MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)
JAKARTA KAMIS, 23 JANUARI 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014 1. 2. 3. 4. 5. 6.
A. Muhammad Asrun Heru Widodo Samsul Huda Robikin Emhas Dorel Almir Syarif Hidayatullah
7. 8. 9. 10. 11.
Daniel Tonapa Masiku Hartanto Samsudin Dhimas Pradana Aan Sukirman
PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014 1. 2. 3. 4.
Gautama Budi Arundhati Nurul Ghufron Aries Harianto Firman Floranta Adonara
5. Samuel Saut Martua 6. Dodik Prihatin 7. Iwan Rachmat Soetijono
ACARA Pemeriksaan Pendahuluan (I) Kamis, 23 Januari 2014, Pukul 10.20 – 11.10 WIB Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) Harjono 2) Muhammad Alim 3) Maria Farida Indrati Yunita Rhamadani Wiwik Budi Wasito
(Ketua) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014: 1. 2. 3. 4. 5.
A. Muhammad Asrun Heru Widodo Samsudin Dhimas Pradana Aan Sukirman
B. Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-XII/2014: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gautama Budi Arundhati Nurul Ghufron Firman Floranta Adonara Samuel Saut Martua Dodik Prihatin Iwan Rachmat Soetijono
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.20 WIB 1.
KETUA: HARJONO Sebelum sidang saya buka, hubungan dengan Jember sudah bisa dimulai belum ini?
2.
PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: GAUTAMA BUDI ARUNDHATI Sudah, Yang Mulia.
3.
KETUA: HARJONO Sudah ya?
4.
PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: GAUTAMA BUDI ARUNDHATI Baik, sudah.
5.
KETUA: HARJONO Ya, Sidang Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa perkara yang teregistrasi Nomor 1/PUU-XII/2014 dan Nomor 2/PUU-XII/2014 dengan ini dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Baik, selamat pagi. Ini Pemohon yang ada di hadapan saya, yang ada di ruang MK dulu, ini Nomor 1, kan? Saya silakan perkenalkan siapa yang hadir?
6.
PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: HERU WIDODO Baik, terima kasih, Ketua Majelis dan Hakim Anggota Yang Mulia. Pemohon dalam Perkara Nomor 1/PUU-XII/2014, hadir di persidangan ini, kami berlima, Yang Mulia, kami urut dari sebelah kiri … paling kiri Dr. Andi Muhammad Asrun, S.H., M.H., kemudian saya sendiri Heru Widodo. Kemudian di sebelah kanan saya berurutan Samsudin, Dhimas Pradana, dan Aan Sukirman. Terima kasih, Yang Mulia.
1
7.
KETUA: HARJONO Baik. Di Jember Perkara Nomor 2?
8.
PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: GAUTAMA BUDI ARUNDHATI Terima kasih, Yang Mulia.
9.
KETUA: HARJONO Persilakan memperkenalkan, ya! Silakan!
10. PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: GAUTAMA BUDI ARUNDHATI Ya, terima ... terima kasih, Yang Mulia. Pemohon enam orang, satu tidak bisa hadir karena ada tugas lain. Saya Pemohon pertama Gautama Budi Arundhati, S.H., LL.M. Di sebelah kanan saya Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H. Di sebelah paling kiri saya adalah Firman Floranta Adonara, S.H., M.H., dan sebelah saya persis adalah Samuel Saut Martua Samosir, S.H., M.H., dan selanjutnya Saudara Dodik Prihatin, S.H., M.H., dan Iwan Rachmat, S.H., M.H. Terima kasih, Yang Mulia. 11. KETUA: HARJONO Baik, jadi kita akan dengarkan dulu ringkasan maksud permohonan Anda masing-masing baik yang ada di ruang sidang ini, maupun ada … yang ada di Jember. Tapi ada satu hal ya karena Pemohon ini dua-dua ini mengajukan permohonannya sebelum mendapatkan informasi tentang nomor undang-undang ya, nanti dibahas saja setiap menyebutkan perpu itu lalu nanti yang undang-undangnya diubah saja atau ditambahi saja. Karena setelah staf mengecek, undang-undang itu sudah mendapatkan nomor, ya. Nomornya adalah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran Negaranya lima … Nomor 5 Tahun 2014, tambahan negaranya 5493 … 5493. Sampaikan saja sekarang garis besarnya dari Perkara Nomor 1, setelah itu nanti akan Perkara Nomor 2, dan Majelis Hakim dalam pemeriksaan pendahuluan akan memberikan nasihat-nasihatnya. Silakan salah satu mewakili.
