JPPI Vol 6 No 2 (2016) 169 - 184
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika 578/AKRED/P2MI-LIPI/07/2014
e-ISSN 2476-9266 p-ISSN: 2088-9402 DOI : 10.17933/jppi.2016.060204
ANALISIS KONDISI DIGITAL POVERTY DI INDONESIA ANALYSIS OF DIGITAL POVERTY CONDITION IN INDONESIA Anton Susanto Puslitbang Sumber Daya, Perangkat dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika - Kementerian Kominfo Jl. Medan Merdeka No.9, Jakarta,10110 - Indonesia
[email protected] Naskah Diterima: 19 Desember 2016; Disetujui : 22 Desember 2016
Abstrak Kebijakan pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) harus memperhatikan tidak hanya pengembangan pasar (pro-growth policy), tetapi juga kebijakan yang pro-poor. Barrantes (2007) telah mendefinisikan keterbatasan akses dan penggunaan TIK sebagai digital poverty yang meliputi tidak hanya dimensi ekonomi tetapi juga kemampuan literasi TIK. Empat kategori kemiskinan digital seperti levelling yaitu extremely digitally poor, digitally poor, connected dan digitally “wealthy”. Penelitian ini fokus pada masalah yang terjadi di Indonesia dengan memetakan dan menganalisis kondisi digital poverty. Hasil penelitian akan berguna untuk mempertajam kebijakan pro-poor di sektor TIK seperti salah satunya adalah kebijakan layanan telekomunikasi universal. Dengan menggunakan data yang dikumpulkan dari Survei Indikator TIK untuk Rumah Tangga dan Individu yang dilakukan dalam 3 tahun terakhir yaitu 2014, 2015 dan 2016, dan juga dilengkapi dengan data Potensi Desa (Podes) tahun 2014, maka penelitian ini menemukan bahwa terjadi peningkatan baik dari digitally “wealthy” dan extremely digitally poor. Pembangunan TIK telah mendorong pemanfaatan internet untuk aktivitas e-commerce dan interaksi layanan e-government dan e-business, namun di sisi lain terdapat potensi digital exclusion untuk individu yang dalam kondisi kemiskinan digital yang ekstrim. Penelitian ini juga menemukan bahwa selain faktor ekonomi, faktor kondisi SDM rumah tangga dan kondisi supply TIK dan listrik juga ikut berpengaruh terhadap kemiskinan digital. Bahkan dari ketiga faktor tersebut, kondisi SDM adalah faktor yang paling berpengaruh. Kata Kunci : Digital Poverty, Kebijakan Pro-Poor
Abstract ICT development policy should concern not only market development (pro-growth) but also pro-poor policy. Barrantes (2007) has defined the lack of ICT as digital poverty. That covered not only economic dimension, but also ICT illiteracy. The four category of digital poverty as leveling are extremely digitally poor, digitally poor, connected and digitally “wealthy”. This research focus on that issue in Indonesia by mapping and analysis the digital poverty. The reseacrh result will be usefull to shaping the pro-poor policy for ICT sector such as universal telecomunication service. By using the data collected from Survey of ICT Indicator for Households and Inviduals that has held in 3 years (2014, 2015 and 2016) and also complemented by data Podes 2014, this reseach found that increasing of both of the digitally “wealthy” and extremely digitally poor. ICT development has encouraged the use of the internet for e-commerce activities and interaction of e-government and e-business, but on the other hand there is the potential of digital exclusion for individuals who are in conditions of extremely digitally poor. The study also found that in addition of economic factors, factors condition of Human Resources and ICT and electrical supply also affect the digital poverty. Of these three factors, the condition of human resources is the most influential factor. Keywords: Digital Poverty, Pro-Poor Policy
169
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
Berbagai upaya telah dilakukan di Indonesia
PENDAHULUAN
dengan menunjukkan berbagai kebijakan proTeknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
growth
mendorong kemudahan akses masyarakat ke
telekomunikasi
pasar global dan memunculkan kondisi yang
Undang Nomor 36 Tahun 1999 adalah salah
mendukung pertumbuhan, namun di sisi lain TIK
satunya. Sektor telekomunikasi berkembang
dapat mengakibatkan ketidaksamaan (inequality),
melalui mekanisme pasar (pro-growth) di satu sisi
1
2
dan
pro-poor. dengan
Reformasi keluarnya
sektor
Undang-
digital exclusion dan bahkan social exclusion .
dan juga di sisi lain dilakukan juga pemerataan
Terdapat kondisi-kondisi sosial dan ekonomi
akses telekomunikasi
untuk wilayah-wilayah
yang menghambat daya ungkit TIK terhadap
tertinggal dan secara
komersial belum begitu
pertumbuhan
ekonomi
Global
menguntungkan (pro-poor) melalui kebijakan
Information
Technology
2015
Kewajiban Pelayanan Universal (KPU). Akan
menggambarkan manfaat sosial dan ekonomi dari
tetapi, ternyata perhatian pemerintah terhadap
perkembangan TIK belum secara luas dirasakan
kesenjangan digital masih terus diperlukan.
seluruh dunia, bahkan terjadi kesenjangan digital
Kesenjangan akses TIK baik itu antara kota dan
yang cukup tinggi antar negara. Negara-negara
desa serta Jawa dan luar Jawa masih juga terjadi.
yang masuk dalam 10 besar Networked Readiness
Hasil
Index (NRI) tahun 2015, sebagian besar adalah
menunjukkan ketimpangan dimaksud3 (Laporan
negara-negara eropa, hanya Jepang sebagai
Indikator TIK 2016)
perwakilan negara Asia berada di ranking 10.
