MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA SENIN, 8 SEPTEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 74/PUU-XII/2014 PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Pasal 7 ayat (1) dan yat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Indry Oktaviani Fr. Yohana Tantria W. Dini Anitasari Sa’Baniah Hadiyatut Thoyyibah Ramadhaniati Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA)
ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Senin, 8 September 2014, Pukul 13.35 – 14.32 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Patrialis Akbar 2) Wahiduddin Adams 3) Aswanto Wiwik Budi Wasito
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Indry Oktaviani 2. Yohana Tantria 3. Hadiyatut Thoyyibah B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Anggara 2. Supriyadi Widodo Eddyono 3. Alfeus Jebabun 4. Erasmus Napitupulu 5. Wahyu Wagiman 6. Ade Novita
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 13.35 WIB 1.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Selamat datang Para Pemohon, ini Prinsipal sama Kuasa Hukum, ya? Silakan diperkenalkan dulu.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANGGARA Terima kasih, Majelis. Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang. Kami perkenalkan kedatangan kami ini Para Kuasa Hukum juga dengan Para Pemohon. Pertama, yaitu saya sendiri Anggara, Kuasa Hukum. Kemudian, sebelah kiri saya Supriyadi Widodo Eddyono, Kuasa Hukum. Sebelah kanan, Alfeus Jebabun, Kuasa Hukum, paling kanan Erasmus Napitupulu, Kuasa Hukum, dan yang di belakang Wahyu Wagiman, Kuasa Hukum. Kemudian, Para Pemohon yang hadir … satu lagi maaf, Ade Novita, Kuasa Hukum. Dan Para Pemohon yang hadir, pertama yaitu Indry Oktaviani, kemudian Yohana Tantria, dan ketiga Hadiyatut Thoyyibah, sementara yang lainnya tidak bisa hadir, Majelis. Terima kasih.
3.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Oke, baik. Ini adalah merupakan sidang kita yang pertama, ya, biasa ini saya lihat Kuasa Hukumnya kan sudah matang nih di MK, nih, sudah benar-benar di MK. Jadi, sebelum perkara ini kita lanjutkan, kami ingin menginformasikan kepada Saudara-Saudara sekalian sebagai Pemohon, ya maupun Kuasa Hukum, substansi dari permohonan yang diajukan berkenaan dengan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 74. Ini beberapa waktu yang lalu ada juga permohonan yang sama persis substansinya, yaitu di dalam Perkara Nomor 30/PUUXII/2014 setelah kami baca permohonannya. Namun demikian, sebelum Majelis memberikan nasihat ada baiknya Saudara sampaikan highlight, ya, persoalan yang diajukan judicial reviewnya ini. Silakan.
1
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANGGARA Terima kasih, Majelis. Dalam perkara ini, Para Pemohon memohon pengajuan permohonan Pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk kewenangan Mahkamah Konstitusi, kami tidak akan menyebutkannya kembali. Kemudian, untuk kedudukan hukum Para Pemohon, secara umum bahwa berdasarkan Ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 PMK Tahun 2005. Pada dasarnya Para Pemohon … Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Dan ada 4 syarat terkait Pemohon yang menganggap kewenangan konstitusionalnya dirugikan tersebut. Selain itu juga bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Dan selain 5 syarat menjadi Pemohon, ada juga syarat tambahan yang telah ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 022/PUU-XII/2014 yang disebutkan bahwa masyarakat pembayar pajak dipandang memiliki kepentingan yang sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium, no taxation without participation dan sebaliknya. Ditegaskan oleh Mahkamah bahwa setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan setiap undang-undang. Untuk Pemohon perorangan warga negara Indonesia, Pemohon I merupakan individu warga negara Indonesia yang aktif dalam upaya kemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Pemohon I selama ini telah aktif memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak perempuan, khususnya dalam setiap pengambilan kebijakan negara yang terkait dengan isu-isu perempuan. Bahwa keberadaan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) juga telah berakibat pada terhambatnya atau bahkan berpotensi menggagalkan secara aktivitas yang dilakukan oleh Pemohon I dalam rangka kemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan. Pemohon II adalah individu warga negara Indonesia yang bekerja sebagai Direktur Magenta, organisasi nirlaba yang bergerak pada upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Pemohon II juga telah aktif memperjuangkan dan mengadvokasi hak-hak perempuan, khususnya dalam setiap pengambilan kebijakan negara yang terkait dengan perempuan dan anak, baik dalam bentuk penelitian, pemantauan, ataupun berpartisipasi secara aktif dalam setiap pengambilan kebijakan tersebut. Keberadaan pasal-pasal a quo juga 2
telah berakibat pada terhambatnya atau punya potensi untuk menggagalkan keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh Pemohon II dalam rangka pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan dan anak. Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki anak, sehingga bertanggung jawab penuh sebagai ibu atas anak-anak tersebut. Keberadaan pasalpasal tersebut secara langsung ataupun tidak langsung memiliki potensi akan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon III, IV, dan V, khususnya yang terkait dengan hak-hak konstitusional anak-anak dari Para Pemohon tersebut bahwa eksistensi pasal-pasal a quo secara aktual jika dibiarkan (suara tidak terdengar jelas) akan menghambat atau bahkan mengancam pemenuhan hak-hak konstitusional dari anak-anak Pemohon III, IV, dan V seperti halnya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak untuk tumbuh dan berkembang yang telah dijamin pemenuhan dan perlindungannya oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Selain itu, Pemohon I sampai Pemohon V adalah para pembayar pajak yang dibuktikan dengan fotokopi nomor pokok wajib pajak dan sebagai tax payer menyatakan kepentingan konstitusionalnya telah terlanggar dengan adanya ketentuan pasal-pasal a quo karena menciptakan ketidakpastian hukum dan mempunyai potensi merugikan pemenuhan hak-hak konstitusional Pemohon. Pemohon VI adalah organisasi nonpemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang tumbuh dan berkembang atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, serta turut serta melakukan pemajuan dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia. Berdasar kepentingan Pemohon VI dalam pengajuan permohonan a quo dapat dibuktikan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Pemohon VI dalam Pasal 5 akta pendirian disebutkan YPHA menjalankan kegiatan usaha meliputi pengorganisasian dan advokasi hak anak, melakukan publikasi kegiatan anak, serta melakukan promosi hakhak anak. Bahwa dalam mencapai maksud dan tujuan, Pemohon VI juga telah melakukan berbagai macam kegiatan yang telah dilakukan secara terus-menerus dan telah menjadi pengetahuan umum. Bahwa keberadaan pasal-pasal a quo telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum dalam perlindungan hak-hak anak di Indonesia sehingga berakibat pada terlanggarnya hak-hak konstitusional anak … setiap anak di Indonesia. Bahwa situasi tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya poten … potensial akan menggagalkan setiap usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon VI dalam rangka memastikan pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak-hak anak di Indonesia. Bahwa berdasarkan uraian tersebut secara … Para Pemohon secara keseluruhan telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai 3
Pemohon pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan-peraturan dan putusan-putusan berlaku … putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi, oleh karenanya memiliki kepentingan hukum untuk mewakili kepentingan publik untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pokok perkara. Ketentuan Pasal 7 dan … ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Secara … bahwa perkembangan hukum Indonesia mengatur usia hak anak setelah mengalami kemajuan yang pesat, khususnya semenjak pengesahan konvensi hak anak yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 untuk digunakan dalam konvensi yang sekarang ini, “Anak berarti setiap manusia yang berada di bawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak dewasa yang telah dicapai lebih cepat.” Penegasan serupa juga dapat kita temukan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan nasional, setidaknya berdasarkan hasil permohonan ada 19 peraturan undang-undang dalam bentuk undangundang dan juga keputusan menteri, peraturan pemerintah, serta putusan Presiden Republik Indonesia. Secara umum peraturan-peraturan tersebut telah menyatakan bahwa anak disebutkan bila … dewasa disebutkan apabila beru … telah berusia di atas 18 tahun. Bahwa berbeda dengan ketentuan peraturanperaturan di atas, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun,” yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa untuk menjaga kesehatan suami dan istri, serta … dan keturunan perlu ditetapkan batas-batas untuk perkawinan. Bahwa ketentuan a quo selanjutnya dijadikan landasan dan dasar hukum dibenarkannya perkawinan bagi perempuan yang sudah mencapai umur 16 tahun dan dalam praktiknya juga menjadi peluang untuk dapat dilakukannya pernikahan bagi usia perempuan sebelum 16 tahun. Bahwa melihat perkembangan kekinian peraturan perundangundangan khususnya yang mengatur batas usia anak, terlihat bahwa batas usia perempuan untuk menikah dalam Undang-Undang Perkawinan sudah tidak lagi sesuai dengan segala peraturan yang ada di Indonesia dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak anak perempuan, sehingga semakin jelas adanya ketidakpastian hukum dalam upaya melindungi hak-hak anak. 4
Bahwa ketidakpastian hukum melalui ketentuan a quo juga nampak sepanjang frasa penyimpangan dalam Pasal 7 ayat (2) UndangUndang Perkawinan yang mengandung ketidakjelasan tentang apa saja kategori yang dimaksud dengan penyimpangan tersebut. Padahal prinsip kepastian hukum salah satunya menghadaki … menghendaki adanya hasrat untuk kejelasan. Bahwa Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) undang-undang a quo telah melahirkan banyaknya praktik perkawinan anak yang mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan, dan karenanya bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Perkawinan anak atau sering juga disebut perkawinan dini pada dasarnya merupakan praktik tradisional yang telah lama dikenal dan tersebar luas di berbagai belahan dunia. Bahwa telah ada berbagai an … aturan dan instrumen hukum internasional terkait dengan hak asasi manusia dapat dijadikan pedoman terkait dengan perkawinan anak seperti Universal Declaration of Human Right, Conventions of … on The Right of The Child, dan CEDAW. Sejumlah instrumen hak asasi manusia menjadi sandaran normanorma yang akan diterapkan terkait dengan hukum perkawinan yang meliputi isu mengenai usia persetujuan, kesetaraan dalam perkawinan, serta hak-hak pribadi, dan hak-hak milik perempuan. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut, terlihat bahwa instrumen internasional hak-hak asasi manusia juga menghendaki batas usia minimum bagi perkawinan, maka untuk menafsirkan standar pelarangan perkawinan dari seseorang yang berusia di bawah 18 tahun haruslah sesuai dengan konvensi hak anak yang dimaksudkan untuk melindungi dan menjamin terpenuhinya hak-hak anak. Ketentuan a quo mengakibatkan banyaknya kasus pemaksaan perkawinan anak. Bahwa dalam hal ini perkawinan anak yang berada di bawah usia 18 tahun yang diperbolehkan menurut undang-undang, merupakan suatu bentuk pelanggaran hak karena anak terlalu muda untuk membuat keputusan tentang pasangan perkawinan mereka atau tentang implikasi dari perkawinan itu sendiri. Sebagai contoh adalah kasus perkawinan antara Pujiyono Cahyo Widiono atau yang lebih dikenal dengan Syeh Puji yang menikahi Lutfiana Ulfa berusia 12 tahun pada November 2008. Peristiwa ini memicu kontroversial luar biasa dan menuai kecaman dari berbagai pihak. Bahwa dalam perkembangannya pada 14 Oktober 2010, Pujiyono akhirnya dituntut hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp60.000.000,00. Dia dihukum dengan pertimbangan tidak mengindahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dalih menggauli anak di bawah umur, melecehkan perempuan, serta memasung hak anak karena tidak dapat bersekolah. Ketentuan a quo 5
