomi dengan indeks korupsi. Berdasarkan indeks demokrasi dan indeks kinerja ekonomi, pada tahun 2014, Indonesia berada di atas rata-rata dunia. Skor Indonesia dengan rentang 0 sampai 100 adalah 70,5, sedangkan rata-rata dunia adalah 57,4. Untuk indikator kinerja ekonomi, Indonesia memperoleh skor 80, lebih tinggi dari nilai rata-rata dunia yang sebesar 62. Sedangkan pada indeks korupsi, Indonesia hanya mendapatkan skor 34, di bawah rata-rata dunia sebesar 43. Artinya, tingkat korupsi Indonesia sangat tinggi. Melihat kenyataan tersebut, pada dasarnya tidak terlalu penting demokrasi kalau tidak mampu mengatasi korupsi dan menciptakan kesejahteraan rakyat. Demokrasi yang tidak mampu menegakkan law and order hanyalah sebuah malapetaka. Pada situasi angka kemiskinan dan angka pengangguran belum menurun secara signifikan, maka pilkada secara demokrasi harus dilaksanakan secara efektif dan efisien. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang diterbitkan demi mengakomodir pilkada langsung, berpotensi dan tidak efektif, serta tidak demokratis. Paling tidak, ada tujuh alasan yang menyebabkan pilkada tidak dapat diselenggarakan secara demokratis, jika menggunakan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sebagai pedoman dan dasar hukum Pilkada. Pertama, apabila Perppu ini disetujui DPR sebagai undangundang, maka pemilihan kepala daerah, keberadaan tersebut dapat dikategorikan tidak demokratis karena pembahasan yang dilakukan DPR hanya bersifat persetujuan, menerima, atau menolak, bukan terhadap substansi Perppu tersebut. Akibatnya, walau Perppu ini studi dari undang-undang, tetap saja menjadi tidak demokratis karena proses pembahasannya tidak mendalam, dan tidak komprehensif. Yang kedua. Perppu sebagai aturan membutuhkan peraturan turunan, pelaksanaan teknis, yaitu berupa Peraturan KPU. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sejak lahirnya UndangUndang Nomor 22 Tahun 2007, yang kemudian dicabut dengan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2011, pilkada masuk dalam rezim pemilihan langsung, dimana peraturan teknis diatur dalam Peraturan KPU. Mengacu pada Pasal 119 ayat (4) bahwa Peraturan KPU ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah. 11
Proses konsultasi tersebut, memerlukan waktu yang cukup panjang, sehingga kemudian kalau diputuskan Perppu menjadi undangundang, menjadi tidak cukup waktu untuk melakukan konsultasi terhadap penyusunan Peraturan KPU, sehingga jadwal pelaksanaan pilkada, sebagaimana diatur dalam Perppu tersebut menjadi terhambat. Yang ketiga, ketentuan Pasal 47 ayat (5) mensyaratkan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sebelum membatalkan calon terpilih yang terbukti melakukan jual-beli dukungan partai politik. Namun pada faktanya, tidak ada sanksi pidana yang menjerat pelaku jual-beli dukungan partai politik yang dilakukan di dalam Perppu tersebut. Hal ini menyebabkan, praktik jual-beli dukungan partai politik tidak dapat diproses, sehingga kemudian menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketentuan tentang larang tersebut tidak diikuti dengan sanksi pidana bagi pelaku yang terbukti melakukan jual-beli dukungan partai politik. Demokrasi transaksional dapat merusak dan mencederai sendisendi demokrasi, dan menghambat terwujudnya demokrasi substansial. Yang keempat, Pasal 73 Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sudah memberikan ketentuan larangan politik uang. Namun demikian, apabila diperhatikan secara saksama, sebagaimana saksi ... sanksi-sanksi yang diatur di dalam Pasal-Pasal 177 sampai dengan 198 tidak ditemukan satu pasal pun yang mengatur sanksi pidana bagi pidana pemilu politik uang. Padahal tindak pidana politik uang merupakan tindak pidana pemilu yang sering terjadi di dalam pelaksanaan pilkada. Politik uang menjadi salah satu potensi terjadinya korupsi, praktik inilah yang menghambat nilai-nilai kebaikan demokrasi, yaitu kesejahteraan rakyat. Kelima. Pasal 110 ayat (3) menggunakan pendekatan pidana pemilu untuk menyelesaikan setiap pelanggaran, penyimpangan, kesalahan rekapitulasi, dan faktanya semua di bawa ranah pidana. Pelanggaran seharusnya mengedepankan proses perbaikan administrasi karena itu merupakan persyaratan administratif dalam tahap rekapitulasi. Apabila mengacu pada Pasal 110 ayat (3), maka setiap kesalahan harus dipidana. Tentu saja pasal ini menjerat seluruh penyelenggara pemilu. Keenam. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 menghilangkan hak partai politik, yang tidak mempunyai kursi di DPR untuk mengusung calon gubernur, bupati, dan walikota. Pasal 40 menyatakan, “Parpol atau gabungan parpol dapat menggunakan akumulasi perolehan suara 20% atau 20% kursi DPRD untuk mengusung calon.” Namun ketentuan penggunaan akumulasi perolehan suara tersebut, hanya diperuntukkan bagi partai politik yang
12
mendapat kursi di DPR. Hal tersebut dapat melanggar hak konstitusional partai politik, yang tidak mendapat kursi di DPR. Yang ketujuh atau yang terakhir. Penyusunan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tidak dilakukan secara cermat, ada kesalahan yang sangat mendasar dari sisi redaksional dari pengunaan kata frasa undangundang ini untuk menunjuk Perppu ini. Pengunaan frasa perundang-undangan ter ... penggunaan frasa kata di dalam Perppu harus merujuk pada lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2009, (suara tidak terdengar jelas) Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, perlu ditinjau kembali dan sebaiknya dibatalkan karena tidak diberikan pedoman dan dasar hukum untuk penyelenggaran yang demokratis, sebagaimana diamanatkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian keterangan yang saya sampaikan. Atas perhatiannya, saya sampaikan terima kasih. Wabillahitaufik walhidayah wassalamualaikum wr. wb. 63.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Suparji. Berikutnya, Ahli dari Pemohon 130, Pak Asrun saya persilakan.
64.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera buat kita semua. Pertama-tama, perkenankan sebagai pribadi, saya mengucapkan kepada ... selamat atas terpilihnya Dr. Palguna dan Pak Suhartoyo sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang menurut saya, Pak Palguna ini tidak perlu lagi dites, cukup ditanya saja, apakah bersedia atau tidak menjadi Hakim MK. Karena Beliau adalah pernah menjadi seorang negarawan, jadi saya tidak sepakat dengan mekanisme seleksi itu. Kemudian, Yang Mulia, saya diminta untuk memberikan pendapat Ahli terkait dengan pengajuan Perkara Nomor 130/PUU-XII/2014 dan saya ingin pertama-tama mengutip pendapat James Madison yang mengatakan, “The aim of every political constitution is … firts to obtain for rulers, men who possess most wisdom to discern, and most virtue to pursue the common goal of society.” Jadi, sebetulnya pemilihan seorang pemimpin itu adalah untuk kebajikan orang banyak, bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan. 13
Kemudian, Yang Mulia, saya diminta tadi untuk men ... pendapat saya terkait dengan Pasal 203 ayat (1), Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Menurut saya, ada kecenderungan akhir-akhir ini untuk melemparkan atau membuat satu jawaban atas suatu masalah dengan menerbitkan Perppu demi Perppu. Kita masih ingat ketika Mahkamah Konstitusi diguncang dengan prahara, tertangkapnya Ketua MK pada saat itu. Kemudian, Pemerintah menerbitkan Perppu yang tidak jelas juntrungannya untuk apa itu dan apa yang diatur. Perppu kemudian dibuat semacam sebagai sebuah undang-undang baru. Padahal, kalau menurut percakapan tadi dengan seorang rekan di luar, Saudara Irman, sebetulnya Perppu itu cukup dengan selembar surat, bukan dengan berlembar-lembar surat, apalagi hitungan sampai ratusan halaman. Karena apa? Karena Perppu sebetulnya tujuannya adalah untuk mengatasi apa yang disebut recht vacuum atau satu keadaan di mana tidak ada aturannya. Ini keadaan ada aturannya, hanya terjadi penyimpangan dari pemilihan langsung, kemudian diubah menjadi pemilihan tidak langsung. Saya kira, cukup satu pasal itu saja. Saya sebetulnya ingin memberikan komentar banyak dengan Perppu ini, tapi saya ingin menunjukkan beberapa hal yang tidak penting itu Perppu dibuat. Saya memberikan contoh, misalnya katakanlah pasal ... Pasal 167 atau Bab 23 Pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota, saya kira ini tidak ada kegentingan memaksa untuk mengatur hal ini, ini bisa diatur dengan sebuah undang-undang yang biasa. Atau juga misalnya, katakanlah tentang pelantikan gubernur, wakil gubernur dilantik oleh gubernur. Saya kira, ini tidak ada urgensinya untuk memberikan Perppu, mana pentingnya menerbitkan Perppu semacam ini? Saya memberikan contoh yang lainnya adalah tentang pengisian Pasal 202. Ini juga tidak ada kepentingannya, seperti itu, tidak ada suatu yang mendesak untuk menerbitkan Perppu menurut saya. Jadi banyak konstruksi yang dibangun oleh Perppu ini adalah tidak benar. Dan juga kalau kita melihat seperti biasanya, Pasal 1 atau ketentuan umum harus menjelaskan posisi masing-masing jabatan dimuat di situ, lembaga yang memilih, siapa yang bertanggung jawab, ini tidak ada. Jadi, saya nilai Perppu ini memang lepas daripada niat baik dari pembuatnya, ini Perppu ini memang kacau sekali. Dan kemudian, Yang Mulia, saya melihat, misalnya katakanlah pengisian jabatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 203 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dikatakan bahwa dalam hal terjadi kekosongan gubernur, bupati, dan walikota yang diangkat berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, “Wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota menggantikan gubernur, bupati, dan walikota sampai dengan akhir masa jabatannya.”