2
12. PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: A. MUHAMMAD ASRUN Terima kasih, Yang Mulia. Kami langsung saja pada beberapa persoalan pokok. Pertama kami meyakini bahwa Mahkamah berwenang untuk menguji permohonan a quo sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dimana salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Tahun 1945. Bahwa kita ketahui bahwa undang-undang yang diuji ini adalah secara substantif … secara materiil itu berangkat dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan telah disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna pada tanggal 19 Desember 2013 sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 22 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dan kami kemudian juga merasa bahwa kami sebagai Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Yang Mulia. Dan kami adalah perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat dan juga konsultan hukum, Yang Mulia. Dan hak konstitusional kami dengan adanya undang-undang ini dirugikan dan kami akan jabarkan lebih lanjut dalam permohonan a quo. Dan kerugian ini, Yang Mulia, adalah sebagaimana juga dimaksudkan di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005 tanggal 11 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2005 tanggal 20 … 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa hak dan kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 harus memenuhi syarat. Pertama adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, adanya kewenangan konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian, kerugian dan hak konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual setidaknya berpotensi menurut penalaran yang wajar dapat sekarang terjadi. Kemudian adanya hubungan sebab akibat atau causal verband antara kerugian yang dimaksud dalam berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kemudian adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka untuk kerugian dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi atau tidak akan
3
terjadi lagi. Jadi kami memenuhi syarat sebagaimana dimaksud putusanputusan a quo. Kemudian, Yang Mulia. Kami masuk pada pokok-pokok permohonan alasan filosofis kami tidak perlu jelaskan lagi karena ada dalam permohonan itu. Yang pasti bahwa hukum itu harus memiliki spirit nilai-nilai kemanusian bersukma keadilan, menjamin kepastian, dan memiliki nilai kemanfaatan. Oleh karena itu, hukum tidak sekedar dipandang sebagai norma yang menjamin kepastian hukum dan keadilan itu juga harus dilihat dari perspektif kemanfaatan. Kemudian kami melihat ada persoalan-persoalan yang juga sebagaimana diuraikan di dalam sini, di dalam permohonan a quo ini. Bahwa undang-undang ini berangkat dari perpu yang menurut kami tidak memenuhi standar atau syarat adanya kedaruratan itu. Karena terbukti kalau dijadikan alasan penangkapan mantan ketua MK untuk melahirkan perpu ini, padahal substansinya sebetulnya mengatur hal-hal yang sifatnya ke depan, jadi tidak ada unsur kedaruratan. Jadi undang-undang ini secara formal sebetulnya berangkat dari situasi yang tidak memenuhi syarat dari perpu itu sendiri, kemudian dikukuhkan juga menjadi undangundang. Jadi itu yang menjadi alasan juga kami. Dan ... jadi prosedur pembentukannya dilanggar ini yang menurut kami, jadi pertama tidak ada unsur kebutuhan yang memaksa, dan sebagaimana dimaknai oleh dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VIII/2009 tanggal 8 Februari yang menentukan tiga syarat agar sesuatu keadaan memaksa terjadi, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, ini tidak kita lihat sama sekali. Kemudian undang-undang tersebut dibutuhkan ... undang-undang yang dibutuhan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, ini juga tidak terjadi kekosongan hukum berjalan sebagaimana adanya. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa, saya kira kekosongan hukum tidak terjadi apalagi membuat undang-undang, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat tidak dalam reses. Bahwa kekeliruan fundamental yang juga muncul dalam undangundang a quo adalah kata menimbang yang tidak sejalan kata pasal sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang seharusnya hanya memberikan landasan filosofis dan psikologis. Juga, Yang Mulia, perpu kami sudah jelaskan terlebih dahulu, yang permohonan terdahulu. Dan alasan materiil, Yang Mulia, bahwa substansi yang di atur di dalam undang-undang Republik Indonesia atau undang-undang yang diajukan permohonan pengujian ini adalah dianggap telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena menyangkut tiga hal utama, yaitu penambahan persyaratan untuk menjadi Hakim Konstitusi, padahal Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara eksplisit tentang masalah ini. Kemudian juga membuat suatu 4
