MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 76 & 83/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI/SAKSI PEMOHON (III)
JAKARTA KAMIS, 9 OKTOBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 76 & 83/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 245] terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: 1. Supriyadi Widodo Eddyono 2. Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: 1. Febi Yonesta 2. Rizal ACARA Mendengarkan Keterangan Ahli/Saksi Pemohon (III) Kamis, 9 Oktober 2014, Pukul 14.25 – 15.38 WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Muhammad Alim Wahiduddin Adams Patrialis Akbar Maria Farida Indrati Aswanto
Hani Adhani & Cholidin Nasir
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Supriyadi Widodo Eddyono B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Erasmus Napitupulu 2. Robert Sidauruk 3. Yonatan Iskandar
4. Alfeus Jababun 5. Jayadi
C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Bivitri Susanti D. Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Febi Yonesta E. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Ichsa Zikri 2. Ahmad Biky 3. Bunga Siagian F. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Jayadi Damanik G. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Andro Suprianto H. Pemerintah: 1. Budijono 2. Erma
3. Bachtiar
I. Pihak Terkait Nasdem: 1. Taufik Basari 2. Hermawi Taslim J. Pihak Terkait PKS: 1. Ismail Nganggon ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.25 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 76/PUUXII/2014, 83/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Ya. Saya mau absen Nomor 76/PUU-XII/2014 siapa saja yang hadir?
2.
dulu,
Pemohon
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Baik, Yang Mulia. Yang hadir pada Pemohon 76/PUU-XII/2014 saya sendiri Erasmus Napitupulu sebagai Kuasa, dan sebelah kiri saya Bapak Supriyadi Widodo Eddyono sebagai Pemohon Prinsipal, Bapak Alfeus Jebabun sebagai Kuasa, dan Bapak Robert Sidauruk sebagai Kuasa. Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik. 83/PUU-XII/2014?
4.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: ICHSAN ZIKRI Baik, Yang Mulia. Saya sendiri Ichsan Zikri selaku Kuasa, sebelah kiri saya Ahmad Biky selaku Kuasa, Bunga Siagian selaku Kuasa, dan sebelah kanan saya Febi Yonesta selaku Pemohon.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pemohon Prinsipal, ya. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden?
6.
PEMERINTAH: BUDIJONO Terima kasih, Yang Mulia. Dari Pemerintah yang hadir saya sendiri Budijono dari Kementerian Hukum dan HAM, sebelah kiri saya Ibu Erma dari Kementerian Dalam Negeri, sebelah kiri lagi Bapak Bachtiar dari Kementerian Dalam Negeri, dan di belakang kawan-kawan dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Dalam Negeri. Terima kasih, Yang Mulia. 1
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA ya?
8.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PKS: ISMAIL NGANGGON (...)
9.
Ya, terima kasih. Ini ada Pihak Terkait, ya? Apa ini? Pihak Terkait,
Ya, Yang Mulia. Pihak Terkait dari Fahri Hamzah, Saadudin dan
KETUA: HAMDAN ZOELVA Oh, ya, ya. Oh, ya, betul. Jadi Fahri Hamzah itu untuk semua perkara, ya, baik.
10.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Saya, Yang Mulia.
11.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Lain lagi?
12.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Dari Partai Nasdem, Pihak Terkait dari Partai Nasdem.
13.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Oh, Pihak Terkait, ya.
14.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Partai Nasdem saya sendiri Taufik Basari, di belakang ada Pak Hermawi Taslim, terima kasih, selaku Kuasa.
15.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pihak Terkait yang ke sana ada Pihak Terkait yang sini. Baik, hari ini agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon dan baik Pemohon, dan … ahli dan saksi dari Pemohon Nomor 76/PUU-XII/2014 dan Nomor 83/PUU-XII/2014, dan Saksi Nomor 83/PUU-XII/2014. Saya panggil ke depan, saksi dulu dari Nomor 83/PUUXII/2014 untuk diambil sumpah lebih dulu. Andro Suprianto, ada? Ya, Agama Islam. Ya, tangannya diluruskan ke bawah, ya. 2
16.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Baik, ikuti lafal sumpah yang saya tuntunkan. “Bismillahirrahmanirahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya.”
17.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: ANDRO SUPRIANTO Bismillahirrahmanirahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya.
18.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
19.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, kembali ke tempat, silakan. Selanjutnya Bivitri dan Jayadi Damanik sebagai Ahli. Ya, yang Protestan dulu.
20.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, mohon ikuti saya. “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.”
21.
AHLI BERAGAMA KRISTEN BERSUMPAH: Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.
22.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih.
23.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Ya, yang beragama Islam kita mulai. Ikuti lafal sumpah yang akan saya tuntunkan.
3
“Bismillahirrahmanirahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. 24.
AHLI BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmanirahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
25.
HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih.
26.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, silakan kembali ke tempat. Baik, kita dengarkan dulu keterangan Saksi untuk Perkara 83/PUU-XII/2014 Andro Suprianto di podium.
27.
SAKSI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: ANDRO SUPRIANTO Kepada yang terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi. Nama saya Andro Suprianto, biasa dipanggil Andro. Saya adalah seorang pengamen jalanan di daerah Cipulir. Saya akan menceritakan pengalaman saya selama berhadapan dengan proses peradilan pidana karena saya dituduh membunuh seseorang. Saya pernah ditangkap, diperiksa, dituntut, diadili, dan bahkan disiksa selama berhadapan dengan proses peradilan pidana. Awal mula saya berhadapan dengan polisi dimulai pada tanggal 30 Juni 2013. Pada hari itu saya dan teman-teman baru pulang dari Parung Panjang sehabis menginap di Rumah Emak, Parung. Sepulangnya dari situ, saya dan teman-teman menuju ke kolong jembatan cipulir waktu … waktu saya sampai di bawah kolong Cipulir saya lihat ada orang tergeletak lemas. Saya dan dua orang teman saya datang mendekatinya. Kondisinya berlumur lumpur dan bau. Kami tidak mengenalinya. Oleh karena itu, saya bertanya kepadanya, namanya siapa dan di mana rumahnya? Pertanyaan saya dijawab, dia bilang, “Namanya Diki dan rumahnya di Ciledug.” Saya tanya, “Kenapa kondisinya bisa begitu?” Dia jawab karena dia habis dipukuli orang. Saya tawarkan, “Apakah mau dipanggilkan orang untuk menolong?” Dia jawab, “Tidak usah.” 4
Kemudian karena kasihan dengan kondisinya, dia saya kasih minum dan saya kasih mie ayam. Habis itu ya sudah saya tinggalkan. Namun beberapa jam kemudian, kira-kira jam 13.00 WIB, saya dan teman-teman lihat dia sudah meninggal. Saya langsung lapor ke satpam dan polisi yang patroli di depan Pasar Cipulir. Tidak lama kemudian polisi dating, kemudian sehabis saya melapor, saya dan teman-teman ditanyatanyai oleh polisi di dekat Pasar Cipulir. Saya ceritakan apa yang saya tahu. Kemudian saya dan kedua orang teman saya dibawa oleh polisi. Polisi mengatakan saya akan dijadikan saksi. Awalnya saya bertiga dibawa ke Polsek Kebayoran Lama, sehabis itu dibawa ke polda. Begitu sampai polda, tiba-tiba saya langsung dipukul oleh polisi. Saya takut karena saya pikir saya hanya akan ditanya-tanyai oleh polisi. Namun ternyata baru sampai di polda saya langsung dipukul. Saya kebingungan, polisi langsung menuduh saya dan dua teman saya yang lain adalah pelaku pembunuhan. Saya tetap menolak disebut pelaku pembunuhan meskipun saya dipaksa dan dipukul. Akan tetapi salah satu dari teman saya ada yang masih kecil, dia baru berumur 13 tahun. Begitu dipukul, dia ketakutan dan minta ampun. Dia yang pertama kali mengatakan ya waktu polisi memaksa kami mengaku. Mendengar ucapan teman saya yang kecil, polisi semakin menuduh saya dan adalah pelaku pembunuhan tersebut. Datang lima orang polisi memukuli saya dan teman-teman saya. Saya dibawa ke lapangan di polda, ditelanjangi, saya enggak bisa melawan. Saya cuma bisa menangis. Kemudian saya ditahan di polda, tidak boleh pulang. Malam harinya saya dibawa ke TKP. Saya diminta menunjuk teman-teman saya sesama pengamen. Kemudian saya ikuti kemauan polisi dan saya kumpulkan teman-teman saya sesama pengamen. Kemudian setelah itu kami dikumpulkan di bawah kolong jembatan Cipulir dan kami dipukuli di bawah kolong jembatan Cipulir. Waktu itu saya dan teman-teman kurang lebih 10 orang atau 4 orang dari kami masih anak-anak. Kami semua pengamen di bawah kolong Cipulir kami dipukuli dan kami dibawa lagi ke polda. Sampai di polda saya pikir sudah selesai. Saya berdua dengan teman saya Nurdin dibawa ke ruangan, tangan kami diikat, mata kami ditutup, disuruh duduk di bawah lantai. Saya disetrumi oleh polisi di ruangan itu, saya berontak. Tapi saya dipegangi oleh polisi dan terus disetrum. Sehabis itu saya ditanya-tanyai dan disuruh mengaku. Saya bingung, saya dipegangi oleh polisi, saya bingung mengaku apa lagi. Tapi kan saya sudah mengaku. Akhirnya karena saya enggak tahan, akhirnya kami terpaksa mengikuti keinginan polisi. Semua pertanyaan polisi kami ya kan. Kami tidak tahu risiko dari ucapan kami.