14
Kita tentunya sudah mengetahui bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu telah dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004. Kemudian, datang juga Perppu menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 ini tidak berlaku. Pertanyaannya, di bagian mana pasal ... Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu mau dipakai, di pasal yang mana? Ini tidak ada rujukannya. Di penjelasan hanya dia katakan jelas, saya kira ini adalah semacam satu kecenderungan yang tidak baik. Suatu pasal yang harus dibuktikan, harus dijelaskan, dikatakan cukup jelas. Sebagai pribadi, saya telah mengalami beberapa undang-undang yang dinyatakan cukup jelas, ternyata tidak jelas. Contoh tentang penentuan atau larangan bagi narapidana yang untuk menjadi kepala daerah. Dikatakan cukup jelas, padahal tidak jelas, akhirnya Mahkamah memberikan tafsir tersendiri bahwa setidaknya dia telah keluar 5 tahun untuk menjadi ... untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah. Jadi, saya lihat inilah menimbulkan ketidakpastian dan kemudian akhirnya menimbulkan kerugian bagi Pemohon. Karena sebagaimana disebutkan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” dan juga ini artinya menghilangkan orang untuk dipilih kembali atau memiliki jabatan yang sama. Kemudian juga, saya melihat alasan lain yang tidak jelas, yang dalam Pasal 203 ... 203 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini. Kalau kita lihat ininya, ketidakjelasan itu bahwa dia merujuk pada pasal mana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka menimbulkan ketidakpastian hukum. Dan saya kira, ini menjadi suatu bukti bahwa inilah suatu bukti dari kekecewaan adanya Perppu ini. Kemudian juga, kita melihat misalnya Yang Mulia bahwa ketidakjelasan rumusan ini cukup dikatakan cukup jelas. Jadi saya kira, sudah saatnya Mahkamah Konstitusi juga memberikan ... memberikan pendapat terhadap persoalan penjelasan ini. Saya kira, ini yang paling penting apa yang saya ungkapkan. Dan kemudian, saya kira saya sepakat dengan Pemohon bahwa kekacauan Perppu ini memang harus segera diakhiri atau setidak-tidaknya pasal yang diuji dinyatakan tidak berlaku. Demikian pendapat saya, Yang Mulia. Lebih dan kurangnya saya mohon maaf. Wabillahitaufik walhidayah wassalammualaikum wr.wb. 65.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih, Pak Asrun. Berikutnya, Ahli Pemohon Nomor 127 Pak Irman Putra Sidin, saya persilakan di mimbar.
15
66.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 127/PUU-XII/2014: IRMAN PUTRA SIDIN Assalammualaikum wr.wb. Selamat pagi, Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Yang kami hormati Pemerintah, yang kami hormati Pemohon, teman-teman para Ahli, dan hadirin semuanya. Pendapat hukum tentang Pengujian Formil Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Jikalau melihat dialektika politik di ruang publik saat ini akan tanggapan terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2014, nampaknya sudah melenceng jauh dari esensi konstitusi sesungguhnya. Kekuatan konstitusional di DPR serta Presiden, termasuk mantan Presiden yang mengeluarkan Perppu tersebut mengajak ruang publik untuk melihat Perppu itu dari sudut pandang materiil Perppu tersebut akan baik atau buruknya. Akhirnya, perdebatan yang muncul adalah pilihan model pemilihan kepala daerah langsung atau tidak langsung. Siapa yang setuju pemilihan langsung, berarti harus menerima Perppu tersebut dan siapa yang tak setuju, maka menolak Perppu tersebut. Hal ini tentunya akan sangat berbahaya bagi kelangsungan prinsip konstitusional bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut konstitusi. Konstitusi sudah menentukan bahwa hanya daulat rakyat yang dapat membuat aturan yang mengikat publik secara umum. Karenanya, hanya DPR-hal yang memegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Jikalau Perppu semata diteropong bahwa karena materi dari Perppu itu baik, oleh karenanya harus disetujui menjadi undang-undang, maka tidak perlu lagi ada undang-undang yang harus disetujui bersama oleh DPR dan persiden untuk bisa berlaku dan mengikat rakyat. Tidak perlu lagi ada proses pengajuan rancangan undang-undang yang membutuhkan pembahasan bersama oleh presiden dan DPR karena ternyata rakyat, c.q. DPR, akan menerima Perppu atau RUU yang sudah berlaku tersebut menjadi undang-undang selama materinya disetujui dan dikehendaki. Tidak perlu ada pemenuhan syarat konstitusional bahwa terhadap hal ihwal kegentingan yang memaksa. Di sinilah publik nampaknya terkecoh dengan ingin mengabaikan hal tersebut bahwa Perppu sebaik apa pun meterinya, semulia apa pun materinya, maka perdebatan pertama dan utamanya adalah apakah Perppu tersebut telah memenuhi syarat hal ihwal kegentingan memaksa menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 atau tidak. Inilah yang harus menjadi acuan pertama dan utama, baik DPR dan Mahkamah Konstitusi guna menilai Perppu tersebut. Hal ihwal kegentingan yang memaksa inilah sesungguhnya juga syarat formil yang menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi Perppu. Jikalau Perppu tidak memenuhi syarat tersebut, maka semulia apa pun 16
meterinya, maka demi konstitusi Perppu itu pun tidak dapat disetujui menjadi undang-undang oleh DPR dan harus dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi jikalau diputus oleh MK sebelum mendapatkan penilaian oleh DPR. Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. MK sesungguhnya telah memiliki kerangka konstitusional tentang syarat formil Perppu. Lihat Putusan MK Perkara 03/PUU-III/2005 hingga Perkara Nomor 1 dan 2/PUU-XII/2014. Syarat formil ini jugalah yang nantinya harus menjadi batu uji konstitusional, baik di DPR maupun MK sendiri. Syarat formil itu jikalau dirangkum, maka Perppu sesungguhnya memiliki syarat umum dan syarat khusus yang harus terpenuhi oleh presiden untuk dapat mengeluarkan Perppu. Syarat umum dan khusus inilah kemudian menjadi dasar penggunaan hak konstitusional mengeluarkan Perppu. Adapun syarat umum Perppu itu di antaranya adalah: 1. Bahwa meteri Perppu adalah materi undang-undang. Materi Perppu ... bahwa Perppu. 2. Adalah bahwa Perppu bukan hak subjektif. Bahwa putusan MK Perkara 03/PUU-III/2005, selanjutnya kami sebut Putusan MK 2005, memang menyebutkan bahwa hal ihwal gentingnya memaksa memang hak subjektif presiden yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Putusan MK 2005 ini memberikan hak subjektif politik yang memberikan ruang yang sangat lebar kepada presiden untuk mengeluarkan Perppu cukup berdasarkan intensi politik semata. Ironinya, hingga menunggu persetujuan DPR, maka intensi politik yang berbingkai Perppu akan mengikat publik sangat potensial menubruk Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun seiring dan kebutuhan konstitusional, maka hak subjektif politik ini sudah dikoreksi kembali dalam Putusan MK 138/PUU-VII/2009, selanjutnya kami sebut Putusan MK 2009. MK kemudian sudah memberikan kondisi penggunaan hak subjektif tersebut bahwa meskipun kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan presiden untuk menafsirkannya, yang artinya diserahkan pada subjektivitas Presiden, namun subjektivitas itu harus ada dasar objektivitasnya. Kami ulang bahwa namun subjektivitas itu harus ada dasar objektivitasnya dan pembatasan tersebut disyaratkan oleh konstitusi, kami ulang, dan pembatasan tersebut diisyaratkan oleh konstitusi. Dengan konstitusi harus ada dasar subjektivitasnya dan pembatasan yang dipersyaratkan, maka hak subjektif tersebut tidak boleh lagi menjadi hak subjektif politik, namun menjadi hak subjektif konstitusional. Artinya bahwa hak subjektif Presiden tersebut harus memenuhi kondisi konstitusional atau memenuhi syarat khusus sebagai dasar objektivitas menurut konsititusi, barulah kemudian Presiden dapat mengeluarkan Perppu. 17
Syarat umum ketiga bahwa tidak boleh ada penyalahgunaan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 dan 2/PUU-XII/2014 selanjutnya kami sebut Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2014, menyebutkan bahwa pembentukan Perppu tidak boleh disalahgunakan, mengingat sebenarnya materi Perppu adalah materi undang-undang yang tidak dapat diputuskan sendiri oleh Presiden tanpa persetujuan DPR. Syarat umum keempat bahwa mengatasi kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2014 disebutkan bahwa syarat khusus konstitusionalitas sebagai indikasi kegentingan dan memaksa atau dengan kata lain karena dengan adanya keadaan tertentu yang harus diatasi segera supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum. Hal tersebut dilakukan dengan pembentukan hukum, dalam hal ini Perppu, jadi selain karena kekosongan hukum, ketidakpastian hukum juga adalah salah satu prasyarat umum yang harus terpenuhi dengan dikeluarkannya Perppu tersebut. Syarat umum kelima adalah bahwa Perppu itu bersifat sontak segera untuk memecahkan permasalahan hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2014. Syarat umum keenam bahwa tercermin dalam konsiderans Perppu. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 menyebutkan bahwa alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan sebuah Perppu agar lebih didasarkan pada kondisi objektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans menimbang dari Perppu yang bersangkutan. Yang kemudian yang berikutnya, tentang syarat khusus kegentingan yang memaksa. Selain syarat umum yang harus terpenuhi dari sebuah Perppu seperti yang kami uraikan di atas, maka terdapat syarat khusus yang mutlak harus juga terpenuhi keluarnya Perppu. Syarat khusus ini sesungguhnya juga adalah inti dari situasi objektif yang menjadi dasar presiden mengeluarkan Perppu. Syarat khusus inilah yang sesungguhnya harus tercermin dalam konsiderans menimbang dari Perppu, Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 20090 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2014, adapun syarat tersebut adalah. 1. Adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara percepat berdasarkan undang-undang. 2. Undang-undang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau undang-undang … atau ada undangundang, tetapi tidak memadai. 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa … prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Ketiga syarat khusus ini adalah syarat mutlak yang harus terpenuhi dari sebuah Perppu, yang harus terjabarkan dan terjelaskan secara jelas dalam konsiderans Perppu tersebut. Tidak terpenuhinya 18