juga mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan. Bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan risiko komplikasi medis baik pada ibu maupun pada anak, dan memiliki korelasi dengan angka, dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10 sampai 14 tahun berisiko 5 kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20 hingga 24 tahun. Sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15 sampai 19 tahun. Data dari UNPFA pada 2003 juga memperlihatkan bahwa 15% sampai 30% diantara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik. Oleh karenanya perkawinan anak dengan kehamilan dini di bawah umur 18 tahun sangat berisiko tinggi bagi ibu karena adanya persaingan perebutan nutrisi dan gizi antara ibu dan janin. Ketentuan a quo juga mengancam hak anak atas pendidikan. Bahwa semakin muda usia anak perempuan menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dapat dicapai oleh anak yang bersangkutan. Sering kali karena terjadi perkawinan anak menyebabkan anak tidak lagi bersekolah karena ia mempunyai tanggung jawab baru sebagai istri ataupun calon ibu atau orang tua yang akan diharapkan berperan lebih besar mengurus rumah tangga atau menjadi tulang punggung keluarga dan keharusan mencari nafkah. Bahwa berdasarkan penelitian dari UNICEF didapatkan korelasi antara tingkat pendidikan dan usia saat menikah. Dimana semakin tinggi usia anak saat menikah, maka pendidikan anak juga menjadi relatif lebih tinggi demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, menunda usia perkawinan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, khususnya implikasi yang ditimbulkan atas ketentuan a quo. Ketentuan a quo jelas baik langsung maupun tidak langsung telah secara faktual dan juga potensial mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang, serta memperoleh pendidikan. Sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945. Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun dan Pasal 7 ayat (2) telah mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam pemenuhan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa ketidaksetaraan gender merupakan konsekuensi logis dalam perkawinan anak karenanya mempelai anak perempuan memiliki kapasitas yang terbatas baik untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan dalam berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, mengandung anak, juga terbatas dalam aspek-aspek domestik lainnya.
6
Bahwa dominasi pasangan juga seringkali menyebabkan anak perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dapat dirujuk pada hasil penelitian PSKK UGM yang menunjukkan bahwa anak perempuan yang kawin pada usia muda rentan terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga. Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan juga telah menyatakan dalam Rekomendasi Umum Nomor 21 dengan mengatakan bahwa mempertimbangkan bahwa usia minimum perkawinan hendaknya 18 tahun bagi mempelai laki-laki maupun mempelai perempuannya. Karena ketika seorang laki-laki dan seorang perempuan menikah, mereka memiliki tanggung jawab penting. Oleh karena itu, perkawinan sebaiknya tidak diperbolehkan sebelum mereka mencapai kematangan penuh dan kematangan untuk bertindak. Bahwa diskriminasi menurut instrumen hukum internasional hak asasi manusia. Dapat diartikan sebagai sebuah … setiap bentuk pembedaan tidak memasukkan, atau exclution pembatasan, atau preferensi yang didasarkan pada alasan apa pun seperti ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan lain yang mengakibatkan dihapuskannya atau dihalanginya pengakuan penikmatan atau pelaksanaan semua orang dengan kesetaraan semua hak dan kebebasan. Bahwa segala bentuk diskriminasi adalah dilarang menurut berbagai instrumen hukum internasional, juga dilarang oleh UndangUndang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 28I ayat (2) termasuk juga larangan diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak anak yang ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa menyikapi berbagai bentuk tindak diskriminasi tersebut, khususnya terkait dengan batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan. Komite tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan juga telah memberikan rekomendasi perundang-undangan mengenai usia minimum untuk menikah harus ditinjau kembali untuk memastikan bahwa setiap undang-undang atau peraturan tersebut tidak bersifat membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dan agama, dan negara-negara anggota sebaiknya mempertimbangkan untuk menaikkan batas usia minimum menjadi 18. Bahwa pertimbangan harus diberikan untuk menghapuskan atau mengamandemen perundang-undangan yang memperbolehkan mereka untuk menikah dalam keadaan luar biasa. Khususnya ketika perundangundangan ini membolehkan mereka untuk menikah tanpa suatu ketetapan pengadilan. Bahwa perkawinan merupakan kepentingan terbaik bagi mereka. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, keberadaan ketentuan-ketentuan a quo yang mengatur mengenai batas usia perkawinan anak perempuan telah secara jelas dan meyakinkan (suara tidak terdengar jelas) adanya diskriminatif dalam perlakuan antara anak 7
laki-laki dan perempuan, sehingga berakibat pada tidak terpenuhinya sejumlah hak-hak konstitusional, khususnya bagi anak perempuan. Karena itu, ketentuan a quo harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Petitum. Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional di atas, maka Para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat memutus hal-hal sebagai berikut. 1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undangundang yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya. 2. Menyatakan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang frasa umur 16 tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dibaca umur 18 tahun. 3. Menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang frasa umur 16 tahun tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca umur 18 tahun. 4. Menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945. 5. Menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 6. Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengabulkan permohonan pengujian a quo untuk dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selambatlambatnya 30 hari kerja sejak putusan diucapkan. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Para Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya. Terima kasih. 5.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Oke, baik. Jadi, kami sudah memahami betul apa yang Saudara sampaikan karena kami juga semua sudah baca. Ada beberapa hal yang pada kesempatan ini perlu dinasehati oleh Para Hakim. Kemudian juga tentu ada beberapa hal yang ingin dikomentari supaya persiapan dalam pengujian undang-undang ini supaya lebih matang lagi. Saya silakan pertama kepada Bapak Dr. Wahiduddin Adams.