5
Sejak hari itu saya, Nurdin, dan empat orang anak kecil teman saya dijadikan tersangka pembunuhan. Proses berlanjut sampai ke persidangan. Di persidangan terungkap fakta bahwa pelaku pembunuhan bukanlah saya dan teman-teman saya karena pelaku sebenarnya bersedia bertanggungjawab dan menjadi saksi di pengadilan. Setelah saya ditahan berbulan-bulan, akhirnya saya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena terbukti bahwa saya bukan pelaku pembunuhan. Demikianlah keterangan saya terkait pengalaman saya berhadapan dengan proses peradilan pidana. Saya pernah diperlakukan sewenang-wenang, disiksa, dipaksa mengaku, dan direndahkan diri saya oleh polisi. Saya yakin hal tersebut terjadi kepada saya hanya karena saya anak jalanan, miskin, dan tidak tahu hukum. Saya harap tidak ada lagi orang yang mengalami nasib sama seperti saya. Sekian dari ucapan saya. Assalamualaikum wr. wb. 28.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Waalaikumsalam wr. wb. Cukup, ya. Kembali ke tempat. Ya, selanjutnya Ahli Perkara Nomor 76, Bivitri Susanti. Ya, silakan.
29.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: BIVITRI SUSANTI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang. Majelis yang saya muliakan, Permohonan Pengujian UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 ini saya lihat sebagai momentum yang baik untuk membongkar kembali konsep pengistimewaan pejabat negara dalam negara hukum yang sekarang kita miliki. Izinkan, Yang Mulia, saya mengajukan pertanyaan kunci yang akan mendasari pemaparan saya kali ini, yaitu apakah kekhususan itu bisa dibenarkan dalam konteks negara hukum? Dalam paparan ini, saya membatasi pembahasan pada soal mendasar mengenai kekhususan tersebut dan mengenyampingkan terlebih dahulu. Satu, prosedur 30 hari yang diatur dalam Pasal 245 ayat (2) dan yang kedua juga dikesampingkan adalah pengecualian yang diatur dalam Pasal 245 ayat (3) Undang-Undang MD3. Secara garis besar, saya berpendapat bahwa kekhususan dalam menjalani proses hukum untuk pejabat-pejabat publik tertentu dapat diterima dalam konteks negara hukum karena ada tugas-tugas yang harus mereka jalankan. Namun … dan namun ini ingin saya garis bawahi. Kekhususan itu arus dilihat semata-mata untuk alasan pelaksanaan tugas, bukan untuk alasan lainnya. Karena itulah, konsepkonsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang 6
dikembangkan. Ada konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang dikembangkan untuk alasan ini. Dan karena itu, saya tidak sependapat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73 Tahun 2011 yang mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara sebagai “lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan, yaitu presiden” dalam memahami pemberian perlakuan khusus bagi kepala daerah. Dalam pandangan saya, argumentasi wibawa dan kehormatan sudah tidak layak lagi dipergunakan dalam konteks negara hukum yang kontemporer. Pengkhususan untuk kalancaran pelaksanaan tugas tersebut, namun demikian tetap memerlukan batasan agar tetap berada dalam koridor negara hukum. Dalam hal ini, saya bersepakat dengan pendapat Mahkamah dalam putusan di atas untuk membatasi pengkhususan ini dengan asas-asas peradilan pidana. Pengkhususan tersebut tidak boleh sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum. Pertanyaan berikutnya adalah dengan demikian, dengan alasan kelancaran pelaksanaan tugas anggota dewan dalam negara hukum, bagaimana seharusnya pengkhususan ini dilaku … dilaksanakan? Lantas pertanyaan turunan berikutnya adalah relevankah kekhususan itu diberikan melalui persetuan Mahkamah Kehormatan Dewan? Untuk menjelaskan pendapat dan menjawab pertanyaan di atas, makalah ini saya bagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama nanti akan membahas mengenai prinsip-prinsip negara hukum dan kaitannya dengan prosedur khusus bagi anggota dewan. Dan untuk dapat menjelaskan kekhususan ini dalam konteks Undang-Undang MD3, izinkan saya memaparkan konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum. Batasan-batasan terhadap pengkhususan ini juga akan dibahas pada bagian ini. Karena batasan itu diperlukan untuk tetap menempatkan pengkhususan anggota dewan dalam koridor negara hukum. Bagian kedua dari pemaparan saya nanti akan menjabarkan bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Apakah dengan bentuknya itu Mahkamah Kehormatan Dewan adalah organ forum yang tepat untuk memberikan izin? Kemudian, bagian ketiga. Dalam bagian ketiga, saya akan mengajukan skema ideal. Bagaimana seharusnya pengkhususan ini diberikan dengan didasarkan tentunya pada pembahasan sebelumnya? Majelis Hakim yang saya muliakan, izinkan saya memulai dengan bagian pertama dari tiga bagian yang ingin saya sampaikan, yaitu prinsip negara hukum dan lembaga perwakilan. Ada dua prinsip negara hukum yang relevan dibahas dalam kasus ini. Yang pertama adalah prinsip persamaan di hadapan hukum dan yang kedua adalah prinsip independensi kekuasaan kehakiman.