kondisi ini, maka siapa pun Presiden, akan cenderung menyalahgunakan kewenangan dan akan kesulitan mempertanggungjawabkan Perppu itu secara terukur. Dan kecenderungan kemudian adalah tak akan menulisnya secara jelas dan eksplisit dalam konsiderans Perppu yang dikeluarkannya. Hal ini dilakukan karena sesungguhnya kebutuhan mendesak sebagai kondisi objektif konstitusional memang kabur pada saat dikeluarkannya Perppu tersebut. Kondisi kabur ini kemudian akan dibiarkan menjadi perdebatan asumtif politik semata akan keluarnya Perppu dan mengecoh publik untuk memperdebatkan materi Perppu dengan perdebatan nilai baik atau buruk materi Perppu tersebut, padahal kondisi kebutuhan mendesak tersebut tak terpenuhi. Dari uraian di atas, maka pertanyaan adalah apakah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 telah memenuhi syarat umum dan syarat khusus sebagai syarat formil pembentukan Perppu menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 c.q. Putusan Mahkamah Konstitusi. Menelisik konsiderans Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 ini, tidak ditemukan indikator-indikator nyata kondisi pemerintahan atau kondisi negara yang bisa terkategori sebagai kebutuhan mendesak, misalnya lumpuh atau terancam lumpuhnya fungsi pemerintahan yang kemudian terjadi ketidakpastian hukum atau kekosongan hukum bahwa kebutuhan mendesak dan terjadinya kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 adalah syarat khusus sebagai kondisi objektif konstitusional yang harus tertulis dalam konsiderans sebagai dasar lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Dalam konsiderans Perppu Nomor 1 Tahun 2014 hanya disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan, serta kegentingan yang memaksa, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUUVII/2009. Jadi, menurut konsiderans Perppu ini bahwa tafsir subjektif Presiden akan dasar kegentingan memaksa adalah: 1. Penolakan luas terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. 2. Proses pengambilan keputusan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 telah menimbulkan persoalan. Konsiderans ini tidak menggambarkan secara nyata bahwa penolakan luas undang-undang ini kemudian secara nyata telah mengancam lumpuh atau potensi lumpuhnya roda pemerintahan negara yang kemudian akibat lumpuh atau ancaman kelumpuhan itu ternyata tidak bisa diselesaikan atau diantisipasi karena terjadi kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum bagi organ pemerintahan untuk mencegah atau mengatasi kelumpuhan pemerintahan negara. 19
Pertanyaan retoris berikutnya bahwa macam bagaimana UndangUndang Nomor 22 Tahun 2014 yang dinilai presiden menimbulkan persoalan dalam pengambilan keputusannya. Presiden menyebut dalam penjelasan umum Perppu 1 Tahun 2014, dalam hal ini ketika disebutkan bahwa proses pengambilan keputusan tidak mencerminkan prinsip demokrasi. Presiden tentunya harus bisa menjelaskan bahwa persoalan yang dimaksud bahwa tidak terpenuhinya prinsip demokrasi yang bagaimana dan keadaan apa yang dimaksud dalam Perppu tersebut. Seandainya pun benar bahwa dalam pengambilan keputusan tersebut tidak memenuhi prinsip demokrasi, maka presiden dengan mudah tidak menyetujui RUU tersebut karena sebuah RUU menjadi undang-undang haruslah disetujui juga presiden, bukan DPR semata. Seandainya mau diasumsikan bahwa pengambilan keputusan yang dinilai masalah versi presiden berupa proses pengambilan keputusan undang-undang tersebut adalah keputusan sepihak DPR tanpa presiden. Karenanya, presiden melanggar … merasa dilanggar kewenangan konstitusinya dalam membentuk undang-undang seandainya pun ternyata ini terjadi, maka presiden tetap tidak perlu mengeluarkan Perppu karena tidak mungkin kebijakan negara menjadi undang-undang tanpa persetujuan bersama DPR dan presiden. Seandainya presiden tidak menyetujui RUU tersebut, ketika Menteri Dalam Negeri selaku perwakilan presiden pada Rapat Paripurna persetujuan tidak memberikan persetujuan, maka presiden tidak boleh memberikan nomor undang-undang hingga dilembarnegarakan karena kebijakan tersebut tidak dapat disebut sebagai undang-undang, melainkan semata keputusan DPR yang tidak memiliki bingkai hukum undang-undang dan tetap statusnya masih RUU. Seperti diketahui bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 bukanlah lahir secara tiba-tiba akibat keadaan hukum atau kondisi pemerintahan yang muncul tiba-tiba mengalami dan/atau terancam kelumpuhan. Perppu ini intinya mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang telah mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah dari model langsung oleh rakyat menjadi model tak langsung. Pertanyaannya adalah apakah pemilihan melalui DPRD adalah mekanisme inkonstitusional untuk kemudian bisa dikategorikan sebagai persoalan hukum genting yang memaksa oleh presiden, sehingga harus menyelesaikannya dengan menggunakan instrumen pamungkas bernama Perppu? Tentunya tidak. Bahwa pemilihan gubernur, bupati, walikota sudah ditegaskan dalam konstitusi adalah berlangsung secara demokratis. Pilihan mekanisme demokratis tidak terbatas hanya pemilihan langsung oleh rakyat seperti pada pemilihan presiden, namun pemilihan DPRD adalah pilihan kebijakan yang sama konstitusional
20
dengan pemilihan langsung. Hal ini sesungguhnya juga sudah menjadi sikap definitif Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya. Bahwa kemudian pilihan kebijakan dari model langsung menjadi tak langsung melalui DPRD mendapat penolakan dari sekelompok rakyat, hal itu sudah lumrah dan prediktif untuk terjadi. Tidak mungkin pilihan kebijakan negara harus bisa memuaskan semua pemangku kepentingan atau kelompok rakyat. Suatu sikap penolakan bisa terjadi atas sebuah pilihan kebijakan mayoritas rakyat melalui undang-undang bukan karena hal tersebut memiliki problem hukum atau tidak. Namun, penolakan bisa terjadi karena perbedaan perspektif kepentingan melihatnya dari berbagai kelompok-kelompok di masyarakat. Bahwa pemilihan langsung oleh rakyat atau DPRD sama konstitusionalnya. Oleh karenanya, polemik ini sesungguhnya karena cara pandang dengan sudut kepentingan masing-masing memandangnya yang bisa jadi semua benar. Namun, tidak berarti meski cara pandangnya adalah benar dan sah, tidak otomatis dengan mudah bisa menganulir kehendak umum, volonte generale rakyat yang sudah diputuskan rakyat melalui wakil-wakilnya yang dipilih di DPR bersama presiden. Di lain pihak bahwa alasan penolakan seperti disebut dalam konsiderans Perppu bukanlah alasan yang tak terprediksi, seperti diketahui bahwa model pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah inisiatif Pemerintah yang sudah dibahas antara presiden dan DPR selama lebih dari 2 tahun. Jadi, kondisi penolakan luas seperti yang disebut alasan subjektif presiden adalah alasan subjektif politik yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Bahwa alasan tersebut bukanlah dalam kerangka penggunaan hak subjektif konstitusional. Konstitusi sesungguhnya sudah memberikan mekanisme jikalau sebuah undang-undang terjadi penolakan, yaitu melalui proses pengujian undang-undang atau mengajukan legislative review. Sulit logis secara konstitusional mengatakan bahwa undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat seluruh Indonesia yang tersebar di lebih 550 dapil seluruh Indonesia, membahas dan menyetujuinya bersama termasuk dengan presiden tiba-tiba terjadi penolakan sekelompok atau sebagian rakyat di ruang publik yang memiliki kesamaan kepentingan, kemudian presiden serta-merta mengeluarkan Perppu dan mengategorikannya dengan kegentingan memaksa dengan menggunakan istilah “penolakan luas”. Yang pasti, selama DPR masih dianggap sebagai institusi daulat rakyat, sebagai institusi konstitusional yang sah secara konstitusional mengatasnamakan rakyat, yang putusannya meski tidak lahir dari mufakat, melainkan melalui pungutan suara, maka hal tersebut adalah pencerminan kehendak umum rakyat … pencerminan kehendak umum rakyat, alias rakyat secara luas melakukan penerimaan atas RUU tersebut menjadi undang-undang.