6.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Terima kasih, Yang Mulia Ketua Panel Pak Dr. Patrialis Akbar. Para Pemohon dan Kuasa Hukumnya yang mengajukan Permohonan Nomor 8
74/PUU-XII/2014 tentang Usia Kawin Bagi Wanita, ya. Tadi sudah disampaikan pokok-pokok permohonannya, positanya, dan petitumnya. Nah, pada kesempatan sidang pendahuluan ini, Majelis Hakim akan menyampaikan nasihat, masukan-masukan untuk permohonan ini yang nanti dapat digunakan, dipertimbangkan, atau juga tidak dipertimbangkan, tapi di Undang-Undang MK disebutkan, “Majelis wajib memberikan nasihat dan masukan itu.” Pertama, tadi disampaikan oleh Ketua, permohonan yang sama itu diajukan yang sedang diuji itu Perkara Nomor 30/PUU-XII/2014, ya. Jadi, sekitar 40 perkara sebelum ini, nomornya itu sudah masuk. Dan Para Pemohon ini ada yang perorangan dan juga ini ada badan privat orientasi nonpemerintah, ya. Ada yang sudah kawin, ada yang belum, ya. Ada yang sudah punya anak juga, ya. Ini sudah dijelaskan legal standingnya. Norma yang dimohon pengujian ini adalah Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 khusus mengenai pihak wanita yang usia perkawinan selama ini menurut Undang-Undang Perkawinan adalah mencapai usia 16 tahun, ini dimohonkan untuk dibatalkan atau menyatakan sepanjang frasa umur 16 tahun itu tidak dibaca umur 18 tahun, ya. Jadi, untuk prianya tidak, ya? Ini hanya untuk wanita, ya. Ini sebagaimana diketahui bahwa ketentuan ini di UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, ya. Jadi, 40 tahun yang lalu undangundang ini dibentuk. Dan dasar pemikirannya hampir sama sebetulnya, ya. Bahwa mengapa usia 19 … 16 itu di penjelasannya kan bisa dibaca itu untuk menjaga kesehatan suami, istri, dan keturunan. Perlu ditetapkan batas-batas umur tentang perkawinan. Jadi, pada waktu itu, ya memang perlu ditetapkan batas-batas umur perkawinan. Jadi angka usia 19 dan 16 itulah pada waktu itu, ini batas yang untuk mengantarkan memenuhi syarat kesehatan dari suami istri dan keterunan, ya. Karena pada waktu itu ketika undang-undang itu dibahas ya banyak pihak menyatakan tidak perlu ditetapkan bahkan ada beberapa ketentuan yang secara umum ketentuan agama menyatakan ya aqil baligh saja, lalu debatnya … kalau Anda bisa baca itu diriwayat sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 1/1974 masih banyak diperpustakaan, kalau tidak ada di perpusatakaan di BPHN ada, Perpusatakaan Dirjen PP perundang-undangan ada, saya masih ingat betul buku itu dan masih agak terbatas mungkin, ya. Jadi sebetulnya dasar pemikirannya sama tapi waktu tahun 1974, yang waktu itu ya untuk usia 16 tahun pun ya itu sudah dianggap sudah ya cukup lanjut, ya. 19 tahun. Sehingga pada waktu itu ya usia aqil baligh saja, ya 10 tahun, 12 tahun, perpuluh tahun, saya kira ini belum ada, ya. Tahun 1974 belum ada yang lahir, ya? Itu perdebatannya cukup sengit, cukup banyak, sehingga dianggap bahwa ini usia katanya waktu itu yang sudah matang secara biologis, secara psikologis, secara sosial, bahkan secara ekonomis, ya pada waktu itu, ya wajib pendidikan 9
ya 7 tahun saja belum ada, apalagi sampai sekarang yang mau berapa? 12 tahun, ya? Belum ada wajib belajar ya, sehingga tidak tamat SD banyak karena belum ada wajib belajar sehingga orang tamat apapun ya … sehingga dianggap pada waktu ini, ya ini sudah dewasalah biologis pada waktu itu, psikologis, sosial, ekonomis, ya 16 sudah tamat SMA, ya atau SMP lebih sedikit, ya. Kalau pria ya 19 sudah tamat SMA, ya. Jadi dasar pemikiran tahun 1974. Nah, ini tadi sudah disampaikan, ya bahwa ketentuan ini untuk kepastian dan diberikan contoh-contoh dari berbagai peraturan perundang-undangan, ya. Dari Sido dan lain sebagainya, ya. Ini ada baiknya Anda coba juga beberapa ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di negeri-negeri muslim ya, Mesir misalnya, Iran, Pakistan, itu mereka menetapkan juga sebetulnya pemahaman mereka ketentuan aqil baligh, ketika terkait ini karena mayoritas anti … masyarakat muslim itu melihat dari sisi itu, ya. Nah, itu coba dikemukakan juga di negeri-negeri itu sudah ada enggak pemikiran bahwa yang disebut aqil baligh itu juga usianya sudah tidak lagi atau kurang dari 16 misalnya. Nah, ini untuk menjadi contoh bahwa pemikiran-pemikiran sudah maju, kalau pemikiran tahun 1974, ya ini sudah maju sekali, tahun 1974. Anda kan harus kemukakan sekarang data-data itu kan data setelah tahun 1974 semua ini, termasuk ya akibat kesehatan, keturunan kemudian, dan sebagainya, enggak dikemukakakn di sini untuk mendukung bahwa usia 16 tahun itu sudah harus dibaca usia 18 tahun apalagi dengan undang-undang perlindungan anak, ya. Di