Kebijakan pro-poor dimaksudkan agar setiap
Sedangkan Indonesia hanya berada di ranking 79
kebijakan TIK memerhatikan berbagai dimensi
dari 143 negara. Nilai sub indeks readiness di
ketika mengaitkan teknologi dengan kemiskinan.
Indonesia mengalami penurunan terutama untuk
(Adera, et.al., 2014) menyebutkan bahwa dampak
pilar infrastruktur dan affordability.
Hal ini
TIK terhadap kemiskinan perlu dilihat dari
menunjukkan bahwa pertumbuhan pembangunan
beberapa hal yaitu: sikap dan harapan dari
infrastruktur TIK masih belum cukup siginifikan
pengguna/masyarakat4; kapabilitas sumber daya
bahkan cenderung terjadi kenaikan biaya akses
dan kemampuan/literasi TIK; kerentanan terhadap
atau layanan TIK.
efek negatif teknologi dan efek isolasi atau social
1
masyarakat. Report
for
Digital Exclusion tidak hanya tentang seberapa banyak yang tidak mempunyai akses digital tetapi juga semakin dalamnya ketertinggalan individu/masyarakat karena ketidakmampuan menggunakan teknologi digital dalam mendorong kehidupan sosial dan ekonomi (Freshminds, 2007 :11) 2 Social exclusion sangat erat kaitannya dengan digital exclusion. Sehingga ketika internet didorong untuk menjadi meta-infrastruktur dari semua layanan publik yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya masyarakat yang mengalami social exclusion. Hal ini terjadi karena masih banyak masyarakat
170
Survei
Indikator
TIK
tahun
2015
yang rendah e-literasi dan kemampuan untuk memanfaatkan teknologi digital. (Taxation., 2012:7) 3 Jumlah rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses internet sebesar 35,1%. Proporsi rumah tangga di perkotaan yang memiliki akses internet mencapai 47,9%, dan di perdesaaan hanya mencapai 24,7%. Demikian juga untuk wilayah Maluku dan Papua hanya mencapai 19,6% (Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika, 2015:1516) 4 Dalam Adeya (2002) sikap dan harapan dimaksudkan juga untuk institusi, lembaga dan organisasi termasuk juga peran
Analisis Kondisi Digital Poverty di Indonesia (Anton Susanto)
exclusion yang dapat terjadi ketika teknologi baru
sebagai
diterapkan dalam sistem kehidupan masyarakat
ekonomi masyarakat (Roberts, 2016).
miskin. Apalagi kalau dilihat dari determinan
dasar
keberlangsungan
sosial
dan
Oleh karena itu, untuk mendukung kebijakan
sosial yang mencermati bahwa teknologi sebagai
pro-poor
proses sosial bukan hanya sekedar membeli dan
memerhatikan kondisi masyarakat indonesia baik
menggunakan barang. Teknologi sebagai sebuah
secara sosial maupun ekonomi. Hal ini karena
inovasi
untuk
ketersedian akses akan mendorong networked
mendorong adopsi dan pemanfaatannya sehingga
society dan sangat dipengaruhi oleh kapasitas
pendekatan bottom-up sangat diperlakukan untuk
masyarakat
memahami kebutuhan dan berjalannya proses
memanfaatkan peluang dari fasilitas teknologi.
inovasi
untuk
Berdasarkan hasil survei indikator TIK dari tahun
pembangunan tidak hanya menyandarkan pada
2014 sampai dengan 2016 menunjukan kendala
tujuan ekonomi tetapi juga tujuan sosial atau
akses internet rumah tangga sebagian besar
keberlangsungan sosial (Heeks, 2009). Dalam
disebabkan
konteks pemberdayaan masyarakat munculah
kebutuhan dan juga kendala keterjangkauan
pendekatan psychological empowerment yang
infrastruktur dan biaya akses 5. Keterbatasan akses
lebih menekankan pada faktor intrapersonal,
dan menggunakan teknologi digital ini sering
interaksional dan faktor perilaku dari aktor-aktor
disebut dengan digital poverty. Barrantes (2007)
sosial (Aji, 2010)
mengklasifikasikan
Salemink (2015) melakukan review berbagai
berdasarkan jenis TIK yang mencakup beberapa
literatur terkait dengan pembangunan perdesaan
atribut fungsi yaitu konektivitas, komunikasi dan
yang identik dengan pembangunan masyarakat
informasi. Oleh karena itu digital poverty
miskin dan tertinggal. Kebijakan pembangunan
kemudian dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
perdesaan
membutuhkan
(Lorentzen,
selain
aktor
1988).
berfokus
sosial
TIK
pada
bidang
untuk
oleh
TIK,
sangat
penting
menciptakan
internet
belum
digital
dan
menjadi
poverty
ini
masalah
konektivitas yang dapat diselesaikan melalui pengembangan pasar (market
di
a.