7
Untuk prinsip persamaan di hadapan hukum, tentu saja Majelis Hakim Yang Mulia sudah mengetahui dengan sangat baik, sudah dituangkan dengan jelas dalam konstitusi kita, Pasal 27 ayat (1) dan juga Pasal 28D ayat (1). Prinsip-prinsip negara hukum, pada dasarnya merupakan hasil refleksi atas praktik dan pemikiran mengenai bagaimana seharusnya tatanan masyarakat diatur oleh hukum. Prinsipprinsip itu merupakan patokan yang sifatnya umum. Selagi diterapkan, ada banyak aspek dalam praktik yang membutuhkan pemikiran dan rasional yang memadai, salah satunya adalah pengkhususan dalam proses hukum untuk anggota dewan. Ada 2 pendekatan yang relevan untuk didiskusikan untuk membahas putusan ini. Yang pertama adalah prosedur khusus untuk pejabat negara untuk dapat diproses hukum secara cepat yang lazim dikenal sebagai forum priveligiatum dan kedua adalah hak-hak khusus legeslatori yang sering kali disebut dengan parlementeri priveliges. Yang pertama tentang forum preveligiatum yaitu forum khusus yang diberikan untuk pejabat negara tertentu agar dapat menjalankan proses hukum secara cepat sehingga prosesnya hanya ada di satu tingkatan dan langsung bersifat final dan mengikat, dari segi proses persis dengan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin integritas proses cepat tersebut forum ini biasanya dilakukan di pengadilan tertinggi Mahkamah Agung dan proses penyidikan dan penuntutannya pun dilakukan secara khusus, Indonesia mengenalnya dari masa penjajahan Belanda. Konstitusi Belanda Pasal 119 berbunyi diterjemahkan dalam bahasa Inggris, “Present and former member of the parliament, minister, and state secretaries shall be tried by supreme court for offenses committed while in office. Proceeding shall be instituted by royal decree or by resolution of the second chamber.” Forum ini di Belanda dilaksanakan oleh (suara tidak terdengar jelas) dan sejak 1893 sebenarnya forum ini sudah dibatasi hanya untuk perkara-perkara perdata, di sana di Belanda bukan pidana dan lebih dari 100 tahun yang lalu. Saya mencoba menelusuri lebih jauh rasional adanya forum priveligiatum ini dan tidak menemukan alasan yang mendalam kecuali bahwa orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi harus mempunyai sebuah forum khusus yang saya kira ini 180 derajat dengan kesaksian yang baru saja kita dengar. Penelusuran selanjutnya menunjukkan aspek sejarah, forum ini dimulai diadakan pada sekitar abad ke-15 untuk bisa membawa pejabatpejabat dan pengusa periode pada masa itu yang tidak mau dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan karena merasa lebih tinggi dari pengadilan. Forum ini diadakan untuk membuat mereka bersedia masuk ke ranah pengadilan tapi di sisi lainnya memang ada gunanya untuk publik karena akhirnya bisa membuat penguasa bertanggung jawab dihadapan hukum. Tentu saja ini perlu ditelusuri lebih jauh karena saya 8
tidak bisa berbahasa Belanda, kalau ditelusuri lebih jauh barang kali bisa ditemukan alasan-alasan lainnya yang lebih menarik. Wewenang (sauara tidak terdengar jelas) Belanda ini kemudian dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, setelah kemerdekaan aturan ini terus diadopsi dan dituangkan dalam UUD RIS maupun UUDS 1950. Izinkan Yang Mulia. Saya mengutip Pasal 106 UUD 1950, UUDS 1950 yang menyatakan bahwa presiden, wapres, menteri-menteri, ketua dan wakil ketua, dan anggota DPR, ketua dan wakil ketua dan anggota Mahkamah Agung, jaksa agung pada Mahkamah Agung, ketua dan wakil ketua, dan anggota dewan pengawas keuangan, presiden bank sirkulasi dan juga pegawai-pegawai anggota dan seterusnya pun sesudah mereka berhenti berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukannya pada masa pekerjaannya kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang. Dalam melihat UUDS 1950 Supomo tidak menjelaskan dari mana asal muasal Pasal ini dengan pasti, ia hanya menyatakan bahwa pasal ini … pasal-pasal UUDS 1950 diambil begitu saja dari konstitusi Republik Indonesia Serikat, bisa jadi pasal ini diadopsi dari peraturan kolonial yang mengaturnya sebelum kemerdekaan ada Staatsblad 1967 Nomor 10 yang diubah berkali-kali dan terakhir tahun 196 … Staatsblad 1941 Nomor 31 dan aturan soal forum previligiatum resmi diberlakukan di Hindia Belanda dengan didasarkan pada penggolongan hukum eropa timur as … eropa, timur asing, dan bumiputra. Kemudian oleh penguasa Jepang diadopsi tanpa penggolongan hukum namun kemudian UUD 1945 tidak memuat adanya forum ini di dalamnya, forum ini baru diadopsi kembali dengan diberlakukannya UUD RIS 1949 yang isinya kemudian diambil sebagai UUDS 1950 yang dikutip di atas. Majelis Hakim yang saya muliakan. Saya agak jauh ke belakang lebih dulu karena untuk menunjukkan 1 hal, yang nanti akan saya sempelkan … saya sampaikan. Berdasarkan ketentuan tadi tercatat paling tidak menteri negara Sultan Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo dan beberapa pejabat lainnya pernah diadili dengan mekanisme forum preveligiatum. Dengan diberlakuanya kembali UUD 1945 pada 1959 forum ini tidak lagi berlaku dan pada 1959 dalam catatan Sebastian Pompe Mahkamah Agung memutuskan untuk tidak lagi mempunyai jurisdiksi ini, ini kemudian dikuatkan dengan undang-undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang kekuasaan kehakiman yang dibuat kemudian. Yang perlu diperhatikan sesungguhnya prosedur perizinan untuk pemeriksaan pejabat negara termasuk dalam forum priveligiatum. Konsep forum istimewa ini tidak hanya mengatur hukum acara di pengadilan tetapi juga proses hukum secara umum, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Mejelis Hakim yang saya hormati, nampaknya kewajiban izin bagi pejabat negara yang kita anut sekarang merupakan penggalan dari 9
forum preveligiatum yang sebenarnya sudah tidak kita miliki lagi. Ini bisa dilihat dari antara lain bagian penjelasan umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian Terhadap Anggota-Anggota/Pimpinan MPR Sementara dan DPR Gotong Royong. Dikatakan intinya, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal apa yang disebut forum priveligiatum sehingga apa yang diatur dalam undangundang ini hanyalah mengenai tata cara. Jadi dipenggal saja. Hanya mengenai tata cara tindakan kepolisian tersebut yang dimasukkan pula ke dalamnya mengenai pemanggilan sehubungan tindak pidana dan meminta keterangan tentang tindak pidana tanpa menyampingkan hukum acara yang berlaku. Namun kemudian dalam perjalana selanjutnya, adanya izin sebagai penggalan dari konsep forum priveligiatum tadi dilestarikan dengan masuknya ketentuan itu dalam berbagai undang-undang, dengan rasional menjaga harkat dan martabat pejabat negara, pemeriksaan pejabat negara harus dengan izin presiden sebagai kepala negara meskipun bagian lain dan yang terpenggal yaitu proses yang khusus beracara dalam forum priveligiatum sudah tidak ada lagi dalam sistem peradilan Indonesia. Hal kedua yang relevan untuk dibahas selain forum priveligiatum tadi adalah konsep parliamentary privileges. Keistimewaan ini dikenal sangat jamak dalam berbagai praktik kenegaraan. Dalam tradisi westminster disebut dengan parliamentary privileges tapi kemudian juga dalam misalnya di house of representatives di Amerika Serikat ada juga privileges pada house of representatives. Intinya ada dua tujuan dari keistimewaan ini. Pertama, memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat dituntut secara perdata. Lagi-lagi perlu saya garis bawahi di sini, secara perdata di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam sidang. Tanpa hak imunitas, bisa jadi legislator merasa tak bebas mengemukakan pendapat dan mendorong perbaikan bagi konstituennya karena selalu terancam digugat secara hukum oleh lawan-lawan politiknya. Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat legislator seakan-akan … hanya seakan-akan kebal hukum, namun mereka tidak sepenuhnya kebal, merkea hanya tidak bisa dihukum atas apa yang diucapkannya dalam sidang. Di luar kapasitasnya sebagai wakil rakyat, legislator tetap warga negara biasa. Karena itulah, parliamentary privileges ataupun hak imunitas hanya berlaku untuk perkara perdata, khususnya untuk soal pencemaran nama baik atau semacamnya. Kemudian untuk membatasi kebebasan berbicara tersebut, dibuat pula perangkat aturan sidang mengenai bahasa yang tidak dapat digunakan di dalam sidang parlemen. Saya kira ini akan sangat menarik apabila diadopsi di sini. Kata-kata kasar, makian, dan kebohongan tidak boleh digunakan dalam sidang-sidang parlemen. Dalam tradisi parlemen Inggris, ini disebut unparliamentary language.