21
Oleh karenanya, sebagai pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang, produk kehendak mayoritas rakyat melalui DPR yang telah disetujui bersama presiden dalam pembentukan undang-undang harus dihargai dan dijunjung tinggi oleh presiden untuk melaksanakan selurus-lurusnya sesuai bunyi sumpah jabatan presiden, Pasal 9 UndangUndang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang baru saja disetujui mayoritas DPR bersama Presiden, Jumat, 26 September 2014. Namun, tiba-tiba seminggu kemudian presiden “memveto” persetujuannya sendiri dengan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang ditetapkan dan diundangkan tanggal 2 Oktober 2014. Artinya bahwa presiden sesungguhnya mengeluarkan Perppu tersebut dengan landasan hak subjektif politik, bukan hak subjektif konstitusional, guna terpenuhinya syarat khusus Perppu. Penggunaan subjektivitas politik ini dapat disimpulkan seperti dalam keterangan pers SBY selaku Presiden kala itu ketika hendak mengeluarkan Perppu yang sebelumnya diawali dengan pertemuan dengan petinggi Partai Demokrat, SBY mengatakan bahwa Perppu tersebut akan tetap berpedoman pada 10 usulan perbaikan diajukan Partai Demokrat yang ditolak oleh DPR … ditolak di DPR. Dari sini bisa dinilai bahwa keluarnya Perppu tersebut sesungguhnya bisa dinilai karena gagalnya perjuangan RUU sebuah fraksi di DPR guna meyakinkan mayoritas rakyat di DPR dan presiden. Parpol tersebut kemudian mengambil langkah pintas untuk menggunakan otoritas ketua umum partai politiknya yang notabene adalah juga seorang presiden untuk menggunakan hak subjektif menggunakan Perppu. Hak subjektif tersebut kemudian dilaksanakan bukanlah subjektif konstitusional, melainkan subjektivitas politik yang secara linier inkonstitusional, bahkan bisa terkategori telah melakukan penyalahgunaan wewenang karena menggunakan instrumen yang tidak dilandasi kebutuhan konstitusional, namun lebih karena kebutuhan politik sang pejabat presiden. Dalam kondisi seperti ini, sesungghnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 adalah Perppu yang menentang kehendak umum rakyat yang telah ditetapkan di DPR. Perppu, bahkan presiden bisa dikategorikan melanggar prinsip kedaulatan rakyat yang bisa dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Bagaimana pun pembahasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 dibahas kurang-lebih dua tahun oleh seluruh perwakilan rakyat dari lebih 550 daerah pemilihan di Indonesia, bahkan pada tahap akhir persetujuannya haruslah membuat wakil rakyat itu tidak tidur hingga menjelang dini hari pada saat rapat tingkat persetujuan yang juga dihadiri dan disetujui oleh presiden sendiri melalui menteri dan pembantu-pembantu lainnya. Tentunya secara sadar di mana pun negara demokrasi tidak mudah mengambil putusan memuaskan seluruh rakyat, namun prinsip 22
demokrasi konstitusional yang kita anut bahwa kehendak umum atau mayoritas rakyat pada kondisi tertentu, akhirnya harus berakhir dengan pemungutan suara ketika musyawarah dan mufakat tidak terwujud. Bagaimana pun pihak yang kalah dalam pemungutan suara, harus siap menerima realitas, inilah prinsip utama negara demokrasi. Otomatis secara linier, maka keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 bita … bisa dikategorikan juga bahwa presiden melanggar sumpah jabatan yang tidak boleh dibenarkan dalam prinsip demokrasi konstitusional. Oleh karenanya, tuduhan bahwa pengambilan keputusan UndangUndang Nomor 22 Tahun 2014 menimbulkan persoalan atau tidak demokratis seperti yang ditulis Presiden dalam Perppu, sesungguhnya tidaklah beralasan secara konstitusional. Hal ini bisa berdampak serius dan peringatan seluruh lembaga pemegang kekuasaan, termasuk suatu saat putusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian dinilai secara subjektif mendapatkan penolakan dan menimbulkan persoalan dalam pengambilan vonis, maka presiden pun akan mengeluarkan Perppu yang membatalkan Putusan Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan berikutnya bahwa seandainya kondisi penolakan dan pengambilan keputusan Undang-Undang Nomor 22 tersebut mau dipaksakan sebagai kebutuhan mendesak seperti tafsir presiden atas Perppu, maka benarkan terjadi kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum? Bahwa pilihan mekanisme pemilihan kepala daerah dari langsung, kemudian ke DPRD bukanlah polemik kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum karena pemilihan kepala daerah tetap bisa dilangsungkan di tahun 2015 kelak, cuma mekanismenya yang berbeda yaitu melalui DPRD. DPRD seluruh Indonesia juga sudah lama terbentuk dan sudah terisi dan dilantik 1 Oktober 2014, dan tentunya telah siap melaksanakan fungsi barunya, yaitu melakukan pemilihan kepala daerah. Yang terjadi adalah terdapat kelompok masyarakat yang tidak menerima kehendak umum rakyat. Ketidakterimaan ini tidak dapat dinilai sebagai kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum karena ketidakterimaan itu pun sesungguhnya sudah terwakili pada saat pembahasan hingga persetujuan di DPR, termasuk dengan voting. Oleh karena adanya penolakan atau tidak menerima, lumrah dalam setiap proses legislasi antara DPR dan presiden. Oleh karenanya, pascakeluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang terjadi bukanlah kekosongan hukum, namun sekelompok rakyat belum dapat menerima kehendak mayoritas rakyat. Sekali lagi bahwa hal tersebut sudah diperjuangkan oleh wakil rakyat dalam fraksi yang kemudian karena mekanisme demokrasi konstitusional menjadi pihak yang belum memenangkan pertarungan gagasan dalam pemungutan suara. Tentunya, di mana pun hal ini harus diterima karena kehendak umum rakyat sudah memutuskan lain yang tentunya suka atau tidak harus diterima oleh sebagian rakyat yang kehendaknya belum terakomodasi. Bahwa tidak mungkin proses demokrasi bisa memuaskan 23
semua pihak. Hal itu sudah menjadi dogma yang harus diterima selama masih dalam batasan konstitusional. Oleh karenanya, maka Perppu ini lahir bukanlah akibat terjadi kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum, melainkan alasan subjektivitas politik atas reaksi setelah mayoritas rakyat DPR menyetujui lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah. Oleh karenanya, maka sesungguhnya Perppu ini tidak memenuhi syarat khusus konstitusional bahwa terdapat adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah pun secara cepat berdasarkan undang-undang. Masalah yang muncul bisa jadi adalah lebih cenderung sebagai masalah politik pribadi, kelompok, dan/atau parpol sang pejabat presiden yang kemudian paralel dengan masalah ketidaksetujuan kelompok kepentingan dalam masyarakat atas keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tersebut. Oleh karenanya pula, maka syarat khusus Perppu lainnya juga tak terpenuhi bahwa terjadi kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Hal diakibatkan karena tujuh hari sebelum Perppu ditandatangani presiden, kehendak umum rakyat sudah memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah pilihan yang sama konstitusionalnya dengan pemilihan langsung melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Bahwa yang pasti, kondisi objektif konstitusional saat ini masih segar terekam melalui media saat ini. Nampaknya kala itu tidak ada kebutuhan mendesak, fungsi-fungsi negara masih berjalan normal, seluruh pemegang kekuasaan masih bisa menjalankan fungsinya, TNI dan Polri sebagai instrumen negara di bidang pertahanan dan keamanan juga dalam kondisi tidak dalam keadaan status siaga puncak, dan aktivitas rakyat juga masih dalam keadaan normal, tidak terjadi kerusuhan, baik sistemik atau sporadik dalam situasi pascadiundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 hingga terbitnya Perppu. Sekali lagi, tidak ada pula warga negara yang sudah dapat kartu pemilih, kemudian mengamuk secara massal karena bingung akan memilih akan memilih di TPS atau yang memilih wakilnya di DPRD karena pemilu pun masih lama di tahun 2015. Oleh karenanya, kondisi objektif konstitusional bahwa pascapersetujuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 situasi organisasi negara masih bisa berjalan normal, situasi rakyat juga masih normal, situasi kalangan dunia usaha masih bisa melaksanakan senca … transaksi secara normal. Masih segar dalam ingatan publik dan masih terekam oleh media bahwa yang terjadi pada saat itu pasca-disetujuinya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 adalah polemik walk out Fraksi
24
Demokrat terhadap gagalnya memperjuangkan gagasannya di DPR yang kemudian (…) 67.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Irman, sebentar, Pak. Dipersingkat, ya.