sana jelas anak adalah usia yang sebelum 18 tahun. Jadi kalau dia menikah usia di bawah 18 tahun itu pernikahan anak dan itu diketentuan undang-undang (suara tidak terdengar jelas) dilarang, walaupun tidak ada saksinya. Dan selama ini memang ada solusi dan jalan keluar bahwa dikompilasi hukum islam itu ditetapkan bahwa ada dispensasi dan Anda juga saya lihat sudah memukakan bahwa ketika rancangan undang-undang tentang hukum terapan bahkan dinaskah akademik sudah diajukan, inginnya pria juga dinaikkan 21, yang wanita naik 18, ini teman-teman untuk pria rupanya tidak dinaikkan, ya? Hak pokoknya melihat dari konstitusi bahwa ini tidak anak lagi, ya? Yang penting begitu, ya? Tapi dalam artian kedewasaan tadi … apa … rancangan undang-undang yang memang sempat akan dibahas itu 21 untuk pria ya, wanita 18 ya, tapi tentu ada debatnya. Tapi saya melihat apa yang Saudara kemukakan di dalam alasan-alasan ini, alasan permohonan, ya sudah cukup peraturan perundang-undangannya semua sampai kepada peraturan menteri tentang visa dikaitkan di sini bahwa anak itu adalah ya di bawah 18 tahun itu anak. Jadi pada dasarnya permohonan ini mengatakan jangan sampai pernikahan itu pernikahan anak. Nah, ini perlu coba dicari. Sebab nanti
10
mungkin juga ada mengatakan yang penting aqil baliqh dan sebagainya, ya. Nah jadi peraturan perundang-undangan di negeri-negeri muslim itu tadi coba dilihat, di sana pikirannya bagaimana tidak hanya bertolak dari aqil baliqh itu. Tapi berapa usia tidak saja wanita bahkan juga usia prianya, ya. Nah, ini nanti dilengkapi. Kemudian yang perlu juga diperhatikan mengenai legal standing tax payer ini ya, apakah ini … coba dipertimbangkan, masih dianggap perlu atau tidak? Jika memang tidak sebaiknya tidak perlu dimasukkan karena sudah cukup penjelasan mengenai perorangan warga negara dan LSM yang dikemukakan dalam kedudukan hukum. Atau argumentasi kerugian konstitusional yang tentu berbeda dengan kalau itu perorangan ya. Apa lebih khusus ya? Kemudian di petitum nomor 6 mungkin tidak perlu ya memberikan jangka waktu 30 hari dimuat dalam Berita Negara karena itu sudah ada ketentuan dan sudah berjalan, ya. Dan hal yang penting juga mungkin Saudara kemukakan, kalau tetap dengan 16 ini, apakah juga tidak tetap muncul penyelundupan hukum. Tetapkan 18 juga sama saja penyelundupan hukum, bagaimana sebetulnya menghindarkan itu? Adanya dispensasi itu kan sebetulnya untuk melihat realistis dari masyarakat kita, gitu ya. Penyelundupan hukum itu kan terjadi, ya dicarilah. Mulai memalsukan KTP, kalau kita tanya … ketika ditanya oleh pencatat perkawinan, ya pasti si wanita sudah dibisikkan. Kalau ditanya ya 17 tahun, gitu ya. “Usia berapa?” “17 tahun.” Berarti aman. Tapi kalau kita tanya lahir tahun berapa? Dia masih bisa enggak … tapi kita Tanya, “Tamat apa?” “Tamat SD.” “Setelah SD langsung menikah?” “Ya, baru kemarin.” Berarti 12 tahun, 13 tahun kalau begitu. Kalau kita ditanya dari sisi lain, gitu ya. Jadi penyelundupan hukum itu karena ada realitas budaya di masyarakat. Nah, ini apakah juga nanti apa kondisinya tidak jauh beda. Dinaikkan 18, ya diselundupin juga. Nah, hal-hal ini apakah ada penelitian yang Saudara bisa kemukakan bahwa sebetulnya karena gara-gara 16 inilah masyarakat masih menganggap ini boleh. Seandainya ini diubah, ya masyarakat juga bisa berubah. Bisa enggak anggapan seperti itu? Bahwa aturan hukum itu dapat mengubah atau membuat masyarakat ya sedikit taat? Sebab kalau tidak, ya karena budaya ya diselundupi saja dengan berbagai macam cara. Tapi kalau punya alasan bahwa dengan ditetapkan ini, ada aturan yang bisa ditegakkan kemudian masyarakat tidak bisa lagi mengatakan, “Kan ada aturannya, masih bisa 16.” Katakan. Nah, apakah ada seperti itu perkiraan? Kalau tidak ya mengubah ini ya secara hak konstitusional terjadi, tapi apakah ya nanti kesadaran hukum masyarakat juga dengan ditetapkan bahwa dibaca 18 langsung masyarakat itu tadi ya sadar. Karena selama ini itu terjadinya 10 tahun, 12 tahun, bukan yang mirip11
mirip 16 itu. Yang Syeh Puji itu ya usia berapa? 10 tahun, gitu kan ya. Ya, jadi betapa lamanya dia naik 18, gitu ya. Naik ke 12 saja masih tidak mudah. Kalau … kan pasti tujuannya tidak hanya mengatakan ini tidak ada kepastian, tapi juga mendorong nanti calon pengantin itu atau yang pihak pria, terutama ya di pihak wanitanya, ya dengan ada ketentuan itu ngikut, gitu ya. Kalau tidak ya kesadaran hukum masyarakat tidak akan terjadi. Saya kira itu saja, Pak. Mohon maaf, itu yang saya ingin tekankan. Terima kasih. 7.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Ya. Terima kasih, Yang Mulia. Lanjut, Yang Mulia Prof. Aswanto.