mekanisme proses seleksi pengajuan Hakim Konstitusi dan perbaikan sistem penguasaan konstitusi. Jadi kami melihat bahwa syarat itu kemudian juga menjadi diskriminatif karena mencantumkan syarat tidak menjadi anggota partai politik dalam waktu 7 tahun sebelum diajukan sebagai Calon Hakim Konstitusi. Saya kira angka 7 ini menjadi angka yang aneh karena di dalam kehidupan ketatanegaraan kita masa jabatan selalu diukur dengan angka 5 tahun, kenapa muncul angka 7? Kalau di Paris kita tahu bahwa Presiden Perancis itu dipilih dalam masa jabatan 7 tahun atau di Amerika 4 tahun. Jadi tidak ada akar historis maupun akar sejarah ketatanegaraan tentang angka ini. Jadi kami kira ini juga persoalan yang tidak jelas dan pembatasan-pembatasan terhadap anggota partai politik untuk menjadi Hakim Konstitusi atau pejabat publik, ini adalah sesuatu diskriminasi menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan sebagaimana dijamin dalam konstitusi kita. Kemudian juga bahwa diterapkannya uji kelayakan atau kepatutan yang secara panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Kami menganggap panel ahli ini telah merampas atau menghalang-halangi, atau mengurai kewenangan untuk mengajukan Calon Hakim Konstitusi dari jalur Presiden, dari Mahkamah Agung, dan DPR yang masing-masing secara konstitusional harus mengajukan tiga calon. Jadi panel ahli nampaknya telah berada di atas sturuktur proses pengujian Hakim Konstitusi ini, calon Hakim Konstitusi, sebagaimana telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Jadi panel ahli ini … dia ini mengubah atau merusak konstitusi. Bahwa apabila kita merujuk pada original intense teks konstitusi maka pola rekruitmen panel ahli tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit maupun implisit tidak pernah mengamanatkan pengajuan Calon Hakim Konstitusi melalui Komisi Yudisial, melainkan diajukan masing-masing tiga orang calon konstitusi dari DPR, Presiden, Mahkamah Agung. Dan itu jelas di dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatakan, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang Hakim Anggota, Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden.” Ditetapkan, bukan lagi dipilih, “Yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang dari Dewan Perwakilan Rakyat.” Jadi seperti itu, Yang Mulia, dan tiga orang dari jalur Presiden. Jadi Presiden menetapkan sebetulnya. Jadi kewenangan ini juga diubah oleh undang-undang a quo. Dan kami berharap Mahkamah Konstitusi konsisten menolak penyimpangan konstitusi tersebut sebagaimana diperlihatkan dengan putusan yang menolak pengujian permohonan pengujian Pilpres yang hendak membuka jalan bagi calon perseorangan jalur independent beberapa waktu lalu untuk menjadi Calon Presiden.
5
Oleh karena itu, menurut kami sangat beralasan menurut hukum, Para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak memiliki hukum mengikat undang-undang a quo. Kemudian juga ada persoalan lain yang persoalan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang sifatnya permanen yang dibentuk oleh Komisi Yudisial dan MK. Kita tahu bahwa original intense dari Pasal 24B Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu memang dimaksudkan untuk mengasih Hakim Agung dan hakim-hakim di bawah jajaran Hakim Agung. Tidak dimasukkan untuk mengatur Hakim Konstitusi. Kalau memang dimasukkan untuk mengatur Hakim Konstitusi atau juga mengatur Hakim Konstitusi, maka strukturnya harus ada di bawah. Dia harusnya di Pasal 24C, bukan Pasal 24B. Jadi ada kesinambungan, bukan terputus seperti itu dan MK sudah memutus persoalan ini. Dan saya kira jangan karena persoalan-persoalan politik kemudian kita mencoba untuk membelokkan konstitusi kita ini. Kemudian soal lain, Yang Mulia. Bahwa nampaknya undangundang a quo ini telah memperkuat atau memperbesar kewenangan Komisi Yudisial tanpa melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial itu sendiri. Ini suatu problem ketatanegaraan yang menurut kami serius. Dan juga undang-undang a quo ini menyinggung juga lembaga-lembaga negara lain, Mahkamah Konstitusi, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Kekuasaan Kehakiman, dan Mahkamah Agung. Tetapi pada bagan mengingat, dia hanya menjadikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan … Nomor 8 Tahun 2011. Tanpa menyertakan undang-undang yang mengatur lembaga kewenangan negara yang sebagaimana kami maksudkan di atas, saya sebutkan. Jadi ini menurut kami adalah kekeliruan mendasar juga yang terjadi pada undang-undang a quo. Kemudian juga yang menjadi masalah juga, Yang Mulia. Bahwa jadi muncul persoalan ketidakpastian hukum dan sebetulnya konstitusi telah mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dan salah satu muatan citra negara hukum adalah pemerintahan berdasarkan atas hukum. Jadi ini nampaknya undang-undang tidak didasarkan atas hukum, tapi satu kehendak yang sifatnya sesaat. Dan juga dengan adanya pembatasan terhadap anggota partai politik yang harus tujuh tahun tidak menjadi anggota politik. Itu melanggar Pasal 28D ayat (1), dimana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jadi anggota partai politik itu diperlakukan tidak sama dengan warga negara lainnya. Dan kami juga akan mengajukan nanti bukti-bukti, Yang Mulia. Dan juga kami ajukan ahli dalam persidangan nanti. Akhirnya mohon, Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berkenan memutuskan sebagai berikut.