68.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 127/PUU-XII/2014: IRMAN PUTRA SIDIN Ya. Yang kemudian presiden menyikapi hal tersebut seolah DPR mengambil keputusan tanpa melalui persidangan DPR yang kemudian diiringi dan protes masyarakat di media sosial dengan tagar #ShameOnYouSBY. Kondisi semua ini sesungguhnya bukanlah kondisi subjektif konstitusional, namun lebih kepada objektif politik karena kepentingan politik pribadi, kelompok, dan parpol sang penjabat presiden mungkin dirasakan terganggu oleh presiden. Hal ini bukanlah kebutuhan mendesak konstitusional yang harus diselesaikan dengan Perppu. Jangan sampai ditengarai bahwa Perppu itu keluar karena protes warga Twitter yang sempat menjadi trending topic dunia. Yang pasti bahwa dunia maya ini memiliki problematik konstitusionalnya sendiri yang tidak boleh menjadi dasar konstitusional seorang presiden menggunakan instrumen Perppu karena sebaik apa pun materinya, maka hal tersebut bisa menjadi penyalahgunaan kewenangan melanggar konstitusi. Oleh karena tidak terpenuhinya ketika syarat khusus Perppu ini, maka Perppu ini juga tidak memenuhi syarat umum lainnya bahwa harus bersifat sontak segera karena ternyata pemilu masih di tahun 2015 yang masih bisa berjalan secara normal dengan pemilihan dengan mekanisme DPRD. Oleh karena tidak terpenuhinya syarat khusus Perppu ini, maka Perppu tersebut dalam konsideransnya tidak mampu menggambarkan kondisi konstitusional seperti dipersyaratkan melalui putusan MK. Perppu hanya merepitisi bagian pertimbangan MK yang sesungguhnya tidak menjabarkan kondisi real saat itu akan sifat kegentingan yang memaksa. Dari uraian di atas, maka Perppu 1 Tahun 2014 meski materi yang diatur adalah materi undang-undang, namun sesungguhnya adalah inkonstitusional, bahkan bisa dikategorikan penyalahgunaan kewenangan. Hal ini sesungguhnya tidak bisa dibiarkan MK untuk tidak segera memutuskannya, tujuannya adalah Perppu ini tidak bisa diselesaikan cukup dengan mekanisme komunikasi politik yang kemungkinan terselesaikan dengan kompromi politik. Karena membiarkan sebuah Perppu tanpa semakin memperjelas batasan definitifnya, maka hal ini sama dengan memberikan ruang siapa pun presiden ke depan untuk menggunakan instrumen Perppu dengan hanya 25
mendasarkan kepentingan politik semata yang kemudian terselesaikan dengan kompromi politik di DPR. Di sinilah peran MK menjadi penting guna memutuskannya karena sesungguhnya MK sudah pernah terancam oleh instrumen Perppu seperti ini, yang dinilai sebagai hak subjektif politik melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2013, Perppu ini terkenal dengan Perppu penyelamatan MK yang sempat dasar konsideransnya menuduh adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim MK, dan kemudian ternyata Perppu ini disetujui DPR menjadi undang-undang. Sekian, wassalamualaikum wr. wb. Yang tidak sempat kami bacakan, dianggap kami bacakan, terima kasih. 69.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Pak Irman. Keterangan tertulisnya karena di meja Hakim belum ada, tolong bisa diserahkan kepada kami. Baik, terima kasih. Berikutnya, kita sampai pada agenda untuk memperdalam apa keterangan Ahli yang sudah disampaikan. Tetapi sesuai hukum acara dan sesuai dengan tradisi di Mahkamah Konstitusi, maka yang berhak untuk memberikan pertanyaan atau pendalaman terhadap keterangan Ahli Pemohon adalah Para Pemohon yang mengajukan Ahli. Nanti Pemohon yang belum mengajukan ahli, diberikan kesempatan sendiri untuk mengajukan ahlinya, ya. Baik, apakah Pemohon Nomor 119 akan mengajukan klarifikasi atau pendalaman lebih lanjut pada Ahlinya, Pak Dr. Suparji?
70.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Ada, Yang Mulia.
71.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Silakan.
72.
PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: HERIYANTO Mohon izin, Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi. Bahwa sebagaimana telah kami jabarkan dalam permohonan kami bahwa suatu undang-undang atau Perppu tidak boleh lahir dari kekecewaan. Suatu undang-undang yang lahir dari kekecewaan atau ... dari kekecewaan menyebabkan penggunaan hak subjektif yang sewenang-wenang. Penggunaan hak subjektif sewenang-wenang tersebut, yakni kecewa dengan hinaan bully masyarakat di media sosial seperti Twitter melahirkan Perppu. Kecewa terhadap hasil pilpres dan putusan PHPU 26
pilpres pada yang dibacakan MK pada tanggal 21 Agustus 2014 melahirkan Undang-Undang Pemilihan oleh DPRD, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. Yang saya ingin tanyakan kepada Ahli kami, yaitu Dr. Suparji, apakah boleh suatu undang-undang itu lahir dari kekecewaan tersebut? Terima kasih. 73.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Dikompilasi seluruhnya, ya. Ahli untuk yang Pemohon 130, ada? Pemohon 130 atau cukup?
74.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: SYARUL ARUBUSMAN
NOMOR
130/PUU-
Kami kira cukup, Yang Mulia. 75.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Sidin?
76.
Cukup. Terima kasih. Untuk Pemohon 127 pada Pak Irman Putra
PEMOHON PERKARA SUPRIYANTO
NOMOR
127/PUU-XII/2014:
DIDI
Terima kasih, Yang Mulia. Ada satu pertanyaan saja, terkait dengan keterangan Ahli tadi, yang menyatakan bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ini inkonstitusional, bahkan bisa dikategorikan sebuah penyalahgunaan kewenangan Presiden. Akibat dari hukum daripada sebuah Perppu yang lahir seperti itu, apa yang kemudian dampak daripada hukum, apakah Perppu itu kemudian harus dinyatakan dibatalkan atau Perppu itu dinyatakan batal? Nah, ini yang kami ingin kejelasan, Majelis. Terima kasih. 77.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, sebelum dijawab Para Ahli, apakah dari Pemerintah ada yang akan diklarifikasi, atau diperdalam, atau cukup?
78.
PEMERINTAH: Cukup, Yang Mulia.
27
79.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, baik. Dari Para Yang Mulia, dari meja Hakim, Pak Patrialis. Kemudian dari sisi kanan saya ada? Tidak ada. Silakan Yang Mulia Pak Patrialis.
80.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya kepada Ahli Irman Putra Sidin. Semua masalah yang dibahas pada hari ini, termasuk yang disampaikan oleh Ahli. Ini adalah merupakan bagian dari sistem ketatanegaraan yang dianut di Indonesia, terutama berkaitan dengan masalah Perppu. Tentu semua orang Para Ahli yang memahami posisi Perppu, tentu Perppu itu tidak boleh dijadikan sebagai suatu alat politik seperti yang Saudara sampaikan, tetapi justru adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan ketatanegaraan yang memang harus segera kita atasi. Apabila Perppu tidak dikeluarkan, maka akan terjadi satu persoalan besar di negara karena tidak ada aturan hukum yang bisa mengatasi masalah itu. Dan Perppu itu tidak hanya terjadi pada masa lalu, tapi tentu juga Perppu ini akan terbit pada masa-masa yang akan datang. Kita tentu belum bisa memprediksi Perppu tentang apa. Oleh karena itulah, konstitusi memberikan suatu escape close di dalam konstitusi, apabila negara dalam keadaan ada suasana yang genting dan memaksa, maka diperlukan Perppu. Pertanyaan saya adalah secara ketatanegaraan, syarat-syarat umum dan syarat-syarat khusus yang sudah dielaborasi oleh Ahli tadi, kalau syarat-syarat itu tidak terpenuhi, kemudian Perppu dipaksakan untuk dikeluarkan yang tidak memenuhi kualifikasi itu, kira-kira persoalan atau sistem ketatanegaraan yang bagaimana? Apakah terganggu atau tidak sistem ketatanegaraan kita pada masa-masa yang akan datang? Apakah mungkin juga dengan Perppu yang tidak memenuhi kualifikasi yang Saudara katakan, yang Saudara Ahli katakan akan bisa memunculkan suatu pemerintahan yang diktator ke depan. Apa mungkin? Saya beranjak dari cara berpikir Ahli yang mengelaborasi tadi, terlepas dari kualifikasi yang ditentukan oleh MK. Itu yang ingin saya perdalam karena ini menyangkut sistem ketatanegaraan ke depan yang harus mapan, yang harus jelas, yang tidak mudah Pemerintah meskipun memiliki kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak mudah mengeluarkan Perppu. Itu yang ingin saya dalami oleh dengan Saudara Irman. Kalau misalnya juga kita kaitkan dengan sedikit latar belakang materi yang berkaitan dengan sistem pemilihan kepala daerah langsung dipilih oleh rakyat ataupun melalui DPRD. Justru … bukan justru, bagaimana menurut pendapat Ahli kalau persiapan-persiapan di dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 untuk pelaksanaan pemilu secara serentak 28
pemilihan kepala daerah … bukan pemilihan daerah secara serentak 2015, mana yang lebih simpel persiapannya dibandingkan dengan persiapan pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat? Apakah dengan kondisi mana yang lebih mudah itu memerlukan Perppu? Dua hal untuk Saudara Irman. Untuk Saudara Ahli Suparji. Di sini Saudara menyampaikan bahwa Perppu Nomor 1 Tahun 2014 perlu dikritisi secara objektif, ya perlu dikritisi secara objektif karena Saudara menyampaikan di sini adalah bahwa pemilihan secara demokratis itu tidak boleh dimaknai secara sempit. Dalam artian, Saudara menyampaikan bahwa pemilihan demokratis itu boleh dilakukan oleh DPRD juga boleh dilakukan langsung oleh rakyat. Nah, pertanyaan saya adalah mekanisme apa yang harus ditempuh di dalam negara demokrasi ini untuk mengubah satu sistem yang diinginkan ke depan untuk mengubah satu sistem. Mungkin dalam satu undang-undang yang sudah ditetapkan sistemnya tidak disetujui oleh rakyat ya, tetapi diinginkan dengan sistem yang lain, kira-kira mekanisme atau metode yang mana atau sistem yang mana yang lebih tepat dipergunakan? Apakah memang melalui Perppu ini atau melalui cara-cara yang lain? Terima kasih. 81.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih, Yang Mulia. Yang kontraknya habis, Pak Asrun ini. Enggak ada pertanyaan ke Pak Asrun? Pak Parji dan Pak Irman masih punya kewajiban harus menjawab. Saya persilakan kalau mau menjawab, biar Pak Irman istirahat dulu, Pak Parji saya persilakan.