yang
development),
tersedia
sangat terkait erat dengan adopsi dan penggunaan
perlu diukur melalui pendekatan multidisiplin. 5 Dari 64% rumah tangga di Indonesia yang tidak memiliki akses internet disebabkan oleh alasan tidak
untuk
akses
digital,
namun
karena
belajar menjadi penghambat untuk memiliki
kemampuan masyarakat. Kebijakan digital untuk
dari pembuat kebijakan. Dampak sosial dari adanya TIK
hanya
keterbatasan usia dan kemampuan untuk
teknologi dan dipengaruhi oleh pendidikan dan
ketahanan komunitas (community resilience)
menggunakan TIK
menerima informasi (satu arah). Sekalipun
tetapi juga masalah inklusivitas teknologi yang
wilayah rural harus berangkat dari perspektif
Extremely Digitally Poor yaitu seseorang
pengetahuan menggunakan layanan digital. b.
Digitally
Poor,
yaitu
seseorang
yang
memiliki media komunikasi (dua arah)
butuh internet sebanyak 40,7%, disusul biaya layanan tinggi sebesar 38,2% dan biaya perangkat yang tinggi sebanyak 35,7% (Puslitbang SDP3I, 2016)
171
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
misalnya telepon tetapi karena keterbatasan
memiliki efek negatif terhadap keberhasilan
kemampuan media digital hanya digunakan
layanan universal telekomunikasi (telepon tetap
untuk
dan bergerak) di Afrika.
menerima
informasi
dan
berkomunikasi saja. c.
d.
Connected
yaitu
memiliki
akses
Sebagai bagian dari bentuk kebijakan promereka
yang
internet,
sudah namun
poor, implementasi layanan universal yang berasal
dari
dana
layanan
universal
penggunaannya masih bersifat pasif terbatas
telekomunikasi/Universal Service Fund (USF)
hanya
masih tidak efisien dan tidak efektif. GSMA
untuk menerima
informasi dan
berkomunikasi.
(2013) melaporkan bahwa dari 64 USF berbagai
Digitally “Wealthy”, yaitu seseorang yang
negara di Afrika, Asia Pasifik, Eropa, Amerika
sudah memiliki dan mampu mengakses
Latin, Timur Tengah dan Amerika Utara, masih
internet
memiliki
sepertiganya yang belum dicairkan. Berbagai
kemampuan untuk melakukan transaksi dan
pungutan/pajak USF dikenakan tanpa melalui
interaksi mengambil manfaat dari berbagai
analisis substantif terhadap kebutuhan aktual dari
layanan digital seperti layanan pemerintah, e-
layanan universal atau seberapa besar sebenarnya
business maupun content creation.
kebutuhan subsidi yang diperlukan. Belum lagi
secara
aktif
dan
berbagai kendala dari aspek administratif yang Keterbatasan untuk mengakses dan menggunakan teknologi digital (digital poverty) ini terjadi disebabkan tidak hanya karena faktor ekonomi 6 namun juga karena tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menggunakan teknologi (illiterate).
Hal
ini
berarti
dapat
terjadi
kemungkinan bahwa masyarakat yang secara ekonomi tidak miskin, namun secara digital masuk dalam kategori digitally poor. Kondisi ini didukung oleh berbagai kebijakan pro-poor melalui berbagai fasilitas layanan akses universal internet di tempat publik, seperti telecenter atau
berujung pada tata kelola USF. Permasalahan tata kelola juga terjadi dalam implementasi layanan universal telekomunikasi di Indonesia (Susanto, 2014, 2015). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mencoba untuk menganalisis kondisi digital poverty di Indonesia dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Hasilnya tentu sangat penting sebagai pemetaan dan input dalam tata kelola kebijakan pro-poor di Indonesia, salah satunya adalah dalam pengelolaan layanan universal telekomunikasi.
sarana dan tempat akses publik lainnya. Kondisi digital poverty penting untuk diketahui sebagai pemetaan dalam rangka menempatkan kebijakan TIK pro-poor yang tepat. Kponou (2015) bahkan menemukan bahwa kondisi digital poverty
6
Merupakan perspektif tradisional dalam mendefinisikan digital poverty dari aspek supplydemand ekonomi. Kemiskinan secara ekonomi 172
METODE Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif untuk mengukur kondisi digital poverty di Indonesia
dan
faktor-faktor
yang
membuat orang tidak mampu untuk mengakses dan menggunakan teknologi digital.
Analisis Kondisi Digital Poverty di Indonesia (Anton Susanto)
mempengaruhinya. Deskripsi kondisi digital
sampel yang representatif mewakili rumah tangga
poverty diolah dari data hasil survei penggunaan
dan individu secara nasional. Jumlah sampel pada
TIK oleh Rumah Tangga dan Individu yang
tahun 2014 sebanyak 8.693 responden, tahun
dilakukan oleh Badan Litbang SDM, Kementerian
2015 sebesar 9.636 responden dan tahun 2016
Komunikasi dan Informatika dari tahun 2014
sebanyak 9.588 responden
sampai
dengan
untuk
Berdasarkan data yang terkumpul dari survei
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
Penggunaan TIK oleh Rumah Tangga dan
digital poverty dilakukan analisis berdasarkan
Individu
data hasil survei penggunaan TIK oleh Rumah
pengolahan terhadap kategori digital poverty
Tangga
2014
dengan ketentuan sebagaimana di sebutkan dalam
ditambahkan data hasil survei Potensi Desa
Tabel 1. Kategori digital poverty tersebut diadopsi
(Podes) Badan Pusat Statistik tahun 2014.
dari Barrantes (2007) dengan modifikasi sesuai
dan
2016.