6
Pertama, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang. Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menyatakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kemudian, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 13. KETUA: HARJONO Baik, kita dengar dahulu yang dari Jember. Nanti sekalian nasihat Hakim, silakan. 14. PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: NURUL GHUFRON Terima kasih, Yang Mulia. 15. KETUA: HARJONO Ya. 16. PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: NURUL GHUFRON Kami ... kami Para Pemohon berenam, saya Nurul Ghufron, Dr. Aries Harianto, Gautama, Firman Floranta, Samuel Saut, Dodik Prihatin, dan Iwan Rachmat Soetijono. Dalam hal ini berpandangan bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Mengingat objek perkara yang kami ajukan untuk diuji terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Karena itu, kami berperndapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang memberlakukan uji terhadap undang-undang ini. Itu tentang kewenanag Mahkamah Konstitusi. Yang kedua, norma undang-undang apa yang kami ajukan adalah norma Pasal 15, Pasal 18C, Pasal 27A Undang-Undang Nomor 4 Tahun 7
2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 ini berkaitan dengan persyaratan dan juga seleksi calon mahkamah … Calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang mempersyaratkan syarat negarawan dan juga tentang syarat ijazah doktor. Itu norma yang kami mohonkan untuk diuji. Yang ketiga, tentang kedudukan kami, legal standing kami sebagai Para Pemohon, yaitu sebagai … kami adalah Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember. Sebagai para pendidik, Pemohon merasa ketentuan dalam perpu yang mengatur adanya uji kelayakan atau seleksi terhadap Calon Hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan uji kelayakan oleh panel ahli yang syaratnya pendidikannya adalah magister. Artinya sangat tidak logis, uji kelayakan yang dilakukan terhadap Calon Hakim Mahkamah Konstitusi dengan syarat minimal doktor, dilakuan uji kompetensinya oleh seseorang atau panel ahli yang syaratnya lebih rendah pendidikannya. Itu pandangan kami. Kerugian yang kami rasakan secara konstitusional yaitu bahwa kami merasa sebagai para pendidik di lembaga pendidikan tinggi merasa terancam jaminan dihargainya jenjang pendidikan tinggi dengan menempatkan level kemampuan seseorang berdasarkan jenjang pendidikan tinggi diputarbalikkan atau tidak dihargai lagi. Sehingga, jaminan, penghargaan, dan kepastian hukum bagi warga negara di bidang pendidikan menjadi terancam, sebagaimana siatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa warga negara memiliki hak konstitusional untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan ketentuan ini, kami merasa jaminan pengakuan kami atas jenjang pendidikan yang kami geluti akan terancam dengan adanya ketentuan ini. Yang kelima, alasan dan dasar konstitusional yang menurut kami bertentangan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini adalah pertama, dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa Hakim Konstitusi sebelum ditetapkan oleh Presiden terlebih dahulu harus melakukan uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh panel ahli. Sementara, untuk menjadi Calon Hakim Mahkamah Konstitusi dipersyaratkan sebagaimana diatur dalam Pasal 15, salah satunya yaitu pertama, di ayat (1) syaratnya yaitu salah satu unsurnya memiliki sifat kenegarawanan. Yang kedua, berijazah doktor. Itu titik poin … persyaratan yang kami persalahkan. Padahal, panel ahli yang akan melakukan uji kelayakan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 18D ayat (3) duruf d dipersyaratkan hanya dengan berpendidikan magister dan tidak ada persyaratan kenegarawanan. Dalam pandangan kami, ketentuan uji kelayakan oleh pihak yang memiliki jenjang pendidikan lebih rendah terhadap pihak yang lebih tinggi jenjang pendidikannya, jelas sangat tidak logis, merusak tatanan jenjang 8