82.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: SUPARJI Terima kasih, Yang Mulia. Izinkan saya menjawab pertanyaan dari Pemohon. Yang pertama adalah berkaitan dengan apakah sebuah produk peraturan perundang-undangan diperbolehkan lahir karena sebuah perasaan kecewa? Dan konon ditengarai bahwa lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 itu karena kekecewaan publik yang kemudian direspons dengan produk peraturan perundang-undangan seperti itu oleh presiden. Kekecewaan adalah sebuah sikap yang emosional, yang subjektif, yang tentunya jauh dari pemikiran-pemikiran yang objektif dan rasional. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara jelas dinyatakan bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Tentunya, filosofis, sosiologis, dan yuridis itu diperoleh secara objektif dan rasional, yang 29
kemudian itu bisa kita baca melalui naskah akademik oleh Pemerintah atau oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, maka dapat saya sampaikan bahwa akan menjadi tidak baik kalau satu peraturan perundang-undangan itu lahir karena sikap emosional subjektif atau kemudian karena kepentingankepentingan sesaat, dan mempertimbangkan aspek-aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dengan demikian, secara singkat saya menjawab bahwa menjadi tidak tepat kalau sebuah peraturan perundang-undangan lahir karena sebuah sikap kekecewaan. Karena itu akan bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan peraturan-peraturan perundangundangan, dan lain sebagainya. Itu yang pertama jawaban saya, Yang Mulia. Kemudian, yang kedua adalah jawaban Yang Mulia dari Bapak Hakim Anggota Dr. Patrialis Akbar. Berkaitan dengan bahwa pilihan apa yang dapat dilakukan terhadap suatu persoalan jika menghadapi dilema? Apakah prosesnya melalui secara langsung atau kemudian perwakilan? Terkait dengan persoalan mekanisme pemilihan kepala daerah bahwa yang secara jelas Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan secara demokratis. Demokratis di sini kemudian saya dapat mengatakan sesungguhnya, sebetulnya adalah sikap yang terbuka atau pilihan yang terbuka, apakah melalui perwakilan atau kemudian melalui secara langsung? Nah, kemudian, kalau mencermati realitas yang terjadi, pengalaman-pengalaman selama ini dalam konteks pilkada, dimana … sebagaimana yang saya sampaikan bahwa ternyata indeks demokrasi kita tidak berkorelasi positif terhadap indeks kesejahteraan rakyat dan pemberantasan korupsi, maka pilihan demokrasi secara langsung dalam rangka pemilihan kepala daerah adalah sebuah pilihan yang perlu ditinjau dan kemudian, pilihannya adalah melalui demokrasi perwakilan, yaitu melalui wakil rakyat. Apakah kemudian pertanyaannya, pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat dikategorikan demokratis atau tidak? Saya dapat katakan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah sebuah pilihan yang demokratis, dimana itu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa mengedepankan permusyawaratan dan perwakilan. Jadi, secara singkat dapat saya katakan, menghadapi realitas yang terjadi dan kemudian dengan harapan mengharapkan demokrasi yang lebih substansial, maka sesungguhnya pilihan melalui demokrasi perwakilan adalah sama demokratisnya dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan sebuah pilihan yang inkonstitusional. Demikian, Yang Mulia, jawaban saya.
30
83.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak Ketua, sebentar. Maksudnya begini, Saudara Ahli, ya. Sekarang undang-undang kan sudah menentukan, sudah diputuskan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Akan tetapi kemudian, Perppu mengatakan dipilih secara langsung. Yang saya tanya adalah kalau di dalam satu undang-undang sudah dinyatakan pemilihan kepala daerah itu seperti yang ditentukan melalui lembaga perwakilan, kalau ada keinginan untuk melakukan perubahan sistem yang sama-sama demokratis itu, apakah harus melalui Perppu seperti ini ataukah harus melalui perubahan undang-undang? Itu konkretnya.
84.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: SUPARJI Terima kasih, yang Mulia. Izinkan saya menjawab. Kalau menghadapi kondisi saat ini bahwa Undang-Undang 22 Tahun 2014 yang menyatakan pilkada melalui DPRD adalah dalam posisi yang sudah tidak berlaku, yang berarti sudah tidak bisa memiliki efektivitasnya karena memang sudah digantikan oleh keberadan Perppu. Kemudian, kalau seandainya Perppu ini juga dibatalkan atau kemudian ditolak, maka solusi yang bisa dilakukan adalah Pemerintah kemudian mengeluarkan sebuah Perppu, tetapi hanya menyatakan misalnya pemilihan kepala daerah melalui sistem perwakilan, yaitu melalaui DPRD dan kemudian ketentuan-ketentuan yang lain akan ditentukan dalam peraturan-peraturan teknis. Jadi, tidak mungkin kemudian dengan dicabutnya Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang 1 Tahun 2014 akan memberlakukan Undang-Undang 2 Tahun 2014. Tetapi kemudian dalam rangka mengatasi kekosongan hukum, apakah yang bisa dilakukan, apakah melalui sebuah undang-undang? Apakah melalui sebuah Perppu juga? Maka mengingat dalam rangka mengatasi kekosongan hukum, maka akan lebih efektif dibuatnya sebuah Perppu, tetapi sekali lagi betul-betul Perppu yang dalam rangka mengatasi keadaan kekosongan hukum yang memang tidak bisa dihindari dan harus diisi dengan produk perundang-undangan tersebut. Demikian, Yang Mulia.
85.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya menanyakan sebaliknya juga. Tadi dikatakan contohnya menerbitkan Perppu untuk menghindari kekosongan hukum, Perppu itu kemudian mengatur masalah pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, tapi sebaliknya, kalau Perppu itu menyatakan dipilih secara langsung pun boleh, Ahli? 31
86.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: SUPARJI Ya, kalau kemudian, keluarnya Perppu juga mengatakan … menyatakan dipilih secara langsung, ya sekali lagi bahwa sebetulnya keluarnya Perppu itu adalah menjadi otoritas Pemerintah. Soal bolehtidak boleh saya kira adalah boleh. Tetapi kemudian, alangkah tidak tepatnya yang kemudian menganulir atau kemudian tidak relevan dengan keputusan-keputusan yang sebelumnya. Kalau kemudian, sama saja dengan Perppu yang sebelumnya, ya, saya kira tidak ada nilai kemanfaatan, tidak ada nilai kepastian hukum yang kemudian tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang kita kedepankan.
87.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Sekarang Pak Irman, saya persilakan.