Individu
Sedangkan
pada
tahun
Untuk diketahui bahwa survei penggunaan
tersebut,
kemudian
dilakukan
kondisi data survei Penggunaan TIK oleh Rumah
TIK oleh Rumah Tangga dan Individu yang
Tangga
dan
Individu.
Hal
ini
dilakukan
dilakukan oleh Badan Litbang SDM merupakan
mengingat di Indonesia masih terdapat rumah
survei baseline dengan multi-stage stratified
tangga atau individu yang memang sama sekali
random sampling. Pemilihan sampel dilakukan
tidak memiliki atau menggunakan TIK, bahkan
melalui strata sampai pada level kabupaten/kota
untuk perangkat TIK seperti Televisi dan dalam
dan bahkan desa/kelurahan seluruh Indonesia.
penelitian ini dimasukkan kategori
Dengan demikian diharapkan mampu menangkap
Digitally Poor.
Extremely
Tabel 1. Deskripsi Kategori Digital Poverty NO
Kategori Digital Poverty
Uraian
1.
Kemiskinan digital ekstrim
Seorang yang hanya menggunakan teknologi untuk
(Extremely Digitally Poor)
menerima informasi seperti radio dan televisi, termasuk juga seorang yang tidak mempunyai akses terhadap teknologi informasi
2.
Miskin secara digital (Digitally
Seseorang yang sudah menggunakan teknologi informasi
Poor)
dan komunikasi (TV, Radio dan telepon). Telepon hanya untuk komunikasi belum untuk layanan data atau akses internet
3.
Connected
Seseorang yang sudah menggunakan internet, baik di rumah maupun tempat publik, tetapi penggunaannya masih pasif hanya menggantiikan fungsi mencari informasi dan komunikasi secara umum (contoh: email, chatting browsing dll)
173
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
NO
Kategori Digital Poverty
4.
Digitally “Wealthy”
Uraian Seseorang yang sudah menggunakan internet secara aktif untuk transaksi jual-beli, interaksi layanan pemerintah, ebusiness dan content creation.
Sumber: (Barrantes, 2007) disesuaikan dengan kondisi Indonesia
Kemudian untuk mengetahui faktor-faktor apa
terdapat
saja
memahami
yang
mempengaruhi
digital
poverty
berbagi
norma,
yang
nilai
menfasilitasi
dan
saling
terjalinnya
dilakukan pengujian hubungan struktural antar
kerjasama internal maupun dengan kelompok
variabel dengan menggunakan uji Partial Least
lain. Sedangkan dalam (Hamidi & Hanibal, 2015)
Square (PLS). (Barrantes, 2007) telah menguji
memberikan beberapa indikator dari modal sosial,
secara ekonometrik hubungan antara modal
yaitu: solidaritas sosial, toleransi, rasa aman dan
ekonomi, kondisi SDM, dan kondisi supply
kesejahteraan
seperti listrik dan lainnya. Dalam penelitian ini
berkembangnya kegiatan sosial dan ekonomi di
dikembangkan beberapa indikator, seperti untuk
masyarakat
kondisi supply ditambahkan indikator kondisi
kesejahteraannya/e-prosperity (Bappenas, 2005).
fasilitas yang sering digunakan dalam model
Salemink, K., et al. (2015) menyebutkan modal
adopsi Unified Theory of Acceptance and Use of
sosial sebagai bagian penting dalam dasar
Technology
dikenalkan
kebijakan digital agar tidak terjadi social
Vankantesh, et.al pada tahun 2003, serta beberapa
exclusion dengan hadirnya teknologi digital. Hal
pengembangan
penelitian-penelitian
ini karena modal sosial berpotensi dalam
selanjutnya oleh Nwabueze (2009) dan Carlsson,
membangun kohesivitas, jejaring dan partisipasi
C (2007) Oleh karena itu, untuk indikator kondisi
masyarakat
supply meliputi tidak hanya pasokan listrik tetapi
masyarakat di era digital (Robert, E, et al, 2016).