8.
HAKIM ANGGOTA: ASWANTO Terima kasih, Ketua Yang Mulia. Para Pemohon ya, ini kalau mencermati permohonan Saudara atau di permohonan Saudara yang dipersoalkan adalah Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). Tapi kalau mencermati uraian dikaitkan juga dengan petitum yang SaudaraSaudara minta pada ayat ... pada Pasal 7 ayat (1) sebenarnya yang Saudara persoalkan adalah frasa ya frasa umur 16 tahun di situ juga kan ada frasa 19 tahun untuk pria ya? Nah, sebaiknya fokus saja bahwa yang diminta itu adalah frasa tidak semua ketentuan yang ada di dalam Pasal 7 ayat (1) yang dipersoalkan. Yang dipersoalkan adalah fokus pada frasa 16 tahun sehingga mungkin bisa lebih fokus kami juga fokus memeriksa itu. Itu untuk Pasal 7 ayat (1). Nah kemudian ini Para Pemohon Prinsipal itu adalah pemerhati, pemerhati dan argumennya atau dalilnya bahwa dengan adanya norma itu kegiatan sebagai pemerhati itu menjadi terhambat. Nah, ini yang kelihatannya perlu Saudara Pemohon elaborasi kembali kegiatankegaitan apa yang dilakukan oleh para pemerhati ini yang kemudian bisa aktual bisa juga potensial dirugikan karenanya adanya norma yang diminta untuk diuji. Ini kelihatannya belum tergambar secara konkret tentu kerugian yang dimaksud di situ adalah kerugian konstitusional harus diurai secara konkret bahwa aktifitas yang dilakukan selama ini sebagai pemerhati hal-hal yang berkaitan dengan permohonan ini itu menjadi terhambat sehingga Saudara secara aktual atau secara potensial bisa dirugikan dan tentu kita harus sepakat bahwa kerugian yang dimaksud adalah kerugian konstitusional. Ini yang kelihatannya belum tergambar secara konkret. Lalu kemudian pada Pasal 2 ... Pasal 7 ayat (2) soal dispensasi. Nah, Para Pemohon juga ini menganggap bahwa dengan adanya norma yang ada di dalam Pasal 7 ayat (2) itu, itu menjadi tidak berkepastian hukum. Nah, tentu pertanyaan yang bisa muncul di situ adalah 12
bagaimana kalau terjadi hal-hal yang luar biasa sehingga harus mengeyampingkan batas usia yang 16 itu yang kemudian Pemohon minta diubah menjadi 18 atau dimaknai 18 apakah tidak justru sebaliknya bahwa dengan dihapusnya norma yang ada pada Pasal 7 ayat (2) itu justru tidak berkepastian hukum? Nah, ini yang harus juga Saudara elaborasi lebih konkret bahwa dengan adanya ketentuan atau norma yang ada pada Pasal 7 ayat (2) itu memang tidak berkepastian hukum dan sebaliknya seandainya norma itu tidak ada Anda akan memperoleh kepastian hukum, sama yang tadi Pasal 7 ayat (1). Anda juga harus menggambarkan saya kembali sedikit ke Pasal 7 ayat (1). Anda juga harus menggambarkan bahwa kalau norma itu dimaknai dari 16 tahun dimaknai 18 tahun maka kerugian-kerugian konstitusional yang potensial atau faktual tadi itu tidak akan terjadi? Nah, ini yang kelihatannya belum Saudara elaborasi secara komprehensif sehingga ya nanti Hakim bisa tidak yakin karena kan Anda kan harus meyakinkan bahwa memang betul-betul dengan adanya norma itu Anda dirugikan atau potensial dirugikan atau faktual dirugikan secara konstitusional dan sebaliknya dengan diubahnya norma itu kerugian itu baik yang faktual maupun potensial tidak akan terjadi. Nah, ini saya kira yang penting Saudara untuk ... lalu dibagian petitum ... petitum bagian yang pertaman itu Anda meminta untuk diterima dan dikabulkan. Nah, kalau diterima ya sekarang sebetulnya sudah diterima, diterima untuk diperiksi, gitu. Nah, kalau … apa namanya … kalau dikabulkan lain lagi, tapi kalau sudah dikabulkan itu berarti sudah jelas diterima. Nah oleh sebab itu, tidak usah menggunakan kata diterima dan dikabulkan, cukup dikabulkan saja karena kalau dikabulkan sudah pasti diterima untuk di … diterima untuk diperiksa, persoalan dikabulkan atau tidak tergantung pada argumen Saudara apakah mampu meyakinkan Para Hakim bahwa memang ada kerugian. Saya kira itu saja yang saya ingin sarankan kepada SaudaraSaudara Pemohon, mudah-mudahan itu bisa lebih menyempurnakan permohonan Saudara. Cukup, Yang Mulia. Terima kasih. 9.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Terima kasih, Yang Mulia. Saudara sekalian ya, saya … artinya kalau dilihat dari Para Pemohon sekarang ini, apalagi Prinsipalnya hadir tiga dari lima Pemohon. Kalau kita lihat maksud dan tujuan dari permohonan ini memang ada satu keinginan yang mulia dari Para Pemohon ini, memberikan perhatian kepada kaum-kaum perempuan muda, dan tentu kepada anak-anak perempuan. Dari sisi itu memang saya memberikan apresiasi karena niatnya cukup suci, mulia, ingin bagaimana ke depan anak-anak perempuan ini bisa lebih baik dari semua uraian yang disampaikan tadi termasuk waktu untuk menjadi 13