88.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 127/PUU-XII/2014: IRMAN PUTRA SIDIN Terima kasih, Yang Mulia. Ketua dan Anggota Majelis. Pertanyaan pertama dari Pemohon saya mencoba mereka-reka kekhwatiran Pemohon dengan pertanyaan ini. Yang pasti, prinsipnya bahwa sejak 2005 sampai 2014, hampir 10 tahun ini, itu bangunan konstitusional tentang hal ihwal kegentingan yang memaksa itu sudah memiliki kerangka positif yang mengikat bagi presiden, mengikat bagi Mahkamah Konstitusi dan mengikat bagi DPR di situ. Yang tadi saya rangkum adalah tadi saya rangkum semua dari hasil bacaan saya putusan Mahkamah Konstitusi, saya rangkum ada syarat umum dan syarat khusus tersebut. Syarat-syarat ini pada prinsipnya semuanya kumulatif di situ. Jadi memang presiden itu tidak boleh dengan mudah mengeluarkan Perppu di situ, jadi harus terpenuhi secara kumulatif. Kenapa? Karena memang kalau kita selidik … apa … telisik, Perppu ini sebenarnya sisa-sisa kekuasaan monarki absolut ketika itu, ketika demokrasi melakukan perlawanan di situ. Yang tersisa adalah … apa … eksekutif bisa mengeluarkan aturan, maka lahirlah Perppu tersebut di situ, itu sisa-sisa. Jadi, pada prinsipnya yang bisa mengatur di ruang publik itu adalah rakyat itu sendiri melalui perwakilannya di situ. Nah, kemudian, 10 tahun terakhir ini Mahkamah Konstitusi sudah memberikan batasan-batasan tentang bagaimana presiden bisa mengeluarkan Perppu dan bagaimana dengan DPR menilai Perppu tersebut. Saya sendiri semakin khawatir ketika perdebatan sebelum 2 minggu lalu itu, ketika ruang publik rame dengan perdebatan tentang 32
baik-buruknya tentang pemilihan kepala daerah itu langsung dan tidak langsung di situ. “Wah, kalau begini perdebatan-perdebatannya, bahaya ini kalau seperti ini.” Datanglah presiden, mantan presiden bahwa ini untuk begini, ini lebih bagus begini. Disambutlah lagi di DPR kekuatankekuatan politik di DPR, “Kita setuju pilkada.” “Yang tidak setuju pilkada,” padahal bukan itu esensinya. Kalau sudah begitu berpikirnya, maka tidak perlu lagi ada RUU yang diajukan oleh presiden, presiden adanya kehendaknya, keluarin Perppu saja di situ. Soal kemudian nanti ditolak, atau soal lain, yang penting berlaku dululah di situ. Ini yang membuat Perppu itu menjadi semakin murah harganya. Dan pernah saya mengatakan bahwa DPR seharusnya tersinggung karena belum hilang jetlag-nya untuk menyetujui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 itu tengah malam, tiba-tiba Perppu keluar tujuh hari kemudian, di situ. Jadi apa? Bahwa Perppu ini seharusnya barang yang sangat mahal harganya yang tidak bisa dibiarkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjadi murah di tangan presiden, kira-kira seperti itu. Kalau tidak terpenuhi ini, maka ini Perppu ini menjadi inkonstitusional. Lalu, saya memahami kekhawatiran Pemohon, termasuk kekhawatiran saya dalam berapa bulan sebelum ... sebelumnya. Jangan-jangan, nanti MK membatalkan Perppu ini, membuat Perppu ini inkonstitusional, lalu apa dasar hukum pemilihan kepala daerah di situ? Karena Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 sudah dicabut, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 juga mencabut Undang-Undang Nomor 32, apa dasarnya? Lalu spekulasi muncul, “Oh, presiden keluarkan Perppu lagi,” sama rusaknya Republik ini kalau begitu. Keluarkan saja Perppu lagi di situ. Nah, jawaban saya yang mudah adalah saya mengingat putusan Pak Palguna tahun 2005, Undang-Undang Ketenagalistrikan, itu karena Perppu ini salah satu ketentuan penutupnya bahwa dengan berlakunya Perppu ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku, maka ketika Perppu ini tidak disetujui oleh DPR, termasuk dinyatakan inkonstitusional oleh MK, maka termasuk materi yang mencabut undang-undang itu. Oleh karenanya, maka ketika MK menyatakan Perppu ini inkonstitusional, maka termasuk materi yang menyatakan mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 juga itu rontok di situ. Artinya bahwa kebijakan presiden mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 itu adalah inkonstitusional. Artinya, pasal ini tidak berlaku dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 itu otomatis hidup dengan sendirinya demi Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Itulah yang terjadi dengan Undang-Undang Ketenagalistrikan ketika itu. Dibatalkan undangundang ini, lalu kosong. Lalu, akhirnya dalam pertimbangan MK di terakhir itu disebutkan bahwa karena undang-undang ini secara keseluruhan kami nyatakan inkonstitusional, termasuk pasal yang
33
mencabut Undang-Undang Ketenagalistrikan yang dulu, maka otomatis undang-undang yang dulu juga hidup. Jadi tidak perlu khawatir, ini pula kami jelaskan kemarin ke Komisi II DPR bahwa enggak perlu kalau misalnya tidak setuju terhadap Perppu ini, maka otomatis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 itu akan hidup dengan sendirinya, sebab itulah simbol daulat rakyat, itulah simbol kemegahan daulat rakyat, itulah simbol kehormatan daulat rakyat yang tidak bisa dicabut secara tak senonoh oleh presiden, kira-kira begitu. Karena kalau begitu jadinya, saya mengatakan bahwa kalau saya presiden, ada undang-undang yang merugikan kepentingan politik saya, saya cabut semua undang-undang itu dengan Perppu, sekalian satu Perppu saya cabut semua. Tinggal kemudian DPR setuju atau tidak setuju. Kalau dia menolak perpunya, yang penting sudah mati kan, enggak hidup otomatis kembali kan. “Ayo kita bahas lagi!” Enggak berlaku, saya cabut semua di situ, yang merugikan saya cabut semua. Jadi intinya, Perppu itu adalah ad hoc sifatnya. Kalau dia disetujui oleh DPR atau kemudian … apa ... disetujui oleh DPR, maka okelah, termasuk ketentuan pencabutan, itu. Tapi kalau tidak disetujui, maka otomatis ketika Perppu itu mencabut undang-undang lama, maka undang-undang itu juga otomatis hidup kembali karena memang prinsipnya, Perppu itu tidak diadakan untuk menganulir sebuah undangundang, prinsipnya seperti itu. Kapan dia menganulir sebuah undangundang? Maka itu juga bisa teranulir kembali oleh prinsip daulat rakyat, termasuk prinsip konstitusional. Jadi … apa ... Pemohon ... kalau saya tidak perlu khawatir dengan istilah batal atau dibatalkan. Kalau MK menyatakan bahwa Perppu ini tidak memenuhi syarat umum dan syarat khusus seperti dalam putusanputusan MK yang saya rangkum tadi itu, maka otomatis ketentuan penutupnya juga adalah inkonstitusional yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, maka demi konstitusi, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 dia otomatis hidup kembali dan tidak ada kekosongan hukum dalam pemilihan kepala daerah di 2015 nanti di situ, tidak ada, kita kembali mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, tidak perlu presiden lagi mengeluarkan Perppu karena itu bukan solusi. Itu yang pertama. Yang kedua adalah berkaitan dengan pertanyaan Pak Patrialis tadi, Yang Mulia Pak Patrialis. Bahwa berkaitan dengan penjelasan saya itu yang pertama bahwa karena Perppu ini sudah memiliki syarat umum dan syarat khusus, intinya menurut saya bukan perdebatannya, apakah memudahkan mekanisme pilihan kebijakan atau tidak Perppu itu boleh keluar, tapi apakah kondisi syarat umum dan syarat khusus itu sudah terpenuhi seperti yang digariskan oleh Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 c.q. yang dijabarkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi itu. Jadi kalau tidak terpenuhi itu, maka tidak ada alasan. Baik apa pun ... sebaik apa pun niat baik presiden kalau tidak terpenuhi itu, 34
“Sori, Pak Presiden, enggak bisa.” Karena kalau dengan berlandaskan niat baik, maka semua orang … apa ... semua orang bisa memengaruhi rakyat bahwa ini baik, ini baik, ini baik, di situ, ya. Semua ada alasannya untuk mengatakan baik untuk kemudian presiden tidak membutuhkan lagi bernama DPR. Skenario kemudian dalam bacaan-bacaan … apa ... bacaan pengamatan saya pasca-pelantikan presiden, sebenarnya Perppu ini hampir keluar lagi ketika DPR itu kemudian terjadi belahan, ada DPR tandingan. Cuma keceplosan salah satu anggota fraksi dari DPR tandingan itu bahwa dia meminta presiden untuk mengeluarkan Perppu untuk menyelamatkan … apa ... Perppu tentang Undang-Undang MD3 ini. Seandainya mungkin tidak keceplosan, maka itu mungkin Perppu itu keluar, Perppu untuk kemudian apa, “dengan berdalih menyelamatkan” DPR itu akhirnya Undang-Undang MD3 kemarin itu semua-semua rontok juga di situ, mengalami ilegal atau dan lain sebagainya untuk kemudian diperdebatkan lagi di ruang publik. Di situ kemudian intinya bahwa kalau Perppu dibiarkan murah, ini bisa membuat siapa pun presiden akan cenderung diktator, akan cenderung otoriter dan itu tentunya yang tidak diinginkan oleh UndangUndang Dasar kita Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UndangUndang Dasar. Prinsipnya, presiden itu tidak oleh membuat aturan di ruang publik yang mengikat kita … mengikat publik tanpa ada … tanpa ada persetujuan dari prinsip daulat rakyat bernama DPR itu. Jadi, apa … sekali lagi, harapan memang Mahkamah Konstitusi untuk saya bisa memahami kenapa Pemohon mendesak terus Mahkamah Konstitusi untuk mengambil putusan? Karena kalau Perppu ini kemudian dibiarkan berlarut-larut di ruang politik di DPR, maka kemungkinan yang terjadi adalah perdebatan tentang kompromi-kompromi materi dari Perppu tersebut, di situ. Karena seharusnya, maka saya selalu mengatakan bahwa presiden pada bulan September … pada bulan September 2014 itu, itulah mengatakan … pada tanggal Oktober menilai bahwa sudah terjadi kegentingan yang memaksa ketika itu, maka harusnya Mahkamah Konstitusi dan DPR ketika itu pula sudah juga harus was-was harus waspada bahwa ternyata presiden sudah menilai pada hari itu, ada situasi genting yang memaksa, sehingga tidak ada alasan memang untuk membuat Perppu ini berlarut-larut. Saya kira itu dari saya. 89.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Saya persilakan.
35
90.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Saya mau bertanya kecil saja, tapi saya melihat dampaknya apa. Di sini kita melihat ini Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dari awal dan terakhir ini ada tentang kapan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, tapi saya melihat ada pasalpasal yang kemudian dia menyebutkan menurut undang-undang ini. Saya melihat ada lebih dari sepuluh kalimat yang mengatakan, “Setiap orang yang melakukan kekerasan terkait dengan penetapan hasil pemilihan umum menurut undang-undang ini,” misalnya, anggota PPS, atau anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perorangan, sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, itu lebih dari sepuluh. Jadi, sebetulnya kalau kekeliruan seperti ini, itu inkonstitusional atau tidak? Pertanyaannya itu saja.