(UTAUT)
dalam
yang
sosial.
sampai
sehingga
Melalui
kemudian
tercipta
TIK
dapat
meningkat
ketahanan
juga kondisi sinyal telekomunikasi, keberadaan warnet dan ketersediaan BTS yang datanya didapatkan datanya dalam survei Podes tahun
Berdasarkan hal tersebut dan ketersediaan data dalam Podes 2014, maka indikator yang akan diukur dalam modal sosial meliputi: keberagaman
2014.
bahasa, etnis/suku dan kebiasaan gotong royong Penelitian ini juga menambahkan variabel modal
di sebuah desa. Tabel 2 menggambarkan secara
sosial sebagai salah satu faktor yang diduga
lengkap
berpengaruh
di
indikatornya dalam menganalisis faktor-faktor
Indonesia. Modal sosial oleh OECD didefinisikan
yang mempengaruhi digital poverty di Indonesia.
terhadap
digital
poverty
sebagai jejaring bersama yang di dalamnya
174
operasionalisasi
variabel
dan
Analisis Kondisi Digital Poverty di Indonesia (Anton Susanto)
Tabel 2. Operasionalisasi Variabel Variabel/Konstruk
Indikator/Pengukuran
Level Digital Poverty
1 = Extremely Digitally Poor 2 = Digitally Poor 3 = Connected 4 = Digitally “Wealthy” Pendapatan Rata-rata/Bulan 1 = < Rp 1 jt, 2 = Rp 1 Jt – Rp 2 Jt 3 = > Rp 2 Jt – Rp 5 Jt 4 = >Rp 5 Jt – Rp 10 Jt 5= >Rp 10 Jt Pendidikan Kepala Keluarga 1= Tidak Sekolah 2 = SD 3 = SMP 4 = SMA 5= D3/S1 6= S2/S3 Jumlah Anggota keluarga ≥ 9 tahun dan ≤ 65 tahun Sinyal Telekomunikasi 0 = Rendah, 1= Sedang, 3 = Tinggi Ketersediaan BTS 1 = Tidak Ada, 2 = Ada Fasilitas Internet di Desa 3 = Tidak Ada, 4 = Ada Rasio Kecakupan Listrik Ragam Etnis/Suku 1= Tidak Beragam, 2 = Beragam Ragam Bahasa 1= Tidak Beragam, 2 = Beragam Kebiasan Gotong Royong 1 = Tidak Ada, 2 = Ada
Kemampuan Ekonomi
Kondisi SDM Rumah Tangga
Kondisi Supply
Kondisi Modal Sosial
Arah Hubungan
+
+
+
+
Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis
HASIL DAN PEMBAHASAN
hubungan antar faktor yang mempengaruhi digital
Kondisi Digital Poverty di Indonesia
poverty, sebagai berikut:
Dengan memerhatikan perkembangan keempat
H1 : Kemampuan Ekonomi berpengaruh terhadap
level digital poverty dari tahun 2014 sampai
berkurangnya Digital Poverty
dengan 2016, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan
H2 : Kondisi SDM berpengaruh terhadap
digitalyl ‘wealthy” dalam rumah tangga di
berkurangnya Digital Poverty
Indonesia. Artinya pemanfaatan internet untuk
H3
aktivitas jual –beli dan juga interaksi dengan
:Kondisi
Supply
berpengaruh terhadap
berkurangnya Digital Poverty
layanan pemerintah dan e-business semakin
H4 : Kondisi Modal Sosial berpengaruh terhadap
meningkat, seiring dengan menurunnya jumlah
berkurangnya Digital Poverty
masyarakat yang miskin secara digital (digitally poor). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa terjadi penurunan jumlah masyarakat yang 175
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
connected
dengan
ini
miskin secara digital (sama sekali tidak tersentuh
digitally
teknologi digital) ternyata jumlahnya cenderung
“wealthy” terjadi untuk mereka yang memang
meningkat. Keterbatasan baik itu ekonomi,
sudah terkoneksi ke internet.
Apalagi kalau
pengetahuan dan lingkugan menjadi kendala bagi
dilihat secara counter versa bahwa ternyata terjadi
mereka untuk mengakses internet. Suatu kondisi
juga kenaikan jumlah rumah tangga yang
yang berpotensi terjadinya social exclusion, jika
extremely digitally poor tiap tahunnya.
internet tersebar secara luas tanpa adanya solusi
mengindikasikan
internat.
bahwa
Hal
kenaikan
Suatu
kondisi yang menunjukkan bahwa dalam 3 (tiga)
terhadap keterbatasan-keterbatasan tadi.
tahun terakhir, masyarakat yang masih sangat
Gambar 1. Perkembangan Digital Poverty di Indonesia 2014 -2016
Kondisi Digital Poverty di Setiap Wilayah
(extremely digitally poor) cenderung tetap.
Kondisi digital poverty kemudian dideskripsikan
Sedangkan peningkatan akses internet yang
berdasarkan pembagian wilayah sesuai dengan
bermanfaat/ “wealthy” terjadi seiring penurunan
standar yang digunakan BPS dalam membagi
jumlah masyarakat yang digitally poor dan
wilayah Indonesia, yaitu : Sumatera, Jawa,
masyarakat yang sudah connected. Bahkan terjadi
Kalimantan, Sulawesi, Bali & Nusa Tenggara dan
penurunan yang cukup besar untuk kelompok
Maluku & Papua. Tabel 3 menunjukkan kondisi
masyarakat digitally poor sebesar ±15% dari
digital poverty di setiap wilayah. Kondisi
tahun 2014 ke 2016. Kemudahan akses dan
kemiskinan digital yang serupa dengan kondisi
hampir meratanya distribusi infrastruktur bisa
nasional
menjadi penyebab penurunan yang signifikan
terjadi
untuk
wilayah
Sumatera,
Kalimantan, yaitu terjadi kenaikan pada digitally
tersebut.