10
Tujuan pemberian kekhususan itu yang kedua adalah efektivitas kerja mereka sebagai anggota dewan dan ini saya kira yang sama pentingnya dengan imunitas tadi. Bentuknya adalah perlindungan bagi anggota dewan untuk supaya tidak bisa ditahan untuk kasus perdata, lagi-lagi kasus perdata selama masa sidang. Bila ditahan, mereka juga tidak akan … sebab bila ditahan, mereka tidak akan bisa berpartisipasi dalam sidang. Dengan alasan yang sama di negara dengan sistem juri, mereka dibebaskan dari kewajiban mereka menjadi anggota juri dan juga tidak diperkenankan menjadi saksi. Intinya adalah kegiatankegiatan di pengadilan yang bisa membuat mereka tidak hadir dalam sidang dewan. Perlu dicatat, namun demikian, di luar masa sidang mereka tetap dapat ditahan untuk kasus perdata. Dan yang lebih penting, Majelis Hakim Yang Mulia, tidak ada pengecualian sama sekali bagi mereka untuk perkara pidana. Sekarang saya akan memasuki sub bagian kedua dari bagian pertama pemaparan saya yaitu prinsip kedua dalam prinsip negara hukum, prinsip independensi peradilan. Adanya persyaratan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan terlepas … sekali lagi saya kesampingkan dulu soal batas waktu dan pengecualian, sesungguhnya merupakan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Meski izin ini tidak berkaitan langsung dengan hakim, kekuasaan kehakiman seperti yang Mahkamah juga sudah akui, juga mencakup proses peradilan secara luas. Aparat penegak hukum karena itu dalam melaksanakan proses peradilan, mulai dari penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan, tidak boleh mendapatkan tekanan apapun. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai hal ini dalam Putusan MK Nomor 73 Tahun 2011, di mana Mahkamah berpendapat dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakkan keadilan. Begitu juga pendapat Mahkamah yang saya kira tidak perlu saya bacakan ulang, tapi sangat penting untuk dijadikan rujukan tentu saja, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6, 13, 20 Tahun 2010 juncto Pasal … Putusan Nomor 73 Tahun 2011, intinya tafsir keuasaan kehakiman meliputi hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan hukum dan keadilan. Dengan begitu, untuk prinsip negara hukum dalam hal independensi kekuasaan kehakiman dalam pandangan saya, persyaratan izin untuk memeriksa anggota dewan tidak tepat. Majelis Hakim yang saya muliakan. Saya kini memasuki bagian kedua dari paparan saya. Setelah membahas esensi pengkhususan, izinkan saya turun ke persoalan di Undang-Undang MD3 yaitu relevansi Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurut Undang-Undang MD3 Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertugas menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Terdiri dari 11
17 orang, dari berbagai fraksi di DPR, dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi dan terkait dengan bentuk kelembagaan Mahkamah Kehormatan Dewan, ada tiga hal yang ingin saya soroti. Pertama. Mengenai posisi Mahkamah Kehormatan. Kedua. Mengenai potensi benturan kepentingan. Dan ketiga mengenai tujuan pengaturan. Mengenai posisi Mahkamah Kehormatan seperti dibahas di atas, persyaratan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat negara di Indonesia, akarnya sebenarnya ada pada forum privilegeliatum yang dulu pernah diterapkan di Indonesia. Rasionalnya adalah untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara dalam konteks pejabat negara sebagai lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu presiden. Dengan demikian, kalau memang mau diterapkan yang seharusnya memberikan izin adalah kepala negara atau dalam konteks aparat penegak hukum, atasan aparat penegak hukum tesrebut. Sedangkan Mahkamah Kehormatan Dewan sebenarnya merupakan lembaga etik yang setara dengan anggota lainnya, yang tidak memiliki hubungan langsung apapun pada sistem peradilan pidana. Adanya tambahan wewenang Mahkamah Kehormatan untuk memberikan izin pemeriksaan berada di luar tugas sebuah lembaga etik. Poin kedua. Potensi benturan kepentingan. Masalah lainnya adalah potensi benturan kepentingan yang sangat besar, tentu saja mengingat anggotanya yang terdiri dari fraksifraksi yang ada. Kerja Badan Kehormatan DPR, pada periode-periode yang lalu dapat dijadikan rujukan untuk pandangan ini. Untuk kasuskasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan partai berkuasa, badan kehormatan pada periode-periode yang lalu terlihat ragu dalam mengambil keputusan. Sementara bagi anggota DPR yang posisinya hanya sebagai anggota, badan kehormatan dapat mengambil putusan yang signifikan, bahkan sampai memecatnya dari keanggotaan DPR. Ada sebuah penelitian yang saya kutip, dalam makalah singkat saya berkaitan dengan kasus Anggota DPR Azidin misalnya, yang dilaporkan ke Badan Kehormatan karena kasus surat berkop … maaf, Partai Demokrat yang dikirimkan ke konsul Haji di Jeddah, berkaitan dengan pencaloan pemondokan haji dan catering. Dikatakan dalam penelitian tersebut, kasus tersebut diputus dalam waktu hanya 6 minggu, padahal bukti yang dilaporkan terbatas karena hanya berupa kutipan di media massa. Sementara itu dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung Laksono terkait dengan safari ramadhan yang dilakukannya, kasusnya dibekukan. Badan Kehormatan menyatakan tidak ada kasus yang perlu digali lebih jauh karena buktinya tidak otentik, padahal ada bukti rekaman dari 12
tiga daerah pada saat safari ramadhan itu dilakukan. Mahkamah Konstitusi yang saya muliakan, sekarang masuk ke tujuan pengaturan yang ingin saya soroti juga, selain diskusi di atas pada kesempatan yang baik ini, saya juga ingin mempertanyakan sebenarnya maksud pembuat undang-undang dalam merumuskan pasal ini, sebab menarik untuk dilihat, meski dalam hal materi muatan alat-alat kelengkapan ke semua dewan yang diatur dan MPR yang diatur dalam Undang-Undang MD3 mempunyai kesamaan dalam penamaan, penamatan Mahkamah Kehormatan ini hanya diberikan untuk DPR. Sedangkan untuk DPD, MPR, maupun untuk DPRD terminologi badan kehormatan masih digunakan. Demikian pula, kewajiban memintakan izin pemeriksaan itu hanya berlaku untuk DPR dan tidak untuk dewan-dewan lainnya. Kelihatannya, ini terjadi karena Mahkamah Kehormatan memang mempunyai pemahaman tersendiri. Majelis yang saya muliakan. Karena minimnya akses ke dokumen pembahasan, saya belum menemukan jawaban pasti mengenai tujuan pembentukan Mahkamah Kehormatan ini. Namun dari penelusuran pemberitaan di internet dari media yang cukup mempunyai kredibilitas, terlihat adanya tujuan khusus untuk memberikan wewenang pemberian izin pemeriksaan anggota DPR kepada Mahkamah Kehormatan. Perubahan nama badan menjadi Mahkamah ditujukan untuk menempatkan alat kelengkapan ini sebagai semacam lembaga yang mempunyai kedudukan yang ditinggikan, misalnya saja Anggota DPR Benny Harman, pernah mengatakan ketika Undang-Undang MD3 masih dalam tahap pembahasan, “didiskusikan” didiskusikan tidak hanya anggota DPR saja atau tokoh-tokoh masyarakat. Kalau rumusan MD3, melakukan pelanggaran sumpah janjinya yang mengadili adalah BK, tingkatkan otoritasnya supaya lebih berwibawa, membentuk komite khusus untuk penyelidikan, opini lainnya yang lebih menjurus yang bisa banyak, tapi yang saya kutip hanya dua ini, yang lebih menjurus diungkapkan oleh Anggota Komisi 1 DPR RI Hidayat Nur Wahid yang menekankan kehormatan Anggota DPR RI. Nampak ada keprihatinan mengenai banyaknya anggota DPR yang terlibat kasus korupsi. Harian Republika mengutip, Hidayat menyatakan pada saat itu, “Sata ini anggota DPR terlalu mudah dipanggil menjadi saksi dalam persidanganpersidangan kasus korupsi. Hal ini menurutnya menimbulkan citra buruk dimata masyarakat, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap parlemen.” Izinkan saya mengutipnya dalam tanda kutip penuh, “DPR itu di manapun adalah orang yang terhormat, mestinya memang mereka adalah orang yang terhormat. Jadi, di MD3 itu ada ketentuan bahwa nanti Badan Kehormatan itu nanti akan berganti menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan, Mahkamah Kehormatan itu yang melaksanakan tugas-tugas Badan Kehoramatan, sekarang ditambah dengan beberapa hal lain, termasuk kalau terkait dengan korupsi, terutama terkait dengan 13