91.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Mungkin bisa dijawab tiga Ahli ini. Karena Prof. Maria … Prof. Maria tidak menyebut kepada siapa atau Pak Asrun, kontraknya dihidupkan kembali. Silakan dijawab Pak Asrun dulu.
92.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Saya kira, Ibu Maria, itu adalah refleksi betapa kacaunya Perppu ini, ya kan. Bahwa suatu peraturan yang sifatnya genting dan memaksa, dibuat seperti terburu-buru, lupa lagi ini dibuat undang-undang, padahal ini bukan undang-undang, ini Perppu. Dan ini bukan persoalan redaksional, ini persoalan mindset-nya ini yang keliru. Jadi, saya kira memang tidak ada alasan lain, memang Perppu ini harus dibatalkan secara keseluruhan. Terima kasih.
93.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak Parji kalau sama, tidak perlu dijawab. Pak Irman ada beda dengan Pak Asrun?
94.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 127/PUU-XII/2014: IRMAN PUTRA SIDIN Saya kira, tadi saya katakan bahwa sebenarnya Perppu itu tidak untuk menganulir sebuah undang-undang memang karena Perppu itu dalam hal genting yang memaksa seperti yang disebutkan oleh 36
Mahkamah Konstitusi itu. Kalau itu terpenuhi, maka sebenarnya itu Perppu itu paling satu halaman, dua halaman saja itu kalau Perppu itu, kalau itu memang harus menjadi penuhan. Tapi karena memang alasan hak subjektif, akhirnya comot sana, comot sini, akhirnya munculah katakata undang-undang ini dan ratusan pasal yang ternyata bermasalah juga diuji oleh teman-teman itu di situ. Jadi, memang ini indikator bahwa syarat umum dan syarat khusus Perppu yang sudah digariskan oleh Mahkamah Konstitusi itu nampaknya tidak menjadi acuan oleh presiden ketika itu. 95.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Pak (…)
96.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Saya tambahkan satu saja, saya kira ini karena penting.
97.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, silakan.
98.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 130/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Saya kira, ini juga suatu kebiasan yang buruk selama ini kita sudah uji. Dulu pernah kita uji Perppu tentang Penyelamatan Mahkamah Konstitusi. Nah, sekarang terulang lagi. Di Perppu ini diatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa, ada disebut sebagai badan khusus, peradilan khusus, segala macam. Tetapi, di Perppu ini di bagian mengingat tidak ada Undang-Undang Mahkamah Agung, tidak ada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Jadi, Perppu ini seolah-olah dia melampaui undang-undang yang lembaga yang mengatur peradilan itu. Jadi, saya kira ini letaknya memang kacau sekali dan dia menggeser kekuasaan, menggeser membuat satu badan baru tanpa (suara tidak terdengar jelas) Perppu mana bisa membuat satu sistem baru, badan baru, badan peradilan baru kalau tidak berkonsultasi dengan badan peradilan lain, undang-undang yang lainnya. Saya kira … dan kemudian dia harus batalkan dulu atau dibuat aturan baru. Penjelasannya cukup jelas. Jadi, memang dengan segala hormat saya, memang Perppu ini harus dibatalkan secara keseluruhan. Terima kasih.
37
99.
KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih. Pak Parji ada tambahan? Silakan.
100. AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: SUPARJI Terima kasih, Yang Mulia. Yang Mulia Prof. Maria bahwa alasan yang ketujuh tadi saya sampaikan, tentang memang tidak demokratisnya Perppu ini dari sisi redaksional, seperti Pasal 205, 206 yang merujuk pada undang-undang ini. Kemudian, mestinya mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Kalau pertanyaannya, apakah dengan penyusunan redaksi seperti itu, hanya sebatas kesalahan redaksional atau kemudian dapat dikategori inkonsistusional? Maka, saya secara ... secara umum mengatakan karena prosesnya tidak secara demokratis, tidak secara cermat, kemudian terburu-buru, maka ada satu proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan konstitusi. Demikian, Yang Mulia. 101. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. Saya kira semuanya sudah bisa ditangkap oleh Mahkamah, maka persidangan pada agenda pada hari ini sudah selesai. Apakah … saya tanya, apakah Pemohon yang lain, selain 119, 130, 127, akan mengajukan ahli? 102. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: MUHAMMAD SHOLEH
NOMOR
129/PUU-
Cukup, Yang Mulia. Yang kita tunggu bukan Ahli, tetapi putusannya, Yang Mulia. 103. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, enggak, kalau mau memperkuat lagi? 104. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: MUHAMMAD SHOLEH
NOMOR
129/PUU-
Sangat kuat tiga tadi, Yang Mulia. 105. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, sudah cukup, ya? 38
106. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA XII/2014: MUHAMMAD SHOLEH
NOMOR
129/PUU-
Inggih. 107. KETUA: ARIEF HIDAYAT Berarti enggak bayar, tapi ikut putusannya ini. Pemohon yang lain cukup? 108. PEMOHON PERKARA NOMOR 118/PUU-XII/2014: KURNIAWAN Yang Mulia, semula Ahli dari Pemohon 118, hadir, tapi ternyata konfirmasi mendadak tidak hadir karena ada halangan teknis. Kita mengajukan keterangan tertulis Ahli. Terima kasih. 109. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik kita tunggu ya. 110. PEMOHON PERKARA NOMOR 119/PUU-XII/2014: KURNIAWAN Ahlinya Taufiqurrohman Syahuri. 111. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, baik, nanti tertulis ya. Untuk Pemohon yang lain, sudah cukup? Dari Pemerintah, apakah akan mengajukan ahli? 112. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Cukup, Yang Mulia. 113. KETUA: ARIEF HIDAYAT Cukup, baik. Baik kalau begitu, kita tunggu kesimpulan ... ya kita tunggu kesimpulannya. Ya, Para Pemohon, ada lagi? Oh, Pak Didi, silakan. 114. PEMOHON PERKARA SUPRIYANTO
NOMOR
127/PUU-XII/2014:
DIDI
Mohon maaf, Yang Mulia. Seperti yang sudah kami sampaikan berkali-kali bahwa kami memang ingin mempercepat persidangan ini, apalagi tanggal 12 Januari besok itu DPR sudah mulai bersidang. 39
Oleh karena itu, masa persidangan itu tentunya akan membahas menyetujui atau menolak Perppu ini. Nah, kami khawatir pengujian kami ini nanti akan kehilangan konteksnya atau objeknya, apabila sidang ini berlarut-larut, sehingga Perppu itu nanti dibahas dan ditetapkan dari DPR. Nah, ini yang kami mohonkan, sekiranya bisa dan memungkinkan, segera kita membuat kesimpulan dan segera kita tunggu putusannya. Terima kasih. 115. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya, kan itu kita harus melalui proses ya, Mahkamah tidak bisa dipaksa-paksa untuk segera dan sebagainya. Tadi malah kalau Pemerintah masih mengajukan ahli, kan masih bisa panjang lagi, ternyata juga sudah tidak mengajukan ahli. Jadi ya, kami mohon kesadaran Para Pemohon untuk tidak memaksa-maksa makalah ... Mahkamah, tapi apa yang disampaikan oleh Pemohon kita perhatikan ya. Baik ... karena kalau memaksa Mahkamah, itu sudah contempt of court. Baik, kalau begitu kesimpulan kami tunggu paling lambat hari Kamis, tanggal 15 Januari Tahun 2015 dengan kesimpulan dari semua Pemohon dan Pemerintah ya, kita tunggu paling lambat pukul 14.00 WIB, ya. Baik, saya ulangi kesimpulan diserahkan kepada Kepaniteraan pada hari Kamis, 15 Januari tahun 2015 pada pukul 14.00 WIB. Baik, kalau begitu (…) 116. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Izin, Yang Mulia ... izin? 117. KETUA: ARIEF HIDAYAT Oh, dari Pemerintah. 118. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Ya. Jika demikian, Yang Mulia, apakah respons dari yang pertama kali sidang untuk hari Senin, apakah kalau diizinkan (...) 119. KETUA: ARIEF HIDAYAT Langsung dengan kesimpulannya. Langsung (...)
40
120. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Apakah diizinkan demikian? 121. KETUA: ARIEF HIDAYAT Ya. Baik karena persidangan sudah selesai ya berakhir prosesnya, maka sekaligus dijawab dalam kesimpulan. 122. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Baik. Terima kasih. 123. KETUA: ARIEF HIDAYAT Supaya memproses tadi, supaya Pak Didi agak lega itu. 124. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Baik, terima kasih, Yang Mulia. 125. KETUA: ARIEF HIDAYAT Baik, terima kasih. 126. PEMOHON PERKARA SUPRIYANTO
NOMOR
127/PUU-XII/2014:
DIDI
Terima kasih, Yang Mulia, terima kasih.
41
127. KETUA: ARIEF HIDAYAT Terima kasih kepada Para Ahli Pak Irman, Pak Suparji, dan Pak Asrun atas kesediannya memberikan keterangan kepada Mahkamah ini. Saya kira semuanya sudah selesai ya dan persidangan ini sudah selesai, maka sidang ini ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.50 WIB Jakarta, 8 Januari 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
42