anak-anak, melahirkan, mengandung, dan segala macam. Dari sisi itu memang kelihatan. Di dalam Undang-Undang Dasar kita, ini saya ingin mencoba mengaitkan mungkin ada perhatian yang lebih lagi. Di dalam Pasal 28B ayat (1) mengatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keterunan melalui perkawinan yang sah.” Artinya, persoalan perkawinan yang sekarang ini oleh Para Pemohon absolute adalah melalui perkawinan yang sah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ada persoalan yang sangat mendasar menurut hemat saya, mudah-mudahan kita sependapat kalau memang hati kita insya Allah sama melihat ini. Ada persoalan yang lebih memprihatinkan kita pada sata pergaulan hari-hari ini adalah berdasarkan berbagai macam penelitian-penelitian yang dilakukan oleh banyak lembaga, apakah itu kalangan perguruan tinggi, akademisi, lembaga-lembaga yang konsen menaruh perhatian yang luar biasa kepada anak-anak perempuan, ternyata kita menemukan … naudzubillahiminzalik, kita … astagfirullah. Banyak sekali anak-anak kita yang masih dalam keadaan SMP apalgi SMA yang justru sekarang kita temukan belum berusia 16, tapi justru banyak terjadi pergaulan-pergaulan yang justru di luar kemauan kita. Apalagi perkembangan pertumbuhan anak-anak Indonesia sekarang luar biasa, baik itu dipengaruhi oleh faktor makanan, faktor pergaulan, teknologi, film-film yang luar biasa, IT, ini kan sebetulnya tidak nampak menjadi sorotan para pemerhati secara serius. Dan tidak sedikit anakanak yang di bawah 16 tahun sudah hamil, kemudian juga terjadi penguguran di mana-mana, kalau kita ikuti ini adalah suasana yang memang sangat memprihatinkan kita. Nah, menurut hemat saya justru peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi itu adalah peristiwa-peristiwa di luar perkawinan yang sah, yang juga berada di bawah 16 tahun. Ini bagaimana nih kira-kira korelasinya? Saya percaya kepada Para Pemohon ini punya perhatian yang sungguhsungguh dan tentu tidak hanya sekedar ingin melihat legalitas UndangUndang Perkawinan, tapi jauh lebih dari itu pandangannya adalah bagaimana melindungi kaum perempuan dan anak-anak perempuan. Hakikatnya kan begitu, betul ya, Pemohon, ya? Ya, kemuliaan itu yang kita lihat. Tapi bagaimana dengan pergaulan-pergaulan perkawinan yang tidak sah yang justru luar biasa terjadi? Kalau kita mengikuti perkembangan-perkembangan ini. Ya, tentu ini saya kira tidak boleh luput juga dari pandangan kita, jadi kita tidak hanya melihat kepada yang sah, apalagi dikatakan oleh Prof. Aswanto dan juga Pak Wahiduddin Adams kalau di bawah 18 tahun dilarang, biasanya kalau hukum itu ada perintah yang bersifat imperatif dilarang, tentu nanti juga harus ada sanksi. Apalagi di dalam petitumnya Pasal 7 ayat (2) dihilangkan, tidak ada jalan keluar. Bagaimana kira-kira? Ya, kami-kami ini kan sudah mau ... rambutnya sudah putih semua ini 14
sebetulnya, ini kalian-kalian ini kan termasuk juga anak-anak kami lah, ya, dari segi usia, ya. Bagaimana kira-kira kalau ada orang yang melaksanakan perkawinan secara budaya di masyarakat desa kita, kita sudah menentukan seperti ini, 17 dia tetap melakukan pernikahan, 16 ... di satu sisi kita katakan ini adalah pelanggaran HAM, tapi kalau mereka kawin ... melakukan pernikahan di bawah umur 18, terus nanti dihukum, apakah ini juga tidak merupakan pelanggaran HAM? Ini kesempatan yang baik ya buat kita bersama untuk memikirkan ini karena memang persoalan ini adalah persoalan kita bersama, persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita. Kalau masyarakat yang berada di ibukota, justru kecenderungannya agak berbeda, tidak mau cepat-cepat melakukan perkawinan. Bahkan sudah S1, S2, mereka ingin dulu berkarir, ingin sukses, bahkan di atas 25, 24 rata-rata, mereka tidak mau cepat-cepat justru karena mereka melihat dulu masa depan yang lebih cerah. Jadi