korupsi, apalagi tangkap tangan itu kembali lagi pada hukum KPK.” Ujar Hidayat. Majelis Hakim yang saya muliakan, bila tujuan pengaturan ini terkonfirmasi, maka sesungguhnya Pasal 245 yang tengah diperiksa ini memang sengaja didesain untuk mempersulit pemanggilan anggota dewan oleh aparat penegak hukum, dalam pandangan saya. Majelis Hakim, kini saya akan membahas bagian ketiga yang merupakan penutup dari paparan saya hari ini. Mengenai skema ideal pengkhususan proses hukum bagi anggota dewan, meskipun saya paham dalam kesempatan ini saya tidak perlu menyampaikan masukan pembahasan di atas, dalam pandangan saya tidak akan jelas maksudnya bila tidak berujung pada skema ideal yang tepat bagi negara hukum Indonesia. Maka izinkanlah saya memberikan sedikit kesimpulan mengenai skema ideal pengkhususan proses hukum bagi anggota dewan sebagai penutup pemaparan ini. Dalam konteks negara hukum anggota dewan mempunyai peran signifikan. Dalam negara hukum ada aktor-aktor yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaannya, peran aparat penegakan hukum dijaga dengan adanya prinsip independensi peradilan, darinya diturunkan perangkat aturan mengenai … antara lain kode etik dan kode perilaku. Anggota dewan di sisi lainnya berperan sebagai pembentuk peraturan, pembentuk perangkat hukum. Konteks peran anggota dewan berbeda dengan adanya ... berbeda dengan adanya konteks kompetisi dalam prosedur politik, namun dalam tugasnya sebagai pembentuk perangkat hukum sesungguhnya terkandung suatu bentuk kerentanan, yaitu dalam menyatakan pendapat dalam sidang dewan sebagai forum publik. Anggota dewan berperan menyuarakan aspirasi publik, kalau boleh saya meminjam istilah yang digunakan oleh Daniel Dhakidae ada kuasa wicara atau power of speech pada diri anggota dewan. Kuasa wicara ini perlu diberikan proteksi khusus dalam konteks negara hukum agar bisa digunakan secara maksimal dalam proses pembentukan hukum, legislator harus merasa bebas dalam melaksanakan kuasa wicaranya. Karena itu dalam pandangan saya pengkhususan ini dapat dibenarkan dalam konteks negara hukum sepanjang tetap berada dalam koridor prinsip kemandirian, kekuasaan kehakiman, ditambah sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi perlakuan khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas-asas peradilan pidana apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum. Masalahnya, Majelis Hakim yang saya muliakan, pemberian izin ternyata bertentangan dengan prinsip kemandirian, kekuasaan kehakiman, dan berakibat pada terhambatnya proses hukum, sehingga tidak tepat untuk digunakan sebagai bentuk kekhususan yang dimaksud. Apalagi rasional proses pemberian izin ini tidak sejalan dengan pemahaman mengenai negara hukum karena sebenarnya merupakan
14
warisan pengaturan yang sudah bersifat usang dan tak layak lagi diterapkan, yaitu penjagaan martabat dan kehormatan pejabat. Argumen pemberian kekhususan yang lebih dapat diterima dalam konteks negara hukum dan jamak dipraktikan dalam praktik ketatanegaraan kontemporer adalah argumen pelaksanaan tugas. Jadi bukan untuk kehormatan dan martabat tapi pelaksanaan tugas, apalagi dalam konteks penegakan hukum di Indonesia pada saat ini yang masih belum bisa memberikan kepastian waktu dalam proses peradilan. Selain itu perlu digarisbawahi dalam praktik ada concern mengenai kriminalisasi terhadap pejabat negara. Dalam konteks politik dan hukum Indonesia pada saat ini concern itu sangat valid dan telah terbukti terjadi, misalnya dalam kasus kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2009 lalu. Untuk itu, Yang Mulia, skema ideal yang perlu dipertimbangkan adalah dikembalikannya forum privilegiatum dalam hukum Indonesia. Perlu ada prosedur yang dipercepat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan agar pejabat-pejabat negara tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara tanpa melanggar prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan independensi kekuasaan kehakiman. Demikian paparan ini saya sampaikan, terima kasih, Yang Mulia. Wassalamualaikum wr. wb. 30.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Kembali dulu ke tempat duduk. Selanjutnya saya persilakan Dr. Jayadi Damanik.
31.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: JAYADI DAMANIK Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Saya ingin memfokuskan pembahasan saya pada kesempatan ini untuk melihat materi muatan undang-undang yang memberikan keistimewaan atau privilege yang kalau itu dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia. Jadi saya fokus dari sudut pandang itu. Oleh karena itu, maka izinkan saya, Yang Mulia, dalam mengawali keterangan saya ini untuk mengemukakan kembali beberapa keterangan yang pernah saya kemukakan di ruangan sidang ini sekitar 7 tahun yang lalu, dalam Perkara Nomor 6 Tahun 2007 dan Perkara 21/22 tahun 2007. Agar bisa runtun saya ingin memulai uraian saya dari uraian tentang pelanggaran hak asasi manusia yang bisa kita simak dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Saya tidak ingin membacakan karena itu sudah menjadi pemahaman bersama, tetapi yang ingin saya lanjutkan adalah bahwa pelanggaran HAM dapat terjadi melalui undang15
undang yang dalam bahasa Inggris sering disebut human right violation through legislation atau true act atau pun through law. Karena apa? Karena materi muatannya diskriminatif, diskriminasi dapat terjadi karena materi muatan suatu undang-undang mengandung pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, dan seterusnya. Bila materi muatan undang-undang memberikan keistimewaan atau privilege yang melindungi kepentingan kekuasaan secara berlebihan, saya ingin garis bawahi secara berlebihan, maka pelanggaran HAM dapat terjadi melalui undang-undang yang demikian. Bila sistem hukumnya berusaha melindungi pejabat-pejabat negara, saya kutip dalam bahasa Inggris, “Special system of law to protect the servant of the state.” Dalam menjalankan tugasnya, oleh sebab itu saya agak berbeda dengan ahli sebelumnya, sehingga si pejabat negara serta alatalatnya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari warga negara biasa, maka hal itu dapat mengakibatkan pelanggaran HAM. Bila merujuk pada konsep negara hukum rules of law, maka sistem hukum yang demikian seharusnyalah ditinggalkan, sebaliknya prinsip equality before the law secara konsisten ditegakkan. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi yang saya hormati lagi, setelah menguraikan sedikit tentang pengertian pelanggaran HAM dan hubungannya dengan diskriminasi tadi, izinkan saya selanjutnya menguraikan lebih lanjut tentang konsep diskriminasi dari sudut pandang hukum hak asasi manusia. Dua konsep tersebut sangat erat kaitannya, yaitu konsep diskriminasi dan konsep pelanggaran HAM. Karena diskriminasi itu tergolong sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu kiranya perlu dicatat bahwa terdapat sejumlah konvensi internasional yang memuat ketentuan larangan diskriminasi dalam rangka perlindungan hak asasi manusia. Instrument HAM demikian berkembang pesat pasca perang dunia kedua, saya tidak ingin sebut satu-satu tapi di antaranya adalah Duham Covenant Civil Politic, Covenant ECOSOC, dan juga Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia tahun 1950. Saya khusus ingin mengutip Konvensi ILO yang sering kita lupakan, ada dua konvensi dasar ILO yang mungkin relevan pada kesempatan ini, yaitu konvensi ILO Nomor 100 tahun 1951 dan konvensi ILO Nomor 111 tahun 1958. Khusus untuk Konvensi ILO Nomor 111 tahun 1958 ini sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1998 yang pada intinya adalah larangan diskriminasi di bidang pekerjaan dan jabatan. Oleh karena itu, saya melihat bahwa posisi anggota DPR, posisi pejabat pemerintah, kalau kita lihat dari sudut pandang Konvensi ILO ini bukanlah sesuatu yang dikecualikan untuk memperoleh perlakuan istimewa yang berlebihan dalam jabatan. Ada juga konvensi yang lain yang secara khusus berkaitan dengan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial. Secara teoritis 16
saya ingin mengutipkan bahwa kata to discriminate yang melahirkan kata discrimination, discriminating, dan sebagainya mempunyai dua arti yang berbeda. Yang pertama adalah dalam pengertian yang netral, yaitu to distinguish, yaitu untuk membedakan. Yang kedua juga to differentiate between, untuk membedakan antar orang, barang, atau apa saja. Pengertian yang kedua adalah dalam pengertian yang buruk yang selama ini menjadi banyak diperbincangkan, yaitu to discriminate against, yang artinya to make and avers distinction, to distinguish a probably from others. Terdapat dua unsur penting dalam konsep diskriminasi, yaitu unsur persamaan yang dalam bahasa Inggris equality versus inequality dan unsur yang kedua adalah unsur perlakukan (treatment). Istilah persamaan (equality) dapat dipilah dalam dua arti, yaitu arti formil dan materiil. Pada arti yang disebut pertama, yaitu arti formil, persamaan mengandung arti perlakuan yang sama (equality treatment), sedangkan pada arti yang disebut kedua materiil mengandung arti persamaan ekonomi, sosial, dan budaya (economic, social, and cultural equality). Konsep formil tersebut tidak mengandung arti bila tidak dilengkapi atau disertai dengan konsep materiil. Jadi keduanya saling terkait. Hal itu tampak jelas kalau kita mencermati Pasal 26 Covenant Internasional tentang hak-hak sipil dan politik 1966 yang … izinkan saya membacakannya. All person are equal before law and are entitled without discrimination to the equal protection of the law, in this respects … saya ulang, in this respect the law self habit any discrimination and guarantee to all person equal and effective protection against discrimination on any grounds. (suara tidak terdengar jelas) colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin property or other status. Pada hakikatnya diskriminasi formil yang dinyatakan dalam kalimat yang pertama yang saya kutip tadi, dilengkapi dengan gagasan materiil yang terkandung dalam kalimat selanjutnya dalam kutipan Pasal 26 tadi. Tetapi, melalui penyelipan kata-kata, tadi saya garis bawahi kata in this respect, yang dalam Bahasa Indonesianya, dalam hal ini, di dalam kalimat kedua yang saya kutip tadi, kalimat ini telah mereduksi menjadi sekedar mengelaborasi gagasan persamaan formil. Pengertian nondiskriminasi harus menjadi persamaan … maaf, pengertian nondiskriminasi harus menjamin persamaan di depan hukum. Persamaan equality dalam … dan ketidaksamaan unequality terjadi secara simultan antara keduanya saling membutuhkan. Jika larangan terhadap diskriminasi itu adalah suatu usaha untuk mewujudkan keadilan, maka hal itu tidaklah cukup dengan melarang diskriminasi hanya dalam perlakuan yang tidak sama. Larangan harus pula meliputi diskriminasi dalam bentuk perlakuan sama, hal mana harus memerlukan tindakan negara yang disebut dengan affirmative action. 17
Sekali lagi saya ingin garis bawahi affirmative action untuk menjawab nanti, apakah materi muatan undang-undang yang memberikan keistimewaan previlage untuk para anggota DPR itu dalam kerangka affirmative action apa tidak? Kalau bukan, maka tidak (suara tidak terdengar jelas) dengan norma hukum hak asasi manusia. Dengan demikian persamaan equality dan ketidaksamaan unequality di satu sisi, dan perlakuan (treatment) di sisi lain, keduanya dipahami sebagai dua unsur yang menjadi dasar konsep diskriminasi. Hubungan konseptual antara diskriminasi di satu sisi dan persamaan dan ketidaksamaan di sisi lain sangat (suara tidak terdengar jelas). Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, saya ingin melanjutkan bahwa ide tentang persamaan merupakan suatu unsur penting bahkan sangat mendasar dalam konsep keadilan. Dapatlah dikatakan bahwa keadilan membutuhkan perlakuan yang sama terhadap hal yang sama, orang, barang, dan sejenisnya. Sebaliknya juga, keadilan membutuhkan perlakuan yang tidak sama terhadap hal yang tidak sama. Dalam bahasa Inggris secara ringkas dan padat sering disebutkan, equal treatments of equals, and unequal treatments of unequals in proportion to the inquality. Aristoteles sebagaimana dikutip Frank (suara tidak terdengar jelas) mengungkapkan, things that are allayed should be treated allayed. While things that are allayed should be treated unalloyed in proportion to the unlikeness. Itu bisa ditemukan dalam tulisannya Frank (suara tidak terdengar jelas) di judicial review by the supreme court of Canada, another Canadian charter of right and freedom, yang disunting oleh David Beatty dalam bukunya Human Rights and Judicial Review a Comparative Perspective, Tahun 1994. Yang Mulia Hakim Konstitusi, dari perspektif hukum hak asasi manusia, kiranya perlu dibedakan antara perlakuan yang sama, yaitu equal treatment yang saya sebutkan tadi di satu pihak, dan kondisi sosial yang sama equal social condition di sisi lain. Dalam banyak kasus, kondisi sosial yang sama merupakan hasil dari perlakuan yang tidak sama unequal treatments, atas dasar perbedaan tersebut dengan merujuk pada formulasi klasik tentang keadilan, maka lebih lanjut saya ingin membedakan empat hal. Yang pertama, if equal treatment is accorded to the equals than result is equal social condition, yang dalam Bahasa Indonesianya saya terjemahkan secara bebas, jika perlakuan yang sama diberikan kepada yang sama, maka hasilnya adalah kondisi sosial yang sama, itu yang pertama. Yang kedua, if equal treatment is accorded to the unequals than result is unequal social condition, yang saya ingin terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia secara bebas, jika perlakuan yang sama diberikan kepada yang tidak sama, maka hasilnya adalah kondisi sosial yang tidak sama.