“wealthy” diiringi dengan penurunan jumlah
Kemudian untuk wilayah Kalimantan kondisinya
rumah tangga yang digitally poor dan connected
sangat berbeda dengan level nasional. Kondisi
serta kenaikan extremely digitally poor.
digitally “wealthy” cenderung tetap selama 3
Sedangkan
untuk
wilayah
Jawa,
jumlah
masyarakat yang sangat miskin secara digital 176
tahun sekalipun terjadi peningkatan
jumlah
masyarakat yang terkoneksi dengan internet
Analisis Kondisi Digital Poverty di Indonesia (Anton Susanto)
(connected) sekitar
Namun demikian,
terkoneksi dengan internat dan bahkan menjadi
kenaikan kemiskinan digital yang ekstrim juga
“wealthy”. Perkembangan wilayah Bali sebagai
terjadi dan perlu menjadi perhatian kebijakan
tempat pariwisata sepertinya berpengaruh secara
untuk antisipasi dampak. Sedangkan untuk
signifikan terhadap Wilayah Bali & Nusa
wilayah
Tenggara secara keseluruhan. Sedangkan untuk
Sulawesi
masyarakat
yang
9%.
terjadi
kenaikan
connected
dan
jumlah digitally
wilayah Maluku & Papua terjadi
penurunan
“wealthy” secara bersama. Kemiskinan digital
kemiskinan digital yang seiring dengan kenaikan
menurun cukup besar mencapai sekitar 10%, akan
jumlah masyarakat yang memiliki akses internet
tetapi extremely digitally poor juga mengalami
dan
kenaikan dalam rentang waktu 2014 – 2016.
perubahannya tidak terlalu besar. Sekalipun
Kondisi
Tenggara
perkembangannya tidak terlalu besar, akan tetapi
menunjukkan perkembangan yang cukup baik
minimal bisa menjadi bukti efektivitas kebijakan
dalam 3 tahun terakhir. Kondisi kemiskinan
pemerataan akses TIK untuk wilayah Maluku dan
digital jumlahnya menurun cukup besar diiringi
Papua dalam 3 tahun terakhir
dengan
wilayah
kenaikan
Bali
&
jumlah
Nusa
mayarakat
menjadi
“wealthy”
dengan
selisih
yang
Tabel 3. Kondisi Digital Poverty di Tiap Wilayah di Indonesia
177
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Digital Poverty Dengan menggunakan metode SmartPLS 3.0
yaitu pengujian outer model yang menguji
maka model hubungan struktural dibuat untuk
signifikansi indikator terhadap kontruk/variabel
menguji faktor-faktor yang mempengaruhi digital
latennya dan pengujian inner model yang menguji
poverty di Indonesia seperti pada Gambar 2. Ada
hubungan antara kontruk dengan variabel teramati
beberapa tahapan dalam uji model SmartPLS,
(variabel dependen).
Gambar 2. Diagram Jalur Hubungan antar Variabel Penelitian dengan SmartPLS Sumber : Output SmartPLS Olahan Peneliti
178
Analisis Kondisi Digital Poverty di Indonesia (Anton Susanto)
Model pengukuran dalam PLS disebut juga outer
dominan dalam membentuk variabel kondisi
model dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai outer
modal sosial yaitu sebesar 0,894. Lalu pendidikan
loading sangat bervariatif, pendapatan dan level
merupakan bobot indikator paling dominan untuk
digital poverty memiliki nilai outer loading
variabel kondisi SDM rumah tangga yaitu sebesar
sebesar 1,000 karena pada variable latennya hanya
0,972, dan indikator listrik yang merupakan
diwakili oleh 1 indikator saja, sedangkan suku
indikator paling dominan pada variabel kondisi
atau ragam etnis merupakan indikator paling
supply yaitu sebesar 0,805.
Tabel 4. Hasil Pengukuran Outer Loading Kemampuan Ekonomi
Kondisi Modal Sosial
Kondisi SDM Rumah Tangga
Kondisi Supply
BTS
Level Digital poverty
-0.441
Bahasa
0.696
DigitalPoverty
1
GtRyg
0.359
JmlAK
0.207
Listrik
0.805
Pddkn Pdptn
0.972 1
Sinyal Suku
0.669 0.894
WarnetDesa
-0.715
Dari hasil nilai loading indikator tersebut,
teknologi digital. Kemudian untuk kondisi human
maka dapat disimpulkan bahwa untuk Kondisi
capital,
dalam
penelitian
Modal Sosial dalam penelitian ini sangat kuat
merupakan faktor penting yang membentuknya.
dibentuk oleh keragaman suku/etnis. Hal ini
Artinya bahwa pendidikan kepala rumah tangga
berarti semakin beragam suku di suatu desa maka
menjadi penting dan berpengaruh terhadap
tingkat toleransi, saling memahami dan sifat
kondisi human capital. Sedangkan supply listrik
keterbukaan merupakan potensi modal sosial
merupakan
yang cukup besar untuk mendukung adopsi
pemfasilitas yang diperlukan dalam mendorong
masyarakat terhadap inovasi seperti halnya
akses dan penggunaan TIK di masyarakat.