pendidikan. Karena … karenanya itu akan mengancam sistem pendidikan nasional yang telah kita tata selama ini. Mengingat, dalam sistem pendidikan nasional ditegaskan bahwa pendidik, yaitu melalui proses pembelajaran, evaluasi, bahkan penentuan kelayakan kelulusannya, harus memiliki tingkat atau jenjang pendidikan lebih tinggi atau minimal setara dengan peserta didik yang akan diuji atau ditentukan kelulusannya. Sehingga dalam hal ini, ada jaminan dihargainya jenjang pendidikan dengan menempatkan level kemampuan seseorang berdasarkan jenjang pendidikannya adalah bagian dari kepastian hukum bagi warga negara di bidang pendidikan. Oleh karena itu, dalam pandangan kami, ketentuan uji kelayakan oleh pihak yang memiliki jenjang pendidikan lebih rendah kepada pihak yang lebih tinggi jenjang pendidikannya sangatlah bertentangan dengan hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Khususnya di bidang pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945. Itu yang pertama. Yang kedua, ketentuan yang mengatur tentang pelibatan Komisi Yudisial dalam pengangkatan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 18B yang menyatakan, “Panel ahli menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu paling lama tiga bulan setelah dibentuk oleh Komisi Yudisial.” Artinya proses seleksi dilakukan kewenangannya oleh Komisi Yudisial, padahal dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24B ayat (1) sebagaimana juga Pemohon pertama sudah dijelaskan, kami bacakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menempat … menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sehingga dalam hal ini adalah Hakim Agung saja. Itu Pasal 24B ayat (1). Selanjutnya, Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tiga orang Presiden. Tidak ada sama sekali kewenangan proses pengajuannya, penseleksiannya, uji kelayakannya oleh Komisi Yudisial. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, dalam pandangan kami Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat penunjang dan bukan lembaga negara pemangku kewenangan pokok dalam sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen. Dalam pandangan kami, KY adalah bagian dari the auxiliary state atau supporting state body saja dalam sistem ketatanegaraan kita dan bukan lembaga negara yang memiliki tugas pokok khusus. Yaitu dalam pandangan kami, KY (Komisi Yudisial) hanya memiliki tugas khususnya 9
dalam hal ini berwenang mengusulkan Hakim Agung dan menjaga, dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat Hakim Agung saja. Hal ini merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menegaskan bahwa hakim yang menjadi objek pengawasan dari Komisi Yudisial adalah hakim pada Mahkamah Agung dan bukan pada Hakim Konstitusi. Oleh karena itu, ketentuan dalam perpu ini yang telah menyetarakan Lembaga Komisi Yudisial dengan kelembagaan negara lain seperti Presiden, DPR, Mahkamah Agung, dan lain-lain yang memiliki tugas ketatanegaraan yang pokok, sementara KY dalam pandangan kami adalah supporting sistem saja adalah melanggar Undang-Undang Konstitusi … Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana Pasal 18C dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini. Ketentuan Pasal 18C dimaksud ke depan dalam pandangan kami juga dapat berimplikasi bahwa kedudukan KY akan setara … akan menyetarakan kedudukan KY dengan lembaga-lembaga ketatanegaraan lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, dan MK sebagai pemegang kewenangan dalam sistem kenegaraan kita. Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Atas dua dasar tersebut tentang panel ahli yang berlatar belakang pendidikan magister akan menseleksi terhadap Calon Hakim pada Mahkamah Konstitusi yang dipersyaratkan memiliki level tunjang pendidikan doktor sangat tidak logis, mengancam penghargaan hukum yang diberikan oleh negara kepada pendidikan tinggi yang menunjang pendidikannya dari level S1, S2, dan S3, tetapi dalam undang-undang ini ternyata hal tersebut bisa dijungkirbalikkan. Padahal semestinya yang memungkinkan kelayakkan untuk diuji adalah level di atasnya atau minimal sama. Yang kedua tentang kewenangan KY sebagai lembaga yang tidak berwenang dalam penseleksian hakim pada Mahkamah Konstitusi di dalam undang-undang ini diangkat diberi kewenangan dalam melakukan ini. Dalam pandangan kami, kedua hal ini jelas bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945. Atas dasar hal-hal yang kami sebutkan di atas, kami memohon, pertama, mengabulkan Para Pemohon seterusnya. Yang kedua, menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji undangundang ... terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang ketiga, menyatakan bahwa Pasal 14 ... 18 ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3), dan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (4) dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 ini bertentangan dengan Pasal 28D