18
Yang ketiga, like wise if unequal treatments is a code to equals the result is unequal condition social condition. Sebaliknya, jika perlakuan yang tidak sama diberikan kepada yang sama, maka hasilnya adalah kondisi sosial yang tidak sama. Yang terakhir yang ke empat. If unequal treatments is a code to unequal than depending on the factual unequalness and the character of the treat. Jika perlakuan yang tidak sama diberikan kepada yang tidak sama, maka tergantung pada sifat ketidaksamaan faktualnya dan karakter perlakuannya. Lebih lanjut yang keempat ini yang terkahir saya sebut tadi bisa dielaborasi yaitu ketidaksamaan faktual dan karakter yang dimaksudkan terdiri yang pertama adalah. a. The in equality a (suara tidak terdengar jelas) social condition is has increase has become whiter or the inequality a (suara tidak terdengar jelas) social condition is (suara tidak terdengar jelas) leveling has come about. Yang dalam Bahasa Indonesianya, “Ketidaksamaan mengenai kondisi sosial yang meningkat menjadi lebih lebar,” itu salah satu alasannya, yang kedua, “Atau ketidaksamaan mengenai kondisi sosialnya dikompensasi atau suatu penyamarataan tertentu telah terjadi.” Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi, agak teoritis tadi. Tetapi saya ingin lanjutkan bahwa keadilan membutuhkan perlakuan yang sama terhadap hal yang sama, sebaliknya membutuhkan perlakuan yang tidak sama terhadap hal yang tidak sama secara proporsional dengan ketidaksamaan itu. Equal treatments of equals and unequal treatments of unequal in proportion to the in quality. Dengan merujuk pada asas yang saya uraikan satu, dua, tiga, empat tadi, persamaan secara hukum merujuk pada butir 1 dan butir 4B di atas. Butir 1 tadi merujuk pada equal treatments of equals. Dan butir 4B merujuk pada unequal treatments of unequal. Substansi butir yang disebut terakhir yaitu butir 4B saya sebut, dimaksudkan untuk mencapai apa yang disebut sebagai equality in fact (persamaan dalam kenyataan) atau yang disebut pula sebagai equality in social and economic condition (persamaan dalam kondisi sosial dan ekonomi). Dua bentuk persamaan yaitu persamaan sebagai perlakuan dan persamaan sebagai hasil akhir yang saya sebut sebagai final result, keduanya berfungsi secara simultan karena tidak dapat dibayangkan subjek dari perlakuan secara total berbeda atau sebaliknya secara total sama. Dengan demikian, dari keduanya tampak bahwa karakter keadilan yang bersifat dualistic berhubungan dengan sifat dualistic ini di dalam dunia nyata, koeksistensi persamaan dan ketidaksamaan memerlukan
19
dua bentuk persamaan tersebut yang berfungsi sebagai simultan jika keadilan hendak diwujudkan. Bentuk-bentuk persamaan tersebut dalam rangka menikmati hakhak yang sama sebagai perwujudan dari kewajiban yang sama. Oleh karena itu, posisi hukum yang sama (equal legal position) terjadi ketika dilaksanakannya hak atau kewajiban yang spesifik pula dan persamaan tentang satu hak atau kewajiban dipasangkan dengan ketidaksamaan tentang hak atau kewajiban yang lain. Oleh karena itu, persamaan adalah suatu abstraksi dari ketidaksamaan, maka per … perlakuan yang sama merupakan abstraksi dari ketidaksamaan di antara yang terkait dengannya. Kiranya perlu pula diuraikan lebih lanjut berikut ini tentang keterkaitan antara persamaan formil dan persamaan materiil di satu pihak dan persamaan di depan hukum dan persamaan di dalam hukum (equality (suara tidak terdengar jelas) the law and equality in the law (di pihak lain)). Berikut dengan pengertiannya oleh karena larangan terhadap diskriminasi merupakan unsur utama pembentukan the rules of law. Asas persamaan berfungsi pada dua tingkat yang pada tingkat tertentu dapat dibedakan, yaitu pada tingkat penciptaan hukum (law creation) dan pada tingkat penerapan hukum (law application). Tentu saja tidak dapat ditarik batas yang tegas antara keduanya, oleh karena menciptakan hukum berarti merupakan ketentuan yang mengatur tentang prosedur penciptaan hukum. Sebaliknya, penerapan hukum berarti menciptakan hukum untuk situasi khusus. Dengan demikian terdapat suatu keterkaitan yang bersifat continuum dalam tingkatan konkretisasi dan tidak ada pemisahan yang jelas di antara keduanya. Hal ini merupakan suatu esensi legislasi. Pada tingkat persamaan hukum, asas persamaan biasa yang disebut sebagai equality before law, asas equality before the law depat dipahami utamanya sebagai suatu asas yang bersifat legal dan teknis. Sebaliknya, asas equality in the law lebih pada asas yang bersifat politis (political principal). Equality before the law sama sekali tidak ada hubungannya dengan diferensiasi hukum. Ingin saya garis bawahi lagi, tidak ada hubungannya dengan diferensiasi hukum. Ia hanya memerlukan perlakuan yang sama dalam suatu klasifikasi. Dalam pada itu equality in the law dilakukan secara langsung dengan karakter diferensiasi hukumnya sendiri. Hal itu tidak berarti membatasi jumlah atau meniadakan klasifikasinya, sebaliknya hal itu dimaksudkan akan terdapat sejumlah diferensiasi yaitu perlakuan yang berbeda sebab sesuatu yang bersifat teknis melekat dalam legislasi. Namun demikian asas persamaan di dalam hukum mensyaratkan agar mengikuti ketentuan tertentu harus sesuai dengan standar yang telah ditentukan, misalnya harus sesuai dengan asas nondiskriminasi. 20
Dua pemikiran persamaan materiil, yaitu persamaan di dalam hukum dan persamaan tentang kondisi sosial sebagaimana telah saya uraikan di atas, tentu saja erat kaitannya. Sementara itu pada tingkat penerapan hukum persamaan di depan hukum, persamaan formil sangat lah esensial dalam menjaga efek perlakuan yang sama maupun perlakuan yang tidak sama sebagaimana yang telah ditetapkan melalui legislasi, ia tidak dapat dengan sendirinya menciptakan persamaan di dalam hukum dan dengan demikian persamaan pada kondisi sosial. Persamaan kondisi sosial tersebut hanya dapat dibawa pada tingkat penciptaan hukum melalui persamaan di dalam hukum, persamaan di dalam hukum adalah sebagai akibat dari generalitas atau juga diferensiasi di dalam legislasi, misalnya perlakuan legislasi yang sama. Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Bagian dua dari paparan saya, saya ingin masuk kepada sikap saya atau pandangan saya terhadap Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. 32.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Singkat, 5 menit lagi, ya.
33.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: JAYADI DAMANIK Ya. Saya ingin lanjutkan bahwa materi muatan Pasal 245 yang dibahas pada hari ini, yaitu merupakan keharusan ada izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan bagi penyidik untuk memanggil dan memeriksa anggota DPR itu tergolong diskriminatif. Dan oleh karena itu sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena memberikan privilege yang sangat berlebihan untuk melindungi kepentingan kekuasaan para anggota DPR, dan oleh karena itu bertentangan pula dengan prinsip equality before the law. Mahkamah Konstitusi sebelumnya saya teringat dengan Putusan 73 Tahun 2011 seperti yang sudah disebutkan telah menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengenai keharusan adanya izin presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945, dan oleh karenanya dinyatakan sebagai yang tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, itu yang pertama. Yang kedua, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2007 saya ingin kutip pertimbangan hukum butir 3.15.1. dalam putusan itu sebagaimana juga merujuk pendapat saya dalam (suara tidak terdengar jelas) saya ingin bacakan bahwa memberikan privilege yang berlebihan dalam melindungi kepentingan pemerintah itu masuk klasifikasi pelanggaran hak asasi manusia, bertentangan dengan prinsip equality before the law. Itu bunyi putusan Mahkamah Konstitusi. Juga 21
saya ingin merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi teringat Pasal 49 ... Putusan Nomor 49 Tahun (suara tidak terdengar jelas) tentang izin Majelis pengawas daerah bagi notaris juga menyatakan hal yang sama. Satu lagi saya teringat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65 Tahun 2011 yang menguji Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, itu aturan banding yang memberlakukan hanya untuk penyidik atau penuntut umum juga dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, saya ingin akhiri paparan saya ini untuk menyampaikan bahwa dari pandangan hukum hak asasi manusia materi muatan undang-undang yang sedang diuji ini yang memberikan privilege yang istimewa, berlebihan kepada anggota DPR tergolong sebagai pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk diskriminasi. Sekian dan terima kasih. 34.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, kembali ke tempat. Kita ada waktu 10 menit, ada pertanyaan untuk Ahli atau Saksi?