bagian
ini
penting
pendidikan
dari
kondisi
Tabel 5. Pengujian Realibilitas Model
Level Digital Poverty
Original Sample (O) 0.241
Sample Mean (M) 0.242
Bias 0.000
2.5% 0.227
97.5% 0.258
179
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
Sedangkan nilai r square adjusted pada model
rumah tangga Indonesia, Kondisi Supply di setiap
adalah sebesar 0,242 yang artinya informasi pada
kelurahan/desa di Indonesia, dan kondisi modal
level
sosial masyarakat di Indonesia, sedangkan sisanya
digital
poverty
di
Indonesia
dapat
diterangkan sebesar 24,2% oleh kemampuan
yaitu 75,8% dipengaruhi oleh faktor lainnya.
ekonomi masyarakat indonesia, kondisi SDM di
Gambar 3. Hasil Pengujian Inner Model Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer
Dari hasil pengujian outer dan inner model dapat
berkurangnya digital poverty sebesar
dijawab hipotesis penelitian sebagai berikut:
0,223 dengan nilai t-test signifikan. Hal
H1 :
ini berarti bahwa
Pengaruh Kemampuan Ekonomi terhadap
Digital Poverty
pendapatan rata-rata suatu rumah tangga
Kemampuan Ekonomi yang diwakili oleh
potensi
pendapatan rata-rata per bulan di setiap
“wealthy” semakin besar.
rumah tangga berpengaruh terhadap 180
semakin tinggi
untuk
menjadi
digitally
Analisis Kondisi Digital Poverty di Indonesia (Anton Susanto)
H2 :
Kondisi SDM Rumah Tangga
Kondisi Modal Sosial ternyata hanya
berpengaruh terhadap berkurangnya Digital
berpengaruh kecil yaitu 0,007 terhadap
Poverty
berkuranganya digital poverty. Bahkan Kondisi SDM Rumah Tangga (Human
dengan
Capital)
terhadap
siginifikan. Kecilnya pengaruh modal
berkurangnya Digital Poverty sebesar
sosial terhadap berkurangnya kemiskinan
0,250 dengan nilai t-test signifikan. Hal
digital
ini
tingkat
optimalnya peran komunitas atau nilai-
pendidikan kepala rumah tangga dan
nilai bersama dalam mendorong adopsi
semakin banyaknya
TIK oleh masyarakat atau bisa jadi
berpengaruh
berarti
keluarga
maka
tinggi
jumlah anggota
kemiskinan
yang
mengindikasikan
tidak
belum
teknologi digital seperti internet tersebar
Pendidikan
sebegitu masifnya dan justru mampu
berpengaruh terhadap kemampuan untuk
merubah nilai-nilai dan modal sosial di
menggunakan sedangkan jumlah anggota
masyarakat. Hal ini perlu dijawab dengan
keluarga berpengaruh terhadap semakin
riset lebih lanjut dengan pendekatan
banyaknya sumber penghasilan yang
sosiologi masyarakat.
berkurang.
diharapkan
mampu
meningkatkan
kemampuan
ekonomi
suatu
rumah
PENUTUP
tangga.
Dari hasil analisis penelitian dapat disimpulkan
Kondisi Supply berpengaruh terhadap
bahwa Kondisi digital poverty dalam 3 (tiga)
berkurangnya Digital Poverty
H4 :
t-hitung
digital
semakin
H3 :
semakin
nilai
tahun terakhir yaitu 2014 – 2016 mengalami
Kondisi Supply yang diwakili dengan
penurunan. Intensitas penggunaan internet untuk
indikator cakupan listrik, sinyal, BTS dan
aktivitas yang lebih bermanfaat seperti jual beli
keberadaan warnet desa berpengaruh
dan interaksi dalam layanan e-government
terhadap berkurangnya digital poverty
maupun e-business semakin meningkat. Namun
sebesar 0,187 dengan t-hitung yang
kondisi ini terjadi pada mereka yang memang
siginifikan. Yang menarik hasil outer
sudah terkoneksi dengan internet. Artinya terjadi
loading dari masing-masing indikator
proses
yang ternyata listrik justru lebih dominan
dimasyarakat. Kenaikan level kategori digital
dalam
poverty dari awalnya poor menjadi connected
membentuk
kondisi
supply
gradual
dari
tingkat
literasi
TIK
dibanding kondisi supply yang terkait erat
kemudian
dengan TIK. Ini menjadi sinyal bahwa
bertahap. Namun demikian potensi terjadinya
keterjangkauan listrik menjadi prasyarat
digital exclusion sangat mungkin terjadi karena
mutlak bagi aksesibilitas dan penggunaan
dalam 3 (tiga) tahun terakhir juga terjadi kenaikan
TIK secara lebih optimal di masyarakat.
jumlah masyarakat yang berada di kategori
Kondisi Modal Sosial berpengaruh
extremely digitally poor.
menjadi
wealthy
terjadi
secara
terhadap berkurangnya Digital Poverty 181
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
Faktor ekonomi, kapabilitas SDM dan
UCAPAN TERIMA KASIH
infrastruktur pendukung berpengaruh signifikan
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada pihak-
terhadap berkurangnya digital poverty, dengan
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
faktor SDM yang berpengaruh lebih besar.
penelitian ini.