10
ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang keempat, menyatakan Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B, Pasal 18C ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (4) dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian kami Para Pemohon. Terima kasih, Ketua. 17. KETUA: HARJONO Baik. Dari Pemohon Nomor 2 di Jember juga sudah memberikan ringkasan permohonannya. Begini, Mahkamah Konstitusi memang sudah sering memeriksa pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Namun kali ini, objek yang diperiksa mempunyai kekhususan sendiri. Kekhususannya adalah undang-undang ini pernah menjadi perpu dan pada saat jadi perpu pun sudah ada permohonan untuk membatalkan perpu itu. Belum sempat perpu itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi, dia sudah berwujud menjadi undang-undang. Ini kekhususan dari perkara ini dibandingkan dengan perkara-perkara yang pernah masuk sebelumnya. Oleh karena itu, tadi ada keragaman di dalam mengajukan permohonan. Pemohon 1 mempermasalahkan perpu itu juga. Ya kan? Pemohon 1 mempermasalahkan keabsahan perpu itu juga, meskipun sekarang sudah menjadi undang-undang. Hakim, artinya seluruh Panel, belum bisa memutuskan bagaimana prosesnya nanti akan menguji karena kita baru bertiga di dalam pemeriksaan pendahuluan. Karena ada kemungkinan-kemungkinan, kalau pengujian perpu itu diteruskan, maka ada putusan terhadap perpu, itu kemungkinannya, maka itu akan berakibat juga kepada undangundangnya. Bagaimana sebuah perpu yang kemudian termasuk yang Anda mohonkan, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kemudian, kalau dinyatakan itu tidak sah, bisa menjadi undangundang. Itu bisa mengambil posisi seperti itu. Tapi mana yang diambil, itu seluruh Pleno nanti akan memutuskan. Panel bertiga belum bisa memutuskan. Atau yang kedua adalah undang-undangnya. Jadi, undangundangnya ini ada persoalan yang karena undang-undang itu juga lanjutan dari perpu, apakah Mahkamah kalau katakan saja itu akan mengambil suatu proses untuk mengajukan pengujian, cukup hanya pada undang-undangnya saja. Karena undang-undangnya juga bisa diuji secara formil dan materiilnya. Saya belum mempertimbangkan kalau kemudian undang-undang itu dinyatakan batal, apakah itu kemudian bisa punya konsekuensi 11
undang-undangnya batal, perpunya tidak? Jadi, bisa seperti itu juga. Tapi ini kemungkinan-kemungkinan. Itu yang terjadi. Tapi itu perlu pengkajian dari segi konstitusionalitas. Yang berikutnya adalah ada perbedaan. Pada Nomor 1, ini seluruh undang-undang dimintakan untuk dibatalkan secara substansi, bukan begitu? Ya. Sedangkan dari Jember, ini tidak. Hanya beberapa pasal. Bedanya di situ. Oleh karena itu karena karakteristik yang berbeda-beda seperti ini, menurut saya Mahkamah tidak perlu lagi untuk kemudian itu mengarahkan seharusnya bagaimana. Kita terima saja secara penuh permintaan masing-masing itu, dan persoalan kemudian itu mana yang dikabulkan, mana tidak, itu biar menjadi satu kajian dari Majelis Hakim. Atau contoh tadi mempermasalahkan perpu karena belum pernah ada satu yurisprudensinya. Oleh karena itu, menurut saya secara substansi, kita menganggap itu cukup dan menjadi kewajiban Hakim untuk menjawab, untuk menyatakan mana yang kemudian bisa dan mana yang tidak. Akan lebih leluasa bagi Hakim untuk menentukan sikapnya. Begitu juga akan halnya apa yang disampaikan oleh Pemohon Nomor 2. Oleh karena itu, saya sebagai salah satu Anggota Majelis, yang penting adalah karena sudah ada undang-undangnya, maka perbaikan itu fokuskan saja menyebutkan undang-undang yang sudah mengesahkannya. Fokusnya di situ, hal yang lain biar menjadi tugas Hakim untuk nanti … bahkan isu per isu kalau mungkin dipertimbangkan terhadap permintaan Anda itu. Nomor 1, paham itu Saudara, kira-kira, apa yang dimaksud Hakim? Bagaimana Saudara Pemohon Nomor 1? 18. PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: A. MUHAMMAD ASRUN Paham, Yang Mulia. Kami akan fokus kepada undang-undang, tetapi kami punya pendapat juga karena substansi atau materi undangundang ini, seluruh batang tubuh dari undang-undang ini adalah berasal adalah perpu. 19. KETUA: HARJONO Ya. 20. PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: A. MUHAMMAD ASRUN Jadi manakala … manakala nantinya undang-undang ini dibatalkan, maka Perpunya juga otomatis dia menjadi batal karena berangkatnya dari sana. 12