35.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPIYUPULU kasih.
36.
Kami rasa sudah sangat jelas, Majelis. Saya rasa cukup, terima
KETUA: HAMDAN ZOELVA Cukup, ya. Pemerintah?
37.
PEMERINTAH: BUDIJONO Cukup, Yang Mulia.
38.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Pihak Terkait?
39.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Ada, Yang Mulia.
40.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ada. Ya, silakan. 22
41.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Baik, terima kasih, Yang Mulia. dalam persidangan yang lalu Partai Nasdem telah memberikan pandangannya terkait dengan permohonan mengenai Undang-Undang MD3 ini yang pada intinya menolak Pasal 245 Undang-Undang MD3 dan mendukung permohonan dari Pemohon. Setelah kami mendengar keterangan Ahli Ibu Bivitri Susanti, ada beberapa hal … ada satu hal yang mungkin kami ingin mintakan pendapatnya apabila kita mendiskusikan mengenai tafsir konsititusi atau pemaknaan konstitusi oleh Yang Mulia Majelis Hakim. Bagaimana jika kita mengangkat satu … satu pendapat untuk memberikan tafsir konstitusi terhadap Pasal 245 Undang-Undang MD3 ini dengan menyatakan bahwa Pasal 245 Undang-Undang MD3 adalah inkonstitusional bersyarat ya, sepanjang dimaknai terbatas pada dugaan tindak pidana yang terkait dengan tugas-tugas anggota dewan, … maaf yang terkait dengan tugas-tugas anggota dewan menurut aturan perundang-undangan. Pendapat ini saya ingin mintakan pandangannya dari Ahli dalam konteks tadi kita kaitkan konsep forum privilegiatum dan parliamentary privilege. Kalau kita lihat kan Pasal 245 ini kalau tadi dari pendapat Ahli ada muatan kepentingan kelompok atau pribadi ketika merumuskannya. Tapi di sisi lain ada konsep forum privilege … privilegiatum dan parliamentary privilege itu tadi yang kalau kita lihat dari segi positifnya ada dua hal. Yang pertama adalah supaya tugas-tugasnya tidak terhalagi dan yang kedua juga ada perlindungan terhadap anggota dewan ketika menjalankan tugas-tugas misalnya dari ancaman pencemaran nama baik dan sebagainya. Nah, bagaimana jika ada pendapat seperti itu dari pandangan Ahli? Demikian, Yang Mulia.
42.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, masih ada, cukup ya. Tapi saya mau klarifikasi kepada Bivitri satu. Tadi memang di Inggris hukum perdata itu bisa ditahan kaitannya dengan kasus perdata? Tadi katanya hanya dalam kasus perdata yang tidak boleh ditahan. Apa saya salah dengar? Ya, silakan.
43.
AHLI DARI PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: BIVITRI SUSANTI Terima kasih, Yang Mulia. Pertama mengenai perkara perdata memang benar yang saya ungkapkan tadi, terbatas hanya pada kasus perdata. Tapi barangkali klarifikasinya ada dua hal. Pertama soal apa … di Inggris yang tadi saya sebutkan adalah hak imunitas masih terkait dalam parliamentary privileges dan perkara perdata yang dimaksud di 23
sini adalah saya kira awalnya berasal dari soal pencemaran nama baik yang ada di ranah perdata. Kemudian bisa dibawa ke ranah pidana. Jadi asal muasalnya adalah sebenarnya asas kebebasan berbicara tadi dan kemudian kalau soal … yang terkait juga adalah sementara kalau di … kalau di Belanda itu memang jelas hanya untuk perkara perdata. Tapi kembali ke pertanyaan Yang Mulia tadi, memang apa … perkara perdata tidak bisa dibawa ke … ditahan begitu. Tapi asal muasalnya dari kebebasan berbicara dalam konteks pencemaran nama baik, dan sebagainya. Kemudian pertanyaan dari Pihak Terkait tadi mengenai tafsir konstitusi. Pertama, saya kira jawabannya adalah tidak bisa. Ada dua penyebabnya. Yang pertama adalah perlu digarisbawahi kembali, baik forum privilegiatum maupun parliamentary priviliges. Sekali lagi konteksnya adalah perdata. Jadi terus terang sampai dengan tadi malam saya karena khawatir membuat kesalahan dalam forum yang sangat baik ini. Saya cek ulang apakah betul di beberapa negara paling tidak yang mudah dicari melalui internet. Anggota dewan betul-betul tidak … tidak “dilindungi.” Ternyata memang tidak, tidak ada sama sekali. Jadi kalaupun ada sekali lagi bentuknya forum khusus tapi tetap ada. Jadi tetap equal treatment, cuma dipercepat karena kita bayangkan saja yang sudah terjadi begitu ada bupati yang misalnya dilantik di dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan. Saya kira itu suatu hal yang sangat luar biasa tapi itu disebabkan oleh sistem hukum kita yang memang satu perkara bisa memakan waktu sangat lama, sangat lama. Jadi dalam … dalam praktik memang kekhususan bukan pengistimewaan karena jabatan. Tapi pengkhususan karena ada tugas yang harus dia emban. Sehingga prosesnya harus lebih cepat. Sebenarnya intinya di situ. Tapi sekali lagi, dua … dua apa namanya … dua hal tadi forum privilegiatum maupun parliamentary privileges konteksnya adalah perdata. Nah, alasan yang kedua untuk pihak yang terkait adalah kalau soal dugaan yang terkait dengan tugas-tugas anggota dewan menurut perundang-undangan sebenarnya sudah ada. Mohon maaf, Yang Mulia, karena saya lupa pasalnya, nomor pasalnya tapi kan sudah … sudah ada hak imunitas itu. Mengenai hal-hal yang terkait dengan tugas-tugas anggota dewan menurut anggota dewan menurut perundang-undangan. Saya kira konteks Pasal 245 ayat (1) lebih khusus ke soal izin oleh Mahkamah Kehormatan. Terima kasih, Yang Mulia. 44.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Pemohon apakah masih ada ahli atau saksi yang akan diajukan, Pemohon Nomor 76 dulu?
24
45.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Masih ada dua lagi, Yang Mulia. Mungkin di persidangan selanjutnya.
46.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Masih ada dua lagi?
47.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Ya. Dan satu saksi akan memberikan keterangan secara tertulis, Yang Mulia. Karena berhalangan untuk hadir. Terima kasih.
48.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Nomor 76, ya?
49.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Ya, Yang Mulia.
50.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Dua yang akan ke MK berikan keterangan?
51.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Benar, Yang Mulia.
52.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Satu tertulis?
53.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ERASMUS NAPITUPULU Satu tertulis, dua akan hadir di ruangan.
25
54.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Oke. Pemohon Nomor 83?
55.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: AHMAD BIKY Kami juga akan menghadirkan satu orang ahli lagi, Yang Mulia.
56.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Satu, ya. Pihak Terkait?
57.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Kemungkinan satu orang ahli, Yang Mulia.
58.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Satu. Pihak Terkait yang satunya?
59.
KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PKS: ISMAIL NGANGGON Tidak ada, Yang Mulia.
60.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Tidak ada. Jadi, ada empat, ya. Bawa sekaligus saja deh sidang yang akan datang, semuanya. Tiga … ya, satu dari Pihak Terkait. Sidang selanjutnya akan dilaksankan pada hari Rabu … Pemerintah akan ajukan ahli?
61.
PEMERINTAH: BUDIJONO Untuk sementara cukup, Yang Mulia.
62.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Soalnya biasanya tidak, makanya saya tidak tanya. Kalau keuangan, pasti mengajukan ahli. Tapi kalau selain keuangan, jarang. Sidang selanjutnya dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 29 Oktober 2014, pukul 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon dan dari Pihak Terkait.
26
Sidang hari ini selesai dan dinyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 15.38 WIB Jakarta, 10 Oktober 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
27