berbeda. Tapi di sisi lain dalam pergaulan-pergaulan yang kita lihat sekarang ini, itu terjadi. Nah, saya ingin, bagaimana kira-kira dielaborasi lagi lebih jauh terhadap masalah-masalah yang kita hadapi secara bersama ini. Itu dari segi psikologi, sosiologi, maupun juga dari segi filosifinya keadaankeadaan yang kita alami. Kemudian yang kedua, saya berkaitan dengan masalah teknis, masalah teknis. Kalau misalnya Pasal 7 ayat (2) di dalam petitum itu dinyatakan tidak ada sama sekali, itu sebetulnya ya secara teknis, ya mungkin antara permohonan petitum sebelumnya itu harus menyesuaikan alasannya itu apa, ya. Ini belum kelihatan, justru kalau itu menjadi hilang, tidak ada jalan keluar yang bisa harus kita tempuh meskipun, sekalipun itu merupakan izin dari pengadilan. Kita tahu bahwa banyak persoalan-persoalan kekhususan di dalam orang memperjuangkan hak asasinya adalah dengan izin pengadilan, itu diakui secara konstitusional di dalam beberapa aspek, di dalam beberapa aspek. Nah, saya ingin mengajak cara berpikir kita untuk memikirkan itu juga. Kemudian masalah teknis yang kedua masalah belum dimasukannya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di dalam permohonan ini, coba itu ditambahkan, ya. Jadi permohonan ini menurut hemat saya ini bukan permohonan enteng-enteng, tapi bobotnya ini sangat besar, pengaruhnya kepada seluruh bangsa kita, mulai dari Sabang sampai Merauke kepada seluruh kaum perempuan. Jadi ini bobotnya luar biasa ini, berat, ya, permohonan yang hebat ini meskipun sudah dua permohonan diajukan. Jadi dari saya demikian, kemudian ya Saudara sekalian ya, silakan kalau memang ingin diajukan perbaikannya masih ada waktu 14 hari, ya. 14 hari. Jadi waktunya sampai dengan tanggal 23, 23 September ini,
15
berapa? Tanggal 22 September, Senin, 22 September. Sampai jam 14.00 WIB kita tunggu, ya tanggal 22. Nah, kemudian diperbaiki atau tidak diperbaiki karena permohonannya sudah masuk, sidang nanti akan kita lanjutkan pada tanggal 29. Nah, sidang ini akan langsung kita gabungkan, ya. Akan langsung kita gabungkan dengan dua perkara dan Mahkamah tetap akan memberitahukan kepada presiden maupun juga kepada DPR untuk bisa juga memberikan keterangan dan pada tanggal 22 itu kami minta kepada Saudara sekaligus mempersiapkan ahli kalau memang itu ada dan mempersiapkan saksi kalau itupun ada. Jadi sekaligus kita lakukan pemeriksaan. Kalau ada enggak usah banyak-banyak dulu, mungkin saksi dua orang, ahli dua orang. Kira-kira ada enggak ahli? Ada ya. Banyak enggak? 10.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANGGARA Enggak, dua.
11.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Dua, ya. Ya, jadi bisa dipersiapkan itu ahli dan saksi. Kalau dua ya silakan. Kemudian perbaikan tadi kalau memang mau cepat ya silakan, ya. Biar kita juga cepat memberitahukan ke presiden … pemerintah maupun juga kepada DPR. Kemudian hari ini dicatat di Paniteraan, Saudara juga sudah membawa … menyerahkan bukti P-1 sampai dengan P-10, betul ya? Ya. Silakan nanti kalau masih ada tambahan, terbuka tambahan itu sampai pada saat kesimpulan, kalau memang masih dimungkinkan. Untuk P-1 sampai P-10 ini kita sahkan dulu karena ini sudah confirm ya. KETUK PALU 1X Itu yang dapat kami silakan kalau masih ada yang ingin disampaikan.
12.
sampaikan,
KUASA HUKUM PEMOHON: ANGGARA Terima kasih, Majelis, atas saran-saran dari Majelis. Kami akan memperbaiki permohonan kami sesuai dengan saran-saran dari Majelis dan juga kami akan menambah satu Pemohon lagi dari Koalisi Perempuan Indonesia. Terima kasih.
16
13.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Jadi menyusul, jadi ada enam?
14.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANGGARA Tujuh total.
15.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Tujuh, ini baru (…)
16.
KUASA HUKUM PEMOHON: ANGGARA Enam.
17.
KETUA: PATRIALIS AKBAR Oh, sekarang enam ya. Ada tujuh, jadi silakan dimasukkan segera mungkin, nanti bisa kita satukan, ya. Kalau memang sudah enggak ada, kita cukupkan ya. Dengan demikian sidang hari ini kita cukupkan dan sidang untuk perkara ini kita tutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 14.32 WIB Jakarta, 8 September 2014 Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
17