21. KETUA: HARJONO Oke. 22. PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: A. MUHAMMAD ASRUN Jadi roh undang-undang ini berangkat dari sana. 23. KETUA: HARJONO Karena Anda tadi memasalahkan seharusnya perpu itu memanuhi apa yang pernah diputus oleh Mahkamah pada putusan sebelumnya. 24. PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: A. MUHAMMAD ASRUN Ya, terima kasih. 25. KETUA: HARJONO Oleh karena itu Anda memasalahkan perpu. Kalau toh kemudian itu nanti ada perubahan, kita tidak harus memaksakan perubahan itu. Karena kemungkinan juga bahwa mungkin yang dimasalahkan perpunya masih ada ruang, tapi Mahkamah belum pernah menyatakan apakah itu boleh atau tidak. Biar Mahkamah berpendapat, kalau toh itu akan muncul sebagai isu yang dimasalahkan. Itu yang pertama ya. Jadi, kalau secara keseluruhan saya kira paham ya. Tapi juga persoalan mengubah nomornya itu menjadi sebuah hal yang penting. Dari Jember, bagaimana dengan hal yang disampaikan oleh Majelis Hakim pendapatnya? 26. PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: NURUL GHUFRON Ya, kami memahami, Ketua. Bahwa kami yang merasa perlu memperbaiki objek gugatan yang selama ini kami ajukan itu masih bertitle pengujian undang-undang terhadap peraturan pemerintah karena sudah disahkan sejak diterima oleh DPR dengan penomoran UndangUndang Nomor 4 Tahun 2014, kami objeknya akan kami ganti pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014. Tetapi kami tentang materi, pasalpasal yang akan kami ajukan, tetap yaitu berkaitan dengan dua hal, yaitu pada panel ahli dan pada kewenangan KY untuk mengangkat panel ahli sebagai tim penyeleksi uji kelayakan Calon Hakim Mahkamah Konstitusi. Terima kasih, Ketua.
13
27. KETUA: HARJONO Baik, jadi masalah pokok permohonannya tidak berubah, hanya karena objek permohonannya sudah jelas yang belum ada nomornya sekarang ada nomornya. Itu kira-kira menjadi status dari perubahan. Kemudian, oleh karena itu kita memberi kesempatan, namun karena yang menjadi perubahan sangat minor sekali, hanya menyangkut penomoran undang-undang. Kami harapkan Anda bisa melakukan perbaikan secepat mungkin karena ada kebutuhan agar supaya ada kepastian hukum. Karena kalau Anda secepat mungkin, Mahkamah juga bisa melakukan persidangan secepat mungkin dan mengambil keputusan karena apapun putusannya ini akan sangat mempengaruhi proses-proses yang sekarang lagi berlanjut … lagi berlangsung ya. Saya kira jelas ya, Pemohon 1? 28. PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: NURUL GHUFRON Jelas, Ketua. 29. KETUA: HARJONO Jelas. Kami harapkan … ya, bisa diperbaiki secepat mungkin ini dari saya. Ada saran dari Anggota Majelis Hakim yang lain, Yang Mulia Maria Indrati, silakan. 30. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Saya rasa sudah cukup jelas apa yang disampaikan oleh Ketua Panel, tapi memang kita bisa melihat bahwa untuk Pemohon 1 karena Anda sebetulnya sekarang sudah menguji undang-undangnya, maka kewenangan Mahkamah itu tidak perlu Anda mencantumkan lagi yang alinea terakhir itu. Bahwa peraturan pemerintah pengganti UndangUndang Republik Indonesia dan seterusnya, sehingga sampai Pasal 22 itu enggak perlu saya rasa. Karena Anda sudah menguji undang-undangnya. Dan juga harus diingat bahwa di sini ada tentang proses pembentukannya, kalau Anda mengatakan secara formilnya, formil undang-undang ini berasal dari perpu, Anda bisa menguraikan seperti ini, ya mungkin hanya judulnya saja yang digantikan bukan formil jadi undang-undangnya. Karena kalau menurut kita Undang-Undang 10 Tahun 2004 dan juga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka DPR dan Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar prolegnas, itu kalau perpu. Jadi ya itu boleh, tapi kemudian yang di sini alasan formil, ini yang harus dirumuskan, bukan alasan formilnya dari pembentukan perpunya tentunya, ya. Anda bisa mengatakan alasan formil pembuat
14