Artinya memang kemampuan SDM akan menjadi modal untuk keberdayaan ekonomi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Memprioritaskan kebijakan pengembangan SDM menjadi perlu seiring dengan pembangunan infrastruktur TIK dan pendukungnya. Rendahnya pengaruh modal sosial terhadap berkurangnya digital poverty perlu menjadi catatan dan bisa
Adera, E.O., et al. (2014). ICT Pathways to Poverty Reduction: Empirical Evidence from East and Southern Africa, Rugby. UK: Practical Action Publishing. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.3362/978 1780448152
disebabkan oleh kurangnya peran komunitas atau nilai-nilai
bersama
yang
mendorong
ke
pemanfaatan internet secara lebih baik atau karena internet sudah menjadi teknologi masif dan bahkan memunculkan nilai-nilai bersama yang berkembang atau bahkan baru. Beberapa hal yang dapat menjadi saran atau rekomendasi adalah: a. Dengan perkembangan kondisi digital poverty
di
Indonesia
yang
ada
sekarang
Adeya, C. N. (2002). ICTs and Poverty: A Literature Review. Ottawa. Ottawa: International Development Research Centre (IDRC). Aji, Z. (2010). A Conceptual Model for Psychological Empowerment of Telecentre. (Vol. Vol. 3,). Retrieved from www.ccsenet.org/cis Bappenas. (2005). ICT4PR (2005) Laporan Tahunan Partnerships for e-Prosperity for the Poor.
menunjukkan perlunya kebijakan yang pro-poor disamping upaya pro-growth yang tetap berjalan melalui mekanisme pasar. Hal ini karena potensi digital exclusion dapat terjadi ditengah kondisi ekonomi,
pengetahuan
SDM
dan
belum
meratanya infrastruktur TIK dan pendukungnya. b. Untuk melihat potensi modal sosial dalam mendorong
pengembangan
TIK
ke
arah
Barrantes, R. (2007). Analysis of ICT Demand: What Is Digital Poverty and How to Measure It? In I. D. R. Centre. (Ed.), . Practical Action Publishing. Carlsson, C., et al. (2007). Adoption of Mobile Devices/Services – Searching for Answers with the UTAUT. In Proceedings of the 39th Hawaii International Conference on System Sciences – 2007.
keberdayaan masyarakat, sangat perlu dilakukan riset lebih lanjut melalui pendekatan yang jauh lebih komprehensif agar potensi modal sosial bisa dioptimalkan dalam membentuk kesadaran dan penggunaan teknologi secara lebih smart.
182
Freshminds. (2007). Digital Inclusion: A Discussion of the Evidence Base. Retrieved from www.freshminds.co.uk Hamidi, & Hanibal. (2015). Indeks Desa Membangun. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Analisis Kondisi Digital Poverty di Indonesia (Anton Susanto)
Heeks, R. (2009). The ICT4D 2.0 Manifesto: Where Next for ICTs and International Development? (No. Paper No. 42). Working Paper Series. Retrieved from http://www.sed.manchester.ac.uk/idpm/rese arch/publications/wp/di/index.htm Kponou, K. (2015). Digital Poverty and Universal Service in Africa. Retrieved April 4, 2016, from http://www.cprsouth.org/wpcontent/uploads/2015/08/Digital-Povertyand-Universal-Service-in-Africa_PP44.pdf Laporan Indikator TIK 2016. (2016). Lorentzen, L. (1988). Technological Capacity. In A Contribution to a Comprehensive Understanding of Technology and Development in an International Perspective. Aalborg: Aalborg University Press. Low Incomes Tax Reform Group of The Chartered Institute of Taxation. (2012). Digital Exclusio: a Reseach Report. British. Nwabueze, S. . (2009). The Effects of Culture of Adoption of Telemedicine in Medically Underserved Communities. In Proceedings of the 42nd Hawaii International Conference on System Sciences – 2009.
Salemink, K. (2015). Rural development in the digital age: A systematic literature review on unequal ICT availability, adoption, and use in rural areas. Journal of Rural Studies. http://doi.org/, http://dx.doi.org/10.1016/j.jrurstud.2015.09 .001 Susanto, A. (2014). Analisis Kebutuhan Tata Kelola Teknologi Informasi (TI) pada Implementasi Program Universal Service Obligation (USO): Studi Kasus Implementasi Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK). Jurnal Penelitian Pos dan informatika. Jurnal Penelitian Pos Dan Informatika, Vol 4(No 2), 151–165. http://doi.org/DOI: http://dx.doi.org /10.17933/ jppi.2014.040206 Susanto, A. (2015). Implementasi Universal Service Obligation (USO) di Indonesia: Konsep Tata Kelola dan Pengembangannya. Bunga Rampai Infrastruktur TIK, Layanan Informasi Dan Dinamika Sosial. Jakarta. Retrieved from http://balitbangsdm.kominfo.go.id/?mod=p ublikasi&cid=29&kategori=4.
Roberts, E. (2016). A review of the rural-digital policy agenda from a community resilience perspective. Journal of Rural Studies. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.jru rstud.2016.03.001
183
Jurnal Penelitian Pos dan Informatika, Vol.6 No 2 Desember 2016 : hal 169 - 184
184