undang-undang itu, kemudian ke belakang masuk dari perpunya boleh, ya. Untuk Pemohon yang ke 2, saya rasa karena formalitasnya tidak perlu dipermasalahkan, tapi substansi di sini lebih fokus di sini, tapi saya melihat dalam kedudukan hukum ini ada yang agak rancu saya, halaman 2. B, Kedudukan Hukum Para Pemohon alinea 1 di sini dikatakan bahwa Para Pemohon adalah dosen dan seterusnya. Kemudian dengan berlakunya ketentuan Pasal 18A dan seterusnya, dan Pasal 27A undangundang. Di sini ada kata yang terbentuk atau terbentuk, atau dibentuk berdasarkan persetujuan DPR, ini maksudnya apa? Mungkin Anda perlu melihat lagi di sini. Dan juga dalam petitum, dalam petitumnya Anda harus merubahnya. Jadi tidak perpu lagi tapi kemudian undang-undang. Saya rasa itu, Pak Ketua. 31. KETUA: HARJONO Pemohon 1, 2, paham ya, dari apa yang disampaikan oleh Prof. Maria, nasihatnya. Sekarang dari Dr. Muhammad Alim, silakan. 32. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia. Barangkali yang Pemohon Nomor 1, ini kan tidak menyebut ... artinya di antara alasan kalau ini menurut Saudara wajar, di antara alasan Anda mengatakan apa dasarnya kok sampai harus tujuh tahun meninggalkan partai politik, ibaratnya begitu. Mungkin ya, mungkin Anda bisa menyebutkan ... membandingkan putusan MK terhadap seorang penjahat, narapidana kan lima tahun sesudah selesai menjalankan, ini kok malah tujuh tahun sudah keluar dari parpol ibaratnya. Padahal ini kan seorang parpol bukan penjahat dia, itu ... sedangkan ini narapidana ini lima tahun saja selesai menjalankan tahanan, ini kok harus tujuh tahun itu ibaratnya, itu cuma hanya perbandingan. Yang lain kok sudah dikasih ... kemudian kepada yang di Jember ini, yang Pemohon Nomor 2. Mungkin begini Saudara Pemohon, ini kan di petitumnya itu menyatakan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), itu tidak usah barangkali di dalam petitum itu karena itu sudah diterangkan di muka dan itu akan dipertimbangkan lebih dahulu kewenangan Mahkamah dan kemudian apa ... legal standing dari Para Pemohon itu tidak usah. Jadi Nomor 1 ... eh, Nomor 2 tidak usah menurut saya. Itulah kelaziman yang ada di sini. Kemudian yang nomor 3 menurut permohonan Anda ini menjadi nomor 2, tetapi begini tidak usah disebutkan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945. Dikatakan saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
15
1945, titik. Pasal mana itu kan ada dalam uraian nanti dalam ... sudah dimohonkan dan itu akan dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian yang angka 4 di permohonan Saudara ... petitum Saudara itu saya anjurkan menjadi angka 3 karena angka 2 itu dihapus. Itu ada istilah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Enggak usah batal karena kita Mahkamah Konstitusi tidak berhak membatalkan suatu undang-undang, dia hanya mengatakan bertentangan Undang-Undang Dasar 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tanpa harus menggurui saya katakan, yang batal itu antara atasan dan bawahan. Umpamanya putusan pengadilan negeri dibatalkan oleh pengadilan tinggi, itu atasan. Itu Mahkamah Konstitusi bukan atasannya pembentuk undang-undang, bukan atasannya DPR, bukan juga atasannya Presiden, dia lembaga negara yang se-level. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan suatu undang-undang, tapi menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena itu juga nanti pembentuk undang-undang yang memperbaiki kembali sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian satu kelaziman lagi pada mungkin angka 4 petitum itu, seperti halnya petitum yang dikemukakan oleh Pemohon Nomor 1, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Itu ditambahkan itu lho karena itu memang diperlukan itu, nanti bisa semacam gambaran. Terima kasih, Pak Ketua. 33. KETUA: HARJONO Baik, ada pertanyaan lagi Pemohon Nomor 1 atau cukup? 34. PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: HERU WIDODO Cukup, Yang Mulia. 35. KETUA: HARJONO Cukup? 36. PEMOHON PERKARA NOMOR 1/PUU-XII/2014: HERU WIDODO Ya. 37. KETUA: HARJONO Pemohon Nomor 2 di Jember, dengan nasihat-nasihat?
16
38. PEMOHON PERKARA NOMOR 2/PUU-XII/2014: NURUL GHUFRON Terima kasih, Pak. Cukup, Yang Mulia, kami memahami saran dari Hakim Konstitusi, baik dari Prof. Maria, maupun Prof. M. Alim. Terima kasih, Yang Mulia. 39. KETUA: HARJONO Ya. Karena dianggap cukup, maka Mahkamah memandang bahwa persidangan pemeriksaan pendahuluan ini bisa diakhiri dan diharapkan Anda secepat mungkin untuk bisa memperbaiki permohonan itu. Dengan demikian sidang saya nyatakan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 11.10 WIB Jakarta, 23 Januari 2014 Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
17